PENDAHULUAN
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalah salah satu penyakit paru akut yang
memerlukan perawatan di Intensive Care Unit (ICU) dan mempunyai angka kematian yang
tinggi yaitu mencapai 60%.1,2 Estimasi yang akurat tentang insidensi ARDS sulit karena definisi
yang tidak seragam serta heterogenitas penyebab dan manifestasi klinis. 1,2 Estimasi insidensi
ARDS di Amerika Serikat sebesar 100.000-150.000 jumlah penduduk per tahun (1996).
Dahulu ARDS memiliki banyak nama lain seperti wet lung, shock lung, leaky-capillary
pulmonary edema dan adult respiratory distress syndrome. Tidak ada tindakan yang spesifik
untuk mencegah kejadian ARDS meskipun faktor risiko sudah diidentifikasi sebelumnya.
Pendekatan dalam penggunaan model ventilasi mekanis pada pasien ARDS masih kontroversial.
American European Concencus Conference Committee (AECC) merekomendasikan pembatasan
volume tidal, positive end expiratory pressure (PEEP) dan hiperkapnea.2,3
DEFINISI
Definisi ARDS pertama kali dikemukakan oleh Asbaugh dkk (1967) sebagai hipoksemia
berat yang onsetnya akut, infiltrat bilateral yang difus pada foto toraks dan penurunan
compliance atau daya regang paru.4
Acute Lung Injury (ALI) dan ARDS didiagnosis ketika bermanifestasi sebagai kegagalan
pernafasan berbentuk hipoksemi akut, bukan karena peningkatan tekanan kapiler paru. Bentuk
yang lebih ringan dari ARDS disebut ALI karena ALI merupakan prekursor ARDS.2,5
American European Concencus Conference Comittee(AECC) pada tahun 1994
merekomendasikan definisi ARDS, yaitu sekumpulan gejala dan tanda yang terdiri dari empat
komponen di bawah ini (dapat dilihat pada tabel 1).5
Tabel 2. Kriteria ARDS dan ALI menurut American European Consensus Conference
Committee (AECC) pada tahun 1994 5
ETIOLOGI
Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor penyebab yang dapat
berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai penyakit tetapi sebagai
sindrom.4,5 Sepsis merupakan faktor risiko yang paling tinggi, mikroorganisme dan produknya
(terutama endotoksin) bersifat sangat toksik terhadap parenkim paru dan merupakan faktor risiko
terbesar kejadian ARDS, insiden sepsis menyebabkan ARDS berkisar antara 30-50%.4,5
Aspirasi cairan lambung menduduki tempat kedua sebagai faktor risiko ARDS (30%).
Aspirasi cairan lambung dengan pH<2,5 akan menyebabkan penderita mengalami chemical burn
pada parenkim paru dan menimbulkan kerusakan berat pada epitel alveolar. 3,4 Faktor risiko
penyebab ARDS dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 3. Faktor risiko klinik ARDS 5
Gambar 1. Multiple Hit Model antara faktor predisposisi, faktor modifier dan pengobatan dengan
terjadinya ARDS 6
PATOGENESIS
Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami kerusakan pada ARDS.3
Kerusakan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas barier alveolar dan kapiler sehingga
cairan masuk ke dalam ruang alveolar. Derajat kerusakan epithelium alveolar ini menentukan
prognosis.4-8
Epitelium alveolar normal terdiri dari 2 tipe sel, yaitu sel pneumosit tipe I dan sel
pneumosit tipe II. Permukaan alveolar 90% terdiri dari sel pneumosit tipe I berupa sel pipih yang
mudah mengalami kerusakan. Fungsi utama sel pneumosit tipe I adalah pertukaran gas yang
berlangsung secara difusi pasif. Sel pneumosit tipe II meliputi 10% permukaan alveolar terdiri
atas sel kuboid yang mempunyai aktivitas metabolik intraselular, transport ion, memproduksi
surfaktan dan lebih resisten terhadap kerusakan. 4-8
Kerusakan epitelium alveolar yang berat menyebabkan kesulitan dalam mekanisme
perbaikan paru dan menyebabkan fibrosis.3,4,6,8,9 Kerusakan pada fase aku terjadi pengelupasan
sel epitel bronkial dan alveolar, diikuti dengan pembentukan membran hialin yang kaya protein
pada membran basal epitel yang gundul (dapat dilihat pada gambar 1). Neutrofil memasuki
endotel kapiler yang rusak dan jaringan interstitial dipenuhi cairan yang kaya akan protein.
Gambar 2. Keadaan alveoli normal dan alveoli yang mengalami kerusakan saat fase akut
pada ALI dan ARDS 2
Keberadaan mediator anti inflamasi, interleukin-1-receptor antagonists, soluble tumor
necrosis factor receptor, auto antibodi yang melawan Interleukin/IL-8 dan IL-10 menjaga
keseimbangan alveolar. Perubahan patofisiologi yang terjadi pada ARDS adalah edema paru
interstistial dan penurunan kapasitas residu fungsional (KRF) karena atelektasis kongestif difus.
