Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Nyeri

2.1.1. Definisi Nyeri

The International Association for the Study of Pain (Townsend,

2008), mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman sensori dan

emosional yang tidak nyaman yang berhubungan dengan kerusakan

jaringan aktual dan potensial. Perasaan yang tidak nyaman tersebut

sangat bersifat subjektif dan hanya orang yang mengalaminya yang

dapat menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut (Mubarak &

Chayatin, 2007). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Smeltzer

dan Bare (2001) bahwa nyeri adalah pengalaman sensori dan

emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan

yang aktual dan potensial, menyakitkan tubuh, serta diungkapkan oleh

individu yang mengalaminya. Sedangkan menurut Barbara dan Joan

(1983), nyeri diartikan sebagai suatu fenomena biopsikososial yang

kompleks. Nyeri tidak hanya ditunjukkan sebagai nilai yang negatif

yang terjadi di tubuh, tetapi nyeri sering ditunjukkan sebagai tanda

atau peringatan bahwa ada suatu kerusakan jaringan di tubuh.

Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah

suatu perasaan tidak nyaman yang bersifat subjektif dan tidak dapat

dilihat atau dirasakan orang lain, yang diungkapkan oleh individu yang

Universitas Sumatera Utara


merasakannya, serta berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual

dan potensial. Oleh karena itu tenaga medis harus mempercayai

apapun yang dikatakan pasien tentang nyeri yang dirasakannya, karena

sifat subjektif dari nyeri ini.

2.1.2. Klasifikasi Nyeri

Nyeri diklasifikasikan atas dua bagian, yaitu (1) nyeri akut dan (2)

nyeri kronis (Berger, 1992). Nyeri akut dapat dideskripsikan sebagai

suatu pengalaman sensori, persepsi, dan emosional yang tidak nyaman

yang berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan, yang

disebabkan oleh kerusakan jaringan dari suatu penyakit seperti pada

luka yang diakibatkan oleh kecelakaan, operasi, atau oleh karena

prosedur terapeutik (Lewis, 1983). Nyeri akut biasanya mempunyai

awitan yang tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan cedera spesifik.

Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi.

Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistematik,

nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan terjadinya penyembuhan.

Nyeri akut umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan biasanya

kurang dari satu bulan. Cedera atau penyakit yang menyebabkan nyeri

akut dapat sembuh secara spontan atau memerlukan pengobatan

(Smeltzer & Bare, 2001).

Nyeri kronik merupakan nyeri berulang yang menetap dan terus

menerus yang berlangsung selama enam bulan atau lebih. Nyeri kronis

dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan

Universitas Sumatera Utara


sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan

respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya.

Meskipun tidak diketahui mengapa banyak orang menderita nyeri

kronis setelah suatu cedera atau proses penyakit, hal ini diduga bahwa

ujung-ujung syaraf yang normalnya tidak mentransmisikan nyeri

menjadi mampu untuk memberikan sensasi nyeri, atau ujung-ujung

syaraf yang normalnya hanya mentransmisikan stimulus yang sangat

nyeri menjadi mampu mentransmisikan stimulus yang sebelumnya

tidak nyeri sebagai stimulus yang sangat nyeri (Smeltzer & Bare,

2001).

2.1.3. Fisiologi Nyeri

Struktur spesifik dalam sistem syaraf terlibat dalam mengubah

stimulus menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi

dan persepsi nyeri disebut sebagai sistem nosiseptif. Reseptor nyeri

(nosiseptor) adalah ujung syaraf bebas yang pertama sekali merasakan

nyeri. Jejas atau stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor

untuk melepaskan zat-zat kimia, yaitu prostaglandin, histamine,

bradikinin, asetilkolin, dan substansi P (Smeltzer & Bare, 2001). Zat-

zat kimia ini mensensitisasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls

nyeri ke otak. Ada dua jenis ujung syaraf bebas yang termasuk dalam

nosisepsi, yaitu (1) serabut A-delta, adalah serabut halus, bermielin,

dan merupakan serabut hantaran cepat yang membawa sensasi tusukan

tajam. Serabut-serabut ini membantu kita untuk menentukan lokasi dan

Universitas Sumatera Utara


intensitas nyeri. (2) Serabut C, adalah serabut syaraf yang tidak

dibungkus oleh mielin. Serabut ini halus dan hantarannya lambat serta

bertanggung jawab terhadap nyeri tumpul, menyebar, dan persisten

(Taylor, 2009).

Nyeri pada insisi pada awalnya diperantarai oleh serabut A-delta,

tetapi beberapa menit kemudian nyeri menjadi menyebar akibat

aktifasi serabut C. Impuls nyeri dibawa oleh serabut A-delta perifer

dan dihantarkan langsung ke substansia gelatinosa pada akar dorsal

sum-sum tulang belakang, kemudian konduksi lambat serabut C

membuat durasi impuls rasa sakit menjadi lebih lama (Alexander &

Hill, 1987).

Impuls sensori/ eferen memasuki akar dorsal sumsum tulang

belakang, membentuk sinaps kimia dengan menggunakan

neurotransmiter (seperti substansi P). Impuls nyeri berpindah ke sisi

yang berlawanan dari sumsum tulang belakang dan merambat ke otak

melalui sistem spinotalamus. Sistem spinotalamus bersinapsis di

thalamus dan impuls disampaikan ke korteks serebral dimana stimulus

nyeri diinterpretasikan. Ketika transmisi nyeri dikirim ke otak,

individu merasakan nyeri. Beberapa impuls nyeri berakhir langsung di

neuron motorik melalui arkus reflex di sumsum tulang. Neuron

motorik kemudian muncul dari kornu anterior sumsum tulang belakang

untuk mengaktifkan struktur yang sesuai seperti, bila seseorang

menyentuh permukaan yang panas, sinyal nyeri diubah menjadi impuls

Universitas Sumatera Utara


motorik yang merangsang tangan menjauh dari sumber panas (Potter &

Perry, 2009).

