Anda di halaman 1dari 10

DEWATANISASI INSANI: PEMAKNAAN PENDIDIKAN

DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN HINDU

Nengah Bawa Atmadja

Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Pendidikan Ganesha, Jln. Udayana Singaraja

Abstrak: Kajian pustaka menunjukkan, bahwa hakikat pendidikan dalam perspektif Filsafat Pen-
didikan Hindu adalah mendewatakan manusia atau dewatanisasi insani guna mewujudkan divine
human (daiwisampat) yang sekaligus berarti mencegah kemunculan insan berkarakter keraksasaan
(demonic human, asurisampat). Agama Hindu kaya akan resep-resep divine human. Dewatanisasi
menuntut penamanan resep-resep divine human di dalam pikiran dan kecerdasan manusia.
Manusia berkarakter kedewataan ditandai oleh pikiran, ucapan dan tindakan yang taat pada resep-
resep divine human yang bersumberkan pada agama dan tata aturan lainnya yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Abstract: Literary study shows that education essence in perspective of Hindu education
philosophy is to deify human or human divinisation in order to realize the divine human
(daiwisampat) and also to prevent the appearance of demonic human character (asurisampat).
Hindu is rich in divine human recipes. Divinisation demands the divine human recipes investment
in mind and in human intelligence. Divine human is marked by intelligence, utterance and action
that obey to divine human recipes sourced of religion and other rules that is used in society life.

Kata kunci: pendidikan, divine human, pikiran, ucapan dan tindakan

Kajian Atmadja (2008) terhadap berbagai karya Apa pun bisa dipertanyakan secara filosofis,
tulis tentang filsafat ada banyak pengertian tentang termasuk di dalamnya tentang pendidikan sehingga
filsafat. Namun di balik keragaman pemaknaan ini melahirkan bidang kajian, yakni filsafat pendidikan
gagasan Keraf dan Dua (2001: 34) menarik (Knight. 2007; Jalaluddin dan Idi, 2007; Djum-
dikemukakan yang menyatakan, bahwa ... Filsafat ransjah, 2006; Alwasillah, 2008; Surakhmad,
adalah sebuah tanda tanya dan bukan sebagai tanda 2009; Fudyatanta, 2006). Kebanyakan buku teks
seru. Filsafat adalah pertanyaan dan bukan filsafat pendidikan memuat gagasan teoritikus
penyataan. Gagasan ini memberikan petunjuk, Barat. Hal ini dapat dicermati pada buku teks
bahwa filsafat pada hakikatnya adalah bertanya dan filsafat pendidikan yang ditulis oleh Djumransjah
terus bertanya guna mendapatkan jawaban yang (2006: 26) yang mengutip pendapat Freeman Butt
mendalam (sedalam-dalamnya), luas (seluas-luas- tentang hakikat pendidikan sebagai berikut.
nya) dan holistik (seholistik-holistiknya) mengenai a. Pendidikan adalah kegiatan menerima dan
suatu realitas, ide atau konsep yang bersifat fun- memberikan pengetahuan sehingga kebu-
damental (Atmadja, 2010; Woodhouse, 2000). dayaan dapat diteruskan dari generasi ke
generasi berikutnya.
Berkenaan dengan itu maka (ber-) filsafat berarti
b. Pendidikan adalah suatu proses. Melalui
... proses bertanya dan menjawab dan bertanya
proses ini, individu diajarkan kesetiaan dan
dan menjawab terus tanpa henti. Itulah filsafat
kesediaan untuk mengikuti aturan. Melalui
sebuah quest, sebuah pencarian, sebuah question cara ini pikiran manusia dilatih dan dikem-
tentang berbagai ide (Keraf dan Dua, 2001: 16). bangkan.

56
57 Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Jilid 43, Nomor 7, April 2010, hlm.56 - 65

