Sang penulis buku, Agus Santosa mengawali pengantar buku ini dengan apik
melalui judul "Menjadi Sebutir Garam". Agus mengulas bagaimana filosofi garam,
kerendahan hati dan kepemimpinan yang melayani. Pada pengantar bukunya ia
mengungkapkan:
Takdir sebutir garam di pasir itu tersembunyi. Tidak seperti terang yang
memendarkan cahaya. Tidak seperti suar yang menavigasi kapal di laut untuk
merapat ke dermaga. Garam itu tersembunyi dan memendam kerendahan hati.
Garam memberikan rasa yang meresap pada makanan,tanpa pernah menjadi
makanan itu sendiri. Garam merasuk ke dalam makanan sebagai penyedap. Jika
anda menjadi"sebutir garam" anda harus merasuki kehidupan orang lain dengan
sikap hati dan pemikiran Anda, memengaruhi orang lain dengan perilaku anda.
Itulah peran sebutir garam, rendah hati dan tersamar. Kepemimpinan yang
melayani adalah menjadi"garam"merasuk ke semua ranah kehidupan konstituen
atau merapat pada rakyat, yang dalam istilah Jokowi, pemimpin harus bersikap
horizontal
Penyataan Jokowi ini, ungkap Agus, menginspirasi kita bahwa setiap orang
memang (bisa dan harus) beda. Jika anda memilih untuk menjadi autentik, asal
dari diri sendiri, dengan sendirinya anda bersikap lebih jujur pada diri sendiri, dan
itu akan membuat anda berbeda. Tidak seperti serigala berbulu domba.Tidak perlu
mengubah bentuk atau wajah. Tidak usah menyamarkan jati diri anda; bersikap
apa adanya, bloko (blak-blakan) tanpa diplomasi yang sarat siasat tertentu.
Tantangan pertama menjadi autentik adalah autensitas itu sendiri, yakni menjadi
diri sendiri. Jokowi sejauh ini adalah pribadi autentik yang bersifat terbuka,
transparan tanpa siasat. Ia tidak sibuk (meski sering dituduh) mencitrakan diri. Ia
tampil "apa adanya". Jokowi menjelma sebagai "Difference Maker"
Paradigma Jokowi dalam "melihat" masalah, tambah Agus, sangatlah
menentukan sikapnya mengatasi masalah. Cara berfikir, persepsi maupun asumsi
Jokowi tentang realitas masalah PKL (Pedagang Kaki Lima) adalah sikap mentalnya
terhadap keputusan dan tindakan menata PKL. Sikap inilah yang membedakan
Jokowi dan pemimpin kota lainnya yang lebih memilih bersikap aman, bertindak
setengah hati, atau sebaliknya justru bersikap otoriter, sepihak dan meremehkan
masalah. Pada 2005, ada sekitar 5000 PKL yang menyebar dan menyesaki sudut-
sudut kota Solo. Jokowi datang menemui komunitas PKL tersebut. Ia membuka
komunikasi dengan para pedagang.
Secara harfiah Blusukan dibentuk dari kata blusuk atau mblusuk yang
artinya mbelu ing atau masuk ke. Kata blusukan adalah khas Jawa, diakrabi dalam
kehidupan orang-orang di pedesaan, perkampungan dan pedalaman yang jauh
dari keramaian. Strategi blusukan pertama kali dilakukan Jokowi ketika bersama
FX.Hadi Rudyatmo kampanye Pilkada Solo 2005. Mereka kampanye dengan cara
menyambangi rumah-rumah penduduk secara langsung, door to door. Jokowi
melebur dengan kehidupan bermasyarakat, berdialog langsung, tanpa basa-basi.
Metode blusukan ini diteruskan Jokowi saat menjadi Gubernur DKI Jakarta.Ia tak
segan-segan mblusuk ke dalam gorong-gorong dan memeriksa selokan
yang mampet. "Tradisi" Blusukan yang dilakukan Jokowi ini dilembari satu
kesadaran untuk menyatu dengan realitas kampung, yakni kumpul bersama, yang
mencerminkan keakraban orang-orang kampung yang karib berbincang, ngobrol
di teras rumah yang membuat mereka leluasa dan cair dalam kebersamaan.
"Dari blusukan, itu lahirlah KJS (Kartu Jakarta Sehat) dan Kartu Jakarta
Pintar (KJP) serta penanganan masalah di waduk pluit dan rehabilitasi Rusun
Marunda bisa tertangani,"kata Jokowi. Berkat blusukan Jokowi, ada 4 juta anak
sekolah menerima KJP dan 3 juta penduduk dibekali KJS agar bisa berobat
langsung ke rumah sakit. Blusukan menjadi jalan sederhana yang membantu untuk
mendefinisikan realitas sehingga tak salah memetakan masalah, lebih bijak
mengambil keputusan dan siap dalam tindakan.
Pada bab terakhir "Mulut Bijak, Hati Teduh", Agus membuka dengan
ulasan ketika juru bicara Partai Demokrat, Ruhut Sitompul menantang Gubernur
Joko Widodo untuk berdebat dihadapan publik. Kepada jurnalis di kompleks
Parlemen Senayan, Ruhut mengatakan "Kalian yang angkat Jokowi, padahal dia
tidak pernah debat. Yang kayak begitu mestinya diperhatikan dengan detail"
(Tempo, 26 November 2013). Jokowi menjawab," kalau
diajaknya cemplung kali, cemplung pasar, terus terjun ke lumpur, ayoo..Saya itu
dari dulu tidak suka, tidak bisa debat, sukanya kerja blusukan"(Tempo, 26
November 2013).
Agus Santosa menulis buku ini dengan bahasa yang sederhana dan mudah
dicerna. Pada bagian akhir setiap bab, ia menuliskan kutipan ringkasan singkat
rahasia kepemimpinan Jokowi yang fenomenal dan layak menjadi rujukan serta
inspirasi bagi pembacanya. Buat saya buku ini telah membentangkan sebuah
lanskap baru di cakrawala pemikiran saya tak hanya pada sosok sang calon
presiden Jokowi namun juga bagaimana rahasia kepemimpinan yang mumpuni.
Sebuah buku yang layak baca terutama bagi anda yang ingin belajar banyak
tentang manajemen, tentang bagaimana menyelesaikan masalah-masalah tak
sederhana dengan kepemimpinan yang sederhana.
Saya ingin mengutip tulisan memikat di bagian belakang buku ini: "Jika
dengan sepenuh hati Anda membantu orang-orang meraih impian mereka,
niscaya anda akan mendapatkan apa yang anda impikan. Jadi milikilah mulut bijak
dan hati teduh, artinya anda tidak memilih hancur bersama orang-orang yang
memusuhi anda...tidak menampik untuk menjadi "sebutir garam" yang
merahmati dunia disekitar anda"