Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat
temporer atau permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America,
cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala merupakan
proses diman terjadi trauma langsung atau deselerasi terhasdap kepala yang
menyebabkan kerusakan tenglorak dan otak (Pierce Agrace & Neil R. Borlei,
2006).
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun
trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba,
iskemia, dan pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral do
sekitar jaringan otak (Batticaca Fransisca, 2008). Cedera kepala atau cedera
otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang di sertai atau
tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm substansi otak tanpa di ikuti
terputusnya kontinuitas otak (Arif Muttaqin, 2008).

B. KLASIFIKASI
Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan
praktis, tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme,
tingkat beratnya cedera kepala serta berdasar morfologi
1. Berdasarkan mekanisme
a. Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.
b. Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau
pukulan benda tumpul.
2. Berdasarkan beratnya
a. Ringan (GCS 14-15)
b. Sedang (GCS 9-13)
c. Berat (GCS 3-8)
3. Berdasarkan morfologi
a. Fraktura tengkorak
1) Kalvaria
2) Linear atau stelata
3) Depressed atau nondepressed
b. Terbuka atau tertutup
1) Dasar tengkorak
a) Dengan atau tanpa kebocoran CNS
b) Dengan atau tanpa paresis N VII
c) Lesi intracranial
2) Fokal
a) Epidural
b) Subdural
c) Intraserebral
3) Difusa
a) Komosio ringan
b) Komosio klasik
c) Cedera aksonal difusa

C. PATOFISIOLOGI
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan
benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat
terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh
adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi
coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi
yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak
dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan
densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(contrecoup). Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai
proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak
primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan,
iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.

D. PATOLOGI
1. Fraktura Tengkorak
Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur
kalvaria ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata,
depressed atau nondepressed. Fraktur tengkorak basal sulit tampak pada
foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan dengan setelan jendela-
tulang untuk memperlihatkan lokasinya. Sebagai pegangan umum,
depressed fragmen lebih dari ketebalan tengkorak (> 1 tabula) memerlukan
operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat
hubungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan serebral karena
duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasiperbaikan segera.
Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan
bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai
cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma
intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada
pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali
pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak
mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan, tidak
peduli bagaimana baiknya tampak pasien tersebut.
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,
walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau
hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara
umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan
sensorium atau bahkan koma dalam. Basis selular cedera otak difusa
menjadi lebih jelas pada tahun-tahun terakhir ini.
3. Hematoma Epidural
Hematoma epidural (EDH) merupakan kumpulan darah di antara dura
mater dan tabula interna karena trauma. Pada penderita traumatik
hematoma epidural, 85-96% disertai fraktur pada lokasi yang sama.
Perdarahan berasal dari pembuluh darah -pembuluh darah di dekat lokasi
fraktur. Lokasi Sebagian besar hematoma epidural (EDH) (70-80%)
berlokasi di daerah temporoparietal, di mana bila biasanya terjadi fraktur
calvaria yang berakibat robeknya arteri meningea media atau cabang-
cabangnya, sedangkan 10% EDH berlokasi di frontal maupun oksipital.
Volume EDH biasanya stabil, mencapai volume maksimum hanya beberapa
menit setelah trauma, tetapi pada 9% penderita ditemukan progresifitas
perdarahan sampai 24 jam pertama (Price DD, 2006).
4. Hematoma Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi
paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan
sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan
atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu,
kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat
lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural.
Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan
operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.
5. Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak
hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar
kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap
tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan
hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,
terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi
hematoma intraserebral dalam beberapa hari. Hematoma intraserebri adalah
perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi
akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan
pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut.
Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi
perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya
(countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan
tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Scan CT (tanpa/denga kontras)
Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler,
pergeseran jaringan otak.
2. MRI
Sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras.
3. Angiografi serebral
Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pengeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan, trauma
4. EEG
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
5. Sinar X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen
tulang.
6. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
Menentukan fungsi korteks dan batang otak.
7. PET (Positron Emission Tomography)
Menunjukan perubahan aktifitas metabolisme pada otak.
8. Fungsi lumbal, CSS
Dapat menduka kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.
9. GDA (Gas Darah Artery)
Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat
meningkatkan TIK.
10. Kimia /elektrolit darah
Mengetahui ketidak seimbangan yang berperan dalam peningkatan
TIK/perubahan mental.
11. Pemeriksaan toksikologi
Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan
kesadaran.
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat keparahannya,
berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Tidak semua pasien cedera
kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain:
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan abnormal
Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei
primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang
diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan
exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera
kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting
untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.
Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh
kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara
umum digunakan panduan sebagai berikut:
1. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial
atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial
2. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta
gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat
3. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
4. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
5. Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
6. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
7. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
8. Terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis
G. VENTILASI MEKANIK
Ventilator mekanik merupakan alat bantu pernapasan bertekanan positif atau
negatif yang menghasilkan aliran udara terkontrol pada jalan nafas pasien
sehingga mampu mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam jangka
waktu lama.

