Anda di halaman 1dari 10

DAMPAK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT TERHADAP KERUSAKAN LAHAN

GAMBUT (STUDI KASUS: PROVINSI RIAU)

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan kelas C

Dosen Pengampu:
Jaka Aminata

Disusun oleh:
Sofa Sundarti 12020115120010
Nurvita Retnama Dewi 12020115130115
Ika Fransiska 12020115120004
Nurul Inayah 12020115140139

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peran
cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Indonesia merupakan negara
produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar di dunia. Produksi kelapa sawit Indonesia pada
tahun 2015 mencapai 31,28 juta ton. Provinsi Riau merupakan provinsi penghasil kelapa
sawit terbesar di Indonesia dengan jumlah produksi mencapai 7,33 juta ton. Jumlah produksi
kelapa sawit Indonesia pada tahun 2015 mencapai 6,85% atau sebesar 2 juta on dibanding
tahun sebelumnya.

Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia selama enam tahun terakhir
cenderung menunjukkan peningkatan, naik sekitar 2,77 sampai dengan 11,33% per tahun.
Pada tahun 2010 perkebunan kelapa sawit Indonesia tercatat seluas 8,55 juta hektare,
meningkat menjadi 10,75 hektare pada tahun 2014 atau terjadi peningkatan 25,80%.
Pada tahun 2015 luas areal perkebunan kelapa sawit meningkat sebesar 5,07% dari tahun
2014 menjadi 11,30 juta hektare.

Sumber: BPS Indonesia


Luas lahan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Namun sayangnya, peningkatan lahan perkebunan kelapa sawit di Riau
mengakibatkan degradasi lingkungan dan alih fungsi lahan hutan. Proses deforestasi dan
degradasi hutan alam di Provinsi Riau berlangsung sangat cepat. Selama kurun waktu 24
tahun (1982-2005) Provinsi Riau sudah kehilangan tutupan hutan alam seluas 3,7 hektare.
Hingga tahun 2005 hutan alam yang tersisa hanya 2,743,198 ha (33%) dari luasan daratan
Riau. Provinsi Riau merupakan wilayah yang memiliki lahan gambut yang terluas di
Sumatera 4,044 hektare (56,1% dari luas lahan gambut Sumatera atau 45% dari luas daratan
Provinsi Riau).

Sumber: BPS Indonesia


Sumber: BPS Indonesia
Untuk itu, kami tertarik untuk meneliti dampak dari peningkatan perkebunan kelapa
sawit di Provinsi Riau terhadap Kerusakan lahan gambut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana dampak peningkatan luas perkebunan kelapa sawit terhadap penurunan
jumlah lahan gambut di Provinsi Riau?
2. Bagaimana bentuk deforestasi perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau?

1.3 Tujuan Penilitian


1. Untuk mengetahui dampak peningkatan luas perkebunan kelapa sawit terhadap
penurunan jumlah lahan gambut di Provinsi Riau?
2. Untuk mengetahui bentuk deforestasi perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Kriteria Lahan Gambut