Kerusakan endotel kapiler atau epitel alveoli atau keduanya pada ARDS menyebabkan
peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler (terutama sel pneumosit tipe I) sehingga
cairan kapiler merembes dan berkumpul didalam jaringan interstitial, jika telah melebihi
kapasitasnya akan masuk ke dalam rongga alveoli (alveolar flooding) sehingga alveoli menjadi
kolaps (mikroatelektasis) dan compliance paru akan lebih menurun. Merembesnya cairan yang
banyak mengandung protein dan sel darah merah akan mengakibatkan perubahan tekanan
osmotik.5,6
Cairan bercampur dengan cairan alveoli dan merusak surfaktan sehingga paru menjadi
kaku, keadaan ini akan memperberat atelektasis yang telah terjadi. Mikroatelektasis akan
menyebabkan shunting intrapulmoner, ketidakseimbangan (mismatch) ventilasi-perfusi (VA/Q)
dan menurunnya KRF, semua ini akan menyebabkan terjadinya hipoksemia berat dan
progresivitas yang ditandai dengan pernapasan cepat dan dalam. Shunting intrapulmoner
menyebabkan curah jantung akan menurun 40%.7-10
Hipoksemia diikuti asidemia, mulanya karena pengumpulan asam laktat selanjutnya
merupakan pencerminan gabungan dari unsur metabolik maupun respiratorik akibat gangguan
pertukaran gas. Penderita yang sembuh dapat menunjukan kelainan faal paru berupa penurunan
volume paru, kecepatan aliran udara dan khususnya menurunkan kapasitas difusi. 3,9,10
Secara ringkas, terdapat 3 fase kerusakan alveolus pada ARDS yaitu: 5
1. Fase eksudatif : fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan epitelium,
inflamasi, dan eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.
2. Fase proliferatif : terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan proliferasi
fibroblast, sel tipe II, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan dinding alveolus dan
perubahan eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi seluler/ membran hialin.
Merupakan fase menentukan : cedera bisa mulai sembuh atau menjadi menetap, ada
resiko terjadi lung rupture (pneumothorax).
3. Fase fibrotik/recovery : Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan mengalami
remodeling dan fibrosis. Fungsi paru berangsur- angsur membaik dalam waktu 6 12
bulan, dan sangat bervariasi antar individu, tergantung keparahan cederanya.
Diagnosis Klinis
Onset akut umumnya berlangsung 3-5 hari sejak diagnosis kondisi yang menjadi faktor
risiko ARDS. Tandanya adalah takipnea, retraksi intercostal, adanya ronkhi kasar yang jelas dan
adanya gambaran hipoksia atau sianosis yang tidak respons dengan pemberian oksigen. Bisa juga
dijumpai hipotensi dan febris. Sebagian besar kasus disertai dengan mutiple organ dysfunction
syndrome (MODS) yang umumnya melibatkan ginjal, hati, otak, sistem kardiovaskuler dan
saluran cerna seperti perdarahan saluran cerna.5
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
AGDA: hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena hiperventilasi), hiperkapnia (pada
emfisema atau keadaan lanjut), bisa terjadi alkalosis respiratorik pada proses awal dan
kemudian berkembang menjadi asidosis respiratorik.
Pada darah perifer bisa dijumpai gambaran leukositosis (pada sepsis), anemia,
trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik dan kerusakan endotel, peningkatan kadar
amylase (pada kasus pancreatitis sebagai penyebab ARDSnya)
Gangguan fungsi ginjal dan hati, gambaran koagulasi intravascular disseminata yang
merupakan bagian dari MODS.5
Radiologi: Pada awal proses, dari foto thoraks bisa ditemukan lapangan paru yang relatif jernih,
namun pada foto serial berikutnya tampak bayangan radio-opak yang difus atau patchy bilateral
dan diikuti pada foto serial berikutnya tampak gambaran confluent tanpa gambaran kongesti atau
pembesaran jantung. Dari CT scan tampak pola heterogen, predominan limfosit pada area dorsal
paru (foto supine).5
Diagnosa Banding
Diagnosis Banding secara radiologis antara lain:5
1. Edema paru kardiogenik
2. Infeksi Paru: viral, bakteri, jamur
3. Edema paru yang berhubungan dengan ketinggian (High-altitude pulmonary
edema=HAPE)
4. Edema paru neurogenik
5. Edema paru diinduksi laringospasme
6. Edema paru diinduksi obat: heroin, salisilat, kokain
7. Pneumonitis radiasi
8. Sindrom emboli lemak
9. Vaskulitis
10. Pneumonitis hipersensitivitas
11. Penyakit pari intertisial
12
Tabel 6. Kontraindikasi dan komplikasi posisi prone pada ARDS
B. Terapi farmakologis
Pilihan terapi farmakologis pada manajemen ARDS masih sangat terbatas. Penggunaan
surfaktan dalam manajemen ARDS pada anak-anak memang bermanfaat, namun penggunaanya
pada orang dewasa masih kontroversi. Studi review yang dilakukan Cochrane dkk tidak
menemukan manfaat penggunaan surfaktan pada ARDS dewasa. 14,15,16
Penggunaan kortikosteroid juga masih kontroversi. Beberapa randomized controlled
study dan studi kohort mendukung penggunaan kortikosteroid sedini mungkin dalam
penatalaksanaan ARDS berat. Kortikosteroid seperti methiprednisolon diberikan dengan dosis
1mg/kg.bb/hari selama 14 hari lalu ditapering off. Penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan
kebutuhan penggunaan ventilator dalam hitungan hari, walaupun penggunaan kortikosteroid
tidak terbukti menurunkan angka mortalitas. 15,16
Pemberian nitrit okside inhalasi (iNO) dan prostasiklin (PGI2) mungkin dapat
menurunkan shunt pulmoner dan afterload ventrikel kanan dengan menurunkan impedansi arteri
pulmoner. 40-70% ARDS mengalami perbaikan oksigenasi dengan iNO. Penambahan almitrin
intravena mempunyai dampak aditif pada perbaikan oksigenasi. Sementara pemberian PGI2
dengan dosis sampai 50 ng/kg.bb/menit ternyata memperbaiki oksigenasi sama efektifnya
dengan iNO pada pasien ARDS.5,15,16