LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama Pasien : Tn. S
Umur : 71 tahun
Jenis Kelamin : Laki-lai
Alamat : Dusun Pilangkacir Probolinggo
Pekerjaan : Petani
Status Perkawinan: Sudah Menikah
Agama : Islam
Suku : Madura
No. Rekam Medik: 215345
Ruangan : Bougenvile Kelas III Perempuan
Tanggal Masuk RS: 21-08-2017
B. Subjektif
1. Keluhan Utama
Susah kencing
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatakan sebelumnya datang ke Poli Bedah Umum
dengan keluhan susah kencing. Susah kencing dirrasakan pasien sejak 2
bulan ini. Kencing keluar sedikit-sedikit dan menetes. Pasien perlu
mengejan saat mengeluarkan kencing. Kadang disertai rasa nyeri dan rasa
terbakar saat mengeluarkan kencing Namun, pasien menyangkal kencing
disertai darah dan/atau pasir . Pasien merasa kencing menjadi lebih sering
karena merasa tidak tuntas atau tidak puas dan setelah kencing merasa ada
sisa kencing yang tidak dapat keluar. Buang air besar lancar dan tidak ada
keluhan. Pasien juga tidak mengeluh nyeri saat buang air besar, serta tidak
mengeluarkan darah saat buang air besar. Sejak dua minggu sebelum
memeriksakan diri keluhan dirasakan sering terjadi / hampir setiap hari
dengan durasi nyeri yang lebih lama hingga akhirnya pasien
memeriksakan diri ke RS. Pasien tidak merasakan demam, tidak mual dan
tidak muntah.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Diabetes Melitus (-)
b. Hipertensi (-)
1
c. Asma (-)
d. Riwayat operasi Hernia Inguinal Medialis tahun 5 tahun lalu
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Diabetes Melitus (-)
b. Hipertensi (-)
c. Asma (-)
d. Riwayat Terapi
1) Pasien berobat untuk ganti kateter setiap 2 minggu
2) Pasien meminum obat untuk keluhan prostatnya namun lupa nama
obat
5. Riwayat Alergi
a. Makanan (-)
b. Obat (-)
6. Riwayat Kebiasaan
a. Pasien mengaku jarang minum
b. Merokok (+)
c. Konsumsi jamu-jamuan (+)
d. Konsumsi minuman berenergi (-)
C. Objektif
1. Pemeriksaan Fisik
a. Status generalis
1) Keadaan umum : tampak sakit sedang
2) Kesadaran : compos mentis
3) Status gizi : gizi cukup
4) Tanda vital
a) Tensi : 130/80 mmHg
b) Nadi : 86 x/menit
c) RR : 20 x/menit
d) Suhu : 36,5o C
5) Kepala : normochepal
6) Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
7) THT : otorea (-), rinorea (-), epistaksis (-)
8) Leher : pembesaran KGB (-)
9) Paru :
a) Inspeksi : simetris (+)
b) Palpasi : krepitasi (-)
c) Perkusi : sonor (+/+)
d) Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki ( -/-), wheezing ( -/-)
10) Jantung : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
11) Abdomen :
a) Inspeksi : datar
b) Auskultasi : bising usus dalam batas normal
c) Palpasi : supel, nyeri tekan regio suprapubis
d) Perkusi : timpani (+)
12) Ekstremitas : tidak ditemukan kelainan
2
13) Rectal Touche :
a) Kelainan kulit disekitar anus: tidak ditemukan
b) Tonus spincter ani: mencengkram kuat
c) Mukosa rektum: licin
d) Ampula recti: kesan normal
e) Prostat: teraba massa arah jam 12, puncak prostat tidak dapat
dicapai, ukuran yang dapat dicapai panjang 4 cm dan lebar
1,5 cm konsistensi padat kenyal, batas tegas, permukaan rata
dan licin serta tidak berdungkul-dungkul, nyeri tekan (-),
palpasi bimanual tidak teraba batu pada buli-buli.
f) Sarung tangan: lendir (+),darah (-), feses (-)
b. Status urologis
1) Regio Flank D/S
a) Inspeksi : bentuk pinggang simetris, benjolan (-)
b) Palpasi : bimanual ballotement ginjal (-/-)
c) Perkusi : flank test (-/-)
2) Regio suprapubik
a) Inpeksi : tonjolan suprapubik (-), sikatriks (-), rambut (-)
b) Palpasi : nyeri tekan (+), nyeri lepas tekan (-), massa (-)
c) Perkusi : timpani
d) Auskultasi : bising usus (+) normal
3) Regio Genetalia Eksterna
a) Inspeksi : OUE normal, DC (+), tanda radang (-)
b) Palpasi : testis teraba kanan dan kiri kenyal, nyeri tekan (-)
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 1.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 07 Juni 2017.
3
HIV Test
4
Gambar 1.4. Hasil USG Abdomen Atas dan Bawah.
Interpretasi:
Hepar : dalam batas normal
Gall Bladder : dalam batas normal
Lien : dalam batas normal
Pankreas : dalam batas normal
Ren D : dalam batas normal
Ren S : dalam batas normal
Buli-buli : dinding baik, tidak ada batu/massa
Prostat : membesar volume 86 ml
Kesimpulan :
Organ solid intra abdomen normal
BPH volume 86 gr
c. Skoring IPSS (International Prostate Symptom Score)
Tabel 1.2. Hasil Skoring IPSS.
Interpretasi:
Hasil penjumlahan skor IPSS adalah 30 dan masuk dalam kriteria
gejala berat.
D. Assesment
Benign Prostatic Hyperplasia
5
E. Planning
1. Pre Operatif
a) Inform Concent
b) Puasa 8 jam
c) Pemberian cairan
d) Pemberian antibiotik profilaksis (intravena)
2. Operatif
Pro Open Prostatektomy Freyer
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
1. Anatomi prostat
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang
terletak di sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior.
Prostat berbentuk seperti pyramid terbalik dan merupakan organ kelenjar
fibromuskuler yang mengelilingi uretra pars prostatica. Bila mengalami
pembesaran, organ ini menekan uretra pars prostatika dan menyebabkan
terhambatnya aliran urin keluar dari buli-buli. Prostat merupakan kelenjar
aksesori terbesar pada pria; tebalnya 2 cm dan panjangnya 3 cm
dengan lebarnya 4 cm, dan berat 20 gram.
