Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Penuaan adalah suatu proses biologis, meskipun para ahli biologis belum menemukan
kesimpulan untuk menjelaskan karakteristik umum dari penuaan.1 Tahap usia tua akan dialami
oleh semua orang, ada perubahan fisik, psikis dan sosial yang terjadi. Di sisi lain kondisi fisik dan
psikis setiap orang lanjut usia akan berbeda.2 Proses penuaan otak abnormal merupakan bagian
dari proses degenerasi pada seluruh organ tubuh. Hal ini akan menimbulkan berbagai gangguan
neuropsikologis, dan masalah yang terbesar adalah demensia. Menurut World Health organization
(WHO), demensia adalah sindroma klinis yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan memori
yang sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari.3 Menurut WHO,
penduduk lansia dibagi atas; usia pertengahan (middle age) : 45-69 tahun, usia lanjut (elderly) :
60-74 tahun, tua (old) : 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) : lebih dari 90 tahun. Demensia
merupakan penyakit endemik di Indonesia, banyak sekali kasus demensia sekarang ini. Prevalensi
demensia diperkirakan sekitar 15% pada penduduk berusia lebih dari 65 tahun. Saat ini perhatian
dan pengetahuan masyarakat akan demensia masih sangat kurang. Masyarakat masih menganggap
demensia sebagai bagian proses menua yang wajar. Diagnosis demensia perlu ditegakkan secara
dini dan dibedakan berdasarkan etiologinya, usia awitan dan gambaran klinisnya. Penatalaksaan
pada stadium dini, baik secara farmakologis maupun non farmakologis dapat menyembuhkan atau
memperlambat progresivitas penyakit, sehingga penderita tetap mempunyai kualitas hidup yang
baik.4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Definisi lain yaitu menurut Perdossi, demensia adalah kumpulan gejala kronik yang
disebabkan oleh berbagai latar belakang penyakit dan ditandai oleh hilangnya daya ingat
jangka pendek (recent memory) dan gangguan global fungsi mental termasuk fungsi
bahasa, mundurnya kemampuan berpikir abstrak, kesulitan merawat diri sendiri, perubahan
perilaku, emosi labil dan hilangnya pengenalan waktu dan tempat, tanpa adanya gangguan
tingkat kesadaran atau situasi stress, sehingga menimbulkan gangguan pekerjaan, aktivitas
harian dan sosial.4

II. EPIDEMOLOGI
Demensia adalah suatu kemunduran intelektual berat dan progresif yang menggu
fungsi sosial, pekerjaan, dan aktivitas harian seseorang.5 Penyakit Alzheimer (AD)
merupakan penyebab yang paling sering, ditemukan pada 50-60% pasien demensia;
penderitanya diperkirakan berjumlah 35,6 juta di seluruh dunia (2010), yang akan
meningkat mencapai 65,7 juta di tahun 2030,6 sehingga diantara penduduk usia lanjut
dunia, penyakit Alzheimer diidap oleh setidaknya 5% populasi.7 Demensia vaskular
merupakan jenis demensia terbanyak ke-2 setelah demensia Alzheimer, dengan angka
kejadian 47% dari populasi demensia secara keseluruhan. Sisanya disebabkan demensia
lainnya.

III. ETIOLOGI
Demensia Alzheimer dan demensia vaskular merupakan demensia yang paling
banyak kasusnya. Penyebab demensia lainnya yang disebutkan dalam DSM-IV adalah
penyakit Pick, penyakit Creutzfeldt-Jakob, penyakit Huntington, penyakit Parkinson,
Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan trauma kepala.4
1. Demensia Alzheimer11,12,13
Adalah gangguan degeneratif yang menyerang sel-sel otak atau neuron secara
progresif yang mengakibatkan hilangnya memori, kemampuan berpikir dan berbahasa,
serta perubahan perilaku. Penyakit Alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif

2
yang secara epidemiologi terbagi 2 kelompok yaitu kelompok yang menderita pada
usia kurang 65 tahun disebut sebagai early onset sedangkan kelompok yang menderita
pada usia lebih dari 65 tahun disebut sebagai late onset.
Secara makroskopik, perubahan otak pada alzheimer melibatkan kerusakan berat
pada neuron korteks dan hipokampus serta penimbunan amiloid pada pembuluh darah
intrakranial. Secara mikroskopik, terdapat perubahan morfologis (struktural) dan
biokimia pada neuron-neuron. Perubahan morfologis terdiri dari dua ciri khas lesi yang
pada akhirnya berkembang menjadi degenari soma (badan) dan/atau akson dan dendrit
neuron. Dua ciri khas lesi tersebut yaitu kekusutan neurofibrilaris dan plak senile.
Neurofibrillary Tangle merupakan suatu struktur intraseluler yang berisi serat kusut
dan sebagian besar terdiri dari protein "tau". Dalam sistem saraf pusat, protein "tau"
sebagian besar sebagai penghambat pembentuk struktural yang terikat dan
menstabilkan mikrotubulus dan merupakan komponen penting dari sitoskeleton sel
neuron. Pada alzheimer ini, terjadi fosforilasi abnormal dari protein "tau" yang secara
kimia menyebabkan perubahan pada tau sehingga tidak lagi dapat terikat pada
mikrotubulus secara bersama-sama. Tau yang abnormal dapat terpuntir masuk ke
filamen heliks ganda. Dengan kolapsnya sistem transport internal, hubungan
interseluler adalah yang pertama kali tidak berfungsi dan akhirnya diikuti oleh
kematian sel. Pembentukan neuron yang kusut dan berkembangnya neuron yang rusak
ini yang salah satunya menyebabkan alzheimer.
Lesi khas yang kedua yaitu plak senilis, terdiri dari beta amiloid (A-beta) yang
terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel neuronal. A-beta
adalah fragmen protein prekursor amiloid (APP) yang pada keadaan normal melekat
pada membran neuron yang berperan dalam pertumbuhan dan pertahanan neuron. APP
terbagi menjadi fragmen-fragmen oleh enzim protease yang salah satu fragmennya
adalah A-beta, suatu fragmen yang lengket dan berkembang menjadi gumpalan yang
bisa larut. Pada alzheimer, gumpalan tersebut akhirnya tercampur dengan bagian dari
neuron dan sel-sel glia (khususnya mikroglia dan astrosit). Setelah beberapa waktu,
campuran tersebut membeku menjadi fibril-fibril yang membentuk plak yang matang,
padat, tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi neuron yang utuh. Selain itu, A-beta
mengganggu hubungan interselular dan menurunkan respons pembuluh darah sehingga

3
menyebabkan makin rentannya neuron-neuron terhadap stressor (missal iskemia).
Kemungkinan lain adalah bahwa A-beta menghasilkan radikal bebas sehingga
mengganggu hubungan intraseluler dan menurunkan respon pembuluh darah sehingga
mengakibatkan rentannya neuron terhadap stressor.
Perubahan biokimia dalam sistem saraf pusat adalah temuan mikroskopis khas lain
yang ditemukan pada alzheimer. Diketahui bahwa korteks otak manusia terdiri dari
sejumlah besar akson kolinergik yang melepaskan asetilkolin yang mana merupakan
kunci neurotransmitter dalam fungsi kognitif yang kemudian pada penderita alzheimer
ini terjadi penurunan pada neurotransmitter ini berhubung akson kolinergiknya
mengalami kerusakan. Oleh karena itu salah satu obat-obatan yang bekerja berupa
inhibitor kolinesterase yang bekerja menghambat enzim tersebut agar tidak
mendegradasi asetilkolin sehingga tidak memperparah kondisi.

