Pneumonia
Pneumonia
Pendahuluan
Pada masa yang lalu pneumonia diklasifikasikan sebagai pneumonia tipikal yang disebabkan
oleh Str. Pneumoniae dan atipikal yang disebabkan oleh kuman atipik sperti halnya M.
Pneumoniae. Kemudian ternyata manifestasi dari patogen lain seperti H. Indluenzae, S.
Aureus, dan bakteri Gram negatif memberikan sindrom klinik yang identik dengan
pneumonia oleh str. Pneumoniae, bakteri lain, dan virus dapat menimbulkan gambaran yang
sama dengan pneumonia oleh M.pneumoniae. Sebaliknya Legionella spp dan virus dapat
memberikan gambaran pneumonia yang bervariasi luas. Karena itu istilah tersebut tidak lagi
dipergunakan.
Definisi
Infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA) menimbulkan angka kesakitan dan kematian yang
tinggi serta kerugian produktivitas kerja. ISNBA dapat dijumpai dalam berbagai bentuk,
tersering adalah dalam bentuk pneumonia. Pneumonia ini dapat terjadi secara primer atau
merupakan tahap lanjutan manifestasi ISNBA lainnya misalnya sebagai perluasan
bronkiektasis yang terinfeksi. Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru,
distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Pada
pemeriksaan histologis terdapat pneumonitis eksudat yang dapat ditimbulkan oleh berbagai
penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi.
Istilah pneumonia lazim dipakai bila peradangan terjadi oleh proses infeksi akut yang
merupakan penyebabnya yang tersering. Sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non-infeksi. Bila proses infeksi teratasi, terjadi resolusi dan biasanya struktur paru
normal kembali. Namun pada pneumonia nekrotikans yang disebabkan antara lain oleh
staphylococcus atau kuman gram negatif terbentuk jaringan parut atau fibrosis. Diagnosis
pneumonia harus didasarkan kepada pengertian patogenesis penyakit hingga diagnosis yang
dibuat mencakup bentuk manifestasi, beratnya proses penyakit dan etiologi pneumonia. Cara
ini akan mengarahkan dengan baik kepada terapi empiris dan pemilihan antibiotik yang
paling sesuai terhadap mikroorganisme penyebabnya.
PK adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi diluar RS, sedangkan PN adalah
pneumonia yang terjadi > 48 jam atau lebih setelah dirawat di RS, baik di ruang rawat umum
ataupun ICU tetapi tidak sedang memakai ventilator. PBV adalah pneumonia yang terjadi
setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi tracheal. Pada PK termasuk yang dirawat oleh
perawatan akut di RS selama 2 hari atau lebih dalam waktu 90 hari dari proses infeksi,
tinggal dirumah perawatan ( nursing home atau long-term care facility), mendapat AB
intravena, kemoterapi, atau perawatan luka dalam waktu 30 hari proses infeksi ataupun
datang ke klinik RS atau klinik hemodialisa.
Dibawah ini disampaikan uraian pneumonia secara umum yang kemudian diikuti
dengan uraian dari kedua kelompok pneumonia tersebut. Kemudian akan disampaikan uraian
pneumonia bentuk khusus.
Epidemiologi
Insidens
Penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan yang tinggi
diseluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan dengan
infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (PK) atau didalam rumah sakit / pusat
perawatan ( pneumonia nosokomial (PN) atau pneumonia pusat perawatan (PPP)).
Pneumonia yang merupakan bentuk saluran napas bawah akut di parenkim paru yang serius,
dijumpai sekitar 15-20%.
Kejadian PN di ICU lebih sering daripada PN di ruang rawat umum, yaitu dijumpai
pada hampir 25% dari semua infeksi di ICU, dan 90% terjadi pada saat ventilasi mekanik.
PBV didapat pada 9-27% dari pasien yang diintubasi. Resiko PBV tertinggi pada saat awal
masuk ke ICU.
Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas yang jelas.
Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati adanya satu atau
lebih penyakit dasar yang menggangu daya tahan tubuh.
Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang-orang lanjut usia (lansia) dan sering
terjadi pada pasien dengan penyakit lain seperti diabetes melitus (DM), payah jantung,
penyakit arteri koroner, keganasan, insufisiensirenal, penyakit saraf kronik, penyakit hati
kronik. Faktor predisposisi lain antara lain berupa kebiasaan merokok, pasca infeksi virus,
diabetes melitus, keadaan imunodefisiensi, kelainan atau kelemahan struktur organdada dan
penurunan kesadaran. Juga adanya tinfakan invasif seperti infus, intubasi, trakeostomi, atau
pemasangan ventilator. Perlu diteliti faktor lingkungan khususnya tempat kediaman misalnya
di rumah jompo, penggunaan antibiotik (AB) dan suntik IV, serta keadaan alkoholik yang
meningkatkan kemungkinan terinfeksi kuman gram negatif. Pasien-pasien PK juga dapat
terinfeksi oleh berbagai jenis patogen yang baru.
Patogenesis
Proses patogenesis pneumoni terkait dengan 3 faktor yaitu keadaan (imunitas) inang,
mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang berinteraksi satu sama lain.
Interaksi ini akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari pneumonia, berat
ringannya penyakit, diagnostik empirik, rencana terapi secara empiris serta prognosis dari
pasien.