Persepsi nyeri dalam tubuh diatur oleh substansi yang dinamakan

neuroregulator. Substansi ini mempunyai aksi rangsang dan aksi

hambat. Substansi P adalah salah satu contoh neurotansmiter dengan

aksi merangsang. Ini mengakibatkan pembentukan aksi potensial, yang

menyebabkan hantaran impuls dan mengakibatkan pasien merasakan

nyeri. Serotonin adalah salah satu contoh neurotransmiter dengan aksi

menghambat. Serotonin mengurangi efek dari impuls nyeri. Substansi

kimia lainnya mempunyai efek inhibitor terhadap transmisi nyeri

adalah endorfin dan enkafelin. Substansi ini bersifat seperti morfin

yang diproduksi oleh tubuh. Endorfin dan enkafelin ditemukan dalam

konsentrasi yang tinggi dalam sistem syaraf pusat. Kadar endorfin dan

enkafelin setiap individu berbeda. Kadar endorfin ini dipengaruhi oleh

berbagai faktor seperti ansietas. Hal ini akan berpengaruh juga

terhadap perasaan nyeri seseorang. Walaupun stimulusnya sama, setiap

orang akan merasakan nyeri yang berbeda. Individu yang mempunyai

kadar endorfin yang banyak akan merasakan nyeri yang lebih ringan

daripada mereka yang mempunyai kadar endorfin yang sedikit

(Smeltzer & Bare, 2001).

2.1.4. Teori Nyeri

Dari beberapa hasil penelitian, mekanisme respons nyeri yang tepat

masih merupakan misteri. Namun ada tiga teori nyeri yang

Universitas Sumatera Utara


dikemukakan, yaitu specificity theory, pattern theory, dan gate control

theory.

a. Teori Spesificity

Teori specificity menyatakan bahwa ada ujung syaraf spesifik di

tubuh yang menerima rangsangan hanya dari rangsangan nyeri.

Ketika reseptor nyeri menerima stimulus, sebuah impuls

ditransmisikan di sepanjang jalur nyeri spesifik kemudian

diterjemahkan di pusat nyeri, yaitu thalamus (Berger, 1992; Lewis,

1983).

b. Teori Dasar

Teori dasar mengasumsikan bahwa tipe tertentu dari stimulus pada

reseptor yang nonspesifik akan menyampaikan sekumpulan impuls

ke jalur neuron untuk menghasilkan dasar yang diinterpretasikan

oleh otak sebagai nyeri. Rangsangan ini digabungkann dalam akar

dorsal sumsum tulang belakang untuk menghasilkan intensitas

tertentu dari rangsangan nyeri (Berger, 1992; Lewis, 1983).

c. Teori Gate-Control

Teori ini dikemukakan oleh Melzack & Wall (1965). Teori ini

menggambarkan bagaimana neuron akar dorsal dari sumsum tulang

belakang berperan sebagai gerbang yang mengatur penyampaian

impuls nyeri ke otak (Berger, 1992; Lewis, 1983).

Menurut Melzack & Wall (1965 dalam Berger, 1992), teori Gate-

Control mengasumsikan bahwa akar dorsal dari sumsum tulang

Universitas Sumatera Utara


belakang yang dikenal sebagai substansia gelatinosa berperan sebagai

pintu gerbang yang dapat meningkatkan atau menurunkan rangsang

nyeri dari syaraf perifer ke otak. Gerbang ini terbuka atau tertutup

tergantung input dari serabut syaraf besar dan kecil. Peningkatan

aktifitas serabut syaraf kecil akan membuka gerbang, dan

menyebabkan sensasi nyeri sampai ke otak. Sebaliknya, peningkatan

aktifitas serabut syaraf besar akan menutup pintu gerbang sehingga

sensasi nyeri tidak sampai ke otak. Melzack & Wall (1965 dalam

Berger, 1992) juga menggambarkan pengaruh kognitif terhadap

persepsi nyeri. Umur, kecemasan, pengalaman nyeri sebelumnya,

perhatian, harapan, jenis kelamin, latar belakang budaya, status sosial

ekonomi, semuanya mempunyai pengaruh terhadap persepsi nyeri

(Berger, 1992). Persepsi nyeri merupakan interpretasi individu

terhadap stimulus nyeri, dimulai ketika individu pertama sekali

merasakan nyeri (Berger, 1992).

Gambar 2.1
Mekanisme Teori Gate-Control (Mubarak & Chayatin, 2007)
Kontrol Sentral

Serabut tebal (besar)

Medula
Rangsangan Nyeri SG T Spinalis
otak

Serabut halus
Gate Control System

Universitas Sumatera Utara


Keterangan :

SG: Sel di dalam substansi gelatinosa

T : Sel transmisi sentral (Sel T) terletak di dalam akar belakang (radiks

posterior)

+ : Efek menguat

: Efek menekan

2.1.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Nyeri merupakan suatu keadaan yang kompleks yang dipengaruhi

oleh faktor fisiologi, spiritual, psikologis, dan budaya. Setiap individu

mempunyai pengalaman yang berbeda tentang nyeri. Faktor-faktor

yang dapat mempengaruhi nyeri adalah sebagai berikut:

a. Faktor Fisiologi

Faktor fisiologi yang mempengaruhi nyeri terdiri dari (1) umur,

(2) jenis kelamin, (3) kelelahan, (4) gen dan (5) fungsi neurologi.

Umur mempengaruhi persepsi nyeri seseorang karena anak-anak

dan orang tua mungkin lebih merasakan nyeri dibandingkan dengan

orang dewasa muda karena mereka sering tidak dapat

mengkomunikasikan apa yang mereka rasakan. Anak-anak belum

mempunyai perbendaharaan kata yang cukup sehingga mereka sulit

untuk mengungkapkan nyeri secara verbal dan sulit untuk

mengekspresikannya kepada orang tua ataupun perawat. Pada orang

tua, nyeri yang mereka rasakan sangat kompleks, karena mereka

umumnya memiliki berbagai macam penyakit dengan gejala yang

Universitas Sumatera Utara


sering sama dengan bagian tubuh yang lain. Oleh karena itu,

perawat harus teliti melihat dimana sumber nyeri yang dirasakan

pasien (Taylor, 1997; Potter & Perry, 2009).

Jenis kelamin secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara

bermakna dalam merespons terhadap nyeri (Gill, 1990 dikutip dari

Potter & Perry, 2005). Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja

yang merupakan suatu faktor dalam pengekspresian nyeri. Beberapa

kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin misalnya,

menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak

boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam

situasi yang sama (Potter & Perry, 2005).

Begitu juga dengan kelelahan, seseorang yang merasakan

kelelahan akan terfokus terhadap pengalaman nyerinya. Jika

kelelahan terjadi disepanjang waktu istirahat, persepsi nyeri yang

dirasakan pasien akan meningkat. Nyeri merupakan pengalaman

yang sering dirasakan setelah istirahat daripada menghabiskan

waktu sepanjang hari (Berger, 1992; Potter & Perry, 2009).