2. Demensia Vaskular12,13
Demensia vaskuler merupakan suatu kelompok kondisi heterogen yang meliputi
semua sindroma demensia akibat iskemik, perdarahan, anoksik atau hipoksik otak
dengan penurunan fungsi kognitif mulai dari yang ringan sampai paling berat dan tidak
harus dengan gangguan memori yang menonjol.
Demensia vaskular diakibatkan oleh adanya penyakit pembuluh darah serebral.
Adanya infark tunggal di lokasi tertentu, episode hipotensi, leukoaraiosis, infark
komplit, dan perdarahan juga dapat menyebabkan timbulnya kelainan kognitif.
Sindrom demensia yang terjadi pada demensia vaskular merupakan konsekuensi dari
lesi hipoksia, iskemia, atau adanya perdarahan di otak. Tingkat prevalensi demensia
adalah 9 kali lebih tinggi pada pasien yang telah mengalami stroke. Satu tahun setelah
stroke, 25% pasien masuk dengan onset baru dari demensia. Prevalensi demensia
vaskular akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya usia seseorang, dan
lebih sering dijumpai pada laki-laki. Sebuah penelitian di Swedia menunjukkan resiko
terjadinya demensia vaskular pada laki-laki (khususnya pada mereka dengan hipertensi
yang telah ada sebelumnya atau faktor risiko kardiovaskular lainnya) sebesar 34,5%
dan perempuan sebesar 19,4%.

4
Gangguan terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil dan
sedang, yang mengalami infark menghasilkan lesi parenkim multipel yang menyebar
pada daerah otak yang luas. Penyebab infark mungkin termasuk oklusi pembuluh darah
oleh plak arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat asal yang jauh sebagai
contohnya katup jantung.

3. Penyakit Pick14
Penyakit Pick disebabkan penurunan fungsi mental dan perilaku yang terjadi secara
progresif dan lambat. Kelainan terdapat pada kortikal fokal pada lobus frontalis.
Penyakit ini juga sulit dibedakan dengan Alzheimer hanya bisa dengan otopsi, dimana
otak menunjukkan inklusi intraneunoral yang disebut badan Pick yang dibedakan
dari serabut neurofibrilaris pada Alzheimer. Diagnostik penyakit demensia penyakit
Pick:
a. Adanya gejala demensia yang progresif.
b. Gambaran neuropatologis berupa atrofi selektif dari lobus frontalis yang menonjol
disertai euforia, emosi tumpul, dan perilaku sosial yang kasar, disinhibisi, apatis,
gelisah.
c. Manifestasi gangguan perilaku pada umumnya mendahului gangguan daya ingat.

4. Penyakit Creutzfeldt-Jakob14,15
Suatu kelainan otak yang ditandai dengan penurunan fungsi mental yang cepat,
disertai kelainan pergerakan, terutama menyerang usia dewasa diatas 50 tahun.
Penyakit yang mirip terjadi pada domba dan sapi, jadi penularan bisa terjadi karena
memakan jaringan hewan yang terinfeksi. Terjadi kerusakan jaringan otak oleh suatu
organisme yang menyerupai virus (protein yang bisa ditularkan, yang disebut prion).
Gejalanya ditandai dengan kemunduran mental yang cepat, biasanya dalam beberapa
bulan. Meliputi perubahan kepribadian, depresi, kecemasan, demensia, penuruanan
kemampuan intelektual, kesulitan berbicara dan menelan, serta gerakan tersentak-
sentak yang tiba-tiba.

5
5. Penyakit Parkinson15
Demensia ini disebabkan adanya penyakit parkinson yang menyertai dengan gejala :
a. Disfungsi motorik.
b. Gangguan kognitif / demensia bagian dari gangguan.
c. Lobus frontalis dan defisit daya ingat.
d. Depresi.

6. Penyakit Huntington15
Suatu penyakit yang diturunkan, dimana sentakan atau kejang dan hilangnya sel-
sel otak secara bertahap mulai timbul pada usia pertengahan dan berkembang menjadi
korea, atetosis serta kemunduran mental. Disebabkan oleh adanya degenerasi bagian
otak pada ganglia basalis dan kortex serebral. Gejala muncul pada usia 35-40 tahun
berupa demensia progresif, hipertonisitas mascular, gerakan koreiform yang aneh.

7. Human Immunodeficiency Virus (HIV)15


Adalah suatu infeksi oleh salah satu dari 2 jenis virus (retrovirus), yaitu HIV-1 atau
HIV-2, yang secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit CD4+,
dan menyebabkan AIDS )Acquired Immunodeficiency Syndrome) dan penyakit lainnya
sebagai akibat dari gangguan kekebalan tubuh. Gejala pada otak biasanya berupa
hilangnya memori, kesulitan berpikir dan berkonsentrasi, demensia, lemas, tremor atau
kesulitan berjalan.

