&
STAKE OUT
Disusun Oleh
S. HENDRIATININGSIH S
Edisi II
1981
JURUSAN GEODESI
Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan
Institut Teknologi Bandung
KATA PENGANTAR
Bandung, Maret 81
Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR RUJUKAN
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR I : Standard Perencanaan Geometrik
DAFTAR II : Standard Perencanaan Alinemen
DAFTAR III : Panjang Minimum Spiral dan Kemiringan Melintang.
GRAFIK I : Pelebarab Perkerasan Pada Titik Tikungan
GAFIK II : Kebebasan Samping Pada Tikungan
GRAFIK III : Panjang Lengkung Vertikal Cembung
GRAFIK IV : Panjang Lengkung Vertikal Cembung (Untuk Jalan Raya Dua Jalur)
GRAFIK V : Panjang Lengkung Vertikal Cekung
GRAFIK VI : Panjang Lengkung Vertikal Cekung Pada Lintasan Bawah
BAB I
PENDAHULUAN
Dari data tersebut di atas, maka dapat dipilih jalur/trase terbaik. Pada jalur terbaik
dilakukan survey pendahuluan untuk mendapatkan peta dasar dimana akan digambarkan
rencana jalan tersebut.
Yang dimaksud dengan alinemen horisontal atau trase suatu jalan adalah proyeksi dari
rencana sumbu jalan, tegak lurus pada bidang datar (peta).
2.1.1. Tangen
Tangen merupakan bagian bagian lurus dari trase.
Tangen tangen tersebut dihubungkan dengan lengkungan lengkungan yang berupa
busur lingkaran atau busur peralihan yang berupa spiral.
Lengkungan lengkungan yang dihubungkan tangen yang satu dengan yang lainnya
disebut dengan istilah tikungan atau lengkungan horisontal.
Keterangan gambar
Titik CC = titik tengah busur lingkaran
Titik TC = titik tengah awal lingkaran (titik tangent ke lingkaran)
Titik PI = titik perpotongan tangen (point of intersection)
PI
C
TC
TC
Ec
CC
Lc
C U
TC T1b CT
U
II
I Rc Rc
C
C
Gambar 1
2.1.2.2.Spiral-lingkaran-spiral
Pada bentuk ini, bagian spiral merupakan perubahan dari bagian lurus kebagian
lingkaran, sehingga dikenal istilah lengkung peralihan.
Istilah peralihan dalam hal ini dimaksudkan untuk menyatakan perubahan jari jari
secara berangsur angsur dari tak terhingga pada awal lengkungan sampai dengan jari jari
busur lingkaran yang bersangkutan.
Bentuk lengkung spiral-lingkaran-spiral digunakan karena pada perencanaan jalan raya
tersebut dipertahankan kecepatan rencananya sedangkan jari jari lingkaran tersebut tidak
dapat memenuhi syarat
standar Geometrik Perencanaan jalan Raya, sehingga jari jari lingkaran yang
digunakan berada di bawah harga harga yang telah ditetapkan (Daftar III) !
(lihat gambar 2 di halaman berikut) !
Keterangan gambar :
Titik TS = titik awal spiral= titik dari tangen ke spiral.
Titik SC = titik dari spiral ke lingkaran.
Titik CC = titik tengah busur lingkaran.
Titik CS = titik dari lingkaran ke spiral.
Titik TS = titik dari spiral ke tangen.
Titik V = titik perpotongan tangen lingkaran.
Titik PI = titik perpotongan tangen spiral.
Titik O = titik pusat.
RC OG = O SC = O CC = OH
RC = jari-jari lingkaran
LC = panjang busur lingkaran = busur SO - CO OS
EG = jarak luar busur lingkaran = V - CO
C = sudut luar di V
TC = panjang tangen lingkaran
p = pergeseran tangen terhadap lingkaran (shift)
p = jarak dari A ke G
k = absis dari p pada garis tangen spiral
k = jarak dari TS ke A
LT = long tangen = jarak dari TS ke B
ST = s short tangent = jarak dari B ke SO
Garis B-SC-V adalah garis singgung di SO yang tegak lurus jari-jari RC, demikian juga
garis ST-CS-V dititik OS
XS = absis titik SO pada garis tangen
YS = ordinat titik SO pada garis yang tegak lurus garistangen.
Tt = panjang tangen total = jarak dari TS ke PI
s = sudut spiral = I C-B-SC = LA-O-SC = LCS-O-D.
= sudut luar di PI = 2 -g + Q
Et = jarak luar total = jarak PI ke CC
C = sudut lentur spiral = PI-TS-SC = PI-ST-GS
2
1 1
I= S .C S
3 LS
Cs diabaikan bila s 15 o
YS
10) ST =
sin s
11). c = - 2 s
12). Lc = c . Rc
1
13). Tc = Rc tan c
2
1
14). Ec = Tc tan c
4
2.1.2.3. Spiral-spiral
Pada lengkungan yang berbentuk spiral-spiral prin sipnya adalah sama dengan
lengkungan spiral ling-karan-spiral , hanya disini panjang busur lingkar-an LC = 0, sehingga c
=0, jadi :
= 2 s + c = 2 s , maka didapat bahwa :
1
s=
2
Menghitung besaran-besaran bagian spiral-spiral sama dengan menghitung besaran-
besaran pada Bab 2.1.2.1. ; No. 1 s/d 10.
2.2.1. Kelandaian
Kelandaian jalan adalah naik/turunnya jalan yang dinyatakan dalam % (persen).
Kelandaian + % berarti jalan itu naik, sedangkan kelandaian - % berati jalan itu turun.
Antara kelandaian-kelandaian tersebut dihubungkan dengan suatu lengkungan vertikal
yang berbentuk lengkungan parabola sederhana yang simetris.
2.2.2. Lengkungan Vertikal
Lengkungan vertikal pada jalan raya merupakan lengkungan yang dipakai untuk
mengadakan peralihan secara berangsur-angsur dari suatu landai berikutnya.
Lengkung vertikal disebut cembung apabila titik potong antara kedua tangent yang bersangkutan
(PVI) ada di atas permukaan jalan, dan disebut cekung apabila titik perpotongannya (PVI) berada
dibawah permukaan jalan.
Pada lengkungan vertikal digunakan lengkungan parabola sederhana simetris karena
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
Volume pekerjaan tanah
Panjang jarak pandangan yang dapat di peroleh pada setiap titik lengkungan vertikal.
Kenyamanan untuk pemakai jalan
Perhitungan-perhitungannya mudah.
1 0 0 0 0 0
2 5 4 +1 0 +2
3 7 8 -1 +2 +2
4 11 12 -1 +2 +2
5 16 16 0 0 0
6 17 16 +1 -2 -2
7 16 16 0 -2 -4
8 13 12 +1 -2 -2
9 7 8 -1 0 -2
10 4 4 0 0 0
11 0 0 0 0 0
Jumlah 96 96 0
kita dapatkan
2 V
1
Jika X i LV , maka Yi EV
2
tinggi.titik .PVI tinggi.titik .PLV
g1 100%
1 LV
2
tinggi.titik .PTV tinggi.titik .PVI
g2 100%
1 LV
2
Tinggi titik PVI, PLV dan PTV dilihat dari peta perencanaan.
Rumus-rumus yang digunakan pada lengkungan parabola cekung sama dengan rumus-
rumus yang digunakan pada lengkungan vertikal cembung.
Untuk menghitung tinggi titik-titik di lengkungan parabola, baik cembung maupun cekung dapat
digunakan rumus sebagai berikut :
g1 X
T X = T PLV + +Y
100
dimana : T X = tinggi suatu titik di lengkungan parabola yang berjarak horizontal sebesar X
meter dari titik PLV.
T PLV = tinggi titik PLV (dalam meter).
g1 = kelandaian dalam %
X = jarak horizontal suatu titik pada lengkungan dari titik PLV.
A
Y = . X 2 (dalam meter).
200 LV
100
Dimana : TX = tinggi suatu titik dilengkungan parabola yang berjarak horizontal sebesar X
meter dari titik PTV.
TPTV = tinggi titik PTV (dalam meter)
g2 = kelandaian dalam %
X = jarak horizontal suatu titik di lengkungan dari titik PTV.
Y = A . X2
200 LV
A = perbedaan aljabar landai dalam %
LV = panjang horizontal lengkung vertical parabola (dalam meter)
Menghitung tinggi titik PLV, PTV dari PVI atau sebaliknya adalah sebagai berikut :
TPLV = TPVI g1 . LV
100 2
TPTV = TPVI g2 . LV
101 2
Dimana : TPLV, TPVI, TPTV dalam meter
g1, g2 dalam % : LV dalam meter
Atau sebaliknya bila akan menghitung tinggi titik PVI dari PLV dan PTV adalah sbb :
g 1 Lv g 2 Lv
TPVI = TPLV + . TPVI = TPTV - .
100 2 100 2
As jalan
Badan jalan
h e = 2% e = 2% h
ki=kiri(-) kanan=ka(-)
Lebar jalan
Gambar 6 kemiringan melintang pada jalan lurus.
(+) ki
As Jalan
e max
h
h = Beda Tinggi
Ka (-)
Lebar Jalan
As Jalan Ka (+)
e max
h = Beda Tinggi
(-) ki
Lebar Jalan
h = b.e % h = b.
Diagram super-elevasi pada tikungan bentuknya ter gantung dari bentuk lengkungan
yang ada, yaitu
1. lingkaran
2. spiral-lingkaran-spiral
3. spiral-spiral
2.2.3.1 Diagram super-elevasi pada lingkaran
Dari peta rencana tercantum data lengkungan diantaranya ada data emax, V dan b.
Dengan data V maka Lm = landai relative dari Daftar II.
Dengan data emax dalam %,b dalam meter.
maka dapat dihitung Ls untuk lengkungan lingkaran untuk menggambar diagram super-
elevasinya,
LS = m x e total x b
Dimana : e total = e max + e normal (dalam satuan m/m)
Dengan uraian sebagai berikut :
e
Dimana : e max = e % = m/m
100
2
e normal = 2 % = m/m
100
kemudian dirubah kedalam satuan meter ,maka :
e e.b
e max = b m
100 100
2 2b
e
normal b b 2bmeter meter
100 100
eb 2b
e
total b
100
2 e b 100 meter
b
Jadi : LS m 2 e meter
100
gamabar
28
3.3 Stasioning
Stasioning dimulai dari titk awal proyek dengan nomor stasion 0 + 000. Angka sebelah
kiri tanda + menunjukan kilometer sedangkan sebekah kianan tanda + menunjukan meter. Angka
stasiona bergerak keatas dan tiap 50 meter dituliskan pada gambar perencanaan. Kemudian
nomor stasion pada titik utama stasion yaitu : TS, SC, CS, ST atau TC serta Pi harus
dicantumkan ; pemberian nomor diakhiri pada titik akhir proyek.
GAMBAR
Cara melkukan stasioning adalah sebagai berikut : dengan diketahuinya koordinat titik
awal proyek pada sta 0 + 000 dan koordinat titik titik PI 1 , PI2 .....dst. maka dapat dihitung jarak
jarak d1, d2, d3,.dst
Jarak jarak d ini untuk menghitung stasion PI sebagai berikut :
PI 1 sta . . + . . = (Sta 0 + 000 ) + d1
PI 2 sta . . + . . = (PI 1 sta . . + . . ) + d2
TS sta . . + . . = (PI 1 sta . . + . . ) - Tt
SC sta . . + . . = (TS sta . . + . . ) + Ls
CS Sta . . + . . = (SC Sta . . + . .) + LC
ST Sta . . + . . = ( CS Sta . . + . .) + LS
Kemudian untuk lengkungan yang kedua juga dihitung dari (PI 2 Sta . . + . .), jadi :
TS Sta . . + . . = (PI2 Sta . . + . .) - TS
SS Sta . . + . . = (TS Sta . . + . .) + LS
ST Sta . . + . . = (SS Sta . . + . .) + LS
Untuk stationing selanjutnya sampai dengan stasion akhir, cara melakukannya sama
dengan cara sebelumnya (dihitung dulu Sta PI).
BAB III.
PEMATOKAN/STAKE OUT
Pematokan/Stake out adalah memindahkan atau mentransfer titik-titik yang ada dipeta
perencanaan kelapangan (permukaan bumi).
Untuk menentukan titik awal Sta 0 + 000 dapat dilakukan dari A atau dari B, tergantung dari
situasi dan kondisi dari medannya tetapi sebaiknya dilakukan dua kali yaitu dari A dan B,
sehingga ada suatu koreksi.
Sta 0+000
(Xo, Yo)
U U
dao dbo
ao
ab ba
Gambar 13 bo
a). Mematok Sta 0 + 000 dari titik A :
Sebelum melakukan pematokan, terlebih dahulu menghitung besaran-besaran yang
diperlukan untuk pematokan, adalah sebagai berikut.
1. Hitung azimuth / sudut jurusan garis AB (ab) :
Xb Xa
tan ab
Yb Ya
ab =
2. Hitung sudut jurusan garis AO ((ao) :
Xo Xa
tan ao
Yo Ya
ao =
Arahkan alat ukur tersebut ketitik BM-B, misalkan bacaan lingkaran horisontalnya = I 1
Kemudian putar alat ukur searah jarum jam sehingga bacaan lingkaran horisontalnya = I 1
+ (3600 - ).
Ukurkan jarak sepanjang dao yang searah dengan garis bidik teropong pada.***).
ba ...0...'..."
2. Hitung sudut jurusan BO (bo) :
Xa Xb
tan ba
Ya Yb
ba ...0...'..."
3. Hitung sudut = < OBA
= ao ba
4. Hitung jarak BO = dbo
Xo Xb Y Yb
d bo atau o
sin bo cos bo
atau X o X b 2 Yo Yb 2
Arahkan alat tersebut ketitik BM-A, dan baca lingkaran horisontalnya, misalkan= I 2
Kemudian putar teropong tersebut searah dengan arah jarum jam , sehingga bacaan
lingkaran horisontalnya = I2 +
Ukurkan jarak sepanjang dbo yang searah dengan garis bidik teropong pada ***).
ab PI2 (X2,Y2)
Sta 0+000
BM.B(Xb,Yb)
Gambar 14
1). Hitung sudut jurusan OB = ob
Xb Xo
tan ob
Yb Yo
ob ...o...'..."
X1 X 0
tan 01 =
Y1 Y0
01 = ...
= ob - o1
X1 X 0 Y Y0
4). Hitung jarak = PI 1 = d o1 = atau 1
sin 01 cos 01
atau ( X 1 X 0 ) 2 (Y1 Y0 ) 2
B
pita ukur
A
d
G
D B
d
D C
A
X
Gambar 15a.
Dua titik A dan B diukur jaraknya, langsung diatas tanah didapat sebesar d, dimana d
adalah jarak miring, bila permukaan tanah antara A dan B miring seperti gambar 15b dan 15c.
3.1.3. Cara pengukuran jarak dan pembuatan tangent (garis lurus) dilapangan
3.1.3.1. Pengukuran jarak :
Cara pengukuran jarak dengan pita ukur tergantung pada situasi medannya.
Ada beberapa cara, yaitu sbb :
a. Diletakan langsung diatas tanah (gambar 15)
b. Jarak mendatar diukur langsung dengan memakai unting-unting(gambar 16)
Pada cara a), harus diperhitungkan kemiringan/kelandaian permukaan tanah yang di ukur,
hal ini dapat dipecahkan dengan cara mengukur sudut vertika atau beda tinggi antara titik-titik
yang diukur jaraknya.
Gambar 15 d
Jarak yang diukur adalah d = jarak miring, yang diperlukan adalah jarak mendatar D
Diukur sudut dengan alat ukur sudut vertikal (clinometers)
Maka jarak mendatar D = d cos .
Sudut dibaca dari clinometers.
Gambar 15c
Cara mengukur jarak dengan memakai koreksi
Koreksi kemiringan = x.
Jarak yang diukur jarak miring d.
Beda tinggi titik A dan B = h.
Jarak yang diperlukan adalah jarak datar D, maka dari ABC di dapat :
d2 = D2 + h 2
dari gambar terlihat : D = ( d x ) maka :
d2 = ( d x ) 2 + h2
d2 = d2 - 2d x + x2 + h2
2dx = x2 + h2
x2 h2
x
2 d 2d
2
Pita ukur
A Unting-unting
B unting-
unting
gambar 16a
d1
A d2
d3
d4
d5
D
B
Gambar 16 b.
Pada gambar 16a. cara pengukuran jarak titik A dan B, bila A dan B berdekatan.
Gambar 16b.
Bila jarak antara titik A dan B jauh, maka dilakukan pengukurannya sebagian-sebagian, jadi
jarak datar D = d1 + d2 + d3 + d4
3.1.3.2. Pembuatan Tangen di Lapangan :
Setelah letak titik awal, arah dan panjang tangent di ketahui, maka pada prinsipnya
pembuatan tangen dilapangna dapat dilakukan sebagai berikut :
U
tangen PI
Sta 0+00 Sta 0+100 Sta 0+150 Sta 0+200 Sta 0+300
Sta 0+050 Sta 0.250
Gambar 17.
Misalkan titik Sta 0 + 000 telah diketahui letaknya dilapangan dan arah tangen tersebut
telah diketahui pula, maka pemasangan patok setiap 50 m pada pada garis tangen adalah
sebagai berikut :
Berdirikan alat ukur pada titik Sta 0 + 000, buat arah 1 (arah tengen tersebut) dan
ukuran pita ukur 50 m kemudian dipasang patok kayu yang merupakan titik Sta 0 + 050,
demikian seterusnya sampai 300 m.
Kemudian pindahkan alat ukur sudut di Sta 0 + 300, arahkan ke titik Sta 0 + 000 putar
terpotong dalam keadaan luar biasa, ukur jarak 50 m, pasang patok pada Sta 0 + 350,
demikian seterunya sampai dengan PI.
b. Prisma segitiga
Gambar 18b.
Gambar 18d.
Berdiri dititik P diarahkan Ke Q, bila bayangan titik A dan B terlihat pada prisma tersebut
berarti garis PQ tegak lurus AB.
5 4
R 3 P
Gambar 18e.
Dengan mengukur jarak-jarak dimana perbandingan PR : PQ : QR = 3 : 4 : 5,maka garis
PQ akan tegak lurus PR.
Q
A P B
Gambar 18f.
A B C F tangen
90
90
90 90
D E
Jarak CF = jarak DE =
Gambar 19a
bangunan
Jarak CD = jarakEF
b. Dengan cara membuat segitiga samasisi
A B D tangen
60 120
120
60
sungai
Gambar 19b
Jarak BD = jarak BC = jarak CD
c)
A B tangen
C E
540-2
Gambar 19c.
Jarak CD = jarak DE
Jarak CE = 2 CD cos = 2 DE cos .
d) Dengan cara membuat segitiga siku-siku
270 -
A B C tangen
E
90
D
Jarak CE = CD tan
CE =
CE =
Gambar 19d.
3.1.5.2. Bila ternyata banyak rintangan di lapangan.
Cara pembuatan tangen adalah sebagai berikut.
B E
A
d d d d d
C A GambarA20a. A D
Jarak BC = Jarak DE = d
Jarak BE = Jarak CD
A d1 F
d2 d3
B d4
C
D
Gambar 20b E
BC
D1 d4
BF
BD
d2 d4
BF
d3 = . d4
Jarak BG = . d4
A B sungai C
Gambar 21a.
Jarak BD = BC tan
A C
sungai
900
B
Gambar 21b.
Jarak AC = AB cos
b). Dengan cara segitiga sama sisi
240 0 240 0
A C
Danau
0
60
Gambar 21d.
Jarak AC = Jarak AB
= Jarak BC
A C
Sungai
Gambar 21e.
AC 2 = AB 2 + BC 2 - 2 AB BC cos
sin cos
Dimana BC = AC sin
DANAU
Gambar 21f.
Yang diukur jarak-jarak : AC, CE, ED, , & 180 - .
DE DE
Maka jarak AB = AC EC
atau = CB CD
D 180 - 180 -
E
e). Dengan cara segitiga sama dan sebangun
A B
danau
Gambar 21g.
Maka jarak AB = Jarak DE
3.1.5.4 Bila letak PI terganggu (tidak dapat) ditempati alat ukur sudut
Dalam hal mengukur sudut di PI bila letak PI terganggu dapat dilaksanakan sebagai berikut :
PI
B dBC C
tangen II
tangen I
A
Pada garis tangen terletak titik B pada tangent I dan C pada tangent II.
Maka untuk mendapatkan sudut di PI dapat dihitung dengan mengatur sudut-sudut di titik B
dan C yaitu dan .
Jadi = +
3.2 Pematokan Lengkungan Horisontal
Pematokan pada lengkungan horizontal dibedakan atas bentuk lengkungan tersebut yaitu:
1. Lingkaran
2. Spiral
Pada pematokan lengkungan berbentuk lingkaran ada 5 cara, dari titik TC.
a. Cara dengan selisih busur yang sama panjang
b. Cara dengan selisih absis yang sama panjang
c. Cara dengan perpanjangan tali busur
d. Cara dengan koordinat polar (metode sudut defleksi)
e. Cara dengan membuat politon.
A. 3.2.1.1. Cara dengan selisih busur yang sama panjang dari titik TC.
Dari data lengkungan diketahui unsur-unsur Rc, c, dan Lc.
Misalkan panjang busur yang sama panjang = a meter = ; dimana n adalah banyaknya
Gambar 23a.
Dari segitiga TC - 1 - 0 (lihat Gambar 22.a diatas). Panjang busur a membentuk sudut ,
maka : .
Koordinat titik 1, 2, 3, 4, n = CT pada salib sumbu garis tangen (TC - PI) dengan garis yang
tegak lurus pada (TC-0) adalah sebagai berikut :
Untuk titik 1 =
Untuk titik 2 =
Untuk titik 3 =
Untuk titik 4 =
Cara ini banyak hitungannya tetapi letak titik-titik patok/patok pada lengkungan teratur.
3.2.1.2. Cara dengan selisih absis yang sama panjang dari titik Tc.
Gambar 23b.
Selisih absis = a
Untuk titik 1 :
Untuk titik 2 :
Untuk titik 3 :
Untuk titik n :
Cara ini banyak juga perhittingannya dan letak titik-titik -nya pada lengkungan tidak
teratur.
3.2.1.3. Dengan cara perpanjangan tali busur dari TC (lihat gambar 23c dihalaman berikut) !
Panjang talibusur = a
Gambar 23 c
Untuk titik 1 :
X1 = a cos
2
Y1 = a sin
2
Dengan cara ini untuk titik 1 dapat diukur x 1 dan y1 dengan sudut 900, juga dapat mengukur
sudut jarak a. Demikian pula untiik titik 2, selain diukurkan ^arafc-jaralr x 2r ian y2 dengan
2
sudut 90 (perpanjangan tali busur) frisa juga iengan mengukurkan sudut dari jar&k a.
Hetapi dengan cara perpanjangan tali busur ini selain tidak effisien juga terjadi
pertiunpukan kesalahan.
3.2.1.4. Dengan cara menggunakan koordinat polar atau metoda sudut defleksi.
a). Dari Titik Tc
Tc
/2
a 1
a
b
3 /2 2
Rc
a
0
a=n
b=
3
c 2 Rc sin
2
n
n 2 RC sin
2
c
n T 1b 2 Rc sin
2
Alat berdiri dititik TC dan a merupakan jarak yang konstan.
Metoda ini effisien untuk lingkaran yang berjari-jari besar, dimana harga a diambil antara
8-12, 5m.
90
2
180
180
Gambar 23e.
Dengan cara poligon, jarak-jaraknya antara titik adalah konstan = a.m. dan sudut-
sudutnya ( 90 ),
2
(180 -) atau dan (180 + ), tetapi karena cara mengukurnya disetiap titik pada
2
busur lengkungan, maka kesalahan akan bertumpuk.
Untuk memperkecil kesalahan, dilakukan sentering paksaan dan jarak a diambil sebesar
mungkin.
Cara ini digunakan apabila tempatnya sempit, seperti terowongan.
B. Dari titik 0
Alat terdiri di 0 dengan sudut-sudut defleksi dan jarak nya Rc (Gambar 23 f)
Gambar 23 f
c. Dari titik PI
Gambar 23g
c
n
n = banyaknya titik
1
T c =R c tg c
2
tg 1 =
y1
Tc X 1
X 1 = R c sin
Y 1 = R c - R c cos
Jadi tg 1
Rc (1 cos )
= 1
Rc (tg c sin )
2
y1 Rc (1 cos )
d1 =
sin 1 sin 1
(1 cos 2 )
dan tg 2 = 1
tg c sin 2
2
Rc (1 cos 2 )
d2 =
sin 2
Gambar 24a.
dimana :
O s = sudut aspiral dalam derajat
Cs= koreksi spiral = 0,0031
(Cs satuan detik sedangkan 0s derajat).
Alat didirikan diatas titik TS, kemudian diukurkan sudut-sudut 0 dan jarak-jarak l1
2.2.2. Dengan cara absis dan orclinat,
Pada cara absis dan ordinat diperlukan data ukuran-absis (X. ) pada tangen dan ordinat
(Y^) pada garis yang tegaklurus tangen pada setiap titik ditangen. Data ukuran terbut untuk
keperluan pematokan harus dihitung terleBih dahulu dari data lengkungan yang ada misalnya
Ls,Rc dan s
Gambar 24 b
Dari data lengkungan yaitu LS , RC dan S dapat dihitung data untuk pematokan
sbb :
a) li = jarak antara titik TS dengan titik titik I pada busur spiral.
i = titik titik pada busur spiral
b) Xi = jarak titik TS ke titik i pada garis tangen
i = titik titik pada garis tangent
5
li
X i li 2 2
li cos i
40 RC LS
dimana : = sudut spirlal dalam derajat
2
l
i = 13 i S C S
LS
LS = Panjang spiral
L
2
L
X 6 YS S S S LS sin C
3 6 RC
1
dimana : C S CS
3
Setelah data tersebut dihitung untuk setiap titik, maka jalannya pengukuran adalah sbb :
Problema Rintangan Pada Lengkungan, dapat terjadi pada busur lengkung lingkaran dan
spiral.
