Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Infeksi cacing usus merupakan infeksi kronik yang paling banyak menyerang
anak balita dan anak usia sekolah dasar. Infeksi cacing usus ditularkan melalui tanah
yang tercemar telur cacing yang tinggal yang tidak saniter dan cara hidup tidak bersih
merupakan masalah kesehatan masyarakat, dipedesaan dan di daerah kumuh
perkotaan di Indonesia.
Penyakit yang disebabkan cacing yang ditularkan melalui tanah merupakan salah
satu penyakit parasitik yang menjadi masalah kesehatan masyarakaut di Indonesia.
Prevalensi kecacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama
pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai risiko tinggi terkait
penyakit ini. Di PIndonesia penyakit kecacingan tersebar luas di pedesaan dan di
perkotaan dengan prevalensi semua umur 40% - 60% dan murid SD sebesar 60-80%.
1. Definisi Strongiloidiasis
2. Penyebab strongiloidiasis
1.3.Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Etiologi
Hanya cacing dewasa betina yang hidup sebagai parasit di vilus duodenum,
bentuknya filiform, halus, tidak berwarna, dan panjangnya kira-kira 2 mm. Cara
berkembang-biaknya dengan parthenogenesis, telur bentuk parasitik diletakkan di
mukosa usus kemudian telur menetas menjadi larva rhabditiform yag masuk rongga
usus dan dikeluarkan bersama tinja.
Cacing dewasa yang diketahui hanya yang betina, panjangnya kira-kira 2 mm, di
duga cacing ini berkembang biak secara parthenogenesis. Cacing yang halus ini hidup
dalam vili duodenum dan jejunum. Telur menetas dalam usus, sehingga dalam tinja
ditemukan larva rhabditiformdan di tanah tumbuh menjadi larva filariform yaitu
bentuk infektif atau menjadi dewasa jantan dan betina dan bertelur lalu menetas --
larva rhabditiforminfektif atau hidup bebas jantan dan betina.(6)
1. Bentuk bebas (free living form)
Betina : ukuran 1 x 0.05 mm, esophagus panjang tubuh serta
pendek dan terbuka, uterus berupa satu barisan lurus yang berisi 40
50 telur. Vulva terbuka di sisi ventral dekat pertengahan tubuh.
Jantan : fusiform ukuran 0.7 x 0.07 mm, esophagus tertutup, memiliki
2 spikula dan 1 gubernakulum ujung ekor runcing dan melengkung.
2. Bentuk parasitic
Betina : halus dan transparan, ukuran 2.2 x 0.05 mm, esophagus
filiform panjang tubuh. Pada betina gravid uterus berisi 10 20
telur yang mengandung embrio. Vulva pada sisi ventral 1/3 posterior
panjang tubuh.
Jantan : menurut Kreist (1932) dan Faust ada bentuk parasitic jantan
pada manusia yang morfologinya sama dengan morfologi jantan
bentukbebas (free living). Namun belum ada peneliti yang
menemukan bentuk parasitic jantan ini selain Kreist dan Faust. Oleh
karena itu dianutlah pemahaman bahwa bentuk parasitic betina pada
manusia berkembang biak secara parthenogenesis.
3. Larva Rhabditiform
Ukuran 380 x 20 mm. esophagus pendek dan terbuka, genital primordium
besar dan ovoi terletak di ventral dekat intestinal. Ekor runcing.
4. Larva filariform
Ukuran 630 x 16 mm, mulut tertutup, esophagus panjang badan, ujung
ekor bercabang 2 pendek (fork tail) atau tumpul saja, sarung (sheath) tidak
ada.(7.8.9.10.11.12.13)
2.5. Siklus Hidup
1. Siklus langsung
Pada siklus tidak langsung larva rhabditiform di tanah berubah menjadi cacing
jantan dan cacing betina bentuk bebas. Sesudah pembuahan cacing betina
menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rhabditiform. Larva rhabditiform
dalam waktu beberapa hari menjadi larva filariform yang infektif dan masuk ke
dalam hospes baru atau larva rhabditiform tadi dapat juga mengulangi fase hidup
bebas. Siklus tidak langsung terjadi jika keadaan lingkungan sekitar optimum
yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini,
misalnya di daerah tropic dengan iklim lembab.
3. Autoinfeksi
Larva rhabditiform kadang menjadi larva filariform di usus atau daerah sekitar
anus. Bila larva filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal maka akan
terjadi suatu daur perkembangan dalam hospes. Adanya autoinfeksi dapat
menyebabkan strongiloidiasis menahun pada penderita yang hidup di daerah non
endemik.
1. Siklus langsung, dimana siklus ini berlangsung sama seperti cacing tambang
yaitu larva filariform menembus kulit.
2. Siklus tidak langsung ; siklus bebas di tanah menjadi jantan dan betina,
kemudia bertelur, membentuk larva rhabditiform, selanjutnya menjadi larva
filariform, kemudian menembus kulit sama hal nya dengan cacing tambang.
3. Hiperinfeksi, larva rhabditiform dalam usus menajdi larva filariform
menembus mukosa intestin ikut aliran darah, seperti cacing tambang.
