Anda di halaman 1dari 22

Mengapa sejarah menjadi penting dalam Quran karena di sana terdapat hikmah, dan

hikmah tak akan menjadi penting ketika kita tak memahamii pengulangan peristiwa dan
matematisasinya di sepanjang garis sejarah, baik yang telah terlewati, kini, dan masa
depan. Ibrah adalah kearifan yang dapat terkonfirmasi secara kontekstual bisa
harusnya, bisa juga begitulah adanya..

Bila sejarah adalah hikmah, ibrah dan kearifan yang menyadarkan kita, maka Masa
Depan sebagaimana sejarah adalah hikmah, ibrah, sekaligus kearifan yang semestinya
kita konstruksi demi perbaikan negeri ini, menjelang Peradaban yang Kita Idamkan
Tiada kekuatan tanpa perubahan yang berasal dari cahaya Ilahiyyah

https://www.academia.edu/31853709/Tugas_Review_Buku_2024_Hijrah_Untuk_Negeri

PENDAHULUAN
Selalu saja saat mendengarkan lagu-lagu kebangsaan yang sarat nilai, kesadaran
diri untuk merawat negeri dengan kemandirian membuncah. Coba lihat lirik lagu
Rayuan Pulau Kelapa, nyanyikan, resapi, apa yang terayun di kedalaman ruang
batin kita:
Tanah airku indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa
Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yg amat subur
Pulau melati pujaan bangsa
Sejak dulu kala
Melambai-lambai nyiur di pantai
Berbisik bisik raja klana
Memuja pulau
Nan indah permai
Tanah airku Indonesia

Sudah dapat kita rasakan? Masalahnya adalah pada bila saat kita menyanyikannya
tetapi tak terbangun dalam konstruksi kesadaran dan gerak di dunia nyata, maka
sepertinya inilah yang disebut absurditas Keindonesiaan. Saya tidak yakin omongan
tentang merawat Keindonesiaan dapat dibangun dari kolaborasi apalagi mentalitas
menjual negeri hanya untuk kuasa. Di titik inilah, negeri yang sudah gerah dengan
kuasa Barat dan konco-konconya seperti Singapura dan Jepang bahkan Korea
Selatan, kini bergerak menuju pertarungan dengan kekuatan besar baru, Cina
Komunis, yang mungkin saja berkolaborasi dengan Rusia. Sebagaimana pernah
saya tulis dalam artikel pendek berjudul Gelombang Pusaran dari Barat ke Yellow
River beberapa waktu lalu:
Orde Reformasi, pintu kebebasan mulai terbuka kembali, tetapi dunia telah
berubah, kekuatan Cina Komunis telah menjadi superpower baru katanya, Maka kita
mulai tertarik masuk ke pusaran baru yang lama, komunisme yang kita tolak habis-
habisan hingga 3 tragedi PKI dulu, dari yang barat sentris ke cina sentris. Dana
digelontor ke negeri ini, seperti dulu IMF, WB, dan G to G yang pasti itu adalah
Baratisme Nusantara. Sekarang Dana digelontor habis-habisan dari Yellow River,
dan kampus-kampus sudah mulai memberangkatkan mahasiswa dan dosen-
dosennya. Ya, air bah yang berubah arah dari yang dulunya Amerika, Eropa dan
Australia, sekarang berpindah ke Yellow River. Kita tidak sedang bertarung dengan
individu amrik, eropa, australia, atau orang cina-nya. tapi yang kita lihat dari semua
hal yang bersifat historis dan masa depan kita adalah Narasi Besar yang dibawa,
Ideologi Besar Barat yang Liberalisme atau Ideologi Besar Cina yang Komunisme
itu. kita tidak sedang membenci ras kulit putih atau kuning, tetapi yang kita tentang
adalah air bah besar, narasi besar, ideologi besar, yang berhadap-hadapan dengan
Pancasila itu sendiri.

212 DAN KESADARAN UMMAT


Keresahan penulis sepertinya bukanlah keresahan yang bersifat pribadi, karena
seperti akan kita lihat, peristiwa puncak 2 Desember 2016 adalah bentuk keresahan
komunal anak negeri, dengan motor penggerak baru, pemimpin baru informal
ummat Islam di Indonesia, Habib Riziq Shihab, icon perubahan di negeri ini.
Fenomena Habib Riziq seperti pengulangan sejarah dimulai kembali setelah 100
tahun lalu HOS Tjokroaminoto 1916 menjadi pemimpin baru ummat Islam, Sang
Raja Jawa Tanpa Mahkota, yang menggegerkan di seantero Nusantara waktu itu.
Mengapa teriakan membela Al Quran atas kasus penistaan agama yang dilakukan
oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi pintu masuk yang dapat
menggerakkan kesadaran di negeri ini? Kesadaran bahwa negeri yang mayoritas
muslim ini kemudian bergerak melakukan penolakan masif atas desain dan praktik
kebudayaan, penjarahan politik dan ekonomi oleh para pemilik modal besar, yang
tampil di media mainstream maupun di dunia nyata. Hal ini terlihat dari gegap
gempitanya ummat ketika misalnya mendengarkan orasi Sang Habib. Saya
mencoba mentranslasi salah satu orasi Habib Riziq berkenaan Aksi Bela Islam
setelah 411 dan persiapan menuju 212 berikut ini:
Bahkan yang agamis ame yang nasionalis kumpul semua. Betul? Itu sampai
ada orang kafir ikut juga saudara. Dan dahsyatnya aksi bela Islam 411 atas izin
Allah jutaan umat Islam turun tidak ada seorang kafirpun yang didzalimi saudara.
Betul? Bahkan ada sepasang pengantin beragama katolik ingin ke gereja Katedral
jutaan manusia dia bingung bagaimana nembusnya saudara? Dia sudah putus asa
tetapi tiba-tiba para santri mendekati mau ke mana ibu bapak penganten? o, kami
mau menikah di gereja katedral O, mari turun kita bantu jalannya. Dibukak jalan
oleh para peserta aksi, bahkan oleh peserta aksi bersihkan sampah yang di jalan
supaya gaun pengantennya tidak kotor saudara. Dahsyat tidak? Indah tidak? Berarti
artinya Islam toleran tidak? Anugrah siapa? Karunia siapa? Pertolongan siapa?
Siapa yang Maha Besar? Siapa Maha Agung? Siapa Maha Suci? Takbir. Percaya
dengan pertolongan Allah? Betul? Siap datang aksi 212? Siap datang Jumat 2
Desember? Percaya Allah akan menolong kita? Takbir. Yang sekolah yang kerja
libur semua saudara untuk perjuangan Islam, Islam gak boleh Islam kita dihina.
Betul? Siap hadir? Siap datang? Sebagai penutup saya mau sampaikan saudara.
Tadi saya dari reskrim mabes polri lanjutan pemeriksaan soal kasus Ahok, dari sana
saya langsung kemari dan besok akan ada pemeriksaan di Polda saudara, maka
saya hanya ingin menyampaikan di sini. Apapun yang terjadi dengan saya ke depan
mau saya dipenjara, mau saya dibunuh, umat Islam gak boleh berhenti untuk
berjuang tegakkan Islam di Indonesia. Takbir, Takbir, Takbir. Siap bela Allah? Siap
bela Rasul? Siap bela Nabi? Siap bela Quran? Siap bela Islam? Siap bela negara?
Siap bela NKRI? Takbir. Catet baik-baik saudara demi Allah hari ini seorang habib di
bunuh karena bela Islam, besok masih ada ribuan habaib lainnya yang akan bangkit
lanjutkan perjuangan. Takbir. Dan catet baik-baik-saudara hari ini ada seorang kyai
seorang ulama seorang ustad seorang dai yang dibunuh karena membela Islam, be-
sok akan muncul ribuan kiai, ustad dan dai melanjutkan perjuangan. Takbir. Hari ini
ada 1000 pemuda dibunuh untuk bela Islam besok jutaan pemuda Islam Indonesia
akan bangkit kembali saudara. Siap berjuang, angkat semua takbir, takbir, takbir.
Shallu ala Nabi

Setelah berbicara dengan mengingatkan kembali untuk hadir 212, ditutup Mars Aksi
Bela Islam:
Al Quran iman kami
Al Quran pedoman kami
Al Quran petunjuk kami
Al Quran satukan kami
Aksi bela Islam
Aksi bela Islam
Allahu allahu Akbar

Aksi 212 akhirnya menjadi gelombang jutaan ummat Islam yang tak dapat dihindari,
tak dapat dihentikan dan tak dapat dibendung, bahkan karena ada niat bendungan di
berbagai daerah, Ciamis kemudian memelopori aksi ribuan umat Islam jalan kaki
ratusan kilometer dari Ciamis menuju jakarta. Kita lihat di hari H, jutaan masa Islam
menyanyikan Indonesia Raya bersama, tidak pernah ada dalam sejarah negeri ini
lagu kebangsaan dinyanyikan jutaan massa. Ya, jutaan Ummat Islam memenuhi
monas hingga luber ke mana-mana, melaksanakan shalat jumat berjamaah terbesar
di dunia. Setelah itu tidak ada yang namanya kerusuhan, bahkan yang ada adalah
kesantunan dan kebersihan kota kembali seperti semula setelah ummat secara tertib
pulang. Seperti telah saya tuliskan di memoar 411, 212 juga terjadi keikhlasan maha
dahsyat:
Mereka ikhlas, benar-benar ikhlas, merasakan solidaritas saling berbagi apapun. Ya
suasana batin dan denyut umat di tengah represi aparat dan kepongahan pemimpin
negeri ini hanya karena pertarungan segelintir elit saling berebut kuasa demi
mengamankan posisi dan transaksi yang terlanjur tergadai. Di setiap titik kita cari
makan dan minum segala tersedia dari gelontoran sumbangan umat. Di saat kita
ingin membeli air mineral, teh, kopi, susu tengah di saat itu pula harga menjadi nol
rupiah karena gemericik air kebaikan yang mengalir seperti tangan-tangan malaikat
berperan di dunia nyata.