Cara terjadinya penularan berkaitan dengan jenis kuman, misalnya infeksi melaui
droplet sering disebabkan Streptococcus pneumoniae, melalui selang infus oleh
Staphylococcus aureus sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh P. Aeruginosa dan
Enterobacter. Pada masa kini terlihat perubahan pola mikroorganisme penyebab ISNBA
akibat adanya perubahan keadaan pasien seperti gangguan kekebalan dan penyakit kronik,
polusi lingkungan, dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat yang menimbulkan perubahan
karakteristik kuman. Dijumpai peningkatan patogenitas / jenis kuman akibat adanya berbagai
mekanisme, terutama oleh S. Aureus, B. Catarrhalis, H. Influenza dan Enterobacteriaceae
juga oleh berbagai bakteri enterik gram negatif.
Patogenesis PK
Gambaran interaksi dari ketiga faktor tersebut tercermin pada kecendrungan terjadinya
infeksi oleh kuman tertentu oleh faktor perubah (modifying factor), seperti terlihat pada tabel
1.
Patogen yang sampai ke trakhea terutama berasal dari aspirasi bahan orofaring, kebocoran
melalui mulut saluran endotrakheal, inhalasi, dan sumber bahan patogen yang mengalami
kolonisasi di pipa endotrakheal. PN terjadi akibat proses infeksi bila patogen yang masuk
saluran napas bagian bawah tersebut mengalami kolonisasi setelah dapat melewati hambatan
mekanisme pertahanan inang berupa daya tahan mekanik ( epitel cilia dan mukus), humoral
(antibodi dan komplemen ), dan selular ( leukosit polinuklear, makrofag, limfosit, dan
sitokin). Kolonisasi terjadi akibat adanya berbagai faktor inang dan terapi yang telah
dilakukan yaitu adanya penyakit penyerta yang berat, tindakan bedah, pemberian antibiotik,
obat-obatan lain, dan tindakan invasif pada saluran pernapasan. Mekanisme lain adalah
pasasi bakteri pencernaan ke paru, penyebaran hematogen, dan akibat tindakan intubasi.
Faktor risiko terjadinya PN dapat dikelompokkan atas 2 golongan yaitu yang tidak
dapat diubah yang berkaitan dengan inang (seks pria, penyakit paru kronik, atau gagal organ
jamak) dan terkait tindakan yang diberikan (intubasi atau selang nasogastrik). Pada faktor
yang dapat diubah dapat dilakukan upaya berupa mengontrol infeksi, desinfeksi dengan
alkohol, pengawasan patogen resisten (multidrug resistent MDR), penghentian dini
pemakaian alat invasif, dan pengaturan tatacara pemakaian AB. Faktor risiko kritis adalah
ventilasi mekanik > 48 jam, lamanya perawatan di ICU, skor APACHE, adanya ARDS (acute
respiratory syndrome).
PN dan PBV onset dini terjadi dalam 4 hari pertama masuk RS, biasanya disebabkan
oleh bakteri yang sensitif terhadap AB, kecuali bila telah pernah sebelumnya mendapat AB
atau dirawat di RS dalam waktu 90 hari. PN dan PBV onset lanjut (hari ke 5 atau lebih) lebih
mungkin disebabkan oleh patogen MDR yang berkaitan dengan mortalitas dan morbiditas
yang tinggi. Faktor risiko terjadinya infeksi pada PBV dapat dilihat di tabel 2.
Etiologi
Cara terjadinya penularan berkaitan pula dengan jenis kuman, misalnya infeksi melalui
droplet sering disebabkan Streptococcus pneumoniae, melalui selang infus oleh
Staphylococcus aureus sedangkan infeksi pemakaian ventilator oleh P.aeruginosa dan
Enterobacter. Pada masa kini perubahan pola mikroorganisme penyebab ISNBA akibat
adanya perubahan keadaan pasien seperti gangguan kekebalan dan penyakit kronik, polusi
lingkungan, dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat hingga menimbulkan perubahan
karakteristik kuman. Terjadilah peningkatan patogenitas/ jenis kuman. Terutama S.aureus, B.
Catarrhalis, H. Influenzae dan Enterobacteriae oleh adanya berbagai mekanisme, juga
dijumpai pada berbagai bakteri enterik gram negatif.
Etiologi pneumonia berbeda-beda [ada berbagai tipe dari pneumonia, dan hal ini
berdampak kepada obat yang akan diberikan. Mikroorganisme penyebab yang tersering
adalah bakteri, yang berbeda jenisnya antar negara, antar satu daerah dengan daerah lain
pada suatu negara, diluar RS dan di dalam RS, antara RS besar/ tersier dengan RS yang lebih
kecil. Karena itu perlu diketahui dengan baik pola kuman di suatu tempat. Indonesia belum
mempunyai data mengenai pola kuman penyebab secara umum, karena itu meskipun pola
kuman di luar negeri tidak sepenuhnya cocok dengan pola kuman di Indonesia, maka
pedoman yang berdasarkan pola kuman diluar negeri dapat dipakai sebagai acuan secara
umum.
Diketahui berbagai patogen yang cenderung dijumpai pada faktor risiko trtentu misalnya
H.influenza pada pasien perokok, patogen atipikal pada lansia, gram negatif pada pasien dari
rumah jompo, dengan adanya PPOK, penyakit penyerta kardiopulmonal/ jamak, atau pasca
terapi antibiotika spektrum luas. Ps.aeruginosa pada pasien dengan bronkiektasis, terapi
steroid (>10mg/hari), malnutrisi dan imunosupresi dengan disertai leukopeni.
Pada PK rawat jalan jenis patogen tidak diketahui pada 40% kasus. Dilaporkan
adanya Str. Pneumoniae pada 9-20%, M.pneumoniae 13-37%, Chlamydia pneumoniae 17%.