8. Trauma kepala

IV. MANIFESTASI KLINIS


Gambaran utama demensia adalah munculnya defisit kognitif multipleks, termasuk
gangguan memori, setidak-tidaknya satu di antara gangguan gangguan kognitif berikut ini:
afasia, apraksia, agnosia, atau gangguan dalam hal fungsi eksekutif. Defisit kognitif harus
sedemikian rupa sehingga mengganggu fungsi sosial atau okupasional (pergi ke sekolah,
bekerja, berbelanja, berpakaian, mandi, mengurus uang, dan kehidupan sehari-hari lainnya)
serta harus menggambarkan menurunnya fungsi luhur sebelumnya.

6
1. Gangguan memori
Dalam bentuk ketidakmampuannya untuk belajar tentang hal-hal baru, atau lupa
akan hal-hal yang baru saja dikenal, dikerjakan atau dipelajari. Sebagian penderita
demensia mengalami kedua jenis gangguan memori tadi. Penderita seringkali
kehilangan dompet dan kunci, lupa bahwa sedang meninggalkan bahan masakan di
kompor yang menyala, dan merasa asing terhadap tetangganya. Pada demensia tahap
lanjut, gangguan memori menjadi sedemikian berat sehingga penderita lupa akan
pekerjaan, sekolah, tanggal lahir, anggota keluarga, dan bahkan terhadap namanya
sendiri.

2. Gangguan orientasi
Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap orang, tempat, dan
waktu. Orientasi dapat terganggu secara progresif selama perjalanan penyakit
demensia. Sebagai contohnya, pasien dengan demensia mungkin lupa bagaimana
kembali ke ruangannya setelah pergi ke kamar mandi.

3. Gangguan bahasa
Penderita akan terlihat sulit untuk mencari kata yang tepat dalam mengungkapkan
isi pikirannya. Semakin parah penyakitnya, maka ucapan dan atau tulisan penderita jadi
sulit untuk dimengerti karena penderita menggunakan kalimat dengan substitusi kata-
kata yang tidak biasa digunakan. Contohnya: jika penderita sulit menemukan sikat
giginya, maka ia akan bertanya "sesuatu untuk mulut saya".

4. Apraksia
Penderita sulit mengerjakan tugas yang familiar. Penderita sering mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan tugas sehari-hari yang sangat mereka ketahui,
contohnya mereka tidak mengetahui langkah-langkah untuk menyiapkan makanan,
berpakaian, atau menggunakan perabot rumah tangga.

7
5. Agnosia
Ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda maupun fungsi
sensoriknya utuh. Sebagai contoh, penderita tak dapat mengenali kursi, pena, meskipun
visusnya baik. Akhirnya, penderita tak mengenal lagi anggota keluarganya dan bahkan
dirinya sendiri yang tampak pada cermin. Demikian pula, walaupun sensasi taktilnya
utuh, penderita tak mampu mengenali benda yang diletakkan di tangannya atau yang
disentuhnya misalnya kunci atau uang logam.

6. Gangguan fungsi eksekutif


Hal ini disebabkan karena frontal lobe penderita mengalami gangguan, ditandai
dengan: sulit menyelesaikan masalah, reasoning, pembuatan keputusan dan penilaian.
Misalnya penderita mengenakan baju tanpa mempertimbangkan cuaca, memakai
beberapa kaos di hari yang panas/ memakai pakaian yang sangat minim ketika cuaca
dingin.