Kita telah melihat jelas sekali, 212 adalah simbol mata batin umat yang lebih dahsyat
dari kecerdasan akal gerombolan. Aksi 212 telah membalik seluruh logika dan
asumsi bahwa kita tidak mampu melakukan perubahan yang drastis. Siapa mengira
situasi negeri ini menjadi terbalik 180 derajat? Hanya karena kita mau dan kita
sanggup, hanya karena Allah saja semua dapat berubah. Ya, memang 212 itu
angka, tapi angka itu penuh makna, bukan hanya material. Demikian pula, 100 tahun
itu adalah representasi angka dan Rasul mengatakan akan ada pembaharuan setiap
100 tahun. 100 tahun sebagai angka tidak hanya bersifat material pula, karena
angka 100 bagi Rasul adalah refleksi melangit. Maka dari itu saya percaya dan
dengan itu maka saya beriman pada Rasul. Sama pula ketika misalnya
pertumbuhan ekonomi yang direpresentasikan dengan angka dan kemudian
dijadikan dasar negeri ini dari tahun ke tahun itu untuk memproyeksikan masa depan
kesejahteraan negeri, maka ketika ternyata tidak merefleksikan realitas serta
kesejahteraan rakyat kecuali para cukong, sehingga menyebabkan keresahan dan
memuncak di 212. Maka sebenarnya angka pertumbuhan ekonomi bagi saya adalah
dukun yang menyajikan data palsu bak candu bagi para pembuat, penyaji dan
pemakainya.

REORIENTASI PASCA 212


Orientasi 212 bila mau ditarik sebagai awal perubahan dan hijrah untuk negeri, maka
tidaklah tepat bila ekonomi dijadikan dasar perubahan. Sebagaimana sejarah
menunjukkan kehancuran negara ini karena pilihan dan orientasi negara
mengarahkan ekonomi sebagai panglima Orde Baru. Demikian pula dengan pilihan
politik sebagai panglima sebagaimana juga sejarah menunjukkan kehancuran Orde
Lama. Kini, Orde Reformasi menggabungkan desain politik dan ekonomi sebagai
panglimanya. Jadi sebenarnya di sinilah letak kesalahan mendasar dari paradigma
pembangunan negeri. Apakah perlu melihat dengan cara pandang baru? Misalnya
dengan melakukan resetting pikiran dalam bingkai konstruksi kebudayaan, sebagai
panglima?

Kalau alumni 212 melakukan aksi hanya bersifat material antisipatif melalui gerakan
ekonomi syariah, sepertinya nanti akan mengulangi kesalahan sejarah lagi. Artinya,
boleh dan wajib konstruksi politik ekonomi itu dilakukan, tetapi keduanya harus
dalam bingkai besar redesain atas positioning kebudayaan sebagai payungnya.
Yang saya maksud dengan desain itu adalah kebudayaan bermarwah
masjid. Bukannya sedang melawan pragmatisme jaman, dan, karenanya juga, dan
tetap yakin, Tauhid tak bisa bercanda dengan jamannya, Tauhid selalu tegas
menegasikan ilah-ilah, berhala-berhala dunia, sekaligus menegaskan Ilah Yang Esa.

Apalagi bila kita melihat bahwa gagasan negara berkemakmuran dan


berkesejahteraan yang dilakukan oleh Eropa Barat dan Amerika, dan sekarang juga
dilakukan oleh Cina bahkan negeri ini menirunya habis-habisan. Semua refleksinya
dioerientasikan pada materialisasi berbentuk angka-angka dan statistik apa itu yang
disebut Indonesia makmur dan sejahtera, pertumbuhan ekonomi, termasuk outlook
ekonomi tahunan yang gencar digelontorkan seperti menjelang akhir tahun gini ini
atau bahkan kalau ada itu outlook sosial masyarakat, dan lain sebagainya. Semua
ya semuanya memang takluk pada logika gagasan Evolusi Institusi Inklusif, potret
kesejahteraan Neoliberalisme berbasis Materialisme Individual.

Saya merasa kurang pas dengan cara pandang kemakmuran dan kesejahteraan
karena diukur berdasarkan kemapanan materi, kecukupan sandang papan,
kesehatan diri dan keluarga, serta kreativitas aktivitas bisnis yang menjamin
kebebasan mengakses ladang-ladang ekonomi masyarakat dan lingkungan
alamnya, bahkan lebih jauh kebebasan mengakses kebahagiaan tanpa dibatasi
moralitas bahkan kaidah-kaidah kebaikan, apalagi agama.

Mengapa begitu? Cara pandang seperti itu dapat dilacak dari dasar berpikir
metodologis dari mana sumber ilmu termasuk ekonomi dikembangkan, yaitu
Positivisme yang mengedepankan model to explain and to predict. Semuanya
merupakan gerakan materialisme empiricism baik yang kapitalistik liberal maupun
sosialistik komunal (termasuk di dalamnya komunisme) untuk melegitimasi sifat
dasar kemanusiaan Barat dan para followernya, yaitu Self/Social Interest yang anti
agama, anti Tuhan. Ya semuanya memang anti Tuhan. Kalaupun Tuhan ada pasti
digeser menjadi marginal dan bahkan Deus Absconditus, Tuhan Disembunyikan
saja.

Apakah kita perlu melakukan perubahan sesuai logika seperti di atas? JIka ya, maka
negeri ini tidak pernah makmur dan sejahtera dalam koridor Ilahiyyah, karena
ambigu dan melawan kepercayaannya sendiri, agama dan Tuhannya. Allah pasti
memberikan Cahaya Maha Cahaya-Nya pada setiap abdi-Nya, selama tetap
mengikhlaskan diri sebagai umat Muhammad yang istiqomah dan terdepan, bak
ombak yang menggulung lautan, bukannya buih di lautan. Keberpihakan pada
keyakinan dan keadilan itu mutlak, tidak bisa dinegosiasikan apalagi jadi abu-abu.
Positioning Mutlak seperti itu dengan demikian menjadi penting. Bukan pula menjadi
argumentasi politicking bahkan keangkuhan atas nama interest yang bersifat
individu bahkan kelompok parsial dari komunitas. Bila eksistensi tidak abu-abu yang
pernah dijadikan simbol perjuangan tidak penting lagi dan bila pula pragmatisme
politik menjadi dasar karep, maka lebih baik siapapun perlu perpikir ulang
menggunakan ketegasan Positioning Mutlak. Ya berpikir ulang sekaligus menggeser
dasar paradigmatik pada penegasan pentingnya the uniqueness of symbol yang jadi
pijakan kejuangan historis.

Kita benar-benar tidak ingin melakukan pengulangan kecerobohan historis apalagi


menderivasikan egoisme secara sosiologis yang menghancurkan sendi-sendi dan
kerekatan bangsa kita. Bila kita memang menyatakan diri sebagai anak kandung
bangsa ini sekaligus bagian genetis umat, ruh umat, maka kita akan jaga keutuhan
semua entitas bangsa sekaligus tidak akan menjual negeri ini sejengkalpun. Kita
tidak sedang menuruti hasrat pragmatisme, tetapi menegaskan posisi umat yg tidak
bisa dijual murah. Kebudayaan bermarwah masjid menjadi ruh atas perubahan
sistem dan pikiran individu sekaligus masyarakatnya. Kebudaayaan melalui
bangunan pendidikan yang menekankan religiositas dan bukan basa-basi diseluruh
level, mulai dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi menjadi pintu masuk utama,
sebagai ruh moralitas langit yang menjadi ruh atas desain dan konstruksi lanjutan
atas ketatanegaraan, politik, ekonomi dan pembangunan negeri.

Artinya, tidak serta merta konsep dan teori Barat yang telah menghancurkan negeri
ini lewat rembesan pendidikan dibuang, pensucian atas kurikulum dan sistem
pendidikan melalui reorientasi konsep ekonomi, sosial, budaya, politik, tata negara,
dan semuanya harus menjadi prioritas. Pekerjaan berat seluruh buku daras, buku
teks, riset-riset, artikel ilmiah, harus diarahkan bukan hanya diterjemahkan saja,
apalagi kalau negeri ini disuruh membaca buku berbahasa asing. Lebih penting
adalah melakukan redesain, rekonstruksi, bahkan menciptakan buku daras baru,
buku teks baru, riset baru, artikel ilmiah, harus diarahkan pada sistem nilai dan
religiositas kita serta nilai-nilai lokal yang sangat religius menjadi penting bagi
perubahan mindset masyarakat negeri ini. Jangan pernah takut dengan perubahan,
toh konsep dan teori asing belum tentu statis, mereka juga dinamis dan bahkan
selalu berubah, dan kita hanya menjadi follower mereka? Absurd sekali kalau begini
jadinya.

