Anda di halaman 1dari 10

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Ptiriasis versikolor yang disebabkan Malassezia furfur Robin (BAILLOM
1889) adalah penyakt jamur superfisial yang kronik, biasanya tidak memberikan
keluhan subjektif, berupa bercak berskuama halus yang berwarna putih sampai
coklat hitam, terutama meliputi badan dan kadang-kadang dapat menyerang ketiak,
lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka, dan kulit kepala yang berambut
(Budumulja U, 2011).

II. SINONIM
Tinea versikolor, kromofitosis, dermatomikosis, liver spots, tinea flava, ptiriasis
versikolor flava, dan panau (Budumulja U, 2011).

III. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit), terutama di daerah tropis
yang beriklim panas dan lembab (Gaitanis G dkk, 2012), termasuk Indonesia.
Penyakit ini menyerang semua ras (Gaitanis G dkk, 2012), angka kejadian pada
laki-laki lebih banyak daripada perempuan, dan mungkin terkait pekerjaan dan
aktivitas yang lebih tinggi (Usatine RP, 2009). Pitiriasis versikolor lebih sering
menginfeksi dewasa muda usia 15-24 tahun, saat aktivitas kelenjar lemak lebih
tinggi (Wolff K dan Johnson RA, 2009; Schalock PC dkk, 2011).
Di Indonesia, insidensinya belum akurat dan sulit diakses karena banyak
penderita yang tidak berobat ke petugas medis namun diperkirakan 40-50% dari
populasi di negara tropis terkena penyakit ini. Di Jakarta golongan penyakit ini
sepanjang masa selalu menempati urutan kedua setelah dermatitis. Di daerah lain,
seperti Padang, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Manado keadaannya kurang
lebih sama, yakni menempati urutan ke-2 sampai ke-4 terbanyak dibandingkan
golongan penyakit lainnya (Nathalia S dkk, 2015).
Sedangkan menurut Siregar R, 2005 penyebab dan epidemiologi tinea
versikolor ialah:

1
- Umur : dapat menyerang hampir semua umur.
- Jenis kelamin : Menyerang pria dan wanita
- Bangsa/ras : Semua bangsa.
- Daerah : Hampir di seluruh dunia.
- Kebersihan/higiene : kurangnya kebersihan memudahkan penyebaran
tinea versikolor.
- Lingkungan : keadaan basah atau berkeringat banyak,
menyebabkan stratum korneum melunak sehingga mudah dimasuki
Malassezia furfur.

IV. ETIOLOGI
Pitiriasis versikolor disebabkan oleh Malassezia Furfur yang merupakan
spesies dari: (Krisanti RIA dkk, 2008)
- Genus : Malassezia
- Family : Filobasidiaceae
- Ordo : Tremellales
- Class : Hymenomycetes
- Filum : Basidiomycota
- Kingdom : Fungi

Gambar 1. M. Furfur

Malassezia yang memiliki 13 spesies diantaranya: (Krisanti RIA dkk, 2008)


- M. Furfur
- M. Sympodialisis
- M. Restricta

2
- M. Glabosa
- M. Obtusa
- M. Caprae
- M. Slooffiae
- M. Japonica
- M. Nana
- M. Yamatoensis
- M. Equine
- M. Pachydermatis
Dari sejumlah spesies diatas, M. furfur dan M. sympodialis merupakan spesis
terbanyak yang ditemukan pada pasien penderita pitiriasis versikolor di Jakarta
(Krisanti RIA dkk, 2008).

V. FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor predisposisi infeksi jamur ini terdiri dari faktor endogen seperti
malnutrisi, immunocompromised, penggunaan kontrasepsi oral, hamil, luka bakar,
terapi kortikosteroid, adrenalektomi, Cushing syndrome, atau faktor eksogen
seperti kelembapan udara, oklusi oleh pakaian, penggunaan krim atau lotion, dan
rawat inap (Habif TP, 2010; Burkhart CN dkk, 2009).

VI. CARA PENULARAN


Sebagian besar kasus pitiriasis versikolor terjadi karena aktivasi Malassezia
pada tubuh penderita sendiri (autothocus flora), walaupun dilaporkan adanya
penularan dari individu lain. Kondisi patogen terjadi bila terdapat perubahan
keseimbangan hubungan antara hospes dengan ragi sebagai flora normal kulit.
Dalam kondisi tertentu malassezia akan berkembang ke bentuk miselial dan bersifat
lebih patogenik.

VII. PATOGENESIS
Pada kulit terdapat flora normal yang berhubungan dengan timbulnya pitiriasis
versikolor ialah Pityrosporum orbiculare yang berbentuk bulat atau Pityrosporum
ovale yang berbentuk oval. Keduanya merupakan organisme yang sama, dapat

3
berubah sesuai dengan lingkungannya, misalnya suhu, media, dan kelembaban
(Budumulja U, 2011).
Pitiriasis versikolor muncul ketika M. furfur berubah bentuk menjadi bentuk
miselia karena adanya faktor predisposisi, baik eksogen maupun edogen. Faktor
eksogen meliputi panas, keringat dan kelembaban udara (Budumulja U, 2011). Hal
ini merupakan penyebab sehingga pitiriasis versikolor banyak dijumpai di daerah
tropis dan pada musim panas di daerah sub tropis. Faktor eksogen lainnya adalah
penutupan kulit oleh pakaian atau kosmetik dimana mengakibatkan peningkatan
konsentrasi CO2, mikroflora dan pH (Choi S, 2007).
Faktor endogen berupa malnutrisi, dermatitis seboroik, sindrom cushing, terapi
immunosupresan, hiperhidrosis dan riwayat keluarga yang positif. Disamping itu
diabetes melitus, pemakaian steroid jangka panjang, kehamilan dan penyakit berat
memudahkan timbulnya pitiriasis versikolor (Choi S, 2007).
Patogenesis dari makula hipopigmentasi oleh adanya toksin yang langsung
menghambat pembentukan melanin dan adanya C9 dan C11 asam decarbosilat yang
dihasilkan oleh Pityrosporum yang merupakan inhibitor kompetitif dari tirosinase.
Tirosinase adalah enzim yang berpran dalam pembentukan melanin. Mekanisme
lainnya adalah M. furfur menghambat pertumbuhan stratum korneum. Mekanisme
dari macula hiperpigmentasi adalah terjadi penipisan stratum korneum oleh M.
furfur yang mengakibatkan munculnya reaksi radang sehingga muncul macula
tersebut dan juga karena ada penimpisan stratum korneum mengakibatkan
meningkatnya kemungkinan infeksi sekunder (Choi S, 2007).

VIII. GEJALA KLINIS


Kelainan kulit pitiriasis versikolor sangat superficial dan ditemukan terutama di
badan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni, bentuk tidak
teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus (Budumulja U, 2011). Pada
penderita umunya hanya mengeluhkan adanya bercak/makula atau berupa plak
berwarna putih (hipopigmentasi) atau kecoklatan (hiperpigmentasi) yang berbatas
tegas dan rasa gatal yang ringan, yang merupakan alasan berobat (Budumulja U,
2011).

4
Ukuran dan bentuk lesi sangat bervariasi bergantung lama sakit dan luasnya
lesi. Pada lesi baru sering dijumpai makula skuamosa folikular. Sedangkan pada
lesi primer tunggal berupa makula dengan batas sangat tegas tertutup skuama halus.
Pada kulit hitam atau kecoklatan umumnya berwarna putih sedang pada kulit putih
atau terang cenderung berwarna coklat atau kemerahan. Makula umunya khas
berbentuk bulat atau oval tersebar pada daerah yang terkena. Pada beberapa lokasi
yang selalu lembab, misalnya pada daerah dada, kadang batas lesi dab skuama
menjadi tidak jelas.

Gambar 2. Tinea Versikolor bentuk makular. Tampak makula hipopigmentasi


ditutupi squama halus (Siregar RS, 2006).

