Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pola Konsumsi Anak Sekolah

Pola konsumsi pangan atau kebiasaan makan adalah berbagai informasi yang

dapat memberikan gambaran mengenai jumlah, jenis dan frekuensi bahan makanan

yang dimakan setiap hari oleh seseorang dan merupakan ciri khas untuk satu

kelompok masyarakat tertentu. Sebenarnya pola konsumsi tidak dapat menentukan

status gizi seseorang atau masyarakat secara langsung, namun hanya dapat digunakan

sebagai bukti awal akan kemungkinan terjadinya kekurangan gizi seseorang atau

masyarakat (Supariasa, 2001). Pola makan adalah berbagai informasi yang

memberikan gambaran mengenai macam dan model bahan makanan yang dikonsumsi

setiap hari (Persagi, 2003).

Pola makan terdiri dari :

a. Frekuensi makan

Frekuensi makan adalah jumlah makan dalam sehari-hari baik kualitatif

dan kuantitatif (Persagi, 2003).

b. Jenis makanan

Jenis makanan adalah variasi bahan makanan yang kalau dimakan,

dicerna, dan diserap akan menghasilkan paling sedikit susunan menu sehat dan

seimbang (Persagi, 2003). Seseorang akan merasa bosan apabila dihidangkan

menu yang itu-itu saja, sehingga mengurangi selera makan. Menyediakan

variasi makanan merupakan salah satu cara untuk menghilangkan rasa bosan.

Dalam menyusun menu hidangan sehat memerlukan keterampilan dan

6
Universitas Sumatera Utara
7

pengetahuan gizi dengan berorientasi pada pedoman umum gizi seimbang.

Variasi menu yang tersusun oleh kombinasi bahan makanan yang

diperhitungkan dengan tepat akan memberikan hidangan sehat baik secara

kualitas maupun kuantitas.

Konsumsi makanan oleh masyarakat atau oleh keluarga bergantung pada

jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga, dan

kebiasaan makan secara perorangan. Hal ini bergantung pula pada pendapatan,

agama, dan adat kebiasaan di masyarakat. Konsumsi pangan yang keliru akan

mengakibatkan timbulnya gizi salah (malagizi), baik gizi kurang maupun gizi lebih.

Asupan makanan yang tidak memadai dan penyakit merupakan penyebab

langsung masalah gizi ibu dan anak yang disebabkan praktek pemberian makan bayi

dan anak yang tidak tepat, penyakit infeksi yang berulang terjadi, perilaku kebersihan

dan pengasuhan yang buruk. Pada akhirnya, semua ini disebabkan oleh faktor-faktor

seperti kurangnya pendidikan dan pengetahuan pengasuh anak, penggunaan air yang

tidak bersih, lingkungan yang tidak sehat, keterbatasan akses ke pangan dan

pendapatan (UNICEF Indonesia, 2012).

Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas hidangan. Kualitas hidangan

menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh didalam suatu susunan

hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain. Kualitas menunjukkan

jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Kalau susunan hidangan

memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, maka tubuh

akan mendapatkan kondisi kesehatan gizi baik, disebut konsumsi adekuat. Kalau

konsumsi baik dari kuantitas dan kualitasnya melebihi kebutuhan tubuh, dinamakan

Universitas Sumatera Utara


8

konsumsi berlebih, maka akan terjadi suatu keadaan gizi lebih. Sebaliknya konsumsi

yang kurang baik kualitas dan kuantitasnya akan memberikan kondisi kesehatan gizi

kurang atau kondisi defisit (Sediaoetama, 2000).

Tingkat konsumsi zat gizi yang terdapat pada makanan sehari-hari sangat

berpengaruh terhadap keadaan kesehatan gizi. Zat gizi yang dibutuhkan disesuaikan

dengan usia, berat badan, dan tinggi badan anak. Tingkat pertumbuhan berbeda untuk

setiap anak, begitu juga dengan kebutuhan gizinya.

Pertumbuhan anak dipengaruhi oleh faktor makanan (gizi) dan genetik.

Pertumbuhan anak-anak dinegara berkembang termasuk Indonesia ternyata selalu

tertinggal dibanding anak-anak di Negara maju. Pada awalnya kita menduga faktor

genetik adalah penyebab utamanya. Namun, tumbuh kembang anak Indonesia sampai

dengan usia enam bulan ternyata sama baiknya dengan anak-anak di Negara maju

(Devi, 2012).

2.2. Anak Sekolah

Anak sekolah adalah anak usia 6-12 tahun, dimana saat ini mereka sedang

duduk di bangku SD dan SMP. Anak usia ini sedang menjalani pendidikan dasar

yang merupakan titik awal anak mengenal sekolah yang sesungguhnya dengan

kurikulum dan mata pelajaran yang serius.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa status gizi anak sekolah yang baik akan

menghasilkan derajat kesehatan yang baik dan tingkat kecerdasan yang baik pula.

Sebaliknya, status gizi yang buruk menghasilkan derajat kesehatan yang buruk,

mudah terserang penyakit, dan tingkat kecerdasan yang kurang sehingga prestasi anak

di sekolah juga kurang. Untuk mendapatkan status gizi yang baik diperlukan

Universitas Sumatera Utara


9

pengetahuan gizi bagi setiap keluarga agar dapat menyediakan menu pilihan makanan

gizi seimbang.

Perilaku gizi yang salah pada anak sekolah perlu mendapat perhatian.

Misalnya tidak sarapan pagi, jajanan yang tidak sehat di sekolah, kurang

mengonsumsi sayuran dan buah, terlalu banyak mengonsumsi jenis makanan fast

food dan junk food, terlalu banyak mengonsumsi zat makanan tambahan seperti bahan

pengawet, pewarna, dan penambah cita rasa. Gizi seimbang untuk anak sekolah harus

memenuhi zat gizi makro dengan karbohidrat 45-65 persen total energi, protein 10-25

persen total energi, dengan perbandingan protein hewani dan nabati = 2:1, lemak 25-

40 persen total energi. Selain itu harus memenuhi zat gizi mikro seperti halnya

vitamin dan mineral (Almatsier, 2011)

2.2.1. Kebutuhan Gizi Anak Sekolah

Gizi dibutuhkan anak sekolah untuk pertumbuhan dan perkembangan, energi

berpikir, beraktivitas fisik dan daya tahan tubuh. Zat gizi yang dibutuhkan anak

adalah seluruh zat gizi yang terdiri dari zat gizi makro seperti karbohidrat, protein,

lemak, serta zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral. Zat gizi yang dibutuhkan

disesuaikan dengan usia, berat badan, dan tinggi badan anak.

