Anda di halaman 1dari 6

DEFINISI

CRPS merupakan istilah yang menggambarkan berbagai keadaan nyeri yang terjadi setelah
trauma, biasanya bersifat regional dan terutama mengenai bagian distal ekstremitas. Reflex
Sympathetic Dystrophy (RSD) dipakai untuk menggambarkan sindrom yang dahulu disebut
dengan bermacam-macam nama antara lain: acute bone atrophy,
algo(neuro) dystrophy, chronic traumatic edema, Leriches post traumatic pain syndrome,
major, minor causalgia, Sudecks atrophy, shoulder hand syndrome, traumatic vasospasm. Di
Eropa lebih dikenal sebagai Algodystrophy. Banyak persamaan antara kausalgia dan RSD
sehingga kausalgia sering digolongkan sebagai salah satu tipe RSD.

The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan kausalgia sebagai
sindrom nyeri terbakar yang menetap setelah suatu lesi traumatik pada saraf disertai disfungsi
vasomotor dan sudomotor kemudian diikuti perubahan trofik. Nyeri tersebut dirasakan sesuai
dengan dermatom atau distribusi saraf tepi. Nyeri timbul spontan dan bertambah berat dengan
rangsangan pada kulit serta dapat dipicu oleh faktor psikologik seperti cemas, tertawa,
terangsang atau bahkan pikiran bahwa lengannya diraba. Nyeri seringkali berkurang dengan
merendam lengan yang sakit dengan air dingin atau mengompres dengan handuk basah.

Pada umumnya ditemukan pada nervus medianus, n. tibialis, cabang dari pleksus brakhialis dan
lumbalis. Seringkali mengenai lebih dari satu saraf dan biasanya parsial meskipun kadang-
kadang dapat diikuti transeksi total.

KLASIFIKASI

Untuk menghilangkan kerancuan terminologi maka IASP (1995) mengusulkan nama


Complex Regional Pain Syndrome. CRPS dibagi menjadi 2 tipe yaitu CRPS tipe I yang
merupakan sinonim dari RSD untuk nyeri yang tidak disertai lesi saraf, sedangkan CRPS tipe II
untuk menggantikan istilah Kausalgia bila didapatkan kelainan saraf.

CRPS Tipe I

Nyeri difus pada ekstremitas umumnya seperti terbakar, nyeri dalam spontan (berdenyut,
ditekan, menyentak) dan biasanya akibat trauma atau stimulasi noksius. CRPS I dapat
menyebabkan kelainan:

1. sensorik (hipestesia, alodinia terhadap stimulasi dingin dan mekanik)


2. motorik (kelemahan, tremor, kaku persendian)
3. otonomik (perubahan pada aliran darah, hiperhidrosis, edema)
4. trofik (atrofi otot, osteopenia, artropati, kulit licin, kuku rapuh dan perubahan
pertumbuhan rambut)
5. bisa disertai psikologik reaktif (ansietas, depresi, putus asa)
6. seringkali terjadi osteoporosis pada lengan yang sakit.

Nyeri menyebar dan tidak tergantung dari faktor penyebab dan yang khas adalah intensitas
nyeri tidak sebanding dengan beratnya trauma dan tidak sesuai dengan dermatom atau
distribusi saraf. Nyeri biasanya bertambah hebat bila ekstremitas pada posisi tergantung. Nyeri
dapat dipicu oleh gerakan dan penekanan pada sendi (deep somatic allodynia). Bila tidak diobati
CRPS I dapat berlanjut dan setelah beberapa bulan/tahun akan menimbulkan bentuk intermiten
di mana remisi spontan dapat terjadi.

CRPS Tipe II ( Kausalgia)

Istilah yang diperkenalkan oleh Weir Mitchel lebih dari satu abad yang lalu untuk
menggambarkan sindrom nyeri seperti terbakar yang dialami oleh beberapa tentara yang
menderita cedera saraf pada perang Civil Amerika.