Patogen pada PK rawat inap diluar ICU. Pada 20-70% tidak diketahui penyebabnya.
Str. Pneumoniae dijumpai pada 20-60%, H.influenzae 3-10%, dan oleh S. Aureus, gram
negatif enterik, M. Pneumoniae, C. Pneumoniae, legionella dan virus sebesar 10%. Kejadian
infeksi kuman atipikal mencapai 40-60%. Infeksi patogen gram negatif bisa mencapai 10%
terutama pada pasien dengan komorbiditas penyakit lain seperti disebut diatas. Ps.
aueruginosa dilaporkan sebesar 4%.patogen pada PK rawat inap di ICU. Sebanyak 10% dari
PK dirawat di ICU, 50-60% tidak diketahui penyebabnya, sekitar 33% disebabkan oleh str.
Pneumoniae. Disamping patogen yang didapatkan peningkatan infeksi patogen gram negatif.
Enterobacteriacae dijumpai pada 20% =. 10-20% di antaranya oleh Ps. Aeruginosa terutama
pasien bronkiektasis.
Pada rumah jompo lebih sering dijumpai S.aureus yang resisten methisilin
(Methycilline resistant S.aureus-MRSA), bakteri gram negatif, M.tuberculosis dan virus
tertentu (adenovirus, cyncytial virus (RSV), dan influenza).
Etiologi tergantung pada 3 faktor yaitu: tingkat berat sakit, adanya risiko untuk jenis patogen
tertentu, dan masa menjelang timbul onset pneumonia.hal ini dapat dilihat pada tabel 3.
Diagnosis
Penegakan diagnosis dibuat dengan maksud pengarahan kepada pemberian terapi yaitu
dengan cara mencakup bentuk dan luas penyakit, tingkat berat penyakit, dan perkiraan jenis
kuman penyebab infeksi. Dugaan mikroorganisme penyebab infeksi akan mengarahkan
kepada pemilihan terapi empiris antibiotik yang tepat (tabel 6). Seringkali bentuk pneumonia
mirip meskipun disebabkan oleh kuman yang berbeda. Diagnosis pneumonia didasarkan
kepada riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisis yang diteliti dan pemeriksaan
penunjang.
c. Usia pasien : bayi (virus), muda (M. Pneumoniae), dewasa (S. Pneumoniae)
d. Awitan : cepat, akut, rusty coloured sputum ( S. Pneumoniae); perlahan, dengan batuk,
dahak sedikit (M. Pneumoniae).
Pemeriksaan fisis. Presentasi bervariasi tergantung etiologi, usia, dan keadaan klinis.
Perhatikan gejala klinis yang mengarah pada tipe kumam penyebab /patogenitas kuman dan
tingkat berat penyakit:
a). Awitan akut biasanya oleh kuman patogen seperti S. Pneumoniae, Streptococcus spp,
Staphylococcus. Pneumonia virus ditandai dengan mialgia, malaise, batuk kering dan
nonproduktif.
b). Awitan lebih insidious dan ringan pada orang tua / imunitas menurun akibat kuman yang
kurang patogen / oportunistik, misalnya; klebsiella, pseudomonas, enterobacteriaceae,
kuman anaerob, jamur.
c). Tanda-tanda fisis pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan berupa demam, sesak napas,
tanda-tanda konsolidasi paru (perkusi paru yang pekak, ronki nyaring, suara napas bronkial).
Bentuk klasik pada PK primer brtupa bronkopneumonia, pneumonia lobaris,natau
pleuropneumonia. Gejala atau bentuk yang tidak khas dijumpai pada PK yang sekunder
(didahului penyakit dasar paru) ataupun PN. Dapat diperoleh untuk bentuk manifestasi lain
infeksi paru seperti efusi pleura, pneumothoraks/ hidro pneumo thoraks. Pada pasien PN atau
dengan gangguan imun dapat dijumpai gangguan kesadaran oleh hipoksia.
Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan radiologis. Pola radiologis berupa pneumonia alveolar dengan gambaran air
bronkhogram (airspace disease) misalnya oleh Streptococus pneumoniae, bronkopneumonia
(segmental disease) oleh antara lain staphylococcus, virus atau mikoplasma; dan pneumonia
interstisial (intertitial disease) oleh virus dan mikoplasma.
Distribusi infiltrat pada segmen apikal lobus bawah atau inferior lobus atas sugestif
untuk kuman aspirasi. Tetapi pada pasien tidak sadar, lokasi ini bisa di mana saja. Infiltrat di
lobus atas sering ditimbulkan klebsiella spp, tuberkulosis, atau amiloidosis. Pada lobus bawah
dapat terjadi infiltrat akibat Staphylococcus atau bakteriemia.
Bentuk lesi berupa kavitasi dengan air-fluid level sugestif untuk abses paru, infeksi
anaerob, gram negatif atau amiloidosis. Efusi pleura dengan pneumonia sering ditimbulkan
S.pneumoniae. dapat juga oleh kuman anaerob, S.pyogenes, E.coli dan Staphylococcus
(pada anak). Kadang- kadang K.pneumoniae, P. Pseudomallei.
Pembentukan kisata terdapat pada pneumonia nekrotikans / supurativa, abses dan fibrosis
akibat terjadinya nekrosis jaringan paru oleh kuman S. Aureus, K. Pneumoniae dan kuman-
kuman anaerob (streptococcus anaerob, bacteroides, fusobacterium). Ulangan foto perlu
dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya infeksi sekunder / tambahan, efusi pleura
penyerta yang terinfeksi atau pembentukan abses. Pada pasien yang mengalami perbaikan
klinis ulangan foto ini dapat ditunda karena resolusi pneumonia berlangsung 4-12 minggu.