7. Perubahan Kepribadian
Perubahan kepribadian pasien demensia merupakan gambaran yang paling
mengganggu bagi keluarga pasien yang terkena. Pasien dengan demensia juga mungkin
menjadi introvert dan tampaknya kurang memperhatikan tentang efek perilaku mereka
terhadap orang lain. Pasien demensia yang mempunyai waham paranoid biasanya
bersikap curiga atau bermusuhan terhadap anggota keluarga dan pengasuhnya. Pasien
dengan gangguan frontal dan temporal kemungkinan mengalami perubahan
kepribadian yang jelas dan mungkin mudah marah dan meledak-ledak. Selain itu
penderita juga sering mengalami delusi paranoid dan terkadang juga mengalami
halusinasi (dengar, visual, dan haptic). Sedangkan untuk gangguan perilaku, meliputi
agitasi (aktivitas verbal maupun motorik yang berlebihan dan tidak selaras), wandering
(mondar-mandir, mencari-cari/ membututi caregiver ke mana pun mereka pergi,
berjalan mengelilingi rumah, keluyuran), dan gangguan tidur (berupa disinhibisi, yaitu
perilaku yang melanggar norma-norma sosial, yang disebabkan oleh hilangnya fungsi
pengendalian diri individu).

8
V. DIAGNOSA
Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
neuropsikologis.
1. Anamnesis
Wawancara sebaiknya dilakukan pada penderita dan mereka yang sehari-hari
berhubungan langsung dengan penderita (pengasuh). Hal yang penting diperhatikan
adalah riwayat penurunan fungsi terutama kognitif dibandingkan dengan sebelumnya,
mendadak/progresif lambat dan adanya perubahan perilaku dan kepribadian.
a. Riwayat kesehatan/medis umum
Ditanyakan faktor resiko demensia, riwayat infeksi kronis (misalnya HIV dab
sifilis), gangguan endokrin (hiper/ hipotiroid), diabetes mellitus, neoplasma,
penyakit jantung, penyakit kolagen, hipertensi, hiperlipidemia, dan aterosklerosis.
b. Riwayat neurologis
Untuk mencari etiologi demensia seperti riwayat gangguan serebrovaskuler,
trauma kapitis, infeki SSP, epilepsy, tumor serebri, dan hidrosefalus.
c. Riwayat gangguan kognitif
Riwayat gangguan memori sesaat, jangka pendek dan jangka panjang:
gangguan orientasi ruang, waktu dan tempat; gangguan berbahasa/ komunikasi
(meliputi kelancaran, menyebut nama benda, maupun gangguan komprehensi);
gangguan fungsi eksekutif (meliputi pengorganisasian, perencanaan, dan
pelaksanaan suatu aktivitas), gangguan praksis dan visuospasial. Selain itu perlu
ditanyakan mengenai aktivitas harian, di antaranya melakukan pekerjaan, mengatur
keuangan, mepersiapkan keperluan harian, melaksanakan hobi, dan mengikuti
aktivitas sosial.
d. Riwayat Gangguan Perilaku dan Kepribadian
Gejala psikiatri dan perubahan perilaku sering dijumpai pada penderita
demensia. Hal ini perlu dibedakan dengan gangguan psikiatri murni, misalnya
depresi, skizofrenia, terutama tipe paranoid. Pada penderita demensia dapat
ditemukan gejala neuropsikologis berupa waham, halusinasi, miss-identifikasi,
depresi, apatis, dan cemas. Gejala perilaku dapat berupa bepergian tanpa tujuan
(wandering), agitasi, agresivitas fisik maupun verbal, restlessness, dan disinhibisi.

9
e. Riwayat Intoksikasi
Adanya riwayat intoksikasi aluminium, air raksa, pestisida, insektisida, dan
lem; alkoholisme, dan merokok. Riwayat pengobatan terutama pemakaian kronis
obat antidepresan dan antidepresan dan narkotik perlu diketahui pula.
f. Riwayat keluarga
Adakah keluarga yang mengalami demensia atau riwayat penyakit
serebrovaskular, gangguan psikiatri, depresi, penyakit Parkinson, Sindrom Down
dan retardasi mental.

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik terdiri dari pemeriksaan umum, neurologis dan neuropsikologis.
a. Pemeriksaan fisik umum
Terdiri dari pemeriksaan medis umum sebagaimana yang dilakukan dalam
praktek klinis.
b. Pemeriksaan neurologis
Adanya tekanan tinggi intra kranial, gangguan neurologis fokal, misalnya:
gangguan berjalan, gangguan motorik, sensorik, otonom, koordinasi, gangguan
penglihatan, pendengaran, keseimbangan, tonus otot, gerakan abnormal/ apraksia,
dan adanya refleks patologis dan primitif.