Muncul nyeri biasanya segera setelah terjadinya trauma (timbul beberapa jam sampai beberapa
hari pasca trauma). Timbulnya nyeri lebih cepat dari CRPS I (pada CRPS tipe II nyeri timbul
segera sampai beberapa hari pasca trauma sedangkan pada CRPS tipe I setelah 10 hari sampai
beberapa minggu). Alodinia menonjol pada CRPS tipe II (suara keras saja dapat menimbulkan
rasa nyeri). Hiperpatia ditemukan pada CRPS tipe II sedangkan pada CRPS tipe I tidak ada. Pada
CRPS tipe II nyeri sesuai dengan dermatom atau distribusi saraf tepi sedangkan CRPS tipe I
tidak sesuai.

ETIOLOGI

Penyebab yang pasti dari CRPS belum jelas, tetapi seringkali menyertai keadaan trauma dan
imobilisasi yang lama. Penyebab tersering dari CRPS I adalah fraktur lengan, penyebab lokal lain
termasuk: trauma jaringan lunak, tendinitis, bursitis dan dislokasi bahu. Pernah dilaporkan CRPS
yang terjadi setelah infeksi varisela-zoster dan infark jantung.

Hampir seperempat pasien pasca fraktur Colles menderita CRPS. Pada 6 bulan setelah fraktur
20% mengalami kesembuhan dan pada satu tahun 50% keluhannya menghilang. Pemasangan
gip yang terlalu ketat mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian CRPS. Lesi viseral
atau infark jantung, infark serebri dan karsinoma paru juga dapat menyebabkan CRPS I.

Peneliti dari Taiwan mendapatkan 43% penderita hemiplegi pasca stroke menderita CRPS pada
ekstremitas atas. Sedangkan 46 penderita hemiplegi dengan kelainan aktivitas EMG pada
ekstremitas atas (diduga lesi subklinik pada saraf dan akar saraf) dihubungkan dengan 65%
CRPS dibandingkan dengan hanya 4% dari 24 penderita tanpa kelainan EMG dalam waktu 6
bulan setelah awitan hemiplegi (p < 0.001). Penelitian lain mendapatkan bahwa dengan
perawatan rutin 27% dari 132 pasien hemiplegi menderita CRPS, sedangkan dengan perawatan
yang lebih hati-hati pada sendi bahu untuk mencegah trauma maka berkurang menjadi 8%.
Penyebab CRPS II adalah lesi saraf yang diakibatkan oleh luka tembak, suntikan, peregangan
saraf, kompresi pada akar saraf atau saraf tepi dan kerusakan iatrogenik. CRPS II paling sering
terjadi pada saat perang. Pada sepertiga kasus penyebabnya tidak diketahui. PATOFISIOLOGI

Penyebab sindrom ini belum jelas, diduga melalui interaksi mekanisme saraf pusat dan perifer
beserta cabang-cabangnya. Belum ada satupun hipotesis yang dapat menjelaskan fenomena
nyeri spontan seperti terbakar, hiperalgesia, hiperpatia, gangguan vasomotor, eksaserbasi
dengan emosi terjadinya baik spontan atau setelah trauma minor, seringkali sembuh spontan
menyebar ke bagian sisi satunya dan membaik setelah denervasi simpatik.

DIAGNOSIS

Diagnosis CRPS didasarkan pada kriteria klinik, sampai sekarang belum ada baku emas atau alat
diagnostik yang obyektif.

Anamnesis

Nyeri sesuai dengan deskripsi di atas.

Pemeriksaan fisik

1. Inspeksi. Pembengkakan yang mulai didistal disertai kulit yang merah atau sianotik dan
hipo/hiperhidrosis.
2. Palpasi. Kulit kering/panas atau dingin/lembab.
3. Pemeriksaan neurologik. Kelainan sensorik, motorik dan otonomik sesuai dengan
deskripsi diatas yang berkembang mulai dari daerah distal ekstremitas terutama
telapak kaki/tangan.