Kita insya Allah punya gagasan sains teknologi cadas yang berpihak pada negeri ini.
Kita punya para guru besar, doktor, sarjana dan praktisi cerdas yang mampu
membangun negeri ini dan telah melakukannya hingga saat ini, berbasis nilai tradisi
religius dan kebangsaan kita. Selain itu semua desain dan sistem pembangunan
negeri wajib dibangun dan diredesain dari sistem nilai reiligius dan lokalitas kita
sendiri. Tidak perlu saya kira seperti saran pemimpin negeri ini memanggil para
manusia karton yang hidup di luar negeri hanya karena tidak sabar dan malahan
menjadi antek-antek asing aseng asong, kecuali mereka memang masih memiliki
semangat religiositas dan kebangsaan untuk membangun negeri ini. Insya Allah
sebenarnya sistem nilai, desain, konstruksi pendidikan, riset dan aksi kebudayaan
telah dilakukan, tetapi semuanya saat ini hanya menjadi lembaran yang memenuhi
rak-rak perpustakaan, laboratorium dan hard disk komputer dan laptop. Bahkan
sistem ekonomi rakyat yang sangat reiligus dan bersifat kebersamaan telah terjadi di
negeri ini, sayangnya selalu saja negara melihat dan memenjara mereka dalam
koridor ekonomi usaha kecil yang tidak boleh menjadi dominan. Orientasi
pembangunan yang terlalu mercusuar dan cenderung meninggalkan rakyatnya demi
yang katanya kemajuan telah menggadaikan kemandirian dan selalu dibincang
dalam bentuk investasi mapun hutang triliunan rupiah. Mengapa misalnya kita tidak
mendorong serta mengonstruksi dengan serius ratusan hingga ribuan cluster
ekonomi rakyat berbasis Koperasi yang benar-benar dimodali, didesain, didampingi
serta diorientasikan menjadi Koperasi Multinasional yang mampu berhadapan di
kancah internasional. Bukannya negara hanya memberi award ketika mereka telah
besar karena usaha mereka sendiri. Inilah kemalasan negara dan mentalitas
birokrasi yang sangat korup karena mereka hanya mementingkan percepatan
masuknya pajak untuk kepentingan pembangunan infrastruktur dan bayar hutang
ribuan triliunan rupiah. Bahkan mental malas itu terbangun lewat tax amnesty
misalnya. Wong jelas-jelas itu mereka pra pengusaha korup yang mayoritas adalah
non pribumi pengemplang pajak tidak mau bayar pajak kok dibela. Saatnya kita
membuka semua konstruksi genuine anak negeri dan mempraktikkan secara
simultan. Siap tidak siap, harus siap, kita harus hijrah.

HIJRAH UNTUK NEGERI


Hijrah itu seperti apa? Yang jelas, seperti saya jelaskan di buku 2024: Hijrah untuk
Negeri:
hijrah itu ya bukan hanya seperti dipikirkan secara literal melakukan pergeseran
vektorial dari satu titik a ke titik b, atau perpindahan sebuah situasi x menuju situasi
y, juga perindahan bersifat teknis saja bahkan bila lebih mau dikonseptualkan dan
masuk dalam kerangka institusional merupakan perubahan signifikan untuk
melakukan perbaikan sistem sosial ekonomi politik demi perubahan yang
mengamankan kepentingan keseimbangan dan, nah ini lebih krusial, menjaring
kemungkinan manfaat ekonomi dan politik kenegaraan. Saya malah melihat Hijrah
Rasulullah SAW dan para nabi serta rasul terpilih tidak bisa hanya kita pahami
sebagai perpindahan atas alasan sempit, seperti ekonomi, politik, dan sosiologis
kontekstual sebagaimana gagasan pemikir Barat. Hijrah bagi saya lebih jauh dari itu.
Hijrah pastilah berhubungan dengan situasi maha penting dari sisi substansi nilai
religiositas yang terkonstruk dari kegelisahan-kegelisahan ideologis sehingga
menyebabkan situasi masyarakat pada titik mengkhawatirkan. Rasulullah
melaksanakan hijrah seperti dijelaskan di atas memang memiliki alasan substansial,
demi terselamatkan nilai-nilai perjuangan Islam itu sendiri atas nama Tuhan. Ahzani
Samin Jazuli mengatakannya sebagai satu metode dari berbagai banyak metode
penyebaran dakwah, juga tentang perhelatan membela kebenaran hakiki, kalaupun
itu juga berkenaan keadilan sosial ekonomi bukan dalam kerangka linieritas
kebahagiaan material semata, apalagi secara politik adalah pembagian kekuasaan
secara demokratis atas nama keinginan rakyat. Hijrah adalah situasi perubahan atas
nama keinginan dogma keimanan yang lebih revolusioner dan mengarah pada
kekuatan aksi konkret, bukan hanya aksi konkret tanpa ruh Ketuhanan.