Gambar 3. Tinea Versikolor bentuk folikular. Tampak makula hipopigmentasi


folikular (Siregar RS, 2006).

5
Pada kasus yang lama tanpa pengobatan, lesi dapat bergabung membentuk
gambaran seperti pulau yang luas berbentuk polisiklik. Lesi yang kecil biasanya
berbentuk bulat atau oval. Beberapa kasus didaerah berhawa dingin dapat sembuh
total. Pada sebagian besar kasus pengobatan akan menyebabkan lesi berubah
menjadi macula hipopigmentasi yang menetap hingga beberapa bulan tanpa adanya
skuama.
Lesi dari pitiriasis versikolor dapat terjadi dimana saja di permukaan kulit,
lipat paha, ketiak, leher, punggung, dada, lengan, wajah dan tempat tempat tak
tertutup pakaian (Siregar RS, 2005).

IX. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan atas dasar gambaran klinis, pemeriksaan efloresensi, lesi
kulit dengan lampu Wood, dan sediaan langsung (Budumulja U, 2011). Gambaran
klinis dapat dilihat pada judul gejala kllinis.
- Efloresensi: berupa makula yang dapat hipopigmentasi, kecoklatan,
keabuan, atau kehitam-hitaman dalam berbagai ukuran, dengan skuama
halus diatasnya (Siregar RS, 2005).

X. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Sinar Wood:
- Fluoresensi kuning keemasan (Siregar RS, 2005).
2. Mikroskopik preparat KOH 10% dari kerokan kulit lesi:
- Tampak kelompok-kelompok hifa pendek tebal 3-8, dikelilingi spora
berkelompok berukuran 1-2 (Siregar RS, 2005).
- Kelompok sel ragi bulat berdinding tebal dengan misselium kasar, sering
terputus-putus (pendek-pendek), yang akan lebih mudah dilihat dengan
penambahan zat tinta Parker blue-black atau biru laktofenol. Gambaran ragi
dan misselium tersebut sering dilukiskan sebagai meat ball and spaghetti
(James WD dkk, 2006).

XI. DIAGNOSIS BANDING

6
Penyakit ini harus dibedakan dengan dermatitis seboroika, eritasma, sifilis II,
achromia parasitik, morbus Hansen, pitiriasis alba, serta vitiligo (Budumulja U,
2011).
a. Morbus Hansen
Makula hipopigmentasi yang terdapat pada penderita Morbus Hansen
mempunyai ciri-ciri yang khas yaitu makula anestesi, alopesia, anhidrosis, dan
atrofi. Lesi dapat satu atau banyak, berbatas tegas dengan ukuran bervariasi.
Terdapat penebalan saraf perifer. Kelainan ini terjadi karena menurunnya aktivitas
melanosit. Pada pemeriksaan histopatologi jumlah melanosit dapat normal atau
menurun. Terdapat melanosit dengan vakuolisasi dan mengalami atrofi serta
menurunnya jumlah melanosom (Kosasih A dkk, 2011).

Gambar 4. Gambaran macula hipopigmentasi pada MH tipe BL (Kosasih A


dkk, 2011).
b. Vitiligo
Vitiligo adalah suatu hipomelanosis yang didapat bersifat progresif, seringkali
familial ditandai dengan makula hipopigmentasi pada kulit, berbatas tegas, dan
asimtomatis. Makula hipomelanosis yang khas berupa bercak putih seperti putih
kapur, bergaris tengah beberapa millimeter sampai beberapa sentimeter, berbentuk
bulat atau lonjong dengan tepi berbatas tegas dan kulit pada tempat tersebut normal
dan tidak mempunyai skuama. Vitiligo mempunyai distribusi yang khas. Lesi
terutama terdapat pada daerah yang terpajan (muka, dada bagian atas, dorsum
manus), daerah intertriginosa (aksila, lipat paha), daerah orifisium (sekitar mulut,

7
hidung, mata, rektum), pada bagian ekstensor permukaan tulang yang menonjol
(jari-jari, lutut, siku). Pada pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan sel melanosit
dan reaksi dopa untuk melanosit negatif. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood
makula amelanotik pada vitiligo tampak putih berkilau, hal ini membedakan lesi
vitiligo dengan makula hipomelanotik pada kelainan hipopigmentasi lainnya
(Bahadoran P, 2003; Callen JP, 2006).

