Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

FILSAFAT ILMU

Tentang

PENELITIAN DAN PENULISAN ILMIAH

Oleh
Kelompok 5

1. Ilhami Fitri Arli (16177016)


2. Rahmi Kurniati (16177031)
3. Saharuddin (15177038)
4. Suhelpi (16177035)

DOSEN MATA KULIAH


Dr. YUNI AHDA, M.Si.

PROGRAM STUDI MEGISTER PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat


dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah pada mata
kuliah Filsafat Ilmu yang dibimbing oleh Ibu Dr. Yuni Ahda, M.Si.
Penulisan makalah ini mengambil dari beberapa sumber baik dari buku
maupun dari internet dan membuat gagasan dari beberapa sumber yang ada.
Penulis berterima kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu penulis
dalam penyelesaian makalah ini, sehingga makalah ini selesai.
Penulis juga menyadari bahwa makalah yang penulis tulis ini masih
banyak kekurangan. Karena itu sangat diharapkan bagi pembaca untuk
menyampaikan saran atau kritik yang membangun demi tercapainya makalah
yang lebih baik.

Padang, Desember 2017

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan telah mengubah sejarah peradaban
manusia menjadi lebih modern. Para ilmuan berhasil mengembangkan ilmu
pengetahuan karena mereka bekerja secara sistematis, jujur dan disiplin. Mereka
mengembangkan semua keterampilan yang mereka miliki. Keterampilan itu
dinamakan keterampilan proses. Seseorang yang ingin mempelajari sains
diharapkan dapat menggunakan dan melatih keterampilan proses yang dimilikinya
sehingga akan terbentuk suatu sikap ilmiah dalam menjawab berbagai pertanyaan-
pertanyaan di alam.
Metode ilmiah adalah langkah-langkah sistematis dan teratur yang
digunakan dalam rangka mencari kebenaran ilmu pengetahuan. Metode ilmiah
diperlukan dalam melakukan suatu penelitian. Mengapa kita harus melakukan
penelitian ? Penelitian dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan rasa
ingin tahu manusia terhadap suatu kejadian atau gejala alam tertentu. Ilmu
pengetahuan terus berkembang karena para ilmuan tak berhenti mencari tahu dan
meneliti mengenai gejala-gejala alam yang terjadi.
Banyak bentuk dan cara penulisan keilmuan yang dapat ditemui dalam
berbagai pedoman penulisan. Bentuk luarnya bisa berbeda namun jiwa dan
penalarannya sama. Maka yang lebih penting adalah mengetahui teknik-teknik
pelaksanaan dan memahami dasar pikiran yang melandasinya. Pemilihan bentuk
dan cara penulisan dari segi khasanah yang tersedia merupakan masalah selera
dan preferensi perorangan dengan cara memperhatikan berbagai faktor lainnya
seperti masalah apa yang sedang dikaji, siapakah yang akan membaca tulisannya
dan dalam rangka keilmuan apa karya ilmiah ini akan disampaikan.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka akan dicoba untuk membahas alur-
alur jalan pikiran yang terdapat dalam sebuah penelitian ilmiah yang dikaitkan
dengan proses penulisan. Dalam bentuk pembahasan ini tidak menekankan kepada
aspek-aspek penelitian seperti teknik analisis statistika, pengambilan contoh dan

3
pengumpulan data melainkan kepada rambu-rambu pikiran yang merupakan tema
pokok sebuah proses penelitian. Tema pokok ini akan dijabarkan secara logis dan
kronologis dari metode keilmuan. Untuk itu maka akan dibahas struktur penulisan
ilmiah yang secara logis dan kronologis mencerminkan kerangka penalaran
ilmiah. Pembahasan ini ditujukan bagi mereka yang sedang menulis tesis,
disertasi, laporan penelitian atau publikasi ilmiah lainnya. Disaat mengenal
kerangka berpikir filsafati maka kita secara lebih mudah akan menguasai hal-hal
yang bersifat teknis.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana struktur penelitian dan penulisan ilmiah ?
2. Bagaimana teknik penulisan ilmiah ?
3. Bagaimana teknik notasi ilmiah ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui penjelasan mengenai struktur penelitian dan penulisan

ilmiah

2. Memberikan penjelasan mengenai teknik penulisan ilmiah

3. Memberikan penjelasan mengenai teknik notasi ilmiah

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Struktur Penelitian dan Penulisan Ilmiah


Penelitian menurut Kerlinger dalam Sukardi (2003) ialah proses penemuan
yang mempunyai karakteristik sistematis, terkontrol, empiris, dan mendasarkan
pada teori dan hipotesis. Beberapa karakteristik penelitian sengaja ditekankan oleh
Kerlinger agar kegiatan penelitian memang berbeda dengan kegiatan professional
lainnya. Penelitian berbeda dengan kegiatan yang menyangkut tugas-tugas
wartawan yang biasanya meliput dan melaporkan berita atas dasar fakta.
Pekerjaan mereka belum dikatakan penelitian, karena tidak dilengkapi dengan
karakteristik lain yang mendukung agar dapat dikatakan hasil penelitian, yaitu
karakteristik mendasarkan pada teori yang ada dan relevan dan dilakukan secara
insentif dan dikontrol dalam pelaksanaannya.
Penelitian dapat pula diartikan sebagai cara pengamatan atau inkuiri dan
mempunyai tujuan untuk mencari jawaban permasalahan atau proses penemuan.
Baik itu discovery maupun invention. Discovery diartikan hasil temuan yang
memang sebetulnya sudah ada. Sedangkan invention diartikan sebagai penemuan
hasil penelitian yang betul-betul baru dengan dukungan fakta. Dari beberapa
pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian adalah usaha seseorang yang
dilakukan secara sistematis mengikuti aturan-aturan metodologi misalnya
observasi secara sistematis, dikontrol, dan mendasarkan pada teori yang ada dan
dipeerkuat dengan gejala yang ada.
Seorang yang telah menguasai tema pokok dengan baik tentu dengan mudah
mengembangkan berbagai variasi dari tema pokok tersebut. Namun harus disadari
bahwa improvisasi yang baik tidak mungkin dilakukan tanpa mengenal tema
pokok serta teknik-teknik dasar untuk pengungkapan secara kreatif. Bagi seorang
maestro penelitian ilmiah pada dasarnya merupakan operasionalisasi metode
ilmiah dalam kegiatan keilmuan. Demikian juga penulisan ilmiah pada dasarnya
merupakan argumentasi penalaran keilmuan yang dapat dikomunikasikan lewat
bahasa tulisan. Untuk itu maka mutlak diperlukan penguasaan yang baik

5
mengenai hakikat keilmuan agar dapat melakukan penelitian dan sekaligus
mengkomunikasikannya secara tertulis. Tidak lagi menjadi soal dari mana dia
akan memulai, sesudah itu melangkah kemana, sebab penguasaan tematis dan
teknik akan menjamin satu keseluruhan bentuk yang utuh. Demikian juga bagi
seorang penulis ilmiah yang baik, tidak jadi masalah apakah hipotesis ditulis
langsung setelah perumusan masalah, ditempat mana akan dinyatakan postulate,
asumsi atau prinsip, sebab dia tau benar hakikat dan fungsi unsur-unsur tersebut
dalam keseluruhan struktur penulisan ilmiah.
Lain halnya dengan mereka yang belum menguasai logika penalaran ilmah
secara baik yang akan memperlakukan bentuk dan cara penulisan secara kaku.
Bagi mereka materi dalam pedoman merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-
tawar lagi, urutan dan langkahnya merupakan harga mati. Lalu muncullah
umpamanya keharusan-keharusan penulisan, yang sebenarnya satu adalah logis
bahkan imperative, namun dalam hal yang lain adalah tidak perlu dan kadang-
kadang dipaksakan. Umpamanya karena ada keharusan mencantumkan asumsi,
sedangkan dalam seluruh kerangka argumentasi keilmuan tersebut kita tidak
memerlukan adanya asumsi tertentu, maka pengajuan asumsi tersebut tidak perlu.
Bahwa untuk memilih salah satu teori dari sejumlah teori yang tersedia untuk
menganalisis sebuah persoalan jelas memerlukan adanya asumsi tertentu.
Pernyataan secara tersurat tentang asumsi yang dipergunakan bersifat imperatif
sebab dengan asumsi yang berbeda maka kita akan mempergunakan teori yang
berbeda pula.
Bagi seorang pembaca yang mempunyai asumsi yang berbeda dengan
asumsi yang dipergunakan dalam analisis, maka hal itu berarti dia kemungkinan
besar tidak setuju dengan teori yang dipergunakan sebagai dasar argumentasi,
dengan demikian analisis serta konsekwensinya tidak menarik lagi. Sama halnya
dengan pencantuman postulate dan prinsip, apabila perlu maka hal ini memang
harus tersurat, namun jangan dipaksakan dan dibuat-buat, sebab yang penting
bukan ada atau tidaknya, atau dituliskannya dibagian mana, melainkan untuk apa
serta dalam kaitan dengan argumentasi mana keberadaan mereka mempunyai
makna.Selanjutnya akan dibahas tentang struktur penulisan ilmiah secara logis
6
dan kronologis yang mencerminkan kerangka penalaran ilmiah.langkah-
langkahnya sebagai berikut:
1. Pengajuan Masalah