Menginjak usia 6 tahun anak sudah mulai menentukan pilihan makanannya

sendiri, tidak seperti saat balita lagi yang sepenuhnya tergantung pada orangtua.

Periode ini merupakan periode yang cukup kritis dalam pemilihan makanan, karena

anak baru saja belajar memilih makanan dan belum mengerti makanan yang bergizi

yang dapat memenuhi kebutuhan gizinya sehingga anak memerlukan bimbingan

orangtua dan guru. Pada saat ini pertumbuhan fisik terutama pertambahan tinggi

Universitas Sumatera Utara


10

badan anak berlangsung cepat, anak banyak melakukan aktivitas fisik, aktivitas sosial

sejalan dengan perkembangan kognitif anak.

Tabel 2.1. Kebutuhan Zat Gizi Anak Menurut Kelompok Umur (AKG 2004)

4-6 tahun 7-9 tahun 10-12 tahun 13-15 tahun


Kelompok Umur
L P L P L P
Energi (Kal) 1550 1800 2050 2050 2400 2350
Protein (g) 39 45 50 50 60 57
Vitamin A (RE) 450 500 600 600 600 600
Vitamin D (mcg) 5 5 5 5 5 5
Vitamin E (mg) 7 7 11 11 15 15
Vitamin K (mcg) 20 25 35 35 55 55
Vitamin B1 (mg) 0,6 0,9 1 1 1,2 1,1
Vitamin B2 (mg) 0,6 0,9 1 1 1,2 1
Niasin (mg) 8 10 12 12 14 13
Asam folat (mcg) 200 200 300 300 400 400
Vitamin B6 (mg) 0,6 1 1,3 1,2 1,3 1,2
Vitamin B12 (mcg) 5 1,5 1,8 1,8 2,4 2,4
Vitamin C (mg) 45 45 50 50 75 65
Kalsium (mg) 500 600 1000 1000 1000 1000
Fosfor (mg) 400 400 1000 1000 1000 1000
Magnesium (mg) 80 120 170 180 220 230
Besi (mg) 9 10 13 20 19 26
Yodium (mcg) 120 120 120 120 150 150
Seng (mg) 9,7 11,2 14 12,6 17,4 15,4
Selenium (mcg) 20 20 20 20 30 30
Mangan (mg) 1,5 1,7 1,9 1,6 2,2 1,6
Sumber Almatsier, 2011

2.2.2. Gizi dan Pertumbuhan Tinggi Badan

Tulang merupakan parameter penentu tinggi badan karena tinggi badan

ditentukan oleh ukuran panjang tulang seseorang. Masa kanak-kanak dan remaja

merupakan masa penting pembangun tulang. Sebesar 45 persen pertumbuhan massa

tulang terjadi pada usia 0-10 tahun. Pada masa itu tulang tumbuh memanjang. Ketika

Universitas Sumatera Utara


11

remaja, sekitar 45 persen massa tulang dewasa terbentuk sampai dengan sebelum usia

18 tahun. Anak disebut pendek apabila tinggi per umur dibawah normal.

Zat gizi yang berperan penting dalam pertambahan tinggi badan tersebut,

yaitu :

1. Protein

Protein adalah senyawa organik yang terdiri dari asam amino bergabung

dengan ikatan peptide. Tubuh tidak dapat memproduksi beberapa asam amino

(disebut asam amino essensial) sehingga harus dipasok dari asupan makanan.

Protein sangat bermanfaat bagi tubuh, karena memiliki berbagai macam fungsi

seperti pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan, membentuk senyawa-senyawa

essensial tubuh, mengatur keseimbangan air, mempertahankan kenetralan (asam-

basa) tubuh, membentuk antibodi, dan mentranspor zat gizi (Almatsier, 2011).

Pada tulang protein berfungsi dalam pembentukan jaringan tulang yang

baru dan pergantian jaringan tulang yang rusak. Selain itu protein juga berfungsi

memperkuat otot sekitar tulang sehingga tulang terpelihara. Angka kecukupan

protein tahun 2004 untuk anak laki-laki dan perempuan usia 7-9 tahun adalah 45

gram per hari, 10-12 tahun adalah 50 gram per hari, usia 13-15 tahun untuk anak

laki-laki sebanyak 60 gram per hari dan untuk anak perempuan 57 gram per hari.

Sumber protein dalam makanan banyak terdapat pada lauk hewani seperti

daging sapi, ayam, telur bebek, dan ikan segar, pada lauk nabati seperti tahu dan

tempe kacang kedelai, dan pada kacang-kacangan seperti kedelai, kacang merah,

kacang tanah, kacang hijau, pada sayuran seperti daun singkong, bayam

kangkung dan wortel (Almatsier, 2010).

Universitas Sumatera Utara


12

Berdasarkan penelitian Solia (2014), tentang hubungan pola konsumsi

makanan dan konsumsi susu dengan tinggi badan anak usia 6-12 tahun bahwa

kecukupan protein dari konsumsi makanan dengan tinggi badan anak SD terdapat

hubungan yang bermakna antara kecukupan asupan protein dengan tinggi badan

anak.

2. Kalsium

Kalsium adalah mineral yang penting bagi manusia. Fungsi kalsium bagi

tubuh yaitu pembentukan tulang dan gigi, mengatur pembekuan darah, katalisator

reaksi-reaksi biologik, kontraksi otot. Beberapa fungsi lainnya adalah

meningkatkan transfor membrane sel, kemungkinan dengan bertindak sebagai

stabilisator membrane, transmisi ion melalui membrane organel sel (Almatsier,

2008).

Kalsium merupakan mineral terbanyak dalam tubuh dan sebanyak 99

persen terdapat dalam tulang dan gigi. Angka kecukupan gizi tahun 2004 bagi

anak usia 7-9 tahun untuk kalsium adalah 600 mg per hari dan anak usia 10-12

tahun adalah 1000 mg per hari. Angka ini merupakan angka kecukupan tertinggi

di sepanjang hidup seorang manusia.. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan tinggi

badan anak pada rentang usia tersebut. Sumber kalsium pada makanan banyak

terdapat pada udang kering, teri kering, tahu dan sayuran seperti bayam, sawi,

daun melinjo, daun katuk, dan daun singkong serta susu bubuk dan susu kental

manis (Almatsier, 2010).