Auto infeksi : pada perianal larva rhabditiform berubah menjadi larva
filariform, masuk ke kapiler darah, menuju jantung kemudian ke paru-paru
dan selanjutnya ke saluran pencernaan.(6)
Transmisi dengan penetrasi larva filariform infeksi melalui kulit dari tanah
yang terkontaminasi, atau per oral. Transmisi juga kemungkinan dapat terjadi
transplacenta (dari ibu ke janin yang dikandungnya) dan transmammary ( dari ibu ke
bayinya melalui air susu) oleh karena pernah ditemukan kasusnya pada hewan
mamalia lain. Penetrasi larva filariform infeksi menembus kulit menimbulkan
Cutaneus Larva Migrans dan Visceral Larva Migrans. Larva ini kemudian
menembus saluran limfatik atau kapiler terbatwa sampai ke jantung kanan dan kapiler
pulmonal. Kemudian keluar dari kapiler pulmonal dan penetrasi ke dalam alveoli
paru. Diduga saat keluar dari kapiler pulmonal parasit ini menyebabkan perdarahan
dan menimbulkan infiltrasi seluler pada paru. Kadang dapat terlihat gambaran bercak
infiltrat yang menyebar pada gambaran radiologis paru (Loefflers pneumonia).
Kumpulan gejala klinis yang ditimbulkan oleh parasit muda ini saat sedang berada di
paru dan saluran pernafasan disebut dengan Sindrom Loeffler.
Pada akhir masa inkubasi dan pada tahap awal infeksi terjadi leukositosis
(sampai dengan 25.000) dengan eosinofilia (>40 % ). Kemudian saat infeksi menjadi
kronik leukositosis berganti menjadi neutropenia dan monositosis relative, sementara
eosinofil moderat tetap bertahan selama bertahun-tahun. Pada keadaan kurangnya
eosinofil, disertai dengan leucopenia pada kasus kronik menunjukkan prognosa yang
buruk.
Pada keadaan tertentu larva filariform dapat gagal keluar dari kapiler
pulmonal paru menuju alveoli, lalu bermigrasi ke dalam venule pulmonal dan masuk
ke sirkulasi sistemik tubuh. Hal ini dapat mengarah kepada disseminated infection
yang dapat menyerang organ-organ lain seperti paru, hati, dan jantung. Namun
keadaan disseminated (menyebar) ini sendiri tidak berhubungan dengan beratnya
infeksi. Kasus disseminated biasanya terjadi pada penderita dengan
immunosupresi atau immunocompromised.
Penggunaan kortikosteroid
Diduga ikatan antara kortikosteroid dengan reseptor hormone steroid
mempercepat tranformasi larva rhabditiform menjadi larva filariform infektif.
Kortikosteroid juga menyebabkan supresi eosinofil dan aktivasi limfosit.
Pengguna obat-obat imunosupresif untuk terapi kanker
Penderita infeksi virus HTLV-1. Ko-infeksi Strongiloidiasis dengan infeksi
virus HTLV-1 (Human T cell Lymphotropic virus tipe 1) mempercepat fase
pre-leukemik infeksi HTLV-1. Antigen strongiloides mempercepat
leukemogenesis.
Dermatologis reaksi alergi dapat timbul akibat penetrasi larva melalui kulit.
Gatal dikulit-rash lesi papulovesikuler pruritus, biasanya dikaki.
Rash urtikaria yang alurnya berkelok-kelok akibat larva yang berjalan
menembus kulit.
Granuloma pada kulit (pada kasus autoinfeksi kronis)
Ptechie atau rash purpura (pada kasus disseminated)
Gastrointestinal
Kembung, rasa penuh di perut
Nyeri perut yang menyebar
Diare dengan darah (-)
Muntah
Berat badan menurun
Pulmonal
Wheezing
Batuk
Hemoptisis (batuk darah pada kasus disseminated atau pun hiperinfeksi)
Pernafasan dangkal
Susunan Saraf Pusat (SSP) gejala-gejala meningeal dapat di jumpai pada
kasus disseminated.
Sistem reproduksi pernah dilaporkan 1 kasus infertilitas oleh karena infeksi
strongyloidiasis disseminated dengan di jumpainya larva pada air mani
penderita dan konsepsi berhasil setelah penderita mendapat pengobatan
infeksinya.(4,8,13,14,15,19)
Gejalanya biasanya ringan bahkan kadang-kadang tanpa gejala dan dapat timbul
gejala rasa terbakar dan menusuk-nusuk di daerah duodenum, dimana cacing betina
bersarang. Biasanya rasa terbakar ini di daerah epigastrium dan tidak menjalar. Pada
infeksi berat dan kronis dapat menimbulkan kematian.(6)
2.8. Diagnosa
2.10. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan memakai alas kaki dan menghinudari kontak
dengan tanah yang tercemar. Pasien harus diskrining terlebih dahulu terhadap
kemungkinan adanya infeksi strongiloidiasis sebelum pemakaian obat-obat
imunosupresif.(20)
PENUTUP
3.1. Kesimpulan