BAB II.06 Masalah DSB
BAB II.06 Masalah DSB
Proses penelitian mulai ketika rasa ingin tahun kita muncul. Ketika kita ingin
tahu tentang sesuatu , kita mulai secara resmi atau tidak resmi, sadar atau tidak
sadar terlibat dalam penelitian. Uraian berikut akan menjelaskan tentang
bagaimana kita mengidentifikasi, memilih dan merumuskan masalah penelitian,
kemudian diteruskan pembahasan tentang penelaahan kepustakaan, dan ditutup
dengan penjelasan serta beberapa contoh tentang teori dan landasan teori
penelitian (Lihat: Bouma,2001:24-28;Kumar, 1999:35-36; Suryabrata, 1995: 60-
68).
II - 1
adalah : Hasil pengamatan, jurnal atau laporan hasil penelitian; seminar, diskusi,
dan lain-lain pertemuan ilmiah; pernyataan pemegang otoritas; pengalaman
pribadi, dan perasaan intuitif.
II - 2
(2) Jurnal atau Laporan Hasil Penelitian
Jurnal atau laporan hasil penelitian menurut bidang ilmu atau disiplin kita
masing-masing, mudah dijadikan sumber masalah penelitian, karena laporan
penelitian yang baik tentu akan mencantumkan rekomendasi untuk penelitian
lebih lanjut dengan arah tertentu. Hal yang demikian itu mudah dimengerti,
karena tidak pernah ada penelitian yang tuntas. Kadang-kadang suatu
penelitian menampilkan masalah lebih banyak dari pada yang dijawabnya.
Justru karena hal yang demikian itulah maka ilmu pengetahuan itu selalu
mengalami kemajuan.
II - 3
(5) Pernyataan Pemegang Otoritas.
Pernyataan pemegang otoritas, baik pemegang otoritas dalam pemerintah
maupun pemegang otoritas dalam bidang ilmuwan tertentu, dapat menjadi
sumber masalah penelitian. Demikianlah misalnya pernyataan seorang Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan mengenai rendahnya daya serap murid-murid
SMU, atau pernyataan seorang Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi tentang
kecilnya daya tampung perguruan tinggi, dapat secara langsung mengundang
berbagai penelitian. Pernyataan ahli-ahli pendidikan dan ahli-ahli psikologi
mengenai perludan tidaknya serta tepat dan tidaknya penjurusan di SMU
seperti yang terjadi sekarang ini, dapat menjadi sumber masalah penelitian
pula.
(6) Pengalaman Pribadi
Pengalaman pribadi sering pula menjadi sumber bagi diketemukannya
masalah penelitian. Lebih-lebih dalam ilmu-ilmu sosial, hal yang demikian itu
sering terjadi. Mungkin pengalaman pribadi itu berkaitan dengan sejarah
perkembangan dan kehidupan pribadi, mungkin pula berkaitan dengan
kehidupan profesional.
(7) Perasaan Intuitif
Tidak jarang terjadi, masalah penelitian itu muncul dalam pikiran ilmuwan pada
pagi hari setelah bangun tidur, atau pada saat-saat setelah istirahat. Rupanya
selama tidur atau istirahat itu terjadi semacam konsolidasi atau pengendapan
berbagai informasi yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti itu, yang
lalu dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan atau masalah.
Apapun sumbernya, masalah penelitian itu hanya akan muncul atau dapat
diidentifikasikan kalau calon peneliti cukup berisi. Orang yang masih kosong,
yaitu yang miskin akan pengetahuan mengenai sesuatu cabang ilmu hampir tidak
mungkin, atau sekurang-kurangnya sulit, untuk menemukan masalah penelitian.
II - 4
Tabel 2..1
Sumber Masalah Penelitian
(Kumar, 1999:37)
II - 5
Sebagai ilustrasi dibawah ini disajikan beberapa contoh.
- Apakah pengajar dengan metode diskusi lebih berhasil daripada mengajar
dengan metode ceramah ?
- Bagaimanakah hubungan antara IQ dengan prestasi belajar di perguruan
tinggi?
- Apakah mahasiswa yang tinggi nilai ujian masuknya juga indeks prestasi
belajarnya ?
- Apakah mahasiswa wanita lebih koformistik dari pada mahasiswa pria ?
- Apakah mahasiswa Fakultas Ekonomi yang berasal dari Jurusan IPA
berbeda prestasi belajarnya bagi mereka yang berasal dari Jurusan IPS ?
II - 6
sumber bacaan itu ialah (a) prinsip kemutakhiran (recency), dan (b) prinsip
relevansi (relevance).
Kecuali untuk penelitian historis, perlu dihindarkan penggunaan sumber
bacaan yang sudah lama dan dipilih sumber yang mutakhir. Sumber yang telah
lama mungkin memuat teori-teori atau konsep-konsep yang sudah tidak berlaku
lagi, karena kebenarannya telah dibantah oleh teori yang lebih baruatau hasil
penelitian yang alebih kemudian. Di samping itu sumber harus mutakhir, juga
harus relevan bagi masalah yang sedang digarap. Seleksi berdasarkan kriteria
relevansi itu terutama jelas pada sumber acuan khusus. Jadi, hendaklah dipilih
sumber-sumber yang berkaitan langsung dengan masalah yang sedang diteliti.