c. Pendidikan adalah proses pertumbuhan. sudah ada, tetapi yang lebih penting adalah untuk
Dalam proses ini individu dibantu mengem- melakukan resistensi atau bahkan pembongkaran
bangkan kekuatan, bakat, kesanggupan, dan terhadap teori-teori yang telah mapan.
minatnya.
Bertolak dari gagasan filsafat postmodern
d. Pendidikan adalah rekonstruksi dan reorga-
maka kajian terhadap pemikiran dunia Timur
nisasi pengalaman yang menambah arti serta
yang bersumberkan dari ajaran agama dan
kesanggupan untuk memberi arah bagi
pengalaman selanjutnya. kearifan lokal, tidak saja penting, tetapi juga
e. Pendidikan adalah proses. Melalui proses ini, sangat mendesak guna mengimbangi kuatnya
seseorang penyesuaikan diri dengan unsur- hegemoni pemikiran Barat. Dalam konteks inilah
unsur pengalamannya yang menjadi ke- dicoba untuk mengkaji tentang pendidikan
pribadian kehidupan modern sehingga dalam dengan menggunakan pendekatan filsafat
mempersiapkan diri bagi kehidupan masa pendidikan. Manurut Alwasillah (2008),
dewasa yang berhasil (Freeman Butt dalam Surakhmad (2009), Knight (2007) dan Jalaluddin
Djumransjah, 2006: 26).
dan Idi (2007) filsafat pendidikan mengkaji
Pola ini tampak pula pada buku teks filsafat
pendidikan secara filosofis antara lain memper-
pendidikan yang ditulis Saduloh (2003) yang
tanyakan tentang Apa itu pendidikan? Dalam
mengutip makna pendidikan menurut Hooge- rangka menjawab pertanyaan ini dilakukan studi
veld, Henderson, Hummel, Langeveld, dll.
kepustakaan terhadap berbagai buku teks tentang
Jikalau pun ada buku teks filsafat pendidikan Agama Hindu antara lain ditulis oleh Titib (1996,
yang menyinggung tentang filsafat Hindu se- 2003), Sivananda (2005, 2006), Tapasyananda
bagaimana yang dilakukan oleh Jalaluddin dan (2008), Singh, 2004, 2007), Anandamurti (2008),
Idi (2007) hanya bersifat selintas. Pandit (2005), Pendit (2005, 2007), Zimmer
Pemakaian gagasan Barat dalam memaknai
(2003), Machwe (2000), Saraswati (2009), dll.
pendidikan tidaklah salah, mengingat ilmu ber- Kajian terhadap buku-buku teks filsafat
dimensi sosial, dalam arti, dia adalah milik pendidikan dan buku teks yang memuat teori-
publik sehingga seseorang bisa meminjamnya, teori sosial budaya tidak bisa diabaikan, baik
asalkan mengikuti etika ilmiah. Walaupun pe-
sebagai perbandingan maupun pengayaan wa-
minjaman gagasan Barat sah adanya, namun
wasan teoretik. Ungkapan-ungkapan kebahasaan
usaha untuk memunculkan gagasan lain yang tentang pendidikan pada buku teks tersebut dicari
bercorak gagasan non-Barat sangat penting. Hal makna denotatif dan konotatif sehingga pema-
ini berkaitan dengan munculnya evolusi
haman atas masalah yang dikaji bisa lebih tuntas
pemikiran manusia, yakni mulai dari pemikiran
(Barthers, 2007; Culler, 2003; Hoed, 2008;
kosmosentris, berlanjut ke teosentris, antropo- Ricoeur, 2002, 2006). Kesemuanya itu tidak bisa
sentris, lalu sampai kepada logosentris. Pemi- dilepaskan dari cara-cara berpikir kefilsafatan,
kiran logosentris merupakan karakteristik pemi-
yakni kesadaran diri, kemenyeluruhan, penem-
kiran filsafat postmodern. Filsafat postmodern busan, dan fleksibilitas (Knight, 2007: 9-11).
sangat disukai oleh kelompok ilmuwan Kajian
Dengan cara ini diharapkan untuk mendapatkan
Budaya (Cultural Studies) (Ritzer, 2003; Alwa- pengetahuan yang dalam, luas, dan holistik ten-
silah, 2008; Barker, 2004; Jones, 2009; Sugiar-
tang hakikat pendidikan menurut Agama Hindu
hato, 1996). Ciri filsafat ini antara lain tidak
yang berlanjut pada kemanfaatannya, yakni
tunduk kepada narasi-narasi besar pada umum- menambah narasi alternatif tentang pendidikan
nya teori-teori dari dunia Barat, melainkan men-
sehingga hegemoni pemikiran Barat tertandingi,
coba menggali narasi-narasi kecil gagasan- baik pada tataran kognisi maupun praksis
gagasan lokal termasuk di dalamnya berbagai pendidikan.
kearifan lokal di dunia Timur. Pencarian ini,
tidak hanya untuk memperkaya teori-teori yang
Nengah Bawa Atmadja, Dewatanisasi Insani : Pemaknaan Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat 58

PEMBAHASAN Walaupun filsafat Hindu sangat menghargai


olah pikiran dan pengalaman, namun ada aspek
Tuhan yang diberikan label Maha Tahu dan
penting yang membedakannya, yakni penghar-
Maha Pencipta, selain menciptakan manusia dan
gaan terhadap intuisi (Sivananda, 2006). Gejala
alam semesta, Tuhan memberikan pula agama
ini berkaitan dengan hakikat manusia, yakni
wahyu. Agama Hindu sebagai agama wahyu,
memiliki kesadaran supra yang memberikannya
terkodifikasi dalam bentuk kitab suci Veda. Veda
kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan
disertai dengan aneka teks tafsir, seperti kitab
secara intuitif yang di dalamnya mencakup olah
Brahmana, Upanisad, Wiracarita, dan lain-lain
rasa dan olah batin (Singh, 2005, 2004; Acarya,
sehingga melahirkan seperangkat ajaran agama
1991). Jadi, dalam rangka mendapatkan
yang bersifat kontekstual (Mittal, 2006;
pengetahuan, filsafat Hindu tidak hanya ber-
Prabhavananda, 2006; Saraswati, 2009; Pandit,
muatan olah pikiran (rasionalisme) dan olah
2005). Agama Hindu sangat kaya akan ide-ide
pengalaman (empirisme) atau memadukan wa-
filsafat, tidak saja tercermin pada ajarannya, te-
dah rasional dan empiris sebagaimana yang
tapi juga pada munculnya aneka aliran filsafat
lazim berlaku pada filsafat Barat, melainkan
dalam Agama Hindu (Pendit, 2007). Berkenaan
meminjam gagasan Knight (2007) memper-
dengan itu tidak mengherankan jika filsafat
hatikan pula intusi yang di dalamnya mencakup
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kesadaran supra, olah rasa dan olah batin. Na-
Agama Hindu.
mun di balik pencarian kebenaran secara falsafati
Walaupun kaya akan filsafat, namun Agama
maka peran Agama Hindu sebagai sumber kebe-
Hindu tidak mengenal istilah filsafat, melainkan
naran tidak bisa diabaikan. Agama Hindu adalah
memakai istilah darshana. Istilah darshana di-
kebenaran yang berdimensi kewahyuan sehingga
samakan dengan filsafat. Kata darshana berarti
kualitasnya bersifat absolut dan tak tercampuri
melihat atau mengalami. Pemaknaan seperti ini
(murni).
memberikan petunjuk, bahwa filsafat dalam
Teks suci Veda dan tafsirnya, tidak saja
konteks Agama Hindu, tidak hanya merupakan
memuat tentang tata kelakuan keagamaan, tetapi
spekulasi metafisika, tetapi didasari pula oleh
memuat pula aneka tata kelakuan sosial. antara
data langsung. Pengalaman langsung adalah
lain tentang pendidikan. Cakupannya sangat luas
sumber darimana pikiran India mengalir, dan ini
dan kompleks sehingga bisa menjawab perma-
diterima sebagai dasar filsafat di India
salahan pendidikan yang lazim dipertanyakan
(Prabhavanda, 2006). Gagasan ini menarik,
dalam filsafat pendidikan. Bertolak dari kenya-
karena menunjukkan kesamaan dengan gagasan
taan ini tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa
Alfred North Whiteheid (dalam Bria, 2008: 23)
Agama Hindu mengenal filsafat pendidikan atau
tentang filsafat yang dianggap memiliki dua
secara lebih spesifik bisa disebut Filsafat
wajah sekaligus, yakni rasional dan empiris. Hu-
Pendidikan Hindu. Adapun gagasan Filsafat
bungan antara keduanya bersifat dinamis, saling
Pendidikan Hindu tentang hakikat pendidikan
menguji, menjelaskan, menjustifikasi, bahkan
(Apa itu pendidikan?) adalah sebagai berikut.
memfalsifikasi. Kata kuncinya adalah kesesuaian
antara kerangka dan materinya. Hal ini harus di-
usahakan oleh filsafat, sehingga darshana tidak Pendidikan adalah dewatanisasi insani
hanya memuat pemikiran spekulasi metafisika, Manusia adalah makhluk pendidikan (homo
tetapi memuat pula pengalaman atau meminjam educadum), sebab berkemampuan mendidik dan
ide Immanuel Kant memadukan antara rasio- dididik (Suhartono, 2006). Begitu pula kelang-
nalisme dan empirisme (Atmadja, 2010; Tjah- sungan hidup manusia baik sebagai sistem
jadi, 2007). organisme maupun kepribadiannya, dan sistem
sosial bentukannya, bergantung pada pendidikan
59 Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Jilid 43, Nomor 7, April 2010, hlm.56 - 65

