Anda di halaman 1dari 6

CATCHMENT AREA

1.1 Dasar Teori

Catchment area (daerah tangkapan air) merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografis yang dapat berupa punggung-punggung bukit atau gunung dan batas di
laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Catchment area dapat
dikatakan menjadi suatu ekosistem dimana terdapat banyak aliran sungai, daerah hutan dan komponen
penyusun ekosistem lainnya termasuk sumber daya alam.Namun,komponen yang terpenting adalah air,
yang merupakan zat cair yang terdapat di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam
pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. Catchment area erat
kaitannya dengan Daerah Aliran Sungai (DAS).

DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia
berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material
dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan
wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara
umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan
berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air
sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun.

Dalam mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS
bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS
bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap
terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan
fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan
perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS.
Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali
menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan
biofisik melalui daur hidrologi. Kandungan air tanah yang ada berasal dari imbuhan, baik secara langsung
dari curahan hujan maupun dari aliran tanah yang terkumpul menuju daerah lepasan (Dinas
Pertambangan dan Energi, 2003). Kuantitas air tanah dapat diketahui dengan mengetahui seberapa
besar jumlah air hujan yang menyerap kedalam tanah. Jumlah resapan air tanah dihitung berdasarkan
besarnya curah hujan dan besarnya derajat infiltrasi yang terjadi pada suatu wilayah, yang kemudian
meresap masuk ke dalam tanah sebagai imbuhan air tanah. Penyebaran vertikal air bawah permukaan
dapat dibagi menjadi zona tak jenuh (zone of aeration) dan zona jenuh (zone of saturation). Zona tak
jenuh terdiri dari ruang antara sebagian terisi oleh air dan sebagian terisi oleh udara, sementara ruang
antara zona jenuh seluruhnya terisi oleh air. Air yang berada pada zona tak jenuh disebut air gantung
(vodose water), sedangkan yang tersimpan dalam ruang merambat (capillary zone) disebut air
merambat (capillary water) (Linsley dkk., 1986).

Fungsi hidrologis DAS sangat dipengaruhi jumlah curah hujan yang diterima, geologi yang
mendasari dan bentuk lahan. Fungsi hidrologis yang dimaksud termasuk kapasitas DAS untuk:
1. mengalirkan air;

2. menyangga kejadian puncak hujan;

3. melepas air secara bertahap;

4. memelihara kualitas air dan

5. mengurangi pembuangan massa (seperti tanah longsor dan erosi)

DAS berdasarkan fungsi, yaitu pertama DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang
dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat
diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit),
dan curah hujan. Kedua DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola
untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat
diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air
tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.Ketiga DAS
bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan
manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air,
kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih,
serta pengelolaan air limbah

GAMBAR 1.1

Hubungan Biofisik antara DAS bagian hulu dan hilir

Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya
dengan didukung oleh prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan
manfaat DAS tersebut di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air
bersih bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan adanya rentang panjang DAS yang begitu luas, baik
secara administrasi maupun tata ruang, dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya koordinasi berbagai
pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah secara baik.Dimana, Kondisi DAS dikatakan baik
jika memenuhi beberapa kriteria yang juga mempengaruhi catchment area :

a. Debit sungai konstan dari tahun ke tahun.

b. Kualitas air baik dari tahun ke tahun.

c. Fluktuasi debit antara debit maksimum dan minimum kecil.

d. Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun.

Perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi


sumber daya alam berupa penambangan, dan ekploitasi hutan menyebabkan penurunan kondisi
hidrologis suatu daerah aliran sungai (DAS). Gejala penurunan fungsi hidrologis DAS ini dapat dijumpai di
beberapa wilayah Indonesia, seperti di Pulau Jawa, Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan, terutama
sejak tahun dimulainya Pelita I yaitu pada tahun 1972. Penurunan fungsi hidrologis tersebut
menyebabkan kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim kemarau dan
kemudian dipergunakan melepas air sebagai base flow pada musim kemarau, telah menurun. Ketika
air hujan turun pada musim penghujan air akan langsung mengalir menjadi aliran permukaan yang
kadang-kadang

menyebabkan banjir dan sebaliknya pada musim kemarau aliran base flow sangat kecil bahkan pada
beberapa sungai tidak ada aliran sehingga ribuan hektar sawah dan tambak ikan tidak mendapat suplai
air tawar.Salah satu contoh catchment area yaitu waduk Cacaban dimana secara geografis terletak
antara 109 11 28 BT sampai dengan 109 14 58 BT dan 7 1 31 LS sampai dengan 7 2 18 LS.
Waduk Cacaban memiliki daerah tangkapan air (catchment area) seluas 6.792,71 hektar. Adapun luas
genangan waduk pada kondisi maksimal seluas 928,70 hektar. Pada kondisi tersebut waduk Cacaban
mampu mengaliri lahan sawah irigisi teknis seluas kurang lebih 17.500 hektar. Rata-rata curah hujan
dengan kisaran 1.912 mm/ tahun sampai dengan 2.942 mm/tahun. Jenis tanah di Kawasan Waduk
Cacaban didominasi oleh komplek Latosol merah kekuningan, Latosol coklat tua, berikutnya adalah
komplek Podsolik merah kekuningan, Podsolik kuning dan Regosol. Kawasan Waduk Cacaban
bertopografi berombak sampai berbukit dengan ketinggian bervariasi antara 85 sampai 600 meter di
atas permukaan laut (dpl). Sedangkan sebagian besar daerah tangkapan air (catchment area)
merupakan daerah dengan kelas lereng IV - V, dengan interval 25 40 % sampai dengan > 40 %
tergolong daerah curam sampai dengan sangat curam. Jumlah penduduk di catchment area Waduk
Cacaban sekitar 29.859 jiwa yang tersebar di 9 (sembilan) desa. Berdasarkan jumlah penduduk usia
produktif (>15 tahun) sebesar 14.399 jiwa lapangan usaha penduduk di kawasan waduk sebagian besar
bergantung pada sektor pertanian, lainnya tersebar pada berbagai sektor. Sektor non pertanian yang
mempunyai potensi cukup besar sektor perdagangan.

2.Hubungan curah hujan terhadap catchment area dengan aquifer

Hubungan curah hujan terhadap catchment area dapat di lihat dari kuantitas air tanah yang
terdapat pada catchment area dimana curah hujan dapat mempengaruhi volume jumlahair di cathment
area yang berasal dari sungai-sungai.Sedangkan terhadap aquifer mempengaruhi geologi yang
mendasari bentuk dari catchment area.

Faktor yang Mempengaruhi Curah hujan :

1. Letak daerah konvergensi antartropis

2. Bentuk medan

3. Arah lereng medan

4. Arah angin yang sejajar dengan pantai

5. Jarak perjalanan angin di atas medan datar

6. Pusat geografis daerahnya


Faktor yang mempengaruhi banyak sedikitnya curah hujan di suatu daerah :

Factor Garis Lintang menyebabkan perbedaan kuantitas curah hujan, semakin rendah garis lintang
semakin tinggi potensi curah hujan yang diterima, karena di daerah lintang rendah suhunya lebih besar
daripada suhu di daerah lintang tinggi, suhu yang tinggi inilah yang akan menyebabkan penguapan juga
tinggi, penguapan inilah yang kemudian akan menjadi hujan dengan melalui kondensasi terlebih dahulu.

Faktor Ketinggian Tempat, Semakin rendah ketinggian tempat potensi curah hujan yang diterima akan
lebih banyak, karena pada umumnya semakin rendah suatu daerah suhunya akan semakin tinggi.

Jarak dari sumber air (penguapan), semakin dekat potensi hujanya semakin tinggi.

Arah angin, angin yang melewati sumber penguapan akan membawa uap air, semakin jauh daerah dari
sumber air potensi terjadinya hujan semakin sedikit.

Hubungan dengan deretan pegunungan, banyak yang bertanya, kenapa di daerah pegunungan sering
terjadi hujan? hal itu disebabkan uap air yang dibawa angin menabrak deretan pegunungan, sehingga
uap tersebut dibawa keatas sampai ketinggian tertentu akan mengalami kondensasi, ketika uap ini
jenuh dia akan jatuh diatas pegunungan sedangkan dibalik pegunungan yang menjadi arah dari angin
tadi tidak hujan (daerah bayangan hujan), hujan ini disebut hujan orografik contohnya di Indonesia
adalah angin Brubu.

Faktor perbedaan suhu tanah (daratan) dan lautan, semakin tinggi perbedaan suhu antara keduanya
potensi penguapanya juga akan semakin tinggi.

Faktor luas daratan, semakin luas daratan potensi terjadinya hujan akan semakin kecil, karena
perjalanan uap air juga akan panjang.

CURAH HUJAN

I.2. Dasar Teori

Curah hujan (mm) merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak
menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu) millimeter, artinya dalam luasan satu
meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu millimeter atau tertampung air
sebanyak satu liter.

Presipitasi (hujan) merupakan salah satu komponen hidrologi yang paling penting. Hujan adalah
peristiwa jatuhnya cairan (air) dari atmosfer ke permukaan bumi. Hujan merupakan salah satu
komponen input dalam suatu proses dan menjadi faktor pengontrol yang mudah diamati dalam siklus
hidrologi pada suatu kawasan (DAS). Peran hujan sangat menentukan proses yang akan terjadi dalam
suatu kawasan dalam kerangka satu sistem hidrologi dan mempengaruhi proses yang terjadi
didalamnya. Mahasiswa akan belajar tentang bagaimana proses terjadinya hujan, faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhinya, bagaimana karakteristik hujannya dan mempelajari cara menghitung rata-rata
hujan pada sutau kawasan dengan berbagai model penghitungan rata-rata hujan.

Presipitasi cair dapat berupa hujan dan embun dan presipitasi beku dapat berupa salju dan hujan es.
Dalam uraian selanjutnya yang dimaksud dengan presipitasi adalah hanya yang berupa hujan.

Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, alat pengukur hujan ada 2 macam yaitu alat pengukur
hujan manual dan alat pengukur hujan otomatik.

II.2 Metode

1. Metode rata-rata aritmatik

Plot semua lokasi stasiun pengukuran dan tingi hujan yang ada di sekitar daerah aliran sungai yang
akan ditentukan curah hujan wilayahnya.

Tentukan berapa banyaknya stasiun pengukuran hujan yang terletak di dalam batas daerah aliran
sungai tersebut.

Jumlahkan tinggi hujan dari sejumlah stasiun pengukuran hujan yang telah ditentukan.

Curah hujan wilayah diperoleh dengan cara membagi jumlah tinggi hujan hasil tahap kerja c
dengan banyaknya stasiun pengukuran hujan hasil tahap kerja b.

2. Metode Poligon Thiessen

Plot semua lokasi stasiun pengukuran dan tinggi hujan yang ada di sekitar daerah aliran sungai
yang akan ditentukan curah hujan wilayahnya.

Sambungkan setiap stasiun pengukuran hujan dengan stasiun pengukuran terdekatnya terutama
untuk stasiun-stasiun pengukuran hujan yang berada dalam dan paling dekat dengan batas daerah aliran
sungai. Sambungkan antara stasiun akan membentuk deret segitiga yang tidak boleh saling memotong
satu sama lain.

Tentukan titik tengah dari setiap sisi segitiga kemudian buatlah sebuah garis tegak lurus terhadap
masing-masig sisi segiiga tersebut tepat di titik tengahnya.

Hubungkan setiap garis tegak lurus tersebut satu sama lain sehingga membentuk poligon-poligon
dimana setiap poligon hanya diwakili oleh satu stasiun pengukuran hujan yang berada di dalam atau
paling dekat dengan batas daerah aliran sungai.

Tentukan luas daerah masing-masing poligon dengan mengunakan planimeter atau kertas
milimeter blok. Jumlah dari luas daerah masing-masing poligon akan sama dengan total luas daerah
aliran sungai.
Tentukan presentase luas dari setiap poligon terhaap luas totaldaerah aliran sungai.

Kalikan presentase luas setiap poligon (hasil tahap kerja f) dengan tinggi hujan yang jatuh di dalam
poligon-poligon tersebut.

Curah hujan wilayah diperoleh dengan cara menjumlahkan perkalian persentase luas poligon
dengan tinggi hujan yang jatuh di dalam poligon tersebut (penjumlahan setiap perkalian pada tahap
kerja g).

3. Metode Isohyet

Plot semua lokasi stasiun pengukuran dan tinggi hujan yang ada di sekitar darah aliran sungai yang
akan ditentukan curah hujan wilayahnya.

Tentukan interval curah hujan yang akan digunakan.

Gambar isohyet (garis yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai curah hujan yang
sama) berdasarkan interval yang telah ditentukan, berturut-turut mulai dari interval yang paling besar
samapai inteval yang palinh kecil. Dalam beberapa hal isohyet merupakan hasil interpolasi linier antara
curah hujan pada pada dua stasiun pengukuran yang berdekatan.

Tentukan curah hujan rata-rata diantara setiap isohyet (isohyet rata-rata) dengan metode rata-
rata hitung.

Tentukan total luas daerah yang dicakp oleh setiap isohyet dengan menggunakan planimeter atau
kertas milimeter blok.

Tentukan luas neto dari masing-masing daerah

Kalikan masing-masing isohyet rata-rata

Akumulasikan hasil dari masing-masing perkalian antara isohyet rata-ratadengan luas netto
daerahnya berturut-turut dari interval isohyet tinggi ke isohyet terendah.

Tentukan hujan ekivalen yang jatuh di setiap luasan netto isohyet dengan cara membagi akumulasi
nilai pada masing-masing interval isohyet.dengan total luas daerah yang dicakup oleh masing-masing
interval isohyet.

Curah hujan wilyah diperoleh dari hujan ekivalen yang jatuh pada luasan netto yang paling kecil.

Anda mungkin juga menyukai