3. Pemeriksaan neuropsikologis
Meliputi evaluasi memori, orientasi, bahasa, kalkulasi, praksis, visuospasial, dan
visuoperseptual. Mini Mental State Examination (MMSE) dan Clock Drawing Test
(CDT) adalah pemeriksaan penapisan yang berguna untuk mengetahui adanya
disfungsi kognisi, menilai efektivitas pengobatan, dan untuk menentukan progresivitas
penyakit. Nilai normal MMSE adalah 24-30. Gejala awal demensia perlu
dipertimbangkan pada penderita dengan nilai MMSE kuurang dari 27, terutama pada
golongan berpendidikan tinggi. Selain itu pula dilakukan pemeriksaan aktivitas harian
dengan pemeriksaan Activity of Daily Living (ADL) dan Instrumental Activity of Daily
Living (IADL). Hasil pemeriksaan tersebut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, social,
dan budaya.

10
4. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium, pencitraan otak,
elektroenseflografi dan pemeriksaan genetika.
a. Pemeriksaaan laboratorium
Pemeriksaaan yang dianjurkan oleh American Academy of Neurology berupa
pemeriksaan darah lengkap termasuk elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, hormone
tiroid, dan kadar vitamin B12. Pemeriksaan HIV dan neurosifilis pada penderita
dengan resiko tinggi. Pemeriksaa cairan otak dilakukan hanya atas indikasi.
b. Pemeriksaaan pencitraan otak
Pemeriksaan ini berperan dalam menunjang diagnosis, menentukan beratnya
penyakit, meupun prognosis.
Computerized Tomography (CT)- Scan atau Metabolic Resonance Imaging
(MRI) dapat mendeteksi adanya kelainan structural, sedangkan Positron Emission
Tomography (PET) dan Single Photon Emission Tomography (SPECT) digunakan
untuk mendeteksi pemeriksaan fungsional. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi
adanya:
Gambaran normal sesuai dengan usia
Atrofi serebri umum
Perubahan pada pembuluh darah kecil yang tampak sebagai leukoensefalopati
Atrofi fokal terutama pada lobus temporal medial yang khas pada demensia
Alzheimer
Infark serebri, perdarahan subdural, atau tumor otak
MRI dapat menunjukkan kelainan struktur hipokampus secara jelas & berguna
untuk membedakan demensia Alzhimer dengan demensia vaskular pada stadium
awal.
Pemeriksaaan EEG
EEG tidak menunjukkan kelainan yang spesifik. Pada stadium lanjut dapat
ditemukan adanya perlambatan umum dan kompleks periodik.
Pemeriksaaan Genetika
Pemeriksaan genetika belum merupakan pemeriksaan rutin, dalam penelitian
dilakukan untuk mencari maka APOE, protein Tau, dll.

11
VI. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan farmakologis pada penderita dementia reversibel bertujuan untuk
pengobatan kausal, misalnya pada hiper/ hipotiroidi, defisiensi vitamin B12, intoksikasi,
gangguan nutrisi, infeksi dan ensefalopati metabolik. Progresifitas demensia vaskuler
dapat dihentikan dengan pengobatan terhadap faktor resiko dan pengobatan simptomatis
untuik substitusi defisit neurotransmitter. Namun hal ini tidak dapat menyembuhkan
penderita.
Pada demensia Alzheimer pengobatan bertujuan untuk menghentikan progresivitas
penyakit dan mempertahankan kualitas hidup. Beberapa golongan obat yang
direkomendasikan, antara lain:
1. Pengobatan simptomatis:
Pengobatan dengan golongan penghambat asetilkoloinesterase (seperti donepezil
hidroklorida, rivastigmin dan galantamin) bertujuan untuk mempertahankan jumlah
asetilkolin yang produksinya menurun. Obat golongan NMDA seperti memantin
dipasarkan di Indonesia saat ini.

2. Pengobatan dengan disease modifiying agents:


a. Obat golongan obat antiinflamasi non steroid (OAINS)
Pada proses pembentukan senile plaque dan neurofibrillary tangle dapat
diidentifikasi adanya elements of cell mediated immune response, sehingga
pemakaian OAINS dapat mengurangi proses ini.
b. Antioksidan
Antioksidan berfungsi menghambat oksidasi oleh radikal bebas yang
berlebihan sehingga merusak sel neuron. Antioksidan ini terdapat pada sayuran dan
buah-buahan, vitamin E, A, dan C.
c. Neurotropik
Obat golongan ini merupakan derivate neurotransmitter GABA yang
mempunyai efek fasilitasi neurotransmisi kolinergik dengan stimulasi sintesis dan
pelepasan asetilkolin.
d. Obat yang bekerja pada beta amiloid protein tau, dan presenilin

12
Penatalaksanaan non-farmakologis ditujukan untuk keluarga, lingkungan, dan
penderita dengan tujuan:
1. Menetapkan program aktivitas harian penderita
2. Orientasi realitas
3. Modifikasi perilaku
4. Memberikan informasi dan pelatihan yang benar pada keluarga, pengasuh dan
penderita.
5. Mepertahankan lingkungan yang familiar akan membantu penderita tetap memiliki
orientasi.

Program Harian Penderita:


1. Kegiatan harian teratur dan sistematis, meliputi latihan fisik untuk memacu aktivitas
fisik dan otak yang baik (brain- gym)
2. Asupan gizi berimbang, cukup serat, mengandung antioksidan, mudah dicerna,
penyajian menarik dan praktis
3. Mencegah/ mengelola faktor resiko yang dapat memperberat penyakit, misalnya:
hipertensi, gangguan vascular, diabetes, dan merokok.
4. Melaksanakan hobi dan aktivitas social sesuai dengan kemampuan
5. Melaksanakan LUPA (Latih, Ulang, Perhatian, dan Asosiasi)
6. Tingkatkan aktivitas saat siang hari, tempatkan di ruangan yang mendapatkan cahaya
cukup

Orientasi realitas:
1. Penderita diingatkan akan waktu dan tempat
2. Beri tanda khusus untuk tempat tertentu, misalnya kamar mandi
3. Pemberian stimulasi melalui latihan/ permainan, misalnya permainan monopoli, kartu,
scrabble, mengisi teka-teki silang, sudoku, dll. Hal ini member manfaat yang baik pada
predemensia (Mild Cognitive Impairment)
4. Menciptakan lingkungan yang familiar , aman, dan tenang. Hindari keadaan yang
membingungkan dan menimbulkan stress. Berikan keleluasaan bergerak.

13
VII. PROGNOSIS
Perkembangan demensia pada setiap orang berbeda. Demensia karena AIDS
biasanya dimulai secara samar tetapi berkembang terus selama beberapa bulan atau tahun.
Sedangkan demensia karena penyakit Creutzfeldt-Jakob biasanya menyebabkan demensia
hebat dan seringkali terjadi kematian dalam waktu 1 tahun. Pada demensia stadium lanjut,
terjadi penurunan fungsi otak yang hamper menyeluruh. Penderita tidak mampu
mengendalikan perilakunya, suasana hati sering berubah-ubah dan senang berjalan-jalan.
Pada akhirnya penderita tidak mampu mengikuti suatu percakapan dan bisa kehilangan
kemampuan berbicara.

VIII. PENCEGAHAN
1. Jaga agar pikiran selalu aktif. Seperti teka-teki dan permainan kata, belajar bahasa,
bermain alat music, membaca, menulis, melukis atau menggambar.
2. Aktif secara fisik dan sosial. Hal ini dapat menunda mulainya demensia dan juga
mengurangi gejala.
3. Kejarlah pendidikan. Para peneliti berpendapat bahwa pendidikan dapat membantu
seseorang mengembangkan jaringan sel saraf otak yang kuat yang mengkompensasi
kerusakan sel saraf yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer.
4. Menurunkan kadar kolesterol, tekanan darah dan mengendalikan diabetes adalah upaya
untuk mengurangi faktor resiko pada demensia vaskular.
5. Pola makan yang sehat. Studi menunjukan bahwa makanan yang kaya buah-buahan,
sayuran dan omega-3 asam lemak, dapat memiliki efek perlindungan dan menurunkan
resiko demensia.