Seperti apakah Hijrah yang perlu dilakukan? Sebagaimana telah saya jelaskan
panjang lebar di buku 2024:
hal paling penting adalah konsolidasi umat, dan kita telah melakukannya saat ini
melalui 212. Saatnya kita mulai dengan hijrah dari demokrasi liberal menuju Syura,
Musyawarah Mufakat. Musyawarah adalah amanah konstitusi yang harus dijaga
demi menjaga persatuan Indonesia. Founding Fathers kita jelas sekali lebih
mengedepankan musyawarah mufakat dalam keterwakilan, untuk memilih pemimpin
negeri ini, baik eksekutif maupun legislatif. Yang terjadi saat ini adalah sistem
Pemilihan Umum kita adalah Sistem Pemilihan Umum paling Kompetitif, yang
berlawanan dengan sistem musyawarah. Siapa punya nama dan uang dia yang
menang. Belum lagi liberalisasi telah juga merangsek lewat Otonomi Daerah, baik
dari sisi pemerintahan maupun pengelolaan keuangan yang sangat federalistis.
Nyawa kita saat ini harus dipertaruhkan dalam kompetisi head to head, mulai akar
rumput sampai puncak kekuasaan negeri ini. Menjadi wajar bila dekade terakhir ini
betapa banyak wacana ekspansi yang mengarah pada keinginan berbagai wilayah
untuk merdeka, yang dipicu konsep pemerintahan terpisah. Hijrah kedua adalah
hijrah dari ekonomi neoliberal menuju ekonomi kerakyatan berkeadilan sosial. Tidak
dapat disangkal bahwa kita telah terjebak dalam ukuran-ukuran universal numerik
seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, anggaran defisit, nilai uang, harga minyak
dunia. Politik Ekonomi kita juga diarahkan pada sistem Ekonomi Pasar Bebas dan
Korporasi. Mengapa ukuran-ukuran perekonomian dan Politik Ekonomi kita tidak
berkaitan dengan apa yang dicita-citakan founding fathers yaitu keadilan sosial?
Alih-alih pertumbuhan ekonomi bahkan telah menjerumuskan kita ke dalam jebakan-
jebakan pasar bebas seperti MEA. Ya jebakan! Kita mengakomodasi buruh luar
negeri daripada pekerja lokal sendiri atas nama efisiensi yang mengarah pada
bertambahnya tingkat kemiskinan. Alih-alih defisit APBN kita terjerumus dalam utang
LN yang mengarah pada pelucutan hak negara untuk mengatur subsidi dan proteksi
pasar nasional. Seharusnya kita membangun koperasi bukan korporat. Amandemen
UUD 45 No 33 telah menghilangkan koperasi. Seharusnya kita tetap menjaga
kebersamaan dan kerakyatan dalam berekonomi, bukannya memicu individualisme
ekonomi transaksional. Mengapa kita tidak membangun Koperasi Multi Nasional,
yang semua mendapat jaminan besar dan mendapat kesejahteraan bersama, malah
kita terjebak pada logika dasar Korporasi Multi Nasional. Saatnya negara melakukan
Hijrah Kebangkitan melalui Gerak, Gerakan Bangga Koperasi. Hijrah paling penting,
adalah hijrah kebudayaan. Kita dan anak-anak kita kini menjadi manusia- manusia
universal yang hilang sudah akar budayanya. Gerusan globalisasi telah
memproduksi manusia-manusia hedonis melalui pendidikan, melalui Sekularisasi
dan Westernisasi Sistem Pendidikan Nasional. Ya tujuan Pendidikan Nasional kita
memang bertujuan mulia, mendidik manusia dan masyarakat Bertakwa serta Berjiwa
Kebangsaan untuk membangun Indonesia sebagai pusat peradaban dunia, tetapi
tidak dalam implementasinya. Sungguh disayangkan kenyataan bahwa pendidikan
kita sangat terkooptasi dengan mentalitas Barat. Tengok saja betapa kurikulum kita
terjebak pada logika Liberalisme, banyaknya buku-buku asing bermuatan
individualisme dan materialisme. Kita dipaksa dan didesain untuk mengikuti logika
universal. Jika kita masih percaya kekuatan asali Nusantara serta kekayaan
budayanya, bukankah kita yang seharusnya menjadi pusat peradaban? Bagaimana
melakukan pendidikan seperti itu? Pengalaman mungkin pelajaran terbaik, seperti
saya lakukan, tugas rutin memberi kuliah akuntansi, di kelas. Suatu hari, seperti
biasanya, saya bercengkerama dengan mahasiswa di kelas. Ya, bukan hanya
menyodorkan pengetahuan bagi mereka, tetapi menyodorkan kesadaran. Entah,
kadang di persimpangan hari-hari, jenuh muncul sebelum masuk kelas. Apalagi bila
mau berangkat ke kampus, harus mampir dulu di ruang lain, ruang realitas bisnis,
dan bahkan sebelum itu, harus membaca surat-surat masuk sekolah keluarga yang
perlu ditandatangani, suasana hati sebulan itu memang benar-benar dalam kondisi
down under, alias kayak maunya lari dan tidak masuk kelas. Pikiran nakal yang
muncul, apa sih aku ini, kok cuma gitu aja hari-hari ngajar berulang-ulang dengan
tema sama? Apa gunanya bagi diriku? Toh aku ini orang biasa di kampus? Tapi
begitu ingat mahasiswa bukanlah mahasiswa yang sama, mereka bukan mesin yang
cukup disodori dengan hal monoton, pengetahuan mekanis, praktik, teknik dan
kegiatan pengetahuan lain. Ya, dengan semangat yang ada itulah, setiap kali masuk
kelas dan melihat dan mendengar mahasiswa berinteraksi di kelas, darah
penyadaran seperti menyorong ke depan. Akhirnya, ya begitulah, bicara di depan
kelas setelah mereka berdebat tentang materi kuliah, bicara bukan hanya
pengetahuan, sekali lagi saya luncurkan penyadaran. Setiap huruf, kata, kalimat
meluncur dengan energik di depan kelas, memang respon mata dan bahasa tubuh
mereka beragam, ada yang ekspresif, mata bersinar, tapi ada juga yang matanya
kosong, nah yang lebih membuat sedih (di situ aku merasa sedih hehehe atau
sakitnya tuh di sini) adalah respon mencibir implisit. Astaghfirullah ujub ini ujub
kita ujub semua Astafghfirullah
CATATAN AKHIR
Atas dasar itulah sebenarnya nafas kita memang masih nafas panjang. 212 hanya
awal, dialah pintu masuk bagi pembenahan gradual dan sangat fundamental,
meskipun di posisi eksisting sekarang perubahan dapat dilakukan tetapi harus
direkayasa tetap dalam koridor payung kebudayaan. Negeri sudah tidak butuh
argumentasi, tapi kesadaran langit dalam batin umat. Ayo bela Islam, Ayo Hijrah
untuk Negeri Bela NKRI. Sekarang juga. Tidak ada perubahan akan terjadi kecuali
Allah ingin dan kita menyambutnya dengan tangan terbuka. Insya Allah.
Kalau panggilan ber-ruh langit itu benar adanya ya jalani saja
Yang jelas panggilan itu tak pernah berbohong
Ini bukan tentang rasio bernurani ego
Bukan pula transaksi bernurani pasar Bukan pula kebenaran teks negeri antah
berantah
Yang pasti substansinya tak pernah sama dengan budaya kita
Entahlah kalau kita suka pasrah terkonstruksi olehnya, bukan sebaliknya
Yang jelas ini bukan ego diri, harga pasar, apalagi budaya kuning putih
Apalagi penyamaran jadi londo putih kuning
Ini tentang harga diri bernurani umat
Tentang nadi langit dalam setiap kita

Singosari Jumat, 9 Rabbiul Awwal 1438; 9 Desember 2016

https://www.edunews.id/literasi/opini/212-pintu-masuk-hijrah-untuk-negeri/

Membincangkan pasca 212 selalu saja renyah. Membincangkan 212 pasti akan
melihat bagaimana secara sosiologis manusia Indonesia itu sendiri.Mengapa terjadi
gerakan moral luar biasa atas kasus penistaan agama? Apa yang terjadi dengan
manusia Indonesia? Bagi kalangan liberal, menggagas Manusia Indonesia Baru yang
adaptif atas kecenderungan Manusia Universal tak dapat terelakkan. Sedangkan bagi
para akademisi Muslim tahun 1990-an yang dikemudian hari banyak memengaruhi
alam berpikir anak muda di jamannya yang saat ini menjadi para penggerak negeri,
yang sedang gelisah seperti mereka dulu dan berdiskusi menerawang masa depan
bangsa ini, bahwa sains teknologi berjiwa pemihakan pada kaum lemah serta arif
lingkungan dalam koridor keagamaan adalah kunci. Tetapi mengapa, justru kita masih
gamang atas budaya kita sendiri? Apakah benar bahwa budaya manusia Indonesia
adalah pemalas, hipokrit, sinkretis, dan suka basa-basi njawani, dan seterusnya dan
seterusnya? Saya merasa, ada yang salah terhadap stigma kebudayaan masyarakat kita
sendiri, kebudayaan luhur bangsa ini yang sangat berbeda logika dan karakteristiknya.
Tidakkah model calling ala Protestant Ethics-nya Max Weber yang kemudian
mengejawantah menjadi Greedy Moral manusia modern adalah bagian dari
progresifitas yang sangat instingtif darwinistik?
Ungkapan menarik Budayawan Nusantara, Emha Ainun Nadjib, bahwa
kehidupan dunia sebelum mengarah pada kemuliaan, perlu dilalui lewat ritus
kearifan simbol Maliboro (yang saat ini kita ketahui hanyalah tempat wisata
tersibuk di Jogja). Malioboro merupakan simbolisasi kearifan religiositas
Jawa, Dadio Wali Sing Umboro, jadilah wali yang mengembara, mengembara
menuju kamulyan (kemuliaan). Bagi saya, Malioboro dapat menjadi kekuatan
spirit pemimpin sebagai sosok manusia pengabdi Tuhan sekaligus rakyatnya,
pengemban amanah kekuatan penggerak kemanusiaan utama.
Sebagaimana diungkapkan QS 62:10:
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan
carilah karunia (fadhl) Allah dan selalu ingatlah kepada Allah supaya kamu
beruntung.
Sebaik-baik rejeki bukan hanya nikmat material, tetapi ultimasi atas fadhl,
yaitu kemuliaan. Kemuliaan hanya ada pada kedaulatan manusia atas orang
lain, kedaulatan ekonomi masyarakat di negeri sendiri, yang berdikari.
Kemuliaan untuk kedaulatan seharusnya tidak bisa dikalahkan demi masifitas
ukuran makro ekonomi liberal pro pasar. Pilihan campuran liberalisasi dan
pemberdayaan memang membutuhkan kearifan dan konsistensi
keberpihakan pilihan ekonomi. Bila kemuliaan memang penting, maka rakyat
adalah pilihannya, dengan konsekuensi liberalisasi pasar perlu tereduksi pada
skala tertentu.
Padahal, kalau mau direfleksikan lebih jauh, ngurus negeri, ngurus dunia kok
cuma pasar, padahal pasar itu kata Gusti Rasul adalah sejelek-jelek tempat.
Sekotor-kotor tempat dan sehina-hina tempat. Itu lo katanya tempatnya para
setan bercengkrama menegosiasikan kejahatan, pokoknya segala kejahatan
kumpul jadi satu merumuskan agenda keduniaan penuh kejahilan
kebohongan kemaksiatan, wis pokoke.Padahal ada tempat lain yang kata
Gusti Rasul, sebaik-baik dan seindah-indah, sewangi dan harumnya
panggonan, tempat itu ya Masjid. Ya jangan mikir kalau membuat indah
masjid itu kemudian dibangun dengan penuh pernik emas permata,
keindahan masjid itu bukan di ruang fisik, saya kira, tetapi kehadiran masjid di
dalam sukma setiap insan di negeri ini yang penuh tebaran cahaya maha
cahayalah substansi keindahan itu berada.