Pengajuan masalah merupakan langkah pertama dalam suatu


penelitian, dan pada hakekatnya suatu masalah tidak pernah berdiri sendiri
dan terisolasi dari faktor-faktor lain. Apakah itu latar belakang ekonomi,
sosial, politik, kebudayaan atau faktor-faktor lainnya. Secara operasional
suatu gejala baru dapat disebut masalah bila gejala itu terdapat dalam suatu
situasi tertentu. Sebuah mobil yang tenang diparkir dalam garasi mungkin
tidak merupakan masalah, tetapi apabila mobil tersebut mogok di tengah
jalan protokol yang macet dan mengganggu lalu lintas, maka jelas hal ini
merupakan masalah.
Suatu hal yang kelihatanya bersifat paradoks, bila ditinjau secara
sepintas lalu, bahwa pemecahan suatu masalah menimbulkan masalah yang
baru. Umpamanya pengembangan suatu teknologi baru, akan menimbulkan
berbagai masalah seperti bagaimana tingkat efisiensi teknologi itu bisa
dibandingkan dengan efisiensi teknologi yang lama. Kemudian jika
teknologi itu membutuhkan keterampilan tertentu dalam mengoperasikannya
maka hal ini menimbulkan masalah dalam penyediaan tenaga. Suatu
teknologi yang sangat efisien disatu pihak merupakan berkah, namun
dipihak lain menimbulkan masalah, contohnya timbul pengangguran.
Demikianlah suatu faktor baru menjalin hubungan sebab akibat dengan
beberapa faktor yang telah ada.
Identifikasi masalah merupakan tahap permulaan dari penguasaan
masalah, dimana satu obyek dalam suatu jalinan situasi tertentu dapat
dikenali sebagai suatu masalah. Umpamanya dalam lingkup peningkatan
pemerataan kesempatan menikmati pendidikan, maka inovasi seperti
pendidikan non-formal, segera menampakkan diri sebagai masalah. Ternyata
identifikasi masalah memberikan sejumlah pertanyaan. Dalam kegiatan
ilmiah berlaku semacam asas bahwa bukan kwantitas jawabannya yang
menentukan mutu keilmuan suatu penelitian melainkan kualitas jawabannya.
7
Lebih baik sebuah penelitian yang hanya menghasilkan dua atau tiga
hipotesis yang teruji dan terandalkan dari pada beberapa macam penemuan
yang kurang dapat dipertanggung jawabkan. Ilmu merupakan pengetahuan
ilmiah yang dikembangkan secara kumulatif dimana setiap permasalahan
dipecahkan tahap demi tahap dan sedikit demi sedikit. Sering sekali
didapatkan sebuah penelitian yang merengkuh terlalu banyak permasalahan
namun tidak menghasilkan satu jawabanpun yang dapat dipertanggung
jawabkan. Berikan jawaban ilmiah secara meyakinkan atau biarkan
pertanyaan itu tanpa jawaban.
Maka untuk itu permasalahan harus dibatasi ruang lingkupnya.
Pembatasan masalah merupakan upaya untuk menetapkan batas-batas
permasalahan dengan jelas, yang memungkinkan untuk mengidentifikasi
faktor mana saja termasuk kedalam lingkup permasalahan dan faktor mana
yang tidak. Apabila akan mengadakan suatu studi perbandingan antara
pendidikan non-formal dengan pendidikan formal, maka ruang lingkup
permasalahan ini harus dibatasi dengan mengemukakan serangkaian
pertanyaan, seperti dari segi mana studi perbandingan ini akan didekati:
apakah dari segi efisiensi, efektifitas, ekonomi, sosiologi, kultural atau
proses belajar mengajar. Contohnya memilih studi perbandingan dari segi
efektifitas prestasi belajar. Efektifitas prestasi belajar ini pun selanjutnya
harus dibatasi masalahnya, sebab ini mungkin akan meneliti efektifitas
seluruh mata pelajaran, atau membatasi pada beberapa mata pelajaran saja.
Misalnya untuk studi perbandingan, membatasi pada efektifitas prestasi
belajar dalam empat mata pelajaran yaitu IPA, IPS, Matematika dan Bahasa
Indonesia.
Pembatasan masalah tidak berhenti disini, sebab studi perbandingan
mengenai efektifitas prestasi belajar dari empat mata pelajaran tersebut bisa
saja dilakukan dalam berbagai tingkatan kelembagaan pendidikan. Studi
perbandingan ini bisa dilakukan di SD, SMP, SMA atau berbagai tingkatan
lembaga lainnya. Umpamanya saja kita memilih SD sebagai kelembagaan
yang menjadi obyek penelitian, disinipun masalah penelitian harus dibatasi
8
lebih lanjut dengan menentukan dimana dan kapan penelitian akan
dilakukan. Dengan pembatasan-pembatasan ini maka fokus masalah menjadi
bertambah jelas yang memungkinkan untuk merumuskan masalah dengan
baik. Perumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara
tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin kita carikan jawabannya.
Perumusan masalah dijabarkan dari identifikasi dan pembatasan masalah;
atau dengan kata lain, perumusan masalah merupakan pernyataan yang
lengkap dan terperinci mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan
diteliti berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah.
Masalah yang dirumuskan dengan baik, berarti sudah setengah
dijawab. Perumusan masalah yang baik bukan saja membantu memusatkan
pikiran namun juga sekaligus dapat mengarahkan cara berpikir atau
pendekatan penelitian terhadap masalah. Umpamanya studi perbandingan
antara pendidikan formal dengan pendidikan non-formal setelah dibatasi
masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Dalam mata pelajaran IPA di SD, metode pendidikan manakah yang
menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik, formal atau non-formal?
b. Dalam mata pelajaran IPS di SD, metode pendidikan manakah yang
menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik, formal atau non-formal?
c. Dalam mata pelajaran Matematika di SD, metode pendidikan manakah
yang menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik, formal atau non-
formal?
d. Dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SD, metode pendidikan
manakah yang menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik, formal atau
non-formal?
Suatu masalah yang sudah dapat diidentifikasikan dan dibatasi,
tercermin dalam pernyataan bersifat jelas dan spesifik, dimana untuk
menemukan jawabannya kita dapat mengembangkan kerangka pemikiran
berupa kajian teoritis berdasarkan pengetahuan ilmiah yang relevan, serta
memungkinkan kita untuk melakukan pengujian secara empiris terhadap
kesimpulan analisis teoritis, maka secara konseptual masalah tersebut sudah
9
berhasil dirumuskan. Tanpa perumusan masalah yang spesifik maka tidak
mungkin untuk mengidentifikasikan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang
relevan dalam membangun suatu kerangka pemikiran. Seperti diketahui
metode ilmiah mensyaratkan adanya hipotesis sebagai jawaban sementara
terhadap permasalahan yang dihadapi, diturunkan secara deduktif dari
pengetahuan ilmiah yang telah berhasil dikumpulkan. Perumusan masalah
yang baik akan membantu kita dalam menetapkan data empiris yang harus
dikumpulkan. Sejak semula seorang ilmuwan harus merumuskan
permasalahan yang memungkinkan verifikasi dibatasi oleh pengalaman.
Setelah masalah dirumuskan dengan baik maka seorang peneliti
menyatakan tujuan penelitiannya. Tujuan penelitian ini adalah pernyataan
mengenai ruang lingkup dan kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan
masalah yang telah dirumuskan. Setelah itu maka dibahas kemungkinan
kegunaan penelitian yang merupakan manfaat yang dapat dipetik dari hasil
pemecahan masalah yang didapat dari penelitian. Patut dikemukakan bahwa
sebenarnya terdapat kaitan yang erat antara ke-enam kegiatan tersebut.
Antara latar belakang masalah dan kegunaan penelitian kadang-kadang
sudah terdapat kaitan yang bersifat apriori. Umpamanya bahwa hasil sebuah
penelitian akan digunakan sebagai dasar bagi penyusunan kebijaksanaan
secara nasional. Tentu saja jika hasil penelitian dipergunakan untuk
kebijaksanaan yang bersifat nasional maka hal ini akan mempengaruhi
empat kegiatan lainnya terutama sekali proses pembatasan masalah, sebab
untuk generalisai ketingkat nasional kita tidak mungkin melakukan inferens
dari hasil penelitian yang terbatas pada satu kecamatan.
Demikian juga hasil penelitian dari studi perbandingan antara
pendidikan formal dan non-formal ini ingin dijadikan dasar kebijakan untuk
meng-implementasikan pendidikan non-formal sebagai alternatif disamping
pendidikan formal, maka masalahnya harus dirumuskan dalam pernyataan
yang menemukan kemungkinan tidak adanya perbedaan hasil belajar dari
kedua bentuk pendidikan itu. Kemudian ternyata dugaan ini benar maka kita
mempunyai dasar-dasar ilmiah yang dapat diandalkan dalam mendukung
10
pelaksanaan kebijaksanaan tersebut. Sebaliknya jika hasil penelitian ini
dipakai sebagai dasar secara selektif memilih salah satu bentuk pendidikan
yang memberikan hasil belajar lebih baik maka masalahnya harus
dirumuskan dalam memperbandingkan hasil belajar dari kedua bentuk
pendidikan. Apabila dugaan kita ternyata benar umpamanya pendidikan
non-formal memberikan prestasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pendidikan formal maka terdapat cukup alasan untuk melaksanakan
kebijakan mengganti seluruh pendidikan formal dengan non-formal. Untuk
menguji kedua hipotesis yang berbeda ini maka diperlukan teknik analisis
yang berbeda pula. Secara statistis, misalnya untuk penguji hipotesis
pertama yang bersifat membedakan dapat dipergunakan analisis statistika
yang bersifat dua arah (two-tailed statistical analysis) sedangkan untuk
hipotesis kedua yang bersifat membandingkan dipergunakan analisis
statistika satu arah (one-tailed statistical analysis).
Kegiatan keilmuan terpadu secara utuh dalam suatu logika ilmiah.
Oleh sebab itu maka yang harus benar-benar dipahami bukanlah sekedar
langkah-langkah apa yang harus dilakukan melainkan mengetahui dasar
pikiran yang melatar-belakangi langkah-langkah tersebut. Pedoman
penulisan ilmiah yang berasal dari eropa atau amerika telah mempunyai
tradisi keilmuan yang kuat. Bagi mereka format penulisan dibakukan
sedemikian rupa untuk tujuan yang bersifat mempermudah (a matter of
convenience. Bagi kita sendiri sebaiknya logika berpikir ilmiah itulah yang
didahulukan dan dengan demikian maka struktur penulisannya dapat
mencerminkan alur jalan berpikir. Sekiranya postulate, asumsi dan prinsip
itu dipergunakan dalam penyusunan kerangka teoritis dalam pengajuan
hipotesis maka ketiga pikiran dasar tersebut sebaiknya dinyatakan dalam
bagian kajian teoritis dan bukan pada pengkajian masalah. Biasanya
memang pada kajian teoritis itulah diperlukan pernyataan secara tersurat
mengenai pikiran-pikiran dasar yang melandasi kerangka argumentasi kita.
Namun hal ini bukan berarti bahwa pada bagian-bagian lain tidak
diperlukan adanya pikiran-pikiran dasar seperti postulate, asumsi dan
11
prinsip. Yang ingin digaris bawahi adalah jangan sampai kita terpukau oleh
suatu format tanpa mengetahui hakikat dan fungsi dari format tersebut.

Jadi pada pengajuan masalah terdapat urutan sebagai berikut:

a. Latar belakang masalah


b. Identifikasi masalah
c. Pembatasan masalah
d. Perumusan masalah
e. Tujuan penelitian
f. Kegunaan penelitian

2. Penyusunan Kerangka Teoritis

Masalah yang dirumuskan dengan baik setelah itu dilanjutkan dengan


langkah kedua dalam metode ilmiah yaitu mengajukan hipotesis. Hipotesis
merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang
diajukan. Seperti diketahui dalam memecahkan berbagai persoalan terdapat
bermacam cara yang dapat ditempuh manusia. Secara garis besar maka cara
tersebut dapat dikategorikan kepada cara ilmiah dan cara non-ilmiah. Tentu
saja dalam kegiatan penelitian ilmiah maka cara yang harus dipakai dalam
memecahkan masalah adalah cara ilmiah. Pada hakikatnya cara ilmiah
dalam memecahkan persoalan adalah dengan mempergunakan pengetahuan
ilmiah sebagai dasar argumentasi dalam mengkaji persoalan agar kita
mendapatkan jawaban yang dapat diandalkan, ini berarti bahwa dalam
menghadapi permasalahan yang diajukan maka kita dapat mempergunakan
teori-teori ilmiah sebagai alat yang membantu kita dalam menemukan
pemecahan. Apabila masalah yang kita hadapi adalah studi perbandingan
dalam prestasi belajar IPA, IPS, Matematika dan Bahasa Indonesia di SD
antara pendidikan formal dan non-formal maka cara ilmiah dalam
pemecahan masalah ini adalah mempergunakan pengetahuan ilmiah tentang
pendidikan formal, pendidikan non-formal, pengajaran IPA, pengajaran IPS,
pengajaran Matematika dan pengajaran Bahasa Indonesia. Sebagai contoh

12
marilah kita mengambil salah satu dari ke-empat masalah dalam
perbandingan antara pendidikan formal dan non-formal yakni tentang
prestasi belajar IPA di SD. Dengan menggunakan pengetahuan ilmiah yang
relevan terhadap permasalahan tersebut maka kita mulai melakukan analisis
berupa pengkajian teroritis.
Upaya yang kita lakukan adalah mencoba mengkaji berdasarkan
pengetahuan ilmiah mengenai karakteristik dari pendidikan formal dan non-
formal seperti: Apakah yang disebut pendidikan formal dan non-formal itu?
Bagaimana cara pendidikan dilakukan? Apakah prasarana dan sarana yang
dipergunakan? Bagaimanakah cara mengembangkan kurikulum?
Bagaimanakah cara melakukan bimbingan? Teknik evaluasi apa yang
dipergunakan?
Upaya kedua, disebabkan studi adalah membandingkan pendidikan
formal dan non-formal, maka dicoba mencari perbedaan karakteristik yang
terdapat dalam kedua pendidikan tersebut, umpamanya saja: Apakah
perbedaan yang bersifat karakteristik dalam proses belajar mengajar?
Adakah perbedaan dalam memberikan bimbingan? Berbedakah aktifitas
murid dalam kedua proses belajar tersebut? Dimana letak perbedaan dalam
pelaksanaan dan penilaian?
Dalam upaya kedua tersebut kita mencoba mengidentifikasikan
perbedaan diantara pendidikan formal dan non-formal, sebab bila terdapat
perbedaan prestasi belajar IPA dalam kedua bentuk pendidikan tersebut,
maka kemungkinan besar hal ini langsung atau tidak langsung terkait
dengan perbedaan karakteristik antara kedua bentuk pendidikan tersebut.
Apabila hal ini diterima, maka timbullah masalah selanjutnya: Mengapa
prestasi belajar IPA di SD terpengaruh oleh perbedaan tersebut? Faktor apa
sajakah dari pengajara IPA di SD terpengaruh serta bagaimana
pengaruhnya?
Hal ini mendorong kita untuk melakukan upaya ketiga yakni mengkaji
secara ilmiah mengenai hakikat IPA dan proses pengajar IPA di SD:
Apakah yang disebut IPA? Bagaimana aspek ontologism, epistemologis dan
13
aksiologis IPA? Bagaimanakah cara pengajaran IPA di SD? Syarat-syarat
apa yang mempengaruhi keberhasilan pengajaran IPA di SD? Bagaimana
kurikulum IPA di SD? Pengetahuan kita mengenai hakikat IPA dan proses
pengajaran IPA di SD akan memungkinkan kita untuk menganalisa
bagaimana interaksi antara faktor-faktor IPA dan pengajaran IPA dengan
pendidikan formal dan non-formal di SD. Berdasarkan teori-teori ilmiah
yang ada maka kita akan sampai kepada kesimpulan: Bentuk pendidikan
manakah yang akan menghasilkan prestasi belajar IPA di SD yang lebih
baik? Argumentasi manakah yang dapat kita kemukakan untuk menjelaskan
hal itu?
Kesimpulan tersebut diatas disebut hipotesis yang secara susah payah
kita turunkan dari pengetahuan ilmiah yang ada. Jadi tidak benar bila ada
orang yang menganggap bahwa seorang peneliti ilmiah boleh mengajukan
hipotesis secara asal-asalan. Seperti diketahui pada hakikatnya metode
ilmiah yang dapat disimpulkan kedalam dua langkah utama yaitu:
a. Pengajuan hipotesis yang merupakan kerangka teoritis yang secara
deduktif dijalin dari pengetahuan yang dapat diandalkan
b. Pengumpulan data secara empiris untuk mengkaji apakah kenyataan yang
sebenarnya mendukung atau menolak hipotesis tersebut.
Semboyan ilmiah pada hakikatnya adalah sebuah kalimat yang
berbunyi: Yakinkan secara logis dengan kerangka teoritis ilmiah dan
buktikan secara empiris dengan cara-cara mengumpulkan fakta yang
relevan. Jadi pada hakikatnya seorang ilmuwan boleh tidak menerima hasil
penelitian seseorang, apapun juga hasilnya, apabila kerangka teoritis dalam
pengajuan hipotesis baginya tidak meyakinkan. Tahap pembuktian empiris
hanyalah sekedar tahap lanjutan dari tahap pengajuan hipotesis dan tidak
berdiri sendiri. Seyogyanya, dalam artian ilmiah yang paling murni seorang
peneliti tidak diperkenankan mengumpulkan data empiris apabila belum
berhasil menyusun kerangka teoritis yang meyakinkan.

Bagi ilmu-ilmu alam dimana pengujian hipotesis dilakukan secara


eksperimen dengan kemampuan untuk mengontrol semua variabel dalam
14
laboratorium maka tidak terlalu sukar untuk menafsirkan kesimpulan
pengujian. Meskipun kemudian ternyata bahwa hipotesis yang diajukan
ditolak dan fakta menunjukkan hubungan konseptual yang berbeda maka
kemampuan untuk mengontrol variabel-variabel yang terlibat dalam gejala
memberikan kita landasan kuat untuk mengidentifikasikan hubungan sebab
akibat yang nyata. Namun bagaimana dengan ilmu-ilmu sosial dimana
hubungan antara variabel itu begitu kompleks dan disertai ketidak-mampuan
untuk mengontrol seluruh variabel tersebut dalam eksperimen kita? Apalagi,
tentunya metode penelitian mempergunakan data yang telah ada seperti
metode survey, dimana data secara statistis bisa menunjukkan korelasi yang
nyata padahal secara konseptual tidak mempunyai hubungan kausalita.
Agar sebuah kerangka teoritis dapat disebut meyakinkan maka
argumentasi yang disusun tersebut harus dapat memenuhi beberapa syarat:
Teori-teori yang dipergunakan dalam membangun kerangka berpikir harus
merupakan pilihan dari beberapa teori yang dikuasai secara lengkap dan
mencakup (jika ada) perkembangan-perkembangan terbaru. Seperti
diketahui dalam sebuah disiplin keilmuan terdapat lebih dari satu
pendekatan yang tercermin dalam berbagai teori dalam pendekatan
permasalahan yang sama. Misalnya dalam masalah mengenai manajemen
paling tidak dikenal tiga pendekatan yang kemudian dikembangkan menjadi
bermacam-macam teori manajemen yakni pendekatan struktural/fungsional,
pendekatan teknik (management science) dan perilaku (behavior). Sifat
menyeluruh berarti dalam kasus seperti manajemen ini kita harus
mengetahui ketiga pendekatan ini sebagai dasar bagi argumentasi teoritis,
hal ini tidak menjadi soal asalkan kita bisa menjelaskan mengapa
melakukan pilihan tersebut. Demikian juga jika terdapat beberapa aliran
dalam sebuah pendekatan maka harus dikemukakan alasan mengapa kita
memilih aliran tertentu dan tidak aliran yang lain. Disamping itu harus
disadari bahwa ilmu berkembang dengan cepat dan sebuah teori yang
bersifat efektif pada suatu saat akan ditinggalkan pada saat berikutnya. Oleh
sebab itu pengetahuan mengenai teori-teori yang akan dipergunakan sudah
15
harus mencakup perkembangan terbaru dalam bidangnya. Hal ini akan
memungkinkan kita untuk mampu berargumentasi berdasarkan teori-teori
yang pada waktu itu dianggap paling representatif. Mungkin saja kita
berhasil menyusun suatu kerangka argumentasi yang sangat meyakinkan
dalam pengajuan hipotesis, namun apabila argumentasi itu didasarkan pada
teori-teori yang sudah dianggap kuno, maka sukar bagi kita untuk
meyakinkan seorang ilmuwan yang mengikuti perkembangan keilmuan dari
bidang yang menjadi keahliannya.
Lingkup yang bersifat menyeluruh dalam mencakup perkembangan-
perkembangan terbaru dalam suatu disiplin keilmuan biasanya disebut the
state of the art dari disiplin tersebut. Untuk bisa menyusun kerangka teoritis
yang meyakinkan maka pertama-tama seorang ilmuwan diminta
mendemonstrasikan pengetahuannya mengenai the state of the art dari
disiplin keilmuan yang akan dipergunakan dalam basis analisis dalam
pengajuan hipotesisnya. Seperti disebutkan terdahulu maka berdasarkan
pengetahuan tentang the state of the art tersebut harus memilih teori-teori
mana saja yang akan dipergunakan dalam analisis. Pemilihan ini harus
didasarkan kepada argumentasi yang meyakinkan tentang mengapa
melakukan pilihan tersebut. Hal ini membawa kita bukan saja kepada
pengetahuan teknis tentang teori tertentu, melainkan juga pengetahuan
filsafati yang melandasi teori itu.
Pengetahuan filsafati tentang suatu teori adalah pengetahuan tentang
pikiran-pikiran dasar yang melandasi teori tersebut dalam bentuk postulat,
asumsi atau prinsip-prinsip yang sering kurang mendapatkan perhatian
dalam proses belajar mengajar. Padahal untuk melakukan seleksi terhadap
teori mana yang akan dipilih sebagai alat analisis maka seorang ilmuwan
harus mampu mengadakan evaluasi terhadap teori-teori yang ada dimana
fokus utama sering diletakkan pada pikiran-pikiran dasar dari teori yang
dipakainya. Oleh sebab itu pada hakikatnya terdapat perbedaan yang
fundamental antara pendidikan pasca sarjana yang bertujuan untuk
mendidik peneliti ilmiah dengan pendidikan sebelumnya. Pendidikan pasca
16
sarjana ditujukan untuk mengembangkan pengetahuan bukan saja
secara horisontal dalam bentuk akumulasi pengetahuan yang bersifat
teknis namun sekaligus pengembangan pengetahuan secara vertikal
dalam bentuk analisis, yang bersifat filsafati.
Perkuliahan pasca sarjana pada hakikatnya paling tidak harus
mencakup beberapa hal, mengkaji the state of the art dari suatu disiplin
keilmuan yang mencakup seluruh perkembangan-perkembangan teori
keilmuan sampai sekarang. Analisis filsafati dari teori-teori keilmuan yang
difokuskan kepada cara berpikir keilmuan yang mendasari pengetahuan
tersebut dengan pembahasan secara eksplisit mengenai postulat, asumsi dan
prinsip yang mendasarinya. Mampu mengidentifikasi masalah yang timbul
sekitar disiplin keilmuan tersebut.
Seorang peneliti harus menguasai teori-teori ilmiah sebagai dasar
bagi argumentasi dalam menyusun kerangka pemikiran yang membuahkan
hipotesis. Kerangka pemikiran ini merupakan penjelasan sementara
terhadap gejala yang menjadi obyek permasalahan. Kerangka pemikiran
yang berupa penjelasan sementara ini merupakan argumentasi dalam
merumuskan hipotesis yang merupakan jawaban sementara terhadap
permasalahan yang diajukan. Dalam studi perbandingan antara pendidikan
formal dengan non-formal, misalnya menduga bahwa prestasi belajar IPA
dalam pendidikan formal akan lebih baik daripada pendidikan non-formal,
maka alasan untuk dugaan tersebut harus terdapat dalam kerangka
pemikiran, yang juga seperti unsur-unsur kegiatan keilmuan lainnya dituntut
berbagai persyaratan agar meyakinkan.
Kriteria utama agar suatu kerangka pemikiran bisa meyakinkan
sesama ilmuwan adalah alur-alur pemikiran logis dalam membangun suatu
kerangka berpikir yang membuahkan kesimpulan berupa hipotesis. Sering
kita melihat dalam tesis atau disertasi terdapat banyak sekali kajian pustaka
berbentuk teori-teori namun teori-teori ini hanya berfungsi sebagai
pajangan. Teori-teori ini sama sekali tidak dipergunakan sebagai premis
dalam kerangka berpikir secara logis melainkan diletakkan begitu saja.
17
Teori yang seharusnya merupakan landasan kukuh dalam membangun
kerangka pemikiran yang utuh ternyata sekedar merupakan bahan
berserakan. Kurangnya pengetahuan si peleniti tentang fungsi teori dalam
penyusunan kerangka berpikir inilah yang menyebabkan kajian pustaka
menjadi sering tidak efektif.
Ilmu mensyaratkan pengetahuan ilmiah yang baru harus bersifat
konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya. Apabila hipotesis yang
kita ajukan ternyata didukung fakta maka hipotesis yang merupakan
jawaban sementara secara sah diterima sebagai pengetahuan ilmiah. Agar
pengetahuan ilmiah ini bersifat konsisten dengan pengetahuan-pengetahuan
ilmiah sebelumnya maka hal ini harus tercermin dalam struktur logika
berpikir dalam menarik kesimpulan. Untuk itu harus dipenuhi 2 persyaratan,
yakni: Mempergunakan premi-premis yang benar dan mempergunakan cara
penarikan kesimpulan yang sah. Padahakikatnya kerangka berpikir dalam
pengajuan hipotesis didasarkan kepada argumentasi berpikir deduktif
dengan mempergunakan pengetahuan ilmiah, sebagai premis-premis
dasarnya. Mempergunakan pengetahuan ilmiah sebagai premis dasar dalam
kerangka argumentasi akan menjamin dua hal: pertama, karena kebenaran
pernyataan ilmiah telah teruji lewat proses keilmuan, maka kita merasa
yakin bahwa kesimpulan yang ditarik merupakan jawaban yang
terandalkan. Kedua, dengan mempergunakan pernyataan yang secara sah
diakui sebagai pengetahuan ilmiah, maka pengetahuan baru yang ditarik
secara deduktif akan bersifat konsisten dengan tubuh pengetahuan yang
telah disusun.
Walaupun demikian patut kita sadari dalam menyusun kerangka
pemikiran yang membuahkan hipotesis pada pokoknya kita
mengembangkan argumentasi untuk memberi penjelasan sementara tentang
masalah yang dihadapi. Berpikir argumentatif ini selanjutnya berarti kita
menyusun kerangka berpikir (bukan kerangka berpikir orang lain) secara
sistemik dan analitik dengan mempergunakan khasanah teori ilmiah secara
selektif. Kerangka teoritis sebuah karya ilmiah bukanlah merupakan
18
kumpulan berbagai teori yang serba ada melainkan kumpulan premis ilmiah
yang dipilih secara selektif untuk membangun kerangka argumentasi. Untuk
melakukan seleksi dengan tepat, maka secara sadar kita harus menetapkan
kriteria seleksi tersebut. Dalam khasanah ilmu-ilmu sosial terdapat lebih
dari satu teori yang dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah yang
sama.
Pada sekian premis-premis ilmiah yang dipilih secara selektif untuk
membangun kerangka berpikir maka mulailah kita menyusun argumentasi
secara sistematik dan analitik. Tugas ilmuwan yang pertama adalah
meyakinkan secara deduktif dalam argumentasi yang dibangun diatas
premis-premis ilmiah. Berargumentasi artinya secara aktif menjelaskan
mengapa sesuatu itu mempunyai karakteristik tertentu.
Untuk membangun suatu kerangka pemikiran yang bersifat sistematik
dan analitik maka sering dituntut adanya perumusan pikiran-pikiran dasar
yang berupa postulat, asumsi atau prinsip. Dalam kajian dibidang ilmu-ilmu
alam secara relatif tidak terlalu banyak terdapat variasi dalam pikiran-
pikiran dasar ini bila dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial. Disamping
premis-premis sebagaimana telah kita sebutkan diatas maka dalam kerangka
teoritis kita juga melakukan pengkajian terhadap penelitian-penelitian yang
relevan yang telah dilakukan para peneliti lainnya. Hal ini dilakukan
pertama-tama disebabkan oleh sifat ilmu yang pengembangannya dilakukan
secara kumulatif. Seperti seorang pelari estafet, maka seorang ilmuwan
dalam menjelajah cakrawala pengetahuan baru harus mengenal tiap
pendahulunya. Hal ini disamping akan menghindari adanya duplikasi yang
sia-sia, juga akan memberikan prespektif yang jelas mengenai hakikat dan
kegunaan penelitian kita dalam perkembangan secara keseluruhan.
Demikian juga hasil penelitian mutakhir, mungkin merupakan pengetahuan
teoritis baru atau refisi terhadap teori lama, yang dapat dipergunakan
sebagai premis dalam penyusunan kerangka maupun dalam kegiatan analisis
lain.

19
Kerangka teoritis suatu penelitian dimulai dengan mengidentifikasikan
dan mengkaji berbagai teori yang relevan serta diakhiri dengan pengajuan
hipotesis. Bahwa produk akhir dari proses pengkajian kerangka teoritis ini
adalah perumusan hipotesis harus merupakan pangkal dan tujuan dari
seluruh analisis. Hal ini harus tercermin bukan saja dalam struktur logika
berpikir melainkan juga dalam struktur penulisan. Sebenarnya satu tujuan
dalam kerangka teoritis ini adalah menganalisis karakteristik hubungan yang
mungkin terjadi antara prestasi belajar IPA di SD dalam pendidikan formal
dan non-formal maka tujuan ini harus tercermin dalam pernyataan
pembukaan (opening statement) sebelum kita mengidentifikasikan dan
mengkaji teori-teori yang relevan. Pernyataan secara tersurat mengenai
tujuan ini akan membawa dua manfaat yakni: dengan cepat kita dapat
mengidentifikasikan pertanyaan-pertanyaan dalam bentuk kajian pustaka
berbagai teori dan sebangsanya yang relevan dengan persoalan, kedua
membantu kita menyusun alur berpikir yang mengarah kepada penarikan
kesimpulan sebab kita tahu benar pernyataan mengenai apa saja yang mesti
disimpulkan.
Struktur penulisan kerangka teoritis dapat diibaratkan dengan dua
buah piramida yang bersinggungan pada alasnya: mula-mula kecil lantas
melebar dan setelah melebar kembali mengecil. Dimulai dengan pernyataan
pembukaan mengenai tujuan analisis yang kemudian melebar dengan
melakukan inventarisasi dari berbagai teori yang relevan. Setelah itu
mempergunakan premis-premis yang terdapat dalam kumpulan teori
tersebut dalam penarikan kesimpulan dimana proses kembali mengecil
secara konvergen sekitar perumusan hipotesis. Kesimpulan seperti
berdasarkan analisis ini diduga prestasi belajar IPA di SD pada pendidikan
formal akan lebih baik dari pada non-formal merupakan pernyataan yang
mencerminkan klimaks atau grand finale dari seluruh upaya kita dalam
membangun kerangka teoritis yang mendukung hipotesis.
Mengapa kajian teoritis beberapa peneliti tidak memuncak dalam
klimaks berupa kesimpulan tentang hipotesis yang akan diajukan, melainkan
20
sekedar kumpulan teori-teori yang tidak disusun dalam suatu struktur logika
berpikir tertentu?. Gejala seperti ini yang sering kita temukan dalam
penulisan tesis disebabkan oleh beberapa hal:
a. Kurangnya pengetahuan tentang metode ilmiah terutama mengenai
fungsi teori dan hipotesis dalam proses kegiatan keilmuan.
b. Persepsi yang salah bahwa hipotesis bisa diajukan secara asal-asalan
karena sekedar dugaan yang kemudian didukung atau ditolak oleh
penguji empiris.
c. Terdapat anggapan bahwa ketangka teoritis merupakan arena untuk
menunjukkan kemampuan intelektual seorang ilmuwan yang dapat
dipakai sebagai kriteria apakah seseorang telah cukup memenuhi syarat
atau belum untuk suatu promosi tertentu.
Dengan meletakkan keranga teoritis pada fungsi yang sebenarnya
maka kita selangkah lebih maju dalam meningkatkan mutu keilmuan
kegiatan penelitian. Secara ringkas maka langkah dalam penyusunan
kerangka teoritis dan pengajuan hipotesis ini dapat dibagi kedalam kegiatan-
kegiatan sebagai berikut:
a. Pengkajian mengenai teori-teori ilmiah yang akan dipergunakan dalam
analisis.
b. Pembahasan mengenai penelitian-penelitian lain yang relevan.
c. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis dengan
mempergunakan premis-premis sebagai tercantum dalam butir (1) dan
butir (2) dengan menyatakan secara tersurat postulat, asumsi dan
prinsipyang dipergunakan (sekiranya diperlukan).
d. Perumusan hipotesis.

3. Metodologi Penelitian
Setelah kita berhasil merumuskan hipotesis yang diturunkan secara
deduktif dari pengetahuan ilmiah yang relevan maka langkah berikutnya
adalah menguji hipotesis tersebut secara empiris. Artinya kita melakukan
verifikasi apakah pernyataan yang dikandung oleh hipotesis yang diajukan
21
tersebut didukung atau tidak oleh kenyataan yang bersifat faktual. Masalah
yang dihadapi dalam proses verifikasi ini adalah bagaimana prosedur dan
cara dalam pengumpulan dan analisis data agar kesimpulan yang ditarik
memenuhi persyaratan berpikir induktif. Penetapan prosedur dan cara ini
disebut metodologi penelitian yang pada hakikatnya merupakan persiapan
sebelum verifikasi dilakukan.
Metodologi adalah pengetahuan tentang metode-metode, jadi
metodologi penelitian adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang
dipergunakan dalam penelitian. Setiap penelitian mempunyai metode
penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan
berdasarkan tujuan penelitian. Setiap peneliti pada hakikatnya mempunyai
metode penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan
berdasarkan tujuan penelitian. Oleh sebab itu maka kegiatan pertama dalam
penyusunan metodologi penelitian adalah menyatakan secara lengkap dan
operasional tujuan penelitian yang mencakup bukan saja variabel-variabel
yang akan diteliti dan karakteristik hubungan yang akan diuji melainkan
sekaligus juga tingkat keumuman (level of generality) dari kesimpulan yang
akan ditarik seperti tempat, waktu, kelembagaan dan sebagainya.
Berdasarkan tujuan penelitian ini maka kita akan dapat memilih metode
penelitian yang tepat beserta teknik pengambilan contoh dan teknik
penarikan kesimpulan yang relevan.
Metode adalah prosedur atau cara yang ditempuh dalam mencapai
tujuan tertentu sedangkan teknik adalah cara yang spesifik dalam
memecahkan masalah tertentu yang ditemui dalam melaksanakan prosedur.
Jadi sebuah metode penelitian mencakup beberapa teknik yang termasuk
didalamnya umpamanya teknik pengambilan contoh, teknik pengukuran,
teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
Pada hakikatnya proses verifikasi adalah mengumpulkan dan
menganalisis data dimana kesimpulan yang ditarik kemudian dibandingkan
dengan hipotesis untuk menentukan apakah hipotesis yang diajukan tersebut
ditolak atau diterima. Dengan demikian maka teknik-teknik yang tergabung
22
dalam metode penelitian harus dipilih yang bersifat cocok dengan
perumusan hipotesis. Seperti telah disampaikan terdahulu maka umpamanya
terdapat teknik analisis statistika yang berbeda dalam hal menemukan
perbedaan antara dua variabel (x/ y) dengan membandingkan kedua variabel
tersebut untuk menemukan variabel yang lebih superior (x > y). Misalnya
hipotesis kita menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan prestasi IPA di
SD antara pendidikan formal dan non-formal maka teknis analisis data,
atau lebih tepat lagi rumus statistika yang dipergunakan dalam pengujian
hipotesisnya, akan berbeda dengan hipotesis yang menyatakan bahwa
prestasi belajar IPA di SD pada pendidikan formal adalah lebih baik dari
pada non-formal. OIeh sebab itu maka dalam teknik analisis data sering
dinyatakan secara tersurat pengajuan hipotesis, yang dinyatakan dalam
pernyataan statistika dengan menuliskan bersama-sama baik hipotesis NOL
(H0) maupun hipotesis tandingan ( H1) beserta rumus statistikanya (apabila
mempergunakan statistika) yang dipergunakan. Pengajuan hipotesis dalam
kerangka teoritis cukup diekspresikan dengan hipotesis konseptual
(penelitian) yang dinyatakan dalam bentuk non statistis.
Dalam teknik pengumpulan data harus dinyatakan variabel yang akan
dikumpulkan, sumber data dari mana keterangan mengenai variabel tersebut
akan didapatkan. Demikian juga halnya yang menyangkut teknik
pengukuran, instrument pengukuran dan teknik mendapatkan data
(umpamanya dengan cara interview). Apabila pengumpulan data
memerlukan instrument tertentu maka instrument yang akan dipergunakan
harus diuji dahulu sebelum dipergunakan. Ini untuk dinyatakan secara
tersurat langkah-langkah pengujian yang telah ditempuh beserta hasilnya.
Pada pokoknya sebuah instrument harus teruji mengenai keabsahan
(validity) dan keandalannya (reliability). Data pengujian instrument cukup
dinyatakan secara singkat pada metodologi penelitian dan bukan pada hasil
penelitian. Bila diperlukan maka data yang lebih lengkap dapat ditempatkan
dalam lampiran. Demikian juga halnya dengan berbagai persiapan lainnya

23
seperti tes pendahuluan dalam teknik pengambilan contoh. Jadi dapat
disimpulkan dalam metodologi penelitian terdapat:

a. Tujuan penelitian secara lengkap dan operasional dalam bentuk


pernyataan yang mengidentifikasikan variabel-variabel dan karakteristik
hubungan yang akan diteliti.
b. Tempat dan waktu penelitian dimana akan dilakukan generalisasi
mengenai variabel-variabel yang akan diteliti.
c. Metode penelitian yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian dan
tingkat generalisasi yang diharapkan.
d. Teknik pengambilan contoh yang relevan dengan tujuan penelitian,
tingkat keumuman dan metodologi penelitian.
e. Teknik pengumpulan data yang mencakup identifikasi variabel yang
akan dikumpulkan, sumber data, teknik pengukuran, instrument dan
teknik mendapatkan data.
f. Teknik analisis data yang mencakup langkah-langkah dan teknik analisis
yang dipergunakan yang ditetapkan berdasarkan pengajuan hipotesis
(sekiranya mempergunakan statistika maka tuliskan hipotesis nol dan
hipotesis tandingan: H0/H1).
4. Hasil Penelitian
Dalam membahas hasil penelitian tujuan kita adalah membandingkan
kesimpulan yang ditarik dari data yang telah dikumpulkan dengan hipotesis
yang diajukan. Secara sistematik dan terarah maka data yang telah di
kumpulkan diolah, deskripsikan, bandingkan dan evaluasi yang semuanya
diarahkan pada sebuah penarikan kesimpulan apakah data tersebut data
tersebut mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan. Hasil penelitian
dapat dilaporkan dalam kegiatan sebagai berikut
a. Menyatakan variabel-variabel yang diteliti.
b. Menyatakan teknik analisis data.
c. Mendiskripsikan hasil analisis data.
d. Memberikan penafsiran terhadap kesimpulan analisis data.
e. Menyimpulkan pengujian hipotesis apakah ditolak atau diterima.
24
Pada hakikatnya sebuah hasil penelitian yang baik tidak berhenti pada
kesimpulan apakah sebuah hipotesis diterima atau ditolak melainkan
diperlengkapi dengan evaluasi mengenai kesimpulan tersebut. Mungkin saja
sebuah hipotesis dikonfirmasikan oleh data yang berhasil telah kita
kumpulkan, namun mungkin juga evaluasi kita mengenai prosedur dan
pelaksanaan survey atau eksperimen yang telah dilakukan, menyebabkan
kita harus agak berhati-hati dalam menafsirkan. Sebuah pernyataan ilmiah
yang baik selalu mengandung tingkat kepercayaan yang dimiliki pernyataan
tersebut. Tingkat kepercayaan ini bukan hanya pernyataan statistis yang
secara tersurat dinyatakan dalam analisis statistika melainkan juga
mencakup evaluasi keseluruhan mengenai prosedur dan pelaksanaan
penelitian.
Kesimpulan yang menyebabkan ditolaknya sebuah hipotesis
sebaiknya dianalisis lebih jauh. Dalam penelitian dasar dibidang ilmu-ilmu
alam umpanya sering ditemui kasus dimana pengujian hipotesis bukanlah
suatu hal yang mudah. Pengujian ini kadang-kadang bukan saja
membutuhkan peralatan yang khas namun juga kegigihan dari penelitinya.
Gejala ini yang menyebabkan para ahli menyarankan bahwa sebaiknya
ilmuwan yang mengajukan hipotesis itu sendiri yang melakukan
pengujiannya secara empiris. Tentu saja saran ini disampaikan dengan
asumsi bahwa ilmuwan tersebut menyadari sedalam-dalamnya azas moral
keilmuan, dimana kegigihannya ditujukan untuk menemukan kebenaran,
dan bukan menguji hipotesisnya dengan cara-cara yang tidak dapat
dibenarkan.
Bagi penelitian yang kerangka teoritis dalam pengajuan hipotesis
dilakukan secara asal-asalan maka tidak sukar untuk kemudian berbalik
arah dan mengubah kerangka teoritis dan pengajuan hipotesisnya
disesuaikan aposteriori dengan kesimpulan data. Hal ini tidak boleh
dilakukan oleh seorang ilmuwan sebab secara epistemologis tidak sah dan
kemungkinan besar menghasilkan kesimpulan yang salah. Namun hal ini
tidak berarti bahwa seseorang tidak diperkenankan mengubah cara berpikir
25
dan secara kaku berpegang kepada hipotesis yang telah diajukan. Bisa saja
berdasarkan pelaksanaan penelitian secara keseluruhan, jadi bukan
berdasarkan kesimpulan yang disodorkan oleh analisis data, maka cakrawala
berpikir mendapatkan persepsi baru yang secara fundamental mengubah
kerangka teoritis dan perumusan hipotesis secara menyeluruh. Seorang
ilmuwan kemudian merubah kerangka berpikirnya disebabkan adanya
argumentasi ilmiah yang lebih meyakinkan dirinya, jelas hal ini bukan
merupakan cela, malahan merupakan sifat ilmuwan yang terpuji. Namun
bila perubahan itu dilakukan tidak berdasarkan keyakinan yang
berlandaskan argumentasi teoritis rasional, melainkan lebih merupakan
pembelaan terhadap kesimpulan empiris yang disodorkan oleh data, hal ini
jelas tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Sebuah hipotesis yang dikonfirmasikan oleh data empiris memberikan
kita kesimpulan yang telah teruji secara ilmiah. Tentu saja keyakinan-
keyakinan kita terhadap kebenaran ilmiah pernyatan itu adalah tidak bersifat
mutlak, namun paling tidak dalam lingkup penelitian yang telah dilakukan,
kesimpulan yang ditarik itu memenuhi persyaratan-persyaratan ilmiah untuk
dapat diandalkan. Dengan demikian maka kita dapat memikirkan implikasi
dan saran-saran dari penemuan itu dengan keyakinan yang relative lebih
pasti. Keadaan ini tentu berlainan dengan kesimpulan penelitian pada
hakikatnya berasal dari hipotesis yang ditolak.
Pada hakikatnya tanpa keraguan sedikitpun, baik dalam kerangka
teoritis maupun prosedur dan cara penelitian, sebuah hipotesis alternatif
dapat diterima sebagai kesimpulan penelitian yang mencerminkan
kebenaran. Namun bila terdapat keraguan, maka sebaiknya kesimpulan ini
dianggap sebagai kebenaran sementara, untuk kemudian diuji kembali
dalam penelitian berikutnya agar dapat lebih dipastikan kebenarannya.
Dalam keadaan seperti ini biasanya kita menahan diri untuk mengkaji
berbagai implikasinya dan sangat berhati-hati dalam pengajuan saran.
Dalam keadaan hipotesis yang ditolak biasanya kita memberikan penjelasan

26
yang berupa dugaan mengapa hal itu terjadi demikian. Dugaan ini kemudian
disarankan menjadi hipotesis untuk diuji dalam penelitian yang lain.
Untuk melaporkan hasil penelitian maka secara singkat dan kronologis
pertama-tama diberikan deskripsi tentang variabel yang diteliti, disusul
dengan teknik analisis yang dipergunakan. Setelah itu hasil pengukuran
dilaporkan kemudian dilengkapi dengan kesimpulan analisis dari data yang
telah dikumpulkan. Laporan ini ditulis dalam bentuk esei dengan kalimat-
kalimat verbal mencakup semua pernyataan yang sepatutnya dikemukakan
baik pernyataan bersifat kwalitatif maupun kwantitatif. Bila diperlukan
maka deskripsi dalam bentuk esei ini dilengkapi dengan berbagai sarana
pembantu seperti table, grafik atau bagan yang berfungsi untuk lebih
menjelaskan pernyataan yang terkandung dalam esei. Patut disadari bahwa
table, graifk atau bagan itu fungsinya membantu memperjelas pernyataan-
pernyataan verbal.
Demikian juga data yang ditempatkan dalam tubuh utama laporan
harus merupakan data yang telah diolah. Data mentah dan langkah-langkah
dalam pengolahan data tersebut sebaiknya ditulis dalam lampiran.
Terkadang kita membaca laporan tentang hasil penelitian penuh dengan data
mentah yang dinyatakan dalam berpuluh tabel, grafik dan bagan.
Pencantuman data mentah seperti ini jelas tidak meningkatkan mutu ilmiah
tulisan, melainkan justru sebaliknya, pembaca laporan tersebut akan merasa
bosan, mengaburkan prespektif persoalan yang ingin dikemukakan.
Langkah berikutnya adalah memberikan penafsiran terhadap
kesimpulan analisis data. Pada hakikatnya dalam langkah ini kita harus
menafsirkan hubungan bersifat statistis seperti regresi dan korelasi dalam
hubungan yang bersifat ilmiah seperti hubungan kausalita. Demikian juga
kita harus menafsirkan tingkat keumuman dari kesimulan yang ditarik
berdasarkan contoh kepada kesimpulan yang menyangkut populasi.
Penafsiran terminology analisis juga harus diberikan umpamanya saja apa
yang dimaksud dengan koefisien korelasi tertentu yang besarnya kita ukur
dalam penelitian. Sekiranya kita mendapatkan bahwa x dan y berkorelasi
27
dengan koefisien sebesar r maka harus dijelaskan hubungan yang terdapat
antara kedua variabel tersebut. Perlu diingat bahwa statistika dan bermacam
teknik analisis lainnya adalah sekedar alat dan bukan merupakan tujuan.
Seorang peneliti harus dapat menafsirkan sebuah kesimpulan akhir yang
ditarik dari analisis yang telah dilakukan. Menimba arti dari data,
meminjam perkataan Van Dalen, Merupakan tahap paling sukar dan paling
menyenangkan dari sebuah penelitian. Hasil penafsiran ini kemudian
dibandingkandengan hipotesis yang diajukan untuk menyimpulkan apakah
hipotesis tersebut ditolak atau diterima.

5. Ringkasan dan Kesimpulan


Kesimpulan pengujian hipotesis kemudian dikembangkan menjadi
kesimpulan penelitian yang ditulis dalam bab tersendiri. Kesimpulan
penelitian ini merupakan sintesis dari keseluruhan aspek penelitian yang
terdiri dari masalah, kerangka teoritis, hipotesis, metodologi penelitian dan
penemuan penelitian. Sintesis ini membuahkan kesimpulan yang ditopang
oleh suatu kajian yang bersifat terpadu dengan meletakkan berbagai aspek
penelitian dalam prespektif menyeluruh. Untuk itu maka diuraikan kembali
secara ringkas penyataan-pernyatan pokok dari aspek-aspek tersebut diatas
dengan meletakkannya dalam kerangka yang mengarah kepada kesimpulan.
Itulah sebabnya maka bab ini disebut sebagai ringkasan kesimpulan yang
pada dasarnya mencerminkan hakikat kesimpulan yang disingkapkan oleh
penelitian.
Dalam mengkaji kesimpulan penelitian ini, disebabkan sifatnya yang
terpadu dan menyeluruh, maka seorang peneliti meninggalkan perannya
sebagai ilmuwan dan beralih menjadi filsuf. Hal ini berarti dia harus
mampu menarik kesimpulan utuh dari data yang bersifat terpisah dengan
tidak meninggalkan sifat keilmuan. Persyaratan ini patut diingat karena
sering ditemukan bahwa seorang peneliti menarik kesimpulan yang berada
diluar batas kewenangan lingkup penelitian serta kesimpulan analisis data
yang dikumpulkan.

28
Kesimpulan penelitian ini harus dapat dipertanggungjawabkan
dalam kerangka teori keilmuan yang didukung oleh penemuan penelitian.
Kesimpulan ini kemudian dibahas dengan jalan membandingkannya
terhadap penelitian lain serta pengetahuan ilmiah yang relevan. Berdasarkan
analisis tersebut diatas maka seorang peneliti dapat melihat berbagai
implikasi yang ditimbulkan oleh kesimpulan penelitian. Implikasi ini
umpamanya bisa berupa pengembangan ilmu, kegunaan terapan yang
bersifat praktis dan penyusunan kebijaksanaan. Hal ini kemudian dijabarkan
dalam serangkaian tindakan yang berupa saran-saran. Jadi dapat
disimpulkan bahwa di dalam kesimpulan mencakup:

a. Deskripsi singkat mengenai masalah, kerangka teoritis, hipotesis,


metodologi dan penemuan penelitian.
b. Kesimpulan penelitian yang merupakan sintesis berdasarkan keseluruhan
aspek-aspek tersebut diatas.
c. Pembahasan kesimpulan penelitian dengan melakukan perbandingan
terhadap penelitian lain dan pengetahuan ilmiah yang relevan.
d. Mengkaji implikasi penelitian.
e. Mengajukan saran.
6. Abstrak

Seluruh laporan penelitian kemudian disarikan dalam sebuah


ringkasan yang disebut abstrak. Abstrak merupakan ringkasan seluruh
bagian penelitian yang paling banyak terdiri dari tiga halaman. Keseluruhan
abstrak merupakan sebuah esei yang utuh dan tidak dibatasi oleh sub judul.
Hanya terdapat satu judul dalam abstrak yakni judul penelitian. Sesuai
dengan langkah-langkah dalam kegiatan penelitian maka asbtrak mencakup
keseluruhan pokok pernyataan penelitian mengenai masalah, hipotesis,
metodologi dan kesimpulan penelitian. Kerangkan pemikiran dalam
pengajuan hipotesis karena biasanya terlalu panjang tidak dicantumkan
dalam abstrak. Apabila dicantumkan juga maka nyatakan proposisi yang
bersifat pokok-pokok saja.

29
Tiap bagian ditulis secara utuh namun ringkas, masing-masing dalam
paragraf tersendiri. Dengan demikian maka abstrak merupakan sebuah esei
yang terdiri dari serangkaian paragraf secara keseluruhan mampu
mengkomunikasikan intisari sebuah penelitian. Tiap bagian harus
mendapatkan perlakuan yang seimbang. Dari sebuah abstrak dapat
disimpulkan apakah kita berminat untuk membaca keseluruhan laporan atau
tidak. Abstrak dapat diibaratkan sebuah iklan yang kita taruh dihalaman
terdepan dari publikasi ilmiah dengan tujuan agar iklan tersebut mampu
mengkomunikasikan apa yang disajikan.

7. Daftar Pustaka

Sebuah laporan penelitian dilengkapi dengan daftar pustaka yang


merupakan sumber referensi bagi seluruh kegiatan penelitian. Pada
hakikatnya daftar pustaka merupakan inventarisasi dari seluruh publikasi
ilmiah maupun non-ilmiah yang dipergunakan sebagai dasar bagi
pengkajian yang dilakukan. Beberapa universitas membatasi daftar pustaka
hanya pada sumber-sumber yang dikutip secara langsung maupun secara
tidak langsung dalam tubuh tulisan.

8. Riwayat Hidup

Sebuah tulisan ilmiah kadang-kadang disertai riwayat hidup


penulisnya. Riwayat hidup ini biasanya merupakan deskripsi dari latar
belakang pendidikan dan pekerjaan yang mempunyai hubungan dengan
penulisan ilmiah yang disampaikan. Tidak perlu mencantumkan hal-hal
yang dirasa kurang relevan dengan kegiatan penulisan. Semua hal bersifat
penting tersebut diringkas dalam satu atau dua halaman tulisan. Riwayat
hidup dicantumkan pada halaman terakhir sebuah laporan tanpa diberi
nomor halaman.

