Anda di halaman 1dari 13

Pendidikan Karakter: Revitalisasi Pemikiran

Ki Hajar Dewantara (Refleksi Hari


Pendidikan Nasional)
2 Mei 2011 13:17 Diperbarui: 26 Juni 2015 06:09 8606 0 0

TANAH air kita meminta korban. Dari di sinilah kita, siap sedia memberi korban yang sesuci-
sucinya sungguh, korban dengan ragamu sendiri adalah korban yang paling ringan
memang awan tebal dan hitam menggantung di atas kita. Akan tetapi percayalah di baliknya
masih ada matahari yang bersembunyi kapan hujan turun dan udara menjadi bersih
karenanya?

(Ki Hadjar Dewantara).

Ki Hajar Dewantara Diantara Tokoh Pendidikan

Siapa yang gak kenal sosok tokoh pendidikan Bapak Ki Hadjar Dewantara, tokoh yang berjasa
memajukan pendidikan di Indonesia. Ki Hadjar yang bernama asli R.M. Suwardi Suryaningrat
merupakan tokoh pendidikan nasional. Aktivitasnya dimulai sebagai jurnalis pada beberapa surat
kabar dan bersama EFE Douwes Dekker, mengelola De Expres. Ki Hadjar pun aktif menjadi
pengurus Boedi Oetomo dan Sarikat Islam. Selanjutnya bersama Cipto Mangun Kusumo dan
EFE Douwes Dekker dijuluki Tiga Serangkai ia mendirikan Indische Partij, sebuah
organisasi politik pertama di Indonesia yang dengan tegas menuntut Indonesia merdeka. Pada
zaman Jepang, peran Ki Hadjar tetap menonjol. Bersama Soekarno, Hatta, dan Mas Mansur,
mereka dijuluki Empat Serangkai, memimpin organisasi Putera. Ketika merdeka, Ki Hadjar
menjadi Menteri Pengajaran Pertama.

Sebagai tokoh pendidikan, Ki Hajar Dewantara tidak seperti Ivan Illich atau Rabrindranath
Tagore yang sempat menganggap sekolah sebagai siksaan yang harus segera dihindari. Ki Hajar
berpandangan bahwa melalui pendidikan akan terbentuk kader yang berpikir, berperasaan, dan
berjasad merdeka serta percaya akan kemampuan sendiri. Arah pendidikannya bernafaskan
kebangsaan dan berlanggam kebudayaan.
Seorang tokoh seperti Ivan Illich pernah berseru agar masyarakat bebas dari sekolah. Niat
deschooling tersebut berangkat dari anggapan Ivan Illich bahwa sekolah tak ubahnya pabrik yang
mencetak anak didik dalam paket-paket yang sudah pasti. bagi banyak orang, hak belajar
sudah digerus menjadi kewajiban menghadiri sekolah, kata Illich. Demikian pula halnya dengan
Rabindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah seakan-akan sebuah penjara. Yang
kemudian ia sebut sebagai siksaan yang tertahankan.

Ada benarnya ketika setiap pendidikan harus mampu mengarah dan mengubah status quo. Dan
ini tidak berarti benar ketika menganggap sekolah tidak penting. Anak-anak dengan senang hati,
umumnya masih berangkat ke sana. Kita, dan mereka, tahu; bukan mata pelajaran serta ruang
kelas itu yang membikin mereka betah. Melainkan teman dan pertemuan. Bisa saja, Illich dan
Tagore keliru. Sekolah juga keliru bila ia tidak tahu diri bahwa peranannya tidak seperti yang
diduga selama ini. Ia bukan penentu gagal tidaknya seorang anak. Ia tak berhak menjadi perumus
masa depan.

Namun, banyak kalangan sering menyejajarkan Ki Hajar Dewantara dengan Rabindranath


Tagore, seorang pemikir, pendidik, dan pujangga besar kelas dunia yang telah berhasil
meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional India, karena mereka bersahabat dan memang
memiliki kesamaan visi dan misi dalam perjuangannya memerdekakan bangsanya dari
keterbelakangan.