Pemeriksaan penunjang

1. Blok simpatik dengan anestetika. Untuk ekstremitas atas mula-mula disuntikkan 8 ml


cairan fisiologis (plasebo) pada ganglion stelatum. Bila nyeri tidak hilang setelah 10-15
menit disuntikkan 8 ml Procain HCL 1 % yang hanya akan memblok serabut simpatik ke
lengan. Bila nyeri tetap tidak hilang kemudian disuntikkan 20-30 ml Procain HCL 1% ke
dalam bungkus pleksus brakhialis. Bila nyeri tetap ada maka disimpulkan penyebabnya
sentral. Untuk ekstremitas bawah dapat digunakan blok epidural dengan menyuntikkan
bahan-bahan berikut selang waktu 10 menit: (1) 5ml garam fisiologis plasebo. (2) 5ml
Procain HCL 0,2% konsentrasi kritis simpatis. (3) 5ml Procain HCL 0,5% konsentrasi
kritis sensorik. (4) 5ml Procain HCL 1% konsentrasi kritis motorik.
2. Sken tulang. Dilakukan dengan suntikan intravena 99 technetium
dimethyphosphonate. Dapat dijumpai 3 fase. Fase 1 arterial menggambarkan aliran
darah pada ekstremitas dari 0-30 detik. Fase 2 pengumpulan darah menggambarkan
volume darah pada ekstremitas pada 3-15 menit. Fase 3 tulang menggambarkan uptake
oleh tulang dari 6-24 jam.
3. Radiologis polos. Foto radiologis polos masih membantu diagnosis, akan didapatkan
gambaran osteoporosis pada CRPS.
4. Tes Fungsi Otonom. Tes ini terdiri dari: Infra red thermometry/thermography, The
Quantitative Sudomotor Axon Reflex Test (QSART), Thermoregulatory Sweat Test
(TST) dan Laser Doppler Flowmetry

Diagnosis banding pada stadium dini CRPS sulit dibedakan dengan lesi akar saraf servikal,
sindrom Pancoast, vaskulitis, artritis rematoid, neuropati perifer, osteolisis, trombosis vena,
fistula arterivenosa, sklerosis sistemik progresif dan angioedema.

PREVENSI
Faktor risiko terjadinya CRPS adalah trauma dan imobilisasi, CRPS jarang terjadi pada pasien
yang tidak memiliki faktor risiko. CRPS sering terjadi pada keadaan sbb:

1. Setelah fraktur yang memerlukan tindakan operasi atau pemasangan cast/gip.


2. Setelah stroke dengan kelumpuhan yang berat.
3. Setelah trauma atau operasi pada ekstremitas pasien yang pernah menderita CRPS
sebelumnya.

Bila terdapat keadaan seperti diatas maka intervensi harus lebih agresif untuk mencegah
terjadinya CRPS. Pemasangan cast yang terlalu ketat setelah fraktur harus dihindari, pasien
harus dipasang cast ulang bila tekanan dalam cast meningkat akibat pembengkakan jaringan.
Cast sebaiknya dibuka secepat mungkin bila secara ortopedik sudah stabil dan dilakukan
mobilisasi secepatnya. Bila lingkup gerak sendi (range of motion) kurang dari yang diharapkan
maka dilakukan fisioterapi yang lebih agresif.

Pada pasien yang menderita hemiparesis akibat stroke perawatan harus dilakukan secara hati-
hati dan jangan sampai membuat cedera pada persendian atau kapsul sendi terutama pada
sendi bahu. Perawat harus diberi tahu bahwa pada pasien stroke terjadi gangguan sensibilitas
pada sisi lesi. Pada penderita yang mempunyai riwayat CRPS sebelumnya, maka tindakan
pembedahan sebaiknya dibatasi dan hanya pada indikasi yang mutlak saja dimana tidak ada
alternatif untuk pengobatan konservatif. Bila operasi terpaksa harus dilakukan pada ekstremitas
maka perlu dipertimbangkan untuk dilakukan blokade simpatik pada ekstremitas durante dan
pasca operasi.

TERAPI

Terapi dilakukan sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan sesuai dengan algoritma
terapi. Tujuan utama terapi adalah restorasi penuh fungsi ekstremitas. Terapi multidisipin
secara komprehensif sangat penting dengan mengutamakan managemen nyeri dan restorasi
fungsional, dengan melibatkan: ahli saraf, psikolog, ahli anestesi ahli ortopedi dan ahli
rehabilitasi.

Pada kasus ringan yang kurang dari 6 bulan lamanya pengobatan jangka pendek dengan terapi
fisik disertai anti depresan dan anti konvulsan sudah memberikan hasil yang memuaskan. Pada
pasien yang kronis sebagian besar memerlukan trisiklik anti depresan dan penyekat saluran.

Pengurangan nyeri adalah prakondisi dari seluruh pendekatan. Pada fase akut CRPS dengan
gejala nyeri yang hebat pada saat istirahat, imobilisasi dan terapi fisik pada ekstremitas kontra
lateral dengan hati-hati merupakan terapi pilihan.Jika nyeri saat istirahat sudah berkurang
terapi fisik harus segera dimulai dengan kombinasi dengan program desensitisasi dan terapi
nyeri.

Prosedur simpatolitik (blok ganglion simpatik) baru dilakukan bila komponen nyerinya adalah
SMP (Sympathetic Maintain Pain). Pada kasus refrakter SCS (Spinal Cord Stimulation) dan
Klonidin epidural dapat dipertimbangkan, jika terjadi distonia yang refrakter Baclofen intratekal
perlu dipikirkan.

Farmakologik

1. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS). Belum banyak diteliti untuk pengobatan
CRPS, tetapi pengalaman klinik menunjukkan bahwa OAINS dapat mengontrol nyeri
ringan sampai sedang.
2. Antidepresan trisiklik. Digunakan sebagai terapi tambahan nyeri neuropatik.
Mekanismenya dengan menghambat re uptake serotonin dan nor epineprin pada sinap
Anti depresan juga bermanfaat dalam mencegah kekambuhan. Imipramin dapat di
toleransi dengan baik dan memberikan hasil paling memuaskan dalam menghilangkan
gejala nyeri, manifestasi motorik dan otonomik.
3. Antikonvulsan. Golongan penyekat saluran sodium dan kalsium secara bermakna dapat
menyembuhkan nyeri tajam dan parastesia pada dosis rendah. Contohnya :
karbamasepin, klonasepam, fenitoin, sodium valproat, lamotrigin dll. Gabapentin
efektif untuk terapi CRPS. Obat golongan ini juga bermanfaat pada nyeri pasca
simpatektomi (simpatalgia).
4. Opioid oral. Penggunaannya masih kontroversi. Digunakan terutama bila obat-obatan
lain tidak memberikan hasil yang memadai. Biasanya dipakai opiat long acting seperti :
morphin. Oxycodon dan methadon.
5. Simpatolitik oral: Klonidin, Prazosin, Propanolol, Fenoksibensamin. Klonidin (alpha 2
agonist) dapat juga diberikan per injeksi pada ruang epidural atau transdermal. Prazosin
(alpha 1 antagonis selektif), Fenoksibensamin (non spesifik alpha adrenergik antagonis),
dan Propanolol (penyekat beta adrenergik). Seluruh golongan obat-obat ini harus
dititrasi pelan-pelan dalam beberapa hari sampai beberapa minggu sampai pasien
mengalami hipotensi ortostatik ringan. Bila belum terjadi hipotensi ortostatik berarti
dosisnya masih kurang cukup.
6. Transdermal: 1) Clonidine patch (0,1mg tiap 3-7 hari). Cara kerjanya diduga mengikat
reseptor presinaptik sehingga mengurangi pelepasan epinefrin di sekitar kulit yang
patologik. 2) Capsaicin ointment. 3) Capsaicin melepaskan substansi P dari serabut saraf
sensoris yang berukuran kecil, capsaicin hanya efektif bila telah terjadi eliminasi
cadangan substansi P, proses ini memerlukan waktu 2-3 minggu.
7. Kortikosteroid dosis tinggi. Pada permulaan penyakit terutama yang mengenai
ekstremitas bawah terapi singkat dengan kortikosteroid (misalnya prednison dengan
dosis tinggi 60mg/hari selama 5-7 hari) dapat memberikan efek yang dramatis. Steroid
harus dihentikan bila setelah 5 hari terapi tidak ada respon, tetapi diteruskan selama 21
hari bila hasilnya efektif. Disarankan untuk mencoba steroid dosis tinggi (equivalen
prednison 60mg/hari selama 5 hari) paling tidak sekali pada setiap pasien CRPS.
8. Pelemas otot. Dipergunakan untuk mengurangi spasme otot. Contoh: Baclofen dan
Tizanidine.
9. Bone forming agent. Calcitonin intra nasal dan Pamidronate intravena dilaporkan dapat
menghilangkan nyeri pada CRPS. Cara kerjanya belum jelas.
10. GABA agonist. Baclofen intratekal efektif untuk pengobatan distonia berat pada CRPS.