7
Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar
prostat. Zona ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal
karsinoma terbanyak.
c. Zona Sentralis.
Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus
tengah meliputi 25% massa glandular prostat.Zona ini resisten
terhadap inflamasi.
d. Zona Transisional.
Zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai
kelenjar preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu
kurang lebih 5% tetapi dapat melebar bersama jaringan stroma
fibromuskular anterior menjadi benign prostatic hyperpiasia (BPH).
e. Kelenjar-Kelenjar Periuretra
Bagian ini terdiri dari duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar
abortif tersebar sepanjang segmen uretra proksimal.
8
perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula seminalis 46-80%
pada waktu ejakulasi. Kelenjar prostat dibawah pengaruh Androgen
Bodies dan dapat dihentikan dengan pemberian Stilbestrol.
3. Definisi BPH 4
9
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada
BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya
saja pada BPH, aktivitas enzim 5-reduktase dan jumlah reseptor
androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan pada BPH
lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.
2) Ketidakseimbangan estrogen dan testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun,
sedangkan kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara
estrogen : testosterone relatif meningkat. Telah diketahui bahwa
estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel- sel
kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel- sel prostat
terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor
androgen dan menurunkan jumlah kematian sel- sel prostat
(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun
rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone
menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang
lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.
3) Interaksi stroma epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan
pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-
sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-
sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel
stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakin dan autokrin,
serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya proliferasi sel- sel epitel maupun stroma.
4) Berkurangnya kematian sel prostat (apoptosis)
Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik
homeostatis kelenjar prostat. Pada jaringan nomal, terdapat
keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis menyebabkan
jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat sehingga
10
mengakibatkan pertambahan massa prostat. Diduga hormon androgen
berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah
dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar
prostat.
e. Teori stem cell
Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi
bahwa pada kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma
dan epitel, juga ada hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di
dalam jaringan prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel
aplifying, yang keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel
aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara
mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan
berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.
5. Patofisiologi BPH 5
Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional,
sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.
Pertumbuhan kelenjar ini sangat bergantung pada hormon testosteron,
yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon akan dirubah menjadi
metabolit aktif dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5
reduktase. Dihidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-
RNA di dalam sel- sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth
factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat.
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra
prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-
buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi
yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien
dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower
urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala
prostatimus.
11
Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-
buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara
ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli- buli ke ureter
atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke
dalam gagal ginjal.
6. Diagnosis BPH 1,5,7,9,10,11
a. Anamnesis
Obstruksi Iritasi
Hesistansi Frekuensi
Intermitensi Urgensi
12
c) Kekuatan kontraksi otot detrusor
13
2) Gejala pada saluran kemih bagian atas
14
c) Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak
teraba lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml.
b. Pemeriksaan fisik
Buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra
simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang
selalu menetes yang merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa.
b) Adakah asimetri
d) Apakah batas atas dapat diraba dan apabila batas atas masih
dapat diraba biasanya besar prostat diperkirakan <60 gr.
15
Gambar 2.4. Pemeriksaan Colok Dubur. 5
16
ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada
obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6 8 ml/detik,
sedangkan maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang.
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
a) Sedimen urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
pada saluran kemih. Mengevaluasi adanya eritrosit, leukosit,
bakteri, protein atau glukosa.
b) Kultur urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus
menentukan sensifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan
c) Faal ginjal
Mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran
kemih bagian atas. Elektrolit, BUN, dan kreatinin berguna untuk
insufisiensi ginjal kronis pada pasien yang memiliki postvoid
residu (PVR) yang tinggi.
d) Gula darah
Mencari kemungkinan adanya penyekit diabetes mellitus yang
dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli
neurogenik)
e) Penanda tumor PSA (prostat spesifik antigen)
Jika curiga adanya keganasan prostat
2) Pemeriksaan Patologi Anatomi
BPH dicirikan oleh berbagai kombinasi dari hiperplasia epitel dan
stroma di prostat. Beberapa kasus menunjukkan proliferasi halus-otot
hampir murni, meskipun kebanyakan menunjukkan pola
fibroadenomyomatous hyperplasia
17
3) Pencitraan pada Benigna Prostat Hiperplasia:
a) Foto polos
Berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat dan kadangkala menunjukan bayangan buli-
buli yang penuh terisi urine, yang merupakan tanda suatu retensi
urine
b) Pemeriksaan ultrasonografi transrektal (TRUS)
Adalah tes USG melalui rectum. Dalam prosedur ini, probe
dimasukkan ke dalam rektum mengarahkan gelombang suara di
prostat. Gema pola gelombang suara merupakan gambar dari
kelenjar prostat pada layar tampilan. Untuk menentukan apakah
suatu daerah yang abnormal tampak memang tumor, digunakan
probe dan gambar USG untuk memandu jarum biopsi untuk tumor
yang dicurigai. Jarum mengumpulkan beberapa potong jaringan
prostat untuk pemeriksaan dengan mikroskop. Biopsy terutama
dilakukan untuk pasien yang dicurigai memiliki keganasan prostat.
Transrektal ultrasonografi (TRUS) sekarang juga digunakan
untuk pengukur volume prostat, caranya antara lain :
Metode step planimetry. Yang menghitung volume rata-rata
area horizontal diukur dari dasar sampai puncak.
Metode diameter. Yang menggabungkan pengukuran tinggi
(H/height) ,lebar (W/width) dan panjang (L/length) dengan
rumus : (H x W x L)
c) Sistoskopi
Dalam pemeriksaan ini, disisipkan sebuah tabung kecil melalui
pembukaan urethra di dalam penis. Prosedur ini dilakukan setelah
solusi numbs bagian dalam penis sehingga sensasi semua hilang.
Tabung, disebut sebuah cystoscope , berisi lensa dan sistem
cahaya yang membantu dokter melihat bagian dalam uretra dan
kandung kemih. Tes ini memungkinkan dokter untuk menentukan
ukuran kelenjar dan mengidentifikasi lokasi dan derajat obstruksi.
18
Gambar 2.6. Gambaran Sistoskopi BPH. 11
d) Ultrasonografi trans abdominal
Gambaran sonografi benigna hyperplasia prostat menunjukan
pembesaran bagian dalam glandula, yang relatif hipoechoic
dibanding zona perifer. Zona transisi hipoekoik cenderung
menekan zona central dan perifer. Batas yang memisahkan
hyperplasia dengan zona perifer adalah surgical capsule.