Gambut termasuk tanah organik karena terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan
yang setengah membusuk, oleh karena itu kandungan bahan organiknya tinggi. Pada
umumnya tanah gambut berwarna coklat tua sampai kehitaman, karena mengalami
dekomposisi muncul senyara-senyawa humik berwarna gelap.
Menurut Badan Penelitian Tanah (Balittanah), lahan gambut didefinisikan sebagai
lahan dengan tanah jenuh air, terbentuk dari endapan yang berasal dari penumpukan sisa-sisa
(residu) jaringan tumbuhan masa lampau yang melapuk, dengan ketebalan lebih dari 50 cm.
Sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang
Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit ditentukan kriteria lahan
gambut untuk kebun kelapa sawit, yaitu:
1. Berada pada kawasan budidaya
Kawasan budidaya dimaksud dapat berasal dari kawasan hutan yang telah dilepas dan/
atau areal penggunaan lain (APL) untuk usaha budidaya kelapa sawit.
2. Ketebalan lapisan gambut kurang dari tiga meter
Lahan gambut yang dapat digunakan untuk budidaya kelapa sawit yaiu dalam bentuk
hamparan yang mempunyai ketebalan gambut kurang dari tiga meter dan proporsi lahan
dengan ketebalan gambutnya kurang dari tiga meter minimal 70% dari luas areal yang
diusahakan.
3. Lapisan tanah mineral di bawah gambut
Substratum menentukan kemampuan lahan gambut sebagai media tumbuh tanaman.
Lapisan tersebut tidak boleh terdiri dari pasir kuarsa dan tanah sulfat masam.
4. Tingkat kematangan gambut
Areal gambut yang boleh digunakan adalah gambut matang (saprik) dan gambut
setengah matang (hemik) sedangan gambut mentah dilarang untuk pengembangan
buddaya kelapa sawit.
5. Tingkat kesuburan tanah
Tingkat kesuburan tanah dalam kategori eutropik, yaitu tingkat kesuburan gambut
dengan kandungan unsur hara makro dan mikro yang cukup untuk budidaya kelapa sawit
sebagai pengaruh luapan air sungai dan/ atau pasang surut air laut.
2.2 Sifat dan Ciri Lahan Gambut
Topografi lahan gambut tropik pada umumnya berbentuk kubah (dome). Dari pinggir
ke arah tengah makin mendekati pncak kubah, permukaan lahan makin meningkat dengan
kemiringan 0,1%. Perbedaan tinggi permukaan di lahan gambut berhubungan erat dengan
ketebalan gambut. Informasi perbedaan tinggi permukaan (topografi) ini penting dalam
rencana jaringan tata air, termasuk penentuan dimensi ukuran saluran dan arah saluran.
Dengan demikian, kekeringan akibat pengatusan berlebihan atau banjir pada saat musim
hujan dapat dihindari (Noor, dalam Saragih,2014).
Anasir penting iklim di kawasan gambut tropik adalah curah hujan, suhu, dan
kelembapan. Curah hujan di lahan gambut dan rawa umumnya cukup tinggi , yakni antara 2
000 4 000 mm per tahun. Curah hujan bulanan rata-rata > 200 mm dengan bulan basah
antara 6 11 bulan yang jatuh antara bulan September hingga bulan Mei. Suhu permukaan
gambut hampir tetap. Jika keadaan tertutup hutan, suhu gambut berkisar 27.5 0 C 29.0 0 C
dan jika keadaan terbuka berkisar 40.0 0 C 42.5 0 C. Suhu yang tinggi pada keadaan
terbuka akan merangsang aktivitas mikroorganisme sehingga perombakan gambut dipercepat
dan intensif, sehingga mempercepat terjadi degradasi lahan.
Lahan gambut dalam keadaan alami selalu basah dan sebagian secara permanen dalam
keadaan tergenang air. Sifat dan keadaan tata air lahan gambut dipengaruhi oleh perilaku
pasang surut sungai/laut, iklim, dan topografi. Menurut pengaruh luapan pasang yang terjadi,
sebagian lahan gambut berada di wilayah terluapi secara langsung oleh pasang dan sebagian
lepas dari pengaruh pasang.
Kawasan gambut umumnya membentuk kubah sehingga ketebalan gambut mendekati
tepi air atau pingir (sungai) makin tipis. Daur ulang (recycling) hara ke lapisan atas sangat
sedikit dan terbatas. Oleh karena itu, pertumbuhan tanaman perkebunan di lahan gambut tebal
lebih baik daripada tanaman semusim. Lapisan bawah gambut dapat berupa lapisan lempung
marin atau pasir. Gambut yang terhampar di atas pasir kuarsa mempunyai kesuburan lebih
rendah dibandingkan dengan yang berada di atas lapisan lempung marin. Lapisan lempung
marin umumnya mengandung pirit (FeS2) sehingga jika lapisan atas gambut ini terkuras
habis, misalnya akibat budidaya yang intensif atau terbakar, maka dapat terbentuk tanah
sulfat masam. Penurunan muka tanah (subsidence) yang terjadi di tanah gambut sangat
tergantung pada intensitas kegiatan budidaya dan pengatusan. Besar kecilnya amblesan
dipengaruhi oleh tingkat kematangan gambut, umur reklamasi, dan ketebalan lapisan gambut.
Amblesan dapat ditekan dengan mempertahankan muka air tanah.
Gambut memiliki berat volume rendah, porositas tinggi, dan daya tambat air (water
holding capacity) sangat tinggi. Gambut di Indonesia rata-rata memiliki berat volume antara
0.07 sampai 0.27 g/cm3, porositas berkisar 83.62 sampai 95.13 persen dan kandungan air
dapat mencapai 1 272 persen. Semakin menurun BV tanah gambut akan diikuti secara linear
oleh peningkatan porositas tanah dan kandungan air tanah kapasitas jenuh. Pori-pori tanah
dalam keadaan tergenang akan diisi oleh air, sehingga semakin tinggi porositas tanah maka
akan semakin tinggi air yang akan ditambat pada tanah gambut. Karena berat volume gambut
yang rendah maka daya dukung (bearing capacity) tanah gambut juga rendah. Daya hantar air
(hydraulic conductivity) tanah gambut ke arah vertikal sangat rendah sedangkan ke arah
lateral relatif tinggi. Selain itu, gambut memiliki sifat kering tak balik sehingga perlu
pengelolaan yang baik terutama pengelolaan muka air tanah.
Tanah gambut sebagian besar bereaksi masam sampai sangat masam dengan pH < 4.
Kandungan N total tinggi tetapi tidak tersedia bagi tanaman, karena rasio C/N yang tinggi
juga sehingga tanaman bersaing dengan mikroorganisme. Kandungan unsur hara Mg tinggi,
sementara P dan K rendah. Kandungan unsur hara mikro terutama Cu, B, Zn sangat rendah.
Daya sangga (buffering capacity) air tinggi. Oleh karena itu perlu ameliorasi tanah gambut
untuk mengatasi tingginya kemasaman tanah dan buruknya kesuburan tanah yang merupakan
dua faktor pembatas dalam meningkatkan produktivitas lahan gambut.
2.3 Perkebunan Kelapa Sawit pada Lahan Gambut
Pengelolaan tata air merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam pengusahaan
lahan gambut. Pengelolaan tata air pada lahan gambut sebaiknya dengan mempertahankan
muka air tanah 50 cm 70 cm dari permukaan tanah. Hal ini dikmaksudkan untuk
mempertahankan gambut agar tidak kering dan mudah terbakar. Untuk mempertahankan
muka air tanah dapat dilakukan dengan membuat pintu air (Barchia, dalam Saragih, 2015).
Emisi CO2 dari lahan gambut diperkirakan sekitar empat kali emisi dari lahan mineral
karena luas lahan gambut yang hanya sekitar 12% dari total luas daratan Indonesia. Hal ini
disebabkan tingginya cadangan karbon lahan gambut dan mudahnya karbon tersebut teremisi
apabila dilakukan deforestasi, drainase serta pembakaran (Agus, dalam Saragih, 2015).
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa emisi CO2 lahan gambut yang masih hutan
(hutan gambut, hutan gambut sekunder), lebih tinggi daripada emisi CO2 lahan gambut yang
sudah dijadikan pertanian (sawah, kelapa sawit). Bahkan emisi CO2 dari perkebunan kelapa
sawit gambut lebih rendah dari emisi CO2 sawah gambut maupun hutan gambut. Bahkan
hasil studi Melling et al. (2007) mengungkapkan bahwa secara netto perkebunan kelapa sawit
di lahan gambut 5 dalam (deep peat land) bukan sumber emisi maupun penyerap CO2 (bila
dikoreksi emisi CO2 dari dekomposisi dan respirasi mikroorganisme yang secara alamiah ada
di lahan gambut). Rataan emisi CO2 55 ton/ha/tahun lebih rendah daripada emisi hutan
gambut tropis 78.5 ton/ha/tahun (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia 2013).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor
(dalam Hendra, 2012) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan perilaku yang diamati.
Adapun metode yang digunakan untuk mendapatkan data adalah dengan metode
penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang yang dilakukan dengan
mengumpulkan buku-buku, jurnal-jurnal, maupun sumber data tertulis lainnya yang
berhubungan dengan topik penelitian.
Penelitian ini hanya menggunakan data sekunder yaitu sumber data penulisan yang
diperoleh secara tidak langsung melalui media perantara. Prosedur pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan melalui studi literatur dan pengumpulan data. Data-data yang
digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari BPS Indonesia, Kementerian Pertanian,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta studi literatur berhubungan dengan
topik pembahasan yang diangkat dalam penelitian.
DAFTAR PUSTAKA

Balai Penelitian Tanah. Karakteristik Lahan Gambut, dalam


http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/en/berita-terbaru-topmenu-
58/937-gamb4 . Diunduh pada Sabtu, 9 September 2017.
BPS Indonesia. 2015. Statistik Kelapa Sawit Indonesia.Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Carlson, et al. 2012. Committed carbon emissions, deforestation, and community land
conversion from oil palm plantation expansion in West Kalimantan, Indonesia.
Proceeding of the National Academy of Sciences 2012 Vol. 109 No.19.
Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2009. Peraturan Menteri Pertanian Nomor
14/Permentan/PL.110/2/2009 Tahun 2009, dalam http://ppvt.setjen.deptan.go.id.
Diunduh pada Sabtu, 9 September 2017.
Saragih, Jastri Mey. 2015. Pengelolaan Lahan Gambut di Perkebunan Kelapa Sawit di
Kebun Teluk Bakau, PT Bhumireksa Nusa Sejati, Minamas Plantation, Riau (Skripsi).
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Suwondo, et al. 2012. Efek Pembukaan Lahan terhadap Karakteristik Biofisik Gambut pada
Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Bengkalis.Jurnal Natur Indonesia No. 14 Vol 2
Hal 143-149.

Anda mungkin juga menyukai