Anda di halaman 1dari 5

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dalam agama islam menetapkan hukum bagi istri yang

durhaka terhadap suami yang disebut Nusyus. Nusyuz secara bahasa berarti tempat yang tinggi
(menonjol). Sedangkan secara istilah nusyuz berarti istri durhaka kepada suami dalam perkara
ketaatan pada suami yang Allah wajibkan, dan pembangkangan ini telah menonjol.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, Nusyuz adalah meninggalkan perintah suami, menentangnya
dan membencinya (Tafsir Al Quran Al Azhim, 4: 24).

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud nusyuz adalah wanita keluar dari rumah
suaminya tanpa ada alasan yang benar. Sedangkan ulama Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa nusyuz adalah keluarnya wanita dari ketaatan yang wajib kepada suami. (Al
Mawsuah Al Fiqhiyyah, 40: 284). Ringkasnya, nusyuz adalah istri tidak lagi menjalankan
kewajiban-kewajibannya.

Hukum Nusyuz
Nusyuz wanita pada suami adalah haram. Karena wanita nusyuz yang tidak lagi mempedulikan
nasehat, maka suami boleh memberikan hukuman. Dan tidaklah hukuman ini diberikan melainkan
karena melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib. Mengenai hukuman yang dimaksud
disebutkan dalam ayat,

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar (QS. An Nisa: 34).

Mengobati Istri yang Nusyuz


Jika wanita terus bermuka masam di hadapan suami, padahal suami sudah berusaha berwajah seri;
berkata dengan kata kasar, padahal suami sudah berusaha untuk lemah lembut; atau ada nusyuz
yang lebih terang-terangan seperti selalu enggan jika diajak ke ranjang, keluar dari rumah tanpa
izin suami, menolak bersafar bersama suami, maka hendaklah suami menyelesaikan permasalahan
ini dengan jalan yang telah dituntukan oleh Allah Taala sebagaimana disebutkan dalam ayat di
atas. Urutannya dimulai dari hal berikut ini:
1. Memberi nasehat

Hendaklah suami menasehati istri dengan lemah lembut. Suami menasehati istri dengan
mengingatkan bagaimana kewajiban Allah padanya yaitu untuk taat pada suami dan tidak
menyelisihinya. Ia pun mendorong istri untuk taat pada suami dan memotivasi dengan
menyebutkan pahala besar di dalamnya. Wanita yang baik adalah wanita sholehah, yang taat,
menjaga diri meski di saat suami tidak ada di sisinya. Kemudian suami juga hendaknya menasehati
istri dengan menyebutkan ancaman Allah bagi wanita yang mendurhakai suami. Jika istri telah
menerima nasehat tersebut dan telah berubah, maka tidak boleh suami menempuh langkah
selanjutnya. Karena Allah Taala berfirman,

Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya (QS. An Nisa: 34).

Namun jika nasehat belum mendapatkan hasil, maka langkah berikutnya yang ditempuh, yaitu
hajr.

2. Melakukan hajr
Hajr artinya memboikot istri dalam rangka menasehatinya untuk tidak berbuat nusyuz. Langkah
inilah yang disebutkan dalam lanjutan ayat,

Dan hajarlah mereka di tempat tidur mereka (QS. An Nisa: 34).

Mengenai cara menghajr, para ulama memberikan beberapa cara sebagaimana diterangkan oleh
Ibnul Jauzi:

a) Tidak berhubungan intim terutama pada saat istri butuh


b) Tidak mengajak berbicara, namun masih tetap berhubungan intim
c) Mengeluarkan kata-kata yang menyakiti istri ketika diranjang
d) Pisah ranjang
Namun catatan penting yang perlu diperhatikan, tidak boleh seorang suami memboikot istri
melainkan di rumahnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika beliau
ditanya mengenai kewajiban suami pada istri oleh Muawiyah Al Qusyairi,

Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya, dan jangan pula menjelek-jelekkannya
serta jangan melakukan hajr selain di rumah (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih). Karena jika seorang suami melakukan hajr di hadapan
orang lain, maka si wanita akan malu dan terhinakan, bisa jadi ia malah bertambah nusyuz. Namun
jika melakukan hajr untuk istri di luar rumah itu terdapat maslahat, maka silakan dilakukan karena
Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan hajr terhadap istri-istri beliau di luar rumah
selama sebulan. Juga perlu diperhatikan bahwa hajr di sini jangan ditampakkan di hadapan anak-
anak karena hal itu akan sangat berpengaruh terhadap mereka, bisa jadi mereka akan ikut jelek dan
rusak atau menjadi anak yang broken home yang terkenal amburadul dan nakal. Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa masa hajr maksimal adalah empat bulan. Namun yang lebih tepat adalah
pendapat jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafiiyah, Hanabilah bahwa masa
hajr adalah sampai waktu istri kembali taat (tidak nusyuz). Karena dalam ayat hanya disebutkan
secara mutlak, maka kita pun mengamalkannya secara mutlak dan tidak dibatasi. Namun jumhur
ulama berpandangan bahwa jika hajr yang dilakukan adalah dengan tidak berbicara pada istri,
maka maksimal hajr adalah tiga hari, meskipun istri masih terus-terusan nusyuz karena suami bisa
melakukan cara hajr yang lain. Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Tidak halal bagi seorang muslim melakukan hajr (boikot dengan tidak mengajak bicara) lebih
dari tiga hari (HR. Bukhari no. 6076 dan Muslim no. 2558).

3. Memukul istri
Memukul istri yang nusyuz dalam hal ini dibolehkan ketika nasehat dan hajr tidak lagi bermanfaat.
Namun hendaklah seorang suami memperhatikan aturan Islam yang mengajarkan bagaimanakah
adab dalam memukul istri:
a. Memukul dengan pukulan yang tidak membekas
Sebagaimana nasehat Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika haji wada,

Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun
yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang
tidak membekas (HR. Muslim no. 1218).

Jika seorang suami memukul istri dengan keras, maka ini bukanlah mendidik. Sehingga tidak boleh
pukulan tersebut mengakibatkan patah tulang, memar-memar, mengakibatkan bagian tubuh rusak
atau bengkak.

b. Tidak boleh lebih dari sepuluh pukulan, sebagaimana pendapat madzhab Hambali. Dalilnya
disebutkan dalam hadits Abu Burdah Al Anshori, ia mendengar Nabi shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,

Janganlah mencabuk lebih dari sepuluh cambukan kecuali dalam had dari aturan Allah (HR.
Bukhari no. 6850 dan Muslim no. 1708).

c. Tidak boleh memukul istri di wajah


Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Aisyah menceritahkan mengenai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,









- -

Aku tidaklah pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memukul
pembantu, begitu pula memukul istrinya. Beliau tidaklah pernah memukul sesuatu dengan
tangannya kecuali dalam jihad (berperang) di jalan Allah. (HR. Ahmad 6: 229. Syaikh Syuaib
Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahihsesuai syarat Bukhari-Muslim)
d. Yakin bahwa dengan memukul istri itu akan bermanfaat untuk membuatnya tidak berbuat
nusyuz lagi. Jika tidak demikian, maka tidak boleh dilakukan.

e. Jika istri telah mentaati suami, maka tidak boleh suami memukulnya lagi. Karena Allah Taala
berfirman,

Dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar (QS. An Nisa:
34).

Demikian beberapa solusi yang ditawarkan oleh Islam. Jika solusi yang ditawarkan di atas tidaklah
bermanfaat, maka perceraian bisa jadi sebagai jalan terakhir. Mudah-mudahan Allah memudahkan
untuk membahas hal ini. Semoga Allah memberi kemudahan demi kemudahan.

Sumber: http://muslim.or.id/20258-tatkala-istri-tidak-taat-suami.html2. Psikologi Agama.


Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai