FILSAFAT ILMU
Tentang
Oleh
Kelompok 5
1
KATA PENGANTAR
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan telah mengubah sejarah peradaban
manusia menjadi lebih modern. Para ilmuan berhasil mengembangkan ilmu
pengetahuan karena mereka bekerja secara sistematis, jujur dan disiplin. Mereka
mengembangkan semua keterampilan yang mereka miliki. Keterampilan itu
dinamakan keterampilan proses. Seseorang yang ingin mempelajari sains
diharapkan dapat menggunakan dan melatih keterampilan proses yang dimilikinya
sehingga akan terbentuk suatu sikap ilmiah dalam menjawab berbagai pertanyaan-
pertanyaan di alam.
Metode ilmiah adalah langkah-langkah sistematis dan teratur yang
digunakan dalam rangka mencari kebenaran ilmu pengetahuan. Metode ilmiah
diperlukan dalam melakukan suatu penelitian. Mengapa kita harus melakukan
penelitian ? Penelitian dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan rasa
ingin tahu manusia terhadap suatu kejadian atau gejala alam tertentu. Ilmu
pengetahuan terus berkembang karena para ilmuan tak berhenti mencari tahu dan
meneliti mengenai gejala-gejala alam yang terjadi.
Banyak bentuk dan cara penulisan keilmuan yang dapat ditemui dalam
berbagai pedoman penulisan. Bentuk luarnya bisa berbeda namun jiwa dan
penalarannya sama. Maka yang lebih penting adalah mengetahui teknik-teknik
pelaksanaan dan memahami dasar pikiran yang melandasinya. Pemilihan bentuk
dan cara penulisan dari segi khasanah yang tersedia merupakan masalah selera
dan preferensi perorangan dengan cara memperhatikan berbagai faktor lainnya
seperti masalah apa yang sedang dikaji, siapakah yang akan membaca tulisannya
dan dalam rangka keilmuan apa karya ilmiah ini akan disampaikan.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka akan dicoba untuk membahas alur-
alur jalan pikiran yang terdapat dalam sebuah penelitian ilmiah yang dikaitkan
dengan proses penulisan. Dalam bentuk pembahasan ini tidak menekankan kepada
aspek-aspek penelitian seperti teknik analisis statistika, pengambilan contoh dan
3
pengumpulan data melainkan kepada rambu-rambu pikiran yang merupakan tema
pokok sebuah proses penelitian. Tema pokok ini akan dijabarkan secara logis dan
kronologis dari metode keilmuan. Untuk itu maka akan dibahas struktur penulisan
ilmiah yang secara logis dan kronologis mencerminkan kerangka penalaran
ilmiah. Pembahasan ini ditujukan bagi mereka yang sedang menulis tesis,
disertasi, laporan penelitian atau publikasi ilmiah lainnya. Disaat mengenal
kerangka berpikir filsafati maka kita secara lebih mudah akan menguasai hal-hal
yang bersifat teknis.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana struktur penelitian dan penulisan ilmiah ?
2. Bagaimana teknik penulisan ilmiah ?
3. Bagaimana teknik notasi ilmiah ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui penjelasan mengenai struktur penelitian dan penulisan
ilmiah
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
mengenai hakikat keilmuan agar dapat melakukan penelitian dan sekaligus
mengkomunikasikannya secara tertulis. Tidak lagi menjadi soal dari mana dia
akan memulai, sesudah itu melangkah kemana, sebab penguasaan tematis dan
teknik akan menjamin satu keseluruhan bentuk yang utuh. Demikian juga bagi
seorang penulis ilmiah yang baik, tidak jadi masalah apakah hipotesis ditulis
langsung setelah perumusan masalah, ditempat mana akan dinyatakan postulate,
asumsi atau prinsip, sebab dia tau benar hakikat dan fungsi unsur-unsur tersebut
dalam keseluruhan struktur penulisan ilmiah.
Lain halnya dengan mereka yang belum menguasai logika penalaran ilmah
secara baik yang akan memperlakukan bentuk dan cara penulisan secara kaku.
Bagi mereka materi dalam pedoman merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-
tawar lagi, urutan dan langkahnya merupakan harga mati. Lalu muncullah
umpamanya keharusan-keharusan penulisan, yang sebenarnya satu adalah logis
bahkan imperative, namun dalam hal yang lain adalah tidak perlu dan kadang-
kadang dipaksakan. Umpamanya karena ada keharusan mencantumkan asumsi,
sedangkan dalam seluruh kerangka argumentasi keilmuan tersebut kita tidak
memerlukan adanya asumsi tertentu, maka pengajuan asumsi tersebut tidak perlu.
Bahwa untuk memilih salah satu teori dari sejumlah teori yang tersedia untuk
menganalisis sebuah persoalan jelas memerlukan adanya asumsi tertentu.
Pernyataan secara tersurat tentang asumsi yang dipergunakan bersifat imperatif
sebab dengan asumsi yang berbeda maka kita akan mempergunakan teori yang
berbeda pula.
Bagi seorang pembaca yang mempunyai asumsi yang berbeda dengan
asumsi yang dipergunakan dalam analisis, maka hal itu berarti dia kemungkinan
besar tidak setuju dengan teori yang dipergunakan sebagai dasar argumentasi,
dengan demikian analisis serta konsekwensinya tidak menarik lagi. Sama halnya
dengan pencantuman postulate dan prinsip, apabila perlu maka hal ini memang
harus tersurat, namun jangan dipaksakan dan dibuat-buat, sebab yang penting
bukan ada atau tidaknya, atau dituliskannya dibagian mana, melainkan untuk apa
serta dalam kaitan dengan argumentasi mana keberadaan mereka mempunyai
makna.Selanjutnya akan dibahas tentang struktur penulisan ilmiah secara logis
6
dan kronologis yang mencerminkan kerangka penalaran ilmiah.langkah-
langkahnya sebagai berikut:
1. Pengajuan Masalah
12
marilah kita mengambil salah satu dari ke-empat masalah dalam
perbandingan antara pendidikan formal dan non-formal yakni tentang
prestasi belajar IPA di SD. Dengan menggunakan pengetahuan ilmiah yang
relevan terhadap permasalahan tersebut maka kita mulai melakukan analisis
berupa pengkajian teroritis.
Upaya yang kita lakukan adalah mencoba mengkaji berdasarkan
pengetahuan ilmiah mengenai karakteristik dari pendidikan formal dan non-
formal seperti: Apakah yang disebut pendidikan formal dan non-formal itu?
Bagaimana cara pendidikan dilakukan? Apakah prasarana dan sarana yang
dipergunakan? Bagaimanakah cara mengembangkan kurikulum?
Bagaimanakah cara melakukan bimbingan? Teknik evaluasi apa yang
dipergunakan?
Upaya kedua, disebabkan studi adalah membandingkan pendidikan
formal dan non-formal, maka dicoba mencari perbedaan karakteristik yang
terdapat dalam kedua pendidikan tersebut, umpamanya saja: Apakah
perbedaan yang bersifat karakteristik dalam proses belajar mengajar?
Adakah perbedaan dalam memberikan bimbingan? Berbedakah aktifitas
murid dalam kedua proses belajar tersebut? Dimana letak perbedaan dalam
pelaksanaan dan penilaian?
Dalam upaya kedua tersebut kita mencoba mengidentifikasikan
perbedaan diantara pendidikan formal dan non-formal, sebab bila terdapat
perbedaan prestasi belajar IPA dalam kedua bentuk pendidikan tersebut,
maka kemungkinan besar hal ini langsung atau tidak langsung terkait
dengan perbedaan karakteristik antara kedua bentuk pendidikan tersebut.
Apabila hal ini diterima, maka timbullah masalah selanjutnya: Mengapa
prestasi belajar IPA di SD terpengaruh oleh perbedaan tersebut? Faktor apa
sajakah dari pengajara IPA di SD terpengaruh serta bagaimana
pengaruhnya?
Hal ini mendorong kita untuk melakukan upaya ketiga yakni mengkaji
secara ilmiah mengenai hakikat IPA dan proses pengajar IPA di SD:
Apakah yang disebut IPA? Bagaimana aspek ontologism, epistemologis dan
13
aksiologis IPA? Bagaimanakah cara pengajaran IPA di SD? Syarat-syarat
apa yang mempengaruhi keberhasilan pengajaran IPA di SD? Bagaimana
kurikulum IPA di SD? Pengetahuan kita mengenai hakikat IPA dan proses
pengajaran IPA di SD akan memungkinkan kita untuk menganalisa
bagaimana interaksi antara faktor-faktor IPA dan pengajaran IPA dengan
pendidikan formal dan non-formal di SD. Berdasarkan teori-teori ilmiah
yang ada maka kita akan sampai kepada kesimpulan: Bentuk pendidikan
manakah yang akan menghasilkan prestasi belajar IPA di SD yang lebih
baik? Argumentasi manakah yang dapat kita kemukakan untuk menjelaskan
hal itu?
Kesimpulan tersebut diatas disebut hipotesis yang secara susah payah
kita turunkan dari pengetahuan ilmiah yang ada. Jadi tidak benar bila ada
orang yang menganggap bahwa seorang peneliti ilmiah boleh mengajukan
hipotesis secara asal-asalan. Seperti diketahui pada hakikatnya metode
ilmiah yang dapat disimpulkan kedalam dua langkah utama yaitu:
a. Pengajuan hipotesis yang merupakan kerangka teoritis yang secara
deduktif dijalin dari pengetahuan yang dapat diandalkan
b. Pengumpulan data secara empiris untuk mengkaji apakah kenyataan yang
sebenarnya mendukung atau menolak hipotesis tersebut.
Semboyan ilmiah pada hakikatnya adalah sebuah kalimat yang
berbunyi: Yakinkan secara logis dengan kerangka teoritis ilmiah dan
buktikan secara empiris dengan cara-cara mengumpulkan fakta yang
relevan. Jadi pada hakikatnya seorang ilmuwan boleh tidak menerima hasil
penelitian seseorang, apapun juga hasilnya, apabila kerangka teoritis dalam
pengajuan hipotesis baginya tidak meyakinkan. Tahap pembuktian empiris
hanyalah sekedar tahap lanjutan dari tahap pengajuan hipotesis dan tidak
berdiri sendiri. Seyogyanya, dalam artian ilmiah yang paling murni seorang
peneliti tidak diperkenankan mengumpulkan data empiris apabila belum
berhasil menyusun kerangka teoritis yang meyakinkan.
19
Kerangka teoritis suatu penelitian dimulai dengan mengidentifikasikan
dan mengkaji berbagai teori yang relevan serta diakhiri dengan pengajuan
hipotesis. Bahwa produk akhir dari proses pengkajian kerangka teoritis ini
adalah perumusan hipotesis harus merupakan pangkal dan tujuan dari
seluruh analisis. Hal ini harus tercermin bukan saja dalam struktur logika
berpikir melainkan juga dalam struktur penulisan. Sebenarnya satu tujuan
dalam kerangka teoritis ini adalah menganalisis karakteristik hubungan yang
mungkin terjadi antara prestasi belajar IPA di SD dalam pendidikan formal
dan non-formal maka tujuan ini harus tercermin dalam pernyataan
pembukaan (opening statement) sebelum kita mengidentifikasikan dan
mengkaji teori-teori yang relevan. Pernyataan secara tersurat mengenai
tujuan ini akan membawa dua manfaat yakni: dengan cepat kita dapat
mengidentifikasikan pertanyaan-pertanyaan dalam bentuk kajian pustaka
berbagai teori dan sebangsanya yang relevan dengan persoalan, kedua
membantu kita menyusun alur berpikir yang mengarah kepada penarikan
kesimpulan sebab kita tahu benar pernyataan mengenai apa saja yang mesti
disimpulkan.
Struktur penulisan kerangka teoritis dapat diibaratkan dengan dua
buah piramida yang bersinggungan pada alasnya: mula-mula kecil lantas
melebar dan setelah melebar kembali mengecil. Dimulai dengan pernyataan
pembukaan mengenai tujuan analisis yang kemudian melebar dengan
melakukan inventarisasi dari berbagai teori yang relevan. Setelah itu
mempergunakan premis-premis yang terdapat dalam kumpulan teori
tersebut dalam penarikan kesimpulan dimana proses kembali mengecil
secara konvergen sekitar perumusan hipotesis. Kesimpulan seperti
berdasarkan analisis ini diduga prestasi belajar IPA di SD pada pendidikan
formal akan lebih baik dari pada non-formal merupakan pernyataan yang
mencerminkan klimaks atau grand finale dari seluruh upaya kita dalam
membangun kerangka teoritis yang mendukung hipotesis.
Mengapa kajian teoritis beberapa peneliti tidak memuncak dalam
klimaks berupa kesimpulan tentang hipotesis yang akan diajukan, melainkan
20
sekedar kumpulan teori-teori yang tidak disusun dalam suatu struktur logika
berpikir tertentu?. Gejala seperti ini yang sering kita temukan dalam
penulisan tesis disebabkan oleh beberapa hal:
a. Kurangnya pengetahuan tentang metode ilmiah terutama mengenai
fungsi teori dan hipotesis dalam proses kegiatan keilmuan.
b. Persepsi yang salah bahwa hipotesis bisa diajukan secara asal-asalan
karena sekedar dugaan yang kemudian didukung atau ditolak oleh
penguji empiris.
c. Terdapat anggapan bahwa ketangka teoritis merupakan arena untuk
menunjukkan kemampuan intelektual seorang ilmuwan yang dapat
dipakai sebagai kriteria apakah seseorang telah cukup memenuhi syarat
atau belum untuk suatu promosi tertentu.
Dengan meletakkan keranga teoritis pada fungsi yang sebenarnya
maka kita selangkah lebih maju dalam meningkatkan mutu keilmuan
kegiatan penelitian. Secara ringkas maka langkah dalam penyusunan
kerangka teoritis dan pengajuan hipotesis ini dapat dibagi kedalam kegiatan-
kegiatan sebagai berikut:
a. Pengkajian mengenai teori-teori ilmiah yang akan dipergunakan dalam
analisis.
b. Pembahasan mengenai penelitian-penelitian lain yang relevan.
c. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis dengan
mempergunakan premis-premis sebagai tercantum dalam butir (1) dan
butir (2) dengan menyatakan secara tersurat postulat, asumsi dan
prinsipyang dipergunakan (sekiranya diperlukan).
d. Perumusan hipotesis.
3. Metodologi Penelitian
Setelah kita berhasil merumuskan hipotesis yang diturunkan secara
deduktif dari pengetahuan ilmiah yang relevan maka langkah berikutnya
adalah menguji hipotesis tersebut secara empiris. Artinya kita melakukan
verifikasi apakah pernyataan yang dikandung oleh hipotesis yang diajukan
21
tersebut didukung atau tidak oleh kenyataan yang bersifat faktual. Masalah
yang dihadapi dalam proses verifikasi ini adalah bagaimana prosedur dan
cara dalam pengumpulan dan analisis data agar kesimpulan yang ditarik
memenuhi persyaratan berpikir induktif. Penetapan prosedur dan cara ini
disebut metodologi penelitian yang pada hakikatnya merupakan persiapan
sebelum verifikasi dilakukan.
Metodologi adalah pengetahuan tentang metode-metode, jadi
metodologi penelitian adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang
dipergunakan dalam penelitian. Setiap penelitian mempunyai metode
penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan
berdasarkan tujuan penelitian. Setiap peneliti pada hakikatnya mempunyai
metode penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan
berdasarkan tujuan penelitian. Oleh sebab itu maka kegiatan pertama dalam
penyusunan metodologi penelitian adalah menyatakan secara lengkap dan
operasional tujuan penelitian yang mencakup bukan saja variabel-variabel
yang akan diteliti dan karakteristik hubungan yang akan diuji melainkan
sekaligus juga tingkat keumuman (level of generality) dari kesimpulan yang
akan ditarik seperti tempat, waktu, kelembagaan dan sebagainya.
Berdasarkan tujuan penelitian ini maka kita akan dapat memilih metode
penelitian yang tepat beserta teknik pengambilan contoh dan teknik
penarikan kesimpulan yang relevan.
Metode adalah prosedur atau cara yang ditempuh dalam mencapai
tujuan tertentu sedangkan teknik adalah cara yang spesifik dalam
memecahkan masalah tertentu yang ditemui dalam melaksanakan prosedur.
Jadi sebuah metode penelitian mencakup beberapa teknik yang termasuk
didalamnya umpamanya teknik pengambilan contoh, teknik pengukuran,
teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
Pada hakikatnya proses verifikasi adalah mengumpulkan dan
menganalisis data dimana kesimpulan yang ditarik kemudian dibandingkan
dengan hipotesis untuk menentukan apakah hipotesis yang diajukan tersebut
ditolak atau diterima. Dengan demikian maka teknik-teknik yang tergabung
22
dalam metode penelitian harus dipilih yang bersifat cocok dengan
perumusan hipotesis. Seperti telah disampaikan terdahulu maka umpamanya
terdapat teknik analisis statistika yang berbeda dalam hal menemukan
perbedaan antara dua variabel (x/ y) dengan membandingkan kedua variabel
tersebut untuk menemukan variabel yang lebih superior (x > y). Misalnya
hipotesis kita menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan prestasi IPA di
SD antara pendidikan formal dan non-formal maka teknis analisis data,
atau lebih tepat lagi rumus statistika yang dipergunakan dalam pengujian
hipotesisnya, akan berbeda dengan hipotesis yang menyatakan bahwa
prestasi belajar IPA di SD pada pendidikan formal adalah lebih baik dari
pada non-formal. OIeh sebab itu maka dalam teknik analisis data sering
dinyatakan secara tersurat pengajuan hipotesis, yang dinyatakan dalam
pernyataan statistika dengan menuliskan bersama-sama baik hipotesis NOL
(H0) maupun hipotesis tandingan ( H1) beserta rumus statistikanya (apabila
mempergunakan statistika) yang dipergunakan. Pengajuan hipotesis dalam
kerangka teoritis cukup diekspresikan dengan hipotesis konseptual
(penelitian) yang dinyatakan dalam bentuk non statistis.
Dalam teknik pengumpulan data harus dinyatakan variabel yang akan
dikumpulkan, sumber data dari mana keterangan mengenai variabel tersebut
akan didapatkan. Demikian juga halnya yang menyangkut teknik
pengukuran, instrument pengukuran dan teknik mendapatkan data
(umpamanya dengan cara interview). Apabila pengumpulan data
memerlukan instrument tertentu maka instrument yang akan dipergunakan
harus diuji dahulu sebelum dipergunakan. Ini untuk dinyatakan secara
tersurat langkah-langkah pengujian yang telah ditempuh beserta hasilnya.
Pada pokoknya sebuah instrument harus teruji mengenai keabsahan
(validity) dan keandalannya (reliability). Data pengujian instrument cukup
dinyatakan secara singkat pada metodologi penelitian dan bukan pada hasil
penelitian. Bila diperlukan maka data yang lebih lengkap dapat ditempatkan
dalam lampiran. Demikian juga halnya dengan berbagai persiapan lainnya
23
seperti tes pendahuluan dalam teknik pengambilan contoh. Jadi dapat
disimpulkan dalam metodologi penelitian terdapat:
26
yang berupa dugaan mengapa hal itu terjadi demikian. Dugaan ini kemudian
disarankan menjadi hipotesis untuk diuji dalam penelitian yang lain.
Untuk melaporkan hasil penelitian maka secara singkat dan kronologis
pertama-tama diberikan deskripsi tentang variabel yang diteliti, disusul
dengan teknik analisis yang dipergunakan. Setelah itu hasil pengukuran
dilaporkan kemudian dilengkapi dengan kesimpulan analisis dari data yang
telah dikumpulkan. Laporan ini ditulis dalam bentuk esei dengan kalimat-
kalimat verbal mencakup semua pernyataan yang sepatutnya dikemukakan
baik pernyataan bersifat kwalitatif maupun kwantitatif. Bila diperlukan
maka deskripsi dalam bentuk esei ini dilengkapi dengan berbagai sarana
pembantu seperti table, grafik atau bagan yang berfungsi untuk lebih
menjelaskan pernyataan yang terkandung dalam esei. Patut disadari bahwa
table, graifk atau bagan itu fungsinya membantu memperjelas pernyataan-
pernyataan verbal.
Demikian juga data yang ditempatkan dalam tubuh utama laporan
harus merupakan data yang telah diolah. Data mentah dan langkah-langkah
dalam pengolahan data tersebut sebaiknya ditulis dalam lampiran.
Terkadang kita membaca laporan tentang hasil penelitian penuh dengan data
mentah yang dinyatakan dalam berpuluh tabel, grafik dan bagan.
Pencantuman data mentah seperti ini jelas tidak meningkatkan mutu ilmiah
tulisan, melainkan justru sebaliknya, pembaca laporan tersebut akan merasa
bosan, mengaburkan prespektif persoalan yang ingin dikemukakan.
Langkah berikutnya adalah memberikan penafsiran terhadap
kesimpulan analisis data. Pada hakikatnya dalam langkah ini kita harus
menafsirkan hubungan bersifat statistis seperti regresi dan korelasi dalam
hubungan yang bersifat ilmiah seperti hubungan kausalita. Demikian juga
kita harus menafsirkan tingkat keumuman dari kesimulan yang ditarik
berdasarkan contoh kepada kesimpulan yang menyangkut populasi.
Penafsiran terminology analisis juga harus diberikan umpamanya saja apa
yang dimaksud dengan koefisien korelasi tertentu yang besarnya kita ukur
dalam penelitian. Sekiranya kita mendapatkan bahwa x dan y berkorelasi
27
dengan koefisien sebesar r maka harus dijelaskan hubungan yang terdapat
antara kedua variabel tersebut. Perlu diingat bahwa statistika dan bermacam
teknik analisis lainnya adalah sekedar alat dan bukan merupakan tujuan.
Seorang peneliti harus dapat menafsirkan sebuah kesimpulan akhir yang
ditarik dari analisis yang telah dilakukan. Menimba arti dari data,
meminjam perkataan Van Dalen, Merupakan tahap paling sukar dan paling
menyenangkan dari sebuah penelitian. Hasil penafsiran ini kemudian
dibandingkandengan hipotesis yang diajukan untuk menyimpulkan apakah
hipotesis tersebut ditolak atau diterima.
28
Kesimpulan penelitian ini harus dapat dipertanggungjawabkan
dalam kerangka teori keilmuan yang didukung oleh penemuan penelitian.
Kesimpulan ini kemudian dibahas dengan jalan membandingkannya
terhadap penelitian lain serta pengetahuan ilmiah yang relevan. Berdasarkan
analisis tersebut diatas maka seorang peneliti dapat melihat berbagai
implikasi yang ditimbulkan oleh kesimpulan penelitian. Implikasi ini
umpamanya bisa berupa pengembangan ilmu, kegunaan terapan yang
bersifat praktis dan penyusunan kebijaksanaan. Hal ini kemudian dijabarkan
dalam serangkaian tindakan yang berupa saran-saran. Jadi dapat
disimpulkan bahwa di dalam kesimpulan mencakup:
29
Tiap bagian ditulis secara utuh namun ringkas, masing-masing dalam
paragraf tersendiri. Dengan demikian maka abstrak merupakan sebuah esei
yang terdiri dari serangkaian paragraf secara keseluruhan mampu
mengkomunikasikan intisari sebuah penelitian. Tiap bagian harus
mendapatkan perlakuan yang seimbang. Dari sebuah abstrak dapat
disimpulkan apakah kita berminat untuk membaca keseluruhan laporan atau
tidak. Abstrak dapat diibaratkan sebuah iklan yang kita taruh dihalaman
terdepan dari publikasi ilmiah dengan tujuan agar iklan tersebut mampu
mengkomunikasikan apa yang disajikan.
7. Daftar Pustaka
8. Riwayat Hidup
9. Usulan Penelitian
30
dilakukan. Dengan demikian maka usulan penelitian hanya mencakup
langkah pengajuan masalah, penyusunan teoritis dan pengajuan hipotesis
serta metodologi penelitian. Usulan penelitian biasanya dilengkapi dengan
jadwal kegiatan, personalia peneliti serta aspek-aspek lainnya yang
berhubungan dengan penelitian, misalnya pembiayaan.
10. Lain-lain
31
dipergunakan harus jelas dimana pesan mengenai objek yang ingin
dikomunikasikan mengandung informasi yang disampaikan sedemikian rupa
sehingga si penerima betul-betul mengerti akan isi pesan yang disampaikan
kepadanya.
Penulisan ilmiah harus menggunakan bahasa yang baik dan benar. Tata
bahasa merupakan ekspresi dari logika berfikir, tata bahasa yang tidak cermat
merupakan pencerminan dari logika berfikir yang tidak cermat pula. Oleh
sebab itu langkah pertama dalam menulis karangan ilmiah yang baik adalah
mempergunakan tata bahasa yang benar. Demikian juga penggunaan kata
harus dilakukan secara tepat artinya kita harus memilih kata-kata yang sesuai
dengan pesan apa yang ingin disampaikan.
Komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif, artinya si penerima
pesan mendapatkan kopi yang benar-benar sama dengan prototipe yang
disampaikan pemberi pesan. Dalam komunikasi ilmiah tidak boleh mendapat
penafsiran lain selain isi yang di kandung oleh pesan tersebut, sedangkan
komunikasi estetik sering terdapat penafsiran berbeda terhadap obyek
komunikasi yang sama, disebabkan oleh penjiwaan berbeda terhadap obyek
estetik yang diungkapkan. Komunikasin ilmiah memang tidak ditujukan
kepada penjiwaan melainkan kepada penalaran dan oleh sebab itu harus
dihindarkan setiap bentuk pernyataan tidak jelas dan bermakna jamak.
Proposisi ilmiah, umpamanya, harus merupakan pernyataan yang mengandung
penilaian apakah materi yang dikandung pernyataan itu benar atau salah,
namun tidak bias keduanya. Demikian juga harus dihindarkan bentuk
komunikasi yang mempunyai konotasi emosional.
Komunikasi ilmiah harus bersifat impersonal, dimana bebeda dengan
tokoh dalam sebuah novel yang bisa berupa aku, dia, atau Dokter Faus,
merupakan figur yang muncul secara dominan dalam seluruh pernyataan. Kata
ganti perorangan hilang dan ditempati oleh kata ganti universal yakni
ilmuan. Contoh lain, kita tidak menyatakan proses pengumpulan data dengan
kalimat seperti saya bermaksud mengumpulkan data dengan mempergunakan
kuesioner melainkan dengan kalimat yang impersonal yakni data akan
32
dikumpulkan dengan mempergunakan kuesioner. Dalam hal ini maka yang
mengumpulkan data adalah ilmuan atau peneliti yang tidak dinyatakan
secara tersurat.
Pernyataan ilmiah yang kita pergunakan dalam tulisan harus mencakup
beberapa hal. Pertama, harus dapat kita identifikasikan orang yang membuat
penyataan tersebut. Kedua, harus dapat kita identifikasikan media komunikasi
ilmiah dimana perrnyataan itu disampaikan apakah itu makalah, buku, seminar,
lokakarya, dan sebagainya. Ketiga, harus dapat kita identifikasikan lembaga
yang menerbitkan publikasi ilmiah tersebut beserta tempat berdomisili dan
waktu penerbitan itu dilakukan. Apabila pernyataan ilmiah itu tidak diterbitkan
melainkan disampaikan dalam bentuk makalah untuk seminar atau lokalkarya
maka harus disebutkan tempat, waktu dan lembaga yang melakukan kegiatan
tersebut. Cara kita mencantumkan ketiga hal tersebut dalam penulisan ilmiah
disebut teknik notasi ilmiah. Terdapat bermacam-macam teknik notasi ilmiah
yang pada dasarnya mencerminkan hakikat dan unsur yang sama meskipun
dinyatakan dalam format dan simbol yang berbeda-beda.
Teknik notasi ilmiah mengunakan catatan kaki (footnote). Variasi-variasi
dari sebuah teknik notasi ilmiah biasanya dimungkinkan dan pengetahuan yang
mendalam mengenai dasar-dasar pemikiran dari teknik tersebut akan
mendorong kita untuk memilih variasi yang tepat. Dalam teknik notasi ilmiah
dengan menggunakan catatan kaki terdapat dua variasi. Variasi pertama ialah
bahwa catatan kaki itu ditaruh dalam halaman yang sama, sedangkan dalam
variasi yang kedua catatan kaki itu seluruhnya dikelompokkan dan ditaruh pada
akhir sebuah bab.
Sebelum kita memilih salah satu dari dua variasi tersebut maka ada
baiknya kita ketahui fungsi dari catatan kaki itu. Fungsi pertama dari catatan
kaki adalah sebagai sumber informasi bagi pernyataan ilmiah yang dipakai
dalam tulisan kita. Apabila seluruh catatan kaki kita gunakan untuk itu maka
tidak ada salahnya seluruh catatan kaki itu kita kelompokkan dan ditaru diakhir
bab, sebab bila diperlukan maka pembaca melihanya di halaman belakang.
33
Keuntungan lainnya dari cara seperti ini adalah teknik pengetikkan yang lebih
mudah.
Fungsi kedua dari catatan kaki yakni sebagai tempat bagi catatan-catatan
kecil, yang sekiranya diletakkan dalam tubuh utama laporan, akan mengganggu
keseluruhan penulisan. Dalam penulisan bidang-bidang tertentu seperti sejarah,
antropologi, atau ilmu pendidikan, catatan tambahan seperti ini memang peran
yang penting. Betapa seringnya kita dihadapkan dengan keinginan untuk
memberikan catatan dalam krangka memperkaya kandungan sebuah
pernyataan tanpa merusak keseluruhan bentuk pernyataan tersebut. Catatan
seperti ini dapat pula diletakkan dalam catatan kaki, namun bila catatan kaki
mengandung keterangan bersifat memperkaya ini di letakkan di halaman
belakang, kemungkinan besar keterangan tambahan ini tidak akan terbaca.
Dengan demikian tujuan catatan kaki itu dimaksudkan untuk memberikan
catatan tambahan, sebaiknya catatan kaki diletakkan dalam halaman yang
sama, meskipun menjadi agak sukar dalam melakukan pengetikan.
Pada dasarnya, bila kita menggunakan pernyataan orang lain dalam
tulisan kita, kutipan yang dipinjam itu dapat berupa kutipan langsung atau
kutipan tidak langsung. Kutipan langsung merupakan pernyataan yang kita
tulis dalam karya ilmiah dalam susunan kalimat aslinya tanpa mengalami
perubahan sedikit pun, sedangkan dalam kutipan tidak langsung kita mengubah
susunan kalimat yang asli dengan susunan kalimat kita sendiri. Pada
hakikatnya seseorang ilmuan harus mampu menyatakan pendapat orang lain
dalam bahasa ilmuan itu sediri yang mencirikan kepribadiannya. Oleh sebab itu
karya ilmiah yang dipenuhi kutipan langsung yang terlalu banyak tidak
mencerminkan kepribadiannya melainkan sekedar koleksi pendapat orang lain.
Sebaiknya kutipan langsung intensitasnya tidak melebihi 30 persen dari seluruh
kutipan yang ada. Semua kutipan baik langsung maupun tidak langsung
biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa pengantar yang dipakai.
Kutipan langsung kadang-kadang memang diperlukan dengan tujuan
untuk mempertahankan keaslian pernyataan itu. Gabungan antara kutipan tidak
langsung dan kutipan langsung sering dipergunakan untuk memadukan antara
34
gaya penulisan seseorang dengan pernyataan orang lain yang ingin
dipertahankan keasliannya, umpamanya dalam kalimat: perbuatan seorang
pembunuh yang memotong-motong orang itu sungguh merupakan kebiadapan
orang biadap dan puncak tindak kriminal tahun ini. Dalam pernyataan
tersebut kita mencoba untuk mempertahankan keaslian pernyataan yang
bersifat otentik seperti kebiadapan orang biadap dan puncak tindak
kriminal dengan mengutipnya secara langsung. Kutipan langsung yang
jumlahnya kurang dari empat baris diletakkan dalam tubuh tulisan dengan
menggunakan tanda kutip. Untuk kutipan langsung yang terdiri dari empat
baris kalimat atau lebih maka keseluruhan kutipan tersebut diletakkan dalam
tempat tersendiri.
35
Kalimat yang kita kutip harus dituliskan sumbernya secara tersurat dalam catatan
kaki sebagai berikut:
1)
Harlod A. Larrabee, Reliable Knowledge (Boston; Houghton Miffin, 1964). hlm. 4.
2)
Maurice N. Richter, Jr. Science as a Cultural Process (Cambridge: Schenkman, 1972). hlm.
15.
3)
James B Conant. Science and Common Sense (New Haven: Yale University Press, 1961).
hlm. 25.
Catatan kaki ditulis dalam satu spasi dan dimulai langsung dari pinggir, atau dapat
dimulai setelah beberapa ketukan tik dari pinggir, asalkan dilakukan secara
konsisten.
36
11)
LiekWilardjo, Tanggung Jawab Sosial Ilmuan, Pustaka, th. III No. 3 April 1979, hlm.
11-14.
12)
M. Sastrapratedja, Perkembangan Ilmu dan Teknologi dalam Kaitannya dengan Agama
dan Kebudayaan, makalah disampaikan dalam Kogres Ilmu pengetahuan Nasional
(KIPNAS) III, LIPI, Jakarta, 15-19 September 1981.
13)
B. Suprapto, Aturan Permainan dalam Ilmu-Ilmu Alam, Ilmu dalam Perspektif, ed. Jujun
S. Suriasumantri (Jakarta: Gramedia, 1978) hlm. 129-133.
Pengulangan kutipan dengan sumber yang sama dilakukan memakai notasi
op. cit. (opera citato: dalam karya yang telah di kutip), loc. cit. (loco citato: dalam
tempat yang telah dikutip dan ibid. (ibidem: dalam tempat yang sama). Untuk
pengulangan maka nama pengarang tidak ditulis lengkap melainkan cukup nama
familinya saja. Sekiranya pengulangan dilakukan dengan tidak diselang oleh
pengarang lain maka dipergunakan notasi ibid. Seperti dalam contoh berikut:
14)
Ibid, hlm. 131.
Artinya kita mengulangi kutipan dari karang B. Suprapto seperti tercantum dalam
catatan kaki nomor 13 meskipun dengan nomor halaman yang berbeda. Sekiranya
kita mengulang kutipan M. Sastrapratedja dalam catatan kaki nomor 12 terhalang
oleh karangan B. Suprapto maka kita tidak menggunakan ibid. malainkan loc. cit.
seperti contoh dibawah ini:
15)
Sastrapratedja, loc. cit.
Ulangan halaman yang berbeda dan telah diselang oleh pengarang lain ditulis
dengan mempergunakan op cit.:
16)
Wilardjo, op. cit. hlm 12.
Apabila dalam kutipan kita dipergunakan seorang pengarang yang menulis
beberapa karangan maka untuk tidak membingungkan sebagai pengganti loc. cit
atau po. cit. Dituliskan judul karangannya. Bila judul karangan itu panjang maka
dapat dilakukan penyingkatan selama itu mampu menunjukan identifikasi judul
karangan yang lengkap seperti:
17)
Larrabee, Reliable Knowledge, hlm 6.
Kadang-kadang kita ingin mengutip sebuah pernyataan yang telah dikutip dalam
karangan yang lain. Maka kedua sumber itu kita tuliskan sebagai berikut:
18)
Robert K. Merton, The Ambivalence of Scientist, hlm. 77-79, di kutip langsung (atau
tiadak langsung) oleh Maurice N. Richter, Jr., Science as a Cultural Process (Cambridge:
Schenkman, 1972), hlm. 114.
37
Semua kutipan tersebut diatas, baik yang dikutip secara langsung maupun tidak
langsung, sumbernya kemudian kita sertakan dalam daftar pustaka. Hal ini kita
kecualikan untuk kutipan yang tidak kita dapatkan dari sumber kedua
sebagaimana tampak dalam catatan kaki nomor 18. Terdapat perbedaan notasi
bagi penulisan sumber dalam referensi pada catatan kaki dan referensi daftar
pustaka. Dalam catatan kaki maka nama pengarang dituliskan lengkap dengan
tidak mengalami perubahan apa-apa, sedangakan dalam daftar pustaka nama
pengarang harus disusun berdasarkan abdjad huruf awal nama familinya. Tujuan
uatam dari catatan kaki adalah mengidentifikasikan lokasi yang spesifik dari karya
yang dikutip. Di pihak lain, tujuan utama dari daftar pustaka ialah
mengidentifikasikan karya ilmiah itu sendiri. Untuk itu maka dalam daftar
pustaka tanda kurung yang menbatasi penerbit dan domisili penerbit tersebut
dihilangkan dan serta demikian juga lokasi halaman. Dengan demikian catatan
kaki (CT) nomor 1, 4, 5 dan seterusnya bila dimasukakan dalam daftar pustaka
(DP) berubah sebagai berikut:
1) CT : Harold A. Larrabee, Reliable Knowledge
(Boston: Houghton Mifflin, 1964), hlm. 4
DP : Larrabee, Harold A. Reliable Knowledge. Boston:
Houghton Mifflin, 1964
4) CT : William S. Sahakian dan Mabel L. Sahakian, Realms of
Philosophy (Cambridge: Schenkman, 1965).
DP : Sahakian, William S., dan Sahakian, Mabel L.
Realms of of Philosophy. Cambridge: Schenkman, 1965
5) CT : Ralph M. Blake, Curt J. Ducasse dan Edward H.
Madden, Theories of Scientific Method (Seattle: The University of
Washington Press, 1966).
DP : Blake, Ralph M., Ducasse, Curt J., dan
Edward H. Theories of Scientific Method. Seattle: The
University of Washington Press, 1966
38
Daftar pustaka itu kemudian diurut berdasarkan huruf pertama dari nama family
pengarangnya. Demikian secara singkat telah dibahas salah satu contoh teknik
notasi ilmiah yang biasa dilakukan dalam penulisan ilmiah.
39
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
40
DAFTAR PUSTAKA
41