Penelitian kesehatan mengungkapkan bahwa informasi genetik

yang diturunkan oleh orang tua kemungkinan dapat meningkatkan

atau menurunkan sensitifitas nyeri. Genetik mempunyai

kemungkinan untuk dapat menentukan ambang batas nyeri

seseorang atau toleransi seseorang terhadap nyeri (Potter & Perry,

2009). Fungsi neurologi juga dapat mempengaruhi pengalaman

Universitas Sumatera Utara


nyeri seseorang. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi

normal dari nyeri (seperti cedera spinal cord, neuropati perifer, atau

penyakit neurologi) sebagai efek kewaspadaan dan respons pasien

(Potter & Perry, 2009).

b. Faktor Sosial

Faktor sosial yang mempengaruhi nyeri terdiri dari (1) perhatian,

(2) pengalaman nyeri sebelumnya, dan (3) keluarga dan dukungan

sosial. Peningkatan perhatian dihubungkan dengan peningkatan

nyeri (Carrol & Seers, 1998 dalam Potter & Perry, 2009). Seseorang

yang memfokuskan perhatiannya terhadap nyeri akan

mempengaruhi persepsinya. Konsep ini merupakan salah satu hal

yang dapat dilihat perawat dari beberapa nyeri yang dirasakan

pasien sehingga perawat dapat memberikan intervensi yang tepat

seperti relaksasi, massase, dan lain sebagainya. Namun dengan

memfokuskan perhatian terhadap stimulus yang lain, dapat

menurunkan persepsi nyeri (Potter & Perry, 2009). Pengalaman

nyeri sebelumnya juga berpengaruh terhadap persepsi nyeri individu

dan kepekaannya terhadap nyeri. Karena setiap orang belajar dari

pengalaman nyeri sebelumnya. Jika sebelumnya seseorang pernah

mengalami nyeri tanpa adanya pertolongan, maka nyeri yang

dirasakannya saat ini akan dipandangnya sebagai suatu kecemasan

dan ketakutan. Dengan kata lain, jika pengalaman nyeri sebelumnya

dapat diterima dengan koping yang baik, maka individu tersebut

Universitas Sumatera Utara


mungkin dapat lebih baik mempersiapkan dirinya dengan peristiwa

nyeri yang lain (Berger, 1992; Potter & Perry, 2009).

Seseorang yang merasakan nyeri sering bergantung kepada

anggota keluarga atau teman dekat untuk mendukung, menemani,

atau melindunginya. Walaupun nyeri masih ada, kehadiran keluarga

atau teman-teman dapat mengurangi rasa nyeri yang dirasakan

(Potter & Perry, 2009). Misalnya, individu yang sendirian, tanpa

keluarga atau teman-teman yang mendukungnya, cenderung

merasakan nyeri yang lebih berat dibandingkan dengan individu

yang mendapat dukungan dari keluarga dan orang-orang

terdekatnya (Mubarak & Chayatin, 2007).

c. Faktor Spiritual

Spiritual membuat seseorang mencari tahu makna atau arti dari

nyeri yang dirasakannya, seperti mengapa nyeri ini terjadi pada

dirinya, apa yang telah dia lakukan selama ini, dan lain-lain (Potter

& Perry, 2009).

d. Faktor Psikologis

Faktor psikologis yang mempengaruhi nyeri terdiri dari (1)

kecemasan dan (2) koping individu. Kecemasan dapat

meningkatkan persepsi seseorang terhadap nyeri. Ancaman yang

tidak jelas asalnya dan ketidakmampuan mengontrol nyeri atau

peristiwa di sekelilingnya dapat memperberat persepsi nyeri.

Sebaliknya, individu yang percaya bahwa mereka mampu

Universitas Sumatera Utara


mengontrol nyeri yang mereka rasakan akan mengalami penurunan

rasa takut dan kecemasan yang akan menurunkan persepsi nyeri

mereka (Mubarak & Chayatin, 2007). Wall & Melzack (1999 dalam

Potter & Perry, 2009) mengemukakan bahwa stimulus nyeri yang

aktif pada bagian sistem limbik dipercayai dapat mengontrol emosi,

salah satunya adalah kecemasan. Sistem limbik memproses reaksi

emosional terhadap nyeri, dapat meningkatkan ataupun

menurunkannya (Potter & Perry, 2009).

Koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk

memperlakukan nyeri. Seseorang yang mengontrol nyeri dengan

lokus internal merasa bahwa diri mereka sendiri mempunyai

kemampuan untuk mengatasi nyeri. Sebaliknya, seseorang yang

mengontrol nyeri dengan lokus eksternal lebih merasa bahwa

faktor-faktor lain di dalam hidupnya seperti perawat merupakan

orang yang bertanggung jawab terhadap nyeri yang dirasakannya.

Oleh karenan itu, koping pasien sangat penting untuk diperhatikan

(Potter & Perry, 2009).

e. Faktor Budaya

Faktor budaya yang mempengaruhi nyeri terdiri dari (1) makna

nyeri dan (2) suku. Makna dari nyeri yang dirasakan seseorang

dihubungkan dengan pengaruh pengalaman nyeri dan bagaimana

seseorang tersebut mengadaptasikannya. Hal ini sangat

berhubungan dengan latar belakang budaya. Seseorang akan merasa

Universitas Sumatera Utara


nyeri yang berbeda jika mendapatkan sebuah ancaman, kehilangan,

hukuman, atau tantangan (Potter & Perry, 2009).

Budaya mempercayai dan mempengaruhi nilai individu dalam

mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan

diterima oleh budaya mereka, termasuk bagaimana reaksi mereka

terhadap nyeri (Davidhizar & Giger, 2004; Lasch, 2002 dalam

Potter & Perry, 2009).

2.1.6. Efek Membahayakan dari Nyeri

Menurut Smeltzer & Bare (2001), efek membahayakan dari nyeri

dibedakan berdasarkan klasifikasi nyeri, yaitu nyeri akut dan nyeri

kronis. Nyeri akut mempunyai efek yang membahayakan diluar

ketidaknyamanan yang disebabkannya. Selain merasa

ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri akut yang tidak reda dapat

mempengaruhi sistem pulmonary, kardiovaskular, gastrointestinal,

endokrin, dan immunologik (Benedetti dkk; Yeager dkk, 1987, 1984

dikutip dari Smeltzer & Bare, 2001). Pasien dengan nyeri hebat dan

stress yang berkaitan dengan nyeri dapat tidak mampu untuk nafas

dalam dan mengalami peningkatan nyeri dan mobilitas menurun.