(Parsons, 195; Much, 2008). Realitas ini disadari manusia daripada binatang perilaku binatang
oleh Agama Hindu, terbukti dari kenyataan, terprogram secara naluriah.
bahwa Agama Hindu banyak mengkaji masalah Namun manusia tidak saja mengenal
pendidikan. Hal ini telah berlangsung sejak awal, pembelajaran aktivitas yang lebih menekankan
terlihat pada ungkapan-ungkapan teks kuno se- pada pemupukan kognisi, tetapi mengenal pula
bagai berikut. pendidikan aktivitas pembentukan watak atau
(1) Sa vidya ya vimuktaye karakter insani (Knight, 2007). Agama Hindu
(Pembelajaran adalah yang membebaskan menyebut pendidikan dengan istilah aguron-
manusia) aguron atau asewakadharma. Pendidikan bisa
(2) Vidya tritiyo netrah
dilakukan di sekolah atau pada zaman Veda
(Pembelajaran seperti mata ketiga)
disebut sakha atau patasala. Pada masyarakat
(3) Vidyayamrihtamashnute
Bali mengenal istilah asrama, pasraman atau
(Pembelajaran membuat manusia abadi)
(4) Na hi jnanen sadrisnham pavitramih katyagan (Titib, 2003; Prabhavananda, 2006).
vidyate Apa pun nama lembaga pendidikan, baik asrama
(Tidak ada yang lebih murni di dunia ini maupun sekolah, pasti memiliki tujuan hakikat
daripada pengetahuan) manusia sebagai makhluk teleologis. Dengan
(5) Vidya balam chandrabalamstathaiva mengacu kepada Suhartono (2006: 80) tujuan
(Mudah-mudahan kekuatan pengetahuan pendidikan adalah ... pendewasaan,
dan kekuatan bulan menganugrahi kamu pencerdasan, dan pematangan diri. Dewasa
sekalian)
dalam perkembangan badan, cerdas dalam hal
(6) Vidya gurunam guruh
perkembangan jiwa, dan matang dalam hal
(Pengetahuan merupakan gurunya guru)
berperilaku.
(7) Kim kim na sadhyati Kalpalateva vidya
(Apa yang tidak dijumpai oleh pembe- Gagasan Suhartono (2006) menarik
lajaran itu? Ia merupakan sebuah tum- dicermati, mengingat bahwa kata pendewasaan
buhan magis atau pohon kebijaksanaan) yang sebagai salah satu dimensi tujuan
(8) Vidya vihinah pashuh pendidikan merupakan turunan dari kata dalam
(Seseorang yang tanpa pembelajaran ada- Bahasa Sanskerta, yakni dewasa (dewa dan sya
lah binatang) (Machwe, 2000: 162-163). yang berarti memiliki sifat sebagai dewa). Titib
Ungkapan-ungkapan ini menunjukkan bah- (2003) menjelaskan makna kata dewasa sebagai
wa Agama Hindu sangat menghargai pentingnya berikut.
pengetahuan bagi kehidupan manusia. Gagasan Bila kita kaji tentang makna pendidikan
ini sangat tepat, terbukti dari adanya kenyataan, mengandung arti mengantarkan seorang anak
bahwa pada era postmodern atau pascakapitalis menuju ke tingkat dewasa atau kedewasaan ....
saat ini, sumber ekonomi dasar tidak lagi alat- maka kata dewasa ini dapat dikaji maknanya
alat produksi, modal, daya alam, dan tenaga dengan kata dewa atau devata, dimaksudkan
seorang itu dalam perilakunya sudah memiliki
kerja, melainkan pengetahuan (Drucker, 1997).
sifat-sifat kedewataan (Daiwisampat), karena
Begitu pula keunggulan negara negara-negara
kata dewasa (dewasya) berasal dari kosa kata
kapitalis global tidak bisa dilepaskan dari ke-
bahasa Sansekerta, yang artinya memiliki sifat
mahakayaan modal (ilmu) pengetahuan yang di- dewa, juga berarti yang bercahaya, tentu
aktualisasikan dalam berbagai produk teknologi diharapkan perilaku anak mengikuti ajaran
canggih. Perolehan pengetahuan didapat melalui ketuhanan atau memancarkan nilai-nilai
pembelajaran. Kemampuan belajar merupakan ketuhanan, tidak sebaliknya dikuasai oleh sifat-
aspek penting bagi eksistensi manusia, tidak sifat keraksasaan (Asurisampat) (Titib, 2003:
hanya karena belajar adalah pintu gerbang bagi 4).
pengetahuan, tetapi juga karena kemampuan Dengan demikian, dilihat dari makna kata
belajar adalah aspek penting yang membedakan dewasa, maka tujuan pendidikan bukanlah men-
Nengah Bawa Atmadja, Dewatanisasi Insani : Pemaknaan Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat 60