Universitas Sumatera Utara


13

Susu merupakan sumber kalsium terbaik yang dapat meningkatkan

kekuatan tulang. Satu cangkir susu mengandung lebih dari 300 mg kalsium,

hampir sepertiga dari kebutuhan kalsium harian. Hal itulah yang mendasari susu

dianggap sebagai strategi terbaik pencegah osteoporosis (Wirakusumah, 2007).

Berdasarkan penelitian Solia (2014), tentang hubungan pola konsumsi makanan

dan konsumsi susu dengan tinggi badan anak usia 6-12 tahun bahwa terdapat

hubungan yang bermakna antara kecukupan kalsium dari konsumsi susu dengan

tinggi badan anak sekolah.

3. Fosfor

Fosfor berfungsi dalam mineralisasi tulang dan gigi dan sebanyak 80

persen fosfor tersimpan dalam tulang. Kristal mineral dibentuk selama klasifikasi

(pengerasan) tulang yang terdiri dari kalsium fosfat, komponen utama mineral

kompleks yang membentuk struktur dan kekuatan kepada tulang. Angka

kecukupan gizi tahun 2004 bagi anak usia 7-9 tahun dengan jenis kelamin laki-

laki dan perempuan adalah sebanyak 400 mg per hari dan bagi anak usia 10-18

tahun dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah sebanyak 1000 mg

per hari. Angka ini merupakan angka kecukupan tertinggi di sepanjang rentang

hidup manusia. Fosfor banyak terdapat pada makanan seperti teri kering, tahu,

kacang-kacangan, sayuran seperti kentang, bayam, daun singkong, dan wotel,

pada buah-buahan seperti pisang ambon (Almatsier, 2010).

4. Vitamin

Vitamin adalah zat-zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah

yang sangat kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh tubuh. Oleh

Universitas Sumatera Utara


14

karena itu harus didatangkan dari makanan. Vitamin termasuk kelompok zat

pengatur pertumbuhan dan pemeliharaan kehidupan. Setiap vitamin mempunyai

tugas spesifik di dalam tubuh (Almatsier, 2009). Vitamin A berpengaruh

terhadap sitesis protein dalam pertumbuhan sel. Vitamin A dibutuhkan untuk

perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam pertumbuhan

gigi. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan pertumbuhan tulang terhambat

dan bentuknya tidak normal. Begitu juga dengan vitamin C yang berfungsi

membantu absorbsi kalsium yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (Cakrawati

dan Mustika, 2011).

Vitamin A banyak terdapat pada lauk hewani seperti hati sapi, ayam, dan

ikan sardine (kaleng), namun pada sayuran dan buah-buahan juga banyak seperti

wortel, daun papaya, daun katuk, daun singkong, sawi, kangkung, bayam, ubi

jalar, mangga, pisang, tomat dan juga semangka. Vitamin C pada umumnya

hanya terdapat dalam pengan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam,

seperti jeruk, nenas, rambutan, jambu biji, papaya, dan tomat, vitamin C juga

banyak terdapat dalam sayuran seperti daun singkong, daun katuk, sawi, kol,

kembang kol, bayam, dan kangkung (Almatsier, 2010).

5. Magnesium

Magnesium berfungsi sebagai mineralisasi dalam tulang dan 50 persen

magnesium dalam tubuh terdapat dalam tulang. Magnesium, fosfor dan seng,

ketiga mineral ini berfungsi sebagai mineralisasi dalam tulang, yaitu pelekatan

kalsium dan mineral lain diantara serat protein. Mineralisasi ini memberikan

kekuatan pada tulang (Devi, 2012). Sumber utama magnesium banyak terdapat

Universitas Sumatera Utara


15

pada sayuran hijau, biji-bijian dan kacang-kacangan. Daging, susu dan hasilnya

serta coklat juga merupakan sumber magnesium yang baik (Almatsier, 2010).

6. Seng

Seng berperan untuk pertumbuhan sel dan berkolerasi positif dengan

pertumbuhan tinggi badan. Di saat anak-anak kekurangan seng dalam proses

pertumbuhan yang lamban, maka dengan jelas menunjukkan penurunan kadar

seng dalam pembentukan susunan organ dan kapasitas pertumbuhan tubuh akan

melambat pada saat yang bersamaan. Sumber seng paling baik adalah dari

protein hewani, terutama daging, ayam, ikan, hati, kerang, dan telur. Serealia

tumbuk dan kacang-kacangan juga merupakan sumber yang baik, namun

mempunyai ketersediaan biologik yang rendah (Almatsier, 2010).

Dari 12 juta anak balita di Indonesia, 38,6 persen atau sekitar 5 juta balita

memiliki tinggi badan dibawah rata-rata tinggi badan balita dunia. Guru Besar

Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Soekirman Ph.D mengatakan, dari

laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tersebut menunjukkan adanya

kondisi kekurangan gizi kronis pada anak-anak Indonesia. Kekurangan gizi,

terutama zat seng yang banyak terdapat pada protein hewani itu dimulai sejak

janin di kandungan ibu, atau sejak kelahiran sampai bayi berusia dua tahun.

Soekirman membantah jika tidak sesuainya tinggi badan anak dengan standar

usia (stunted) disebabkan karena faktor keturunan (genetika) (Devi, 2012).

Universitas Sumatera Utara


16

Berdasarkan penelitian Setijowati (2005) hubungan kadar seng serum

dengan tinggi badan anak sekolah dasar penderita GAKY bahwa rendahnya

TB/U lebih banyak dikarenakan rendahnya masukan kalori dan mungkin juga

protein, yang tentunya ditunjang dengan rendahnya konsumsi yodium dan seng.

2.3. Perilaku Gizi Yang Salah Pada Anak Sekolah

1. Tidak Mengonsumsi Menu Gizi Seimbang

Di Indonesia prinsip gizi seimbang divisualisasikan dalam bentuk tumpeng

dengan bentuk nampannya yang disebut tumpeng gizi seimbang (TGS). TGS

dirancang untuk membantu setiap orang memilih makanan dengan jenis dan jumlah

yang sesuai dengan kebutuhan menurut usia, dan sesuai dengan keadaan kesehatan.

