Anda di halaman 1dari 15

BAB I

IDENTITAS PASIEN

Pasien : Laki-laki, 28 tahun


Diagnosis akhir : Cedera Kepala Tertutup
Gejala : Midriasis bilateral-koma
Medikasi :-
Prosedur klinis : Ventriculostomy dan hemicraniectomy
Spesialis : Neurologi

Latar Belakang : Cedera kepala traumatik masih menjadi proses penyakit


yang menantang dan rumit untuk dirawat, meskipun menggunakan perkembangan
teknologi untuk memantau dan mengarahkan penatalaksanaan. Dewasa ini, tujuan
utama penanganan adalah membatasi cedera otak sekunder, dengan bantuan
berbagai spesialis pada keadaan kritis. Prognosis setelah cedera otak traumatik
berat (TBI) sering lebih menantang dari pada penanganannya, meskipun terdapat
berbagai temuan pada pemeriksaan dan pencitraan yang berhubungan dengan
hasil yang buruk. Temuan ini penting karena dapat digunakan untuk mengarahkan
keluarga dan orang terdekat saat mengambil keputusan dalam penangannya.
Laporan kasus : Pada laporan kasus ini, kami mendemonstrasikan
pemulihan yang tidak diantisipasi pada pasien laki-laki berusia 28 tahun yang
mengalami cedera otak traumatik berat setelah mengalami kecelakaan bermotor
tanpa menggunakan pelindung kepala. Pada temuan pemeriksaan fisik dan
pencitraan menunjukan secara statistik berhubungan dengan peningkatan
mortalitas dan morbiditas.
Kesimpulan : Penanganan pasien dengan cedera otak traumatik berat adalah
menantang dan dinamis. Kasus ini menggarisbawahi pemulihan yang tidak diduga
pada pasien dan sebagai pengingat bahwa terdapat variabilitas pada setiap pasien.
Kata kunci MeSH : cedera otak, Clostridium difficile, Glasgow coma scale,
Tekanan intrakranial, larutan saline, hipertonik

1
Singkatan : TBI- traumatic brain injury; ADLs-activities of daily
living; GCS-Glasgoe coma scale; CT- computed tomography; ICP-
intracranial pressure; CSF- cerebral spinal fluid; EVD-external ventricular
drain; CPP-cerebral perfusion pressure; HD-hospital day; FIO2-fraction of
inspired oxygen; PEEP- positive end expiratory pressure; ARPV-airway
pressure release ventilation; CMV-continuous mandatory ventilation; CPAP-
continuous positive airway pressure; IV-intravenous.

2
BAB II
LATAR BELAKANG

2.1 Latar Belakang


Di Amerika Serikat sendiri, terjadi sekitar 1,5 juta cedera otak traumatik
per tahun, dan cedera otak traumatik adalah penyebab kematian diantara individu
pada usia dibawah 45 tahun (1,2). Setiap tahun, cedera ini menyebabkan sekitar
50.000 kematian dan sekitar 80.000-90.000 kasus cedera kepala (2). Di Amerika
Serikat, jumlah uang yang diperlukan setiap tahunnya untuk cedera otak traumatik
terhitung 76,5 miliar dolar, dan kita tidak boleh melupakan korban disabilitas
emosional dan fisik yang timbul pada pasien dan keluarganya (3). Pada
kebanyakan kasus, pasien ditinggalkan tanpa kemampuan kerja atau untuk
melakukan aktivitas sehari-hari (ADL)(4). Manajemen awal untuk cedera otak
traumatika adalah periode waktu yang paling kritis karena akan memberikan efek
yang paling besar pada mortalitas dan derajat kelemahan yang akan dialami oleh
pasien yang berusaha bertahan hidup.
Pada cedera otak traumatika alat yang paling penting digunakan adalah
untuk menilai derajat cedera kepala dan prognosis pada temuan pemeriksaannya.
Berdasarkan guidline Early Indicators of Prognosis in Severe Traumatic Brain
Injury, rata-rata, 80% pasien dengan pupil tidak reaktif unilateral menjadi
vegetatif atau meninggal, dan 4% akan mengalami pemulihan yang baik atau
disabilitas sedang (5). Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan pada pemeriksaan
untuk menentukan kuantitas tingkat kesadaran pada cedera otak traumatika,
dengan 3 adalah yang paling buruk, didefinisikan sebagai koma dalam atau
kematian, dan 15 adalah yang paling baik, pasien sadar penuh. Pada penelitian
oleh Fearnside et al., sekitar 315 pasien dengan cedera otak traumatika berat, 65%
dengan GCS awal 3 meninggal (6). Pada penelitian yang lebih besar oleh
Marshall et al., sekitar 746 pasien, 78,4% dengan GCS awal 3 meninggal dan
7,2% mengalami disabilitas ringan sampai sedang (7).
Temuan radiografik juga dapat digunakan untuk memperkirakan
morbiditas dan mortalitas, dan dapat digunakan untuk menuntun intervensi