jadikan peserta didik agar dewasa dalam arti jauh berbeda daripada gagasan Aristoteles
perkembangan badaniah seperti dikemukakan tentang tujuan hidup manusia, yakni mencari
Suhartono (2006), tetapi lebih mengarah kepada nikmat dan menghindarkan rasa sakit (Magnis-
menjadikan insan berkarakter kedewataan (dai- Suseno, 2010).
wisampat) atau divine human yang sekaligus Pengaktualisasian hasrat atau kama selalu
berarti mencegah kehadiran manusia berkarakter dibayangi oleh sattwa guna tendensi-tendensi
keraksasaan (asurisampat) atau demonic human. benar dan patut dan tamas guna tendensi-ten-
Dengan meminjam pendapat Surakhmad (2009) densi salah dan tidak patut. Bayangan tattwa
gagasan ini jelas bernuansa filosofis, sebab guna dan tamas guna tidak bisa dilenyapkan,
kandungannya tidak sekedar memenuhi hasrat karena keduanya melekat pada tubuh manusia.
ingin tahu tentang hakikat pendidikan, tetapi Akibatnya, dalam memenuhi hasrat manusia se-
memuat pula cita-cita ideal tentang tujuan lalu berpeluang untuk berbuat baik (sattwa guna)
pendidikan mewujudkan divine human. Pendek atau sebaliknya, yakni berbuat kejahatan (tamas
kata, dapat disimpulkan, bahwa pendidikan guna) (Singh, 2004, 2007; Sudharta, 2001, 2009;
dalam perspektif Filsafat Pendidikan Hindu pada Pandit, 2005). Dengan demikian, secara psiko-
hakikatnya adalah proses mendewatakan manu- genetik manusia adalah makhluk berkarakter
sia atau dewatanisasi insani yang sekaligus ber- ganda, yakni kedewataan dan keraksasaan se-
arti mencegah kemunculan insan berkarakter hingga melahirkan divine human dan demonic
raksasa (deraksasani insani). Dengan kata lain human. Manusia selalu berpeluang untuk berbuat
bisa pula dikemukakan, bahwa hakikat pendi- kebajikan (sattwa guna) atau sebaliknya, yakni
dikan menurut pandangan Filsafat Pendidikan berbuat kejahatan (tamas guna) baik dalam
Hindu memiliki wajah ganda, yakni dewatanisasi kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.
insani dan deraksasanisasi atas manusia (mem- Kemana peluang karakter manusia, apakah
basmi sifat-sifat raksana) sehingga melahirkan sattwa guna (divine human) atau tamas guna
insan ideal, yakni divine human atau daiwi- (demonic human), bergantung pada dominasi
sampat, bukan manusia berkarakter raksasa, proporsi masing-masing sebagai satu kesatuan
asurisampati atau demonic human. dalam tubuh manusia (Pendit, 2005).
Kemunculan perbuatan baik atau buruk
Ciri-ciri Divine Human dalam memenuhi hasrat, selain karena keme-
lekatan sattwa guna dan tamas guna pada tubuh
Pemaknaan pendidikan sebagai dewata- manusia, bergantung pula pada pengendalian
nisasi insani atau deraksasanisasi insani guna pikiran (manah) dan kecerdasan (budhi) (Singh,
membentuk daiwisampat atau divine human, 2004, 2007; Sudharta, 2001). Pikiran dan kecer-
bukan manusia asurisampati atau demonic dasan memberikan pertimbangan atas dasar ra-
human, memberikan petunjuk, bahwa Agama sionalitas dan moralitas atau akal sehat dan rasa,
Hindu menggunakan konsep oposisi biner (rwa yakni rasa malu, salah, takut, dan dosa (Atmadja,
bhineda) dalam melihat eksistensi manusia. Ga- 2010). Tubuh dan pancaindra sebagai sumber
gasan ini berkaitan erat dengan pandangan hasrat manusia pabrik hasrat, selalu menuntut
Agama Hindu tentang hakikat manusia, yakni kenikmatan optimal. Akibatnya, terjadi Brata-
secara substansial terdiri dari unsur tubuh, yuddha yang ajeg dalam tubuh manusia, yakni
pancaindra, pikiran (manah), budi (budhi, perang antara partai Korawa, simbol tubuh,
kecerdasan), dan atman (rokh, spriton, kesa- pancaindra dan hasrat berlandaskan tamas guna,
daran) (Singh, 2004, 2007). Kepemilikan tubuh dan partai Pandawa, simbol tubuh, pancaindra,
dan pancaindra memunculkan hasrat atau kama. dan hasrat yang dikendalikan oleh manah dan
Hasrat selalu berkecenderungan untuk menikmati budhi berlandaskan sattwa guna. Jika Korawais-
sesuatu yang menyenangkan. Gagasan ini tidak me (Duryadanaisme), tubuh, pancaindra, dan
61 Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Jilid 43, Nomor 7, April 2010, hlm.56 - 65

