Anda di halaman 1dari 4

Indra, Akal, dan Hati

Teori atau filsafat pengetahuan tidak dapat menghindarkan pembahasanya tentang sumber
pengetahuan tempat bahan-bahanya diperoleh. Sumber-Sumber itu, menurut epistimologi
islam, tak lain adalah indra, akal dan hati (intuisi). Marilah kita mulai dengan indra. Sebagai
sumber atau ada yang mengatakan alat-pengetahuan, indra tentu amat penting. Begitu
pentingnya indra sehingga oleh aliran filsafat tertentu, seperti empirisme, indra dipandang
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Melalui indralah kita mengenal dunia sekeliling
kita. Melalui mata, kita bisa mengetahui bentuk, keberaaan, sifat-sifat atau karakteristik
benda-benda yang ada di dunia. Melalui telinga, kita juga bisa mengenal dimensi lain dari
objek-objek fisik yang tidak bisa diserap oleh mata, yaitu suara. Demikian juga, melalui indra
perasa, kita bisa mengenal dimensi lain dari objek-objek dunia, yaitu rasa (masam, asin,
manis, pedas dan lain-lain) yang tentunya tidak dapat dilihat atu didengar oleh mata dan
telinga. Tak kurang pentingnya juga adalah indra pencium yag dapat meresap dari aspek-
aspek lain dari objek fisik yang tidak bisa didengar, atau dirasa, yaitu bau yang
menyebabkan kita bisa membedakan antara harum bunga, parfum dan bau busuk bangkai.
Seperti indra pencium indra peraba juga sangat penting karena bisa membedakan antara
panas dan dingin, lunak, halus dan kasar, yang tentunya tidak bisa diserap oleh indra-indra
lain.

Namun, sebelum membahas indra sebagai sumber pengetahuan, ada baiknya kita
singgung sedikit tentang fungsi lain dari indra yaitu sebagai alat adaptasi dengan lingkungan
dan sebagai alat pertahanan hidup (survival). Mata, misalnya sangat berguna untuk
mengamati bahaya yang mungkinakan mengancam nyawa, seperti tertabrak kendaraan
bermotor, terbakar oleh api, atau terjerambab kedalam parit dan dengan itu kita bisa
mengambil tindakan seperlunya untuk menyelamatkan diri. Telinga juga sangat berfungsi
untuk menghindari bahaya serupa, misalnya dengan mendengar suara klakson mobil ketika
mata, karena satu dan lain hal, tidak bisa melihatnya. Demikian juga indra manusia yang lain,
seperti indr perasa untuk menghindari dari dari memakan benda-benda yang sudah
membusuk atau beracun, dan sebagainya. Dengan demikian, kita sadar bahwa indra berfungsi
tidak hanya sebagai sumber pengetahuan, tetapi juga alat yang sangat diperlukan untuk
menghindari diri dari bahaya, atau dengan kata lain, panca indra merupakan instrumen untuk
kelangsungan hidup.
Marilah sekarang kita beralih pada indra sebagai sumber pengetahuan. Sepintas lalu,
tampak indra telah mencukupi kebutuhan kita akan pengetahuan karena melalui panca indra,
kita bisa mengenal lima dimensi dari sebuah benda yang akan mati. Dan seperti yang telah
disinggung,persepsi indra telah cukup memadai untuk menghindari diri dari banyak bahaya
yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup. Pertanyaanya sekarang adalah apakah
indra telah cukup memasok kebutuhan kita akan ilmu sebagai pengetahuan tentang sesuatu
sebagaimana adanya? Apakah misalnya penglihatan kita telah mampu memberi kita
pengetahuan tentang sebuah benda, katakanlah, langit, bulan, atau bintang? Sepintas kita
akan menjawab ya. Misalnya, kita bisa mengatakan bahwa langit itu biru, bulan itu bulat
pipih seperti piring, atau bintang itu kecil. Namun, apakah penglihatankita melaporkan
benda-benda itu sendiri sebagaimana adanya, atau semata-mata kesan yang terserap oleh
mata kita belaka? Apakah kesan indrawi kita itu sama dengan kenyataan? Ternyata, dengan
pertanyaan yang sedikit kritis terhadap pengetahuan indra, kita tahu bahwa kesan indra itu
tidaklah sesuai dengan keadaan benda itu sebagaimana adanya. Bahawa bintang itu kecil,
jelas keliru karena bintang yang jauh lebih besar dibandingkan matahari, seperti Vega dan
Betelguese dan konstalasi Orion.2 Kita juga akan karena menduga bahwa warna langit itu
biru, padahal langit itu sendiri tidak jelas apa definisinya. Indra kita menegaskan bahwa
langit itu seperti kubah besar yang dapat dilihat dari dalam dengan binang-bintang dan bulan
menempel disana. Tentu saja, itu tidak sebagaimana adanya karena yang kita sebut langit itu
adalah ruang angkasa yang tidak terukur jauhnya yang dapat ditangkap oleh indra penglihatan
kita. Berdasarkan penglihatan, kita akan menduga bahwa bintang yang kita lihat berkelip-
kelip dilangit ada disana pada saat melihatnya, padahal, menurut pendidikan ilmiah bisa
sajabintang yang kita lihat sekarang telah sirna, karena bisa jadi bahwa cahaya bintang yang
kita lihatsekarang adalah cahaya yang terpancar dari bintangitu jutaan tahun yang lalu karena
bintang beranjak jauh memang membutuhkan jutaan tahun untuk membuat sampai ke mata
kita.3 Jadi jelas bahawa kesan yang kita tertangkap jauh berbeda dengan keadaan sebenarnya.