3
pembedahan. Pada sebuah ulasan sekitar 753 pemeriksaan CT scan menunjukan
sisterna mesensephalic yang abnormal, pergeseran garis tengah, dan perdarahan
subarakhnoid berhubungan dengan meningkatnya risiko peningkatan tekanan
intrakranial (ICP) dan kematian (8). Disini, kami menjelaskan pasien yang
mengalami semua hal diatas yang ditemukan pada CT scan, dan yang memiliki
GCS 3 dan pupil dilatasi bilateral dan tidak bergerak.

Gambar 1. 10/30/14 CT scan kepala menunjukan perdarahan subarakhnoid


traumatik di fisura sylvii dan frontal kiri dan perdarahan subdural temporal.

4
BAB III
LAPORAN KASUS

Bystanders menemukan laki-laki berkulit putih berusia 28 tahun, tanpa


pelindung kepala, dan tidak sadar setelah kehilangan kontrol pada sepeda
motornya dan terjatuh di jalan raya. Pasien dibawa ke Unit gawat darurat dengan
ambulans dengan intubasi sebagai aktivasi trauma level 1. Pemeriksaan fisik
menunjukan GCS 3T, pupil 4 mm, pupil tidak bergerak bilateral, respon kornea
negatif, cephalhematom parietal kanan, dan otore cairan serebrospinal di kanan.
CT scan kepala menunjukan perdarahan subarakhnoid dengan perdarahan
subdural frontal dan temporal kiri (gambar 1), penipisan sisterna suprasellar
(gambar 2), dan penipisan ventrikel ketiga dan keempat (gambar 3). Selain itu,
pemeriksaan CT menunjukan hematom frontal/temporal kiri dan parietal dengan
efek massa dan edema serebral menyebabkan pergeseran garis tengah kiri ke
kanan sekitar 5,38 mm (gambar 4), fraktur basis kranii frontal, dan fraktur
kominutif kompleks non-displaced di tulang temporal kanan. Pasien mengalami
bradikardi, dengan denyut jantung terendah yang tercatat 28 kali/menit, dan
hipertensi dengan tekanan darah awal 172/118 mmHg dan peningkatan tekanan
darah 221/105 mmHg 30 menit setelah kedatangan pasien. Pasien memerlukan
atropine dan infus nicardipine. Jalur arteri dan kateter vena sentral dipasang untuk
pemberian cairan dan obat-obatan. Penanganan darurat terhadap sindroma herniasi
termasuk intubasi endotrakeal, mannitol IV 30 gram, cairan hipertonik 23%
(berat/volume) natrium klorida (NaCl), dan craniectomy dekompresif sisi kiri,
drain ventrikular eksternal (EVD) dipasang; tekanan intrakranial (ICP) awal
adalah 14 mmHg. Pasien diperiksa pasca operasi dan juga setelah pemasangan
EVD. GCSnya 5T, dengan pupil reaktif bilateral, dan refleks kornea positif pada
mata kiri. Pemeriksaan CT scan kepala menunjukan perbaikan pada pergeseran
garis tengah (gambar 5) dan ujung kateter ventriculostomy ditemukan pada tempat
yang sesuai di kornu frontal pada ventrikel lateral kanan (gambar 6). Pasien mulai
diberikan infus NaCl 3% berkelanjutan. Tekanan intrakranial dan tekanan perfusi