hasrat mengalahkan Pandawaisme manah, budhi pascabratayudha, karena Kowara mati secara
dan sattwa guna. Maka muncul tindakan manu- total, maka Pandawa sebagai simbol kebajikan
sia bersifat tamas guna atau keraksasaan. Jika juga mati satu persatu. Mengapa Pandawa
terjadi hal yang sebaliknya, yakni Pandawaisme mati? Sebab, keberadaan Pandawa sebagai sim-
(Yudistiraisme), manah dan budhi mampu me- bol kebajikan tidak bermakna lagi, karena tidak
ngendalikan Korawaisme tubuh, pancaindria has- ada keburukan (Atmadja, 1984). Gagasan seperti
rat, dan tamas guna maka muncullah tindakan ini bisa pula dicermati pada teodise Agustinian
sattwa guna atau kedewataan. yang menyatakan, bahwa ... Kejahatan secara
Gagasan ini menimbulkan implikasi, bahwa aksidental disebabkan oleh kebaikan; atau keja-
pendidikan sebagai dewatanisasi insani secara hatan adalah ketiadaan kebaikan (privatio boni)
ideal diarahkan kepada pembentukkan manusia (Bria, 2008: 52). Bukankah kebaikan pun dapat
berkarakter ideal, yakni: pertama, mampu muncul dari pengalaman akan keburukan, a
mengendalikan dominasi dan hegemoni tubuh, blessing in disguise? (Bria, 2008: 82).
pancaindra dan hasrat atas manah (pikiran) dan Dengan demikian, walaupun Agama Hindu
budhi (kecerdasan). Atau sebaliknya, menjadikan menganut azas oposisi biner, namun meminjam
manah dan budhi sebagai kekuatan dominatif Gunawan (2010), berbeda daripada ide Aristo-
dan hegemonik atas tubuh, pencaindra, dan has- teles yang menganut azas bivalensi yang memuat
rat. Kedua, sattwa guna mengendalikan tamas pemilahan atas dua bagian, di mana manusia ha-
guna. Ketiga, pengikut setia partai Pandawa rus memilih ini atau itu. Ibarat sebuah film
(Pandawaisme, Yudistiraisme) dan mengabaikan coboy, pelaku lakonnya terbagi dua, yakni
partai Korawa (Korawaisme, Duyadanaisme). orang baik dan orang jahat. Sebaliknya,
Keempat, karakter kedewataan mengendalikan Agama Hindu, begitu pula Agama Buddha
karakter keraksasaan atau divine human mengen- menganut azas oposisi biner bukan bivalensi,
dalikan demonic human. Walaupun berpihak melainkan multivalensi yang terkait dengan
pada daya manah dan budhi, sattwa guna, Pan- Logika Samar atau Fuzzy Logic. Multivalensi
dawaisme atau divine human, namun tidak dalam Logika Samar mencoba melihat nuansa-
berarti, bahwa daya tubuh, panca-indra, hasrat, nuansa dalam menangkap kebenaran. Ada orang
tamas guna, Kowaisme atau demonic human, baik tetapi ada cacatnya dan orang jahat tetapi
karena secara substansial tidak bisa dilenyapkan, ada segi baiknya. Tak ada manusia yang sem-
bahkan harus ada dalam konteks kehidupan purna, tetapi selalu ada cacatnya. Kondisi
manusia. bivalensi dalam logika samar menyatu dengan
Unsur-unsur ini tidak bisa dinolkan, tidak sang diri mengikuti rentangan waktu atau sang
saja karena sattwa guna dan tamas guna melekat kala, sehingga tidak mengherankan jika bukan
secara psikogenetik dalam tubuh manusia, tetapi pada hari ini, maka sepanjang hidupnya, baik di
juga karena sesuai dengan hukum rwa bhineda, masa lalu maupun di masa yang akan datang
yakni pemilahan atas dua hal berbeda secara manusia selalu berpeluang untuk berbuat tidak
berlawanan dalam konteks dialektika kebermak- baik (salah) atau sebaliknya berbuat kebajikan.
naan. Misalnya, kebaikan, kebajikan atau dha- Berkenaan dengan itu maka dewatanisasi
rma tidak bisa lepas dari kejahatan, keburukan insani sebagai proses dan tujuan pendidikan,
atau adharma. Mahabrata memberikan peng- arahnya bukan melenyapkan daya tubuh, panca-
gambaran tepat tentang hal ini, yakni partai indra, hasrat, tamas guna, Korawaisme atau
Korawa memang kumpulan orang-orang jahat, demonic human secara total, melainkan mengen-
namun ada pula titik kebaikannya, misalnya dalikannya agar melahirkan manusia yang
kehadran tokoh Bisma. Pandawa memang kum- berpihak pada daya manah, budhi, sattwa guna,
pulan orang-orang baik, namun ada celanya. Pandawaisme atau divine human. Dalam konteks
Bukankah mereka suka berjudi? Begitu pula inilah maka pendidikan sebagai dewatanisasi
Nengah Bawa Atmadja, Dewatanisasi Insani : Pemaknaan Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat 62

insani harus menanamkan berbagai indikator negara atau dharma negara dalam skala nasional
tindakan yang mencerminkan divine human. dan global agar interaksi sosial antarwarga dalam
Kajian terhadap berbagai teks Agama Hindu, lingkup negara dan atau antarnegara berjalan
yakni Veda (Titib, 1996; Bose, 2000; Saraswati, secara berkedamaian.
2009; Mittal, 2006) dan berbagai teks tafsirnya, Namun apa pun bentuk resep divine human,
terlihat misalnya pada karya Tapasyananda maka penanamannya dilakukan pada pikiran
(2008), Pandit (2005), Sudharta (2007, 2009), manusia. Gagasan ini berkaitan dengan filsafat
Sivananda (2005), dan lain-lain, dapat diketahui, Vedanta dan Katha Upanisad tentang hakikat
bahwa banyak tata kelakuan atau resep bertindak manusia yang terdiri dari tubuh dan roh (atman).
yang semestinya ditanamkan guna mewujudkan Tubuh dapat diibaratkan dengan kereta. Rokh
divine human. Misalnya, (1) bhakti kepada Tu- adalah penumpang kereta. Kecerdasan adalah
han; (2) ahimsa (nirkekerasan); (3) cinta kasih kusirnya. Pikiran adalah tali kendali, dan panca-
(Tuhan adalah cinta kasih dan cinta kasih adalah indria adalah kuda-kudanya (lima ekor kuda pe-
Tuhan; (4) tidak sombong; (5) sabar; (6) derma- nanda lima alat indria). Jiwa adalah penikmat
wan atau murah hati; (7) tidak egois; (8) memi- atau penderita, tergantung pada pikiran dan
liki rasa syukur; (9) memiliki rasa terimakasih; indria-indrianya (Singh, 2004, 2007). Gagasan
(10) mampu mengendalikan pikiran, kemarahan, ini memberikan petunjuk, bahwa dewatanisasi
keinginan (indria) dan diri sendiri; (11) meng- insani pada dasarnya adalah menanamkan resep-
anggap setiap manusia sama derajatnya; (12) resep divine human di dalam pikiran manusia.
membuang kebencian dan kekejian; (13) hidup Aneka resep divine human ini tidak sekedar
sederhana secara berkemaknaan; (14) melakukan disimpan dalam pikiran berfungsi sebagai peta
kebaikan termasuk di dalamnya rela berkorban kognisi, tetapi sekaligus juga mengendalikan
untuk kesejahteraan orang lain; (15) mem- pikiran (aspek evaluatif). Gagasan ini sangat
berikan pengampunan; dan (16) percaya pada penting mengingat pendapat Sivananda (2005)
diri sendiri, dll. Pendek kata, Agama Hindu sebagai berikut.
menye-diakan tata kelakuan atau resep bertindak Ketika anda sudah berhasil mengendalikan
yang amat kaya guna mewujudkan divine human pikiran, maka anda akan memiliki kendali atas
melalui dewatanisasi insani. Secara umum hal ini tubuh anda. Tubuh hanyalah bayangan dari
pikiran. Ia hanyalah konstruksi yang dibuat
bisa disebut resep divine human atau resep
oleh pikiran untuk mengekspresikan dirinya.
daiwisampat.
Tubuh akan menjadi budak anda ketika anda
Orang Hindu tidak saja sebagai orang yang
sudah berhasil menaklukkan pikiran (Siva-
memiliki Agama Hindu, tetapi juga sebagai nanda, 2005: 28).
warga negara dan masyarakat. Negara dan mas- Sebagaimana terlihat pada perumpamaan di
yarakat memiliki tata aturan, yakni dharma atas, yakni pikiran adalah tali kendali kuda (pan-
negara. Sedangkan Agama Hindu disebut dhar- caindria) yang menarik kereta (tubuh), dan kusir
ma negara. Orang Hindu sebagai warga masya- (kecerdasan) adalah pemegang tali kendali, maka
rakat dan negara merupakan pula warga implikasinya, sejauh mana pikiran mampu
masyarakat dunia. Apalagi pada era globalisasi mengendalikan tubuh dan pancaindria, bergan-
secara disadari maupun tidak, manusia berada tung pula pada kusir (kecerdasan). Berkenaan
pada lingkungan kampung global (Atmadja, dengan itu maka pendidikan sebagai dewata-
2010). Kondisi ini menimbulkan implikasi, nisasi insani tidak cukup hanya menanamkan
bahwa pendidikan sebagai dewatanisasi dalam resep-resep divine human dalam pikiran, melain-
konteks mewujudkan divine human, tidak cukup kan membutuhkan pula peningkatkan kecer-
hanya menginternalisasikan ajaran Agama Hindu dasan. Dalam konteks inilah teori-teori kecer-
(dharma agama), melainkan wajib pula meng- dasan, yang mencakup kecerdasan emosional,
internalisasikan tata aturan masyarakat dan intelektual, spiritual, dan sosial (Efendi, 2005)
63 Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Jilid 43, Nomor 7, April 2010, hlm.56 - 65