H. TUJUAN VENTILASI MEKANIK


Tujuan pemasangan ventilator mekanik adalah untuk mempertahankan
ventilasi alveolar secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan metabolik,
memperbaiki hipoksemia, dan memaksimalkan transpor oksigen. Dibalik harapan
terhadap pasien dengan ventilasi mekanik, terdapat kekhawatiran yang sangat
mendasar dengan aplikasinya. Pada setiap aplikasi ventilasi mekanik diperlukan
analisis terhadap ketepatan indikasi, ketepatan pasien, ketepatan metode
aplikasinya dan selalu waspada terhadap penyulit yang akan terjadi.

I. CARA KERJA VENTILATOR


Penggerak awal bisa berupa pneumatik atau elektrik (AC atau DC), yang
kemudian diteruskan kompresor. Letak kompresor bisa di luar ventilator (eksternal)
atau menyatu di dalam (internal). Dengan adanya dorongan dalam sistem sirkuit
ventilator, maka akan dihasilkan aliran udara yang akan menghembus paru-paru
pasien. Hembusan ke pasien akan menghasilkan beberapa variabel yaitu tekanan,
volume dan aliran. Berdasarkan pengontrolan terhadap variabel-variabel tersebut
maka dikenal pressure control, volume control dan flow control disamping juga
ada time control (RupiI, 2012)

J. FASE BERNAFAS DALAM VENTILATOR


Menurut RupiI (2012), fase bernapas dengan ventilator adalah sebagai berikut:
1. Awal bernapas (initiating/triggering)
Awal bernapas bisa terjadi secara otomatis karena pengaturan waktu pada
ventilator (machine triggering) atau atas picuan (rangsangan/usaha
bernapas) pasien yang merangsang mesin (patient triggering) sehingga
mesin memulai menghembuskan gas ke pasien. Rangsangan napas dari
pasien bisa atas dasar perubahan flow atau tekanan yang terjadi pada
mesin. Perubahan flow atau tekanan berapa yang bisa merangsang mesin
(sensitivity/trigger) tergantung pengaturan kita. Artinya bisa dibuat lebih
sensitif atau kurang sensitif.
2. Pembatasan variabel (limitation)
Selama inspirasi, beberapa variabel (volume, tekanan atau flow) akan
terbatasi dan tetap dipertahankan (sesuai dengan pengaturan) sebelum
inspirasi berakhir.
3. Siklus perpindahan (cycling)
Cycling adalah perpindahan dari fase inspirasi ke fase awal ekspirasi.
Perpindahan ini akan terjadi sesuai dengan pengaturan. Pengaturan
tersebut bisa berdasar atas waktu (time cycle), tekanan (pressure cycle),
volume (volume cycle) atau aliran udara (flow cycle). Time cycle, artinya
fase inspirasi berakhir setelah alokasi waktu inspirasi berdasarkan
pengaturan sudah terlampaui. Pressure/volume cycle, artinya inspirasi
berakhir setelah tidak ada flow yang masuk (flow berhenti). Flow akan
berhenti kalau pressure/volume sesuai pengaturan sudah tercapai. Flow
cycle, artinya inspirasi berakhir kalau flow mencapai pengaturan yang
dibuat. Agar lebih menyelaraskan dengan pola napas pasien, pengaturan
pada flow cycle bisa diatur berbeda dengan pengaturan pabrik. Pengaturan
ini sering disebut sebagai ETS (expiratory trigger sensitivity) atau
inspiratory cycling off. Misalnya pengaturan ETS 40%, artinya bila flow
mencapai 40% dari peak flow maka akan terjadi cycling. Pengaturan
pabrik biasanya 25%.
4. Pengontrolan variabel base line
Pada akhir ekspirasi, tekanan di jalan napas bisa dikontrol. Bisa dibuat
sama dengan tekanan atmosfer atau lebih. Pengaturan pengontrolan itu
disebut dengan PEEP (positive end expiratory pressure). Bila PEEP = 0,
berarti tekanan di jalan napas pada akhir ekspirasi sama dengan tekanan
atmosfer, dan bila positif ,misalnya 5, berarti pada akhir ekspirasi tekanan
di jalan napas 5 cmH2O lebih tinggi dibandingkan tekanan udara atmosfer.
K. PENGONTROLAN SISTEM VENTILATOR
Menurut RupiI (2012), ada dua macam cara pengontrolan sistem kerja
ventilator:
1. Pengontrolan terbuka (open loop control)
Dalam sistem ini, semua perintah yang diperintahkan akan dikerjakan oleh
efektor dan menghasilkan variabel. Yang dimaksud efektor dalam hal ini
bisa berupa pompa piston atau pengatur katup aliran udara pada ventilator.
Secara skematik cara pengontrolan terbuka pada ventilator adalah sebagai
berikut:

2. Pengontrolan tertutup (closed loop control) 4,5


Pada sistem ini, hasil keluaran yang dihasilkan dipakai sebagai umpan /
masukan balik (feed back control). Dari perbedaan antara masukan balik
dan masukan awal, akan mengubah pengontrol dan efektor dalam ventilator
yang selanjutnya akan menghasilkan data baru (yang disesuaikan dengan
kondisi pasien). Secara skematik cara pengontrolan tertutup pada ventilator
adalah sebagai berikut:
Sinyal umpan balik bisa berupa arus listrik (misalnya electronic pressure
transducer) atau mekanik (misalnya katup pengatur tekanan). Berdasarkan
sinyal umpan balik ini, beberapa ventilator canggih mampu menganalisis
dan selanjutnya memberikan program tertentu sehingga menghasilkan
beberapa mode baru seperti ASV (adaptive support ventilation) yang
menghasilkan variabel sehingga kerja napas (work of breathing) pada
posisi yang paling optimal, PAV (proportional assist ventilation) dan
sebagainya.

L. PENYAPIHAN VENTILASI MEKANIK


Penyapihan dari ventilator mekanik dapat didefinisikan sebagai proses
pelepasan ventilator baik secara langsung maupun bertahap. Tindakan ini
biasanya mengandung dua hal yang terpisah tapi memiliki hubungan erat yaitu
pemutusan ventilator dan pelepasan jalan nafas buatan.

M. INDIKASI PENYAPIHAN VENTILASI MEKANIK


Indikasi Penyapihan Ventilasi Mekanik
NO KRITERIA
1 Proses penyakit yang menyebabkan pasien membutuhkan ventilator
mekanik sudah tertangani
2
- PaO2/FiO2> 200
- PEEP < 5
- FiO2< 0,5
- pH > 7,25
- Hb > 8 g%

3 Pasien sadar, dan afebril (suhu tubuh normal)


4 Fungsi jantung stabil:
- HR < 140/min
- Tidak terdapat iskemi otot jantung (myokardial Ischemia)
- Bebas dari obat-obatan vasopresor atau hanya menggunakan obat-
obatan inotropik dosis rendah

5 Fungsi paru stabil:


- Kapasitas vital 10-15 cc/kg
- Volume tidal 4-5 cc/kg
- Ventilasi menit 6-10l
- Frekuensi < 20 permenit

6 Kondisi selang ET/TT:


- Posisi diatas karina pada foto Rontgen
- Ukuran : diameter 8,5 mm

7 Terbebas dari asidosis respiratorik


8 Nutrisi :
- Kalori perhari 2000-2500 kal
- Waktu : 1 jam sebelum makan

9 Jalan Nafas :
- Sekresi : antibiotik bila terjadi perubahan warna, penghisapan
(suction)
- Bronkospasme : kontrol dengan Beta Adrenergik, Tiofilin atau Steroid
- Posisi : duduk, semifowler
10 Obat-obatan :
- Agen sedatif : dihentikan lebih dari 24 jam
- Agen paralisis: dihentikan lebih dari 24 jam

11 Psikologi pasien
- Mempersiapkan kondisi emosi/psikologi pasien untuk tindakan
penyapihan

N. PENGKAJIAN FOKUS
1. Riwayat Kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran
saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan bersamaan
dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem
organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat
penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan
neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam,
mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik,
fungsi sensorik, dan refleksrefleks.
Tabel 1. Glasgow Coma Scale

Glaslow Coma Scale

Respon membuka mata Respon verbal (V) Respon motorik (M)


