Anda di halaman 1dari 6

TUGAS

PERUNDANG- UNDANGAN & ETIKA KEFARMASIAN


KASUS 21-24

Disusun Oleh Kelompok 4 :


1. Chindra Sebali Putri 1704026017
2. Farida Ulfa 1704026043
3. Murni Tiradisuci 1704026086
4. Rita Rosita 1704026119
5. Sri Tirta Rahayu 1704026136
Apoteker-28 Pagi (A)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2017
Kasus no 21

Apoteker melayani pembelian diazepam injeksi oleh bidan praktik mandiri

1 Identifikasi Kata Kunci Apoteker melayani pembelian diazepam injeksi oleh


bidan
2 Pelanggaran Menyerahkan psikotropika kepada yang tidak
berwenang
3 Peraturan yang dilanggar Undang undang no 5 / 1997 tentang psikotropika
Pasal 14
4 Penjelasan / alas an kenapa Karena dalam peraturan perundang undangan (UU
disebut pelanggaran 5/1997 pasal 14) tersebut disebutkan bahwa
1. Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat
dilakukan oleh apotek, rumah sakit, Puskesmas, balai
pengobatan, dan dokter
2. Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat
dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit,
Puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada
pengguna/pasien.
3. Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai
pengobatan, Puskesmas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan kepada pengguna/pasien.
4. Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit,
Puskesmas, dan balai pengobatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan
resep dokter.
5. Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dalam hal:
a. menjalankan praktek terapi dan diberikan melalui
suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat.
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak
ada apotek.
5 Sanksi yang diterima dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan pidana denda paling banyak
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

6 Tindakan pencegahan Tidak menerima pelayanan obat tersebut


Kasus No.22

Apoteker melayani penjualan triheksipenidil kepada seorang pasien tetangganya

1 Identifikasi Kata Kunci Apoteker melayani pembelian triheksipenidil


2 Pelanggaran Menyerahkan golongan obat keras kepada seorang
pasien tetangganya tanpa resep dari dokter
3 Peraturan yang dilanggar PP 51 Tahun 2009
Pasal 21 ayat 2
Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep
dokter dilaksanakan oleh Apoteker.

Pedoman disiplin apoteker no.5 dan pada


pelanggaran pedoman disiplin no.12

4 Penjelasan / alasan kenapa Karena apoteker melaksanakan praktik kefarmasian


disebut pelanggaran pada PP 51 yang salah satunya yaitu pelayanan obat
yang seharusnya pelayanan obat tertentu harus
menggunakan resep dokter, namun apoteker tersebut
menjual obat tertentu tanpa resep dari dokter, obat
triheksipenedil merupakan golongan obat tertentu
yang pembeliannya harus menggunakan resep dari
dokter
5 Sanksi yang diterima Sanksi yang diberikan berupa peringatan tertulis,
rekomendasi pembekuan / pencabutan STRA, SIPA
dan SIKA, kewajiban mengikuti pelatihan /pendidikan
di instansi pendidikan apoteker
6 Tindakan pencegahan Tidak menerima pelayanan obat tersebut
Kasus No. 23

Apoteker menyarankan dan menjual tablet levonorgestrel-etinil estradiol kepada seorang pasien
yang telah dikenalnya dan mengalami udem atau pembengkakan pada pergelangan kaki karena
gangguan ginjal.