Pemeriksaan khusus. Titer antibodi terhadap virus, legionella, dan mikoplasma. Nilai
diagnostik bila titer tinggi atau ada kenaikan titer 4 kali. Analisis gas darah dilakukan untuk
menilai tingkat hipoksia dan kebutuhan oksigen.
Pada pasien PN/PK yang rawat inap perlu diperiksakan analisa gas darah dan kultur darah.
Klasifikasi
Klasifikasi pneumonia yang lazim dipakai adalah seperti yang terlihat pada tabel 4 yang
didasarkan kepada faktor inang dan lingkungan. Klasifikasi ini membantu pelaksanaan terapi
pneumonia secara empirik.
Pneumonia komunitas
Indikasi perawatan di RS. Hal-hal diatas merupakan dasar untuk perawatan di rumah sakit.
Pasien berindikasi rawat di ICU menurut American Thoracic Sociaty adalah bila pasien PK
sakit berat yaitu bila 1 dari 2 kriteria mayor atau 2 dari kriteria minor. Kriteria mayaor
adalah: kebutuhan akan ventilator dan syok septik, kriteria minor berupa tensi sistolik
<90mmHg, mengenai multilobar, PaO2/FIO2 ratio >250. Kriteria rawat ICU dari British
Thoracic Society adalah frekuensi napas >30x/menit, diastolik <60mmHg, BUN >19.1mg/dl,
dan adanya penurunan kesadaran (confused).
Pasien dibagi atas 4 kelompok berdasarkan kepada tempat perawatan (rawat jalan,
rawat inap, perawatan di unit intensif/ICU); adanya penyakit penyerta kardiopulmonal - PKP
(PPOK, payah jantung); adanya faktor perubah (modifying factor-MF) yaitu faktor risiko
oleh pneumokokus resisten, faktor risiki infeksi gram negatif (termasuk rumah perawatan
rumah jompo), dan adanya faktor risiko P.aeruginosa-RPA (terutama pada rawat di ICU).
Pada cara pendekatan stratifikasi ini tempat terapi merupakan refleksi dari beratnya sakit
dengan keharusan rawat inap dan rawat ICU ditentukan berdasarkan kriteria tertentu. Secara
garis besar pasien dibagi atas rawat jalan dan rawat inap. Rawat inap dibagi atas a). Sakit
berat sampai sedang dengan atau tanpa risiko PKP atau faktor perubah dan b). Sakit berat
dengan atau tanpa disertai risiko P.aeruginosa.
Kelompok I. Rawat jalan yang tidak disertai riwayat penyakit kardiopulmonal ataupun
faktor perubah
Kelompok II . rawat jalan yang disertai riwayat penyakit kardiopulmonal dan /atau faktor
perubah ( faktor untuk DRSP atau bakteri Gram negatif)
Kelompok III. Rawat inap RS non ICU, yang disertai riwayat kardiopulmonal dan/atau
faktor perubah (termasuk yang berasal dari rumah jompo)
Kelompok IV. Rawat di ICU yang :a. Tidak disertai risiko Ps. Aureginosa-RPA; b. Disertai
risiko Ps.aureginosa RPA
Untuk tiap kelompok diidentifikasi jenis patogen secara bertingkat yang paling sering
menjadi penyebab pneumonia. Patogen penyebab pada rumah jompo lebih sering disebabkan
oleh patogen seperti disebutkan pada uraian etiologi.
Pneumonia Nosokomial
Kriteria pneumonia nosokomial. Mengingat gambaran PN yang tidak khas dan berbeda
dari PK, makanuntuk diagnosis PN digunakan kriteria diagnosis PN yang diajukan oleh
centers for disease control and prevention (CDC), USA, seperti terlihat pad tabel 5.
Penatalaksanaan
Pneumonia komunitas
Antibiotik empirik. Pasien pada awalnya diberikan terapi empirik yang ditujukan pada
patogen yang paling mungkin menjadi penyebab seperti tercantum pada bagan 1bila telah ada
hasil kultur dilakukan penyesuaian obat. Diluar negeri terhadap semua pasien dianjurkan
kemungkinan terapi patogen atipik yang berdasarkan faktor risikonya. Disertai / tanpa AB
lain. Pada pasien rawat inap AB harus diberikan dalam 8 jam pertama dirawat di RS.
Stratifikasi kelompok ini menjadi dasar dari pengarahan pemberian terapi pada PK (tabel 6).
Faktor pasien.
Yaitu urgensi/ cara pemberian obat berdasarkan tingkat berat sakit ISNBA dan keadaan
umum/ kesadaran, mekanisme imunologis, umur, defisiensi genetik/organ, kehamilan, alergi.
Pasien berobat jalan dapat diberikan obat oral, pasien sakit berat diberikan intravena.
Faktor antibiotik.
Tidak mungkin mendapatkan 1 jenis antibiotik yang ampuh untuk semua jenis kuman.
Karena itu penting dipahami berbagai aspek tentang AB untuk efisiensi pemakaian AB.
Secara praktis dipilih AB yang ampuh dan secara empirik telah terbukti merupakan obat
pilihan utama dalam mengatasi kuman penyebab yang paling mungkin pada pneumonia atau
bentuk lain ISNBA berdasarkan data antibiogram mikrobiologi dalam 6-12 bulan terakhir.