5
serebral menunjukan nilai normal masing-masing 3-4 dan 70-75 mmHg, pada 24
jam pertama dengan EVD terbuka pada 10 cm H2O.

Gambar 2. 10/30/14 CT scan kepala menunjukan penipisan sisterna suprasellar


dan perdarahan subdural temporal kiri.

Pada hari ke-2 tekanan intrakranial pasien meningkat diatas 20 disertai


menggigil, hipertensi, dan demam, yang dikontrol masing-masing dengan
meningkatkan sedasi, infus nicardipine, dan manajemen temperatur dengan target.
CT ulangan menunjukan edema serebral dalam pemulihan, dengan tanpa
perburukan pergeseran garis tengah atau perdarahan.
Pada hari ke-3 rawat inap, GCS nya membaik dari 6T menjadi 8T, dengan
refleks batang otak intak. Hari berikutnya, hari-keempat rawat inap, saturasi

6
oksigen pasien menurun dari 96% menjadi 87% diperlukan peningkatan fraksi
oksigen inspirasi (FIO2) dari 50% menjadi 80% dan positive end-expiratory
pressure (PEEP). Dilakukan kultur respirasi dan X-ray dada menunjukan
perburukan opasitas bibasilar (gambar 7); maka dari itu, pasien mulai diberikan
terapi empiris vancomycin IV.
Pada hari kelima rawat inap, GCS pasien memburuk dari 8T menjadi 3T
dengan peningkatan tekanan intrakranial. Selama bronkoskopy, tekanan
intrakranialnya tercatat meningkat menjadi 46; maka dari itu, NaCl 23% intravena
diberikan selama 10 menit. Kemudian, CT scan kepala ukangan dilakukan yang
menunjukan edema serebral dalam pemulihan dan tidak ada perubahan pergeseran
garis tengah atau perdarahan. Kultur respirasi pada hari keenam rawat inap
menunjukan methicillin-sensitive staphylococcus aureus (>10.000 cfu/ml) dan
Pseudomonas aeruginosa (>10.000 cfu/ml). X-ray dada ulangan menunjukan
perburukan infiltrat dan efusi pleura bilateral (gambar 8). Antibiotik diganti dari
vancomycin menjadi levofloxacin IV dan Cefepime IV.

7
Gambar 3. 10/30/14 CT scan kepala menunjukan edema serebral dengan
penipisan ventrikel ketiga, perdarahan subarakhnoid traumatik bilateral, dan
hematom subdural di frontal kiri/temporal.

Pemeriksaan pada hari kedelapan rawat inap menunjukan perbaikan GCS


menjadi 6T. Tekanan intrakranialnya terkontrol selama percobaan klem EVD, dan
EVD kemudian dilepaskan. Terdapat juga sekresi endotrakeal yang tebal dan
berwarna kecoklatan dalam jumlah banyak; maka dari itu, broncoscopy dilakukan
lagi menggunakan saline untuk pembersihan. Pasien mulai diberikan Zosyn IV
dan Cefepime dihentikan. Tekanan intraksranial terkontrol dengan pemberian
NaCl 23%. Selama bebas sedasi, saturasi oksigennya berkurang dari 95% menjadi
70% dan pengaturan ventilator kemudian dirubah menjadi mode airway pressure
release ventilation (APRV).