TGS menggambarkan empat prinsip gizi seimbang, yaitu makanan yang beraneka

ragam sesuai kebutuhan, kebersihan, aktifitas fisik, dan pemantauan berat badan

ideal. Piramida tumpeng menggambarkan enam golongan pangan dan paling bawah

dan paling dasar diisi dengan air, yang merupakan zat gizi essensial yang harus

dikonsumsi minimal dua liter dalam sehari. Golongan sumber karbohidrat menempati

urutan kedua dari bawah, dan merupakan potongan tumpeng paling besar dan

dianjurkan dikonsumsi 3-8 porsi/hari. Urutan ketiga ditempati golongan sayuran,

yang dianjurkan 3-5 porsi/hari dan buah dianjurkan 2-3 porsi/hari sebagai sumber

vitamin dan serat. Urutan keempat ditempati golongan makanan sumber protein yang

dianjurkan 2-3 porsi/hari dan puncaknya ditempati minyak dan gula yang disarankan

untuk dikonsumsi seperlunya (Cakrawati dan Mustika, 2011).

Universitas Sumatera Utara


17

2. Tidak Sarapan Pagi

Makan pagi mempunyai peranan penting bagi anak sekolah usia 6-12 tahun,

yaitu untuk pemenuhan gizi dipagi hari dimana anak-anak berangkat ke sekolah dan

mempunyai aktivitas yang sangat padat di sekolah. Apabila anak-anak terbiasa makan

pagi, maka akan berpengaruh terhadap kecerdasan otak, terutama daya ingat anak

sehingga dapat mendukung prestasi belajar anak kearah yang lebih baik (Devi, 2012).

Dengan sarapan pagi diharapkan karbohidrat berguna sekali untuk menjaga

kadar gula darah normal tubuh. Dengan kadar gula yang normal ini berguna sebagai

energi bagi sel-sel tubuh dapat terpenuhi sehingga dapat berfungsi dengan baik.

Kebiasaan tidak sarapan pagi juga mengakibatkan pemasukan gizi menjadi berkurang

dan tidak seimbang sehingga pertumbuhan anak menjadi terganggu, intelektualnya

rendah, prestasi disekolahnya akan turun dan penampilan sosialnya pun terganggu.

Dia tidak mau bermain dengan teman-temannya, tidak mau turut dalam kegiatan

berorganisasi baik di sekolah maupun di lingkungan keluarga (Arisman, 2008).

Jenis hidangan untuk makan pagi dapat dipilih dan disusun sesuai dengan

keadaan, misalnya : nasi goreng, nasi uduk, roti isi telur dadar, pisang/ubi goreng,

bubur kacang hijau, mie goreng/rebus. Akan lebih baik bila terdiri dari makanan

sumber zat tenaga, sumber zat pembangun dan zat pengatur.

3. Jajan Tidak Sehat di Sekolah

Makanan jajanan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan

masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Konsumsi makanan jajanan di

masyarakat di perkirakan terus meningkat mengingat makin terbatasnya waktu

anggota keluarga untuk mengolah makanan sendiri. Keunggulan makanan jajanan

Universitas Sumatera Utara


18

adalah murah dan mudah didapat, serta cita rasanya yang enak dan cocok dengan

selera kebanyakan masyarakat (Mudjajanto, 2005).

Budaya jajan menjadi bagian dari keseharian hampir semua kelompok usia

dan kelas sosial, termasuk anak usia sekolah dan golongan remaja. Kandungan zat

gizi pada makanan jajanan bervariasi, tergantung dari jenisnya yaitu makanan utama,

makanan kecil, maupun minuman. Besar kecilnya konsumsi makanan jajanan akan

memberikan kontribusi (sumbangan) zat gizi bagi status gizi seseorang (Sari, 2004).

Makanan jajanan dalam membantu pasokan kalori tentunya baik, namun

keamanan jajanan tersebut dari segi mikrobiologis maupun kimiawi masih

dipertanyakan. Apalagi dalam waktu terakhir ini Badan POM telah mengungkapkan

temuannya tentang berbagai bahan kimia berbahaya seperti formalin dan bahan

pewarna tekstil pada bahan makanan yang ada di pasaran. Sehingga perilaku makan

pada anak usia di sekolah harus diperhatikan secara cermat dan serius (Devi, 2012).

4. Kurang Mengonsumsi Buah dan Sayur

Buah dan sayur merupakan sumber zat gizi vitamin dan mineral. Vitamin

yang terdapat dalam buah dan sayuran adalah provitamin A, vitamin C, K, E, dan

berbagai kelompok vitamin B kompleks. Disamping itu, buah dan sayuran juga kaya

akan berbagai jenis mineral, diantaranya kalium (K), kalsium (Ca), natrium (Na), zat

besi (Fe), magnesium (Mg), mangan (Mn), seng (Zn) dan selenium (Se) (Winarno, F,

2004).

Anak sekolah di Indonesia umumnya kurang mengonsumsi sayuran. Ini

disebabkan kurangnya kesadaran anak dan orang tua akan pentingnya zat gizi dari

buah dan sayuran. Hal ini merupakan pola makan yang salah, karena jelas-jelas tidak

Universitas Sumatera Utara


19

memenuhi menu gizi seimbang dan dapat berakibat pada kesehatan anak sekolah.

Anak sekolah bisa saja mengalami kekurangan vitamin A, vitamin C, besi, kalsium,

dan seng yang berakibat pada pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak. Data hasil

Riskesdas, 2007 bahwa sebanyak 93,5 persen anak usia 10 tahun ke atas tidak

mengonsumsi buah dan sayur (Depkes RI, 2007).

5. Mengonsumsi Fast Food dan Junk Food

Menurut Wikipedia.org, fast food adalah istilah yang diberikan untuk

makanan yang dapat disusun dan disajikan dengan sangat cepat. Istilah ini mengacu

pada makanan yang dijual di restoran atau toko dengan bahan yang dipanaskan atau

dimasak, dan diberikan kepada pelanggan dalam bentuk paket untuk dibawa.

Sedangkan junk food mendeskripsikan makanan yang tidak sehat atau memiliki

sedikit kandungan nutrisi. Junk food mengandung jumlah lemak yang besar.

