dan sel-sel darah. Plasma darah adalah komponen darah berupa cairan sedangkan sel-sel
darah adalah komponen darah yang terdiri atas eritrosit, leukosit dan trombosit. (Isnaeni,
2006). Di antara tiga tipe sel darah, yang berjumlah paling banyak adalah sel darah merah.
(Alamanda, 2007).
Bentuk dan ukuran sel darah merah (eritrosit) tergantung pada jenis hewan. Pada
mammalia eritrositnya tidak berinti, umumnya berbentuk bulat bikonkaf. Eritrosit pada
vertebrata lain berbentuk lonjong, bikonvek dan berinti. Pada umumnya eritrosit yang tidak
berinti mempunyai ukuran lebih kecil daripada eritrosit yang berinti. (Hartadi et al, 1992). Di
antara eritrosit vertebrata, eritrosit Amphibi memiliki ukuran yang paling besar. Faktor yang
menentukan dan mempertahankan bentuk eritrosit yang khas itu adalah unsur molekul khusus
pada membran selnya dan konstitusi kompleks koloid yang mengisinya (Cormack, 1994).
Sel darah merah/eritrosit mempunyai membran sel yang bersifat semi permiabel terhadap
lingkungan sekelilingnya yang berada diluar eritrosit, dan mempunyai batas-batas fisiologi
terhadap tekanan dari luar eritrosit. Tekanan membran eritrosit dikenal dengan tonisitas yang
berhubungan dengan tekanan osmosis membran itu sendiri. Kekuatan maksimum membran
eritrosit menahan tekanan dari luar sampai terjadinya hemolisis dikenal dengan kerapuhan
atau fragilitas (Siswanto, 2014). Osmosis sendiri merupakan proses difusi air yang
disebabkan oleh perbedaan konsentrasi (Rudy, 2006).
Osmosis memainkan peranan yang sangat penting pada tubuh makhluk hidup, begitu
pula pada membrane sel darah merah. Eritosit mampu bertahan terhadap perubahan kekuatan
osmosis yang normal, yakni dalam larutan yang isotonik. Saat lingkungan eksternal
konsentrasinya sama dengan lingkungan internal maka darah akan mengalami kondisi
isotonik sehingga tidak terjadi perubahan struktur sel (Latief, 2002).
Namun, dalam larutan yang cukup hipotonik eritrosit menyerap cairan dari larutan,
kemudian membengkak dan menjadi bulat hingga membran sel tidak mampu lagi menahan
cairan di dalamnya. Pada keadaan ini membran sel akan pecah dan cairan bocor keluar,
peristiwa ini dikenal sebagai hemolisis (Bajpai, 1989).
Sebaliknya, jika eritrosit ditempatkan dalam larutan hipertonik maka cairan di dalam sel
akan keluar, sehingga sel-selnya mengerut dan permukaannya berubah tidak teratur. Menurut
Singh (1991) peristiwa ini disebut dengan krenasi.
Darah dapat mengalami lisis yang merupakan istilah umum untuk untuk peristiwa
menggelembung dan pecahnya sel akibat masuknya sel kedalam air. Lisis pada eritrosit
disebut hemolisis, yang berarti peristiwa pecahnya eritrosit akibat masuknya air kedalam
eritrosit sehingga hemoglobin keluar dari dalam eritrosit menuju ke cairan sekelilingnya.
Membrane eritrosit bersifat permeable selektif yang berarti dapat ditembus oleh air dan zat-
zat tertentu, tetapi tidak dapat ditembus oleh zat-zat tertentu yang lain (Soewolo, 1999).
Kerusakan membran eritrosit dapat disebabkan oleh antara lain penambahan larutan
hipotonis, hipertonis kedalam darah, penurunan tekanan permukaan membran eritrosit,
zat/unsur kimia tertentu, pemanasan dan pendinginan, rapuh karena ketuaan dalam sirkulasi
darah dll. Apabila medium di sekitar eritrosit menjadi hipotonis (karena penambahan larutan
NaCl hipotonis) medium tersebut (plasma dan lrt. NaCl) akan masuk ke dalam eritrosit
melalui membran yang bersifat semipermiabel dan menyebabkan sel eritrosit menggembung.
Bila membran tidak kuat lagi menahan tekanan yang ada di dalam sel eritrosit itu sendiri,
maka sel akan pecah, akibatnya hemoglobin akan bebas ke dalam medium sekelilingnya.
Sebaliknya bila eritrosit berada pada medium yang hipertonis, maka cairan eritrosit akan
keluar menuju ke medium luar eritrosit (plasma), akibatnya eritrosit akan keriput (krenasi).
Keriput ini dapat dikembalikan dengan cara menambahkan cairan isotonis ke dalam medium
luar eritrosit (plasma) (Anonim, 2009).
Berdasarkan penelitian isi sel eritrosit hewn homoitherm isotonis terhadap larutan 0,9%
NaCl, oleh karena itu hemolisis akan terjadi apabila eritrosit hewan Homoitherm dimasukkan
kedalam larutan NaCl dengan konsentrasi dibawah 0,9%. Namun, perlu diketahui bahwa
membrane eritrosit memiliki toleransi osmotic, artinya sampai batas konsentrasi medium
tertentu sel belum mengalami lisis. Kadang-kadang pada suatu konsentrasi larutan tertentu
tidak semua eritrosit mengalami hemolisis. Hal ini menunjukkan bahwa toleransi osmotis
membrane eritrosit berbeda-beda. Pada eritrosit tua membrane selnya memiliki toleransi
rendah (mudah pecah) sedangkan membrane eritrosit muda memiliki toleransi osmotik
osmotic yang lebih besar (tidak mudah pecah). Pada dasarnya eritrosit sudah mengalami
hemolisis sempurna pada air suling. Hasil hemolisis sempurna eritrosit pada air suling biasa
dianggap larutan standard untuk menentukan tingkat kerapuhan eritrosit (Soewolo, 1999).
Hemolisis seperti yang dijelaskan diatas disebut hemolisis osmotic, yaitu hemolisis yang
disebabkan oleh perbedaan tekanan osmotic isi sel dengan mediumnya (cairan disekitarnya).
Hemolisis yang lain adalah hemolisis kimiawi, dimana membrane eritrosit rusak akibat
substansi kimia. Zat-zat yang dapat merusak membrane eritrosit (termasuk membrane sel
yang lain) antara lain adalah: kloroform, asseton, alcohol, benzene dan eter.
Peristiwa sebaliknya ialah krenasi, yang dapat terjadi apabila eritrosit dimasukkan ke dalam
medium yang hipertonis terhadap isi eritrosit. Misalnya, untuk eritrosit hewan homoitherm
adalah larutan NaCl yang lebih pekat dari 0,9% sedangkan untuk eritrosit hewan poikilotherm
adalah larutan NaCl yang lebih pekat dari 0,7%(Soewolo, 1999).
Apabila eritrosit mengalami hemolisis maka hemoglobin akan larut dalam mediumnya.
Akibat dari terlarutnya hemoglobin tersebut medium akan berwarna merah. Makin banyak
eritrosit yang mengalami hemolisis, maka makin merah warna mediumnya. Dengan
membandingkan warna mediumnya. Dengan membandingkan warna mediumnya dengan
larutan standar (eritrosit dalam air suling) maka dapat ditentukan tingkat kerapuhan
membrane eritrosit (tingkat toleransi osmotic membran eritrosit) (Soewolo, 1999).
Sel darah merah yang terdapat pada larutan NaCl 0,7% terlihat bulat seperti sel darah
merah normal. Hal ini menandakan larutan NaCl 0,7% berifat isotonis dengan sel darah
merah. Jadi tidak ada perpindahan molekul molekul air baik dari dalam sel ataupun dari
larutan. tekanan di dalam sel maupun diluar sel juga tidak menyebabkan perubahan bentuk
dari sel darah merah yang ada. Sehingga larutan NaCl 0,7% bisa digunakan sebagai kontrol
terhadap reaksi menggunakan akuades dan NaCl dengan konsentrasi lain yang berbeda.
Apabila eritrosit diberikan NaCl dengan konsentrasi 0,1%, 0,3%, 0,5% dan Aquades,
eritrosit cenderung mengalami hemolisis, dikarenakan cairan di luar sel yang NaCl 0,1%,
0,3%, 0,5% dan Aquades, berdifusi ke dalam sel akibat adanya perbedaan konsentrasi air
dimana konsentrasi air pada larutan NaCl lebih tinggi dari pada konsentrasi air di sel darah
merah. Sehingga jumlah air yang masuk ke dalam eritrosit semakin bertambah sampai
akhirnya melampaui batas kemampuan membran eritrosit dan menyebabkan membran itu
pecah sehingga sitoplasma eritrosit keluar.
Pada kosentrasi larutan NaCl sebesar 0.1% memiliki waktu yang paling cepat untuk
dapat menyebabkan sel tersebut hemolisis yakni hanya sekitar 3 menit 11 detik. Sedangkan
untuk larutan dengan kosentrasi sebesar 0.3% membutuhkan waktu sebesar 4 menit 35
detik dan NaCl 0.5 % sebesar 5 menit 49 detik. Perbedaan waktu eritrosis dalam bereaksi
dikarenakan perbedaan kosentrasi NaCl yang digunakan, semakin kecil konsentrasi yang
digunakan maka potensial air larutan NaCl semakin tinggi sehingga perbedaan potensial air
di luar dan di dalam sel semakin besar dan menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk
terjadinya hemolisis semakin cepat.