USG transabdominal mampu pula mendeteksi adanya
hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH
yang lama.
19
Gambar 2.9.Gambaran Elevasi Dasar Buli yang Mengindikasikan
Benigna Prostat Hiperplasi.11
d. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara
mengukur:
1) Residual urin:
Jumlah sisa urin setelah miksi, dengan cara melakukan
kateterisasi/USG setelah miksi
2) Pancaran urin/flow rate :
Dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi
berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang
menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Aliran yang berkurang
sering pada BPH. Pada aliran urin yang lemah, aliran urinnya
kurang dari 15mL/s dan terdapat peningkatan residu urin. Post-
void residual mengukur jumlah air seni yang tertinggal di dalam
kandung kemih setelah buang air kecil. PRV kurang dari 50 mL
umum menunjukkan pengosongan kandung kemih yang memadai
dan pengukuran 100 sampai 200 ml atau lebih sering menunjukkan
sumbatan. Pasien diminta untuk buang air kecil segera sebelum tes
dan sisa urin ditentukan oleh USG atau kateterisasi.
20
Gambar 2.10. Gambaran Pancaran Urin Normal dan pada BPH. 11
Keterangan :
21
Observasi Medikamentosa Operasi Invasive minimal
Watchful Penghambat Prostatektomi terbuka 1) TUMT
waiting adrenergi 2) TUBD
k 3) Stent uretra
Penghambat Endourologi
4) TUNA
reduktese
Fisioterapi 1) TURP
Hormonal
2) TUIP
3) TULP
Elektovaporasi
Bagan 2.1. Tatalaksana BPH.5
1) Riwayat
2) Pemeriksaan fisik & DRE
3) Urinalisa
4) PSA (meningkat/tidak)
1) Retensi urinaria+gejala
Indeks gejala yang berhubungan dg BPH
AUA 2) Hematuria persistent
3) Batu buli
Gejala ringan Gejala sedang 4) Infeksi saluran urinaria
(AUA7)/ berulang
tdk ada 5) Insufisiensi renal
1) Tes diagnostic
2) Uroflow
3) Residu urin Operasi
Pilihan terapi
Tes diagnostic:
1) Pressure flow
2) Uretrosistoskopi
Watchful waiting Terapi medis 3) USG prostat
Tabel 2.5. Penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasia. 11
Keterangan:
a. Watchful waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan
skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu
aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapat terapi namun hanya diberi
23
penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk
keluhannya, misalnya
1) Jangan mengkonsumsi kopi atau alcohol setelah makan malam
2) Kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-
buli (kopi/cokelat)
3) Batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin
4) Kurangi makanan pedasadan asin
5) Jangan menahan kencing terlalu lama.
Secara periodik pasien diminta untuk datang control dengan
ditanya keluhannya apakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai
skor yang baku), disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium,
residu urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah jelek
daripada sebelumnya, mungkin perlu dipikirkan terapi yang lain.
b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk :
1) Mengurangi resistansi otot polos prostat sebagai komponen
dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan
penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa blocker)
2) mengurangi volume prostat sebagai komponen static dengan cara
menurunkan kadar hormone testosterone/dihidrotestosterone
(DHT) melalui penghambat 5-reduktase.
Berikut ini penjabaran dari masing-masing obat:
24
Mengendurkan otot polos prostat dan leher kandung kemih, yang
membantu untuk meringankan obstruksi kemih disebabkan oleh
pembesaran prostat di BPH. Efek samping dapat termasuk sakit
kepala, kelelahan. Umumnya gunakan alpha blocker BPH
termasuk tamsulosin (Flomax), alfuzosin (Uroxatral), dan obat-
obatan yang lebih tua seperti terazosin (Hytrin) atau doxazosin
(Cardura). Obat-obatan ini akan meningkatkan pancaran urin dan
mengakibatkan perbaikan gejala dalam beberapa minggu dan tidak
berpengaruh pada ukuran prostat.
25
c. Terapi invasif minimal
Diperuntukan untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap
pembedahan
1) Microwave transurethral.
Pada tahun 1996, FDA menyetujui perangkat yang
menggunakan gelombang mikro untuk memanaskan dan
menghancurkan jaringan prostat yang berlebih. Dalam prosedur
yang disebut microwave thermotherapy transurethral (TUMT),
perangkat mengirim gelombang mikro melalui kateter untuk
memanaskan bagian prostat dipilih untuk setidaknya 111 derajat
Fahrenheit. Sebuah sistem pendingin melindungi saluran kemih
selama prosedur.
Prosedur ini memakan waktu sekitar 1 jam dan dapat dilakukan
secara rawat jalan tanpa anestesi umum. TUMT belum dilaporkan
menyebabkan disfungsi ereksi atau inkontinensia. Meskipun terapi
microwave tidak menyembuhkan BPH, tapi mengurangi gejala
frekuensi kencing, urgensi, tegang, dan intermitensi.
26
meningkatkan aliran urin dan mengurangi gejala dengan efek
samping yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan reseksi
transurethral dari prostat (TURP).
27
Gambar 2.15. Thermotherapy dengan Air.11
d. Bedah
1) Operasi transurethral.
Pada jenis operasi, sayatan eksternal tidak diperlukan.
Setelah memberikan anestesi, ahli bedah mencapai prostat dengan
memasukkan instrumen melalui uretra. Prosedur yang disebut
reseksi transurethral dari prostat (TURP) digunakan untuk 90
persen dari semua operasi prostat dilakukan untuk BPH. Dengan
TURP, alat yang disebut resectoscope dimasukkan melalui penis.
The resectoscope, yaitu panjang sekitar 12 inci dan diameter 1 / 2
inci, berisi lampu, katup untuk mengendalikan cairan irigasi, dan
loop listrik yang memotong jaringan dan segel pembuluh darah.
Cairan irigan yang dipakai adalah aquades . kerugian dari
aquades adalah sifatnya yang hipotonis sehingga dapat masuk
melalui sirkulasi sistemik dan menyebabkan hipotermia relative
atau gejala intoksikasi air yang dikenal dengan sindrom TURP.
Ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, somnolen dan tekanan
darah meningkat dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi,
pasien akan mengalami edema otak dan jatuh ke dalam koma.
Untuk mengurangi risiko timbulnya sindroma TURP operator
harus membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1
jam dan baru memasang sistostomi terlebih dauhlu sebelum reseksi
diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sistemik.
Selama operasi 90-menit, ahli bedah menggunakan loop
kawat resectoscope untuk menghilangkan jaringan obstruksi satu
bagian pada suatu waktu. Potongan-potongan jaringan dibawa oleh
cairan ke kandung kemih dan kemudian dibuang keluar pada akhir
operasi. Prosedur transurethral kurang traumatis daripada bentuk
operasi terbuka dan memerlukan waktu pemulihan lebih pendek.
28
Salah satu efek samping yang mungkin TURP adalah ejakulasi
retrograde, atau ke belakang. Dalam kondisi ini, semen mengalir
mundur ke dalam kandung kemih selama klimaks bukannya keluar
uretra.
Tabel 2.5. Penyulit TURP.11
Selama operasi Pasca bedah dini Pasca bedah lanjut
Perdarahan Perdarahan Inkontinensi
Sindrom TURP Infeksi lokal/sistemik Dinsfungsi ereksi
Perforasi Ejakulasi retrograde
Striktur uretra
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.16. (a) Alat TURP, (b) Cara Melakukan TURP, (c)
Uretra Prostatika pasca TURP.8
Prosedur bedah yang disebut insisi transurethral dari prostat
(TUIP), prosedur ini melebar urethra dengan membuat beberapa
potongan kecil di leher kandung kemih, di mana terdapat kelenjar
prostat. Prosedur ini digunakan pada hiperplasi prostat yang tidak
29
tartalu besar, tanpa ada pembesaran lobus medius dan pada pasen
yang umurnya masih muda.
1) Open surgery
Dalam beberapa kasus ketika sebuah prosedur transurethral tidak
dapat digunakan, operasi terbuka, yang memerlukan insisi eksternal,
dapat digunakan. Open surgery sering dilakukan ketika kelenjar
sangat membesar (>100 gram), ketika ada komplikasi, atau ketika
kandung kemih telah rusak dan perlu diperbaiki. Prostateksomi
terbuka dilakukan melalui pendekatan suprarubik transvesikal
(Freyer) atau retropubik infravesikal (Millin). Penyulit yang dapat
terjadi adalah inkontinensia uirn (3%), impotensia (5-10%), ejakulasi
retrograde (60-80%) dan kontraktur leher buli-buli (305%).
Perbaikan gejala klinis 85-100%.
2) Operasi laser
Kelenjar prostat pada suhu 60-65oC akan mengalami
koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 100 oC mengalami
vaporasi. Teknik laser menimbulkan lebih sedikit komplikasi
sayangnya terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun.
Kekurangannya adalah tidak dapat diperoleh jaringan untuk
30
pemeriksaan patologi (kecuali paad Ho:YAG coagulation), sering
banyak menimbulkan disuri pasca bedah yang dapat berlangsung
sampai 2 bulan, tidak langsung dapat miksi spontan setelah operasi
dan peak flow rate lebih rendah daripada pasca TURP. Serat laser
melalui uretra ke dalam prostat menggunakan cystoscope dan
kemudian memberikan beberapa semburan energi yang
berlangsung 30 sampai 60 detik. Energi laser menghancurkan
jaringan prostat dan menyebabkan penyusutan.
31
mampu membuat vaporasi kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman
tidak menimbulkan perdarahan pada saat operasi. Namun teknik ini
hanya diperuntukan pada prostat yang tidak terlalu besar (<50
gram) dan membutuhkan waktu operasi yang lebih lama.
a. Watchfull waiting
Kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui
apakah terdapat perbaikan klinis
b. Pengobatan penghambat 5-reduktase
Dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6
c. Pengobatan penghambat 5-adrenegik
Setelah 6 minggu untuk menilai respon terhadap terapi dengan
melakukan pemeriksaan IPSS uroflometri dan residu urin pasca miksi
d. Terapi invasive minimal
Setelah 6 minggu, 3 bulan dan setiap tahun. Selain dilakukan penilaian
skor miksi, juga diperiksa kultur urin
e. Pembedahan
Paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan
penyulit.
8. Komplikasi BPH 5
a. Retensi urine akut: ketidak mampuan untuk mengeluarkan urin,
distensi kandung kemih, nyeri suprapubik
b. Retensi urine kronik: residu urin > 500ml, pancaran lemah, buli teraba,
tidak nyeri
32
c. Infeksi traktus urinaria
d. Batu buli
e. Hematuri
f. Inkontinensia-urgensi
g. Hidroureter
h. Hidronefrosis - gangguan pada fungsi ginjal
B. Vesikolithiasis
1. Anatomi buli-buli 12
Buli-buli merupakan organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot
detrusor yang saling beranyaman. Di sebelah dalam adalah otot
longitudinal, di tengah merupakan otot sirkuler, dan yang paling luar
adalah longitudinal mukosa vesika terdiri dari sel-sel transisional yang
sama seperti pada mukosa pelvis renalis, ureter dan uretra posterior. Pada
dasar buli-buli kedua muara ureter dan meatus uretra internum membentuk
suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli.
33
Gambar 2.22. Anatomi Buli-Buli.12
2. Definisi vesikolithiasis 13
Batu buli-buli disebut juga batu vesica, vesical calculi, vesical
stone, bladder stone. Batu buli-buli atau vesikolitiasis adalah masa yang
berbentuk kristal yang terbentuk atas material mineral dan protein yang
terdapat pada urin. Batu saluran kemih pada dasarnya dapat terbentuk pada
setiap bagian tetapi lebih banyak pada saluran penampung terakhir. Pada
orang dewasa batu saluran kencing banyak mengenai sistem bagian atas
(ginjal, pyelum) sedang pada anak-anak sering pada sistem bagian bawah
34
(buli-buli). Di negara berkembang batu buli-buli terbanyak ditemukan
pada anak laki-laki pre pubertas. Komponen yang terbanyak penyusun
batu buli-buli adalah garam calsium. Pada awalnya merupakan bentuk
yang sebesar biji padi tetapi kemudian dapat berkembang menjadi ukuran
yang lebih besar. Kadangkala juga merupakan batu yang mulitipel.
3. Etiologi vesikolithiasis 13
Secara umum ada dua faktor yang mempengaruhi terbentuknya
batu buli-buli yaitu faktor instrinsik yang terdiri dari herediter (keturunan)
penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya, umur, serta jenis
kelamin, jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan
dengan pasien perempuan. Sedangkan faktor ekstrinsik terdiri dari keadaan
geografi, iklim, temperatur, asupan air, diet, dan pekerjaan. Geografi,
kebanyakan didaerah pegunungan, padang pasir, dan daerah tropis. Iklim,
individu yang menetap di daerah beriklim panas dengan paparan sinar
ultraviolet tinggi akan cenderung mengalami dehidrasi serta peningkatan
produksi vitamin D3 (memicu peningkatan ekskresi kalsium dan oksalat)
sehingga insiden batu saluran kemih akan meningkat. Asupan air,
kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang
dikonsumsi dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih. Diet, obat
sitostatik untuk penderita kanker juga memudahkan terbentuknya batu
saluran kemih, karena obat sitostatik bersifat meningkatkan asam urat
dalam tubuh, diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah
terjadinya penyakit batu saluran kemih. Dan pekerjaan, penyakit ini sering
dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau kurang
aktifitasnya.
Batu buli-buli atau vesikolitiasis sering terjadi pada pasien yang
menderita gangguan miksi atau terdapat benda asing di buli-buli yang
aktivitasnya sebagai inti batu. Gangguan miksi terjadi pada pasien-pasien
hiperplasia prostat, striktura uretra, divertikel buli-buli dan buli-buli
neurogenik. Pada suatu studi dilaporkan pada pasien dengan cidera spinal
35
dimana ia mempunyai kelainan neurogenik blader dalam delapan tahun,
36%nya berkembang menjadi batu buli-buli. Benda asing tersebut
dibedakan menjadi iatrogenic dan non iatrogenik. Benda iatrogenic terdiri
dari bekas jahitan, balon folley kateter yang pecah, kalsifikasi yang
disebabkan karena iritasi balon kateter, staples, uretral stens, peralatan
kontrasepsi, prostetik uretral stents.
Noniatrogenik disebabkan adanya benda yang terkandung pada
buli-buli seusai pasien rekreasi atau alasan yang lain. Selain itu batu buli-
buli dapat berasal dari batu ginjal atau batu ureter yang turun ke buli-buli
yang banyak dijumpai pada anak-anak yang menderita kurang gizi atau
yang sering menderita dehidrasi atau diare. Infeksi pada saluran kemih
akan mempercepat timbulnya batu. Inflamasi pada buli-buli dapat
disebabkan karena hal sekunder misalnya sinar radiasi atau infeksi
shiztomiasis yang juga merupakan predisposisi batu buli-buli.
Gangguan metabolik juga merupakan faktor predisposisi terjadi
pembentukan batu. Pada pasien ini batu umumnya terbentuk dari bahan
calsium dan struvit. Pada pasien yang mempunya predisposisi dilakukan
evaluasi ada tidaknya hal yang memicu statisnya urin, misalnya BPH.
Pada perempuan yang memakai celana ketat, dan cystocele.
4. Patofisiologi vesikolithiasis 13,14
Pada umumnya batu buli-buli terbentuk dalam buli-buli, tetapi
pada beberapa kasus batu buli terbentuk di ginjal lalu turun menuju buli-
buli, kemudian terjadi penambahan deposisi batu untuk berkembang
menjadi besar. Batu buli yang turun dari ginjal pada umumnya berukuran
kecil sehingga dapat melalui ureter dan dapat dikeluarkan spontan melalui
uretra.
36
Gambar 2.23. Batu Buli-buli. 14
37
misalkan batu asam urat mudah terbentuk dalam asam, sedangkan batu
magnesium ammonium fosfat terbentuk karena urine bersifat basa.
5. Komposisi batu 14
a. Batu kalsium
38
Batu ini merupakan batu yang paling banyak ditemukan yaitu sekitar
70- 80% dari seluruh batu saluran kemih. Adapun kandungannya
adalah kalsium oksalat, kalsium fosfat atau campuran keduanya.
Faktor terjadinya batu oksalat adalah sebagi berikut:
39
hipomagnesuria ialah penyakit inflamasi usus (inflammatory bowel
disease) yang diikuti dengan gangguan malabsorbsi.
b. Batu struvit disebut juga sebagai batu infeksi karena terbentuknya batu
ini karena proses infeksi pada saluran kemih. Hal ini disebabkan
karena infeksi yang sebagian besar karena kuman pemecah urea,
sehingga urea yang menghasilkan suasana basa yang mempermudah
mengendapnya magnesium fosfat, ammonium, karbonat. Kuman
tersebut diantaranya adalah Proteus spp, Klebsiella, Enterobacter,
Pseudomonas, dan stafilokokus.
c. Batu asam urat merupakan batu yang terjadi pada 5-10% kasus batu.
75- 80% adalah batu asam urat murni dan sisanya merupakan
campuran dengan asam oksalat. Batu ini banyak diderita oleh pasien
dengan gout, penyakit mieloproliferatif, pasien yang mendapat terapi
antikanker, dan banyak menggunakan obat urikosurik diantaranya
tiazid, salisilat, kegemukan, peminum alkohol, diet tinggi protein.
Adapun faktor predisposisi terjadinya batu asam urat adalah urin yang
terlalu asam, dehidrasi atau konsumsi air minum yang kurang dan
tingginya asam urat dalam darah.
d. Batu jenis lain diantaranya batu sistin, batu santin, dan batu silikat
sangat jarang dijumpai. Batu sistin didapatkan karena kelainan
metabolisme yaitu kelainan absorbsi sistin di mukosa usus. Pemakaian
antasida yang mengandung silikat berlebihan dalam jangka waktu yang
lama dapat memungkinkan terbentuknya batu silikat.
6. Diagnosis vesikolithiasis 13,14,15
a. Anamnesis
Pasien yang mempunyai batu buli sering asimtomatik, tetapi
pada anamnesis biasanya dilaporkan bahwa penderita mengeluh nyeri
suprapubik, disuria, gross hematuri terminal, perasaan ingin kencing,
sering kencing di malam hari, perasaan tidak enak saat kencing, dan
40
kencing tiba-tiba terhenti kemudian menjadi lancar kembali dengan
perubahan posisi tubuh.
