Anda di halaman 1dari 20

DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

A. PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue adalah salah satu bentuk klinis dari penyakit

akibat infeksi virus dengue pada manusia berupa demam akut yang diikuti oleh

dua atau lebih dari gejala berikut : nyeri retro orbital, nyeri kepala, rash,

mialgia, atralgia, leukopenia atau manifestasi perdarahan (tes tourniquet positif,

petekie, purpura atau ekimosis, epistaksis, gusi berdarah, darah dalam muntah,

urine atau feses, serta perdarahan vagina).2 Pada demam berdarah dengue

terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan

hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.3

Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus dengue yang

termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang

dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis

serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan

menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan

antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak

dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut.1

1
B. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya

perembesan plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai

peningkatan hematokrit dan trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini

membedakan demam dengue dan demam berdarah dengue. 5,6

Sejak tahun 1950an, dari pengamatan epidemiologis, klinis dan laboratoris

muncul teori infeksi sekunder oleh virus lain berurutan, teori antigen antibodi dan

aktivasi komplemen, dari sini berkembang menjadi teori infection enhancing

antibody kemudian muncul peran endotoksemia dan limfosit T. 5

Gambar 2. Teori secondary heterologous infection yang pertama kali dipublikasikan oleh

Suvatte,1977 dan pernah dianut untuk menjelaskan patofisiologi DD/DBD

2
Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori enhancing

antibody dan teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting untuk

dipahami. 6`

Teori secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe

berbeda dapat memicu DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil

laboratorium hanya berlaku pada anak berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan

uji HI, DBD berat pada anak dibawah 1 tahun ternyata merupakan infeksi primer.

Gejala klinis terjadi akibat adanya Ig G anti dengue dari ibu. Dari observasi ini,

diduga kuat adanya antibodi virus dengue dan sel T memori berperan penting dalam

patofisiologi DBD. 6

Teori enhancing antibody/ the immune enhancement theory

Teori ini dikembangkan Halstead tahun 1970an. Beliau mengajukan dasar

imunopatologi DBD/DSS akibat adanya antibodi non-neutralisasi heterotrpik selama

perjalanan infeksi sekunder yang menyebabkan peningkatan jumlah sel mononuklear

yang terinfeksi virus dengue. Berdasarkan data epidemiologi dan studi in vitro, teori

ini saat ini dikenal sebagai antibody dependent enhancement (ADE) yang dianut

untuk menjelaskan patogenesis DBD/DSS. Hipotesis ini juga mendukung bahwa

pasien yang menderita infeksi sekunder dengan serotipe virus dengue heterolog

memiliki risiko lebih tinggi mengalami DBD dan DSS.1

3
Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit nyamuk Aedes aegypty, virus DEN

akan masuk dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme yaitu :

- Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor

Fc dan masuk dalam monosit

- Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan

sumsum tulang (terjadi viremia).

- Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan berbagai

sistem humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi (sistem

komplemen), sitokin dan tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas

kapiler dan mengaktivasi faktor koagulasi.6

Antibodi Ig G yang terbentuk dari infeksi dengue terdiri dari:

o Antibodi yang menghambat replikasi virus (antibodi netralisasi)

o Antibodi yang memacu replikasi virus dalam monosit (infection enhancing

antibody). 6

Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan

kompleks imun infeksi sekunder yang menghambat replikasi virus. Teori ini pula

yang mendasari bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan akan cenderung

lebih berat. Penelitian in vitro menunjukkan jika kompleks antibodi non netralisasi

dan dengue ditambahkan dalam monosit akan terjadi opsonisasi, internalisasi dan

akhirnya sel terinfeksi sedangkan virus tetap hidup dan berkembang. Artinya

antibodi non netralisasi mempermudah monosit terinfeksi sehingga penyakit

cenderung lebih berat.6

4
Gambar 3. Teori secondary heterologous infection

Hipotesis ADE dijelaskan sebagai berikut; antibodi dengue mengikat virus

membentuk kompleks antibodi non netralisasi-virus dan berikatan pada reseptor Fc

monosit (makrofag). Antigen virus dipresentasikan oleh sel terinfeksi ini melalui

antigen MHC memicu limfosit T (CD4 dan CD 8) sehingga terjadi pelepasan

sitokin (IFN-) yang mengaktivasi sel lain termasuk makrofag sehingga terjadi up-

regulation pada reseptor Fc dan ekspresi MHC. Rangkaian reaksi ini memicu

imunopatologi sehingga faktor lain seperti aktivasi komplemen, aktivasi platelet,

produksi sitokin (TNF, IL-1,IL-6) akan menyebabkan eksaserbasi kaskade

inflamasi.

5
Gambar 4. Respon imun pada infeksi virus dengue terhadap pencegahan infeksi dan

patogenesis DBD/DSS

Tabel 1. Peran sitokin dan mediator kimiawi dalam patogenesis DBD

6
PATOFISIOLOGI PERDARAHAN DAN TROMBOSITOPENIA PADA

DEMAM BERDARAH DENGUE

Penyebab perdarahan pada pasien DBD adalah vaskulopati, trombositopenia,

dan gangguan fungsi trombosit, serta koagulasi intravaskuler diseminata

(KID/DIC). Kompleks virus-antibodi mengakibatkan trombositopenia dan

gangguan fungsi trombosit. Selain itu, kompleks virus-antibodi ini mengaktifkan

faktor Hageman (faktor XIIa), sehingga terjadi gangguan sistem koagulasi dan

fibrinolisis yang memperberat perdarahan, serta mengaktifkan sistem kinin dan

komplemen yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan

kebocoran plasma, serta meningkatkan risiko KID yang juga memperberat

perdarahan yang terjadi.7

Na Nakorn, dkk. melakukan penelitian terhadap sumsum tulang pasien DBD

selama tahap demam akut dan menemukan hiposeluleritas dengan penurunan

megakariosit, eritroblast, dan prekursor mieloid. Temuan ini kemudian dijelaskan

dengan adanya infeksi DENV secara langsung ke sel progenitor hematopoietik dan

sel stroma.8

Nimannitya, dkk. mengemukakan bahwa penyebab utama trombositopenia

adalah destruksi trombosit di perifer oleh aktivasi komplemen seperti ikatan antara

trombosit dengan fragmen dan antigen DENV atau secara langsung oleh DENV.

Destruksi trombosit ini terjadi di hati pada fase akut, dan di limpa pada fase

penyembuhan.7

7
Selain mengalami defisit kuantitatif, juga terdapat gangguan fungsi trombosit.

Endotel vaskuler yang teraktivasi akibat infeksi DENV memberi peluang kepada

trombosit dalam sirkulasi pembuluh darah untuk berinteraksi dengan kolagen

dalam lapisan sub-endotel yang kemudian memicu agregasi trombosit dan

bermuara pada trombositopenia. Para peneliti telah membuktikan bahwa pada

penderita aterosklerosis dan trombosis, peningkatan produksi protrombosis von

Willebrand Factor (vWF) dan penurunan produksi antitrombosis prostaglandin I2

(PGI2) oleh endotel yang teraktivasi memicu agregasi trombosit. Diduga agregasi

trombosit pada pasien DBD juga dipicu oleh perubahan kadar vWF dan PGI2

akibat endotel yang teraktivasi oleh sitokin yang dihasilkan oleh monosit yang

mengandung DENV dan T helper-1 (Th-1) yang berfungsi sebagai stress cells.9

Peningkatan ekspresi vWF dihubungkan dengan defisiensi enzim protease

pembelah vWF yang disebut a disintegrinlike and metalloprotease with

thrombospondin type 1 domain 13 (ADAMTS13).10 Defisiensi ADAMTS13 dapat

terjadi akibat faktor genetik, sehingga produksinya tidak memadai, atau akibat

pembentukan antibodi penetralisir anti-ADAMTS13. Suplementasi ADAMTS13

dapat dilakukan dengan cara transfusi fresh frozen plasma (FFP) atau

cryosupernatant. 10

Beberapa penelitian menemukan tidak terdapat hubungan signifikan antara

tingkat keparahan penyakit dengan jumlah trombosit.11,12,13 Meskipun

trombositopenia dan hipofibrinogenemia merupakan kelainan hemostatik paling

menonjol yang bertanggung jawab pada kejadian perdarahan pada infeksi DENV,

8
trombositopenia dan koagulopati bukan merupakan prediktor terjadinya

perdarahan pada infeksi DENV.14 Lye, dkk. mendapatkan insidens perdarahan

terjadi pada 6% pasien dengan trombosit >150.000/ mm3, 12% pada trombosit 100-

149.000/ mm3, 11% pada trombosit 80-99.000/ mm3, 10% pada trombosit 50-

79.000/mm3, 11% pada trombosit 20-49.000/mm3, 13% pada trombosit 10-

19.000/mm3, dan 0% pada trombosit <10.000/mm3 (p=0,22). Penelitian tersebut

menyimpulkan bahwa kejadian perdarahan saat masuk rumah sakit tidak

tergantung nilai trombosit.11 Selain itu, pada pasien sindrom syok dengue anak,

Lum, dkk.12 mendapatkan bahwa trombositopenia tidak dapat memprediksi

kejadian perdarahan hebat pada analisis univariat, yang menjadi prediktor hanyalah

syok dan hematokrit rendah. Penelitian prospektif lain juga mendapatkan bahwa

tidak ada hubungan antara skor perdarahan dengan nilai trombosit.13

Faktor risiko terjadinya perdarahan antara lain durasi syok, pemakaian aspirin

atau OAINS, pemberian plasma expander seperti dextran 40 dan Haemaccel dalam

jumlah besar, dan manajemen pada fase febril dan fase toksik yang tidak tepat.

Pemberian cairan intravena untuk menaikkan tekanan darah secara cepat dapat

memperburuk perdarahan akibat peningkatan aliran darah sirkulasi secara tiba-tiba

ke daerah yang mengalami kerusakan vaskuler seperti mukosa lambung.8

9
Gambar 5. Patofisiologi perdarahan pada DBD7

C. GEJALA KLINIS

Fase demam

Anamnesis

Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40C, serta terjadi kejang

demam. Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri

tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan

nyeri perut.

Pemeriksaan fisik

Manifestasi perdarahan

1) Uji bendung positif (10 petekie/inch) merupakan manifestasi

perdarahan yang paling banyak pada fase demam awal.

2) Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena.

10
3) Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.

4) Epistaksis, perdarahan gusi

5) Perdarahan saluran cerna

6) Hematuria (jarang)

7) Menorrhagia

Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan

fungsi hati (transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.

Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal,

perembesan plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal),

hipovolemia, dan syok, karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Perembesan

plasma yang mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga pleura dan rongga

peritoneal terjadi selama 24-48 jam.

Fase kritis

Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa transisi

dari saat demam ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence) ditandai

dengan:

Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar

Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada dinding

kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus = RLD) dan

ultrasonografi dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut.

11
Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g% yang

merupakan bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma

Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis,

nafas cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi

20 mmHg, dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary refill

time memanjang (>3 detik). Diuresis menurun (< 1ml/kg berat badan/jam),

sampai anuria.

Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit,

kegagalan multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok tidak dapat segera

diatasi.

Fase penyembuhan (convalescence, recovery)

Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan

kembali merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala

umum dapat ditemukan sinus bradikardia/ aritmia dan karakteristik confluent

petechial rash seperti pada DD.

D. Diagnosis

Kriteria diagnosis DBD menurut WHO ialah dua atau lebih tanda klinis

ditambah tanda laboratoris yaitu trombositopenia dan hemokonsentrasi (kedua

hasil laboratorium tersebut harus ada) dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan

serologi.6

12
Kriteria diagnosis DBD (Case definition) berdasarkan WHO 2011 ialah :

Kriteria klinis :

- Demam tinggi mendadak tanpa sebab jelas terus menerus selama 2-7 hari

- Terdapat manifestasi perdarahan termasuk uji tornikuet positif, petekie,

ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena

- Pembesaran hati

- Syok ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi

Kriteria laboratorium :

- Trombositopenia (100.000/l atau kurang)

- Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit lebih dari 20%. 14

Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO 2011

DD/DBD Derajat Tanda dan gejala Laboratorium


DD Demam disertai minimal dengan 2 gejala
Nyeri kepala Leukopenia (jumlah leukosit
Nyeri retro-orbital 4000 sel/mm3)
Nyeri otot Trombositopenia (jumlah
Nyeri sendi/ tulang trombosit <100.000 sel/mm3)
Ruam kulit makulopapular Peningkatan hematokrit (5%-
Manifestasi perdarahan 10%)
Tidak ada tanda perembesan plasma Tidak ada bukti perembesan
plasma

DBD I Demam dan manifestasi perdarahan (uji Trombositopenia <100.000


bendung positif) dan tanda perembesan sel/mm3; peningkatan hematokrit
plasma 20%
DBD II Seperti derajat I ditambah perdarahan Trombositopenia <100.000
spontan sel/mm3; peningkatan hematokrit
20%
DBD* III Seperti derajat I atau II ditambah kegagalan Trombositopenia <100.000
sirkulasi (nadi lemah, tekanan nadi 20 sel/mm3; peningkatan hematokrit
mmHg, hipotensi, gelisah, diuresis menurun 20%
DBD* IV Syok hebat dengan tekanan darah dan nadi Trombositopenia <100.000
yang tidak terdeteksi sel/mm3; peningkatan hematokrit
20%

13
E. Pemeriksaan penunjang

Laboratorium

1. Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis, hematokrit, dan

trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah demam dan akan

menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke-5-6. Deteksi antigen virus ini

dapat digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya infeksi dengue, namun tidak

dapat membedakan penyakit DD/DBD.

2. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue

Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5 sakit, mencapai

puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan menurun/ menghilang pada akhir

minggu keempat sakit.

Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit

ke-14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada infeksi

sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke-2.

Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari infeksi

sekunder. Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan infeksi primer namun

apabila IgM:IgG rasio <1,2 menunjukkan infeksi sekunder.

14
F. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:

Bagan 1. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.

Bagan 1. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.

15
Bagan 2. Tatalaksana DBD stadium I atau stadium II tanpa peningkatan Ht

16
x

Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD dengan peningkatan Ht > 20%

17
Bagan 4. Tatalaksana Kasus Sindrom Syok Dengue

18
Kriteria memulangkan pasien :

1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

2. Nafsu makan membaik

3. Tampak perbaikan secara klinis

4. Hematokrit stabil

5. Tiga hari setelah syok teratasi

6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml

7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis).15

G. Pencegahan

- Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

a. Melakukan metode 3 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan

tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga

b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan

c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%

- Foging Focus dan Foging Masal

d. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang

waktu 1 minggu

e. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam

jangka waktu 1 bulan

f. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan

menggunakan Swing Fog

19
Gambar 6. Kegiatan foging

- Penyelidikan Epidemiologi

g. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam

setelah menerima laporan kasus

h. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus

- Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.

- Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD. 16

20

Anda mungkin juga menyukai