Nyeri kronis mempunyai efek yang membahayakan seperti supresi

fungsi imun yang berkaitan dengan nyeri kronis dapat meningkatkan

pertumbuhan tumor. Nyeri kronis juga sering mengakibatkan depresi

dan ketidakmampuan. Pasien mungkin tidak mampu untuk

melanjutkan aktivitas dan melakukan hubungan interpersonal.

Universitas Sumatera Utara


Ketidakmampuan ini dapat berkisar dari membatasi keikutsertaan

dalam aktivitas fisik sampai tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan

pribadi, seperti berpakaian atau makan.

2.1.7. Pengkajian Nyeri

Walaupun tidak dapat diketahui secara pasti bagaimana nyeri

dirasakan oleh pasien, perawat harus mengerti tentang nyeri dan

menggunakan pendekatan dalam pengkajian nyeri, termasuk deskripsi

verbal tentang nyeri. Individu merupakan penilai terbaik dari nyeri

yang dialaminya. Pengkajian nyeri yang dilakukan meliputi: data

subjektif dan data objektif.

a. Data subjektif

1. Intensitas (skala) nyeri

Individu dapat diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada skala

verbal, misalnya tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri hebat, atau

sangat hebat; atau sampai 10. Dimana 0 mengindikasikan tidak

adanya nyeri, dan 10 mengindikasikan nyeri sangat hebat.

2. Karakteristik nyeri, termasuk area nyeri yang dirasakan, durasi

(menit, jam, hari, bulan), irama (terus-menerus, hilang timbul,

periode bertambah dan berkurangnya intensitas atau keberadaan

dari nyeri), dan kualitas (seperti ditusuk, terbakar, sakit, nyeri

seperti di tekan).

Universitas Sumatera Utara


3. Faktor-faktor yang meredakan nyeri, misalnya gerakan, kurang

bergerak, pengerahan tenaga, istirahat, obat-obat bebas, dan apa

yang dipercaya pasien dapat membantu mengatasi nyerinya.

4. Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari, misalnya

tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi dengan orang lain,

gerakan fisik, bekerja, dan aktivitas-aktivitas santai.

5. Kekhawatiran individu tentang nyeri. Dapat meliputi berbagai

masalah yang luas, seperti beban ekonomi, prognosis, pengaruh

terhadap peran dan perubahan citra diri (Smeltzer & Bare, 2001).

Gambar 2.2
Intensitas (skala) Nyeri
(Taylor, 1997; Potter & Perry, 2009; Smeltzer & Bare, 2001)

Skala Intensitas Nyeri Deskriptif Sederhana

Tidak ada Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri


nyeri ringan sedang hebat sangat paling
hebat hebat

Skala Intensitas Nyeri Numerik 0-10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak ada Nyeri Nyeri
nyeri sedang paling
hebat

Universitas Sumatera Utara


Skala Analog Visual (VAS)

Tidak ada Nyeri


nyeri paling
hebat

Menurut McGuire dan Sheidler (1993 dalam Ardinata, 2007) ada

enam dimensi nyeri, yaitu: (1) fisiologis, meliputi faktor pencetus,

karakteristik, durasi, (2) sensori, meliputi intensitas dan kualitas nyeri,

(3) afektif, meliputi emosional dan psikologis seperti kecemasan dan

depresi, (4) kognitif, meliputi persepsi dan interpretasi tentang nyeri,

(5) perilaku, seperti menyeringai, menangis, merapatkan gigi, dan lain-

lain, (6) sosiokultural, nyeri bisa dipersepsikan berbeda pada etnis

yang berbeda.

Gambar 2.3
Dimensi Nyeri

Fisiologis Sensoris Afektif Kognitif Perilaku Sosiokultural

(Disimpulkan dari Ardinata, 2007)

b. Data objektif

Data objektif didapatkan dengan mengobservasi respons pasien

terhadap nyeri. Menurut Taylor (1997), respons pasien terhadap

nyeri berbeda-beda, dapat dikategorikan sebagai (1) respons

perilaku, (2) respons fisiologik, dan (3) respons afektif.

Universitas Sumatera Utara


Respons perilaku terhadap nyeri dapat mencakup pernyataan

verbal, perilaku vokal, ekspresi wajah, gerakan tubuh, kontak fisik

dengan orang lain, atau perubahan respons terhadap lingkungan.

Respons perilaku ini sering ditemukan dan kebanyakan diantaranya

dapat di observasi. Individu yang mengalami nyeri akan menangis,

merapatkan gigi, mengepalkan tangan, melompat dari satu sisi ke

sisi lain, memegang area nyeri, gerakan terbatas, menyeringai,

mengerang, pernyataan verbal dengan kata-kata. Perilaku ini sangat

beragam dari waktu ke waktu (Berger, 1992).

Respons fisiologik antara lain seperti meningkatnya pernafasan

dan denyut nadi, meningkatnya tekanan darah, meningkatnya

ketegangan otot, dilatasi pupil, berkeringat, wajah pucat, mual, dan

muntah (Berger, 1992). Respons fisiologik ini dapat digunakan

sebagai pengganti untuk laporan verbal dari nyeri pada pasien tidak

sadar (Smeltzer & Bare, 2001).

Respons afektif seperti cemas, marah, tidak nafsu makan,

kelelahan, tidak punya harapan, dan depresi juga terjadi pada

pasien yang mengalami nyeri. Cemas sering diasosiasikan sebagai

nyeri akut dan frekuensi dari nyeri tersebut dapat diantisipasi.

Sedangkan depresi sering diasosiasikan sebagai nyeri kronis

(Taylor, 1997).

Universitas Sumatera Utara


2.2. Operasi

2.2.1. Definisi

Operasi adalah tindakan invasif yang direncanakan atau tidak

direncanakan, mayor atau minor yang melibatkan bagian atau sistem

tubuh (Taylor, 1997). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat (1998),

operasi adalah tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif

dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan

ditangani. Pembukaan tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat

sayatan. Setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan

tindakan perbaikan yang akan diakhiri dengan penutupan dan

penjahitan luka. Operasi umumnya dilakukan untuk berbagai alasan

seperti diagnostik, kuratif, separatif, rekonstruktif, kosmetik, dan

paliatif (Taylor, 1997).

2.2.2. Klasifikasi Operasi

Menurut Taylor (1997), berdasarkan tingkat risikonya, maka

operasi dibagi atas: (1) operasi mayor, (2) operasi minor. Operasi

mayor bersifat elektif, urgen, dan emergensi. Operasi mayor

melibatkan organ vicera. Tujuan dari operasi ini adalah

menyelamatkan nyawa (hidup), mengangkat atau memperbaiki bagian

tubuh, memperbaiki fungsi tubuh, dan meningkatkan kesehatan.

Contoh: kolesistektomi, nefrektomi, kolostomi, histerektomi, radikal

mastektomi, amputasi, dan operasi akibat trauma. Operasi mayor

membutuhkan hospitalisasi, biasanya lama, dengan risiko yang tinggi,

Universitas Sumatera Utara


melibatkan organ tubuh yang penting serta berpotensi terhadap

komplikasi postoperasi (Taylor, 1997). Sedangkan operasi minor

secara umum bersifat elektif, bertujuan untuk memperbaiki fungsi

tubuh, mengangkat lesi pada kulit, dan memperbaiki deformitas.

Operasi minor prosedurnya langsung, risikonya rendah, dan

komplikasinya sedikit. Contoh: pencabutan gigi, pengangkatan kutil,

biopsy kulit, kuretase, laparoskopi, arthroskopi, dan ekstraksi katarak

(Taylor, 1997).

2.2.3. Tahapan Operasi

Menurut Taylor (1997), tindakan operasi dibagi atas tiga fase yang

terdiri dari: (1) fase preoperasi, (2) fase intraoperasi, (3) fase post

operasi. Fase preoperasi adalah fase ketika keputusan untuk melakukan

operasi dan berakhir ketika pasien dikirim ke meja operasi. Persiapan

preoperasi penting sekali untuk memperkecil risiko operasi.

Fase intraoperasi adalah aktivitas di ruang operasi yang dipusatkan

pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan untuk perbaikan,

koreksi, atau menghilagkan masalah fisik. Fase ini di mulai ketika

pasien masuk ke ruang bedah berakhir sampai saat pasien dipindahkan

kembali ke ruang pemulihan.

Fase post operasi adalah fase menstabilkan kembali ekuilibrium

fisiologis pasien, menghilangkan nyeri, dan pencegahan komplikasi.

Pengkajian yang cermat dan intervensi segera dalam membantu pasien

kembali pada fungsi optimalnya dengan cepat, aman, dan senyaman

Universitas Sumatera Utara


mungkin. Mulai masuknya pasien ke ruang pemulihan dan berakhir

dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik (Taylor, 1997).

2.2.4. Anestesi

Anestesi adalah suatu keadaan narkosis, analgesia, relaksasi, dan

hilangnya refleks. Anestesi dibagi menjadi dua yaitu: (1) anestetik

yang menghambat sensasi di seluruh tubuh (anestesi umum) dan (2)

anestetik yang menghambat sensasi di sebagian tubuh, seperti anestesi

lokal, regional, epidural, atau anestesi spinal (Smeltzer & Bare, 2001).

Anestesi umum biasanya segera tercapai ketika diberikan anestetik

diinhalasi atau secara intravena. Namun pada anestesi lokal, larutan

yang mengandung anestetik lokal disuntikkan ke dalam jaringan pada

bidang yang direncanakan sebagai tempat insisi (Smeltzer & Bare,

2001). Obat-obat anestesi lokal dapat menghambat hantaran syaraf

pada semua jaringan syaraf, dan ini bersifat reversibel serta dapat

terjadi perbaikan yang sempurna pada fungsi fisiologis. Obat-obat

yang digunakan dalam anestesi lokal yaitu: (1) procaine, dengan waktu

kerja selama jam, (2) lidocaine, dengan waktu kerja selama 1-2 jam,

(3) mepivacaine, dengan waktu kerja selama 1-2 jam, (4) teracaine,

dengan waktu kerja selama 1-2 jam, (5) bupivacaine, dengan waktu

kerja selama 5-7 jam, dan (6) etidocaine, dengan waktu kerja selama 4-

6 jam (Siahaan, 2000).

Universitas Sumatera Utara


Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikkan

agens anestetik di sekitar syaraf sehingga area yang dipersyarafi oleh

syaraf ini teranestesi (Smeltzer & Bare, 2001).

Anestesi epidural dilakukan dengan cara menyuntikkan larutan

anestesi ke dalam kanalis spinalis dalam spasium sekeliling dura mater

(Smeltzer & Bare, 2001). Obat-obat yang digunakan dalam anestesi

epidural yaitu: (1) procaine, dengan waktu kerja selama 1 jam, (2)

lidocaine, dengan waktu kerja selama 1,5 jam, (3) mepivacaine,

dengan waktu kerja selama 1-2 jam, (4) etidocaine, dengan waktu kerja

selama 4-6 jam, (5) tetracaine, dengan waktu kerja selama 1,5- 2 jam,

dan (6) bupivacaine, dengan waktu kerja selama 3,5- 5 jam (Siahaan,

2000).

Anestesi spinal merupakan tipe blok konduksi syaraf yang luas

dengan memasukkan anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid di

tingkat lumbal (biasanya L4 dan L5). Cara ini menghasilkan anesthesia

pada ekstremitas bawah, perineum, dan abdomen bawah (Smeltzer &

Bare, 2001). Obat yang selalu disediakan pada anestesi spinal yaitu

tetracaine (dengan waktu kerja selama 1,5-2 jam), lidocaine (dengan

waktu kerja selama 1,5 jam), dan procaine (dengan waktu kerja selama

1 jam). Namun anestesi spinal yang paling banyak digunakan adalah

tetracaine (Siahaan, 2000).

Universitas Sumatera Utara


2.2.5. Nyeri Post Operasi

Nyeri akut yang sering terjadi adalah nyeri post operasi. Kualitas,

kuantitas, dan durasi nyeri berhubungan secara alamiah dengan proses

pembedahan. Beberapa trauma, termasuk trauma pembedahan,

merupakan kerusakan jaringan. Nyeri dihasilkan dengan melepaskan

substansi di bawah jaringan yang trauma sampai pada ambang batas

nyeri, ini merupakan stimulus normal yang tidak membahayakan.