Makanan cepat saji seperti hamburger, kentang goreng, pizza sering dianggap

sebagai junk food. Junk food juga diartikan sebagai makanan yang nutrisinya terbatas.

Makanan yang tergolong dalam kategori ini adalah makanan yang mengandung

banyak gula, garam, lemak, dan kalorinya tinggi, sementara protein, vitamin, mineral,

dan seratnya rendah (Devi, 2012).

Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa anak usia 10 tahun ke atas

sebanyak 65,2 persen mengonsumsi makanan manis, sebanyak 24,5 persen

mengonsumsi makanan asin dan 12,8 persen mengonsumsi makanan berlemak

(Depkes RI, 2007).

Universitas Sumatera Utara


20

6. Konsumsi Gula Berlebih

Gula ditemukan secara alami dalam buah-buahan (fruktosa) dan susu cairan

dan produk susu (laktosa). Namun, ada pula gula yang ditambahkan kedalam

makanan selama pemprosesan, persiapan, atau saat di meja makan. Gula tambahan

tersebut termasuk sirup jagung tinggi fruktosa, gula putih, gula merah, sirup jagung,

padatan sirup jagung, gula mentah, sirup malt, sirup maple, sirup pancake, pemanis

fruktosa, fruktosa cair, madu, molasses, dekstrosa anhidrat, dan dekstrosa Kristal

(Devi, 2012).

Rekomendasi WHO adalah tidak lebih dari 10 persen dari energi total berasal

dari gula tambahan. Jadi bila dibandingkan dengan AKG (Angka Kecukupan Gizi),

maka anak usia 1-3 tahun dengan AKG 1.000 kalori, maka 10 persen dari AKG

adalah 100 kalori setara dengan 25 gram gula dan setara dengan 5 sendok the gula.

Sedangkan untuk anak usia 4-6 tahun dengan AKG 1.550 kalori, maka 10 persen

AKG adalah 155 kalori setara dengan 38,75 gram gula dan setara dengan 7,7 sendok

teh gula. Seterusnya untuk anak usia 7-9 tahun dengan AKG 1.800 kalori setara

dengan 45 gram gula dan setara dengan 9 sendok teh gula. Untuk anak usia 10-12

tahun dengan AKG 2050 kalori, maka setara dengan 51,25 gram gula dan setara

dengan 10,25 sendok teh gula (Devi, 2012).

Kelebihan konsumsi gula dapat mengakibatkan terjadinya karies gigi,

diabetes, obesitas, dan jantung koroner. Diperkirakan bahwa 90 persen dari anak-anak

usia sekolah di seluruh dunia dan sebagian besar orang dewasa pernah menderita

karies. Hasil Riskesdas 2007 prevalensi anak usia diatas 10 tahun mengonsumsi

makanan manis sebanyak 68, 1 persen (Depkes RI, 2007).

Universitas Sumatera Utara


21

7. Konsumsi Natrium Berlebihan

Natrium paling banyak terdapat dalam garam karena 40 persen dari berat

garam adalah natrium. Terdapat juga pada produk susu, air, makanan laut, daging,

telur, unggas, dan ikan. Terdapat sedikit pada serealia, buah-buahan dan sayuran.

Pada saat membeli jajanan anak sekolah cenderung membeli makanan yang

mengandung tinggi garam, seperti makanan ringan yang rasanya asin. Berdasarkan

RISKESDAS 2007 prevalensi anak usia diatas 10 tahun mengonsumsi makanan asin

sebanyak 24,5 persen (Depkes, 2007).

8. Konsumsi Lemak Berlebihan

Lemak makanan terdapat pada tumbuhan dan hewan. Lemak sebagai sumber

energi dan asam lemak essensial, dan membantu dalam penyerapan vitamin yang

larut dalam lemak A, D, E, dan K. Anak sekolah menyukai makanan berlemak seperti

bakso, soto, fast food, dan menurut Riskesdas 2007 prevalensi anak diatas usia 10

tahun yang mengonsumsi makanan berlemak dan jeroan adalah sebanyak 14,8 persen.

Beberapa dari lemak yang harus diwaspadai adalah asam lemak jenuh, asam lemak

trans, dan kolesterol (Depkes, 2007).

9. Mengonsumsi Makanan Berisiko

Anak sekolah disadari atau tidak telah mengonsumsi makanan yang

menimbulkan risiko terhadap kesehatan mereka, makanan berisiko tersebut adalah

penyedap makanan (MSG), makanan berkafein, makanan yang diberi pengawet, dan

bahan pewarna yang dilarang. Data Riskesdas 2007 menunjukkan anak usia 10 tahun

keatas sebanyak 77,8 persen mengonsumsi penyedap (MSG), 36,5 persen

Universitas Sumatera Utara


22

mengonsumsi makanan berkafein, dan 6,3 persen mengonsumsi makanan yang

diawetkan (Depkes, 2007).

2.4. Masalah Gizi Anak Sekolah

Masalah gizi adalah gangguan kesehatan dan kesejahteraan seseorang,

kelompok orang, atau masyarakat sebagai akibat adanya ketidakseimbangan antara

asupan (intake) dengan kebutuhan tubuh akan makanan dan pengaruh interaksi

penyakit (infeksi).

Ketidakseimbangan ini akan mengakibatkan:

1. Menurunnya pertahanan tubuh terhadap penyakit (imunitas)

2. Gangguan pertumbuhan fisik

3. Gangguan perkembangan dan kecerdasan otak

4. Rendahnya produktivitas

5. Gangguan gizi dan kesehatan lainnya

Gizi kurang pada anak dapat dilihat dari berat badan dan tinggi badan anak.

Bila berat badan anak dibawah normal maka dikatakan kurus. Bila tinggi badan anak

dibawah normal maka dikatakan pendek.

Masalah gizi kurang pada anak sekolah diantaranya :

1. Kurang Energi, yang mengakibatkan anak kurang aktif dalam pergaulan,

badan kurus karena asupan energi dari makanan tidak mencukupi, serta tidak

optimal saat menerima pelajaran dan berpikir.

2. Kurang Protein, yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan fisik karena

pada saat ini pertumbuhan anak terutama pertambahan tinggi badan sangat

Universitas Sumatera Utara


23

pesat dan untuk itu diperlukan protein; terhambatnya perkembangan otak;

menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap penyakit.

3. Kurang Lemak, yang mengakibatkan tubuh menjadi kurus, otak tidak akan

berkembang atau berfungsi secara optimal.