Dari teori-teori atau konsep-konsep umum dilakukan pemerincian atau
analisis melalui penalaran deduktif, sedangkan dari hasil-hasil penelitian dilakukan
pemaduan atau sintesis dan generalisasi melalui penalaran induktif. Dan dari
deduksi dan induksi yang berulang-ulang itu diharapkan dapat dirumuskan
jawaban terhadap masalah yang telah dirumuskan, yang paling mungkin dan
paling tinggi taraf kebenarannya. Jawaban inilah yang dijadikan hipotesis
penelitian.
Seperti setelah disebutkan di muka, sebagian besar kegiatan dalam
keseluruhan proses penelitian adalah membaca, dan membaca itu hampir
seluruhnya terjadi pada langkah penelaahan kepustakaan ini. orang harus
membaca dan membaca, dan menelaah yang dibaca itu setuntas mungkin agar
dia dapat menegakkan landasan yang kokoh bagi langkah-langkah berikutnya.
Membaca merupakan ketrampilan yang harus dikembangkan dan dipupuk. Untuk
ini kegemaran membaca harus dibuat budaya; membaca harus merupakan
kegemaran, pada akhirnya harus merupakan kebutuhan.
Penyusunan landasan teoritis tidak akan produktif sebelum bahannya
cukup banyak. Karena itu perlu lebih dahulu dibaca banyak-banyak sumber-
sumber bacaan, baru kemudian ditelaah, dibanding-bandingkan, lalu diambil
kesimpulan-kesimpulan teoritis. Supaya hasil pembacaan itu dapat dimanfaatkan
sebaik-baiknya, perlulah hal tersebut direkam (dicatat) dengan cara yang mudah
pemanfaatannya. Informasi nama yang perlu dicatat, tidak ada aturan umumnya.
Sementara orang menganggap informasi minimal, yaitu informasi yang berisi hal-
hal seperti yang tertulis dalam katalog diperpustakaan, telah cukup, sementara
II - 7
orang yang lain menganggap bahwa catatan itu perlu memuat inti sari atau garis-
garis besar isi bacaan. Untuk Indonesia, kirannya pendapat yang kedua itulah
yang lebih sesuai, karena pada umumnya sumber bacaan sangat terbatas,
sehingga ada kemungkinan sumber yang pernah dibaca tidak lagi tersedia di
perpustakaan sewaktu diperlukan kembali.
Tentang cara pencatatannya, pada umumnya mengikuti salah satu dari dua
sistem, yaitu (a) sistem kartu, dan (b) sistem lembaran atau sistem kuarto. Sistem
kartu menggunakan kertas gambar berukuran kartu pos atau berukuran lebih kecil
dari kartu pos, sedangkan sistem lembaran (kuarto ) menggunakan kertas
(seringkali juga HVS) ukuran kuarto. Kemungkinan sistem kartu ialah bahwa kartu-
kartu itu mudah diatur, disimpan, dan dibawa kemana-mana. Kelemahannya,
informasi yang dapat direkam pada setiap kartu sangat terbatas. Sebaliknya, pada
sistem lembaran (kuarto), masing-masing lembar dapat memuat informasi yang
jauh lebih banyak, tetapi mengatur, menyimpan, dan membaeanya lebih sukar.
Namun, dengan tersedianya alat pelubang (perforator) dan map yang sesuai
dengan ukuran kuarto di toko-toko alat tulis dewasa ini, kelemahan sistem
lembaran (kuarto) itu dapat diatasi.
Dari informasi-informasi yang telah terkumpul sebagai hasil kegiatan
membaca itulah peneliti melakukan penelaahan lebih lanjut terhadap masalah
yang digarapnya. Dengan dedukasi dia berusaha melakukan pemaduan dan
pembuatan generalisasi-generalisasi, dan akhirnya meramu kesemua bahan itu ke
dalam suatu sistem yang berupa kesimpulan-kesimpulan teoritis, yang akan
menjadi landasan bagi penyusunan hipotesis penelitian. Di dalam kesimpulan-
kesimpulan teoritis itu peneliti harus mengidentifikasi hal-hal atau faktor-faktor
utama yang akan digarap dalam penelitiannya. Faktor-faktor inilah yang akan
menjadi variabel-variabel yang akan digarap dalam penelitiannya. Peramuan ini
penting, karena disitulah letak mutu sistem pemikiran teoritis si peneliti. Penyatuan
hasil-hasil bacaan secara kronologis dan kompilatif saja tidak cukup. Hasil-hasil itu
harus diramu berdasarkan suatu garis pemikiran yang konsisten. Garis pemikiran
inilah yang melandasi kesimpulan-kesimpulan teoritis yang menjadi dasar
hipotesis penelitian.