Ndak ngerti po, nek ndak ngurusi sukma masjid kuwi, negeri ini akan jadi tempat
para setan dan kebusukan dan kejahatan dan apapunlah. Yang pasti, akan
menjungkirbalikkan keindahan semesta dan menghilangkan sukma masjid
menjadi pinggiran dan marjinal hanya untuk orang-orang tua kurus jelek
pandir dan kumuh berkumpul menjelang dan merapatkan kematian saja
MANUSIA INDONESIA ITU SUKA MASJID ATAU PASAR?
Bicara mengenai Masjid dan Pasar, saya lebih baik mendetilkannya. Ya,
Masjid dan Pasar adalah dua dunia yang menjadi bagian tema-tema abadi
lain dari prioritas aktivitas setiap Muslim. Tema-tema abadi seperti Keadilan,
Anti-Rasisme di seluruh lini, Ketakwaan, Ibadah-ibadah Mahdah, dan
lainnya selalu didengungkan, untuk diresapi dan diaplikasikan secara kaffah
(menyeluruh, total, holistik) setiap manusia yang mengatakan dirinya Muslim,
Orang Islam.Mengapa tema-tema abadi tersebut penting dan bahkan banyak
diulang-ulang dalam Quran, Hadits maupun Ushwah Rasul? Ya, karena tema-
tema abadi itulah ciri khas Islam. Ironisnya, tema-tema abadi itupun sekaligus
banyak terlupakan, atau kalau tak terlupakan ya terkalahkan dengan tema-
tema duniawi rekaan dan karya-karya kemanusiaan yang lebih menggiurkan,
seperti pasar saham, demokrasi, liberalisasi, hak asasi manusia, hak paten,
kapital, income, kesetaraan gender, interest/bunga, dan lainnya.
Masjid dan Pasar salah satunya yang kadang tidak dibicarakan sepaket,
tetapi parsial, bahkan pembicaraan sepaket atau bahasa kerennya itu sinergi
oposisi biner banyak terlupakan atau terkalahkan oleh pemisahan ekstrim
masjid dan pasar, maupun yang hanya sekedar haditsnya dibaca, dihafal, dan
diletakkan di diskusi kitab-kitab ibadah mahdah. Padahal, Masjid dan Pasar
adalah satu kesatuan yang tak dapat dilepaskan dari konteks di mana Islam
berkembang. Bentuk Sinergi Oposisi Biner yang (kadang) terlupakan dan
lebih suka dibahas dalam logika oposisi biner. Ketika membahas masjid ya
masjid saja, ketika membahas pasar ya pasar saja. Ketika membahas ibadah
shalat dan masjid sebagai tempat sujud/shalat tidak lupa membahas bahwa
pasar adalah tempat terburuk dan paling dibenci Allah. Tetapi ketika
membahas pasar dalam sistem ekonomi Islam, sangat sulit, jarang atau
bahkan sering terlupakan bahwa pasar adalah tempat yang paling buruk dan
paling dibenci Allah, sedangkan masjid (baik itu makna hakiki maupun majazi)
sendiri lepas dari pembahasan ekonomi Islam.
Saya melihat ada semacam keterlepasan bawah sadar (kalau tidak mau
dikatakan sekularisasi berpikir) ketika mendiskusikan pasar dengan memberi
porsi minimal bahkan reduksi total atas konsep masjid. Entah memang
keterlepasan itu bawah sadar rasionalitas yang telah in depth karena
kebiasaan ekonom, ahli keuangan atau akuntan membahas ekonomi model
Barat yang hanya bersifat orientasi keuntungan, kapital, human orientation,
self interest, rasional, empiris, dan urusan dunia saja, sedangkan urusan
masjid adalah urusan di rumah, agama pribadi, tidak berhubungan dengan
logika ekonomi, bisnis maupun akuntansi di manapun. Kalaupun mau
ngomong Ekonomi Islam, ya yang dibicarakan itu yang konkret, rasional,
empiris dan terkait langsung dengan logika ekonomi, yaitu riba, just that.
Karena pula riba adalah pusat dari permasalahan ekonomi Barat dan dengan
demikian urusan masjid, karena tidak berkoneksi langsung dengan uang, ya
tidak perlu dibahas.
Saya melihat keterpisahan masjid dan pasar tidak bisa berlangsung terus
menerus. Masjid dan pasar adalah dua tema abadi yang sinergis tak
terpisahkan. Lihat saja, Rasulullah ketika membangun Masjid Nabawi di
Madinah, setelah itu membangun pasar di dekat Masjid Nabawi. Ketika Umar
memasuki kota baru yang telah diislamkan, maka yang dibangun pertama
adalah Masjid, baru kemudian Pasar. Berdasarkan kenyataan historis maupun
kultural Islam dapat pula saya katakan tak berlebihan sebuah refleksi kalimat
Di mana ada Pasar, di sana pasti ada Masjid, di mana ada Masjid di sana
pasti ada Pasar. Sampai kinipun, misalnya kita ke Masjid Nabawi di Madinah
atau bahkan Masjidil Haram di Mekkah, di sekitarnya bertebaran berbagai
aktivitas pasar, baik tradisional maupun modern. Tak perlu jauh-jauh, simbol
Keraton-keraton dan kota-kota di Nusantara, terutama di Jawa, selalu
terdapat simbol-simbol alun-alun sebagai pusat, masjid, pasar atau pusat
aktivitas ekonomi, dan keraton atau pusat kekuasaan. Kota-kota dan keraton
atau kesultanan Jawa memang sangat dipengaruhi oleh Islam.

Pertanyaan lugu saya, apakah saat ini kita akan membangun masjid dahulu
baru kemudian pasar? Ekonomi kita saat ini selalu membangun Mall terlebih
dahulu, dengan lahan dan bangunan yang beribu-ribu meter persegi,
sedangkan tempat ibadahnya sepetak, di lantai bawah sempit, dan lagi
dibangun setelah dibangun WC terlebih dahulu. Mudahnya, kalau dulu ummat
Muslim membangun Masjid besar dan pertama kali, baru kemudian pasar,
sekarang manusia modern membangun Pasar besar dan pertama kali, baru
kemudian musholla kecil di sebelah WC. Bukan hanya di mall, saja rupanya,
di salah satu kampus besar di negeri inipun, penyelesaian pembangunan
masjid universitas terkalahkan dengan penyelesaian gedung-gedung baru
lainnya, bukan hanya gedung fakultas. Sepertinya memang terjadi pergeseran
yang signifikan atas makna Masjid dan Pasar.

Saya juga berpikir meski ini tidak pas juga, apakah Pasar Saham saat ini,
atau misalnya Pasar Syariah atau Efek Syariah di negeri ini dibangun dengan
logika seperti Mall juga atau seperti logika Rasulullah ketika masuk ke
Madinah pertama kali? Bisa saja perdebatan merujuk pada arah darurat,
Efek Syariah dibangun di bawah IDX di Jakarta. Maka dari itu, daripada
mendiskusikan yang sangat technical and debatable, apalagi perdebatan
material terms in Islam, saya akan lebih jauh masuk dalam symbolic terms in
Islam. Salah satu yang paling penting adalah simbol yang dihadirkan Nabi
Muhammad SAW. mengenai sinergi oposisi biner masjid dan pasar lewat
hadits-haditsnya.Abu Hurairah menyampaikan Sabda Rasulullah Muhammad
SAW:Tempat yang paling dicintai Allah adalah Masjid-masjidnya, dan tempat
yang paling dibenci Allah adalah Pasar-pasarnya. (HR Muslim).
Hadits Riwayat Muslim mengenai Masjid dan Pasar merupakan salah satu
icon pentingnya tema tersebut. Hadits Riwayat Muslim lain, misalnya pada
saat terjadi dialog antara Rasulullah Muhammad SAW dan Malaikat Jibril AS.
Sang Rasul, Muhammad SAW., di suatu waktu bertanya kepada Malaikat
Jibril AS.:Wahai Jibril, tempat manakah yang disenangi oleh Allah?
Mendengar pertanyaan itu kemudian Jibril AS. menjawab: Masjid-masjid, dan
yang paling disenangi adalah orang yang pertama masuk dan terakhir keluar
meninggalkannya. Sang Rasul, Muhammad SAW kembali bertanya: Tempat
manakah yang paling tidak disukai oleh Allah Taala? Jibril AS menjawab:
Pasar-pasar dan orang yang paling dahulu memasukinya dan paling akhir
meninggalkannya.
Berdasarkan pemikiran dan makna Ijmal (umum dan logis), dialog antara
Muhammad SAW dan Jibril AS di atas menyiratkan dua hal, yaitu Tempat dan
Manusia. Pertama, berkenaan dengan tempat paling dicintai Allah adalah
Masjid, sedangkan yang paling dibenci Allah adalah Pasar. Kedua, Manusia
yang paling dicintai Allah adalah manusia yang berlama-lama beribadah di
Masjid dan mengurangi semaksimal mungkin untuk beraktivitas keduniawian
di Pasar. Sebaliknya orang yang dibenci Allah adalah manusia yang berlama-
lama di Pasar dan tidak kerasan di Masjid.
Sebenarnya, kita dapat melakukan Tahlilul Lafdzi (analisis kata per kata)
maupun Tahlilul Tarkib (analisis gramatikal) atas Hadits tersebut. Saya
mencoba melihat dua padanan atas kata (1) masjid-pasar; dan (2) cinta-benci.
Pertama, padanan kata masjid dan pasar dalam Hadits tersebut ditulis dalam
bentuk jamak, masaajidu (masjid-masjid) dan aswaaqu(pasar-pasar). Kedua,
padanan kata cinta-benci ditulis dalam bentuk kaidah isim tafdhil, kata benda
yang mempunyai arti sangat/paling/lebih, yaitu ahabbu (paling dicintai)
dan abghodu(paling dibenci).
Dua padanan kata masjid-pasar dan cinta-benci itu dirangkai dalam bentuk
kalimat masjid yang paling dicintai, sedangkan pasar yang paling dibenci.
Setiap masjid yang ada di seluruh pelosok negeri dan bahkan saat ini di
seluruh bumi, adalah tempat paling dicintai Allah. Kata cinta yang digunakan
dalam hadits bukan cinta sembarangan, tetapi berasal dari runtutan kata yang
mengikuti kaidah fiil madi (kata kerja lampau) fiil mudhori (kata kerja saat
ini) masdar (kata benda), yaitu: habba yuhibbu mahabba. Bahkan
penggunaan masdar untuk menunjukkan cinta paling puncak tidak
menggunakan kata lain, tetapi menggunakan kata Mahabbatullah (Cinta
kepada Allah).
Jadi, kata cinta paling puncak (ahabbu) dari Allah untuk tempat paling baik di
seantero bumi, hanyalah Masjid. Sebaliknya, tempat yang paling dibenci
(abghodu) oleh Allah adalah Pasar. Bahkan, kalimat ahabbu dan abghodu,
keduanya merupakan bentuk kata yang berlaku terus menerus tak putus.
Artinya, ahabbul bilaadi Ilallahi masaajiduhaa dapat diartikan sebagai tempat-
tempat di negeri yang akan selalu dicintai Allah tanpa putus dan tak akan
pernah tidak dicintai sampai kapanpun adalah Masjid. Sedangkan abghodul
bilaadi Ilallahi aswaaquhaa dapat diartikan sebagai tempat-tempat di negeri
yang akan selalu dibenci Allah tanpa putus dan tak akan pernah tidak dibenci
sampai kapanpun adalah Pasar. Katakanlah Masjid berada di ekstrim ujung
yang paling dan selalu dicintai Allah selamanya sedangkan Pasar berada
ekstrim ujung lainnya yang dibenci Allah selamanya yaitu Pasar.
PASAR (ekstrim kebencian) ALLAH (esktrim kecintaan)
MASJID

