2.1.2 Etiologi
Tuberculosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Kuman ini berbentuk
batang mempunyai sifat tahan asam pada perwarnaan. Oleh karena itu, disebut sebagai basil
tahan asam (Somantri, 2008 : 59).
2.1.3 Patofisiologi
Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung Mycobakterium tuberkulosis dapat menetap
dalam udara bebas selama 1-2 jam. Orang dapat terifeksi kalau droplet tersebut terhirup ke
dalam saluran pernapasan. Setelah Mycobacterium tuberkulosis masuk ke dalam saluran
pernapasan, masuk ke alveoli, tempat dimana mereka berkumpul dan mulai memperbanyak
diri. Basil juga secara sistemik melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lainnya
(ginjal, tulang, korteks serebri), dan area paru-paru lainnya (lobus atas).
Sistem imun tubuh berespons dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit (neutrofil dan
makrofag) menelan banyak bakteri; limfosit melisis (menghancurkan) basil dan jaringan
normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli,
menyebabkan bronkopneumonia. lnfeksi awal biasanya terjadi 2 sampai 10 minggu setelah
pemajanan.
Massa jaringan baru, yang disebut granulomas, yang merupakan gumpalan basil yang masih
hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang membentuk dinding protektif.
Granulomas diubah menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian sentral dari massa fibrosa ini
disebut tuberkel Ghon. Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk massa
seperti keju. Massa ini dapat mengalami kalsifikasi, membentuk skar kolagenosa. Bakteri
menjadi dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif.
Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit aktif karena
gangguan atau respons yang inadekuat dari respons sistem imun. Penyakit aktif dapat juga
terjadi dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri dorman. Dalam kasus ini, tuberkel Ghon
memecah, melepaskan bahan seperti keju ke dalam bronki. Bakteri kemudian menjadi
tersebar di udara, mengakibatkan penyebaran penyakit lebih jauh. Tuberkel yang memecah
menyembuh, membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak,
mengakibatkan terjadinya bronkopneumonia lebih lanjut, pembentukan tuberkel dan
selanjutnya.
Kecuali proses tersebut dapat dihentikan, penyebarannya dengan lambat mengarah ke bawah
ke hilum paru-paru dan kemudian meluas ke lobus yang berdekatan. Proses mungkin
berkepanjangan dan ditandai oleh remisi lama ketika penyakit dihentikan, hanya supaya
diikuti dengan periode aktivitas yang diperbaharui. Hanya sekitar 10% individu yang awalnya
terinfeksi mengalami penyakit aktif (Brunner dan Suddarth, 2002).
Pemeriksaan penunjang
1 Pemeriksaan Laboratorium
-Kultur Sputum : Positif untuk Mycobacterium tuberculosis pada tahap aktif penyakit
-Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah) : Positif
untuk basil asam-cepat.
-Tes kulit (Mantoux, potongan Vollmer) : Reaksi positif (area indurasi 10 mm atau lebih
besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi intradcrmal antigen) menunjukkan infeksi masa lalu
dan adanya antibodi tetapi tidak secara berarti menunjukkan penyakit aktif. Reaksi bermakna
pada pasien yang secara klinik sakit berani bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau
infeksi disebabkan oleh mikobakterium yang berbeda.
-Histologi atau kultur jaringan (termasuk pembersihan gaster; urine dan cairan serebrospinal,
biopsi kulit) : Positif untuk Mycobacterium tuberculosis.
-Biopsi jarum pada jaringan paru : Positif untuk granuloma TB; adanya sel raksasa
menunjukkan nekrosis.
-Elektrolit : Dapat tak normal tergantung pada lokasi dan beratnya infeksi; contoh
hiponatremia disebabkan oleh tak normalnya retensi air dapat ditemukan pada TB paru kronis
luas.
-Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital, peningkatan rasio udara residu dan
kapasitas paru total, dan penurunan saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi
parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural (Tuberkulosis paru kronis
luas).
Pemeriksaan Radiologis
1 Foto thorak : Dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru atas, simpanan kalsium
lesi sembuh primer, atau effusi cairan. Perubahan menunjukkan lebih luas TB dapat termasuk
rongga, area fibrosa.
-Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman semi dormant yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid.
Dosis 10 mg/kg berat badan. Dosis sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali
seminggu.
-Pirazinamid (Z)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis
harian 25 mg/kg berat badan, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu
diberikan dengan dosis 35 mg/kg berat badan.
-Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid, dosis 15 mg/kg berat badan, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3
kali seminggu digunakan dosis yang sama.
-Etambutol (E)
Bersifat menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik). Dosis harian 15 mg/kg berat
badan, sedangkan untuk intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan 30 mg/kg berat badan.
2 Tahap Pengobatan
Pengobatan Tuberculosis diberikan dalam 2 tahap yaitu:
-Tahap Intensif
Penderita mendapat obat setiap hari. Pengawasan berat/ketat untuk mencegah terjadinya
kekebalan terhadap semua Obat Anti Tuberculosis (OAT).
-Tahap Lanjutan
Penderita mendapat jenis obat lebih sedikit dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap
lanjutan penting untuk membunuh kuman persistem (dormant) sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.
-Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3RE3)
Tahap intensif diberikan selama 3 (tiga) bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan isoniasid (H),
Rifampisn, Pirazinamid (Z), Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap
lanjutan selama 5 bulan dengan Isoniasid (H),Rifampisin (R), Etambutol (E) yang diberikan 3
kali dalam seminggu.
Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan
obat.
Obat ini diberikan untuk penderita kambuh, penderita gagal, penderita dengan pengobatan
setelah lalai.
Manajemen Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah pengumpulan data yang cermat tentang pasien, keluarga dan kelompok
melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan (Carpenito, 1999:24)
Menurut Doengoes 1999, pada pengkajian pada pasien tuberculosis paru akan di temukan
data-data sebagai berikut :
2.2.1.1 Aktivitas / istirahat
Gejala : Badan lemah, sesak nafas, Kesulitan tidur pada malam hari, demam dan menggigil,
berkeringat pada malam hari.
Tanda : Takikardia, takipnea / dipsnea pada kerja kelelahan otot, nyeri dan sesak.
2.2.1.2 Integritas ego
Gejala : Adanya faktor stress, Masalah keuangan, Perasaan tak berdaya / tak ada harapan.
Tanda : Menyangkal, ansietas, ketakutan, dan mudah tersinggung.
2.2.1.3 Makanan / cairan
Tanda : Turgor kulit kering / kulit bersisik, dan kehilangan otot.
2.2.3.1.2 Evaluasi :
1. Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko penyebaran infeksi.
2. Menunjukkan teknik atau melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan
Iingkungan yang aman.
2.2.3.2 Bersihkan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekret yang kental atau
berlebihan.
2.2.3.2.1 Intervensi dan rasionalisasi
1. Kaji fungsi pernapasan, bunyi napas, kecepatan, irama dan kedalaman dan penggunaan
otot aksesori.
Rasional : Penurunan bunyi napas dapat menunjukkan atelektasis.
2. Catat kemampuan untuk mengeluarkan dahak atau batuk efektif dan catat karakter, jumlah
sputum, adanya hemoptisis.
Rasional : Pengeluaran sulit bila sekret kental, sputum berdarah kental atau cerah diakibatkan
kerusakan (kavitasi) atau lulcaan bronchial.
3. Atur posisi semi atau fowler tinggi.
Rasional : Memaksimalkan ekspansi paru.
4. Ajarkan pasien untuk batuk efektif dan nafas dalam.
Rasional : Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan ke dalam
jalan napas besar untuk dikeluarkan.
5. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, pengisapan sesuai keperluan
Rasional : Mencegah obstruksi atau aspirasi, pengisapan dapat diperlukan apabila pasien
tidak mampu mengeluarkan sekret.
6. Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali kontra indikasi.
Rasional : Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengencerkan sekret dan mudah
dikeluarkan.
7. Kolaborasi
Berikan obat-obatan sesuai indikasi.
2.2.3.2.2 Evaluasi
1. Mempertahankan jalan nafas pasien.
2. Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.
3. Berpartisipasi dalam program pengobatan.
2.2.3.3 Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas, berhubungan dengan penurunan
permukaan efektif paru.
2.2.3.3.1 Intervensi dan rasionalisasi
1. Kaji dispnea, takipnea, tak normal atau menurunnya bunyi napas, peningkatan upaya
pernapasan,terbatasnya ekspansi, dinding dada dan kelemahan.
Rasional: Tuberculosis paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronco
pneumonia sampai inflamasi difus, nekrosis, efusi pleural dan fibrosis luas.
2. Catat sianosis atau perubahan warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.
Rasional : Akumulasi sekret atau pengaruh jalan napas dapat mengganggu oksigenasi organ
vital dan jaringan.
3. Tingkatkan tirah baring atau batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai
keperluan.
Rasional : Menurunkan konsumsi oksigen atau kebutuhan selama periode penurunan
pernapasan dapat menurunkan beratnya gejala.
4. Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan yang sesuai.
Rasional : Alat dalam memperbaiki hipoksemia yang dapat terjadi sekunder terhadap
penurunan ventilasi atau permukaan alveolar paru.
2.2.3.3.2 Evaluasi
1. Menunjukkan tak adanya atau mcngalami penurunan dispnea.
2. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat.
3. Bebas dari gejala distress pernapasan.
2.2.3.4 Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
2.2.3.4.1 Intervensi dan rasionalisasi
1. Catat status nutrisi pasien pada penerimaan, catat turgor kulit, berat badan dan derajat
kekurangan berat badan.
Rasional : Berguna dalam mendefinisikan derajat atau luasnya masalah dan pilihan intervensi
yang tepat.
2. Awasi masukan atau pengeluaran dan berat badan secara periodik.
Rasional : Berguna dalam mengatur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.
3. Dorong dan berikan periode istirahat sering. Rasional : Membantu menghemat energi
khususnya bila kebutuhan metabolik meningkat saat demam.
4. Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.
Rasional : Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tidak perlu atau
kebutuhan energi dari makan-makanan banyak dan menurunkan iritasi gaster.
5. Kolaborasi ke ahli diet untuk menentukan komposisi diet.
Rasional : Memberikan bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi adekuat untuk
kebutuhan metabolik dan diet.
2.2.3.4.2 Evaluasi
1. Menunjukkan berat badan meningkat.
2. Meningkatkan atau mempertahankan berat badan yang ideal.
2.2.3.5 Kurang pengetahuan mengenai kondisi aturan tindakan dan pencegahan berhubungan
dengan kurang informasi.
2.2.3.5.1 Intervensi dan rasionalisasi
1. Kaji kemampuan pasien untuk belajar, contoh tingkat takut, masalah, kelemahan, tingkat
partisipasi, lingkungan terbaik dimana pasien dapat belajar, seberapa banyak isi, media
terbaik, siapa yang terlibat.
Rasional : Belajar tergantung pada emosi dan kesiapan fisik dan ditingkatkan pada tahapan
individu.
2. Tekankan pentingnya mempertahankan protein tinggi dan diet karbohidrat dan pemasukan
cairan adekuat.
Rasional : Memenuhi kebutuhan metabolik mernbantu meminimalkan kelemahan dan
meningkatkan penyembuhan.
3. Berikan instruksi dan informasi tertulis khusus pada pasien untuk rujukan contoh jadwal
obat.
Rasional : Informasi tertulis menurunkan hambatan pasien untuk mengingat sejumlah besar
informasi.
4. Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan, dan alasan pengobatan
lama.
Rasional : Meningkatkan kerja lama dalam program pengobatan dan mencegah penghentian
obat sesuai perbaikan kondisi pasien.
5. Dorong pasien dan orang terdekat untuk menyatakan takut. Jawab pertanyaan secara nyata.
Rasional : Memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan konsepsi atau peningkatan
ansietas.
2.2.3.5.2 Evaluasi
1. Menyatakan pemahaman proses penyakit atau prognosis dan kebutuhan pengobatan.
2. Melakukan pola hidup sehat untuk memperbaiki kesehatan umum.
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hood. 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press :
Surabaya.