Kesan keliru separti itu tentu tidak hanya milik penglihatan kita tetapi juga diderita
oleh pendengaran (telinga). Suara dentuman bom dan gnung berapi yang kita dengar pada
pukul 10.06, misalnya belum tentu terjadi pada saat kita mendengarnya, sebab gelombang
suara membutuhkan waktu beberapa saat untuk mencapai telinga kita,4 mungkin hanya
beberapa detik atau 1-4 menit. Selain itu , kita juga tahu bahwa tidak semua gelombang suara
dapa didengar (atau diterjemahkan oleh sel-sel saraf telinga sebagai suara ) karena telinga
kita hanya mampu mendengar gelombang suara yang berfrekuensi tertentu saja,5 dan bukan
gelombang suara yang jauh diluar batas frekuensi pendengaran kita. Apalagi jika telinga kita
mengalami gangguan, bisa saja gelombang suara pendengaranpun tidak dapat ditangkap.
Seperti halnya telinga, penglihatan kita juga hanya bisa menangkap gelombang cahaya
dengan frekuensi tertentu sehingga gelombang cahaya yang jatuh diluar frekuensi penglihatan
tidak akan dapat kita lihat, sekalipun sebenarnya meraka itu ada, seperti sinar kosmik, sinar
gama, sinar X, ultraviolet, dan bahkan infra merah.6

Dari dua contoh diatas, saya berharap kita menjadi sadar betapa indra kita, yang
sepintas telah cukup memberi kita pengetahuan (informasi) tentang benda-benda indrawi,
ternyata tidak memadai untuk mengetahui sesuatu sebagaimana adanya. Oleh karena itu, kita
membutuhkan bantuan alat atau sumber lain untuk pengetahuan kita tentang suatu
sebagaimana adanya. Al-ghazali (w.1111 M) dalam kitabnya Misykat Cahaya-Cahaya,
memandag akal lebih patut disebut cahaya daripada indra.7 Dengan kata lain, akal lebih
patut disebut sebagai sumber ilmu daripada indra. Misalnya, dengan indra, kita dapat melihat
bulan separuh saja pada suatu saat. Mata tidak membuktikan adanya paruh lain dari bulan
yang tidak terlihat. Dalam hal ini, hanya akallah yang dapat menyempurnakan bentuk bulan
itu sebagai bola atau sferik. Demikian juga, akallah-dengan memakai ukuran tertentu yang
dapat menaksir dan menunjukan dengan logika atau model matematika, ukuran sebuah
planet, bintang, matahari atau keliling bumi, seperti yang telah dilakukan oleh Al-Biruni,
ilmuan Muslim pada abad ke-11.8 Dengan akal jugalah kita dapt menyatakan bahwa pensil
dalam gelas yang penuh air itu lurus sekalipun tampak pada pandangan kita bengkok karena
bias.