Gejala lain yang umumnya terjadi dalam menyertai nyeri yaitu
nyeri menjalar dari ujung penis, scrotum, perineum, punggung dan
panggul, perasaan tidak nyaman tersebut biasa bersifat tumpul atau
tajam, disamping sering menarik-narik penisnya pada anak laki-laki
dan menggosok-gosok vulva pada anak perempuan. Rasa sakit
diperberat saat pasien sedang beraktivitas, karena akan timbul nyeri
yang tersensitisasi akibat batu memasuki leher vesika. Pasien anak
dengan batu buli sering disertai dengan priapism dan disertai ngompol.
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan vesika urinaria tampak penuh pada
inspeksi, ketika dipalpasi didapatkan blader distended pada retensi
akut. Adapun tanda yang dapat dilihat adalah hematuri mikroskopik
atau bahkan gross hematuri, pyuria, bakteri yang positif pada
pemeriksaan kultur urin.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan urin
Pemeriksaan urin sering dilakukan karena tidak mahal dan hasilnya
dapat menggambarkan jenis batu dalam waktu yang singkat. Pada
pemeriksaan dipstick, batu buli berhubungan dengan hasil
pemeriksaan yang positif jika mengandung nitrat, leukosit esterase
dan darah. Batu buli sering menyebabkan disuri dan nyeri hebat,
oleh sebab itu banyak pasien sering mengurangi konsumsi air
minum sehingga urin akan pekat. Pada orang dewasa, batu buli
akan menyebabkan urin asam. Pemeriksaan mikroskopis
menunjukkan adanya sel darah merah dan pyuria( leukosit), dan
adanya kristal yang menyusun batu buli. Pemeriksaan urin juga
berguna untuk memberikan antibiotik yang rasional jika dicurigai
adanya infeksi.
2) Pemeriksaan Imaging
41
a) Urografi
Pemeriksaan radiologis yang digunakan harus dapat
memvisualisasikan saluran kemih yaitu ginjal, ureter dan
vesika urinaria (KUB). Tetapi pemeriksaan ini mempunyai
kelemahan karena hanya dapat menunjukkan batu yang
radioopaque. Batu asam urat dan ammonium urat merupakan
batu yang radiolucent. Tetapi batu tersebut terkadang dilapisi
oleh selaput yang berupa calsium sehingga gambaran akhirnya
radioopaque. Pelapisan adalah hal yang sering, biasanya
lapisan tersebut berupa sisa metabolik, infeksi dan disebabkan
hematuri sebelumnya.
42
Gambar 2.25. IVP.15
c) Ultrasonografi (USG)
Batu buli akan terlihat sebagai gambaran hiperechoic, efektif
untuk melihat batu yang radiopaque atau radiolucent.
Gambar 6. USG.15
d) CT scan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk banyak kasus pada pasien
yang nyeri perut, massa di pelvis, suspect abses, dan
menunjukkan adanya batu buli- buli yang tidak dapat
ditunjukkan pada IVP. Batu akan terlihat sebagian batu yang
keruh.
e) MRI
Pemeriksaan ini akan menunjukkan adanya lubang hitam yang
semestinya tidak ada pada buli yang seharusnya terisi penuh,
ini diassosiasikan sebagai batu.
43
f) Sistoskopi
Pada pemeriksaan ini dokter akan memasukkan semacam alat
endoskopi melalui uretra yang ada pada penis, kemudian
masuk kedalam blader.
a. Konservatif
44
Acetohidroxamic acid. Ini untuk menghambat bakteri urease dan
menurunkan kadar ammonium urin.
b. Litotripsi
Pemecahan batu telah mulai dilakukan sejak lama dengan cara buta,
tetapi dengan kemajuan tehnik endoskopi dapat dilakukan dengan cara
lihat langsung. Untuk batu kandung kemih, batu dipecahkan dengan
litotriptor secara mekanis melalui sistoskop atau dengan memakai
gelombang ultrasonic atau elektrohidrolik. Makin sering dipakainya
gelombang kejut luar tubuh (ESWL = Extracorporeal Shock Wave
Lithotripsy) yang dapat memecahkan batu tanpa perlukaan ditubuh
sama sekali. Gelombang kejut dialirkan melalui air ke tubuh dan
dipusatkan di batu yang akan dipecahkan. Batu akan hancur berkeping-
keping dan keluar bersama kemih.
c. Terapi pembedahan
45
Terapi bedah digunakan jika tidak tersedia alat litotriptor, alat
gelombang kejut atau bila cara non bedah tidak berhasil. Walaupun
demikian kita harus memerlukan suatu indikasi. Misalnya apabila batu
kandung kemih selalu menyebabkan gangguan miksi yang hebat
sehingga perlu diadakan tindakan pengeluarannya. Litotriptor hanya
mampu memecahkan batu dalam batas ukuran 3 cm kebawah. Batu
diatas ukuran ini dapat ditangani dengan batu kejut atau sistolitotomi.
46
Gambar 2.28. Suprapubic Cystostomy. 15
d. Pencegahan
1) Diuresis yang adekuat
Untuk mencegah timbulnya kembali batu maka pasien harus
minum banyak sehingga urin yang terbentuk tidak kurang dari
1500 ml. pada pasien dengan batu asam urat dapat digunakan
alkalinisasi urin sehingga pH dipertahankan dalam kisaran 6,5-7,
mencegah terjadinya hiperkalsemia yang akan menimbulkan
hiperkalsiuria pasien dianjurkan untuk mengecek pH urin dengan
kertas nitrasin setiap pagi.
2) Diet untuk mengurangi kadar zat-zat komponen pembentuk batu
3) Eradikasi infeksi saluran kemih khususnya untuk batu struvit
47
BAB III
ANALISIS KASUS
A. Identitas Pasien
Pasien berjenis kelamin laki-laki, berusia > 70 tahun dan sehari-hari bekerja
sebagai petani. Identitas pasien bertujuan sebagai penanda adanya faktor
48
resiko pada pasien baik penyakit endemik, penyakit herediter, kongenital atau
sessuai jenis kelamin.
B. Subjektif
1. Pasien susah kencing 2 bulan ini
2. Kencing keluar sedikit-sedikit dan menetes
3. Perlu mengejan saat mengeluarkan kencing
4. Nyeri dan rasa terbakar saat mengeluarkan kencing
5. Kencing disertai darah dan pasir disangkal
6. Kencing berkali-kali karena merasa tidak tuntas atau tidak puas
7. Setelah kencing merasa ada sisa kencing yang tidak dapat keluar
8. Pasien merasa buang air kecil menjadi lebih sering
9. Riwayat operasi Hernia Inguinal Medialis dekstra 5 tahun yang lalu
10. Riwayat kebiasaan pasien jarang minum air dan sering mengkonsumsi
jamu-jamuan
Dari hasil anamnesis pasien diatas dapat merujuk diagnosis
sementara:
1. BPH
2. Prostatitis
3. Vesikolithiasis
4. Striktur uretra
5. ISK
C. Objektif
1. Keadaan umum, kesadaran dan tanda-tanda vital pasien normal. TTV
perlu pada setiap pemeriksaan pasien untuk memastikan tidak adanya
kegawatan dan berguna dalam proses tindakan medis selanjutnya, pada
pasien ini TTV dalam batas normal.
2. Status generalis
a. Pemeriksaan Kepala leher, jantung, paru pasien tidak ditemukan
kelainan
b. Pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan suprapubis, konsistensi
abdomen supel, organ abdomen tidak teraba pembesaran, perkusi
timpani, bising usus normal
c. Pemeriksaan rectal toucher dari kulit sekitar anus sampai ampula recti
tidak ditemukan kelainan. Namun, didapatkan pada daerah prostat
teraba massa arah jam 12, puncak prostat tidak dapat dicapai, ukuran
yang dapat dicapai panjang 4 cm dan lebar 1,5 cm konsistensi
padat kenyal, batas tegas, permukaan rata dan licin serta tidak
49
berdungkul-dungkul, nyeri tekan (-), palpasi bimanual tidak teraba
batu pada buli-buli. Pada sarung tangan hanya ditemukan lendir, tanpa
darah dan fases
Status generalis diperlukan dalam eevaluasi keadaan sistim
pemafasan, sistim kardiovaskuler dan sistim gastrointestinal yang
merupakan sistim vital untuk kelangsungan kehidupan. Pada pasien ini
status generalis dalam batas normal.
3. Status urologis
a. Pemeriksaan regio flank dekstra sinistra tidak ditemukan adanya
kelainan
b. Pemeriksaan regio suprapubis ditemukan nyeri tekan tanpa disertai
nyeri lepas tekan, tidak ditemukan penonjolan suprapubik ataupun
adanya massa
c. Pemeriksaan regio genitalia eksterna dalam batas normal namun pasien
menggunakan Dower Cateter dengan urobag tampak hematuri
Sratus urologis diperlukan untuk mencari kemungkinan penyebab
susah kencing pasien. Pada pasien ini hanya ditemukan nyeri tekan
suprapubis dan lain-lain dalam batas normal. Nyeri tekan suprapubis
menunjukkan adanya kepayahan otot buli-buli sehingga jatuh ke dalam
fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.
Pada pemeriksaan Rectal Toucher (RT) / colok dubur adalah
pemeriksaan yang paling penting untuk pasien BPH karena menentukan
apakah benjolan termasuk jinak atau ganas. Pada pasien ini pemeriksaan
RT di dapatkan tidak ada kelainan kulit disekitar anus tonus sphincter ani
mencengkram jari pemeriksa dengan kuat, mukosa rectum licin, ampula
recti kesan normal, dan pada prostat teraba massa arah jam 12, puncak
prostat tidak dapat dicapai, ukuran yang dapat dicapai panjang 3 cm
dan lebar 1,5 cm konsistensi padat kenyal, batas tegas, permukaan rata
dan licin serta tidak berdungkul-dungkul, nyeri tekan (-), sulkus medianus
tidak teraba, pada sarung tangan terdapat lendir, tidak ada darah dan
fases Dari pemeriksaan ini mengarah pada tumor jinak atau yang biasa
disebut Benign Prostat Hyperplasia
Dengan pemeriksaan RT juga dapat memperkirakan besar prostat
yaitu apabila pada saat colok dubur batas atas prostat masih dapat dicapai
50
dengan ujung jari maka secara empiris dapat diperkirakan besar prostat
kurang dari 60gram dan sebaliknya bila batas atas prostat tidak bisa
dicapai dengan ujung jari maka diperkirakan besar prostat lebih dari
60gram. Besar tidaknya ukuran prostat digunakan untuk menentukan
apakah pasien ini menggunakan operasi terbuka atau tertutup. Karena
ukuran besar prostat pasien ini diperkirakan >60 gram maka mungkin
akan dilakukan tindakan operasi open prostatektomy.
4. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium dalam batas normal
Pemeriksaan DL diperlukan untuk menyingkirkan diferent
diagnosis apakah ada kemungkinan infeksi seperti pada ISK dan
prostatitis pada pasien ini jumlah leukosit dalam batas normal .
Pemeriksaan fungsi ginjal juga diperlukan pada pasien retensi urin
yang rawan mengalami komplikasi, pada pasien ini fungsi ginjal
dalam batas normal. Pasien juga dapat melakukan pemeriksaan
tambahan IVP untuk mengetahui kemungkinan ada batu saluran
kemih.
Pemeriksaan GDA diperlukan untuk menyingkiran pasien
menderita diabetes melitus, karena gejala sering kencing juga
dialami penderita dengan diabetes melitus serta menentukan pula
prediksi lama penyembuhan luka jika mungkin diperlukan tindakan
operasi, pada pasien ini gula darah dalam batas normal. Selainn
itu,pemeriksaan HBsAg dan B24 sangat diperlukan untuk
menyingkirkan resiko penularan saat kontak fisik dengan pasien, pada
pasien ini hasil pemeriksaan tersebut dalam batas normal.
b. Pemeriksaan PSA hasil 14,59 sangat tinggi
Serum PSA dapat dipakai untuk menilai kemungkinan adanya
keganansan prostat juga meramalkan perjalanan penyakit BPH, pada
pasien ini diketahui kadar PSA sangat tinggi yaitu 14.59 dengan
normal kadar PSA untuk pasien berusia >70 tahun adalah 0-6,5
mg/dl. Dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:
1) Pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
2) Keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelekan
3) Lebih mudah terjadinya retensi urine akut.
51
c. Pemeriksaan USG abdomen atas dan bawah hasil organ solid intra
abdomen normal dan ditemukan BPH volume 86 gram
Pemeriksaan USG abdomen diperlukan untuk memastikan
adanya pembesaran prostat, terlihat dari gambaran sonografi pada BPH
menunjukan pembesaran bagian dalam glandula, yang relatif
hipoekoik dibanding zona perifer. Zona transisi hipoekoik cenderung
menekan zona central dan perifer. Batas yang memisahkan hyperplasia
dengan zona perifer adalah surgical capsule. USG transabdominal
mampu pula mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun kerusakan
ginjal akibat obstruksi BPH yang lama. Pada pasien ini didapatkan
hasil dinding buli-buli tampak baik, tidak ada batu/massa dan pada
prostat tampak membesar volume 86 cm3
d. Skor IPSS hasil penjumlahan 30 masuk dalam kriteria gejala berat
Fungsi skoring IPSS adalah untuk menentukan adanya gejala
obstruksi akibat pembesaran prostat juga menentukan derajat beratnya
penyakit yang berhubungan dengan penentuan jenis pengobatan BPH
dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH, dibuatlah suatu
skoring yang valid dan reliable. Dari 7 pertanyaan IPSS didapatkan
jumlah skor 30. Skor 20-35 masuk dalam kriteria gejala berat,
sehingga pasien perlu mendapatkan edukasi yang tepat, terapi
medikamentosa dan upaya tindakan pembedahan.
D. Assesment
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
diperoleh semakin mempersempit different diagnosis dan penulis
menyimpulkan diagnosis akhir Benign Prostatic Hyperplasia
E. Planning
1. Pre Operatif
a. Inform consent
Baik pasien maupun keluarganya harus menyadari bahwa tindakan
medis, operasi sekecil apapun mempunyai resiko. Oleh karena itu
setiap pasien yang akan menjalani tindakan medis, wajib menuliskan
surat pernyataan persetujuan dilakukan tinPada kasus ini, pasien dan
keluarganya sudah mengerti penjelasan mengenai inform consent dan
menyetujuinya.dakan medis (pembedahan dan anastesi).
52
b. Puasa 8 jam
Bertujuan untuk mengosongkan isi lambung dan pencernaan dari sisa
makanan sehingga aman dari masuknya sisa makanan ke paru-paru.
Sebab, saat operasi berlangsung, atau sedang proses pembiusan, bisa
saja terjadi reflek muntah, sehingga sisa makanan yang ada di lambung
atau pencernaan berpotensi masuk ke dalam rongga paru-paru, dan
kinerja paru bisa berhenti seketika dan terjadi henti nafas dan beresiko
terjadinya kematian jika paru tidak mampu bekerja dengan baik. Pada
pasien ini sudah menjalani puasa 8 jam.
c. Pemberian cairan
Cairan preoperatif diberikan dalam bentuk cairan pemeliharaan, untuk
menjaga keseimbangan kebutuhan cairan dan elektrolit pasien. Pasien
diberikan infus RL
d. Antibiotik profilaksis
Diberikan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya infeksi selama
tindakan operasi yang biasanya di berikan 1- 2 jam sebelum operasi
dimulai. Pasien ini sudah mendapatkan antibiotik profilaksis injeksi
cefuroxime 2000 mg
e. Pencukuran daerah operasi
Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk menghindari
terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan karena
rambut yang tidak dicukur dapat menjadi tempat bersembunyi kuman
dan juga mengganggu/ menghambat proses penyembuhan dan
perawatan luka.
2. Operatif
Open Prostatektomi Freyer dilakukan atas indikasi :
a. Prostat yang besar ukuran 80-100 cm3
b. BPH dengan penyulit batu buli-buli
Meskipun pada pasien ini penyulit batu buli-buli baru ditemukan saat
tindakan pembedahan, pilihan tindakan operasi Open Prostatektomi
Freyer merupakan pilihan yang tepat karena merupakan pilihan
operasi pengangkatan prostat yang umum dilakukan dan sekaligus
dapat mengambil batu pada buli-buli.
3. Post Operatif
a. Traksi kateter
53
Tindakan ini bertujuan untuk mencegah perdarahan dari prostat yang
diambil mengalir ke buli-buli, membeku dan menyumbat kateter
b. Irigasi kateter
Tindakan ini bertujuan supaya jalannya cairan dalam kateter tetap
lancar dan mencegah pembuntuan karena pembekuan darah
menyumbat kateter
d. Monitoring keluaran DC
tindakan ini perlu dilakukan sebagai upaya pemantauan apakah buli
yang dibuka saat tindakan operasi tersebut tidak mengalami
perdarahan atau mengalami masalah pada hasil penjahitan. Dilihat dari
urine yang dikeluarkan oleh pasien, berwarna normal atau kemerahan.
e. Monitoring keluaran drain
untuk mengevaluasi seberapa banyak per harinya produksi darah yang
keluar melalui drain yang terpasang. Aff drain bila produksi < 20 ml /
24 jam
f. Medikamentosa
1) Antibiotik
Untuk mengurangi resiko infeksi pasca pembedahan
2) Analgesik
Obat pereda nyeri sangat diperlukan untuk mengatasi nyeri pasca
operasi
g. Komunikasi, Informasi, Edukasi
1) Mobilisasi
Perlu dilakukan mobilisasi bertahap pada pasien pasca operasi
untuk membiasakan pasien beraktitas
2) Diet TKTP
Untuk mempercepat proses penyembuhan dan pemulihan kondisi
pasien
3) Minum sedikitnya 8-10 gelas per hari
Tujuannya untuk mempertahankan urine output sebesar 2 liter/hari,
sehingga menurunkan resiko terjadinya supersaturasi dari bahan
bahan pembentuk batu.
54
BAB IV
KESIMPULAN
55
8. Derajat berat gejala klinik hiperplasi prostat
dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada pemeriksaan colok
dubur dan sisa volume urin yang digunakan untuk menentukan cara
penanganan atau penatalaksanaannya.
9. Komplikasi BPH seperti infeksi buli-buli,
hidronefrosis, hematuria, penurunan fungsi ginjal
DAFTAR PUSTAKA
3. 29-344.
56
8. Sabiston, David. Sabiston : Buku Ajar Bedah. Alih bahasa : Petrus. Timan.
EGC. 1994.
16. Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., dan Setiati, S. 2006. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
57