tidak bisa diabaikan guna mewujudkan divine pikiran sehingga peluang manusia untuk berbuat
human. Pencermatan terhadap resep-resep divine buruk selalu terbuka. Gagasan ini menimbulkan
human seperti dikemukakan di atas hanya implikasi, bahwa pendidikan sebagai proses
contoh kecil tentu bisa digali lebih dalam lagi mendewasakan (dewasanisasi) atau mendewa-
pada teks Agama Hindu, bisa berfungsi ganda, takan manusia (dewatanisasi) tidak berhenti ha-
yakni menambah daya pikir dan kecerdasan. nya pada saat manusia mencapai taraf kedewa-
Agama Hindu amat kaya akan resep dinine saan biologis, melainkan berlangsung sepanjang
human tidak kalah pentingnya daripada agama hayat. Selain keewasaan secara biologis, manusia
yang lain maupun teori-teori sosial budaya. menuntut pula kendewasaan secara sosiobudaya
Aneka resep divine human yang ditanam- yang berlangsung sepanjang hayat. Usaha mewu-
kan, baik dalam pikiran maupun pembentukkan judkan kedewasaan secara sosiobudaya tidak
kecerdasan, kebermaknaannya terlihat dalam mudah, baik karena faktor psikogenetik manu-
perubahan pada peta kognisi yang berlajut ke sia memiliki tubuh, pancaindria, hasrat, dan
praksis berbentuk tindakan dan ucapan bercorak tamas guna maupun karena pengaruh lingkungan
divine human. Divine human tidak saja menuntut sehingga sepanjang perjalanan hidupnya, ma-
perubahan pada pikiran kaya aspek kogintif nusia selalu berpeluang untuk berbuat kejahatan.
dan evaluatif, melainkan menuntut pula kon- Berkenaan dengan itu maka gagasan UNESCO
sistensi pada ucapan dan tindakan atau Tri Kaya bahwa manusia harus melaksanakan pendidikan
Parisudha - pikiran (manacika), ucapan (wa- permanen, yakni menciptakan masyarakat di
cika) dan (kayika) membentuk suatu kesatuan. mana setiap orang belajar tanpa dibatasi oleh
Namun kunci utamanya, tetapi terletak pada pi- waktu, sangatlah tepat. Perubahan sosial dan
kiran, karena pikiran sebagai gudang ide ber- budaya mengharuskan manusia, baik yang belum
wujud aspek kognisi dan evaluatif adalah dewasa maupun yang sudah dewasa untuk secara
rajendra, yakni raja yang berkuasa mengen- terus-menerus mendewasakan pikirannya (Finger
dalikan alat indra, tubuh dan hasrat. Jika manusia dan Asun, 2004). Gagasan ini sangat cocok
berhasil mengendalikan pikiran dengan meng- dengan Filsafat Pendidikan Hindu yang melihat,
gunakan idea yang ada di dalam pikirannya, baik bahwa manusia adalah multivalensi yang terkait
sebagai peta kognisi maupun aspek evaluatif dengan logika samar, sehingga tidak ada manusia
yang berlanjut pada penguasaan atas alat indria, yang murni baik atau sebaliknya, yakni murni
tubuh dan hasrat, maka peluang bagi kemunculan jahat. Berkenaan dengan itu maka dewatanisasi
divine human sangat besar. Berkenaan dengan itu tidak saja menjadi suatu keharusan bagi manusia,
maka gagasan Finger dan Asun (2004) bahwa tetapi juga berlangsung sepanjang hayat. Jika
pendidikan adalah perubahan pikir sebagai iden- dewatanisasi berhenti, maka hasrat yang menyatu
tik dengan proses pengembangan dewasa ber- dengan virus tamas guna bisa memunculkan
makna memiliki karakter dewa, sama dengan penyakit, yakni perilaku menyimpang pada
gagasan Filsafat Pendidikan Hindu tentang pen- sistem sosial yang paling hebat apa yang oleh
didikan sebagai dewatanisasi insani proses Whitehead (dalam Bria, 2008) disebut kejahatan
menjadikan manusia sebagai makhluk berka- moral.
rakter dewa atau deraksasanisasi insani proses
menjadikan manusia agar menanggalkan karakter PENUTUP
keraksasaan.
Gagasan Agama Hindu tentang kema- Berdasarkan paparan di atas dapat disim-
nunggalan tubuh dengan sattwa gana dan tamas pulkan, bahwa Agama Hindu memiliki Filsafat
guna, begitu pula manusia adalah pabrik hasrat Pendidikan Hindu yang bersumberkan pada Veda
dan pikiran acap kali gagal mengendalikannya, dan teks tafsirnya, dikombinasikan dengan
bahkan hasrat (tubuh, pancaindria) menguasai rasionalisme, empirisme dan intuisi sehingga
Nengah Bawa Atmadja, Dewatanisasi Insani : Pemaknaan Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat 64

kebenaran yang didapat juga bersifat metafisik. memuat ajaran yang rinci tentang resep-resep
Topik-topik yang lazim dikaji dalam filsafat divine human sebagaimana terlihat pada kitab
pendidikan ada di dalam Agama Hindu, di anta- suci Veda dan teks-teks tafsinya. Penanaman
ranya adalah pendidikan. Agama Hindu mengga- resep-resep divine human amat penting, tidak
riskan, bahwa hakikat adalah proses untuk semata-mata berguna bagi pengendalian pikiran,
mewujudkan manusia berkarakter kedewataan, tetapi berlanjut pula pada penguatan kecerdasan
daiwisampat, divine human atau Pandawaisme. yang berujung pada pengendalian tubuh dan
Sebaliknya, mencegah timbulnya manusia yang pancaindria. Jika pikiran dan kecerdasan kaya
berkarakter keraksasaan, asurisampat, demonic akan resep-resep divine human, maka tubuh dan
human atau Korawaisme. Berkenaan dengan itu pancaindria akan terkendalikan sehingga tercapai
maka hakikat, proses, dan tujuan pendidikan human divine, tidak saja dalam pikiran, tetapi
dalam perspektif Filsafat Pendidikan Hindu bisa juga pada ucapan dan tindakan. Manusia secara
disebut sebagai dewatanisasi insani atau derak- psikogenetik dan sosiobudaya selalu berpeluang
sasanisasi insani. untuk berbuat jahat. Karena itu, dewatanisasi
Pencapaian sasaran dewatanisasi insani harus berlangsung sepanjang hayat dikandung
dilakukan dengan cara menanamkan resep-resep badan.
divine human di dalam pikiran dan kecerdasan
peserta didik. Dalam konteks ini Agama Hindu

DAFTAR RUJUKAN
Alwasilah, A.C. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Culler, J. 2003. Barthers. (Ruslani Penerjemah). Yogya-
Bandung: PT Remaja Rosdakarya. karta: Jendela.
Anandamurti, S.S. 2008. Pengetahuan Spritual di dalam Djumransjah. H.M. 2006. Filsafat Pendidikan. Malang:
Kitab Weda. (AC Vibhakarananda Avt Pener- Banyumedia Publishing.
jemah). Denpasar: Ananda Marga Indonesia. Drucker, P.F. 1997. Masyarakat Pasca Kapitalis. (Tom
Atmadja, N.B. Wiracarita Ajaran Agama Hindu. Gunadi Penerjemah). Bandung: Angkasa.
Singaraja: Akademi Pendidikan Agama Hindu Efendi, A. 2003. Revolusi Kecerdasan Abad 21 Kritik
Singaraja. MI, EI, SQ dan Successful Inteligence atas IQ.
Atmadja, N.B. 2008. Buku Ajar Filsafat Ilmu Bandung: Alfabeta.
Pengetahuan Jilid I. Singaraja: Program Pasca- Finger, M. dan J.M. Asun. 2004. Quo Vadis Pendidikan
sarjana Universitas Pendidikan Ganesha Orang Dewasa. (Nining Patikasari Penerjemah).
(Undiksha). Yogyakarta: Pustaka Kendi.
Atmadja, N.B. 2010. Ajeg Bali Pergerakan, Identitas Fudyatanta, Ki. 2006. Filsafat Pendidikan Barat dan
Kultural dan Globalisasi. Yogyakarta: KLiS. Filsafat Pendidikan Pancasila Wawasan Secara
Barker, C. 2004. Cultural Studies Teori dan Praktik. Sistematik. Yogyakarta: Amus.
(Nurhadi Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Gunawan M. I. 2010. Aristoteles dan Buddha. Harian
Wacana. Kompas, Selasa, 29 Juni 2010. Halaman 6.
Barthers, R. 2007. Petualangan Semiologi. (S.A Hoed, B.H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Bu-
Herwinarto Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka daya. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Ba-
Pelajar. hasa, UI Depok.
Bria, E. 2008. Jika Ada Tuhan Mengapa Ada Kejahatan Keraf, A.S. dan M. Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan Se-
Percikan Filsafat Whitehead. Yogyakarta: buah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.
Kanisius. Knight, G.R. 2007. Filsafat Pendidikan. (Mahmud Arif
Bose, A.C. 2000. Panggilan Veda. (I Wayan Maswinara Penerjemah). Yogyakarta: Gama Media.
Penerjemah). Surabaya: Paramita.
65 Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Jilid 43, Nomor 7, April 2010, hlm.56 - 65