Pada konsentrasi 0,9%, 1 %, 2%, 3 %, sel darah melakukan reaksi krenasi. Pada krenasi,
tidak ada cairan yang masuk ke dalam sel. Akan tetapi, pecahnya membran plasma dan
keluarnya sitoplasma dari dalam sel dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi sel dengan
larutan di sekitarnya. Cairan cenderung bergerak dari konsentrasi air yang tinggi ke
konsentrasi yang rendah. Konsentrasi NaCl lebih tinggi dibanding konsentrasi cairan di dalam
sel sehingga potensial air cairan dalam sel lebih tinggi dibandingkan potensial air NaCl. Hal
ini menyebabkan cairan dalam sel terdorong untuk keluar sel.
Seperti halnya pada percobaan kecepatan hemolisis sel darah merah, pada percobaan
ini juga menunjukkan perbedaan waktu untuk dapat menyebabkan sel tersebut mengkerut
(krenasi). Krenasi yang paling cepat terjadi pada larutan 3% dengan waktu 50 detik dan yang
paling lambat pada sel yang diberi NaCl dengan konsentrasi 0.9% sebesar 2 menit 02 detik.
Hal ini terjadi karena konsentrasi berbanding terbalik dengan potensial air (PA). Semakin
tinggi kosentrasi larutan semakin rendah potensial air larutan tersebut maka jika konsentrasi
tinggi potensial air larutan akan rendah. Hal itu menyebabkan air yang berada di dalam
eritrosit akan cenderung keluar karena konsentrasi di dalam sel hipertonis sedangkan cairan
di luar sel hipotonis sehingga membuat eritrosit mengkerut.
Hasil pengamatan pada darah katak di dapatkan hasil darah yang di beri
larutan NaCl 0,7% tidak mengalami perubahan artinya sel darah merah dalam kondisi
normal. Sehingga dapat dikatakan bahwa eritrosit pada katak isotonis dengan NaCl
0,7% yang artinya memiliki konsentrasi yang sama dengan NaCl 0,7% dan pada
larutan tersebut tidak mempengaruhi sel darah merah.
Sementara itu, ketika darah katak diberi larutan NaCl 0,1%, 0,3%, 0,5%, dan
aquades, sel darah merah pada katak mengalami lisis atau yang artinya larutan
tersebut merupakan larutan hipotonis bagi sel darah pada katak. Lisis atau hemolisis
sendiri dapat terjadi di hal ini di karenakan aquades merupakan larutan berkonsentrasi
tinggi dan konsentrasi di dalam sel lebih rendah yang mengakibatkan pelarut yang
berada di luar yaitu konsentrasi tinggi masuk ke dalam sel yang berkonsentrasi
rendah. Kemudian, karena membran eritrosit tidak lagi mampu menahan tekanan zat
yang masuk, mengakibatkan sel pecah atau mengalami lisis.
Kemudian ketika sel darah merah pada hewan poikilotermik ini di berikan
larutan NaCl 1% mengalami perpindahan zat terlarut dari konsentrasi rendah ke
konsentrasi, dari dalam sel darah merah ke luar sel mengakibatkan sel kehilangan
banyak sekali cairan dan sel darah pun berkerut dan akhirnya mengalami krenasi hal
ini menandakan terjadi nya osmosis, dan larutan NaCl 1% merupakan hipertonis
terhadap sel darah merah pada kadal yaitu hewan poikilotermik.
Berdasarkan analisis dan gambar di atas, dapat diketahui saat darah
katak dimasukkan ke dalam larutan NaCl 0,7 % tidak terjadi perubahan apa
pun pada eritrosit yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 x.
Hal ini terjadi karena larutan NaCl 0,7 % memiliki konsentrasi yang sama
(seimbang) dengan cairan yang terdapat di dalam eritrosit atau dapat dikatakan
bahwa larutan NaCl 0,7 % bersifat isotonis terhadap cairan yang ada di dalam
eritrosit, sehingga meskipun ditunggu hingga beberapa menit eritrosit tidak
akan mengalami perubahan apa pun. Menurut Tanjung, dkk (2012) cairan
yang terdapat di dalam sel darah merah atau eritrosit memiliki konsentrasi
yang seimbang dengan larutan NaCl 0,7 % atau larutan NaCl 0,7 % bersifat
isotonis terhadap eritrosit, sehingga pada praktikum toleransi osmotik ketika
eritrosit dimasukkan ke dalam larutan NaCl 0,7 % dan ditunggu selama
beberapa menit tidak akan terjadi perubahan apa pun pada eritrosit tersebut.
Tidak hanya itu, seperti yang telah disebutkan bahwa katak merupakan salah
satu anggota hewan poikiloterm yang toleransi osmotik eritrositnya sama
dengan tekanan osmotik larutan NaCl 0,7 % (Ningsi dan Ramadhanty, 2014).
Saat darah katak dimasukkan ke dalam aquadest, larutan NaCl 0,1 %,
larutan NaCl 0,3 %, dan larutan NaCl 0,5 % dapat diketahui dari analisis dan
gambar yang didapatkan melalui pengamatan di bawah mikroskop dengan
perbesaran 400 x bahwa eritrosit yang awalnya berbentuk oval lama-kelamaan
menjadi menggembung dan kemudian pecah. Menggembung dan pecahnya
eritrosit diakibatkan oleh banyaknya aquadest atau larutan yang masuk ke
dalam eritrosit. Pecahnya membran plasma pada eritrosit atau sel darah merah
disebut peristiwa hemolisis. Dari pengamatan yang telah dilakukan, peristiwa
hemolisis pada eritrosit terjadi ketika eritrosit dimasukkan ke dalam larutan
dengan konsentrasi rendah atau hipotonis. Hemolisis merupakan suatu
peristiwa rusaknya membran plasma pada sel darah merah atau eritrosit yang
diakibatkan adanya larutan hipotonis yang masuk secara osmosis ke dalam
eritrosit (Natalina, 2010). Cairan yang bersifat hipotonis terhadap eritrosit
katak dan dapat menyebabkan terjadinya peristiwa hemolisis yaitu aquadest
dan larutan NaCl dengan berbagai konsentrasi di bawah 0,7 %, serta perlu
diketahui bahwa semakin rendah konsentrasi suatu cairan di luar eritrosit
maka peristiwa hemolisis yang terjadi akan semakin cepat (Setiyani, 2013).
Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil praktikum yang telah dilakukan, yaitu
peristiwa hemolisis yang terjadi pada darah katak yang dimasukkan ke dalam
aquadest lebih cepat jika dibandingkan dengan peristiwa hemolisis yang
terjadi ketika darah katak dimasukka ke dalam larutan NaCl dengan
konsentrasi 0,1 %, 0,3 %, dan 0,5 %.
Dan berdasarkan gambar serta analisis yang telah dilakukan, darah
katak yang dimasukkan ke dalam larutan NaCl dengan konsentrasi 0,9 %, 1 %,
2 %, dan 3 % mengalami peristiwa krenasi. Peristiwa krenasi yang terjadi
pada eritrosit yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 x
menunjukkan adanya perubahan bentuk yang awalnya oval menjadi seperti
berbentuk pipih. Hal itu dapat terjadi karena larutan NaCl dengan konsentrasi
0,9 %, 1 %, 2 %, dan 3 % bersifat hipertonis pada eritrosit katak, sehingga
apabila darah dimasukkan ke dalam larutan tersebut maka partikel-partikel
yang terdapat di dalam larutan akan masuk ke dalam eritrosit dan mendesak
cairan yang ada di dalam eritrosit keluar sehingga eritrosit menjadi gepeng dan
mengkerut. Krenasi ialah peristiwa mengkerutnya membran sel darah merah
atau eritrosit yang diakibatkan oleh keluarnya cairan yang terdapat di dalam
sel tersebut (Amalia, 2014). Peristiwa krenasi pada sel darah merah atau
eritrosit terjadi apabila sel tersebut dimasukkan ke dalam larutan dengan
konsentrasi tinggi atau hipertonik dan semakin tinggi konsentrasi larutan akan
mempercepat terjadinya peristiwa krenasi (Syafar dan Hamsah, 2014).
Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil praktikum yang telah dilakukan, yaitu
peristiwa krenasi terjadi lebih cepat ketika darah dimasukkan ke dalam larutan
NaCl 3 % dibandingkan dengan peristiwa krenasi yang terjadi ketika darah
dimasukkan ke dalam larutan NaCl dengan konsentrasi 0,9 %, 1 %, dan 2 %.
Alamanda, I. 2007. Penggunaan Metode Hematologi dan Pengamatan Endoparasit
Darah untuk Penetapan Kesehatan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di
Kolam Budidaya Desa Mangkubumen Boyolali. Biodiversitas, 8 (1): 34-38.
Bajpai, R. N. 1989. Histologi Dasar. Jakarta: Binarupa Aksara.
Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius.
Larasi, Mita. 2015. Toleransi Osmotik Eritrosit. (Online), (https://id.scribd.com),
diakses 4 Oktober 2017.
Setiyani, D., A. 2013. Mengetahui Krenasi dan Lisis pada Eritrosit. (Online),
(https://id.scribd.com), diakses 12 Nopember 2015.
Singh, I. 1991. Teks dan Atlas Histologi Manusia. Jakarta: Binarupa Aksara.