9. Usulan Penelitian

Sebuah usulan penelitian mengandung seluruh langkah-langkah


penelitian tersebut diatas tanpa hasil penelitian, sebab hal ini baru akan

30
dilakukan. Dengan demikian maka usulan penelitian hanya mencakup
langkah pengajuan masalah, penyusunan teoritis dan pengajuan hipotesis
serta metodologi penelitian. Usulan penelitian biasanya dilengkapi dengan
jadwal kegiatan, personalia peneliti serta aspek-aspek lainnya yang
berhubungan dengan penelitian, misalnya pembiayaan.

10. Lain-lain

Sebelum memasuki tubuh utama laporan sebuah tulisan ilmiah


biasanya didahului oleh beberapa informasi yang bersifat pengantar.
Pertama-tama tentu saja ada halaman judul dari laporan ilmiah tersebut.
Judul tersebut harus singkat namun mampu mengkomunikasikan tentang
apa saja yang diteliti, dilakukan dimana, kapan serta kalau mungkin metode
penelitian apa (umpamanya saja studi kasus, perbandingan atau survai).
Setelah itu dikemukakan secara umum lingkup laporan yang akan
disampaikan beserta penghargaan terhadap berbagai pihak yang telah
membantu penyelesaian karya ilmiah tersebut.
Kemudian menyusul daftar isi yang dilengkapi dengan daftar tabel
dan daftar gambar yang disusun secara tersendiri. Untuk karya ilmiah
berupa tesis atau disertasi setelah halaman judul biasanya disisipkan
lembaran persetujuan para pembimbing serta promotor dan pihak-pihak
lainnya. Seperti telah disebutkan terdahulu maka halaman terdepan
mendahului halaman judul ditempatkan abstrak. Semua materi yang
tercakup dalam lain-lain ini diberikan nomor halaman dengan
mempergunakan angka latin yang ditulis dengan huruf kecil umpamanya, i,
iv, dan x. Tubuh utama laporan diberi nomor halaman dengan angka arab.

B. Teknik Penulisan Ilmiah


Teknik penulisan ilmiah mempunyai dua aspek yakni gaya penulisan
dalam membuat pernyataan ilmiah serta teknik notasi dalam menyebutkan
sumber dari pengetahuan ilmiah yang dipergunakan dalam penulisan.
Komunikasi ilmiah harus bersifat jelas dan tepat yang memungkinkan proses
penyampaian pesan besifat reproduktif dan impersonal. Bahasa yang

31
dipergunakan harus jelas dimana pesan mengenai objek yang ingin
dikomunikasikan mengandung informasi yang disampaikan sedemikian rupa
sehingga si penerima betul-betul mengerti akan isi pesan yang disampaikan
kepadanya.
Penulisan ilmiah harus menggunakan bahasa yang baik dan benar. Tata
bahasa merupakan ekspresi dari logika berfikir, tata bahasa yang tidak cermat
merupakan pencerminan dari logika berfikir yang tidak cermat pula. Oleh
sebab itu langkah pertama dalam menulis karangan ilmiah yang baik adalah
mempergunakan tata bahasa yang benar. Demikian juga penggunaan kata
harus dilakukan secara tepat artinya kita harus memilih kata-kata yang sesuai
dengan pesan apa yang ingin disampaikan.
Komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif, artinya si penerima
pesan mendapatkan kopi yang benar-benar sama dengan prototipe yang
disampaikan pemberi pesan. Dalam komunikasi ilmiah tidak boleh mendapat
penafsiran lain selain isi yang di kandung oleh pesan tersebut, sedangkan
komunikasi estetik sering terdapat penafsiran berbeda terhadap obyek
komunikasi yang sama, disebabkan oleh penjiwaan berbeda terhadap obyek
estetik yang diungkapkan. Komunikasin ilmiah memang tidak ditujukan
kepada penjiwaan melainkan kepada penalaran dan oleh sebab itu harus
dihindarkan setiap bentuk pernyataan tidak jelas dan bermakna jamak.
Proposisi ilmiah, umpamanya, harus merupakan pernyataan yang mengandung
penilaian apakah materi yang dikandung pernyataan itu benar atau salah,
namun tidak bias keduanya. Demikian juga harus dihindarkan bentuk
komunikasi yang mempunyai konotasi emosional.
Komunikasi ilmiah harus bersifat impersonal, dimana bebeda dengan
tokoh dalam sebuah novel yang bisa berupa aku, dia, atau Dokter Faus,
merupakan figur yang muncul secara dominan dalam seluruh pernyataan. Kata
ganti perorangan hilang dan ditempati oleh kata ganti universal yakni
ilmuan. Contoh lain, kita tidak menyatakan proses pengumpulan data dengan
kalimat seperti saya bermaksud mengumpulkan data dengan mempergunakan
kuesioner melainkan dengan kalimat yang impersonal yakni data akan
32
dikumpulkan dengan mempergunakan kuesioner. Dalam hal ini maka yang
mengumpulkan data adalah ilmuan atau peneliti yang tidak dinyatakan
secara tersurat.
Pernyataan ilmiah yang kita pergunakan dalam tulisan harus mencakup
beberapa hal. Pertama, harus dapat kita identifikasikan orang yang membuat
penyataan tersebut. Kedua, harus dapat kita identifikasikan media komunikasi
ilmiah dimana perrnyataan itu disampaikan apakah itu makalah, buku, seminar,
lokakarya, dan sebagainya. Ketiga, harus dapat kita identifikasikan lembaga
yang menerbitkan publikasi ilmiah tersebut beserta tempat berdomisili dan
waktu penerbitan itu dilakukan. Apabila pernyataan ilmiah itu tidak diterbitkan
melainkan disampaikan dalam bentuk makalah untuk seminar atau lokalkarya
maka harus disebutkan tempat, waktu dan lembaga yang melakukan kegiatan
tersebut. Cara kita mencantumkan ketiga hal tersebut dalam penulisan ilmiah
disebut teknik notasi ilmiah. Terdapat bermacam-macam teknik notasi ilmiah
yang pada dasarnya mencerminkan hakikat dan unsur yang sama meskipun
dinyatakan dalam format dan simbol yang berbeda-beda.
Teknik notasi ilmiah mengunakan catatan kaki (footnote). Variasi-variasi
dari sebuah teknik notasi ilmiah biasanya dimungkinkan dan pengetahuan yang
mendalam mengenai dasar-dasar pemikiran dari teknik tersebut akan
mendorong kita untuk memilih variasi yang tepat. Dalam teknik notasi ilmiah
dengan menggunakan catatan kaki terdapat dua variasi. Variasi pertama ialah
bahwa catatan kaki itu ditaruh dalam halaman yang sama, sedangkan dalam
variasi yang kedua catatan kaki itu seluruhnya dikelompokkan dan ditaruh pada
akhir sebuah bab.
Sebelum kita memilih salah satu dari dua variasi tersebut maka ada
baiknya kita ketahui fungsi dari catatan kaki itu. Fungsi pertama dari catatan
kaki adalah sebagai sumber informasi bagi pernyataan ilmiah yang dipakai
dalam tulisan kita. Apabila seluruh catatan kaki kita gunakan untuk itu maka
tidak ada salahnya seluruh catatan kaki itu kita kelompokkan dan ditaru diakhir
bab, sebab bila diperlukan maka pembaca melihanya di halaman belakang.

33
Keuntungan lainnya dari cara seperti ini adalah teknik pengetikkan yang lebih
mudah.
Fungsi kedua dari catatan kaki yakni sebagai tempat bagi catatan-catatan
kecil, yang sekiranya diletakkan dalam tubuh utama laporan, akan mengganggu
keseluruhan penulisan. Dalam penulisan bidang-bidang tertentu seperti sejarah,
antropologi, atau ilmu pendidikan, catatan tambahan seperti ini memang peran
yang penting. Betapa seringnya kita dihadapkan dengan keinginan untuk
memberikan catatan dalam krangka memperkaya kandungan sebuah
pernyataan tanpa merusak keseluruhan bentuk pernyataan tersebut. Catatan
seperti ini dapat pula diletakkan dalam catatan kaki, namun bila catatan kaki
mengandung keterangan bersifat memperkaya ini di letakkan di halaman
belakang, kemungkinan besar keterangan tambahan ini tidak akan terbaca.
Dengan demikian tujuan catatan kaki itu dimaksudkan untuk memberikan
catatan tambahan, sebaiknya catatan kaki diletakkan dalam halaman yang
sama, meskipun menjadi agak sukar dalam melakukan pengetikan.
Pada dasarnya, bila kita menggunakan pernyataan orang lain dalam
tulisan kita, kutipan yang dipinjam itu dapat berupa kutipan langsung atau
kutipan tidak langsung. Kutipan langsung merupakan pernyataan yang kita
tulis dalam karya ilmiah dalam susunan kalimat aslinya tanpa mengalami
perubahan sedikit pun, sedangkan dalam kutipan tidak langsung kita mengubah
susunan kalimat yang asli dengan susunan kalimat kita sendiri. Pada
hakikatnya seseorang ilmuan harus mampu menyatakan pendapat orang lain
dalam bahasa ilmuan itu sediri yang mencirikan kepribadiannya. Oleh sebab itu
karya ilmiah yang dipenuhi kutipan langsung yang terlalu banyak tidak
mencerminkan kepribadiannya melainkan sekedar koleksi pendapat orang lain.
Sebaiknya kutipan langsung intensitasnya tidak melebihi 30 persen dari seluruh
kutipan yang ada. Semua kutipan baik langsung maupun tidak langsung
biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa pengantar yang dipakai.
Kutipan langsung kadang-kadang memang diperlukan dengan tujuan
untuk mempertahankan keaslian pernyataan itu. Gabungan antara kutipan tidak
langsung dan kutipan langsung sering dipergunakan untuk memadukan antara
34
gaya penulisan seseorang dengan pernyataan orang lain yang ingin
dipertahankan keasliannya, umpamanya dalam kalimat: perbuatan seorang
pembunuh yang memotong-motong orang itu sungguh merupakan kebiadapan
orang biadap dan puncak tindak kriminal tahun ini. Dalam pernyataan
tersebut kita mencoba untuk mempertahankan keaslian pernyataan yang
bersifat otentik seperti kebiadapan orang biadap dan puncak tindak
kriminal dengan mengutipnya secara langsung. Kutipan langsung yang
jumlahnya kurang dari empat baris diletakkan dalam tubuh tulisan dengan
menggunakan tanda kutip. Untuk kutipan langsung yang terdiri dari empat
baris kalimat atau lebih maka keseluruhan kutipan tersebut diletakkan dalam
tempat tersendiri.