PASAR (benci terus menerus) ALLAH (cinta terus menerus)


MASJID

PASAR (benci selamanya) ALLAH (cinta selamanya)


MASJID

Mengapa Allah begitu mencintai Masjid, mencintainya terus menerus tanpa


jeda dan selamanya? Imam Nawawi menjelaskan, karena masjid merupakan
rumah ketaatan dan pondasi dasarnya adalah ketakwaan. Bahkan Imam
Qurtubi lebih detil menjelaskan, karena masjid merupakan tempat yang
dikhususkan untuk beribadah, berzikir, berkumpulnya orang-orang Mukmin,
penampakan simbol-simbol agama, dan hadirnya para Malaikat.

Sebaliknya, Mengapa Allah begitu membenci Pasar tanpa henti tanpa jeda
terus menerus dan selamanya? Imam Nawawi menjelaskan karena pasar
merupakan tempat berbuat kecurangan, tipu daya, riba, sumpah palsu,
pengingkaran janji, dan penghalangan dari zikir kepada Allah serta lain
sebagainya. Dijlentrehkan lebih jauh oleh Imam Kurtubi, karena pasar
merupakan tempat yang khusus untuk mengejar duniawi dan berbagai
kesenangan manusia, yang menghalang-halangi mereka dari zikir kepada
Allah, dan karena merupakan tempat sumpah palsu, sekaligus menjadi
medan pertempuran bagi syaitan, di sana pula syaitan menjunjung tinggi
panjinya. Cerita lama dari Nasruddin sepertinya menarik untuk dikutip di sini:
Suatu pagi mullah Nasruddin sedang berjalan-jalan di pasar ketika ia melihat
orang-orang berkerumun dengan gairah mengelilingi seorang pedagang yang
sedang menawarkan seekor burung. Sepuluh dinar, Dua puluh, Lima
puluh. Orang-orang itu bersahutan. Dengan keheranan sang mullah ikut
merubung. Akhirnya ia tahu bahwa hari itu sebangsa unggas mempunyai
pasaran yang baik. Buru-buru dia pulang dan kembali dengan seekor kalkun
yang gemuk untuk dijual. Orang-orang memang mengerumuninya, tetapi
tawaran tidak ada yang lebih dari lima dinar. Walhasil ia berontak: Unggas
sebesar ini hanya lima dinar, uh. Seorang yang berkerumun menyahut cepat,
Iya, karena itulah harganya. Mullah memprotes, Tetapi kalian baru saja
membeli seekor unggas dengan harga lima puluh dinar. Jawab yang hadir,
Betul itu karena unggas itu seekor beo pintar bicara. Mullah pun terdiam.
Tetapi sebentar lagi ia angkat bicara, sambil menunjuk pada unggasnya yang
tenang dengan bulu-bulu halus dan mata membelalak, Betul. Unggas saya
memang bukan sebangsa tukang ngomong, tetapi Pemikir. Dan diapun
nyelonong pergi.
Mengapa sampai Nasruddin bersikap skeptis seperti di atas? Skeptisisme beliau terjadi
karena kecenderungan masyarakat yang telah mapan dan hidup di zona aman hanya
melihat mekanisme pasar sebagai mekanisme technical, boleh bebas asal tidak
menabrak masalah moral dapat dibenarkan. Sindiran itu mungkin perlu dielaborasi
lebih lanjut sebagaimana saya jelaskan di atas, telah sampai pada pertanyaan
mengenai mengapa Allah sedemikian mencintai Masjid dan sebaliknya sedemikian
membenci Pasar. Kuntowijoyo[1] memahami Hadits Nabi SAW tersebut sebagai
bentuk dialektika dan bukan semata-mata hitam putih yang saling
menegasikan. Tetapi lebih dari itu, dialektika nanti akan kita lihat di bawah,
sarat dengan ruh substantif daripada hanya teknis seperti pembeli-penjual
di pasar unggas berdasarkan cerita atas.
Ya, Rasulullah memang menegaskan di banyak Hadits mengenai pentingnya
pasar, perdagangan, dan interaksi penjual dan pembeli, dan lain sebagainya.
Penjelasan mengenai baiknya pasar, interaksi ekonomi dan semua yang
berhubungan dengannya itulah yang banyak didiskusikan di ranah Ekonomi
Islam saat ini. Melakukan aktivitas di pasar itu boleh dan baik dengan syarat
jujur, tidak mengurangi timbangan, tidak menjual barang yang dilarang, tidak
boleh melakukan tipu daya, tidak boleh melakukan sumpah palsu, tidak
menimbun, tidak memonopoli, dan semua aspek etis maupun tema-tema
kebaikan lainnya. Tetapi saya melihat diskusi seperti itu kok jadinya sangat
teknis dan rasional, tidak masuk ruh sebenarnya, yaitu Adagium Besar
Masjid.

Rasulullah jelas sekali sebenarnya bukan hanya melakukan oposisi biner


atas Masjid dan Pasar, tetapi juga nanti akan kita lihat bahwa apa yang
dilakukan beliau adalah sinergi oposisi biner dengan meletakkan ruh masjid
sebagai payungnya. Kuntowijoyo mengatakan hal itu sebagai bentuk
pertemuan sistem budaya universal dan serba khusus, sebuah lingkaran
makna yang akan mempersatukan dengan menunjuk kekuatan kedua seimbol
tersebut. Masjid, bagi Kuntowijoyo adalah lingkaran makna yang akan
mempersatukan konfigurasi budaya Umat Islam, mempersatukan aspek-
aspek budaya menjadi satuan yang koheren. Penjelasan detilnya:

Budaya sebagai, sebuah sistem ide dan nilai yang dikaitkan bersama secara
logis, haruslah mempunya mekanisme integrasi yang membuat baik
keseluruhan maupun aspek-aspeknya menjadi satuan yang integral. Jika
masjid ditunjuk sebagai sebuah tema yang mempersatukan, maksudnya tentu
saja Nabi ingin dengan jelas mengatakan dengan lambang yang konkret,
eksistensial, dan sekaligus struktural, tidak hanya esensi dan abstraksi.
Demikian juga lambang pasar yang empiris, dan menunjuk pada kekuatan
sejarah yang nyata, yang menggerakkan dunia modern.

Kuntowijoyo seakan ingin menyelami ketegasan universalitas itu ada pada


Masjid dan sebagai pusat budaya, sedangkan Pasar sebagai realitas modern
saat ini yang selalu berubah tidak boleh menjadi sentral dan menggerus nilai-
nilai utama Islam yang terefleksi dalam bentuk Masjid. Masjid bukan hanya
esensi dan abstraksi, tetapi eksistensial, konkret sekaligus struktural, jelas
sekali tidak kemudian seperti yang dilakukan oleh Ekonomi Islam saat ini.

Sayangnya, Ekonomi Islam melihat nilai-nilai logis pasar dari Barat menjadi
ruang penting sedangkan nilai-nilai etis yang ada di masjid selama itu sama
dengan logika kemanusiaan dan empiris, maka konsep pasar menjadi
panglima. Pasar adalah panglima, sedangkan nilai-nilai kebaikan mengikuti,
bahkan selama logika kebaikan universal itu diterima dan dapat dicocokkan
dengan Islam maka menjadi benarlah Pasar. Artinya pula Pasar sebagai
simbol menjadi Payung, sedangkan Masjid sebagai simbol mengikuti kuasa
Pasar. Pasar, lanjut Kuntowijoyo:

adalah kekuatan revolusioner dan proses pemasaran masyarakat


mempunyai akibat yang jauh bagi perkembangan pasar. Pasar menuntut
perilaku rasional dalam menentukan pilihan-pilihan. Dari rasionalisasi yang
dimulai oleh pasar ini terjadilah rasionalisasi dalam nilai-nilai. Keraguan terjadi
atas perilaku yang berdasar nilai menjadi pemujaan kepada perilaku yang
berdasar perhitungan ekonomis Dalam kehidupan beragama hal ini dapat
nampak dalam cara orang menentukan sifat keagamaan. Meskipun orang
barangkali tidak akan mudah berpindah agama atau
mengalami deconversi atau reconversi, tetapi mode of religiosity dapat
terpengaruh. Cara beragama disesuaikan dengan situasi pasar juga. Di
sinilah munculnya ide-ide sekularisasi yang memisahkan agama dari struktur
sosial yang menempatkan agama di tempatnya sendiri. Agama dapat
merupakan komoditi konsumen dan lembaga-lembaga dakwah sebagai agen-
agen pemasaran. Dalam keadaan ini, agama yang semula disebarkan
dengan cara otoritatif sekarang terpaksa harus dipasarkan.

Reduksi Pasar dari peran ruh Masjid jelas sekali sebenarnya dari konsep
Pasar yang dirasionalkan dalam buku-buku daras, artikel dan riset-riset di
ranah Ekonomi Islam. Contoh paling baik adalah buku Ekonomi Islam yang
diterbitkan oleh salah satu perguruan tinggi di Indonesia dan banyak dipakai
secara nasional. Pasar dalam buku itu disebutkan sebagai:

sebuah mekanisme pertukaran barang dan jasa yang alamiah dan telah
berlangsung sejak peradaban awal manusia. Islam menempatkan pasar pada
kedudukan yang penting dalam perekonomian. Praktik ekonomi pada masa
Rasulullah dan Khulafaurrasyidin menunjukkan adanya peranan pasar yang
besar. Rasulullah sangat menghargai harga yang dibentuk oleh pasar sebagai
harga yang adil. Beliau menolak adanya suatu price intervention seandainya
perubahan harga terjadi karena mekanisme pasar yang wajar. Namun pasar
di sini mengharuskan adanya moralitas, antara lain, persaingan yang sehat
(fair play), kejujuran (honesty), keterbukaan (transparancy) dan keadilan
(justice). Jika nilai-nilai ini telah ditegakkan, maka tidak ada alasan untuk
menolak harga pasar.
Rasionalisasi Islam lewat Ekonomi dan Bisnis tidak hanya sampai di situ saja,
bahkan seluruh logika Ekonomi Islam telah digiring pada bagaimana
memotret manusia dalam kerangka pasar yang diislamkan atau katakanlah
Islamisasi Ilmu. Islamisasi Ilmu Pasar mengedepankan apa itu pasar yang
diperbolehkan dalam Islam, dengan menggunakan term-term Barat, yang
dianggap sebagai term Islam Klasik, seperti pasar bebas tanpa intervensi asal
adil, sehat, jujur dan terbuka. Pasar adalah tempat bertemunya permintaan
dan penawaran, keseimbangan pasar, serta ujungnya adalah pasar boleh
bebas, dan diperbolehkannya pula ada mekanisme pengawasan atas pasar
(Al-Hisbah).
Menjadi logis ketika negeri kita, Indonesia misalnya, atas cara bekerjanya
logika pasar, seperti ditegaskan Kuntowijoyo kemudian melihat adanya proses
industrialisasi, liberalisasi, urbanisasi, dan masyarakat organisasional lainnya
sebagai gejala yang memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung
serta logis dengan pembentukan masyarakat pasar. Baginya, di sinilah
proses gradasi sekularisasi (wilayah yang dibebaskan dari ruh religi)
masyarakat Indonesia (lokal) terjadi, mulai dari yang paling tinggi
tingkatannya yaitu masyarakat perkotaan/industrial sampai yang paling
rendah yaitu masyarakat perdesaaan/agraris. Mengapa masyarakat
perkotaan/industrial paling sekular? Kuntowijoyo melanjutkan:

Oleh karena industrialisasi adalah penerapan secara rasional ilmu


pengetahuan dalam produksi, maka proses rasionalisasi kemudian juga
menurunkan status agama sebagai petunjuk yang benar tentang realitas.
Dengan adanya realitas baru buatan manusia yang artifisial, rujukan agama
yang selalu menunjuk pada realitas pertama dan kedua, yaitu Tuhan dan
alam semesta, tidak lagi menjadi daya panggil yang kuat.

Saya dapat menerjemahkan lebih lugas apa yang dikatakan oleh Kuntowijoyo
di atas bahwa proses sekularisasi paling tinggi derajatnya adalah di dunia
yang dekat dengan Pasar, yaitu akuntansi. Mengapa akuntansi? Ya, karena
akuntansi adalah perangkat ilmu paling rasional, matematis-numerik, dan
terstruktur yang menjadi tulang punggung organisasi bisnis yang nantinya
mendorong kapitalisme ekonomi untuk menghitung uang dan proses
transaksi bisnis yang terekam dalam laporan keuangan. Hal ini menjadi benar
bila kita merujuk pada statementMax Weber[2]:
Organisasi-organisasi rasional modern dari aktivitas kapitalistik tidak akan
mungkin terjadi tanpa adanya dua faktor penting, yaitu pemisahan bisnis dari
pemilik yang memang menjadi bentuk perusahaan modern, dan memiliki
hubungan yang sangat erat dengan tata buku yang rasional

Logika berpikir ketat, rasional, matematis-numerik, dan terstruktur itulah


akuntansi telah mendorong masyarakat bisnis dan termasuk di dalamnya
akademisi masuk dalam logika Darwinisme Sosial bernama Growth atau
Pertumbuhan sehingga mengarahkan, yang dikatakan Kuntowijoyo:
organisasi-organisasi sosial cenderung menjadi birokrasi
dengan penerapan kebijakan yang memerlukan ketepatan, kecepatan,
pengetahuan, kelestarian, subordinasi yang keras, dan kepastian dengan
sebanyak mungkin mengurangi harga material dan personal pendek kata
suatu model administrasi birokratis. Sistem big-organization akan
menyingkirkan jauh-jauh urusan cinta, dendam, dan segalanya yang bersifat
personal, irasional, dan elemen-elemen emosional yang lain Ciri yang
paling utama masyarakat pasar tentu saja ialah Kapitalisme Dengan kata
lain, sesuai dengan semboyan masa kini, manusia modern yang demikian
tidak dapat menjadi manusia yang utuh.

Kuntowijoyo sendiri juga telah mencoba menawarkan ruh Masjid harusnya


masuk dalam ruang Pasar melalui pendekatan bagaimana dialektika
Rasulullah dilakukan untuk merubah situasi kapitalistik Mekkah, lewat
penghancuran berhala-berhala yang dipertuhankan sebagai pengaman dan
pendamai mekanisme pasar masyarakat Arab waktu itu. Menurutnya,
masyarakat ber-ruh Masjid adalah antitesis dari kesatuan kekuatan
masyarakat ber-ruh Pasar. Rasulullah meyakini bahwa penyebab
kemusrikan waktu itu adalah ruh pasar yang membentuk rasionalisasi
masyarakat Arab.
Stigma rasionalisasinya adalah tuhan-tuhan pengaman dan pendamai
kejiwaan seluruh mekanisme pasar yang ter-materialisasi dan ter-
rasionalisasi dalam bentuk berhala. Satu-satunya cara untuk
menumbangkan kekuatan pasar, yang dihancurkan adalah perekat pasar itu
sendiri, pusat materialisme dan rasionalisme masyarakat Arab, yaitu
berhala. Bila berhala utama adalah pasar, dan disimbolkan oleh Kuntowijoyo
sebagai Teori Ekonomi Kapitalis atau Ekonomi Liberal saat ini. Turunan-
turunan berhala konkrit waktu itu adalah Suku Arab pro Pasar, di era kita saat
ini berbentuk Multinational Companies. Turunan lainnya saat itu adalah
kepala suku Arab, sekarang ini berubah wujud menjadi para bankir dan
pengusaha besar. Untuk lengkapnya Kuntowijoyomenjelaskan di bawah ini:

Tidak ragu lagi saya yakin bahwa Nabi melihat penyebab kemusyrikan pada
waktu itu ialah kekuatan pasar. Ketika pada akhirnya kekuatan masjid
berhadapan dengan kekuatan pasar, maka titik strategisnya ialah
penghancuran berhala yang menjadi perwujudan konseptual bagi kepentingan
pasar dan menjadi alat legitimasi kepentingan ekonomi Dengan berpikir
dialektik kita akan menjadi dinamis, bukankah amar maruf nahi
munkar adalah suatu ajaran filsafat perbuatan yang dialektik dan
revolusioner Suku-suku Arab sekarang ini telah menjelma menjadi big
corporation dan multinational corporation, kepala-kepala suku adalah bankir-
bankir dan pengusaha besar, dan berhala-berhala adalah teori ekonomi
kapitalis.

Bila kita mau lebih dalam lagi, proses pembelajaran melepaskan diri dari
kekuatan pasar kapitalisme arab, penumbangan berhala pasarisme diawali
dan dilakukan Rasulullah dengan mengajak para sahabat ber-Hijrah ke
Madinah. Para sahabat diajak untuk menggerus sifat berhala pasarisme
dengan bertani, berkebun, bercocok tanam, aktivitas produktif lain seperti
kerajinan, membuat peralatan dan persenjataan dari logam, selain mengenal
pasar yang hanya mereka kenal di Mekkah waktu itu. Para sahabat dari
Mekkah (Muhajirin) diajak berinteraksi sosial dengan kesantunan dan berbagi
seperti masyarakat Madinah asli (Anshor) lakukan. Para sahabat juga
diajarkan lewat hadits yang lebih baik itu berdagang, tetapi yang lebih baik
lagi adalah dengan tanganmu. Makna hadits itu bukan hanya berdagang
yang baik, malahan yang paling baik adalah produktif.
Ya, diskusi mengubah mentalitas para sahabat penting di Madinah itu, tetapi
yang paling penting lagi sebenarnya adalah penumbangan ruh berhala
pasarisme. Jadi? Bagaimana kemudian? Apakah perlu keseimbangan Masjid
dan Pasar? Atau Masjid menjadi Payung atau ruh atas Pasar? Atau
sebaliknya Pasar menjadi Payung asal tetap ber-ruh Masjid? Atau buang saja
Pasar dan menggantikannya dengan Ekonomi ber-ruh Masjid saja?

MAU KE MANA MANUSIA INDONESIA? KE MANA UMAT?


Pasca 212 umat Muslim di negeri ini sedang memiliki semangat (untuk tidak
mengatakan berebut ghonimah ala Perang Uhud yang kemudian
menjerumuskan para sahabat pada masa kesedihan kedua pasca
kemenangan Perang Badar) salah satunya berupa dampak dari konsolidasi
ummat yang demikian bersemangat dari sisi perlawanan terhadap dominasi
ekonomi oleh non Muslim serta perseteruan liberalisme akut (baca: ladang
perebutan ekonomi Barat dan Cina Daratan di Indonesia) yang sangat besar
dampaknya terhadap ketergantungan umat pada kebutuhan primer, sekunder
dan tersier ekonomi. Luar biasa memang kesadaran ummat untuk mendorong
kesamaan keinginan menumbuhkan kesejahteraan negeri ini lewat
kemandirian ekonomi. Masalahnya adalah, apakah memang secepat dan
sedahsyat itu kekuatan ummat berubah? Apakah ini bukan jebakan yang
melenakan terhadap agenda lebih besar, yaitu perubahan mendasar yang
masih seperti sering saya katakan sebagai nafas panjang ummat menuju
kemandiriannya? Untuk melihat lebih jauh fenomena 212 dan perjalanan
ummat di negeri ke depan, mungkin akan tepat bila kita coba menelusuri
pengalaman tuntunan kita semua, Hijrah Rasulullah, Muhammad SAW dan
para sahabat dalam membawa peradaban.

Yang jelas, Peristiwa Hijrah dari Mekkah (sebagai simbol berhala duniawi,
ketimpangan ekonomi, dan rasionalisasi segala sesuatu) menuju Madinah
(keseimbangan dunia dan akherat, keseimbangan transaksi-produksi-retail,
keseimbangan pikir dan zikir). Di Madinah, di Masjid Nabawi, tempat paling
sakral, rumah Allah, semua hal dikomunikasikan, para sahabat dari Mekkah
(Muhajirin) tidak membawa sama sekali harta yang berlimpah di kampung
halamannya, dan diminta untuk melakukan kerjasama tanpa berasaskan
transaksional dengan penduduk Madinah (Anshor), semua didasarkan pada
keikhlasan melakukan aktivitas kehidupan, dan berujung pada ibadah menuju
surga-Nya. Artinya, tidak ada itu pemisahan politik, ekonomi, sosial, budaya
yang bersifat profan, semua harus bersifat utuh, menyatukan yang Bumi dan
Langit. Di samping itu, tidak ada manusia kelas satu, kelas dua, apalagi kelas
tiga, kelas keset, semua manusia sama di antara sesama manusia, dan
semua sama di hadapan Allah SWT. Bayangkan saja, di masa itu pula
seorang Bilal, eks budak hitam suku Quraisy dari Afrika, kumal, tak nampak
seperti Mekkah Gentlement yang gagah, bersih, berbajukan sutra, penuh
perhiasan yang menampakkan kekayaan material, oleh Rasulullah, dipercaya
menjadi pelantun adzan lima waktu shalat menghadap Sang Maha Kaya. Bilal
bahkan diberikan tempat paling tinggi, tidak ada orang lain, yang kaya, bersih,
gantengpun, yang boleh menaiki menara masjid di Madinah. Pertanda apakah
itu?
Negeri ini milik bersama, Umat Islam harus terdepan mengajak entitas
ummat lain membangun kebudayaan dalam Kerangka Religi, bukan lainnya.
Negeri harus diselamatkan lewat konsolidasi kebudayaan, Kebudayaan
Beragama. Masih ada waktu, menjelang takdir 100 tahun simbol kemenangan
yang harus diraih sejak 1924 Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya, saat ini
menjelang 2024 melakukan perubahan dengan mengedepankan kebudayaan
dalam kerangka religiositas, Kebudayaan Bermarwah Masjid, sedangkan
Pasar tetap perlu tetapi harus diletakkan di kodrat aslinya, bukan menjadi
superior dibanding Masjid (seperti saat ini dan telah menjadi kebenaran
umum). Kebersamaan akan terjerembab kerumitan tak berujung, apabila tidak
dijalankan dengan kekuatan utama nilai normatif agama, sebagai janji
kebangsaan para the founding father. Perang Badar 624 dan puncaknya di
tahun 1324, mengayun di titik nadir 1924, runtuhnya Turki Usmani sekaligus
konsolidasi umat di seluruh negeri Muslim seluruh dunia, terutama di
Nusantara di tahun yang sama. Maka, 2024 seharusnya kita bersiap diri
menjelang ayunan peradaban untuk ummat Islam sedunia melalui konsolidasi
di Indonesia. Tanda-tanda sudah nampak, mungkin tahun 2010 sampai 2019
adalah tahun-tahun kesedihan di permukaan, harga yang harus kita bayar
untuk mempersiapkan loncatan 2020, sebagaimana pernah disinyalkan Allah
melalui peristiwa Isra dan Miraj di tahun 620, dilanjutkan peristiwa aqabah I
dan aqabah 2 sebagai penanda Hijrah 622. Hijrah kita hanya tinggal hitungan
tahun dari sekarang menuju 2022 menjelang 2024, menjelang puncak Fathul
Mekkah kontekstual masa depan 2029, di negeri ini, sebagai awal dari pusat
peradaban umat. Semoga upaya panjang lebar sebagaimana dijelaskan di
atas adalah doa dan dengan doa penuh ikhlas serta hanya mengedepankan
upaya menggerakkan perubahan sejarah peradaban sesuai dengan ruh
langit, ruh Illahi Rabbi, saya punya keyakinan besar bahwa setiap kita akan
menjadi umatnya yang selalu mengedepankan kebersamaan, bukan nafsi-
nafsi apalagi transaksional, semua dalam kerangka ibadah sebagai Abd
Allah sekaligus keumatan sebagai Khalifatullah fil ardh .
Kebersamaan juga tidak akan terjadi bila tak ada dari kita yang mencoba
menjalin silaturrahmi tanpa pandang bulu, tua-muda, berkuasa-jelata. Semua
harus duduk bersama, saling memahami, berkeikhlasan, tanpa
mengedepankan mentalitas transaksional apalagi politisasi serta
menunjukkan sikap berkuasa dalam segala bentuknya. Demi waktu, sadar
dan bangkit, hanya untuk, seperti tiga kata magis Rasulullah SAW., Ummati,
Ummati, Ummati. Innashalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi robbil
alamin.

[1] Kuntowijoyo. 1999. Masjid atau Pasar: Akar Ketegangan Budaya di Masa
Pembangunan. dalam buku: Budaya dan Masyarakat. Penerbit Tiara Wacana.
Yogyakarta.
[2] Weber, M. 1930. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.

*Penulis adalah Ketua yayasan Rumah Peneleh Dosen tetap Fakultas Ekonomi
Bisnis Universitas Brawijaya

NB : Tulisan ini sebagian di ambil dari buku 2024 : Hijrah untuk negeri
http://penelehnews.com/id-344-post-spirit-212--hijrah-bermarwah-masjid-atau-pasar-.html

Anda mungkin juga menyukai