8
Pada hari ke-14 rawat inap, oksigenasinya membaik dan tetap stabil 97%.
Mode ventilator dihentikan dari APRV menjadi continuous mandatory ventilation
(CMV). Sedasi pasien dihentikan. GCS nya menjadi 10T dan mulai diberikan
amantadine. Mulai diberikan metronidazole oral karena pada tinja ditemukan
positif Clostridium difficile toksin B.

Gambar 4. 10/30/14 CT scan kepala menunjukan hematoma subdural di frontal


kiri dan parietal, perdarahan subarakhnoid traumatika bilateral, dan edema
serebral memburuk di hemisfer kiri dengan pergeseran garis tengah 5,38 mm dari
kiri ke kanan.

Pada hari ke-15 rawat inap, pasien mulai berkedip saat dipanggil, dengan
GCS 10T. CT scan kepala menunjukan perbaikan pada edema serebral difus dan
penipisan sisterna basalis (gambar 9). Dilakukan tracheostomy perkutaneus
dengan video-assisted bronchoscopy, dan pemasangan tube gastrostomy terbuka

9
oleh bedah trauma. Pasien belum ada perubahan secara neurologis pada hari ke-16
rawat inap, tetapi X-ray dada ulangan menunjukan interval peningkatan infiltrat
pada sisi kanan dengan resolusi opasitas paru kiri. Pada hari ke-17 rawat inap,
saturasi oksigen tetap 97% dan dimulai continuous positive airway pressure
(CPAP).
Pada hari ke-18 rawat inap, pasien mengalami takipnea dan pasien kembali
diberikan CMV. Antibiotik dirubah dari Zosyn menjadi levofloxacin dan
nebulisasi tobramycin karena resistensi Pseudomonas pneumonia terhadap
piperacillin/tazobactam. Pada hari ke-19 rawat inap status neurologinya tidak
berubah dan pasien mulai diberikan Provigil. Pasien juga dipasangkan helm
pelindung. Dua hari kemudian, pada hari ke-21 rawat inap status neurologi pasien
tetap tidak berubah dan pasien dipindahkan ke fasilitas pelayanan jangka panjang.

Gambar 5. 10/30/14 CT scan kepala setelah craniectomy kiri untuk dekompresi


menunjukan perbaikan pergeseran garis tengah dan meningkatkan perdarahan
subarakhnoid traumatika bilateral.

10
Gambar 6. 10/30/14 CT scan kepala setelah ventriculostomy menunjukan ujung
kateter di kornu frontal dari ventrikel lateral kanan.

Gambar 7. 11/1/14 X-ray dada menunjukan infiltrat interstisial bilateral dan


atelektasis basal paru kiri dan efusi pleura.

11
Gambar 8. 11/4/14 X-ray dada menunjukan perburukan infiltrat interstitial dan
alveolar dan efusi pleura bilateral

Kunjungan follow-up tiga bulan kemudian, pasien tinggal di rumah


dengan ibunya. Sementara itu tracheostomy dan tube gastrostomynya telah
dilepaskan. Defisit neurologis terbesar pada pasien ini adalah afasia motorik
transkortikal dan gangguan mood. GCS nya 13 (E4 V3 M6). GOS nya adalah 3
dengan skala 5, dengan cedera berat dan permanen yang memerlukan bantuan
untuk kehidupan sehari-harinya. Modified Ranking Scale nya 3 dengan disabilitas
sedang, memerlukan beberapa bantuan, tetapi masih bisa berjalan tanpa asisten.
Lawton Instrumental Activities of Daily Living Scale nya adalah 4/8. Barthel
Indexnya adalah 95/100, dan National Institutes of Health Stroke Scale adalah 5.
Sebelas bulan setelah kecelakaan, pasien memiliki hasil skor yang sama dan
mengalami gangguan kejang (seizure); namun, kemampuan berbicaranya
membaik dengan speech therapy. CT scan kepala ulangan menunjukan perbaikan
herniasi eksternal (gambar 10).