Namun sebelum melanjutkan pembahasan tentang akal sebagai sumber ilmu, ada
baiknya juga kita membahas kecakapan-kecakapan mental lain yang dalam epistimologi
islam disebut panca indra batin- yang cukup efektif dalam membantu fungsi esensial akal.
Yang pertama, dari panca indra batinitu disebut Indra Bersama (al-hiss al-mustarak). Mata
boleh bisa melihat, telinga boleh bisa mendengar, kulit bisa meraba, hidung bisa mencium,
dan lidah bisa merasa tetapi kecakapan mereka bersifat individual atau perisal. Tidak ada
satu pun dari alat-alat indra tersebut yang dapat menyatukan atau mengoordinasikan data-data
indrawi spesifik tersebut secara sintesis. Namun, karena dalam kenyaaanya kita dapat
mengenali data-data indrawi tersebut secara sintesis dan utuh, harus ada kecakapan lain diluar
kecakapan lain diluar kecakapan panca indra lain yang mampu menjalankan fungsi tersebut.
Inilah yang disebut oleh Ibn Sina dengan al-hiss al-mustarak (indra bersama/common
senses).9 Indra batin inilah yang menyebabkan sebuah objek indrawi muncul sebagai sebuah
kesatuan yang utuh dengan segala dimensinya dan tidak lagi data parsial yang biasa
disumbangkan leh tiap indra lahir.

Kedua, khayal atau daya imajinasi retentif. Seperti tadi, mata boleh melihat atau
menangkap bentuk objek (termasuk warnanya) dengan sangat mengesankan; telinga boleh
bisa melepaskan atau merekam apa-apa yang mereka tangkap. Seperti Kamera, mata bisa
melihat objek-objek yang dicerapnya dengan baik, tetapi mata memiliki tombol record seperti
yang dimiliki kamera. Fungsi tersebut diambil alih atau dimainkan secara sempurna, oleh
indra batin lain yang disebut Ibnu Sina dengan al-khayal atau daya imajinasi retentif
10
(retentive imaginative faculty). Khayal, dengan demikian, merupakan daya yang bisa
melestarikan bentuk yang ditangkap oleh mata atau suara yang ditangkap oleh telinga, dan
pencerapan-pencerapan indra lainya. Daya ini sangat penting katena tanpa adanya daya
khayal seperti ini kita takan pernah bisa mengingat wajah istri dan putra-putri kita dan jika
hal tersebut terjadi, tak bisa dibayangkan akibatnya, kita seperti orang yang kehilangan
ingatan.

Indra batin ynag ketiga disebut daya estimasi (wahm). Pancaindra lahir kita bisa
menangkap dimensi-dimensi benda dengan cukup rumit, tetapi mereka tidak bisa menangkap
maksud yang terembunyi sebuah benda. Fungsi itu hanya bisa dilaksanakan oleh apa yang
11
disebut oleh Syeikh Al-Ra is sebagai wahm (estimative faculty). Indra batin yang satu
inilah yang dapat menilai apakah, misalnya, sebuah benda tersebut jika berbahaya, maupun
untuk mendekatinya jika bermanfaat. Tentu saja, keduanya sangat diperlukan untuk survival
atau kelangsungan hidup kita. Maksud (intention) sebagai aspek batin dapat ditangkap oleh
wahm. Arti penting wahm ini-terutama untuk tujuan praktis dan dalam kaitan

Anda mungkin juga menyukai