Non Farmakologik

1. Latihan fisik. Pengalaman klinik membuktikan bahwa terapi fisik penting untuk
membantu pasien mencapai pemulihan fungsi dan rehabilitasi. Terapi fisik berguna
untuk mencegah perubahan distrofi pada otot dan sendi serta mengurangi nyeri dan
memperbaiki mobilitas aktif pasien CRPS. Terapi fisik lebih efektif dan biayanya lebih
sedikit daripada terapi okupasi.
2. TENS (Transcutaneous Electric Nerve Stimulation). Pada bagian proksimal dari saraf
yang cedera efektif dalam mengurangi nyeri kausalgia, Keuntungannya ialah non
invasif, tak ada efek samping sistemik dan mudah digunakan.
3. Spinal Cord Stimulation (SCS). Epidural SCS menunjukkan efikasi yang baik pada CRPS
kronik. Diduga mekanismenya melalui disinhibisi sentral.
4. Modalitas termal. Penyinaran dengan gelombang ultra pendek (UKG) banyak
membantu.
5. Terapi psikologik. Penelitian menunjukkan bahwa CBT (Cognitive Behavioral Therapy)
jangka panjang dapat mengurangi seluruh gejala nyeri.

Invasif non bedah

1. Blok regional intravena/intra arterial dengan simpatolitik. Tidak ada perbedaan yang
bermakna antara : Guanetidin, reserpin, bretilium dan prilocaine dengan placebo.
2. Blok simpatik dengan anestesi lokal. Blok simpatik dilakukan pada ganglion stelatum
(untuk nyeri pada kepala, badan bagian atas dan ekstremitas superior) pleksus Celiac
(untuk nyeri abdomen) atau ganglia simpatik lumbal (nyeri pelvis dan ekstremitas
inferior). Digunakan anestesi lokal mepivacaine 0,5% atau bupivacaine 0,25% yang
masa kerjanya 1,5-3 jam dan 3-4 jam. Jumlah bahan suntikan untuk blok simpatis
Lumbal atau stelatum 1-5ml. Hilangnya nyeri tergantung dari masa kerja obat anestesi
dan saat blok dilakukan. Keberhasilan pada CRPS tipe I bisa lebih dari 90% dan CRPS
tipe II 50-60% tergantung kapan blok dilakukan ditinjau dari saat awitan nyeri terjadi,
ketrampilan dokter yang menyuntik dan sempurna tidaknya blokade simpatik. Tanda
umum berhasilnya blok simpatik adalah meningkatnya suhu kulit dan sindroma Horner
ipsilateral sisi blok. Berkurangnya nyeri ditandai dengan meningkatnya mobilitas dan
fungsi ektremitas.

Bedah : simpatektomi. Simpatektomi mungkin berguna pada kasus tertentu tetapi dapat terjadi
efek samping adatif supersensitive pada neuron nosiseptif yang menyebabkan peningkatan
intensitas dan lamanya nyeri.

PROGNOSIS

Sampai saat ini pengobatan CRPS masih sulit dan sering membuat putus asa, Angka
keberhasilannya kurang dari 50% kasus. Keberhasilan terapi tgergantung dari:

1. diagnosis dini
2. identifikasi dan pengobatan faktor pencetus
3. keberhasilan blok simpatis
4. fisioterapi yang agresif

Anda mungkin juga menyukai