1. Identifikasi Kata Kunci Apoteker memberikan obat bebas keras kepada pasien.
2. Pelanggaran Menyarankan dan menjual obat keras (tablet
levonorgestrel-etinil estradiol) kepada pasien tanpa
resep dari dokter .
3. Peraturan yang dilanggar KepMenkes No. 02396/A/SK/VIII/1986 tentang tanda
khusus obat keras Daftar G.
4. Penjelasan kenapa disebut Karena Dalam peraturan Kepmenkes .
pelanggaran 02396/A/SK/VIII/1986 dijelaskan bahwa obat keras
hanya boleh diberikan oleh dengan resep dokter .
Kemudian mengenai obat yang dapat diserahkan tanpa
resep, dalam Permenkes 919/1993, diatur mengenai obat
tersebut harus memenuhi kriteria :
a) Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada
wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang
tua di atas 65 tahun.
b) Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak
memberikan risiko pada kelanjutan penyakit.
c) Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat
khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.
d) Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang
prevalensinya tinggi di Indonesia.
e) Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan
yang dapat dipertanggungjawabkan untuk
pengobatan sendiri.
Jadi pada dasarnya obat harus diberikan obat dengan
resep dokter, apalagi dengan kondisi pasien yang
mengalami udem atau pembengkakan karena penyakit
gangguan ginjal, dokter bisa menyesuaikan dosis untuk
pasien dengan kondisi khusus tersebut.
5. Sanksi yang diterima Sanksi asosiasi dan pemerintah, tindakan hukum
6. Tindakan pencegahan Tidak menyarankan memjual obat-obat yang seharusnya
dengan resep dokter, sekalipun kepada orang yang kita
kenal.
Kasus no 24
Apoteker pengelola apotek melakukan peracikan kosmetik yang mengandung Hidrokuinon dan
arbutin untuk pasien dalam rangka pelayanan swamedikasi.

1 Identifikasi Kata Kunci Apoteker pengelola apotek melakukan peracikan


kosmetik yang mengandung Hidrokuinon dan arbutin
untuk pasien dalam rangka pelayanan swamedikasi.
2 Pelanggaran Melakukan peracikan kosmetik yang mengandung
Hidrokuinon dan arbutin untuk pasien dalam rangka
pelayanan swamedikasi.
3 Peraturan yang dilanggar 1. UU No 36 tahun 2009
2. PP No 51 tahun 2009 (Pasal 1)
3. Peraturan Ka. BPOM RI tahun 2011 No
HK.03.1.23.08.11.07517 (Pasal 2 dan 6)
4. Pedoman Disiplin Apoteker (Pasal 7 dan 8)
4 Penjelasan / alas an kenapa 1. Kosmetik bukanlah termasuk swamedikasi pasien
disebut pelanggaran Sesuai definisi swamedikasi menurut WHO adalah
pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal,
maupun obat tradisional oleh seorang individu
untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakin
(WHO, 1998).
2. PP 51 tahun 2009 (Pasal 1)
Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan
termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional.
3. Peraturan Ka. BPOM RI tahun 2011 No
HK.03.1.23.08.11.07517 (Pasal 2)
1. Bahan Kosmetika harus memenuhi persyaratan
mutu sebagaimana tercantum dalam Kodeks
Kosmetika Indonesia atau standar lain yang
diakui atau sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Bahan Kosmetika sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa bahan yang diperbolehkan
digunakan dalam pembuatan kosmetika.
3. Selain bahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), bahan tertentu dilarang
digunakan dalam pembuatan kosmetika.
4. Pedoman Disiplin Apoteker
Pasal 7
Memberikan sediaan farmasi yang tidak
terjamin mutu, keamanan, khasiat dan manfaat
kepada pasien.
Pasal 8
Melakukan pengadaan obat dan / atau bahan
baku obat, tanpa prosedur yang berlaku,
sehingga berpotensi menimbulkan tidak
terjaminnya mutu, khasiat obat.
5 Sanksi yang diterima 1. Sanksi sesuai UU No 36 tahun 2009
Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi
atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memenuhi standar
dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau
kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi
atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memiliki izin edar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
2. Peraturan Ka. BPOM RI tahun 2011 No
HK.03.1.23.08.11.07517 (Pasal 6)
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan
ini dapat dikenai sanksi administratif berupa:
1. Peringatan tertulis;
2. Larangan mengedarkan kosmetika untuk
sementara;
3. Penarikan kosmetika yang tidak memenuhi
persyaratan keamanan, kemanfaatan,
4. mutu dan penandaan dari peredaran;
5. Pemusnahan kosmetika;
6. Pembatalan notifikasi; dan/atau
7. Penghentian sementara kegiatan produksi
dan/atau peredaran kosmetika.
6 Tindakan pencegahan Tidak menerima pelayanan obat tersebut

Anda mungkin juga menyukai