Disini akan dibahas bila pada pematokan busur lingkaran dengan cara polar atau sudut
defleksi ternyata ada gangguan/rintangan berupa bangunan atau lainnya. Sedangkan pada
lengkungan spiral pada prinsipnya sama saja bila menggunakan metoda sudut defleksi.
3.2.3.1. Bila ada bangunan disekitar as/sumbu ;
Gambar 25a.
Dian buat sudut defleksi yang besarnya sama dengan sudut defleksi dari titik TC ketitik 3
4
ditambah , yaitu , maka akan didapat titik 4.
2 2
Bila titik 5 dan CT masih dapat terlihat dari titik 3, maka untuk mendapatkan titik 5 dan TC
hanya dengan menambahkan sudut dan .
2
a
Dimana : sin
2 2 RC
A = panjang tali busur (jarak antara titik).
RC = Jari jari lingkaran
Secara umum, bila pematokan hanya dapat dilakukan sampai dengan titik i, maka di titik i
tersebut alat dibuat sudut sebesar (i + 2) dengan jarak a, maka akan didapat titik (i + 1).
2
1
Dan titik CT dapat ditentukan dari titik TC dengan membuat sudut C dari arah tangen
2
1
(TC PI) dan jarak TC ke CT = 2RC sin C .
2
Juga titik CT dapt ditentukan dari titik PI dengan membuat sudut (180 + C ) dari arah TC
1
dan jarak PI ke CT sebesar TC = RC tan C .
2
3.2.3.2. Bila bangunannya terletak dias/sumbu.
Bila ada rintangan pada as/sumbu, misalnya rintangan tersebut merupakan bangunan
yang terletak pad as/sumbu lingkaran, maka pematokannya hanya titik titik yang tidak melintasi
bangunan tersebut.
Pertama-tama dipasang dahulu titik-titik TC, PI, dan CT. Kemudian dengan cara sudut
defleksi dari titik TC dan CT dipatok titik-titik 1, 2, 5 dan 6. Sedangkan titik-titik 3 dan 4 tidak perlu
dipasang.
Jarak antara titik = a meter ( 5 m 12 m ).
a
Sedangkan sudutnya sin
2 2 Rc
Gambar.25b.
Untuk menggantikan titik 3 dan 4, maka dibuat titik P dan Q disisi bangunan, dari TC dan CT
dengan jarak TC P = p dan jarak CT Q = q dimana sudut yang dibuat di TC dan CT adalah
dan , dimana:
1
Kemudian alat diletakan di titik 2, arahkan ke CT, buat sudut sebesar 180 ( C ) maka
2
akan didapat titik Q, ukur jarak 2.Q dan setelah titik Q didapat, tentukan titik R dengan jarak
QR = 2P = (R C - R C cos ) dan sudut 90, karena garis PR dibuat sejajar dengan garis 2.Q .
RC
Sta R = Sta 2 - ( 2Q RC sin )
dimana : = 57,296.
PI
?C
2 3
4
1 5
TC CT
R
RC
a
?C
Gambar 25.d
Pada gambar 25d titik c tidak dapat dilokasikan, maka seperti pada gambar 25c, dibuat
garis 4Q sejajar PR .Setelah titik titik 1, 2, 3, 4 dan 5 ditentukan (dipatok) dari titik TC dengan
cara sudut defleksi, maka berdirikana alat di titik 4, arahkan ke titik TC kemudian puter teropong
dengan membuat sudut sebesar { 180 0 - ( + alpaha)} sehingga didapat titik Q. ukur jarak
4Q. Setelah titik Q didapat ukurkan sudut 90 0 dan jarak QR =4P = (RC RC COS alpha), maka
didapat titk R pada garis tangent PI CT.
Untuk checking stationing, maka :
Gambar 26.a
dimana
Tn = Tinggi rencana titik n.
tn = Tinggi permukaan tanah asli titik n.
rumus-rumus hitungan diatas berlaku pula untuk kelandaian yang negatif.
Gambar 26 b.
*' .- "
Gambar. 26b adalah rencana kelandaian negatif.
Terlebih dahulu dihitung tinggi rencana titik-titik 4, 5> 6 (T ) kemudian dengan cara tinggi
gar is bidik dihitung ting*-gi permukaan tanah titik-titik 4, 5, 6 (t n) sehingga dapat dihitung galian
atau timbunan pada titik-titik tersebut.
Dengan cara yang-sama, bila pada peta perencanaan ada sta -tion-station PLV, PVI dan
PTV, maka pada station-station tersebut dipasang patok selain station-station tiap 25m-50ni.
G-ambar 26c (dihalaman berikut) adalah gambar rencana leng -kungan vertikal cembung.
Dari data-data tersebut diatas dapat dihitung tinggi renca na titik-titik 16, 17, 18, 19 dan 20 (0? n)
dengan cara sbb:
T16 = TPLV = TPVI (g1/100). (LV/2)
T20 = TPTV = TPVI (g2/100). (LV/2)
dimana :
X = Jarak mendatar suatu titik dilengkungan dari titik PLV atau PTV.
Y= dalam meter
Setelah didapat (dihitung) tinggi rencana titik-titik pada lengkungan, kemudian dilakukan
pengukuran tinggi dengan cara tinggi garis bidik sehingga dapat dihitung tinggi titik-titik pada
permukaan tanah dan dihitung dalamnya galian atau tingginya timbunan untuk setiap titik.
Gambrar 26d.
Demikian juga hitungan-hltungan untuk lengkungan vertikal, cekung (Gbr 26d), dalam
menenttLkan/menghituing tinggi rencana titik-titik pada lengkungan yaltu : 23, 24, 25, 26 dan 27
(T ) dapat digtuiakan rumus-rumus seperti diatas (untult Gbr. 26c).
Supaya pekerjaan penggalian dan penimbunan berjalan lancax hendaknya pada waktu
pematokan vertikal, patok terseBut di beri warna (cat) yang berlainan. Misalkan untuk patok yang
harua digali menggunakan warna kuning dan untuk patok tim-bunan menggunakan warna merah
atau memasang patok bambu di sebelah patok merah teraebut setinggi timbunannya
Pada pematokan sis/pinggir jalan (untuk membuat badan jalan) dapat dilakukan bersama sama
pematokan as jalan dengan melihat rencana diagram super-elevasi (Bab 2.2.3).
Dan diagram super-elevasi dapat dihitung tinggi rencana titik-titik di pinggir jalan tersebut.
Dengan cara yang sama pada pematokan as jalan dapat juga mematok pinggir jalan tersebut.
Pada waktu pekerjaan tanah berlangsung yaitu galian & timbunan, maka dilakukan pula
pengukuran profil memanjang sepanjang as jalan dan sisi/pinggir jalan untuk memeriksa apakah
sudah atau belum bentuk profil jalan tersebut, atau dengan perkataan lain, sesuai rencana atau
tidak bentuk profil jalan tersebut.
DAFTAR I
STANDAR PERENCANAAN GEOMETRIK
Kecepatan Jarak Jarak Jari-jari lengkung Batas jari-jari lengkung Landai relatif
rencana Pandangan pandangan minum dimana tikungan dimana harus anatara tepi
(km/jam) henti (m) menyiap (m) miring tikungan tak menggunakan busur perkerasan
perlu (m) peralihan (m) maksimum
120 225 790 3000 2000 1/280
100 165 670 2300 1500 1/240
80 115 520 1600 1100 1/200
60 75 380 1000 700 1/160
50 55 220 660 440 1/140
40 40 140 420 300 1/140
30 30 80 240 180 1/100
STANDAR PERENCANAAN ALINYEMEN
DAFTAR RUJUKAN
1). BINA MARGA : 1. Standard Perencanaan Geometrik Jalan Raya
2. Staking Out
3. Pedoman Cara Menghitung Tikungan Jalan
Raya
2). Ir. Lien Tumewu : Route Survey, Diktat Jurusan Geodesi,
FTSP-ITB,Bandung,1977.
3.) Prof.Ir.Soetomo Wongsotjitro : Ilmu Ukur Tanah
4.) Thomas F. Hickerson : Route Surveys and Design
DAFTAR LAMPIRAN