II - 8
Contoh 2.1: Contoh Tinjauan pustaka tentang Jumlah Anak dan Pemakaian
Kontrasepsi
menentukan bahwa ada kecenderungan yang kuat untuk memilih anak laki-laki
dilakukan oleh Coombs dan Sun (1978), dan Coombs (1979) menemukan bahwa
ibu yang memiliki jumlah anak laki-laki masih hidup yang lebih banyak
mempunyai tingkat prevalensi yang tinggi. Akan tetapi Leung (1988) dalam
Korea
jumlah anak laki laki masih hidup dengan pemakaian konstrasepsi dengan
mengambil kasus di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara. adapun kaitan
antara jumlah anak laki-laki masih hidup dengan pemakaian kontrasepsi di Asia
Repeto (1972) menemukan hubungan yang positif antara fertilitas (diukur dengan
jumlah anak yang pernah dilahirkan) dengan proporsi anak laki-laki Bangladesh,
India dan Maroko. Hubungan yang lemah dan tidak bermakna antara proporsi
jumlah anak laki-laki masih hidup dalam keluarga dan pemakaian kontrasepsi di
temukan di Bangladesh (Amin dan Meriam, 1987; Bairagi dan Ray L. Langsten,
II - 9
1986). Masih di Bangladesh, Chowdury dan Baragi (1990) menemukan: 1)
semakin tinggi jumlah anak laki-laki masih hidup dalam keluarga, maka akan
semakin tinggi persentase wanita yang tidak akan menambah anak lagi, 2) kaitan
sedangkan Mizanur Rahmat, Jalaluddin Akbar, James F. Philips, dan Stan Becker
(1992) juga dalam penelitiannya di Bangladesh (studi kasus di daerah mat lab)
kelamin anak yang masih hidup (dalam hal ini anak laki-laki) terhadap pemakaian
kontrasepsi.
Hubungan antara jumlah masih hidup (yang dimiliki ibu) dengan pemakaian
berikut. Saad Gallada, James McCarthy dan Oona Campbell (1985) dalam
kontrasepsi (sebagai wujud dari penerimaan program KB) dipengaruhi oleh jumlah
anak laki-laki masih hidup dalam keluarga. Sementara itu I.C.A Oyeka (1989)
dalam penelitiannya tentang pengaruh jumlah anak laki-laki masih hidup terhadap
bertambah sejalan dengan bertambahnya jumlah anak laki-laki masih hidup dalam
kontrasepsi.
II -
10
Dengan memperhatikan hal penelitian tersebut di atas maka dapat
disimpulkan bahwa terjadi variasi pola hubungan antara jumlah anak laki-laki
Contoh 2.2: Contoh Landasan Teori Penelitian tentang Jumlah Anak dan
Pemakaian Kontrasepsi
laki-laki) itu sangat besar baik sebagai aset ekonomi maupun jaminan di hari tua
(Schuler dan Goldstein, 1986; Ahmed , 1981; Brown, 1981; Caldwell, 1977).
Secara lebih rinci Saad M. Gadalla, James McCarthy, dan Oona Campbell
(1985) menyebutkan tiga alasan penting mempunyai anak laki-laki . pertama anak
keluarga. Ketiga, anak laki-laki dapat dijadikan jaminan bagi orang tua di usia tua
nanti
Mengenal nilai anak itu, Fawcett et al (1974) menemukan bahwa nilai anak-
anak tersebut ada yang bernilai positif ada yang bernilai negatif. Nilai positif
II -
11
berupa keuntungan emosional, keuntungan dan jaminan ekonomis,
serta kelanjutan dan keakraban keluarga. adapun nilai negatif anak adalah berupa
akan melanjutkan keturunan (50,86%); motivasi yang kedua adalah agar anak
Pada pandangan Easterlin (1976) dalam Robinson (1988) nilai anak itu
mempunyai kaitan dengan pendapatan suatu Negara; nilai anak akan tinggi pada
berpendapatan tinggi nilai anak tersebut menjadi lebih rendah, sehingga ada
kelahiran. Pandangan Easterlin ini hampir sama dengan pendapat Caldwell (1976)
yang menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antar nilai anak dengan fertilitas,
masyarakat Sunda dan Jawa bahwa anak itu juga mempunyai nilai positif dan
negatif. Nilai positifnya adalah sebagai jaminan hari tua, sebagai pengikat tali
perkawinan, dan sebagai pelanjut keturunan; sedangkan nilai negatif anak adalah
adanya anak.
bahwa adanya kaitan antara komposisi jenis kelamin anak masih hidup dalam
adanya pengaruh kecenderungan yang kuat kepada anak laki-laki (karena anak
menemukan bahwa ibu yang mempunyai anak laki-laki masih hidup lebih besar
yang tidak mempunyai anak laki-laki masih hidup. Chowdhury, Bairagi dan Koenig
(1993) juga menyimpulkan bahwa semakin banyak jumlah anak laki-laki masih
hidup yang dimiliki keluarga (di Bangladesh), maka persentase wanita yang
Chowdury, Bairagi, dan Koenig (1993) disebabkan oleh masih rendahnya kondisi
tersebut berkaitan dengan teori nilai anak dari aspek ekonomi dalam kaitan
II -
13
dengan praktek Keluarga Berencana yang dikemukakan oleh Easterlin (1976),
II -
14