Efektivitas AB tergantung kepada kepekaan kuman terhadap AB ini, penetrasinya ke tempat
lesi infeksi, toksisitas, interaksi dengan obat lain dan reaksi pasien misalnya alergi atau
intoleransi.
Faktor farmakologis.
Cara pemilihan AB
a. AB tunggal. Dipilih yang paling cocok diberikan pada pasien PK yang asalnya sehat
dan gambaran klinisnya sugestif disebabkan oleh tipe kuman tertentu yang sensitif.
b. Kombinasi AB. Diberikan dengan maksud untuk mencakup spektrum kuman-kuman
yang dicurigai, untuk meningkatkan aktivitas spektrum, dan pada infeksi yang jamak.
Bila perlu diusahakan pula perbaikan penetrasi obat, misalnya drainase sputum pada
bronkiektasis terinfeksi. Bila telah didapat hasil kultur dan tesm kepekaan maka hasil ini
dapat dijadikan pertimbangan untuk memberikan AB yang lebih terarah atau monoterapi.
AB yang dibarikan adalah AB dengan spektrum luas, yang kemudian sesuai hasil
kultur dirubah menjadi AB spektrum sempit. Lama pemberian terapi ditentukan berdasarkan
adanya penyakit penyerta dan/atau bakteriemi, beratnya penyakit pada onset terapi dan
perjalanan penyakit pasien. Umumnya terapi diberikan selama 7-10 hari. Untuk infeksi
M.pneumoniae dan C. Pneumoniae selama 10-14 hari, sedangkan pada pasien dengan terapi
steroid jangka panjang selama 14 hari atau lebih.
Pada terapi PK rawat inap, proses perbaikanakan terlihat 3 tahap yaitu tahap 1. Pada
saat pemberian AB IV selama 3 hari akan terlihat pasien stabil secara klinik; kemudian
terlihat perbaikan keluhan dan tanda fisik serta nilai laboratorium. Pada fase ke 3 terlihat
penyembuhan dan resolusi penyakit. Keterlambatan perbaikan klinik dapat disebabkan
patogen yang resisten atau bakteriemi. Di samping itu faktor inang berupa usia tua, penyakit
penyerta jamak atau progresifitas penyakit. Dapat pula disebabkan oleh alkoholik, pneumonia
multilober, atau empiema. Bila keadaan klinik membaik dengan berkurangnya batuk, afebril
dalam 2x8 jam berturutan, lekositosis menurun dan fungsi saluran cerna membaik, makan
dilakukan alih terapi ke AB per oral yang dianggap cocok dengan patogen penyebabnya.
Kepulangan pasien dari rawat inap tergantung juga kepada kondisi pasien dan adanya
penyakit penyerta.
Bila belum ada respon yang baik dalam 72 jam ( terjadi pada 10% pasien), lakukan
evaluasi terhadap adanya kemungkinan patogen yang resistenm komplikasi atau penyakitnya
bukan pneumonia. Reevaluasi ditujukan kepada faktor predisposisi dari terjadinya infeksi.
Telah diketahui bahwa kuman penyebab berbeda pada pneumonia komunitas dengan
pneumonia nosokomial, dan antara satu kasus dengan kasus lainnya. Dengan demikian tidak
ada patokan tetap dalam pemilihan jenis AB. Berdasarkan pengetahuan dan perkiraan jenis
kuman penyebab tingkat berat sakit PK atau PN dapat dipilih terapi awal jenis AB, yang
kemudian diikuti pemberian AB lanjutan dengan mempertimbangkan hasil bakteriologi dan
respon klinis.
Ketentuan untuk memberikan makrolid pada pasien PK berat di daerah Asia perlu
diteliti lebih lanjut. Penelitian di Malaysia terhadap pasien PK yang diberikan makrolid dan
tidak diberikan makrolid tidak didaptkanperbedaan manfaat yang bermakna khususnya
mengenai mortalitas, penggunaan ventilator, ataupun lamanya rawat inap. Hal ini berkaitan
dengan perbedaan jenis dan kepekaan patogen penyebab PK.
Pneumonia Nosokomial.
Strategi terapi pada PN berdasarkan keadaan klinik dan bakteriologik pasien seperti
tercantum pada bagan 1. Berdasarkan pertimbangan ada atau tidaknya onset lambat 5 hari
dan adanya faktor risiko patogen MDR, diberikan terapi empirik awal dengan terapi AB
spektrum terbatas (tabel7), atau spektrum luas AB untuk patogen MDR (tabel 8). Dosis
untuk dapat dilihat pada tabel 9. Terapi segera diberikan karena keterlambatan terapi dapat
mengakibatkan peningkatan mortalitas. Pasien diberikan terapi empirik didasarkan kepada
risiko infeksi MDR dan gram negatif dalam bentuk kombinasi, dan monoterapi bila tidak ada
risiko MDR. Hal ini untuk mencegah terjadinya resistensi patogen pada saat terapi terhadap
P.aeruginosa, dan pada saat memberikan sefalosporin gen ke-3 terhadap enterobakter.
Diberikan terapi jangka pendek dalam 7 hari bila didapat respon yang baik, dan penyebabnya
bukan P. Aeruginosa.
Pada umumnya spektrum aktivitas AB apapun tidak mencakup semua kuman penting
yang biasa menjadi penyebab PN, kecuali sefpirom dan karbapenem. Sefpirom merupakan
sefalosporin gen ke-4 yang spektrumnya mencakup sebagian besar kuman penyebab infeksi
nosokomial di ruanga umum/ICU termasuk Staphylococcus aureus dan Staphylococcus
caogulase negatif. Seperti halnya sefalosporin lain dan karbapene, sefpirom kurang aktif
terhadap MRSA. Untuk MRSA yang diperkirakan terjadi pada 20% dari infeksi
Staphylococcus dapat dipergunakan vankomisin atau linezolid.
Modifikasi AB perlu dilakukan bila telah didapat hasil bakteriologik dari bahan
sputum atau darah. Respon terhadap AB dievaluasi dalam 72 jam. Kegagalan terapi dapat
disebabkan kesalahan diagnosis, kesalahan sangkaan patogenn atau komplikasi. Kesalahan
diagnosis karena terdapat penyakit lain berupa atelektasis, emboli paru, ARDS, penyakit
dasar neoplasma. Patogen penyebab mungkin berupa MDR (bakteri, mikobakteri, virus,
jamur) atau karena salah terapi misalnya dosis yang tak adekuat atau cara pemberian yang
salah. Komplikasi yang mungkin terjadi misalnya empiema, abses paru, superinfeksi atau
demam akibat obat (drug fever). Dapat juga karena faktor inang berupa respon imun yang
menurun, obstruksi saluran napas.
Bila telah ada hasil kultur, AB dimodifikasi biladidapatkan kuman yang resisten yang
tidak tercakup dalam sepktrum AB yang sedang diberikan, atau sebaliknya dipakai AB
dengan spektrum yang lebih sempit atau lebih ringan bila ps.aeruginosa dan anisobakter tidak
ditemukan.
Komplikasi
Pencegahan
Pneumonia komunitas
Di luar negeri dianjurkan pemberian vaksinasi influenza dan pneumokokus pada orang
dengan risiko tinggi, dengan gangguan imunologis penyakit berat termasuk penyakit paru
kronik, hati, ginjal, dan jantung. Di samping itu vaksinasi juga perlu diberikan untuk
penghuni rumah jompo atau rumah penampungan penyakit kronik, dan usia diatas 65 tahun.
Pneumonia nosokomial
Prognosis
Pneumonia komunitas
Kejadian PK di USA adalah 3.4-4 juta kasus per tahun, dan 20% diantaranya perlu dirawat di
RS. Secara umum angka kematian pneumonia oleh pneumokokus adalah sebesar 5%, namun
dapat meningkat pad orang tua dengan kondisi yang buruk. Pneumonia dengan influenza di
USA meupakan penyebab kematian no. 6 dengan kejadian sebesar 59%. Sebagian besar pada
lanjut usia yaitu sebesar 89%. Mortalitas CAP yang dirawat di ICU adalah sebesar 20%.
Mortalitas yang tinggi ini berkaitan dengan faktor perubah yang ada pada pasien.
Pneumonia nosokomial
Angka mortalitas PN dapat mencapai 33-50% yang bisa mencapai 70% bila termasuk yang
meninggal akibat penyakit dasar yang didaritanya. Penyebab kematian biasanya adalah
bakteriemi terutama oleh Ps. Aeruginosa atau Acinobacter spp.
Pneumonia aspirasi
Aspirasi merupakan proses terbawanya bahan yang ada di oraofaring pada saat respirasi ke
saluran napas bawahdan dapat menimbulkan kerusakan parenkim paru.kerusakan yang terjadi
tergantung jumlah dan jenis bahan yang teraspirasi serta daya tahan tubuh. Sindrom aspirasi
dikenal dalam berbagai bentuk berdasarkan etiologi dan patofisiologi yang berbeda dan cara
terapi juga berbeda. Di Amerika pneumonia aspirasi sering terjadi pada komunitas (PAK)
adalah sebanyak 1200 per 100.000 penduduk per tahun, sedangkan pneumonia aspirasi
nosokomial (PAN) sebesar 800 pasien per 100.000 pasien rawat inap per tahun. PA sering
dijumpai pada pria daripada wanita, terutama pada anak dan lanjut usia.
Patofisiologi
Pneumonia aspirasi dapat disebabkan oleh infeksi kuman, pneumonitis kimia akibat aspirasi
bahan toksik, akibat aspirasi cairan inert misalnya cairan makanan atau lambung, edema paru,
dan obstruksi mekanik simpel oleh bahan padat.
Juga berperan jumlah bahan aspirasi, higiene gigi yang tidak baik, dan gangguan mekanisme
klirens saluran napas.
Luas dan beratnya kondisi psien tergantung pada volume dan keasaman cairan lambung.
Jumlah asam lambung yang banyak dapat menimbulkan gangguan pernapasan akut dalam
waktu 1 jam setelah obstruksi sebagai akibat dari aspirat atau cairan yang masuk ke saluran
napas. Namun biasanya aspirasi sedikit hingga hanya menimbulkan sakit ringan. PA sering
dijumpai pada keadaan emergensi yaitu pada pasien dengan gangguan kesadaran dengan atau
tanpa gangguan menelan. Karena itu perlu diwaspadai risiko terjadinya Papada pasien dengan
infeksi, intoksikasi obat, gangguan metabolisme, stroke akut dengan atau tanpa massa di otak
atau cedera kepala. Aspirasi cairan lambung dapat menimbulkan pneumonitis kimia (sindrom
mandelson) dan pneumonitis bakteril yang sering terjadi akibat flora orofaring.
Etiologi
Infeksi terjadi secara endogen oleh kuman orofaring yang biasanya polimikrobal namun
jenisnya tergantung kepada lokasi, tempat terjadinya, yauti komunitas atau di RS. Pada PAK,
kuman patogen terutama berupa kuman anaerob obligat (41-46%) yang terdapat disekitar gigi
dan dikeluarkan melalui ludah , misalnya peptococcus yang juga dapat disertai klebsiella
pneumoniae dan staphylococcus, ataupun fusobacterium nucleatum, bacteriodes
melaninogenicus, dan peptostreptococcus. Pada PAN pasien di RS kumannya berasal dari
kolonisais kuman anaerob fakulatif, batang gram negatif, pseudomonas, proteus, serratia, dan
S.aureus disamping bisa juga disertai oleh kuman anaerob obligat diatas. Pada pasien yang
berasal dari rumah perawatan (nursing home) dapat terinfeksi patogen seperti halnya pada
infeksi nosokomial. Manifestasi pneumonia aspirasi dapat berupa bronkopneumonia,
pneumonia lobar, pneumonia nekrotikans, atau abses paru dan dapat diikuti terjadinya
empiema.
Diagnosis
Terapi
Pasien dibaringkan setengah duduk. Pada pasien dengan disfagi dan atau gangguan refleks
penelan mungkin perlu dipasang selang nasogastrik. Pada PAK terapi empirik haruslah
mencakup patogen anaerob, sedangkan pada PAN harus pula mencakup patogen Gram
negatif dan S. Aureus sampai hasil kultur sputum memberikan hasil untuk penentuan terapi
antibiotika.
Pneumonia aspirasi dengan tipe didapat di masyarakat diberika penisilin atau sefalosporin
generasi ke-3, ataupun klindamisin 600 mg iv/8jam bila penisilin tidak mempan atau alergi
terhadap penisilin. Bila PA didapat di rumah sakit diberikan antibiotik spektrum luas
terhadap kuman aerob dan anaerob, misalnya aminoglikosida dikombinasikan dengan
sefalosporin generasi ke-3 atau ke-4, atau klindamisin. Perlu dipertimbangkan pola dan
resistensi kuman di rumah sakit bersangkutan. Dilakukan evaluasi hasil terapi dan resolusi
terhadap terapi berdasarkan gambaran klinis bakteriologis untuk memutuskan penggantian
atau penyesuaian AB.
Tidak ada patokan pasti lamanya terapi. AB perlu diteruskan hingga kondisi pasien membaik,
gambaran radiologis bersih atau stabilselama 2 minggu. Biasanya diperlukan terapi 3-6
minggu. Pada empiema perlu dipasang WSD (water sealed drainage), dan pada pasien yang
pada foto toraks memberikan gambaran abses paru yang diduga disertai penyumbatan saluran
napas atau bekuan mukus perlu dilakukan bronkoskopi teraupetik. Bedah terhadap abses
tidak diperlukan kecuali bila respon terapi kurang dan terjadi relaps infeksi di tempat yang
sama. Kortikosteroid diberikan sebagai obat tambahan bila terdapat bronkokonstriktif reaktif.
Dapat terjadi gagal napas akut dengan/ tanpa disertai reaktif saluran napas, empiema, abses
paru dan superinfeksi paru. Angka mortalitas PAK sebesar 5% dan meningkat menjadi 20%
pada PAN.
Prognosis
Angka mortalitas pneumonitis yang tidak disertai komplikasi sebesar 5%, sedangkan pada
aspirasi masif dengan/tanpa sindrom mandelson mencapai 70%.
Pada pasien dengan gangguan imun terdapat faktor predisposisi berupa kekurangan imunitas
akibat proses penyakit dasarnya atau akibat terapi. Gangguan ini terdapat dalam berbagai
kategori abnormalitas yaitu mekanisme pertahanan tubuh, misalnya gangguan dari
imunoglobulin, defek sel granulosit, defek fungsi sel T. Bentuk pneumonia yang terjadi
tergantung pada defek imunitas tersebut. Pemberian kemoterapi merusak ketahanan mukosa
sehingga memudahkan terjadinya invasi kuman.
Infeksi merupakan penyebab kematian yang tersering terutama pada pasien leukemia akut.
Lokasi infeksi yang utama adalah di saluran napas bawah. Infeksi pada pasien ini sulit
didiagnosis, sulit diterapi, serta buruk prognosisnya. Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh
kuman patogen atau mikroorganisme yang biasanya nonvirulen, berupa bakteri, protozoa,
parasit, virus, jamur, dan cacing.
Perubahan flora kuman orofaring dan saluran napas atas pada gangguan imun cepat terjadi
hingga terutama dijumpai kuman Gram negatif dan setelah terapi antibiotik atau steroid juga
didapatkan kandidiasis. Tindakan pengisapan, intubasi atau bronkoskopi menyebabkan
adanya kolonisasi kuman di saluran napas bawah. Pasien granulositopenia dan gangguan
granulosit cenderung peka untuk infeksi oleh kuman Gram negatif batang S. Aureus atau
jamur aspergilus dan zigomisetes. Sebaliknya pasien dengan gangguan imunitas seluler
cenderung terinfeksi oleh infeksi virus terutama grup virus herpes (CMV dan herpes
simpleks) dan adenovirus, mikobakterium, pneumocystic carinii, toksoplasma, kriptokokus,
aspergilus, dan nokardia.