4. Kurang Vitamin A, yang mengakibatkan terganggunya perkembangan otak;

terhambatnya pertumbuhan, serta meningkatnya kemungkinan menderita

penyakit infeksi.

5. Kurang Besi, yang mengakibatkan kurang darah, berkurangnya kemampuan

belajar dan kecerdasan, terhambatnya pembentukan zat kimia penunjang kerja

otak, menurunnya daya ingat dan prestasi sekolah

6. Kurang Yodium, yang mengakibatkan gondok, gangguan pertumbuhan

berupa tubuh pendek, bisu, tuli, lumpuh, gangguan fungsi mental, lesu, dan

apatis dalam kehidupan.

7. Kurang Seng, yang mengakibatkan pertumbuhan tinggi badan terhambat

(pendek), gangguan perkembangan kecerdasan anak, terhambatnya

pematangan seksual, mudah terkena infeksi, kehilangan nafsu makan.

2.5. Stunting

Stunting adalah gambaran status gizi kurang yang berkepanjangan selama

periode paling genting dari pertumbuhan dan perkembangan di awal kehidupan. Hal

ini dapat diartikan sebagai balita yang berumur 0 sampai 59 bulan yang mempunyai

tinggi badan menurut umur dibawah minus dua standar deviasi dan minus tiga standar

deviasi dari median standar pertumbuhan balita yang telah ditetapkan oleh WHO

(UNICEF, 2013).

Universitas Sumatera Utara


24

Stunting merupakan salah satu bentuk gizi kurang pada anak yang dihitung

berdasarkan pengukuran tinggi badan menurut umur (TB/U) atau panjang badan

menurut umur (PB/U), dimana nilai Z-score <-2 SD (standar deviasi). Menurut

WHO, stunting merupakan kegagalan untuk mencapai pertumbuhan yang optimal.

Status stunting dihitung dengan menggunakan baku antropometri anak umur 5-19

tahun WHO 2007 yaitu dengan menghitung nilai Z-score TB/U masing-masing anak.

Selanjutnya berdsarkan nilai Z-score status gizi anak dikategorikan sebagai stunting

(pendek) dan tidak stunting. Stunting juga menggambarkan kejadian gizi kurang yang

berlangsung dalam waktu yang lama dan merupakan masalah kesehatan masyarakat

karena berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya kesakitan dan kematian

hingga terhambatnya pertumbuhan mental.

Menurut The Lancet (2008), stunting merupakan masalah kesehatan

masyarakat utama di negara berpendapatan rendah dan menengah karena

hubungannya dengan peningkatan risiko kematian pada masa kanak-kanak, stunting

juga mempengaruhi fisik dan fungsional dari tubuh.

Anak dengan keadaan stunting tidak mengalami potensi tumbuh secara

maksimal dan dapat menjadi remaja dan dewasa yang stunting. Dampaknya pada

masa dewasa diantaranya adalah terbatasnya kapasitas kerja karena terjadinya

pengurangan aktivitas tubuh dan pada wanita dapat menyebabkan terjadinya risiko

komplikasi kandungan karena memiliki ukuran panggul yang kecil serta berisiko

melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.

Universitas Sumatera Utara


25

Berdasarkan penelitian Nurmiati (2006), yang melakukan penelitian tentang

pertumbuhan dan perkembangan pada anak balita yang mengalami stunting

menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kelompok anak normal lebih

baik daripada kelompok anak stunting. Pada keadaan stunting, tinggi badan anak

tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan

erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku

hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola

asuh yang kurang baik, dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah

kependekan merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat, karena

masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri

masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang sifatnya

kronis.

2.6. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Stunting

2.6.1. Asupan Makanan

Gizi merupakan batu bata penopang pertambahan tinggi badan dan tinggi

badan merupakan salah satu indikator status gizi anak. Bagi anak-anak yang terbiasa

memilih-milih makanan kesukaan tanpa mempertimbangkan zat gizi yang terkandung

didalamnya akan menyebabkan terhambatnya pertambahan tinggi badan. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa protein, kalsium, fosfor, vitamin A, yodium, seng

mempunyai efek langsung terhadap pertumbuhan tinggi badan anak.

Menurut wahlqvist dan Tienboon dalam penelitian Fitri (2012), bahwa

terhambatnya pertumbuhan pada bayi dan anak-anak tercermin dalam ketinggian

yang tidak sesuai dengan usia, merupakan contoh adaptasi pada asupan energy rendah

Universitas Sumatera Utara


26

dalam waktu yang lama. Stunting mencerminkan kekurangan gizi kronis dan

terdeteksi sebagai gangguan pertumbuhan linier. Seorang bayi yang stunting dan anak

usia dini telah secara konsisten ditemukan mempengaruhi kesehatan individu baik

jangka pendek dan jangka panjang.

Protein merupakan zat gizi yang sangat penting karena yang paling erat

hubungannya dengan pertumbuhan. Protein nabati dapat diperoleh dari tumbuh-

tumbuhan, sedangkan protein hewani didapat dari hewan. Protein merupakan faktor

utama dalam jaringan tubuh. Protein membangun, memelihara, dan memulihkan

jaringan di tubuh, seperti otot dan organ. Saat anak tumbuh dan berkembang, protein

adalah gizi yang sangat diperlukan untuk memberikan pertumbuhan yang optimal.

Asupan protein harus terdiri sekitar 10% sampai 20% dari asupan energi harian.

Menurut Lawson dalam penelitian Fitri (2012), bahwa peningkatan asupan

energi protein diperlukan untuk bayi dan anak-anak yang stunting dan yang tumbuh

dalam rangka untuk mengejar ketinggalan. Kekurangan gizi selama tahun pertama

kehidupan, meskipun potensial untuk mengejar pertumbuhan sampai akhir pubertas,

kekurangan gizi selama kehidupan awal dapat menyebabkan gangguan permanen

fungsi kognitif. Peningkatan kebutuhan protein untuk mngejar petumbuhan secara

proporsional lebih besar daripada peningkatan energi yang tergantung pada usia dan

kecepatan pertumbuhan.