12
Gambar 9. 11/4/14 perdarahan intraventrikular baru di kornu oksipital kiri,
peningkatan herniasi eksternal dari kontusio frontal kiri, dan penyembuhan edema
serebral difus dengan berkurangnya penipisan ventrikel.

Gambar 10. 8/3/15 perbaikan herniasi eksterna dan peningkatan hidrosepalus


sekunder akibat cedera otak.

13
BAB IV
Diskusi

Saat memprediksi mortalitas dan hasil yang tidak diinginkan setelah


cedera kepala traumatik berat, pemeriksaan, laboratorium, dan temuan pencitraan
dapat digunakan bersama dengan menggunakan kalkulator CRASH dan IMPACT
(9, 10). Hasil yang tidak diinginkan dapat berupa kematian, status vegetatif, atau
disabilitas berat. Disini kami menjelaskan pasien dengan GCS 3, pupil tidak
bergerak bilateral, dan temuan CT scan menunjukan perdarahan subarakhnoid,
pergeseran garis tengah, hematom subdural, penipisan ventrikel ke-3, penipisan
ventrikel ke-4, dan penipisan sisterna basalis. Maka dari itu, berdasarkan
kalkulator CRASH, yang meliputi jumlah Negara, usia, GCS, reaktivitas pupil,
dan temuan CT scan, pasien memiliki risiko mortalitas 14 hari sebesar 91,8% dan
95,7% kesempatan untuk hasil yang tidak diinginkan setelah 6 bulan (9).
Pemeriksaan laboratoriumnya yang digunakan bersama dengan temuan
pemeriksaan dan temuan pencitraan pada kalkulator IMPACT, menunjukan
konsentrasi glukosa awal 260 mg/dL dan konsentrasi hemoglobin 15,4 g/dL.
Menggunakan kalkulator IMPACT, setelah 6 bulan, prediksi probabilitas
mortalitas pasien sebesar 62% dan kemungkinan hasil yang tidak diinginkan
sebesar 77%. Pasien dipindahkan dari fasilitas tempat tidur, ventilator dan
ketergantungan makanan melalui tube, dan dengan status kesadaran minimal GCS
10T. Meskipun demikian, pasien memiliki pemulihan yang baik. Dalam waktu 1
tahun setelah rawat jalan pasien dapat tinggal di rumah, berinteraksi, dan pergi
berbelanja dengan ibunya, berjalan, makan sendiri, dan melakukan pekerjaan
sederhana dan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Hal ini adalah pengingat yang menyedihkan bahwa variabilitas diantara
individu pasien sendiri menyebabkan penentuan prognosis setelah cedera kepala
traumatika sulit dan tidak pasti.

14
BAB V
Kesimpulan

Kasus kami menunjukan bahwa kewaspadaan yang tingi harus dilakukan


saat menggunakan penelitian sebelumnya dan untuk membuat keputusan medis
terhadap individual pasien. Terapi untuk cedera kepala traumatika adalah
kompleks, dan harus berlanjut untuk mengembangkan pengobatan yang
berdasarkan bukti (evidence-based). Perbaikan hasil tidak bergantung pada satu
intervensi; melainkan, efek aditif dari intervensi multipel. dapat juga terjadi
perubahan hasil dengan penambahan monitoring multimodal, dan lebih banyak
penelitian harus dilakukan untuk menjawab hal ini. Disisi lain, putaran
multidisiplin harian dengan pelayanan neurocritical, Trauma Critical Care,
Infectious Disease, Pharmacy, Respiratory Therapy, Physical Therapy,
Occupational Therapy, Social Services, Chaplain Services, dan Dietary services
memberikan manajemen medis optimal dengan pendekatan berbasis tim.
Penelitian lebih lanjut perlu dilanjutkan untuk menyelidiki efek putaran
multidisiplin harian dapat memberikan hasil pada cedera kepala traumatik berat.

15

Anda mungkin juga menyukai