5. Komunikasi verbal
(E) 6. Mengikuti
4. Buka mata spontan baik
perintah
3. Buka mata bila 1. Bingung,
5. Melokalisir nyeri
dipanggil/rangsangan disorientasi waktu,
4. Fleksi normal
suara tempat, dan orang
2. Buka mata bila 3. Kata-kata tidak 3. Fleksi abnormal
dirangsang nyeri teratur 2. Ekstensi
1. Tidak ada reaksi 2. Suara tidak jelas
abnormal
1. Tidak ada reaksi
dengan rangsangan
1. Tidak ada reaksi
apapun

a. Sistem respirasi:
Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi,
ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi).
b. Kardiovaskuler:
Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Kemampuan komunikasi:
Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat
kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
d. Psikososial:
Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari
keluarga.
e. Aktivitas/istirahat
S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese, goyah
dalam berjalan (ataksia), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.
f. Sirkulasi
O : Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi), perubahan
frekuensi jantung nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.
g. Integritas Ego
S : Perubahan tingkah laku/kepribadian
O : Mudah tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung, impulsive
dan depresi
h. Eliminasi
O : BAB/BAK inkontinensia/disfungsi.
i. Makanan/cairan
S : Mual, muntah, perubahan selera makan
O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).
j. Neurosensori
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan
pendengaran, perubahan penglihatan, diplopia, gangguan
pengecapan/pembauan.
O : Perubahan kesadara, koma. Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap
cahaya), kehilangan penginderaan, pengecapan dan pembauan serta
pendengaran. Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive
terhadap sentuhan / gerakan.
k. Nyeri/Keyamanan
S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.
O : Wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsang nyeri
yang hebat, gelisah
l. Keamanan
S : Trauma/injuri kecelakaan
O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus
otot hilang kekuatan paralysis, demam, perubahan regulasi temperatur
tubuh.

O. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema
serebral dan peningkatan tekanan intrakranial
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan obstruksi
trakeobronkial,bneurovaskuler, kerusakan medula oblongata
neuromaskuler
3. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan pengeluaran
urine dan elektrolit meningkat
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
melemahnya otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan
5. Nyeri berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi
6. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi sensori
dan kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan
7. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran,
peningkatan tekanan intra kranial
8. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan
penurunan keseadaran
9. Resiko infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit
kepala.

P. INTERVENSI
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema
serebral dan peningkatan tekanan intracranial
Tujuan: Setelah dilalukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan perfusi jaringan serebral kembali normal
Kiteria Hasil:
a. Kien melaporkan tidak ada pusing atau sakit kepala
b. Tidak terjadi peningkatan tekanan intracranial
c. Peningkatan kesadaran, GCS 13
d. Fungsi sensori dan motorik membaik, tidak mual, tidak ada mutah
Intervensi dan Rasional:
a. Kaji tingkat kesadaran
R/ Mengetahui kestabilan klien.
b. Pantau status neurologis secara teratur, catat adanya nyeri kepala,
pusing.
R/ Mengkaji adanya kecendeungan pada tingkat kesadaran dan resiko
TIK meningkat.
c. Tinggikan posisi kepala 15-30 derajat
R/ Untuk menurunkan tekanan vena jugularis.
d. Pantau TTV, TD, suhu, nadi,input dan output, lalu catat hasilnya.
R/ Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti dengan penurunan
tekanan darah diastolik serta napas yang tidak teratur merupakan tanda
peningkatan TIK.
e. Kolaborasi pemberian Oksigen.
R/ Mengurangi keadaan hipoksia
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial,
neurovaskuler, kerusakan medula oblongata, hiperventilasi.
Tujuan : Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan pola nafas efektif dengan
Kriteria hasil:
a. Klien tidak mengatakan sesak nafas
b. Retraksi dinding dada tidak ada, dengan tidak ada otot-otot dinding
dada.
c. Pola nafas reguler, RR. 16-24 x/menit, ventilasi adekuat
d. Bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien,
e. Kepatenan jalan nafas dapat dipertahankan.
Intervensi dan Rasional:
a. Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi, irama nafas, adanya sianosis.
Kaji suara nafas tambahan (rongki, mengi, krekels).
R/ Hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan
akumulasi/atelektasi atau pneumonia (komplikasi yang sering terjadi).
b. Atur posisi klien dengan posisi semi fowler 30o Berikan posisi semi
prone lateral/ miring, jika tak ada kejang selama 4 jam pertama rubah
posisi miring atau terlentang tiap 2 jam.
R/ Meningkatkan ventilasi semua bagian paru, mobilisasi serkret
mengurangi resiko komplikasi, posisi tengkulup mengurangi kapasitas
vital paru, dicurigai dapat menimbulkan peningkatan resiko terjadinya
gagal nafas.
c. Anjurkan pasien untuk minum hangat (minimal 2000 ml/hari).
R/ Membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret/
sebagai ekspektoran.
d. Kolaborasi terapi oksigen sesui indikasi
R/ Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas. Mencegah
hipoksia, jika pusat pernafasan tertekan. Biasanya dengan
menggunakan ventilator mekanis.
e. Lakukan suction dengan hati-hati (tekanan, irama, lama) selama 10-15
detik, catat, sifat, warna dan bau secret.
R/ Untuk meminimalisir sumbatan pada jalan napas
3. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan pengeluaran
urine dan elektrolit meningkat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
ganguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat teratasi dengan
Kriteria Hasil:
a. Menunjukan membran mukosa lembab
b. Tanda vital normal , haluaran urine adekuat dan bebas oedema
Intervensi:
a. Kaji tanda klinis dehidrasi atau kelebihan cairan.
R/ mencegah kekurangan/kelebihan fluktuasi keseimbangan cairan.
b. Catat masukan dan haluaran, hitung keseimbangan cairan, ukur berat
jenis urine.
R/ Kehilangan urinarius dapat menunjukan terjadinya dehidrasi dan berat
jenis urine adalah indikator hidrasi dan fungsi renal.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
melemahnya otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan
Tujuan : Pasien tidak mengalami gangguan nutrisi setelah dilakukan
perawatan selama 3 x 24 jam dengan
Kiteria Hasil:
a. Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai lab. Dalam
rentang normal.
b. Peningkatan berat badan sesuai tujuan.
Intervensi:
a. Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya atau suara
hiperaktif
R/ Bising usus membantu dalam menentukan respon untuk makan atau
berkembangnya komplikasi seperti paralitik ileus.
b. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien, seperti
meninggikan kepala selama makan atatu selama pemberian makan
lewat NGT.
R/ Menurunkan regurgitasi dan terjadinya aspirasi.
c. Kolaborasi dengan ahli gizi.
R/ Metode yang efektif untuk memberikan kebutuhan kalori
5. Nyeri berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi.
Tujuan : Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam rasa
nyeri dapat berkurang/ hilang dengan
Kriteria Hasil:
a. Sekala nyeri berkurang 3-1
b. Klien mengatakan nyeri mulai berkurang, ekspresi wajah klien rileks
Intervensi:
a. Teliti keluhan nyeri, catat intensitasnya, lokasinya dan lamanya
R/ Mengidentifikasi karakteristik nyeri merupakan faktor yang penting
untuk menentukan terapi yang cocok serta mengevaluasi keefektifan dari
terapi.
b. Berikan tindakan kenyamanan, misal pedoman imajinasi, visualisasi,
latihan nafas dalam, berikan aktivitas hiburan, kompres
R/ Menfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol dan dapat
meningkatkan koping. Tindakan alternatif mengontrol nyeri
c. Kolaborasi dengan pemberian obat anti nyeri, sesuai indikasi misal,
dentren (dantrium) analgesik; antiansietas missal diazepam (valium).
R/ Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme/nyeri otot atau untuk
menghilangkan ansietas dan meningkatkan istirahat.
6. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi sensori
dan kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan.
Tujuan : Pasien dapat melakukan mobilitas fisik setelah mendapat
perawatan dengan
Kriteri Hasil :
a. Tidak adanya kontraktur, footdrop.
b. Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.
c. Mampu mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan
dilakukannya
Intervensi:
a. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada
kerusakan yang terjadi.
R/ Mengidentifikasi kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi
pilihan intervensi yang akan dilakukan.
b. Berikan bantu untuk latihan rentang gerak
R/ Mempertahankan mobilitas dan fungsi sendi/ posisi normal ekstrimitas
dan menurunkan terjadinya vena statis.
c. Bantu pasien dalam program latihan dan penggunaan alat mobilisasi.
Tingkatkan aktivitas dan partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai
kemampuan
R/ Proses penyembuhan yang lambat seringakli menyertai trauma kepala
dan pemulihan fisik merupakan bagian yang sangat penting. Keterlibatan
pasien dalam program latihan sangat penting untuk meningkatkan kerja
sama atau keberhasilan program.
7. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran,
peningkatan tekanan intra kranial.
Tujuan : Fungsi persepsi sensori kembali normal setelah dilakukan
perawatan selama 3x 24 jam
Kriteria Hasil :
a. Mampu mengenali orang dan lingkungan sekitar.
b. Mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya
Intervensi:
a. Kaji kesadaran sensori dengan sentuhan, panas/ dingin, benda
tajam/tumpul dan kesadaran
terhadap gerakan.
R/ Semua sistem sensori dapat terpengaruh dengan adanya perubahan
yang melibatkan peningkatan atau penurunan sensitivitas atau kehilangan
sensasi
untuk menerima dan berespon sesuai dengan stimuli.
b. Evaluasi secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara,
alam perasaan, sensori dan proses pikir.
R/ Fungsi cerebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dahulu oleh
adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi. Perubahan persepsi sensori
motorik dan kognitif mungkin akan berkembang dan menetap dengan
perbaikan respon secara bertahap
c. Berikan lingkungan terstruktur rapi, nyaman dan buat jadwal untuk
klien jika mungkin dan tinjau kembali
R/ Pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian atau pemahaman
selama fase akut dan penyembuhan. Dengan tindakan ini akan membantu
pasien untuk memunculkan komunikasi.
d. Kolaborasi pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara dan
terapi kognitif.
R/ Pendekatan antar disiplin ilmu dapat menciptakan rencana
panatalaksanaan terintegrasi yang berfokus pada masalah klien
8. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan
penurunan keseadaran.
Tujuan: Kerusakan komunikasi verbal tidak terjadi.
Kriteria hasil: Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi
dan klien dapat menunjukan komunikasi dengan baik
Intervensi:
a. Kaji derajat disfungsi
R/ Membantu membentuk daerah atau derajat kerusakan serebral yang
terjadi dan kesulitan pasien dalam proses komunikasi.
b. Mintalah klien untuk mengikuti perintah
R/ Melakukan penelitian terhadap adanya kerusakan sensori
c. Anjurkan keluarga untuk berkomunikasi dengan klien
R/ Untuk merangsang komunilasi pasien, mengurangi isolasi sosial dan
meningkatkan penciptaan komunikasi yang efektif.
9. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan
kulit kepala.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x 24 jam
Kiteria Hasil:
a. Bebas tanda-tanda infeksi, Mencapai penyembuhan luka tepatwaktu
b. Suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5OC)
Intervensi:
a. Berikan perawatan aseptic dan antiseptik, pertahankan teknik cuci
tangan
R/ Cara pertama untuk menghindari nosokomial infeksi, menurunkan
jumlah kuman patogen
b. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, kaji keadaan luka,
catat adanya kemerahan, bengkak, pus daerah yang terpasang alat
invasi dan TTV
R/ Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan
tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya,
monitoring adanya infeksi
c. Kolaborasi pemberian atibiotik sesuai indikasi
R/ Menekan pertumbuhan kuman pathogen.

DAFTAR PUSTAKA
Arif Muttaqin, 2008, Buku Ajar Asuhan Keperawtan Klien Denga Gangguan Sistem
persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. Http://www.biausa.org
[diakses 19 Juni 2008]
Findlaw Medical Demonstrative Evidence. Closed head traumatic brain injury.
Http://findlaw.doereport.com [diakses 19 Juni 2008]
Kusuma, Ida Bagus Wisnu Parbawa & Atmajaya, Nengah Kuning. 2015. Penyapihan
Ventilasi Mekanik.
Hickey JV. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of Neurological
and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia : lippincot William &
Wilkins, 2003.
PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3
November
2007. Pekanbaru.
Price DD, Wilson SR. Epidural hematoma. In: McNamara RM, Talavera F editors.
Traumatic brain injury. March 2006. Available from: URL:
http://www.emedicine.com/EMERG/topic167.htm
Pierce A. Grace & Nell R. Borney, 2006, Ilmu bedah, Jakarta : Elangga
(http//id.scrib.com/doc/85827418/laporan kasus-cedera-kepala ( diunduh pada
tanggal 21 November 2012)

RupiI. 2012. Cara Kerja Ventilator. Majalah Kedokteran Terapi Intensif, 2.

Saanin S. Cedera Kepala. Http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery. [diakses 19


Juni 2008]
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta : Deltacitra
Grafindo, 2005.
Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam :
Neurosurgery 2nd edition. New York: McGraw Hill, 1996.

Anda mungkin juga menyukai