Universitas Sumatera Utara


27

2.6.2. Berat Lahir

Berat lahir memiliki dampak yang besar terhadap pertumbuhan anak,

perkembangan anak dan tinggi badan pada saat dewasa. Standar pertumbuhan anak

yang dipublikasikan pada tahun 2006 oleh WHO telah menegaskan bahwa anak-anak

berpotensi tumbuh adalah sama diseluruh dunia (WHO 2006).

Berdasarkan penelitian Fitri (2012), menunjukkan bahwa sebagian besar balita

mempunyai berat badan lahir normal (95,2%) sedangkan balita lainnya mempunyai

berat lahir rendah yaitu sebesar 4,8%. Berdasarkan hasil penelitian bahwa proporsi

kejadian stunting pada balita (12-59 bulan) lebih banyak ditemukan pada balita

dengan berat lahir rendah (49,3%) dibandingkan balita dengan berat lahir normal

(36,9%).

Berdasarkan penelitian Leni dan Mira (2011) , bayi yang lahir dengan berat

badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko untuk mengalami stunting pada usia 6-

12 bulan sebesar 3,6 kali dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat badan

normal, yang akan berlanjut sampai usia anak selanjutnya jika tidak ditanggulangi

dengan baik.

2.6.3. Umur

Seorang anak hingga dewasa memiliki fase yang berbeda. Fase growth spurt

(tumbuh cepat) yang pertama sejak anak dalam kandungan sampai usia dua tahun.

Tidak heran pada fase awal ini, anak yang baru lahir dan saat dia menginjak usia

tahun kedua, biasanya terlihat berbeda. Fase pertumbuhan berikutnya adalah fase

pertumbuhan biasa pada rentang usia 2-5 tahun. Di atas lima tahun, fase pertumbuhan

anak terbagi lagi menjadi tiga, yaitu usia 5-8 tahun adalah masa anak-anak, prapuber

Universitas Sumatera Utara


28

terjadi pada usia 9-12 tahun, dan masa puber atau remaja pada usia 13-18 tahun. Di

masa remaja inilah menjadi tahap tumbuh cepat yang kedua.

Usia anak sekolah adalah antara 6-12 tahun. Pada usia ini tumbuh secara

perlahan dan menunjukkan pematangan keterampilan motorik kasar dan halus.

Kepribadiannya berkembang dan tingkat kemandiriannya meningkat. Hal-hal ini

berpengaruh terhadap jumlah dan jenis makanan yang dimakan dan cara

memakannya. Pada saat ini terbentuk rasa suka dan tidak suka terhadap makanan

tertentu, yang sering merupakan dasar bagi kebiasaan makan selanjutnya. Lingkungan

dan tingkah laku keluarga banyak berpengaruh terhadap kebiasaan makan ini. Orang

tua pada masa ini hendaknya memberikan bimbingan dan contoh yang baik tentang

makanan di sekolah merupakan sarana yang baik untuk penyuluhan gizi (Almatsier,

dkk, 2011).

Kekurangan gizi pada anak merupakan akibat dari berbagai faktor, yang

sering terkait dengan kualitas makanan yang buruk, asupan makanan yang tidak

cukup, dan penyakit infeksi yang parah dan berulang, atau sering beberapa kombinasi

ketiganya. Kondisi ini, pada gilirannya, sangat erat terkait dengan standar

keseluruhan hidup dan apakah suatu populasi dapat memenuhi kebutuhan dasarnya,

seperti akses terhadap pangan, perumahan dan perawatan kesehatan (WHO, 2007).

Keadaan gizi kurang pada anak-anak mempunyai dampak pada keterlambatan

pertumbuhan dan perkembangannya yang sulit disembuhkan. Oleh karena itu anak

yang gizi kurang tersebut kemampuannya untuk belajar dan bekerja serta bersikap

akan lebih terbatas dibandingkan dengan anak yang normal (Santoso dan Lies, 2004).

Universitas Sumatera Utara


29

2.6.4. Jenis Kelamin

Jenis kelamin menentukan pula besar kecilnya kebutuhan gizi bagi seseorang.

Pria lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan protein dibandingkan wanita. Pria

lebih sanggup mengerjakan pekerjaan berat yang biasanya tidak biasa dilakukan oleh

wanita. Tetapi dalam kebutuhan zat besi, wanita jelas lebih membutuhkan lebih

banyak daripada pria.

Hasil penelitian Bosch, dalam penelitian Fitri (2012), adalah kemungkinan

stunting pada masa remaja untuk anak perempuan adalah sekitar 0,4 kali

kemungkinan untuk anak laki-laki, yang berarti bahwa anak perempuan di masa

remaja sedikit lebih menjadi stunting daripada anak laki-laki. Perbedaan antara anak

laki-laki dan perempuan mungkin berkaitan dengan efek gabungan dari perbedaan

dalam pertumbuhan dan perbedaan potensi dalam konteks kekurangan gizi. Anak

perempuan memasuki masa puber dua tahun lebih awal daripada anak laki-laki, dan

dua tahun juga merupakan selisih di puncak kecepatan tinggi antara kedua jenis

kelamin.

2.6.5. Tingkat Pendidikan Ibu

Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi rendahnya

tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap perawatan

kesehatan, kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan dan

gizi anak-anak dan keluarganya. Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada

faktor sosial ekonomi lainnya seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup,

makanan, perumahan dan tempat tinggal. Tingkat pendidikan turut pula menentukan

mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka

Universitas Sumatera Utara


30

peroleh. Hal ini bisa dijadikan landasan untuk membedakan metode penyuluhan yang

tepat. Dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan diperlukan agar seseorang lebih

tanggap terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan

secepatnya (Suhardjo, 2003).

Berdasarkan penelitian Anindita (2012) bahwa tidak ada hubungan antara

tingkat pendidikan ibu dengan stunting pada balita. Hal ini bisa disebabkan karena

indikator TB/U merefleksikan riwayat gizi masa lalu dan bersifat kurang sensitive

terhadap perubahan masukan zat gizi, dimana dalam hal ini ibu mempunyai peranan

dalam alokasi masukan zat gizi.

2.6.6. Besarnya Keluarga

Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada

masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat

miskin, akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika yang harus diberi

makanan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar

mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi

tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi dan memenuhi asupan gizi yang cukup

untuk keluarga yang besar tersebut.

Berdasarkan penelitian Astari dalam penelitian Fitri (2012) yang dilakukan di

kabupaten Bogor, rata-rata besar keluarga pada kelompok anak stunting dan normal

dapat dikatakan tidak berbeda. Sebagian besar, besar keluarga pada kedua kelompok

tersebut termasuk keluarga sedang (4-6 orang).