Tagore dan Ki Hajar sama-sama dekat dengan rakyat, cinta kemerdekaan dan bangga atas
budaya bangsanya sendiri. Tagore pernah mengembalikan gelar kebangsawanan (Sir) pada raja
Inggris sebagai protes atas keganasan tentara Inggris dalam kasus Amritsar Affair. Tindakan
Tagore itu dilatarbelakangi kecintaannya kepada rakyat. Begitu juga halnya dengan
ditanggalkannya gelar kebangsawanan (Raden Mas) oleh Ki Hajar. Tindakan ini dilatarbelakangi
keinginan untuk lebih dekat dengan rakyat dari segala lapisan. Antara Ki Hajar dengan Tagore
juga merupakan sosok yang sama-sama cinta kemerdekaan dan budaya bangsanya sendiri.
Dipilihnya bidang pendidikan dan kebudayaan sebagai medan perjuangan tidak terlepas dari
strategi untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah. Adapun logika berpikirnya relatif
sederhana; apabila rakyat diberi pendidikan yang memadai maka wawasannya semakin luas,
dengan demikian keinginan untuk merdeka jiwa dan raganya tentu akan semakin tinggi.

Di barat, Paulo Freire hadir dengan konsep pendidikan pembebasan. Di sini, Ki Hajar Dewantara
menjadi pahlawan pendidikan nasional karena pendidikan sistem among yang ia kembangkan di
taman siswa. Ungkapannya sangat terkenal; tut wuri handayani, ing madya mangun karsa,
dan ing ngarsa sung tulada. Istilah inipun tak hanya populer di kalangan pendidikan, tetapi
juga pada berbagai aspek kehidupan lain.
Konsepsi Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara

Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus
dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut
Kihajar dewantara mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan
manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada
pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia,
untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha
bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-
transenden dari sifat alami manusia (humanis).

Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah penguasaan diri sebab di sinilah
pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang
harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta
didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan
demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.

Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem
Pengajaran dan Pendidikan yang harus bersinergis satu sama lain. Pengajaran bersifat
memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan
pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan
mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).

Keinginan yang kuat dari Ki Hajar Dewantara untuk generasi bangsa ini dan mengingat
pentingnya guru yang memiliki kelimpahan mentalitas, moralitas dan spiritualitas. Beliau sendiri
untuk kepentingan mendidik, meneladani dan pendidikan generasi bangsa ini telah mengubah
namanya dari ningratnya sebagai Raden Mas soewardi Suryaningrat menjadi Ki hajar dewantara.
Menurut tulisan Theo Riyanto, perubahan nama tersebut dapat dimakna bahwa beliau ingin
menunjukkan perubahan sikap ningratnya menjadi pendidik, yaitu dari satria pinandita ke
pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa
ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan Negara ini.
Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam
kepribadian dan spiritualitas, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga
menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Yang utama sebagai
pendidik adalah fungsinya sebagai model keteladanan dan sebagai fasilitator kelas.
Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan,
keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di
bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya
adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan
di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya
adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa
keselamatan.

Menerjemahkan dari konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara tersebut, maka banyak pakar
menyepakati bahwa pendidikan di Indonesia haruslah memiliki 3 Landasan filosofis, yaitu
nasionalistik, universalistic dan spiritualistic. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional,
bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal
artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari
kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta,
kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang
dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan
hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap
individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi
merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya
mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan
hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus
tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan
harga diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan
kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.

Output pendidikan yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat
fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab
atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Dalam pemikiran kihajar dewantara,
metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode
pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara
teknik pengajaran meliputi kepala, hati dan panca indera (educate the head, the heart, and the
hand).

Teladan sesungguhnya memiliki makna sesuatu dari proses mengajar, hubungan dan interaksi
selama proses pendidikan yang kemudian pada hari ini atau masa depan peserta didik menjadi
contoh yang selalu di tiru dan di gugu. Jadi guru teladan tidak ada hubungannya dengan sosok
guru yang senantiasa menjaga wibawa, menjaga image dengan selalu menampilkan dirinya
ferfect dan penuh aturan dan kaku di hadapan peserta didiknya.
Dalam sebuah proses belajar, sadar atau tidak maka perilaku seorang guru akan menjadi
komunikasi (penyampaian pesan) paling efektif dan pengaruhnya sangat besar (90%) pada
peserta didik. Perilaku inilah yang akan menjadi teladan bagi kehidupan social peserta didik.
Secara psikologis pengaruh perilaku tersebut adalah pengaruh bawah sadar peserta didik, yang
akan muncul kembali saat ia melakukan aktifitas dalam bersikap, bertindak atau menilai
sesuatu pada dirinya maupun orang lain.

Jika merefleksikan pada motivasi pendidikan Ki hajar Dewantara maka seorang guru yang ingin
diteladani haruslah melepaskan trompah dari jiwa, sikap, dan perilaku mengajarnya. Guru tidak
berangkat dari kepahlawanan untuk kemudian mendidik tetapi dari mendidiklah kemudian dia
layak menjadi pahlawan pada hati setiap manusia lain.

Bagaimana agar ketadanan seorang guru berbuah hal yang baik pada jiwa, sikap dan perilaku
peserta didiknya dimasa akan datang, maka seorang guru haruslah profesional dalam
pengajaran dan hubungan social. Bukan professional to have tetapi professional to be. Bukan
professional disebabkan kebendaan (materi) tetapi professional bersumber dari penguasaan diri,
pengabdian dan kehormatan diri dan bangsanya. Sehingga dalam prosesnya mengajar akan
menjadi cara hidup seorang guru untuk mencapai kemanfaatan sebanyak-banyaknya melalui
pengabdiannya dan proses menebarkan kehormatan tersebut pada hati, kepala dan
pancaindera peserta didiknya.

Proses memindahkan segalaketeladanan diri pengetahuan diri dan perilaku professional


seorang guru kepada peserta didik dibutuhkan teknik yang oleh Ki hajar dewantara disebuat
among mendidik dengan sikap asih, asah dan asuh, dibutuhkan guru yang tidak hanya mampu
mengajar tetapi juga mampu mendidik. Pada posisi inilah guru juga harus mampu menjadi
motivator dikelasnya. Mengapa motivator? Karena Motivator memiliki kekuatan sinergis antara
mengajar dan mendidik seperti motivasi dari pendidikan KiHajar itu sendiri.

Urgensitas Pendidikan Karakter dan Revitalisasi Pemikiran Ki Hajar Dewantara

Tema Hardiknas tahun ini adalah Pendidikan Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa
dengan subtema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti. Tema ini, kata Menteri Nuh,
mengingatkan kembali pada hakikat pendidikan yang telah ditekankan oleh Bapak Pendidikan
Nasional Ki Hajar Dewantoro. Karakter yang ingin kita bangun bukan hanya kesantunan, tetapi
secara bersamaan kita bangun karakter yang mampu menumbuhkan kepenasaranan intelektual
sebagai modal untuk membangun kreativitas dan daya inovasi, katanya. Seolah pernyataan
menunjukkan isyarat bahwa sudah saatnya kita kembali merefleksi konsepsi pendidikan kita saat
ini berjalan. Sebab konsepsi pendidikan karakter sebenarnya merupakan hasil pemikiran luhur
dari Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara.

Ki Hadjar mengartikan pendidikan sebagai daya upaya memajukan budi pekerti, pikiran serta
jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak
yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Salah satu nilai luhur bangsa Indonesia yang
merupakan falsafah peninggalan Ki Hadjar Dewantara yang dapat diterapkan yakni tringa yang
meliputi ngerti, ngrasa, dan nglakoni . Ki Hadjar mengingatkan, bahwa terhadap segala ajaran
hidup, cita-cita hidup yang kita anut diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan
pelaksanaannya. Tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan menyadari, dan
tidak ada artinya kalau tidak melaksanakan dan tidak memperjuangkannya. Merasa saja dengan
tidak pengertian dan tidak melaksanakan, menjalankan tanpa kesadaran dan tanpa pengertian
tidak akan membawa hasil. Sebab itu prasyarat bagi peserta tiap perjuangan cita-cita, ia harus
tahu, mengerti apa maksudnya, apa tujuannya. Ia harus merasa dan sadar akan arti dan cita-cita
itu dan merasa pula perlunya bagi dirinya dan bagi masyarakat, dan harus mengamalkan
perjuangan itu. Ilmu tanpa amal
seperti pohon kayu yang tidak berbuah, Ngelmu tanpa laku kothong, laku tanpa ngelmu
cupet. Ilmu tanpa perbuatan adalah kosong, perbuatan tanpa ilmu pincang. Oleh sebab itu, agar
tidak kosong ilmu harus dengan perbuatan, agar tidak pincang perbuatan harus dengan ilmu.

Berkenaan dengan pendidikan karakter ini lebih lanjut Suyanto (2010) menjelaskan bahwa
pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona
tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter
yang diterapakan secara sistematis, dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas
emosinya, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Sebab kecerdasan emosi ini menjadi
bekal penting dalam mempersiapkan anak masa depan dan mampu menghadapi segala macam
tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu (1) karakter cinta
Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) kemandirian dan tanggung jawab; (3) kejujuran/amanah,
diplomatis; (4) hormat dan santun; (5) dermawan, suka tolong menolong dan gotong
royong/kerjasama; (6) percaya diri dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan keadilan; (8) baik
dan rendah hati; (9) karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Kesembilan karakter itu, perlu
ditanamkan dalam pendidikan holistik dengan menggunakan metode knowing the good, feeling
the good, dan acting the good. Hal tersebut diperlukan agar anak mampu memahami,
merasakan/mencintai dan sekaligus melaksanakan nilai-nilai kebajikan. Bisa dimengerti, jika
penyebab ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku baik, walaupun secara kognitif anak
mengetahui, karena anak tidak terlatih atau terjadi pembiasaan untuk melakukan kebajikan.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara dan Tantangan Guru Hari ini

Lembaga pendidikan dan guru dewasa ini dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat,
terutama untuk mempersiapkan siswa agar mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan
yang berkembang pesat. Perubahan yang terjadi bukan saja berkaitan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi saja, tetapi juga menyentuh perubahan dan pergeseran aspek nilai
moral yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa contoh penyimpangan-
penyimpangan perilaku amoral saat ini diantaranya maraknya tawuran antar pelajar,
perampokan, pembunuhan diserta mutilasi, korupsi, dan isu-isu moralitas yang terjadi di
kalangan remaja, seperti penggunaan narkotika, perkosaan, pornografi sudah sangat merugikan
dan akan berujung pada keterpurukan suatu bangsa.

Disinilah kunci dari urgensi dilaksanakannya pendidikan karakter untuk membentengi dari krisis
multidimensi pada era globalisasi ini. Krisis multidimensi dan keterpurukan bangsa, pada
hakekatnya bersumber dari jati diri, dan kegagalan dalam mengembangkan pendidikan karakter
bangsa. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, salah satu penyebabnya karena pendidikan
di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif dan
kurang memperhatikan aspek afektif, sehingga hanya tercetak generasi yang pintar, tetapi tidak
memiliki karakter yang dibutuhkan bangsa. Selain itu, sistem pendidikan yang top-down, dengan
menempatkan guru untuk mentransfer bahan ajar ke subjek didik, dan subjek didik hanya
menampung apa yang disampaikan guru tanpa mencoba berpikir lebih jauh, minimal terjadi
proses seleksi secara kritis (Hamengkubuwon, 2010:3). Russell dan Ratna (2010)
mengemukakan bahwa pada taraf jenjang sekolah dasar, mata pelajaran yang berkaitan dengan
pendidikan karakter pun semisal Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan pada prakteknya
masih sebatas teori dan, belum menyentuh pada tataran aplikatif. Praktik pendidikan yang
cenderung kognitif-intelektualistik, perlu direvitalisasi sebagai wahana pengembangangan
pendidikan karakter bangsa, pembangunan kecerdasan, akhlak dan kepribadian peserta didik
secara utuh sesuai dengan tujuan pendidikan nasional (Sardiman, 2010. Kedaulatan Rakyat)

Upaya untuk mewujudkan peradaban bangsa melalui pendidikan karakter, budaya dan moral,
tentulah sosok Ki Hadjar Dewantara menjadi rujukan utama. Bapak pendidikan bangsa Indonesia
ini telah merintis tentang konsep tri pusat pendidikan yang menyebutkan bahwa wilayah
pendidikan guna membangun konstruksi fisik, mental, dan spiritual yang handal dan tangguh
dimulai dari; (i) lingkungan keluarga; (ii) lingkungan sekolah; dan (iii) lingkungan masyarakat.
Ketika pendidikan di lingkungan keluarga mulai sedikit diabaikan dan dipercayakan pada
lingkungan sekolah, serta lingkungan social yang semakin kehilangan kesadaran bahwa aksi
mereka pada dasarnya memberikan pengaruh yang cukup besar pada pendidikan seorang
individu. Maka lingkungan sekolah dalam hal ini guru menjadi frontliner dalam peningkatan
mutu pendidikan karakter, budaya dan moral. Sebagai sosok atau peran guru, yang dalam
filosofi Jawa disebut digugu dan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di
kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik. Guru adalah model bagi anak, sehingga
setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi model atau contoh baginya. Seorang guru
harus selalu memikirkan perilakunya, karena segala hal yang dilakukannya akan dijadikan
teladan murid-muridnya dan masyarakat.

Peran guru tidak sekedar sebagai pengajar semata, pendidik akademis tetapi juga merupakan
pendidik karakter, moral dan budaya bagi siswanya. Guru haruslah menjadi teladan, seorang
model sekaligus mentor dari anak/siswa di dalam mewujudkan perilaku yang berkarakter yang
meliputi olah pikir, olah hati dan olah rasa. Masyarakat masih berharap para guru dapat
menampilkan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai moral seperti kejujuran, keadilan, dan
mematuhi kode etik profesional. Lickona (1991), sekolah dan guru harus mendidik karakter,
khususnya melalui pengajaran yang dapat mengembangkan rasa hormat dan tanggung jawab.
Penanaman dan pengembangan pendidikan karakter di sekolah menjadi tanggung jawab
bersama. Pendidikan karakter dapat dintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata
pelajaran. Setiap mata pelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata
pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran nilai-nilai karakter ini tidak berhenti pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada
tataran internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan anak didik sehari-hari di
masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan ajaran hidup Ki Hadjar Dewantara, Tringa yang
meliputi ngerti, ngrasa, dan nglakoni, mengingatkan terhadap segala ajaran, cita-cita hidup yang
kita anut diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan dalam pelaksanaanya. Tahu dan
mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan, menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak
melaksanakan dan tidak memperjuangkan. Diibaratkan ilmu tanpa amal seperti pohon kayu yang
tidak berbuah.

Selamat hari Pendidikan Nasional semoga kita mampu menjadi inspirasi bagi peserta didik kita
untuk terus maju.

https://www.kompasiana.com/hafismuaddab/pendidikan-karakter-revitalisasi-pemikiran-ki-hajar-
dewantara-refleksi-hari-pendidikan-nasional_5500bb41a333110d1750fb1d
Ng dalam bahasa jawa bunyinya tergantung kepada vokal di belakangnya. Bila di belakang
NG adalah a, maka berbunyi nga seperti dalam mengapa, dst.

Ngerti berarti mengerti, Ngrasa berarti Merasakan, dan Nglakoni berarti Melakukan.

Jadi, jangan hanya cukup dengan mengerti, tetapi jangan juga hanya cukup merasakan, namun
harus melakukan apa yang sudah dibenarkan dan diangap baik oleh akal budi kita. Agar lebih
mudah, dimengerti dulu, baru dirasakan, setelah itu dijalankan. Jangan sampai menjalankan
segala sesuatu itu tanpa dipahami lebih dahulu nilai positif dan negatif yang dirasakan.

Inilah mengapa Olah Rasa dan Olah Batin, itu menjadi bagan dari pendidikan Taman Siswa
untuk tujuan membentuk jiwa yang cerdas dan berbudi pekerti luhur melalui tertib laku atau
kebiasaan.

http://asiswanto.net/?page_id=1232
Masa depan negara Indonesia sepenuhnya bergantung pada tersedianya generasi muda yang bermutu.

Ironisnya, ancaman terhadap masa depan generasi muda Indonesia saat ini berada pada titik yang
mengkhawatirkan. Secara nyata berbagai permasalahan sudah menerpa generasi muda Indonesia,
seperti kasus begal yang melibatkan siswa-siswa sekolah, kasus kenakalan remaja seperti gang motor,
vandalisme, tawuran antar pelajar, tingginya kasus narkoba, ancaman terorisme yang melibatkan
generasi muda, virus korupsi dan berbagai tindakan intoleransi akibatnya rapuhnya nilai-nilai
kebangsaan.

Karena begitu kompleks permasalahan yang dihadapi maupun mengancam generasi muda Indonesia,
sehingga menjadi keprihatinan nasional. Contohnya, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam untuk
menyelamatkan generasi muda dari narkoba hingga Presiden Jokowi menyatakan bahwa Indonesia
dalam Darurat Narkoba.

Kementerian Pendidikan juga sudah berkali-kali mengganti kurikulum dalam rangka memperbaiki mutu
pendidikan, bahkan program peningkatan mutu pendidikan dengan meningkatkan mutu pendidik sudah
dijalankan, namun belum mampu mengurai aneka permasalahan generasi muda secara maksimal. Tak
bisa dimungkiri bahwa pendidikan adalah kawah Candradimuka untuk menyiapkan generasi muda yang
berkualitas.

Ironisnya berbagai permasalahan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini sudah
disampaikan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara jauh-jauh hari sebelum Indonesia
merdeka, namun seolah masih menjadi sesuatu yang baru. Menurut hemat saya, pengkajian kembali
konsep dan pemikiran Bapak Pendidikan Nasional Indonesia tentang pendidikan perlu dilakukan.

Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara juga disebut Sang Maestro Pendidikan Indonesia karena telah meletakkan fondasi
dasar konsep-konsep dan pemikirannya tentang pendidikan. Pemikiran beliau tentang pendidikan yang
diperkenalkan jauh-jauh hari sebelum kemerdekaan Indonesia masih sangat relevan dengan kondisi
yang terjadi saat ini.

Pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara juga tidak kalah dengan pemikiran dan teori pendidikan
modern. Misalnya, Ki Hadjar Dewantara jauh lebih dulu mengenalkan konsep Tri- Nga yang terdiri dari
Ngerti (kognitif), Ngrasa (afektif) dan Nglakoni (psikomotorik) dari Taxonomy Bloom (cognitive, affective,
psychomotor) yang terkenal.

Konsep-konsep Ki Hadjar Dewantara tersebut diimplementasikan di Tamansiswa yang berdiri 3 Juli 1922,
sedangkan Taxonomy Bloom dikenalkan pada tahun 1956 oleh Dr Benjamin Bloom. Ini salah satu bukti
jika pemikiran Ki Hadjar Dewantara tidak kalah dengan ilmuwan barat.

Ki Hadjar Dewantara sebagai pejuang pendidikan sangat peduli dengan mutu pendidikan di Indonesia. Di
berbagai literatur, beliau memiliki kekhawatiran yang tinggi jika pendidikan di Indonesia sampai keluar
dari rel yang seharusnya. Apa yang telah dikhawatirkan oleh Ki Hadjar Dewantara telah menjadi
kenyataan saat ini.

Beberapa pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang berbagai komponen wajib (core components) yang
tidak boleh dianggap remeh dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Komponenkomponen tersebut
selalu disinggung dalam setiap tulisan-tulisan beliau.

Pendidikan Nasionalisme atau Kebangsaan

Pada Bulan Desember 1928 dalam majalah Wasita Jilid 1 No.3, Ki Hadjar Dewantara menuliskan
pentingnya pendidikan kebangsaan. Beliau menggarisbawahi jika permasalahan menepisnya rasa
nasionalisme oleh bangsa Indonesia sendiri juga akibat salahnya sistem pendidikan yang ada.

Ki Hadjar Dewantara menuliskan Pengajaran nasional itulah pengajaran yang selaras dengan
penghidupan bangsa (maatschappelijk) dan kehidupan bangsa (cultureel). Kalau pengajaran bagi
anakanak kita tidak berdasarkan kenasionalan, sudah tentu anak-anak kita tak akan mengetahui
keperluan kita, lahir maupun batin; lagi pula tak mungkin anak-anak itu mempunyai rasa cinta bangsa
dan makin lama makin terpisah dari bangsanya, kemudian barangkali menjadi lawan kita.

Dalam Wasita Jilid II No 1-2 Edisi Juli- Agustus terbitan 1930, Ki Hadjar Dewantara lebih lanjut
menekankan pentingnya pendidikan yang meng-Indonesia: Kalau ada anak muda yang lalu sombong,
sampai berani melukai perasaan orang tuannya maupun bangsanya, itulah buah pengajaran dan
pendidikan yang tidak berkebangsaan. Pendidikan kita harus dan hendak memberi perasaan yang penuh
terhadap kebangsaan.

Apa yang dikhawatirkan Ki Hadjar Dewantara di atas dengan mudah kita jumpai saat ini. Berbagai
tindakan generasi muda telah menjadi bumerang bagi bangsa Indonesia. Adanya gerakan teroris dan
radikalisme di Indonesia sudah menjadi bukti nyata pentingnya kehadiran pendidikan nasionalisme.

Pendidikan Budi Pekerti atau Karakter

Pendidikan budi pekerti telah menjadi materi yang wajib dan hangat di dalam dunia pendidikan saat ini
sebenarnya sudah menjadi kekhawatiran Ki Hadjar Dewantara. Pada tahun 1936 dalam sebuah buku
Keluarga, Ki Hadjar Dewantara menguraikan pentingnya pendidikan budi pekerti.

Budi pekerti, watak atau karakter, itulah bersatunya gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau
kemauan, yang lalu menimbulkan tenaga. Ketahuilah jika budi itu berarti pikiran, perasaan, dan
kemauan, dan pekerti itu artinya tenaga. Jadi budi pekerti itu sifatnya jiwa manusia, mulai anganangan
hingga terjelma sebagai tenaga.

Jadi,menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan sebaiknya mampu mengalahkan dasardasar jiwa manusia
untuk melenyapkan atau menutupi sifat- sifat manusia yang jahat. Jadi sangatlah tidak tepat jika
pendidikan memisahkan antara pikiran dan tindakan. Pendidikan tidak boleh hanya sebatas teori.

Vandalisme dan terorisme

Vandalisme dan terorisme saat ini menjadi isu yang hangat. Dalam Majalah Pusara terbitan Agustus
1933, Ki Hadjar Dewantara telah menyinggung permasalahan vandalisme dan terorisme. Dalam jiwa
manusia terhadap jiwa yang jahat yang berakibat buruk bagi diri sendiri maupun orang lain.

Menurut Ki Hadjar, vandalisme dengan mudah bisa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya,
ketika anak-anak mencoret-coret bukunya sendiri atau melakukan tindakan yang merusak barang miliki
orang lain. Di kehidupan saat ini dengan mudah dijumpai corat-coret dengan menggunakan cat. Dalam
konsep terorisme, manusia memiliki sifat untuk meneror atau menakut-nakuti orang lain seperti kasus
begal yang saat ini menjadi fenomena di mana-mana.

Pelaksanaan Trisentra Pendidikan

Pada tahun 1937 Ki Hadjar Dewantara memperkenalkan tiga konsep pendidikan, yaitu keluarga, sekolah
atau perguruan, dan masyarakat. Pendidikan tidak bisa bertepuk sebelah tangan.

Misalnya, jika di sekolah anak-anak diajarkan membuang sampah pada tempatnya, tetapi di dalam
lingkungan keluarga tidak pernah dibiasakan membuang sampah pada tempatnya bahkan dalam
kehidupan masyarakat tidak ada kebiasaan menjaga lingkungan bersih dan dibiasakan membuang
sampah di mana-mana maka pendidikan budi pekerti menjaga kebersihan tidak akan berhasil. Jika
Trisentra pendidikan ini dijalankan secara sinergis, maka terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya
bukan suatu keniscayaan.

Konsep Mobilisasi Intelektual Nasional

Pada 1936 pada buku Keluarga, Ki Hadjar Dewantara mengenalkan sebuah semboyan tiap-tiap orang
jadi guru; tiaptiap rumah jadi perguruan. Maksud dari semboyan di atas adalah Ki Hadjar Dewantara
menganjurkan adanya mobilisasi intelektual nasional agar setiap orang mengadakan gerakan wajib
belajar sendiri dengan menjadikan rumah sebagai perguruannya.

Jika setiap elemen masyarakat sadar dengan masa depan generasi muda dan sadar jika dirinya adalah
seorang guru bagi anggota keluarganya maka tujuan pendidikan akan terwujud dengan mudah.

Kesimpulan

Ki Hadjar Dewantara adalah seorang pejuang pendidikan sejati dengan konsep- konsep dan pemikiran
pendidikan visioner untuk menjawab berbagai permasalahan dunia pendidikan di Indonesia. Setiap
konsep pemikiran yang disampaikannya memiliki nilai filosofis yang tinggi.
Konsep-konsep pendidikan yang diperkenalkannya juga berdasarkan pada jiwa ke-Indonesiaan atau
kearifan lokal yang bersumber langsung pada akar permasalahan Indonesia. Inilah sebuah konsep
pendidikan yang memiliki jati diri atau identitas Indonesia yang sebenarnya yang tidak ditemukan dalam
kebanyakan teori-teori pendidikan barat.

Oleh karena itu, pengkajian kembali konsep dan pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan bisa
menjadi solusi praktis untuk mengatasi permasalahan pendidikan yang kian kompleks. Salam
pendidikan.

Nanang Bagus Subekti


Akademikus dan Peneliti Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta Berpacu
Mempertahankan

https://nasional.sindonews.com/read/980100/162/memaknai-kembali-konsep-pendidikan-ki-hadjar-
dewantara-1427086654

http://www.teoripendidikan.com/2015/01/makalah-pendidikan-menurut-ki-hajar.html

Anda mungkin juga menyukai