Gambar 5. Gambaran makula hipopigmentasi pada vitiligo (Callen JP, 2006)

c. Pitiriasis Alba
Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3 16 tahun (30 40%).
Wanita dan pria sama banyak. Lesi berbentuk bulat atau oval. Pada mulanya lesi
berwarna merah muda atau sesuai warna kulit dengan skuama kulit diatasnya.
Setelah eritema menghilang, lesi yang dijumpai hanya hipopigmentasi dengan
skuama halus. Pada stadium ini penderita datang berobat terutama pada orang
dengan kulit berwarna. Bercak biasanya multipel 4 20. Pada anak-anak lokasi
kelainan pada muka (50 60%), Paling sering di sekitar mulut, dagu, pipi, dan dahi.

8
Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Lesi umumnya asimtomatik tetapi
dapat juga terasa gatal dan panas (Bahadoran P, 2003).
Pada pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan melanin di stratum basal dan
terdapat hiperkeratosis dan parakeratosis. Kelainan dapat dibedakan dari Vitiligo
dengan adanya batas yang tidak tegas dan lesi yang tidak amelanotik serta
pemeriksaan menggunakan lampu Wood.
Kelainan hipopigmentasi ini dapat terjadi akibat perubahan-perubahan pasca
inflamasi dan efek penghambatan sinar ultraviolet oleh epidermis yang mengalami
hiperkeratosis dan parakeratosis.

XII. TATALAKSANA
a. Umum: (Siregar RS, 2006)
- Jaga hygiene perseorangan.
b. Khusus (topikal): (Siregar RS, 2006)
- Bentuk makular: salep Whitfield atau larutan natrium tiosulfit 20%
dioleskan setiap hari.
- Bentuk folikular: dapat dipakai tiosulfas natrikus 20-30%.
- Obat obat anti jamur golongan imidazol (ekonazol, mikonazol,
kloreimazol, dam tolsiklat) dalam krim atau salep 1-2% juga berkhasiat.
- Suspensi selenium sulfide (selsun) dapat dipakai sampo 2-3 kali seminggu.
Obat digosokkan pada lesi dan didiemkan 15-30 menit sebelum mandi
(Budumulja U, 2011).
c. Oral: (Siregar RS, 2006)
- Ketoconazol 200 mg/hari selama 10 hari
- Itraconazol 100 mg/hari selama 2 minggu.

XIII. PROGNOSIS
Prognosis baik ila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun, dan konsisten.
Pengobatan harus diteruskan 2 minggu setelah fluoresensi negatif dengan lampu
Wood dan sediaan langsung negatif (Budumulja U, 2011).

9
XIV. PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan selalu menjaga higienitas perseorangan,
hindari kelembaban kulit yang berlebihan, dan menghindari kontak langsung
dengan penderita. Penyakit ini merupakan penyakit yang memiliki angka
keambuhan sangat tinggi sekitar 80% dalam 2 tahun sehingga diperlukan
pengobatan yang berkelanjutan dan pencegahan dengan menggunakan sampo
selenium sulfide sekali seminggu dapat membatu mencegah angka kekambuhan
penyakit tersebut. Cara lain untuk mencegah kekambuhan dari pitiriasis versikolor
disarankan pemakaian 50% propilen glikol dalam air untuk mencegah kekambuhan.
Pada daerah endemic dapat disarankan memakai ketokonazol 200 mg/hari selama
3 hari setiap bulan atau itrakonazole 200 mg sekali sebulan (Heffernan MP, 2003).

10

Anda mungkin juga menyukai