PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, makalah ini bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian filsafat tersebut.
2. Untuk mengetahui apa saja cabang-cabang filsafat.
3. Untuk mengetahui apa saja aliran-aliran dalam filsafat.
1.4 Manfaat
Manfaat yang didapat dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bahan masukan bagi pembaca untuk menambah pengetahuan tentang
pengertian filsafat tersebut.
2. Dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi masyarakat untuk bisa mengetahui
cabang-cabang filsafat dan aliran-aliran dalam filsafat.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.2.JUSTIFIKASI
Justifikasi merupakan salah satu cabang dari epistemologi yang mencoba
memahami mengapa suatu pernyataan atau keyakinan itu dinyatakan
benar. Sebenarnya ada banyak hal yang dapat dibenarkan: keyakinan, tindakan, emosi,
klaim, hukum, teori dan sebagainya. Epistemologi berfokus pada keyakinan.[1] Ketika
seseorang mengklaim akan sesuatu hal, baik itu pernyataan atau keyakinan, dan
akhirnya ada orang lain yang meragukannya, langkah berikut yang akan dibuat oleh
orang yang meng-klaim itu adalah dengan memberikan bukti-bukti, argumen-argumen,
atau alasan-alasan yang menunjukkan bahwa klaim, atau keyakinannya itu benar.
Justifikasi mempelajari akan alasan-alasan , atan penjelasan-penjelasan ini sehingga
suatu pernyataan atau keyakinan itu dinyatakan benar. Jadi pembenaran yang
dimaksudkan di sini adalah alasan mengapa seseorang yang dengan keyakinan disebut
benar, mengapa keyakinan adalah benar, atau penjelasan tentang bagaimana seseorang
tahu apa yang ia tahu.
Dalam Kamus Filsafat Justifikasi diartikan:
1. Pembelaan, atau apa yang diberikan sebagai dasar yang cukup untuk satu
pernyataan (klaim, kesimpulan) atau untuk suatu tingkah laku.
2. Bukti logis. Dalam logika, istilah itu menunjuk pada prosedur yang diterapkan pada
premis-premis satu argumen yang menunjukkan bukti untuk kesimpulan.
Dalam perkembangannya, teori justifikasi terpecah ke dalam tiga aliran, yakni
foundasionalisme, koherentisme dan reliabilisme. Kali ini kelompok akan
memfokuskan pembahasan pada aliran reliabilisme dengan mengangkat Alvin Ira
Goldman sebagai tokohnya.
2.3.Proses Reliabilisme
Alvin Ira Goldman (1938) mengembangkan teori reliabilisme dengan
pertanyaan sentral yakni Apakah keyakinan yang dapat dibenarkan itu? Goldman
mulai menganalisa kebenaran dari suatu keyakinan dalam hubungan dengan proses
pembentukan keyakinan itu sendiri. Suatu keyakinan dapat disebut benar jika proses
terjadinya keyakinan itu dapat dibenarkan oleh ratio, dalam arti dapat dimengerti oleh
akal sehat. Goldman menulis dalam uraiannya mengenai reliabilisme[2], The theory
focused on thetruth-ratios of the process types used in belief formation, and generally
goes by the name process reliabilism. In its simplest form, it says that a beliefs
justificational status hinges on the psychological processes that produce it, e.g.,
perception,memory, introspection, or various inference patterns. Terjemahannya
kurang lebih demikian: Teori ini terfokus pada kebenaran menurut ratio dari tipe-tipe
proses yang digunakan dalam pembentukan keyakinan, dan secara umum dikenal
dengan nama proses reliabilisme. Dalam bentuknya yang paling sederhana, porses itu
mengatakan bahwa status dapat dibenarkan dari suatu keyakian bergantung pada
proses psikologis yang menghasilkan keyakinan itu, misalnya melalui persepsi,
ingatan, introspeksi atau macam-macam pola penyimpulan. Keyakinan seseorang yang
terbentuk melalui proses psikologis tertentu memberi bobot benar dalam arti dapat
dipercaya pada keyakinan itu sendiri. Proses psikologis merupakan hal yang dapat
dimengerti oleh akal sehat, karena setiap proses psikologis setidaknya sudah
mendapatkan penjelasannya dalam teori-teori pada ilmu psikologi. Pada intinya, proses
reliabilisme ini merupakan kegiatan membuat suatu keyakinan itu disebut benar dalam
arti dapat dipercaya.
Pendekatan reliabilisme ini didukung oleh adanya contoh, bukti dan fakta.
Reliabilisme berlawanan dengan teori tradisional yang sifatnya menyejarah seperti
foundasionalisme dan koherentisme. Foundasionalisme dan koherentisme merupakan
teori yang bertahan demikian, sedangkan reliabilisme itu terus berkembang. Sifat terus
berkembang dari reliabilisme dikarenakan oleh perkembangan intelektual manusia.