Jalaluddin, H. dan A. Idi. 2001. Filsafat Pendidikan Saraswati, S.C. 2009. Peta Jalan Veda. (Hira Gindwani
Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Yogyakarta: dan Ni Putu Anggia Jenny Penerjemah). Den-
Ar-Ruzz Media Group. pasar: Media Hindu.
Magnis-Suseno, F. 2009. Menjadi Manusia Belajar dari Singh, T.D. 2004. Seri Vedanta dan Sains Kehidupan
Aristoteles. Yogyakarta: Kanisisu. dan Asal Mula Jagat Raya. (Tim Penerjemah).
Pandit, B. 2005. Pemikiran Hindu Pokok-pokok Pikiran Bali:Yayasan Institut Bhaktivedanta Indonesia.
Agama Hindu dan Filsafatnya. (IGA Dewi Singh, T.D. 2007. Kehidupan dan Evolusi Spiritual.
Paramita Penerjemah). Surabaya: Paramita. (Made Wardhana Penerjemah). Bali: Yayasan
Parsons, T. 1951. The Social System. Glencoe, III: Free Institut Bhaktivedanta Indonesia.
Press. Sivananda, S.S. 2005. Pikiran Misteri dan Penak-
Pendit, N.S. 2005. Vedanta Percik-percik Renungan lukannya. Surabaya: Paramita.
Swami Vivekananda Permata Warisan Filsafat Sivananda, S.S. Penebar Ceritra Kebajikan. (I Made
dan Etos Kerja Modern. Denpasar: Penerbit Bali Aripta Wibawa Penerjemah). Surabaya: Para-
Post. mita.
Pendit, N.S. 2007. Filsafat Hindu Dharma Sad-Darsana Sudharta, T.R. 2000. Sarassamuccaya Smerti Nusantara
Enam Aliran Astika (Ortodok). Denpasar: Bali (Berisi Kamus Jawa Kuno-Indonesia). Surabaya:
Post. Paramita.
Prabhananda, S. 2006. Agama Veda dan Filsafat. (I Sudharta, T.R. 2001. Ajaran Moral dalam Bhagawad
Nyoman Ananda Penerjemah). Surabaya: Gita. Surabaya: Paramita.
Paramita. Suhatono, S. 2006. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-
Machwe, P. 2000. Kontribusi Hindu terhadap Ilmu Ruzz.
Pengetahuan dan Peradaban. (Ida Bagus Putu Surakhmad, W. 2009. Pendidikan Nasional Strategi dan
Suamba Penerjemah). Denpasar: Widya Dharma. Strategi. Jakarta: Kompas.
Mittal, M. 2006. Pesan Tuhan untuk Kesejahteraan Tapasyananda, S. 2008. Filosofis dan Keagamaan
Umat Manusia Intisari Veda. (I Wayan Punia Swami Vivekananda. (IGA Dewi Paramita Pener-
Penerjemah). Jakarta: Paramita. jemah). Surabaya: Paramita.
Much, R. 2008. Teori Parsonian Dewasa Ini: Sebuah Tjahjadi, S.P.L. 2007. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan
Pencarian Sintesis Baru. Dalam A. Giddens dan dari Descartes sampai Withehead. Yogyakarta:
J. Turner ed., Social Theory Today Panduan Kanisius.
Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan Teori Tapasyananda, S. 2008. Wejangan Filosofis dan
Sosial. (Yudi Santoso Penerjemah). Yogyakarta: Keagamaan Swami Vivekananda. (IGA Dewi
Pustaka Pelajar. Paramita Penerjemah). Surabaya: Paramita.
Ricoeur, P. 2002. The Interpretation Theory Filsafat Titib, I M. 1996. Weda Sabda Suci Pedoman Praktis
Wacana Membelah Makna dalam Anatomi Ba- Kehidupan. Surabaya: Paramita.
hasa. (M. Hery Penerjemah). Yogyakarta:
Titib, I M. 2003. Menumbuhkembangkan Pendidikan
IRCiSoD.
Budhi Pekerti pada Anak (Perspektif Agama
Ricouer, P. 2006. Hermeneutika Ilmu Sosial. (M. Syukri Hindu). Bandung: Gabesa Exact.
Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wavana.
Woodhouse, M.B. 2000. Berfilsafat sebuah Langkah
Ritzer, G. 2003. Teori Sosial Postmodern. (M. Taufik Awal. (A.N. Permata dan P. H. Hadi
Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Penerjemah). Yogyakarta: Kanisius.
Sadullah, U. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Zimmer, H. 2003. Sejarah Filsafat India. (Agung
Bandung: CV Alfabeta. Prihantoro Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai