Anda di halaman 1dari 11

Penanganan pada Kasus Vulnus Laceratum Regio Frontal

dan Fraktur Tertutup Tibia 1/3 Tengah


Elmon Patadungan
102014009/D4
Mahasiswa Fakults Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No 6 Jakarta Barat 11510
Email: elmon.patadungan96@gmail.com

Pendahuluan
Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat trauma. Patah tulang tertutup
adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Pendapat lain menyatakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih
(karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi. Sering kali untuk penanganan
fraktur ini tidak tepat mungkin dikarenakan kurangnya informasi yang tersedia contohnya ada
seorang yang mengalami fraktur, tetapi karena kurangnya informasi untuk menanganinya Ia
pergi ke dukun pijat, mungkin karena gejalanya mirip dengan orang yang terkilir.1

Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya fraktur adalah dengan
mengimobilisasi bagian fraktur adalah salah satu metode mobilisasi fraktur adalah fiksasi
Interna melalui operasi ORIF dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi
umumnya oleh akibat tiga fraktur utama yaitu penekanan lokal, traksi yang berlebihan dan
infeksi. Fraktur lebih sering terjadi pada orang laki laki daripada perempuan dengan umur
dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau kecelakaan.
Sedangkan pada usia lanjut prevalensi cenderung lebih banyak terjadi pada wanita
dikarenakan dengan adanya osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon.1

Primary Survey
Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dinilai sebagai
ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis atau evaluasi tindakam operasi
dengan segera. Dalam melakukan suatu penatalaksanaan kegawatdaruratan, terdapat prinsip
awal, dalam mengevaluasi, melaksanakan, dan menyediakan terapi pada pasien dengan
trauma. Tujuan dilakukannya penatalaksanaan awal adalah untuk mempertahankan hidup,
mencegah kondisi menjadi lebih buruk, dan meningkatkan kemungkinan pemulihan
kedepannya. Penatalaksanaan awal dapat dilakukan dengan pengecekan primary survey dan
secondary survey.1 Primary survey terdiri dari:
a. Airway
Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi. oleh karena itu hal
pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang meliputi pemeriksaan
jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
manibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Gangguan airway dapat timbul secara
mendadak dan total, perlahan-lahan dan sebagian, dan progresif dan/atau berulang.
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan oksigenasi. Jika pasien
tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya, patensi jalan nafas harus
dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi, chin lift, jaw thrust, atau melakukan
penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal.2
b. Breathing
Kegagalan dalam oksigenasi akan menyebabkan hipoksia yang diikuti oleh kerusakan
otak, disfungsi jantung, dan akhirnya kematian. Menjamin terbukanya airway merupakan
langkah awal yang penting untuk pemberian oksigen. Oksigenasi yang memadai
menunjukkan pengiriman oksigen yang sesuai ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan
metabolik, efektivitas ventilasi dapat dinilai secara klinis. Apabila pernafasan tidak
adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik bag-valve-face-mask merupakan cara
yang efektif. Pulse oxymeter dapat digunakan untuk memberikan informasi tentang
saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita. Pulse oxymeter adalah metoda yang
noninvansif untuk mengukur saturasi oksigen darah aterial secara terus menerus.2
c. Circulation
penting melakukan penilaian dengan cepat status hemodinamik dari pasien, yakni dengan
menilai tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi. Bila volume darah menurun perfusi otak
juga berkurang yang menyebabkan penurunan tingkat kesadaran. Wajah yang keabu-
abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemia. Pemeriksaan nadi
dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan a. karotis (kanan kiri), untuk
kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Perdarahan eksternal harus cepat dinilai, dan segera
dihentikan bila ditemukan dengan cara menekan pada sumber perdarahan baik secara
manual maupun dengan menggunakan perban elastis. Bila terdapat gangguan sirkulasi
harus dipasang sedikitnya dua IV line, yang berukuran besar. Kemudian lakukan
pemberian larutan Ringer laktat sebanyak 2 L sesegera mungkin.2
d. Dissability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara
cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal. GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan
metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis. Penurunan tingkat
kesadaran perlu diperhatikan pada empat kemungkinan penyebab yaitu, Penurunan
oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak, Trauma pada sentral nervus sistem,
Pengaruh obat-obatan dan alkohol, Gangguan atau kelainan metabolik.2
e. Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan
pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung dengan
memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut
kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena yang
sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.2

Dalam kasus ini, hasil primary survey pasien tidak menunjukkan adanya tanda-tanda
gangguan secara umum. Dengan demikian pemeriksaan kemudian dilanjutkan dengan
secondary survey.

Secondary Survey
Survey sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki, termasuk re evaluasi tandavital.
Peluang untuk membuat kesalahan dalam penialain pasien yang tidak sadar atau
cukup besar, sehingga diperlukan pemeriksaan teliti yang menyeluruh. Pada pemeriksaan
secondary survey ini dilakukan pemeriksaan neurologi lengkap, termasuk mencatat GCS bila
belum dilakukan dalam survey primer. Pada secondary survey ini juga dikerjakan foto
rontgen dan pemeiksaan laboratorium. Evaluasi lengkap dari pasien memerlukan
pemeriksaan fisis berulang.1

Riwayat medikasi, obat yang di konsumsi saat ini, peyakit penyerta (past illness),
event/lingkungan yang berhubungan dengan kejadian perlukaan dimana mekanisme
perlukaan akan sangat menentukan keadaan pasien.1 Hasil pemeriksaan secondary survey
pada pasien didapatkan:
Regio Kepala:
Inspeksi : Tampak laserasi ukuran 3x1 cm pada regio frontal dengan tepi rata, dasar
luka tulang, luka kotor, tidak ditapatkan perdarahan aktif. Deformitas (-),
edema (+), hematom (+).
Palpasi : Nyeri tekan (+), krepitasi (-)

Regio Cruris:
Look : Deformitas (+), Edema (+), hematom (+), tidak tampak luka
Feel : Nyeri tekan (+), krepitasi (+) pada 1/3 tengah, hematom (+), pada 1/3 tengah,
a. Dorsalis pedis teraba kuat, capillary refill time <2 detik.
Move : ROM tidak dinilai karena nyeri.
Pemeriksaan tambahan lain yang dapat dilakukan dalam secondary survey adalah
pemeriksaan darah dan rontgen
Pemeriksaan Radiologi, Dengan pemeriksaanradiologis, dapat ditentukan lokalisasi
fraktur, jenis fraktur, sama ada transversal, spiral oblikatau rotasi/angulasi. Dapat
ditentukan apakah fraktur pada tibia dan fibula atau tibia saja atau fibula saja. Juga dapat
ditentukan apakah fraktur bersifat segmental. Foto yang digunakanadalah foto polos AP
dan lateral. Hal yang perlu diingat dalam pemeriksaan rontgen adalah harus meliputi dua
sendi (proksimal dan distal), dua sisi (AP dan lateral), dan dua tulang (kanan dan kiri).
Dapat juga dimanfaatkan untuk mengevaluasi hasil terapi.2
Pemeriksaan Laboratorium, pada fraktur, test laboratorium yang perlu diketahui:
hemoglobin, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED)
meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pemeriksaan laboratorium ini juga
penting untuk mengetahui adanya infeksi atau komplikasi yang terjadi. Jika terjadi
infeksi, akan ditandai dengan peningkatan leukosit. Ca dan P meningkat saat masuk masa
penyembuhan.2

Etiologi
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera (trauma), seperti kecelakan mobil,
olah raga atau karena jatuh. Patah tulang terjadi jika tenaga yang melawan tulang lebih besar
dari pada kekuatan tulang. Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba tiba
dan berlebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran, penekukan atau
terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan. Jenis dan beratnya patah tulang
dipengaruhi oleh3:
1. Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang.
2. Usia penderita
3. Kelenturan tulang
4. Jenis tulang.

Bila terkena kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan
lunak juga pasti rusak. Pemukulan (pukulan sementara) biasanya menyebabkan
fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya sedangkan penghancuran kemungkinan
akan menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas. Bila
terkena kekuatan tak langsung tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari
tempat yang terkena kekuatan itu jadi kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur mungkin
tidak ada.3

Mekanisme Trauma
Sewaktu tulang patah ( fraktur ) mengakibatkan terpajannya sum-sum tulang atau
pengaktifan saraf simpatis yang mengakibatkan tekanan dalam sum-sum tulang, sehingga
merangsang pengeluaran katekolamin yang yang akan merangsang pembebasan asam
lemak kedalam sirkulasi yang menyuplai organ, terutama organ paru sehingga paru akan
terjadi penyumbatan oleh lemak tersebut maka akan terjadi emboli dan menimbulkan
distress atau kegagalan pernafasan. Trauma yang disebabkan oleh karena fraktur (
terbuka atau tertutup ) dimana mengakibatkan terjadinya perdarahan disekitar tulang
yang patah dan kedalam jaringan lunak disekitar tulang tersebut terjadi perdarahan
masif.4
Perdarahan masif ini ( pada fraktur tertutup ) akan meningkatkan tekanan dalam suatu
ruang diantara tepi tulang, menyebabkan oedema sehingga akan menekan pembuluh
darah dan saraf disekitar tulang yang fraktur tersebut maka akan terjadi sindrom
kompartemen ( warna jaringan pucat, sianosis, nadi lemah, mati rasa dan nyeri hebat.)
dan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan neuromuskuler (4-6 jam kerusakan yang
irreversible, 24-48 jam akan mengakibatkan organ tubuh tidak berfungsi lagi).
Perdarahan masif juga dapat menyebabkan terjadinya hematoma pada tulang yang
fraktur yang akan menjadi bekuan fibrin yang berfungsi sebagai jala untuk melekatnya
sel-sel baru. Aktivitas osteoblas segera terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang
disebut kalus. Bekuan fibrin direabsorbsi sel-sel tulang baru, secara perlahan mengalami
remodeling (membentuk tulang sejati) tulang sejati ini akan menggantikan kalus dan
secara perlahan mengalami kalsifikasi ( jadi tulang yang matur ).4
Namun secara fisiologis, tulang mempunyai kemampuan untuk menyambung sendiri
setelah patah tulang. Proses penyambungan tulang pada setiap individu berbeda-beda.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyambungan tulang adalah (1) usia pasien, (2) jenis
fraktur, (3) lokasi fraktur, (4) suplai darah, (5) kondisi medis yang menyertainya.4

Manifestasi Klinis
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.5
Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada eksremitas. Deformitas dapat di
ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang
tempat melengketnya obat. 5
Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm. 5
Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik
tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya. 5
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau
beberapa hari setelah cedera. 5
Gangguan sensasi atau kesemutan dapat terjadi, yang menandakan kerusakan saraf.
Denyut nadi di bagian distal fraktur harus utuh dan sama dengan bagian nonfraktur.
Hilangnya denyut nadi di sebelah distal dapat menandakan sindrom kompartemen,
walapun adanya denyut nadi tidak menyingkirkan gangguan ini. 5

Komplikasi
Kerusakan Saraf
Terjadi karena cidera kerusakan saraf itu sendiri atau karena adanya penekanan oleh gips.
Kerusakan saraf ini akan menyebabkan kerusakan fungsi sensorik. 5
Iskemik
Dengan adanya oedem akibat fraktur akan menekan pada jaringan sekitarnya termasuk
vaskuler. Tekanan ini dapat menyebabkan sirkulasi darah berkurang dengan demikian akan
menimbulkan iskemik pada jaringan otot yang makin lama akan mengakibatkan kematian
jaringan otot yang akan diganti oleh jaringan fibrotik sehingga terjadi kontraktur.
Gejalanya: dingin, pucat, sianosis, nyeri, bengkak distal dari cedera atau gips. Serangannya
pada saat terjadi cedera atau setelah pakai gips. 5
Emboli
Perubahan tekanan pada fraktur menyebabkan molekul lemak terdorong dari sum-sum ke
dalam peredaran darah sistemik berakibat gangguan pada respiratori dan sistem saraf pusat.
Gejalanya : sakit dada, pucat, dyspnea, putus asa, bingung, perdarahan petechieae pada kulit
dan conjungtiva. 5
Serangan : 2-3 hari setelah cedera.
Pengobatan : pemberian oksigen, transfusi darah untuk mengatasi shock hipovolemik,
berikan diuretik, bronkhodilator, cortico- steroid dan imobilisasi yang baik serta penanganan
yang cermat dapat mencegah terulangnya masalah. 5
Nekrosis Avaskuler
Nekrosis terjadi ketika daerah tulang rusuk karena kematian tulang sehingga aliran darah
terganggu dan tulang akan mengalami osteoporosis dan nekrosis. 5
Kompartemen sindrom
adalah suatu kelainan yang potensial menimbulkan kedaruratan, di mana terjadi peningkatan
tekanan interstitial dalam sebuah ruang tertutup. Sindrom kompartemen ditandai oleh
kerusakan atau destruksi saraf dan pembuluh darah yang disebabkan oleh pembengkakan dan
edema di daerah fraktur. Dengan pembengkakan interstitial yang intens, tekanan pada
pembuluh darah yang menyuplai daerah tersebut dapat menyebabkan pembuluh darah
tersebut kolaps. Hal ini akan menimbulkan hipoksia jaringan dan dapat menyebabkan
kematian saraf yang mempersarafi daerah tersebut dan biasanya akan timbul nyeri hebat.
Individu mungkin tidak dapat mengerakkan jari tangan atau jari kakinya. Sindrom
kompartemen biasanya terjadi pada ekstremitas yang memiliki restriksi volume yang ketat,
seperti lengan. Risiko terjadinya sindrom kompartemen paling besar apabila terjadi trauma
otot dengan patah tulang karena pembengkakan yang terjadi akan hebat. 5

Penatalaksanaan di UGD
a. Vulnus Laserasi Regio Frontal
Vulnus laceratum terjadi akibat kekerasan benda tumpul, goresan, jatuh, kecelakaan, sehingga
kontinuitas jaringan terputus. Pada umumnya respon tubuh terhadap trauma akan mencetuskan
terjadinya proses peradangan atau inflamasi ketika kontinuitas jaringan terputus. Dalam keadaan
ini akan timbul peluang besar timbulnya infeksi yang sangat hebat. Nyeri timbul karena kulit
mengalami luka infeksi sehingga terjadi kerusakan jaringan.4-5

Teknik perawatan luka:


Desinfeksi sekitar luka dengan cairan desinfektan seperti povidone iodine 10% dan
alkohol 70%.
Lakukan tindakan anestesi dengan lidocain atau xylocain 0.5-1%.
Lakukan tindakan irigasi (pembilasan) pada luka dengan menggunakan cairan NaCl
0.9%.
Setelah itu dilakukan tindakan debridement (wound excision) dengan melakukan
pengguntingan pada bagian tepi luka yang tidak rata.
Rawat perdarahan dengan melakukan tindakan kompresi lokal.
Setelah itu baru mulai penjahitan luka
Jika selesai penjahitan:
Gentamisin oral
80 mg tiap 8 jam
4,5 mg/kgBB/hari yang dibagi dalam tiga dosis
Ampisilin
Oral 250 500 mg tiap 6 jam
Parenteral 250 500 mg IM atau IV tiap 6 jam6

Untu menghindari kemungkinan terjadinya tetanus, dapat dilakukan pemberian anti tetanus
serum atau tetanus toxoid yang dapat di konfirmasi dari status imunisasi pasien serta kotor
atau bersihnya luka. Lihat gambar 1.
Gambar 1. Status Pemberian Booster Tetanus
Sumber: www.google.co.id/image

b. Fraktur Tertutup Tibia 1/3 tengah


Recognition: mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis,
pemeriksaan klinik dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan: lokasi,
bentuk fraktur, menentukan teknnik yang sesuai untuk pengobatan, komplikasi yang
mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.7
Reduction: reduksi fraktur apabila perlu, restorasi fragment fraktur sehingga didapat
posisi yang dapat diterima. Pada fraktur intraartikuler diperlukan reduksi anatomis
dan sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal dan mencegah komplikasi seperti
kekakuan, deformitas serta perubahan osteoartritis dikemudian hari. Posisi yang baik
adalah:alignment yang sempurna dan aposisi yang sempurna. Fraktur yang
tidak memerlukan reduksi seperti fraktur klavikula, iga, fraktur impaksi dari humerus,
dan angulasi.7
Retention, immobilisasi fraktur: mempertahankan posisi reduksi dan memfasilitasi
union sehingga terjadi penyatuan, immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna meliputi pembalut gips, bidai, traksi,dan fiksasi interna meliputi implan logam
seperti screw. 7
Rehabilitation : mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin. 7