Universitas Sumatera Utara


31

2.6.7. Wilayah Tempat Tinggal

Stunting biasanya paling menonjol di daerah pedesaan dan ini merupakan

indikasi yang berkaitan dengan kondisi lingkungan (WHO, 2003). Menurut Ehiri

dalam penelitian Fitri (2012), bahwa stunting adalah umum terjadi bahkan di Negara

dengan prevalensi lebih sering terjadi di pedesaan daripada daerah perkotaan.

Prevalensi rumah tangga dengan anak stunting dan ibu kelebihan berat badan

melebihi 10 persen di Bolivia. Prevalensi tinggi terjadi ketika ada kelebihan ketika

ada kelebihan berat badanyang tinggi dan tingkat stunting yang tinggi. Prevalensi ini

umumnya terbesar di wilayah pedesaan. Hasil Riskesdas tahun 2010 menunjukkan

bahwa balita yang tinggal diperkotaan memiliki prevalensi stunting lebih rendah

daripada balita yang tinggal di pedesaan (Depkes RI, 2010).

2.6.8. Status Ekonomi Keluarga

Kekurangan gizi sering kali bagian dari lingkaran yang meliputi kemiskinan

dan penyakit. Ketiga faktor ini saling terkait sehingga masing-masing memberikan

kontribusi terhadap yang lain. Perubahan sosial-ekonomi dan politik yang

meningkatkan kesehatan dan gizi dapat mematahkan siklus, karena dapat gizi tertentu

dan intervensi kesehatan. Kekurangan gizi mengacu pada sejumlah penyakit, masing-

masing berhubungan dengan satu atau lebih zat gizi, misalnya protein, yodium,

vitamin A atau zat besi. Ketidakseimbangan ini meliputi asupan yang tidak memadai

dan berlebihan asupan energi, yang pertama menuju kekurangan berat badan, stunting

dan kurus, dan yang terakhir mengakibat kelebihan berat badan dan obesitas (WHO,

2007).

Universitas Sumatera Utara


32

Stunting mencerminkan proses kegagalan untuk mencapai potensi

pertumbuhan linier sebagai hasil dari kesehatan dan atau kondisi gizi. Pada dasarnya,

tingkat stunting yang tinggi berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah

dan peningkatan risiko bertambah dengan adanya penyakit dan atau praktik

pemberian makan yang tidak tepat. Prevalensi stunting mulai naik pada usia sekitar 3

bulan, proses dari terhambatnya pertumbuhan melambat sekitar usia 3 tahun (Semba

dan Bloem, 2001).

Berdasarkan penelitian Anindita (2012), bahwa tidak ada hubungan antara

tingkat pendapatan yang diterima tidak sepenuhnya dibelanjakan untuk kebutuhan

makanan pokok, tetapi untuk kebutuhan lainnya. Tingkat pendapatan yang tinggi

belum tentu menjamin status gizi baik pada balita karena tingkat pendapatan belum

tentu teralokasikan cukup untuk keperluan makan.

2.7. Penilaian Status Gizi Anak

Status gizi diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB).

Penilaian status gizi dibagi menjadi dua, yaitu penilaian status gizi secara langsung

dan penilaian status gizi secara tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung

dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik

(Supariasa, 2002). Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau

dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai

tingkat umur dan tingkat gizi.

2.7.1. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan

pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan

Universitas Sumatera Utara


33

pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif

kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh

defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama

(Supariasa, 2002).

Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis

sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku

hidup sehat, dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak

dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek (Depkes RI, 2010).

2.7.2. Klasifikasi Status Gizi

Baku antropometri yang sekarang digunakan di Sumatera adalah baku rujukan

WHO dan metode Z-score. Untuk menilai status gizi anak maka angka berat badan

dan tinggi badan setiap anak dikonversikan kedalam bentuk nilai standar (Z-score)

dengan menggunakan baku antropometri anak WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan

nilai Z-score masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi anak dengan

batasan sebagai berikut :

Tabel 2.2. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks

Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Kategori Status
Indeks Ambang Batas (Z-score)
Gizi
Sangat Pendek < -3 SD
Tinggi Badan Menurut Umur Pendek -3 SD sampai dengan < -2SD
(TB/U) Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi 2 SD
Sumber : Depkes RI, 2011

Universitas Sumatera Utara


34

2.8. Kerangka Teori

Pertumbuhan Infeksi
Intrauterin

Status Sosial Ekonomi

Wilayah Tempat Kekurangan


Tinggal Zat Gizi Mikro
STUNTING

Karakteristik Rumah
Tangga Asupan Energi
Kurang

Paparan Infeksi

Keamanan Makanan Pola Menyusui


Infeksi
Pelayanan Kesehatan

Sumber : Kanjilal et al (2010) & Bhutta, Z. A. et al (2008)

Gambar 1. Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara


35

2.9. Kerangka Konsep

Kecukupan Zat Gizi :

- Zat Gizi Makro (energi,


protein)
Pola Konsumsi Stunting
- Zat Gizi Mikro (Kalsium,
Fosfor, Magnesium,
Seng, Vitamin A dan C)

Gambar 2. Kerangka Konsep

Anak usia 9-12 tahun merupakan usia dimana pertumbuhan tinggi badan anak

mulai cepat kembali setelah pertumbuhan pada tahun pertama kelahiran. Pada rentang

usia 9-12 tahun anak sudah menjadi konsumen aktif yang telah membentuk kebiasaan

makannya diluar makanan yang diperolehnya di rumah. Dalam keadaan ini kebutuhan

zat gizi harus tercukupi, baik dalam jumlah, frekuensi dan jenis makanan yang

dikonsumsi sehari-hari. Pada anak stunting keadaan gizi yang kurang pada awal

kelahirannya diharapkan pada fase pertumbuhan cepat kedua ini dapat memenuhi

kebutuhan zat gizinya, agar dapat mengejar ketertinggalan pertumbuhan tinggi

badannya dibanding anak normal lainnya. Pada fase pertumbuhan ini anak yang

stunting berpotensi dalam mengejar ketertinggalannya, dengan memperhatikan

asupan makanan yang baik dan menunjang pertumbuhan tinggi badan.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai