Anda di halaman 1dari 9

Judul Buku : The Jokowi Secrets (Bagaimana Kepemimpinan

Sederhana Menyelesaikan Masalah-Masalah Tak Sederhana)


Penulis : Agus Santosa
Penerbit : Gradien Mediatama, 2014
Editor : Ang Tek Khun
Jumlah Halaman : 246
ISBN : 978-602-208-127-2
Buku yang dipajang di rak buku Gramedia Mega Mall Bekasi spontan
menarik minat saya. Selain covernya yang atraktif dengan kartun wajah Jokowi
sedang tersenyum lebar, judulnya pun segera membangkitkan rasa ingin tahu
untuk menyelami lebih dalam apa sesungguhnya rahasia kepemimpinan sosok
fenomenal yang kini menjadi salah satu Calon Presiden Indonesia dan
berpasangan dengan H.M.Jusuf Kalla.

Sang penulis buku, Agus Santosa mengawali pengantar buku ini dengan apik
melalui judul "Menjadi Sebutir Garam". Agus mengulas bagaimana filosofi garam,
kerendahan hati dan kepemimpinan yang melayani. Pada pengantar bukunya ia
mengungkapkan:
Takdir sebutir garam di pasir itu tersembunyi. Tidak seperti terang yang
memendarkan cahaya. Tidak seperti suar yang menavigasi kapal di laut untuk
merapat ke dermaga. Garam itu tersembunyi dan memendam kerendahan hati.
Garam memberikan rasa yang meresap pada makanan,tanpa pernah menjadi
makanan itu sendiri. Garam merasuk ke dalam makanan sebagai penyedap. Jika
anda menjadi"sebutir garam" anda harus merasuki kehidupan orang lain dengan
sikap hati dan pemikiran Anda, memengaruhi orang lain dengan perilaku anda.
Itulah peran sebutir garam, rendah hati dan tersamar. Kepemimpinan yang
melayani adalah menjadi"garam"merasuk ke semua ranah kehidupan konstituen
atau merapat pada rakyat, yang dalam istilah Jokowi, pemimpin harus bersikap
horizontal

Saya mencoba memahami filosofi yang dipaparkan oleh Agus dengan


membaca bab demi bab buku memikat ini. Terdapat 7 bab dalam buku "The
Jokowi Secrets"yaitu : "The Difference Maker", "Anti Fragile","Tak Melintas Jalan
Pintas", "Bersih-Bersih Rasuah", "Blusukan Sang Naga", "Revolusi diatas Meja
Makan" dan "Mulut Bijak Hati Teduh". Di bab pertama Agus mengungkapkan ciri
pembeda Jokowi yang menonjol dan menjadi daya tariknya. Dari sisi postur tubuh
dan tampilan fisik, sosok Jokowi memang tak banyak berbeda dengan sosok orang
kebanyakan. Seraya mengutip pernyataan guru motivasi John.C.Maxwell "Sikap
adalah pembuat perbedaan! Sikap bukan segalanya, tetapi satu hal yang dapat
membuat perbedaan dalam hidup anda!", Agus kemudian mengulas "Sikap"
Jokowi yang menjadi sosok yang terlihat unik dan berbeda.

Jokowi seringkali dianggap sebagai antitesa dari karut marut


kepemimpinan nasional yang terlalu sering dilanda kefasikan. Jokowi juga
dianggap membentangkan lanskap baru, pemimpin lokal yang merambah ke
tingkat nasional karena sikapnya yang autentik. Namun begitu, ia kerapkali
mendapat respon negatif seperti : mesin pencipta citra, piawai bermanuver dam
membuat sensasi. Jokowi heran, bingung dan terkejut menerima sorotan yang
melebihi batas estimasi itu, sebelum akhirnya menyadari : "Kemudian, sadarlah
saya, bahwa saya telah berada di suatu lintasan dimana tidak ada pelari lain yang
berlari dengan gaya serupa dengan saya. Oleh karenanya, saya dianggap aneh.
Dianggap beda dengan yang lain. Dan langkah-langkah saya dianggap berlatar
belakang skenario maha dashyat" (dikutip dari buku "Jokowi, Memimpin Kota,
Menyentuh Jakarta", Alberthiene Endah, Metagraf, 2012).

Penyataan Jokowi ini, ungkap Agus, menginspirasi kita bahwa setiap orang
memang (bisa dan harus) beda. Jika anda memilih untuk menjadi autentik, asal
dari diri sendiri, dengan sendirinya anda bersikap lebih jujur pada diri sendiri, dan
itu akan membuat anda berbeda. Tidak seperti serigala berbulu domba.Tidak perlu
mengubah bentuk atau wajah. Tidak usah menyamarkan jati diri anda; bersikap
apa adanya, bloko (blak-blakan) tanpa diplomasi yang sarat siasat tertentu.
Tantangan pertama menjadi autentik adalah autensitas itu sendiri, yakni menjadi
diri sendiri. Jokowi sejauh ini adalah pribadi autentik yang bersifat terbuka,
transparan tanpa siasat. Ia tidak sibuk (meski sering dituduh) mencitrakan diri. Ia
tampil "apa adanya". Jokowi menjelma sebagai "Difference Maker"
Paradigma Jokowi dalam "melihat" masalah, tambah Agus, sangatlah
menentukan sikapnya mengatasi masalah. Cara berfikir, persepsi maupun asumsi
Jokowi tentang realitas masalah PKL (Pedagang Kaki Lima) adalah sikap mentalnya
terhadap keputusan dan tindakan menata PKL. Sikap inilah yang membedakan
Jokowi dan pemimpin kota lainnya yang lebih memilih bersikap aman, bertindak
setengah hati, atau sebaliknya justru bersikap otoriter, sepihak dan meremehkan
masalah. Pada 2005, ada sekitar 5000 PKL yang menyebar dan menyesaki sudut-
sudut kota Solo. Jokowi datang menemui komunitas PKL tersebut. Ia membuka
komunikasi dengan para pedagang.

Tujuannya sederhana, membangun trust pedagang kepada pemerintah


dan membuka kesadaran mereka. Ia berbicara, makan siang bersama dan
mengakrabi persoalan para pedagang, sampai berhasil (dalam terminologi Jokowi)
membangun "jembatan hati" dengan mereka. Tak heran Jokowi masuk dalam
seratus tokoh dunia dalam daftar "The Leading Global Thinkers of 2013" versi
Foreign Policy, majalah yang diterbitkan Washington Post company. Pada majalah
yang berbasis di Amerika Serikat itu menulis Jokowi sebagai pemimpin diluar
kelaziman politik di Indonesia. Majalah tersebut menulis "Unlike many of his
moneyed peers, who hail from powerful political dynasties and have little contact
with the common man. Joko clings to his humble beginnings"

Di Bab berikutnya bertajuk "Anti Fragile" yang bermakna suatu kekuatan,


ketangguhan melawan rapuh termasuk juga daya tangkal, imunitas, kebal diri
melawan hidup yang sulit dan sarat dengan ketidakpastian, Agus mengangkat
pribadi Jokowi yang relevan dengan sikap ini. Lahir dari orang tua yang serba
kekurangan bahkan sempat kena gusur rumahnya, Jokowi tumbuh menjadi sosok
yang tangguh menghadapi kerasnya hidup. Dalam buku yang ditulis Alberthiene
Endah "Jokowi, Memimpin Kota, Menyentuh Jakarta" seperti dikutip di buku ini,
Jokowi menyatakan,"Pemikiran saya tentang masa depan simpel saja: Saya ingin
mengembangkan hidup di Solo melalui pekerjaan di ranah kayu dan memperbaiki
wajah hidup keluarga. Sesuatu yang memang menjadi cita-cita saya, sejak
menyaksikan keprihatinan demi keprihatinan di masa kecil. Bagi saya,
keterbatasan hidup merupakan sinyal untuk bergerak lebih baik. Bukan
pemberhentian nasib yang tidak menjanjikan perubahan".

Di Bab "Tak Melintas Jalan Pintas", Agus membukanya dengan mengutip


salah satu filosofi hidup Jokowi : "Jangan pernah memotong apapun yang dapat
dibuka ikatannya dengan sedikit bertekun Anda bisa membuka kehidupan baru. Di
bab ini Agus menulis perjuangan Jokowi menata kota Solo saat menjabat sebagai
walikota dengan berbasis pada kebudayaan. Ia sumpek melihat kondisi sejumlah
situs heritage yang rusak oleh pembangunan gedung-gedung moderen tanpa
mengindahkan budaya. Jokowi tampaknya tak gentar dinilai sebagai walikota
Jadul.

Ia menegaskan,"Bagi saya, selalu dan selalu saya katakan yang terpenting


adalah memahami nyawa kota dan mengerti apa yang dibutuhkan penduduk.
Menghirup aroma asli lapangan dan dengan jujur menyimpulkan apa yang harus
dilakukan sesungguhnya bagi kota. Seorang pemimpin tak harus malu dan takut
dikatakan terbelakang jika ia mengerem pembangunan mal dan gedung-gedung
moderen, lalu melakukan banyak hal bagi budaya. Bila budaya tersebut adalah
nyawa dan poros kehidupan penduduknya, kenapa harus diperkenalkan pada
kehidupan baru yang belum tentu cocok bagi mereka?" (dikutip dari Buku "Jokowi,
Spirit Bantaran Kali Anyar", Domu.D.Ambarita,dkk, 2013) . Jokowi hadir dengan
pemikiran kritis tetapi tidak menolak substansi yang lama atas nama kesadaran
yang baru. Pilihan Jokowi ini memang anomali. Ia memang memilih untuk meramu
yang baru dalam tubuh yang lama. Ini bukan pilihan mudah dan "mengawinkan"
budaya Solo dan modernitas layak diapresiasi.
Pada bab empat "Bersih-Bersih Rasuah", Agus mengungkap kebencian
sosok Jokowi pada korupsi. Kebencian itu tak terlepas dari pembelajaran hidup
Jokowi di masa lalu sebagai rakyat kecil yang hidup sederhana. Dengan jujur ia
mengatakan,"Dari perjuangan orang tua, saya belajar ketekunan. Kesetiaan pada
janji dan kerja keras. Dan kepercayaan bahwa bila segala sesuatu dijalankan
dengan jujur, tulus, dan bersih, Ridha Allah niscaya ada. Keteguhan wong cilik
untuk berlaku, bertahan, dan bekerja dalam kejujuran sikap adalah teladan yang
membesarkan saya sejak kecil".

"Blusukan Sang Naga" adalah judul di Bab 5 yang menyoroti "tradisi"


fenomenal Jokowi yaitu "Blusukan". Agus membuka bab ini dengan mengutip
pepatah Tiongkok "Naga yang kuat tidak akan mampu mengalahkan ular yang
bersembunyi dalam tanah". Meski digdaya dan bisa terbang, seekor naga harus
arif dan bijaksana, tahu diri. Naga yang kuat sekalipun, tak bisa mengalahkan ular
yang bersembunyi didalam tanah yang melambangkan rakyat kecil atau kawula
alit. Sang Naga harus terus membumi, turun ke bawah menemui ular-ular yang
bersembunyi di dalam tanah. Sang Naga harus mau di blusuk.

Secara harfiah Blusukan dibentuk dari kata blusuk atau mblusuk yang
artinya mbelu ing atau masuk ke. Kata blusukan adalah khas Jawa, diakrabi dalam
kehidupan orang-orang di pedesaan, perkampungan dan pedalaman yang jauh
dari keramaian. Strategi blusukan pertama kali dilakukan Jokowi ketika bersama
FX.Hadi Rudyatmo kampanye Pilkada Solo 2005. Mereka kampanye dengan cara
menyambangi rumah-rumah penduduk secara langsung, door to door. Jokowi
melebur dengan kehidupan bermasyarakat, berdialog langsung, tanpa basa-basi.
Metode blusukan ini diteruskan Jokowi saat menjadi Gubernur DKI Jakarta.Ia tak
segan-segan mblusuk ke dalam gorong-gorong dan memeriksa selokan
yang mampet. "Tradisi" Blusukan yang dilakukan Jokowi ini dilembari satu
kesadaran untuk menyatu dengan realitas kampung, yakni kumpul bersama, yang
mencerminkan keakraban orang-orang kampung yang karib berbincang, ngobrol
di teras rumah yang membuat mereka leluasa dan cair dalam kebersamaan.

"Dari blusukan, itu lahirlah KJS (Kartu Jakarta Sehat) dan Kartu Jakarta
Pintar (KJP) serta penanganan masalah di waduk pluit dan rehabilitasi Rusun
Marunda bisa tertangani,"kata Jokowi. Berkat blusukan Jokowi, ada 4 juta anak
sekolah menerima KJP dan 3 juta penduduk dibekali KJS agar bisa berobat
langsung ke rumah sakit. Blusukan menjadi jalan sederhana yang membantu untuk
mendefinisikan realitas sehingga tak salah memetakan masalah, lebih bijak
mengambil keputusan dan siap dalam tindakan.

Di Bab 6 yang berjudul "Revolusi di Meja Makan", Agus mengungkapkan


bagaimana makan bersama menjadi bagian dari strategi diplomasi dan negosiasi
Jokowi dalam mencapai tujuan. Ketika bernegosiasi dengan PKL di Solo untuk
relokasi ke tempat baru, Jokowi menggunakan strategi ini dengan melakukan
pendekatan yang bersahabat sembari menjelaskan latar belakang pemindahan
lokasi mereka. Tak ada upaya represif yang berpotensi menghasilkan konflik dalam
proses tersebut yang akhirnya berjalan damai dan mulus. Lebih dari lima puluh kali
Jokowi mengundang makan PKL sekaligus membuka dialog secara terbuka dengan
semangat .

Pada bab terakhir "Mulut Bijak, Hati Teduh", Agus membuka dengan
ulasan ketika juru bicara Partai Demokrat, Ruhut Sitompul menantang Gubernur
Joko Widodo untuk berdebat dihadapan publik. Kepada jurnalis di kompleks
Parlemen Senayan, Ruhut mengatakan "Kalian yang angkat Jokowi, padahal dia
tidak pernah debat. Yang kayak begitu mestinya diperhatikan dengan detail"
(Tempo, 26 November 2013). Jokowi menjawab," kalau
diajaknya cemplung kali, cemplung pasar, terus terjun ke lumpur, ayoo..Saya itu
dari dulu tidak suka, tidak bisa debat, sukanya kerja blusukan"(Tempo, 26
November 2013).

Apakah dengan diam menjadi pertanda Jokowi enggan berpolitik?. Jokowi


menampik debat, apakah itu berarti ia menampik politik? Jokowi sedang menapaki
jalan politik, berada didalam labirin politik, tentu saja ia tidak boleh menampik
politik.Jokowi memahami politik sebagai cara bernegara untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat--ini adalah cara mutlak dan tak dapat diganggu gugat.
berdebat di mata Jokowi adalah satu dari sekian cara berpolitik, demikian pula
bekerja untuk rakyat adalah cara berpolitik. Jokowi memilih bekerja daripada
berdebat. Jokowi menunjukkan bahwa anda harus memiliki ruang dalam hati dan
fikiran untuk menenangkan diri. Perbedaan itu nyata adanya dan kesadaran untuk
memahami perbedaan demi perbedaan inilah yang bisa mencegah untuk
terjerumus dalam konflik, pertengkaran, atau perseteruan yang sia-sia.

Agus Santosa menulis buku ini dengan bahasa yang sederhana dan mudah
dicerna. Pada bagian akhir setiap bab, ia menuliskan kutipan ringkasan singkat
rahasia kepemimpinan Jokowi yang fenomenal dan layak menjadi rujukan serta
inspirasi bagi pembacanya. Buat saya buku ini telah membentangkan sebuah
lanskap baru di cakrawala pemikiran saya tak hanya pada sosok sang calon
presiden Jokowi namun juga bagaimana rahasia kepemimpinan yang mumpuni.
Sebuah buku yang layak baca terutama bagi anda yang ingin belajar banyak
tentang manajemen, tentang bagaimana menyelesaikan masalah-masalah tak
sederhana dengan kepemimpinan yang sederhana.

Saya ingin mengutip tulisan memikat di bagian belakang buku ini: "Jika
dengan sepenuh hati Anda membantu orang-orang meraih impian mereka,
niscaya anda akan mendapatkan apa yang anda impikan. Jadi milikilah mulut bijak
dan hati teduh, artinya anda tidak memilih hancur bersama orang-orang yang
memusuhi anda...tidak menampik untuk menjadi "sebutir garam" yang
merahmati dunia disekitar anda"

Anda mungkin juga menyukai