Terapi secara farmakologist, dapat dilakuka dengan:


diberi obat golongan analgesik-opioid yang memiliki sifat seperti opium, diantaranya adalah
morfin, kodein, tebain, dan papaverin. Morfin dan opioid lain diindikasikan untuk meredakan
atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik nonopioid. Jika
nyeri lebih hebat, maka makin besar juga dosis yang diberikan. Efek samping dari pemberian
obat golongan ini adalah terjadinya mual, muntah, urtikaria, dermatitis kontak. Pemberian 10
mg/70 kgBB morfin subkutan dapat menimbulkan analgesia pada pasien dengan nyeri yang
bersifat sedang hingga berat, misalnya nyeri pascabedah. Pemberian 60 mg morfin peroral
memberi efek analgetik sedikit lebih lemah dan masa kerja lebih panjang.6

Terapi operatif:8
Reposisi tertutup - Fiksasi eksterna
Setelah reposisi baik berdasarkan kontrol radiologis intraoperatif maka dipasang alat fiksasi
eksterna.
Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi interna
Cara ini sekarang terus dikembangkan menjadi close nailing pada fraktur femur dan tibia,
yaitu pemasangan fiksasi interna intra meduller (pen) tanpa membuka frakturnya.
ORIF (Open Reduction and Internal Fixation)
Keuntungan cara ini adalah memberikan reposisi anatomis total dan mobilisasi dini tanpa
fiksasi luar. Indikasi tindakan ORIF adalah (1) fraktur dengan kemungkinan bahaya avaskular
yang tinggi seperti fraktur pada talus; (2) fraktur yang tidak bisa di reposisi tertutup, seperti
fraktur dislokasi; (3) fraktur yang dapat di reposisi tapi sulit dipertahankan, seperti fraktur
antebrachii dan pergelangan kaki; dan (4) fraktur yang dengan operasi memberikan
pengalaman yang lebih baik, seperti fraktur femur dan tibia.

Prognosis dan Pencegahan


Pada kasus fraktur, prognosisnya bergantung dari tingkat keparahan serta tata laksana dari
tim medis terhadap pasien dengan korban fraktur. Jika penanganannya cepat, maka
prognosisnya akan lebih baik. Begitu juga sebaliknya. Sedangkan dari tingkat keparahan, jika
fraktur yang di alami ringan, maka proses penyembuhan akan berlangsung dengan cepat
dengan prognosis yang baik. Tapi jikalau pada kasus yang berat prognosisnya juga akan buruk.
Bahkan jikalau parah, tindakan yang dapat diambil adalah cacat fisik hingga amputasi. Selain
itu penderita dengan usia yang lebih muda akan lebih bagus prognosisnya dibanding
penderita dengan usia lanjut.8

Kesimpulan
Fraktur adalah diskontinuitas tulang, tulang rawan yang umumnya terjadi akibat trauma.
Fraktur paling sering menyerang laki-laki, tetapi pada usia lanjut lebih sering menyerang
perempuan dikarenakan faktor hormonal. Fraktur terjadi karena adanya trauma yang merusak
kontinuitas dari jaringan tulang. Gejala yang ditimbulkan akibat fraktur antara lain nyeri,
deformitas, pemendekan, krepitasi dan pembengkakan. Keadaan ini perlu mendapatkan
penanganan kegawatdaruratan untuk menghindari komplikasi buruk dari fraktur dan
membuat prognosis menjadi lebih baik.

Daftar Pustaka
1. Rasjad C. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi ke-3. Makassar: Yarsif
Watampone; 2007: h. 352-53.
2. Sjamsuhidajat R. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2010: h. 960-3.
3. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani IW, Setiowulan W. Kapita selekta kedokteran. Edisi
ke-3. Jakarta:FKUI; 2000: h. 320-5.
4. Grace PA, Borley NR. At a glance ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta: Erlangga; 2007: h.85-
90.
5. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2007: h.335-9.
6. Hardjosaputra SL. DOI data obat indonesia. Edisi ke-11. Jakarta: PT Muliapurnama
Jayaterbit;2008: h.309, 317.
7. Sjamsuhidajat R. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2007: h. 853-60.
8. Sudoyo AW. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid ke-3. Edisi ke-5. Jakarta: Internal
Publishing; 2009: h.2797-800.

Anda mungkin juga menyukai