Diagnosis ditegakkan atas dasar adanya faktor predisposisi, status epidemiologi, tingkat
awitan dan progresivitas penyakit. Gambaran klinis bervariasi, awitan akut mungkin oleh
bakteri atau aspergilus; subakut yaitu dalam beberapa hari oleh P.carinii atau nokardia, dan
dalam beberapa minggu mungkin oleh mikobakteria, atau jamur. Gambaran konsolidasi pada
foto toraks mungkin minimal atau tidak ada pada infeksi bakteri dengan granulositopenia
berat, suatu hal yang tidak sesuai dengan beratnya proses patologi. Pemeriksaan invasif
biperlukan bilamana diagnosis sulit ditegakkan. Bila setelah terapi empiris febris timbul lagi,
perlu dipertimbangkan kemungkinan terjadi rekurensi atau infeksi oleh kuman lain, perlu
dilakukan pemeriksaan ulang.
Perlu periksa bahan dari sputum, darah, atau cairan terhadap kemungkinan penyebab tersebut.
Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan invasif misalnya bronkoskopi untuk melakukan
cuci bronkus, biopsi transtorakal, dan biopsi paru dengan cara video assisted thoracoscopy.
Gambaran infiltrat paru pada foto torak perlu dipikirkan kemungkinan penyebab lain
selaininfeksi seperti edem paru, reaksi obat, infark paru, kanker paru, dan pneumonitis
radiasi. Terapi empiris segera dimulai bila tindakan diatas dianggap kurang menguntungkan.
Pneumonia komunitas pada usia lanjut (diatas 60 tahun)terutama terjadi pad 2 kelompok
yaitu yang usia lanjut yang tinggal di rumah tinggal dan yang tinggal di rumah perawatan.
Kelompok kedua ini bila ditinjau dari flora orofaring dan besarnya kontak dengan antibiotika
dapat dianggap berbeda diantara pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial.
Gambaran klinis yang ditemukan umumnya berbeda daripada gambaran pada usia lebih
muda, yaitu dengan onset yang insidius, sedikit batuk dan demam ringan, dan sering disertai
dengan gangguan status mental (bingung), dan lemah. Kelainan fisik paru biasanya ringan.
Patogen penyebab tersering adalah str. Pneumonia (30-60%), H.influenza (20%), dan
M.catharalis. dapat terjadi pneumonia aspirasi oleh campuran kuman aerob dan anaerob dari
faring akibat adanya gangguan rfleks menelan atau gangguan sraf motorik faring. Pada usia
lanjut di rumah perawatan yang baru selesai rawat inap di rumah sakit dengan pemberian
antibiotik dijumpai peningkatan kolonisasi kuman gram negatif. Bila terjadi aspirasi maka
akan diumpai pneumonia oleh patogen K.pneumonia, E.coli, enterobakteria lain dan P.
Aeruginosa. Pada usia lanjut dari rumah perawatan penyebab pneumonia dalaha kuman Gram
negatif (20-40%), S aureus (10%), dan M. Pneumonia menjadi penyebab pneumonia pada 9%
kasus yang berusia >65 tahun.
Pneumonia kronik
Pneumonia kronik dapat berupa pneumonia karena infeksi dan bukan karena infeksi.
Pneumonia non-infeksi antara lain pneumonia interstitial kronik yang disebabkan oleh proses
degeneratif yang menyebabkan terjadinya inflamasi dan proses dibrosis pada alveolar yang
diikuti indurasu dan atrofi paru.
Pneumonia rekuren
Disebut pneumonia rekuren (PR) atau berulang bila dijumpai 2 atau lebih episode infeksi
paru non-TB dengan berjarak waktu lebih dari 1 bulan dan disertai adanya febris, gambaran
infiltrat paru dan umumnya disertai sputum purulen, leukositosis dan respon terhadap
antibiotik yang baik. PR perlu dibedakan dari pneumoni relaps yaitu dengan adanya 1 episode
infeksi yang sama dan terjadi pada 2 waktu taua lebih serta berturutan dengan interval waktu
yang lebih pendek. Pada pneumonia relaps ini perlu dicari kelainan dasar paru, apakah
terdapatnya lokal atau pada beberapa tempat. Bila bersifat umum kelainan ini bisa dalam
bentuk kelainan kongenital, herediter atau didapat yang berhubungan dengan adanya kelainan
paru, jantung, gastrointestinal, gangguan imunitas, atau sebab lainnya.
Merupakan penyakit paru akibat kelompok gangguan paru yang beragam yang ditandai oleh
adanya infiltrasi eosinofil pada bronkus, alveoli, dan interstitium dari paru. Manifestasinya
dapat sebagai penyakit yang terbatas pada paru atau sebagai penyakit sistemik.
Hipereosinofilia mungkin tidak terdapat dia daerah perifer. Bentuk yang tersering adalah
eosinofilik paru yang simpel, pneumonia eosinofilik paru yang simpel, pneumonia
eosiofilikakut, pneumonia eosinofilik kronik, pneumonia eosinofilik akut , sindrom Churg-
Strauss. Sindrom eosinofilik idiopatik, aspergilosis bronkopulmoner eosinofilikm
granulomasitosis bronkosnetrik, akibat infeksi parasit atau reaksi obat. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan pad gambaran klinik, hasil laboratorium, gambaran radiologik, hasil cucian
bronkus, dan bilamana diperlukan dilakukan biopsi paru. Terapi terhadap penyebabnya.
Dikatakan bila pneumonia mengalami resolusi lambat yiautu bila pengurangan gambaran
konsolidasi pada foto toraks lebih kecil dan 50% dalam 2 minggu dan berlangsung lebih dan
21 hari.
Daftar Pustaka
1. Dahlan, Zul. Pneumonia Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor : Aru W.
Sudoyo, dkk. Jilid III Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 2009 ; 2196-206
2. Dahlan, Zul. Pneumonia Bentuk Khusus Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Editor : Aru W. Sudoyo, dkk. Jilid III Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009 ; 2207-14