Perkembangan intelektual manusia mengakibatkan kriteria kepercayaan manusia atas
kebenaran suatu hal yang terus berubah. Ada hal yang dulunya begitu mudah dipercayai
sehingga disebut benar, tetapi sekarang hal itu sudah tidak mudah dipercayai karena
tingkat pengetahuan manusia sudah berkembang. Makanya, kebenaran dari suatu
keyakinan seperti sudah dikatakan di atas ditentukan dari proses yang dapat diterima
oleh akal sehat. Sesuai dengan teori reliabilisme, mental historis dari sebuah
keyakinanlah yang menetapkan status dibenarkan dari keyakinan itu.
Dalam mencari kebenaran dari suatu keyakinan, proses yang ditempuh haruslah
benar dalam arti dapat dipercaya. Proses yang dapat dipercaya itu haruslah tidak
membingungkan, bebas dari pikiran subjektif, bukan generalisasi yang semu, tidak pilih
kasih, juga tidak merupakan dugaan atau perkiraan. Proses yang demikianlah yang
dikatakan sebagai proses yang sesuai dengan truth-ratio[3].
Dapat dikatakan juga bahwa suatu proses yang dapat dipercaya haruslah
memiliki hal-hal berikut. [4]
1. Evidensi
Evidensi adalah cara bagaimana ada atau kenyataan hadir bagi saya atau
perwujudan dari ada bagi akal. Konsekuensi dari pengertian itu adalah bahwa evidensi
sangatlah bervariasi. Akibat lebih lanjut adalah persetujuan yang dijamin oleh
kehadiran ada yang bervariasi ini juga akan bervariasi pula. Seorang positivis mungkin
menyatakan pengandaian bahwa masa depan adalah mirip dengan masa lampau. Namun
evidensi yang menjamin kepastiannya bukanlah kepastian yang sedemikian rupa
sehingga kejadian sebaliknya tidak terbayangkan.
2. Kepastian
Kepastian dasar ini memuat kebenaran dasar atau disebut sebagai kebenaran-
kebenaran primer. Prinsip pertama adalah suatu kepastian dasar yang mengungkapkan
eksistensi subjek. Subjek yang mengetahui tidak mesti identik dengan kegiatannya,
ada perbedaan subjek dan aktivitasnya. Adanya kesadaran akan mandirinya subjek dan
manunggalnya dengan aktivitasnya adalah penting, sebab ada beberapa aliran yang
mengatakan bahwa pakarti adalah bundle of actions, aliran ini memposisikan pakarti
merupakan aksidensi dan bukan substansi.
Kepastian dasar ini tidak saja merupakan jawaban yang mendasar terhadap berbagai
macam sikap dan ajaran seperti Skeptisisme dan Relativisme, tetapi karena kepastian
dasar merupakan dasarnya segala kepastian.
Kepastian ialah persetujuan akal yang dijamin oleh evidensi memadai.
3. Keraguan (penundaan pendapat)
Keraguan ialah sikap yang mempertanyakan kepastian mengenai kebenaran.
Ada dua bentuk aliran yang mempertanyakan kepastian mengenai adanya kebenaran.
Keduanya dapat dianggap sebagai aliran yang memasalahkan, meragukan, dan
mempertanyakan kebenaran dan adanya kebenaran.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pemikiran Goldman ialah mengenai proses
membenarkan suatu keyakinan. Keyakinan itu dibenarkan melalui proses
pembentukannya. Proses yang benar harus dapat dimengerti oleh akal sehat. Proses itu
ialah proses psikologis tertentu dan proses penyimpulan.
2.5.JUSTIFIKASI AGAMA
Yang menarik adalah bahwa justifikasi dibutuhkan oleh manusia, karena dia
mengandaikan adanya suatu standar tertentu. Kita bertanya tentang boleh-tidaknya
melakukan tindakan tertentu karena sebetulnya di luar sana kita mengandaikan adanya
semacam plafon moral tertentu yang menjadi semacam standar. Biasanya seseorang
melakukan penalaran berdasarkan standar-standar itu.
Salah satu ciri khas manusia yang sangat menarik adalah adanya kecenderungan
untuk memberikan justifikasi kepada sebagian besar tindakan yang ia lakukan. Tentu
kecenderungan semacam ini tidak seluruhnya bersifat eksplisit. Biasanya kenderungan
ini akan muncul pada saat orang yang bersangkutan berhadapan dengan (meminjam
istilah yang sering dipakai dalam filsafat eksistensialisme) situasi batas.
Pada umumnya, orang bertindak setiap hari tanpa mempersoalkan apakah yang
ia lakukan justifiable atau tidak. Pertanyaan soal justifikasi biasanya tidak muncul
dalam konteks tindakan rutin sehari-hari. Misalnya, seorang guru sekolah melakukan
kegiatan rutin setiap hari: berangat pagi-pagi ke sekolah, mengajar, menyelesaikan
tugas-tugas pendidikan yang lain, sore pulang ke rumah, berlibur dengan keluarga pada
akhir minggu, dsb. Pak Guru melakukan semua kegiatan rutin itu secara alamiah saja
tanpa mempersoalkan justifikasi untuk tindakan-tindakan tersebut.
Tetapi, pertanyaan tentang justifikasi akan muncul saat kita berhadapan dengan
situasi tak normal. Dalam kasus Pak Guru tadi, pertanyaan tentang justifikasi baru
muncul manakala dia berada pada situasi yang tak lazim. Andaikan saja, dia
menghadapi situasi berikut ini. Ada dua murid yang ingin mendaftar di sekolah tempat
ia mengajar. Murid pertama sangat pintar tetapi datang dari keluarga miskin. Murid
kedua pas-pasan dari segi kecerdasan, tetapi berasal dari keluarga kaya. Keluarga murid
yang kedua menjanjikan untuk memberikan bantuan yang cukup besar untuk
memperbaiki fasilitas di sekolah tersebut, dengan anak mereka diterima di sekolah
tersebut. Sementara itu, Pak Guru, karena satu dan lain hal, tak bisa menerima kedua
murid itu sekaligus.
Ini hanya situasi artifisial yang saya andaikan saja sekedar untuk memberi
gambaran tentang situasi batas yang kadang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam situasi semacam ini, Pak Guru berhadapan dengan sebuah dilema. Untuk
memutuskan menerima entah murid pertama atau kedua, dia membutuhkan justifikasi
yang masuk akal, agar dia bertindak dengan tenang dan tak terganggu oleh nuraninya.
Justifikasi biasanya dicapai melalui sebuah proses yang saya sebut reasoning
atau penalaran. Dalam kehidupan sehari-hari, kita terus-menerus berhadapan dengan
situasi-situasi baru yang kerap membutuhkan penalaran untuk mencapai justifikasi
tertentu. Ini berlaku baik pada level kehidupan pribadi atau sosial.
Yang menarik adalah bahwa justifikasi dibutuhkan oleh manusia, karena dia
mengandaikan adanya suatu standar tertentu. Kita bertanya tentang boleh-tidaknya
melakukan tindakan tertentu karena sebetulnya di luar sana kita mengandaikan adanya
semacam plafon moral tertentu yang menjadi semacam standar. Biasanya seseorang
melakukan penalaran berdasarkan standar-standar itu.
Misalnya, kita mengandaikan bahwa norma keadilan adalah standar yang
mengatur semua tindakan manusia. Atau seorang Muslim beranggapan bahwa hukum-
hukum yang ada dalam Alquran dan Hadis adalah norma dasar yang menjadi landasan
mereka untuk bertindak secara moral. Penalaran biasanya kita lakukan berdasarkan
norma-norma semacam itu. Melalui penalaran itu, kita sampai pada suatu kesimpulan
bahwa tindakan tertentu memenuhi standar norma tertentu, dan karena itu justifiable .
Ada dua jenis justifikasi. Pertama adalah justifikasi tradisional, dan kedua
justifikasi 1rasional. Yang pertama adalah justifikasi yang diperoleh dengan bersandar
pada 2sebuah otoritas tradisi tertentu, entah dalam bentuk kitab suci, adat, kebiasaan
sosial, dsb. Yang kedua adalah justifikasi yang dicapai berdasarkan proses individual
dengan memakai rasio kita sendiri.
Secara empiris, jarang sekali seseorang semata-mata memakai satu model
justifikasi. Yang terjadi pada umumnya adalah seseorang memakai penalaran
berdasarkan norma tradisional dan norma yang bersifat rasional secara serentak.
1
2
Dengan kata lain, baik justifikasi tradisional dan rasional berlangsung secara simultan
dalam proses yang sifatnya dialektis.3
Justifikasi tradisional biasanya cenderung bersifat sosial, sementara justifikasi
rasional bersifat individual. Tetapi, saya harus memberikan caveat di sini. Meskipun
justifikasi rasional bersifat individual, secara empiris tidak lah demikian keadaanya.
Apa yang kita sebut sebagai rasio pada dasarnya bukan sebuah wujud yang terisolasi
dari proses sosial di luar dirinya. Rasio juga terbentuk dan dibatasi oleh keadaan-
keadaan dalam masyarakat. Dengan demikian, saat seseorang melakukan penalaran
rasional, dia bukanlah seorang individu yang secara otonom bekerja dengan rasionya,
karena pada momen yang sama masyarakat juga bekerja dalam dirinya.
Di atas semua itu, sebuah justifikasi pada akhirnya bekerja dalam konteks
tertentu. Justifikasi dibatasi oleh horison sosial dan individual sekaligus. Tentu batas di
situ bukan sesuatu yang bersifat statis. Batas terus bergerak, dan bersamaan dengan itu
justifikasi bergerak pula.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
1. Diharapkan agar masyarakat dapat memahami maksud dari makalah ini dan bisa
menambah pengetahuan tentang pengertian filsafat.
2. Diharapkan masyarakat dapat mengetahui apa saja cabang-cabang filsafat dan
aliran-aliran filsafat itu.
DAFTAR PUSTAKA
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1999