Panjangnya insisi secara langsung dapat menimbulkan sensasi nyeri

yang dirasakan yang di produksi dengan melepaskan substansi. Durasi

dan luasnya pembedahan juga secara langsung menimbulkan besarnya

nyeri yang dirasakan. Insisi pembedahan yang transversal umumnya

menimbulkan nyeri yang lebih ringan daripada insisi pembedahan

yang vertikal atau diagonal, karena beberapa syaraf dan otot serta

fascia sedikit yang terpotong (Lewis, 1983).

2.3. Perilaku Nyeri

2.3.1. Definisi

Perilaku nyeri merupakan salah satu aspek dari pengalaman nyeri.

Perilaku ini terlihat dan dapat diobservasi, seperti ekspresi wajah

(Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2006). Adanya suatu nyeri yang

dirasakan biasanya ditandai dengan semacam perilaku yang terlihat

atau terdengar yang dapat diinterpretasikan sebagai suatu perilaku

nyeri (Pilowski, 1994 dalam Harahap, 2006).

Universitas Sumatera Utara


Perilaku nyeri dapat didefenisikan sebagai sebahagian atau seluruh

output individu yang terobservasi yang menunjukkan adanya nyeri

seperti postur tubuh, ekspresi wajah, perkataan, berbaring,

mengkonsumsi obat, mencari pengobatan, dan pencarian kompensasi.

Perilaku nyeri adalah suatu aktivitas individu untuk

mengkomunikasikan ketidakberdayaan, ketidaknyamanan, dan

berperan signifikan dalam penurunan tingkat fungsional individu

(Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2006).

2.3.2. Macam-macam Perilaku Nyeri

Perilaku nyeri ini mencakup perilaku verbal dan nonverbal dalam

merespons suatu nyeri seperti keluhan, rintihan, berteriak, sikap, dan

ekspresi wajah. Ada orang yang menanggapinya dengan perasaan

takut, gelisah, dan cemas, ada pula yang menanggapinya dengan sikap

yang optimis dan penuh toleransi (Smeltzer & Bare, 2001). Sebagian

orang merespons nyeri dengan menangis, mengerang dan menjerit-

jerit, meminta pertolongan, gelisah di tempat tidur, atau berjalan

mondar-mandir tidak tentu arah untuk mengurangi rasa nyeri. Ada juga

orang yang tidur sambil menggemertakkan gigi, mengepalkan tangan

ketika mengalami nyeri (Berger, 1992).

Cara yang dilakukan individu sebagai respons dari nyeri yang

dirasakannya dapat meningkatkan atau menurunkan persepsi nyeri.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku yang telah ditemukan

oleh Turk et al (1985 dalam Ogden, 2000) adalah berupa ekspresi

Universitas Sumatera Utara


wajah atau ekspresi suara seperti merapatkan gigi dan mengerang

(merintih), mengubah sikap badan atau bergerak seperti berjalan

pincang, dan menjaga area yang sakit. Hal ini menunjukkan bahwa

perilaku nyeri memperkuat bahwa mereka benar-benar merasakan

nyeri, menerima pengakuan mereka dan selanjutnya dapat

menguntungkan mereka seperti tidak pergi kerja. Penguatan perilaku

nyeri yang positif mungkin dapat meningkatkan persepsi nyeri.

Perilaku nyeri juga dapat menyebabkan berkurangnya aktivitas dan

mengecilnya otot-otot serta mengurangi hubungan atau interkasi sosial

(Ogden, 2000).

Tabel 2.1
Indikator Perilaku Nyeri (Potter & Perry, 2009)

Vokal Ekspresi wajah Pergerakan tubuh Interaksi sosial

1. Mengerang 1. Menyeringai 1. Gelisah 1. Menghindari

(merintih) 2. Merapatkan gigi 2. Tidak dapat bergerak percakapan

2. Menangis 3. Mengerutkan dahi 3. Ketegangan otot 2. Hanya fokus

3. Menghembuskan 4. Menutup mata atau 4. Peningkatan gerakan pada aktivitas

nafas mulut dengan rapat tangan dan jari yang tidak

4. Mendengkur sekali, atau 5. Aktivitas yang cepat menimbulkan

(mengorok) membukanya lebar- 6. Gerakan berirama nyeri

lebar atau mengikuti 3. Menghindari

5. Menggigit bibir 7. Menjaga pergerakan kontak sosial

bagian tubuh yang 4. Perhatian

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1 (lanjutan)

Vokal Ekspresi wajah Pergerakan tubuh Interaksi sosial

nyeri berkurang

8. Memegang bagian 5. Interaksi

tubuh yang nyeri dengan

lingkungan

berkurang

2.3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Nyeri

Menurut Harahap (2007), yang mempengaruhi perilaku nyeri

meliputi beberapa faktor, yaitu:

a. Jenis Kelamin

Jenis kelamin mungkin menyumbang kepada pertunjukkan

perilaku nyeri. Beberapa penelitian tela menunjukkan bahwa jenis

kelamin mempunyai hubungan yang kuat dengan perilaku nyeri

tertentu (Lofvander & Forhoff, 2002; Asghari & Nicholas, 2001).

Wanita khususnya ibu rumah tangga mungkin lebih sering

menunjukkan dan mengeluhkan perilaku nyeri daripada laki-laki

(Philips & Jahanshahi, 1986).

b. Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah jumlah nyeri yang dirasakan oleh pasien.

Universitas Sumatera Utara


c. Suku/ Budaya

Setiap suku dan budaya mempersepsikan sakit dengan cara yang

berbeda (Waddle & et al, 1998) dan juga berbeda dalam

mengekspresikan perilaku mereka yang berhubungan dengan nyeri

(Lovander & Forhoff, 2002). Kepercayaan barat sungguh berbeda

dengan kepercayaan budaya timur yang mana budaya timur lebih

tenang dan tabah serta lebih sedikit bisa menerima sakit dan

kelemahan, sedangkan budaya barat lebih liberal, bebas, dan

pluralistik. Bates, Edwards, dan Anderson (1993) mengatakan

bahwa Negara dan suku dapat mempengaruhi sikap, kepercayaan,

dan emosional serta psikologi (Harahap, 2007).