14
BAB III
KESIMPULAN
Menurut World Health organization (WHO), demensia adalah sindroma klinis yang
meliputi hilangnya fungsi intelektual dan memori yang sedemikian berat sehingga menyebabkan
disfungsi hidup sehari-hari.3 Menurut WHO, penduduk lansia dibagi atas; usia pertengahan
(middle age) : 45-69 tahun, usia lanjut (elderly) : 60-74 tahun, tua (old) : 75-90 tahun, dan usia
sangat tua (very old) : lebih dari 90 tahun.
Demensia merupakan penyakit endemik di Indonesia, banyak sekali kasus demensia
sekarang ini. Prevalensi demensia diperkirakan sekitar 15% pada penduduk berusia lebih dari 65
tahun. Saat ini perhatian dan pengetahuan masyarakat akan demensia masih sangat kurang.
Masyarakat masih menganggap demensia sebagai bagian proses menua yang wajar.
Diagnosis demensia perlu ditegakkan secara dini dan dibedakan berdasarkan etiologinya,
usia awitan dan gambaran klinisnya. Penatalaksaan pada stadium dini, baik secara farmakologis
maupun non farmakologis dapat menyembuhkan atau memperlambat progresivitas penyakit,
sehingga penderita tetap mempunyai kualitas hidup yang baik.

15
DAFTAR PUSTAKA
1. Shirdev, E.B & Levey, D.A. 2004. Cross-Cultural Psychology, Critical Thinking and
Contemporary Application, Boston: Pearson Education,Inc

2. Schaie K.W. & Willis, S.L. 1991. Adult Development and Aging, New York:
HarperCollins Publishers

3. Jefferies, K and Agrawal, N. 2009. Early-Onset Dementia. Jurnal of Continuing


Professional Development. 15: 380-388.

4. Dikot Y, Ong PA, 2007. Diagnosis Dini dan Penatalaksanaan Demensia. Jakarta:
PERDOSSI.

5. Assosiasi Alzheimer Indonesia. Konsensus Nasional Pengenalan dan Penatalaksanaan


Demensia Alzheimer dan Demensia Lainnya. Ed 1, Asosiasi Alzheimer Indonesia. Jakarta.
2003.

6. Alzheimers Disease International. World Alzheimer Report 2010 Executive Summary.


London, 2010.

7. WHO. Active Ageing:a policy framework. Genveva:WHO, 2002.

8. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA: Sinopsis Psikiatri (Edisi Bahasa Indonesia), Edisi VII,
Jilid I, Binarupa Aksara, Jakarta, 1997: 515-533.

9. Guberman A. Clinical Neurology. Little Brown and Coy, Boston, 1994: 67-69.

10. Gilroy J. Basic Neurology. Pergamon press, New York, 1992: 194-195.

11. http://www.alzfdn.org/AboutAlzheimers/definition.html (Alzheimers Foundation Of


America). Diakses 08 Mei 2014.

12. H, Juebin. Dementia. Merck Manual Home Health Handbook. 2008.

13. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 6, ECG, Jakarta, 2006: 1134-1138.

16
14. Bird, Thomas D. Miller, Bruce L. 2006. Harrisons Neurology in Clinical Medicine:
Alzheimer Disease and Other Dementias. McGrawHill.

15. Little, Ann A., Gomez-Hassan , Diana. 2010. Oxford American Handbook of Neurology :
Dementia . New York : Oxfor University Press.

16. Duus, Peter. 2005. Diagnosis Topik Neurologi : Anatomi , Fisiologi , Tanda , Gejala .
Jakarta: ECG

17. Clark, David G., Cummings, Jeffrey. The Diagnosis and Management of Dementia. Los
Angeles, ISN 148-4196.

18. Brust, J.C.M. (2008). Current Diagnosis & Treatment: Neurology. McGraw-
HillCompanies, Inc. Singapore.

17

Anda mungkin juga menyukai