C. Teknik Notasi Ilmiah


Tanda catatan kaki diletakkan di ujung kalimat yang kita kutip dengan
mempergunakan angka arab yang di ketik naik setengah spasi. Catatan kaki
pada bab di beri nomor urut mulai dari angka 1 sampai habis dan diganti
dengan nomor 1 kembali pada bab yang baru. Satu kalimat mungkin terdiri dari
beberapa catatan kaki bila kalimat itu terdiri dari beberapa kutipan. Dalam
keadaan seperti ini maka tanda catatan kaki diletakkan di ujung kalimat yang
dikutip sebelum tanda baca penutup, sedangkan satu kalimat yang seluruhnya
terdiri dari satu kutipan tanda catatan kaki diletakkan sesudah tanda baca
penutup kalimat. Contohnya:
Larrabee mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan yang dapat diandalkan 1 sedangkan
Richter melihat ilmu sebagai sebuah metode2 dan Conant mengidentifikasikan ilmu sebagai
serangkaian konsep sebagai hasil dari pengamatan dan percobaan3.
Apabila kalimat diatas dijadikan tiga buah kalimat yang masing-masing
mengandung sebuah kutipan maka tanda catatan kaki ditulis sesudah tanda baca
penutup:
Larrabee mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan yang dapat diandalkan. 1 Sedangkan
Richter melihat ilmu sebagai sebuah metode.2 Pendapat lain dikemukakan oleh Conant
mengidentifikasikan ilmu sebagai serangkaian konsep sebagai hasil dari pengamatan dan
percobaan.3

35
Kalimat yang kita kutip harus dituliskan sumbernya secara tersurat dalam catatan
kaki sebagai berikut:
1)
Harlod A. Larrabee, Reliable Knowledge (Boston; Houghton Miffin, 1964). hlm. 4.
2)
Maurice N. Richter, Jr. Science as a Cultural Process (Cambridge: Schenkman, 1972). hlm.
15.
3)
James B Conant. Science and Common Sense (New Haven: Yale University Press, 1961).
hlm. 25.
Catatan kaki ditulis dalam satu spasi dan dimulai langsung dari pinggir, atau dapat
dimulai setelah beberapa ketukan tik dari pinggir, asalkan dilakukan secara
konsisten.

Nama pengarang yang jumlahnya sampai tiga orang dituliskan lengkap


sedangkan jumlah pengarang yang lebih dari tiga orang hanya ditulis nama
pengarang pertama di tambah kata et al. (et alii: dan lain-lain).
4)
William S. Shakian dan Mabel L. Sahakian. Realms of Philosophy (Cambridge
Schkenkman, 1965)
5)
Ralph M. Blake, Curt J. Ducasse and Edward H. Madden. Theories of Scientific Method
(Seattle: the University of Washington Press, 1966)
6)
Sukarno et. al. Dasar-Dasar Pendidikan Science (Jakarta: Bhratara, 1973).

Kutipan yang diambil dari halaman tertentu disebutkan halamannya dengan


singkatan p (pagina) atau hlm. (halaman). Apabila kutipan itu disarikan dari
beberapa halaman umpamanya dari halaman 1 sampai dengan 5 maka ditulis pp.
1-5 atau hlm. 1-5. Jika nama pengarangnya tidak ada maka langsung saja
dituliskan nama bukunya atau dituliskan Anom. (Anomymous) di depan nama
buku tersebut. Sebuah buku yang diterjemahkan harus ditulis baik pengarang
maupun terjemah buku tersebut, sedangkan sebuah kumpulan karangan cukup
disebutkan nama editornya seperti contoh berikut:
7)
Rencana Strategi Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1976).
8)
E.F. Schumacher, Keluar dari Kemelut. Terjemahan Mochtar Pabotinggi (Jakarta: I P3ES,
1981).
9)
James R. Newman (ed), What is Science? (New York: Simon and Schuster, 1955).
Sebuah makalah yang dipublikasikan dalam majalah, Koran, kumpulan
karangan atau disampaikan dalam forum ilmiah ditulis dalam tanda kutip yang
disertai informasi mengenai makalah tersebut:
10)
Karlina, Sebuah Tanggapan : Hipotesis dan Setengah Ilmuan, Kompas 12 Desember
1981, hlm 4.

36
11)
LiekWilardjo, Tanggung Jawab Sosial Ilmuan, Pustaka, th. III No. 3 April 1979, hlm.
11-14.
12)
M. Sastrapratedja, Perkembangan Ilmu dan Teknologi dalam Kaitannya dengan Agama
dan Kebudayaan, makalah disampaikan dalam Kogres Ilmu pengetahuan Nasional
(KIPNAS) III, LIPI, Jakarta, 15-19 September 1981.
13)
B. Suprapto, Aturan Permainan dalam Ilmu-Ilmu Alam, Ilmu dalam Perspektif, ed. Jujun
S. Suriasumantri (Jakarta: Gramedia, 1978) hlm. 129-133.
Pengulangan kutipan dengan sumber yang sama dilakukan memakai notasi
op. cit. (opera citato: dalam karya yang telah di kutip), loc. cit. (loco citato: dalam
tempat yang telah dikutip dan ibid. (ibidem: dalam tempat yang sama). Untuk
pengulangan maka nama pengarang tidak ditulis lengkap melainkan cukup nama
familinya saja. Sekiranya pengulangan dilakukan dengan tidak diselang oleh
pengarang lain maka dipergunakan notasi ibid. Seperti dalam contoh berikut:
14)
Ibid, hlm. 131.

Artinya kita mengulangi kutipan dari karang B. Suprapto seperti tercantum dalam
catatan kaki nomor 13 meskipun dengan nomor halaman yang berbeda. Sekiranya
kita mengulang kutipan M. Sastrapratedja dalam catatan kaki nomor 12 terhalang
oleh karangan B. Suprapto maka kita tidak menggunakan ibid. malainkan loc. cit.
seperti contoh dibawah ini:
15)
Sastrapratedja, loc. cit.
Ulangan halaman yang berbeda dan telah diselang oleh pengarang lain ditulis
dengan mempergunakan op cit.:
16)
Wilardjo, op. cit. hlm 12.
Apabila dalam kutipan kita dipergunakan seorang pengarang yang menulis
beberapa karangan maka untuk tidak membingungkan sebagai pengganti loc. cit
atau po. cit. Dituliskan judul karangannya. Bila judul karangan itu panjang maka
dapat dilakukan penyingkatan selama itu mampu menunjukan identifikasi judul
karangan yang lengkap seperti:
17)
Larrabee, Reliable Knowledge, hlm 6.
Kadang-kadang kita ingin mengutip sebuah pernyataan yang telah dikutip dalam
karangan yang lain. Maka kedua sumber itu kita tuliskan sebagai berikut:
18)
Robert K. Merton, The Ambivalence of Scientist, hlm. 77-79, di kutip langsung (atau
tiadak langsung) oleh Maurice N. Richter, Jr., Science as a Cultural Process (Cambridge:
Schenkman, 1972), hlm. 114.

37
Semua kutipan tersebut diatas, baik yang dikutip secara langsung maupun tidak
langsung, sumbernya kemudian kita sertakan dalam daftar pustaka. Hal ini kita
kecualikan untuk kutipan yang tidak kita dapatkan dari sumber kedua
sebagaimana tampak dalam catatan kaki nomor 18. Terdapat perbedaan notasi
bagi penulisan sumber dalam referensi pada catatan kaki dan referensi daftar
pustaka. Dalam catatan kaki maka nama pengarang dituliskan lengkap dengan
tidak mengalami perubahan apa-apa, sedangakan dalam daftar pustaka nama
pengarang harus disusun berdasarkan abdjad huruf awal nama familinya. Tujuan
uatam dari catatan kaki adalah mengidentifikasikan lokasi yang spesifik dari karya
yang dikutip. Di pihak lain, tujuan utama dari daftar pustaka ialah
mengidentifikasikan karya ilmiah itu sendiri. Untuk itu maka dalam daftar
pustaka tanda kurung yang menbatasi penerbit dan domisili penerbit tersebut
dihilangkan dan serta demikian juga lokasi halaman. Dengan demikian catatan
kaki (CT) nomor 1, 4, 5 dan seterusnya bila dimasukakan dalam daftar pustaka
(DP) berubah sebagai berikut:
1) CT : Harold A. Larrabee, Reliable Knowledge
(Boston: Houghton Mifflin, 1964), hlm. 4
DP : Larrabee, Harold A. Reliable Knowledge. Boston:
Houghton Mifflin, 1964
4) CT : William S. Sahakian dan Mabel L. Sahakian, Realms of
Philosophy (Cambridge: Schenkman, 1965).
DP : Sahakian, William S., dan Sahakian, Mabel L.
Realms of of Philosophy. Cambridge: Schenkman, 1965
5) CT : Ralph M. Blake, Curt J. Ducasse dan Edward H.
Madden, Theories of Scientific Method (Seattle: The University of
Washington Press, 1966).
DP : Blake, Ralph M., Ducasse, Curt J., dan
Edward H. Theories of Scientific Method. Seattle: The
University of Washington Press, 1966

38
Daftar pustaka itu kemudian diurut berdasarkan huruf pertama dari nama family
pengarangnya. Demikian secara singkat telah dibahas salah satu contoh teknik
notasi ilmiah yang biasa dilakukan dalam penulisan ilmiah.

39
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Struktur penulisan ilmiah harus mencerminkan cara berpikir ilmiah.


Mengkomunikasikan gagasan-gagasan dalam cara-cara yang dapat diterima oleh
bidang keilmuan itulah yang merupakan jiwa dari sebuah karya ilmiah. Cara-cara
ini biasannya kemudian dilengkapi dengan berbagai teknik dan format. Perlu
diingat bahwa teknik dan format ini hanyalah sekedar alat yang membantu dalam
mengkomunikasikan gagasan-gagasan. Mengatasi segala teknik dan format
berdenyut argumentasi kita yang mendaki bukit menuruni lembah dalam
menemukan kebenaran. Penemuan bukan saja mempunyai kegunaan praktis,
namun juga memberikan kepuasan estetis seperti yang ditulis.

40
DAFTAR PUSTAKA

S. Suriasumantri, Jujun. 2009. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan.

41

Anda mungkin juga menyukai