d. Percaya Diri

Percaya diri menunjukkan pada kepercayaan bahwa percaya diri

dapat mengalihkan situasi secara spesifik (Bandura, 1997 dalam

Harahap, 2007). Pasien dengan kepercayaan diri yang tinggi dapat

menunjukkan pergaulan yang positif dengan latihan dan negatifnya

dengan menggunakan pengobatan. Menurut Kores, Murphy, dan

Rosenthal dkk (1990 dalam Harahap, 2007) bahwa percaya diri

berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan aktivitas dasar

seperti duduk, berdiri, dan berjalan. Oleh karena itu, percaya diri

telah menunjukkan untuk bisa memprediksikan ketidakmampuan

pasien pada nyeri kronik dan pasien percaya tentang nyeri mereka

dapat mempengaruhi fungsi psikologis dan telah banyak penelitian

Universitas Sumatera Utara


yang sudah menemukan hubungan yang penting antara percaya diri

dengan perilaku nyeri (Harahap, 2007).

e. Pasangan/ anggota keluarga

Pasangan merupakan sumber yang sangat penting bagi keutuhan

kehisupan sosial pasien dan boleh juga diisyaratkan sebagai syarat

yang berbeda dan pilihan yang tepat untuk mengekspresikan

sebuah perilaku nyeri (Fordyce, 1976). Menurut Flor, Turk, dan

Rudy (1992 dalam Harahap, 2007) bahwa pasangan dan anggota

keluarga yang lain sering termasuk dalam pengobatan dan

mengajarkan kepada pasien untuk berespons positif pada setiap

aktivitas yang dilakukan pasien dan indikasi yang lainnya bagi

perilaku yang baik. Pasangan mempunyai peran yang kuat bagi

peningkatan nyeri pasien.

2.3.4. Instrumen Perilaku Nyeri

Pasien yang berada dalam tingkat nyeri tertentu akan menunjukkan

perilaku seperti istirahat di tempat tidur, mencari pengobatan, menjaga

area tubuh yang sakit, atau mengekspresikan raut wajah. Perilaku ini

merupakan cara pasien berkomunikasi bahwa mereka sedang

merasakan nyeri (Harahap, 2007).

Pertama kali penelitian tentang perilaku nyeri yang menunjukkan

bahwa perilaku nyeri dapat diukur dengan metode pengawasan diri.

Fordyce (1976) mengembangkan metode pengawasan diri melalui

catatan harian untuk mengukur perilaku nyeri. Di dalam catatan harian

Universitas Sumatera Utara


nyeri tersebut, pasien diminta untuk mengidentifikasi berapa lama

mereka sibuk menghabiskan waktu dalam tiga kategori perilaku

seperti: duduk, berdiri, atau berjalan. Pasien juga diminta untuk

melaporkan setiap kali mereka melakukan pengobatan dan jumlah

dosis obat yang diberikan. Metode pengawasan diri sangat mudah dan

sederhana, dan lebih dari itu, dapat meningkatkan kesadaran pasien

tentang perilaku nyeri mereka sendiri (Keefe at al, 2000 dalam

Harahap, 2007). Bagaimanapun, keabsahan metode pengawasan diri

pada perilaku nyeri kelihatannya akan berat sebelah atau tidak akurat

karena pada umumnya pasien tidak mungkin selalu akurat dalam

melaporkan perilaku nyeri mereka sendiri (Turk & Flor, 1978 dalam

Harahap, 2007).

Moores dan Watson (2004 dalam Harahap, 2007) menggunakan

metode yang lain untuk mengukur perilaku nyeri berstandar pada

pertanyaan atau wawancara. Pasien diminta untuk menjawab serial

pertanyaan yang berhubungan dengan perilaku nyeri. Metode ini juga

telah dikritik karena pasien akan cenderung untuk memilih jawaban

yang terbaik atau yang paling benar. Keterbatasan yang paling utama

pada metode pertanyaan dan wawancara adalah bahwa tidak

mengamati perilaku itu sendiri secara langsung.

Saat ini metode untuk mengukur perilaku nyeri adalah metode

pengamatan secara langsung atau tidak langsung. Metode ini

dikembangkan berdasarkan pada dasar pemikiran bahwa perilaku nyeri

Universitas Sumatera Utara


itu tampak dan jelas. Dalam pengamatan langsung perilaku nyeri

biasanya berdasarkan pada keahlian dan berdasarkan pada sebuah

pertimbangan pada hasil pengamatan. Sedangkan pada pengamatan

yang tidak langsung, perilaku nyeri biasanya dinilai dengan

mengandalkan video tape. Kedua metode ini mempunyai kelebihan

dan kekurangan. Bagaimanapun pada prakteknya pengamatan secara

tidak langsung kelihatannya tidak praktis, mahal dan rumit, lebih dari

itu kapan pasien mengetahui kalau dia sedang diamati, mereka

mungkin akan memanipulasi perilaku mereka, terutama sekali dalam

kebudayaan Indonesia. Menurut Simmond (1999 dalam Harahap,

2007), alat ukur yang digunakan untuk mengukur perilaku nyeri harus

mudah digunakan, dapat dipercaya, dapat diterima oleh pasien, hemat

biaya, dan memberikan hasil yang cepat. Metode pengamatan

langsung kelihatannya lebih bisa diandalkan, sederhana dan lebih

mudah digunakan (Harahap, 2007). Oleh karena itu penelitian ini

menggunakan metode pengamatan langsung.

Pada metode pengamatan ini, biasanya pasien diminta untuk

melakukan beberapa aktivitas yang telah diinstruksikan dalam protokol

yang sudah distandarisasi. Penggunaan protokol yang telah

distandarisasi ini pertama sekali dikembangkan oleh Keefe dan Block

pada tahun 1982. Keefe dan Block menetapkan serangkaian aktivitas

seperti duduk, berdiri, berbaring, dan berjalan. Aktivitas ini akan

diulangi sebanyak dua kali. Ketika pasien melakukan aktivitas ini, ada

Universitas Sumatera Utara


lima parameter perilaku yang dapat diamati yaitu guarding, braching,

rubbing, grimacing, dan sighing. Kelima parameter inilah yang

nantinya akan diamati (Harahap, 2007).

Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan Pain Behavior

Observation Protocol (PBOP) yang telah distandarisasikan oleh Keefe

dan Block pada tahun 1982. PBOP terdiri dari lima parameter perilaku

nyeri dan dirating dalam 3 poin likert-skale (0 = tidak ada nyeri, 1 =

sering, 2 = selalu). Nilai total perilaku nyeri merupakan penjumlahan

dari kelima parameter perilaku nyeri tersebut diatas. Skor tertinggi (10)

mengidentifikasikan level perilaku nyeri yang tinggi. Serial aktivitas

protokol Keefe dan Block yang telah distandarisasi ini akan

diadaptasikan selama 10 menit. Protokol aktivitas ini meliputi: duduk

untuk periode 1 menit dan lagi selama 2 menit, berdiri untuk periode 1

menit dan lagi selama 2 menit, berbaring untuk periode 1 menit dan

lagi selama 1 menit kedua, dan berjalan untuk 1 menit dan lagi selama

1 menit kedua. Pendeskripsian dari kelima parameter perilaku nyeri

tersebut adalah: (1) guarding, yang mana mengacu pada penjagaan

area tubuh yang sakit, (2) braching, yang mana mengacu pada

kekakuan tubuh yang tidak normal, menyela, atau pergerakan yang

kaku, (3) rubbing, yang mana mengacu pada sentuhan atau rabaan

pada bagian tubuh yang sakit, (4) grimacing, yang mana mengacu pada

guratan wajah dalam mengekspresikan rasa nyeri seperti mengerutkan

dahi, menyipitkan mata, mengatupkan bibir, menyingkap sudut mulut,

Universitas Sumatera Utara


dan merapatkan gigi, (5) sighing, yang mengacu pada pernafasan atau

menghela nafas (Harahap, 2007).

2.4. Tipe Kepribadian A dan B

Kepribadian adalah karakteristik unik yang dimiliki setiap individu

sebagai suatu kesan yang dapat dilihat oleh orang lain yang mungkin dapat

berganti sebagai respons pada situasi yang berbeda (Schultz, 1994).

Sedangkan menurut Sarafino (2002), kepribadian adalah pola kognitif,

afektif, dan perilaku yang berbeda dan karakteristik yang menentukan gaya

personal individu serta mempengaruhi interaksinya dengan lingkungan.

Ahli kardiologi bernama Meyer Friedman dan Ray Rosenman adalah

orang yang pertama sekali mengemukakan tipe kepribadian A dan B. Mereka

melihat adanya perbedaan emosional antara individu yang menderita

penyakit jantung dengan individu yang sehat. Perbedaan emosional ini

mereka lihat dari karakteristik perilaku individu tersebut, sehingga mereka

menyebut perilaku individu yang menderita penyakit jantung tersebut sebagai

perilaku kepribadian A. Sedangkan individu yang sehat disebut sebagai

perilaku kepribadian B (Sarafino, 2002; Sarafino, 2006).

Perilaku tipe kepribadian A terdiri dari tiga karakteristik, yaitu sebagai

berikut:

a. Kompetitif dalam prestasi

Individu dengan tipe kepribadian A cenderung menjadi seseorang yang

sangat kritis, pekerja keras, suka tantangan dan kompetisi untuk

Universitas Sumatera Utara


mendapatkan apa yang ia inginkan tanpa merasakan kenikmatan hasil dari

usahanya atau prestasinya.

b. Sangat menghargai waktu

Individu dengan tipe kepribadian A adalah seseorang yang sangat

menghargai waktu. Sehingga mereka sering menjadi seseorang yang tidak

sabar dan tidak suka dengan keterlambatan dan waktu yang mendesak,

mereka juga sangat komitmen dengan jadwal yang sudah mereka susun

dan mereka selalu mencoba melakukan satu kegiatan atau lebih secara

bersamaan, seperti membaca sambil makan atau menonton TV.

c. Pemarah dan suka bermusuhan

Individu dengan tipe kepribadian A cenderung mudah marah sehingga

mereka terlihat sebagai orang yang suka bermusuhan (Sarafino, 2002;

Sarafino, 2006).

Tipe kepribadian A adalah perilaku dan tipe emosional yang ditandai

dengan perjuangan yang agresif secara terus menerus untuk mencapai sesuatu

dalam waktu yang singkat (sedikit) dan sering bersaing dengan orang lain.

Tipe kepribadian A mempunyai kecenderungan (risiko) untuk menderita

penyakit kardiovaskular karena individu ini sering mendapatkan serangan

jantung yang tiba-tiba dan sangat rentan terhadap stress.

Individu dengan tipe kepribadian A tidak sabar dengan orang-orang yang

berperilaku lambat, mereka suka tantangan dan berkompetensi yang lain,

khususnya pada keadaan dengan tingkat persaingan yang sedang, dan mereka

mungkin tidak fokus pada hal-hal yang tidak pasti (Rosenman, 1978 dalam

Universitas Sumatera Utara


Taylor, 2003). Individu dengan tipe kepribadian A sangat sulit untuk

berhubungan atau menjalin hubungan dengan orang lain, dan mereka

mungkin mempunyai masalah koping dalam situasi yang mengharuskan

pekerjaan yang lambat (situasi yang lambat), berhati-hati dalam bekerja yang

memerlukan fokus dan perhatian yang lebih (K.A. Mattheus, 1982 dalam

Taylor, 2003). Mereka juga mempunyai rasa ketidakpuasan terhadap karier

mereka. Mungkin mereka juga dapat merusak keutuhan keluarga karena

sedikitnya waktu yang mereka habiskan bersama keluarga.

Pada umumnya, individu dengan tipe kepribadian A akan mengorbankan

hubungan sosialnya untuk mencapai prestasi, dan mereka mungkin memiliki

masalah kesehatan yang lebih banyak. Tetapi individu dengan tipe

kepribadian A juga mempunyai perilaku adaptasi. Individu dengan tipe

kepribadian A sangat senang melanjutkan pendidikannya daripada individu

dengan tipe kepribadian B (Glass, 1977 dalam Taylor, 2003), mempunyai

banyak teman dengan jabatan-jabatan yang tinggi, banyak menghabiskan

waktu dengan bekerja dan kurang mendukung hubungan dengan teman

sekerja daripada tipe kepribadian B (Taylor, 2003), memiliki rasa percaya

diri, berbicara keras, berbicara cepat, tidak sabar, dan suka bermusuhan

(Ogden, 2000).

Hal ini sangat berlawanan dengan karakteristik tipe kepribadian B, yang

tidak terlalu kompetitif dalam prestasi, tidak suka mengganggu, rileks, lebih

santai terhadap waktu, tenang, dan tidak mudah marah. Tipe kepribadian B

Universitas Sumatera Utara


cenderung lebih santai dan sangat menikmati hidupnya (Sarafino, 2002;

Sarafino, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai