Anda di halaman 1dari 5

INFORMASI UMUM DEMAM BERDARAH DENGUE

I. Kondisi Umum

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang
masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan endemis di sebagian
kabupaten/kota di Indonesia. Hampir setiap tahun terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa)
di beberapa daerah yang biasanya terjadi pada musim penghujan, namun sejak awal
tahun 2011 ini sampai bulan Agustus 2011 tercatat jumlah kasus relative menurun
sebagaimana tampak pada grafik di bawah. DBD pertama kali dilaporkan pada tahun
1968 di Jakarta dan Surabaya, dengan 48 penderita dan angka kematian (CFR)
sebesar 41,3%. Dewasa ini DBD telah tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.
Program pencegahan dan pemberantasan DBD telah berlangsung lebih kurang 43
tahun dan berhasil menurunkan angka kematian dari 41,3% pada tahun 1968
menjadi 0,87 % pada tahun 2010, tetapi belum berhasil menurunkan angka
kesakitan. Jumlah penderita cenderung meningkat, penyebarannya semakin luas,
menyerang tidak hanya anak-anak tetapi juga golongan umur yang lebih tua. Pada
tahun 2011 sampai bulan Agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian
(CFR: 0,80 %)

Berdasarkan rekapitulasi data kasus yang ada sampai tanggal 22 Agustus 2011
tercatat hanya Provinsi Bali yang masih memiliki angka kesakitan DBD diatas target
nasional yaitu 55 per 100.000 penduduk sebagaimana tampak pada grafik dibawah
ini.

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis Dit PPBB -Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan RI 1


Sedangkan angka kematian akibat DBD di beberapa wilayah masih cukup tinggi di
atas target nasional 1 % antara lain Provinsi Gorontalo, Riau, Sulawesi Utara
Bengkulu, Lampung, NTT, Jambi, Jawa Timur, Sumatra Utara dan Sulawesi Tengah
(lihat grafik di bawah ini).

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis Dit PPBB -Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan RI 2


II. Isu dan Permasalahan Pengendalian.

DBD sangat endemis di Indonesia, sejak ditemukan pertama kali tahun 1968 jumlah
kasus dan luas daerah terjangkit terus meningkat. Penyebab meluasnya penyakit
DBD di Indonesia multi faktorial antara lain:

1. Faktor Manusia dan Sosial Budaya


a. Faktor manusia, kepadatan penduduk sangat berpengaruh pada kejadian kasus
DBD, makin padat penduduk makin tinggi kasus DBD di kota tersebut. Hal ini
karena berkaitan dengan penyediaan INFRA STRUKTUR yang kurang memadai
seperti penyediaan sarana air bersih, sarana pembuangan sampah, sehingga
terkumpul barang2 bekas yang dapat menampung air dan menjadi tempat
perkembang biakan nyamuk Aedes , penular DBD.
b. Mobilitas manusia : perpindahan manusia dari satu kota ke kota lain
mempengaruhi penyebaran penyakit DBD.
c. Perilaku manusia : kebiasaan menampung air untuk keperluan sehari-hari seperti
menampung air hujan, air sumur, harus membeli air didalam BAK MANDI,
membuat bak mandi atau drum/tempayan sebagai tempat perkembangbiakan
nyamuk .
d. Kebiasaan menyimpan barang2 bekas atau kurang memeriksa lingkungan
terhadap adanya air2 yang tertampung didalam wadah2 dan kurang
melaksanakan kebersihan dan 3 M PLUS ( Menguras, Menutup dan Mengubur
PLUS menaburkan Larvasida , memelihara ikan pemakan jentik dll. )

2. Faktor agen dan lingkungan


a. Faktor agen/ virus DBD : ada 4 serotipe yang tersebar luas di seluruh wilayah
Indonesia, dan bersirkulasi sepanjang tahun, Dipertahankan siklusnya didalam
tubuh nyamuk
b. Faktor Nyamuk penular, yaitu Aedes aegypti yang tersebar luas diseluruh pelosok
tanah air, populasinya meningkat pada saat musim hujan
c. Faktor lingkungan: Musim hujan meningkatkan populasi nyamuk, namun di
Indonesia musim kering pun populasinya tetap banyak karena orang cenderung
menampung air dan didaerah sulit air orang menampung air didalam bak2 air/
drum, sehingga nyamuk dan jentik selalu ada sepanjang tahun.

3. SOP
a. Kurangnya pemahaman tentang penegakan diagnosis dan penatalaksanaan
penderita DBD sesuai standar pada sebagian klinisi baik di Rumah Sakit,
Puskesmas maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya, sehingga sering
terjadi over diagnosis.
b. Belum semua rumah sakit menggunakan form KDRS/KD-DBD dan seringnya
keterlambatan pelaporan kasus dari rumah sakit ke Dinas Kesehatan atau ke
Puskesmas. Jika sesuai standar, seharusnya setiap kasus yang ditemukan
dilaporkan dalam waktu kurang dari 24 jam agar dapat dilakukan langkah-
langkah penanggulangan kasus secara cepat dan tepat sebelum terjadi
penyebaran lebih luas lagi.

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis Dit PPBB -Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan RI 3


4. Ketersediaan Tenaga Pelayanan
a. Faktor pelaksana program yang sering berganti-ganti, kurangnya petugas
lapangan dan khususnya kurangnya pendanaan bagi pelaksanaan program
pengendalian DBD.
b. Kegiatan pemeriksaan jentik berjalan namun tidak menyeluruh karena
keterbatasan tenaga. Puskesmas melaksanakan PJB ( Pemeriksaan Jentik
Berkala) , kader2 JUMANTIK melaksanakan pemeriksaan jentik seminggu sekali
di lingkungannya, namun tidak tersedia dana operasional maupun biaya
pengganti transport bagi para kader Jumantik sehingga kegiatannya mengendur.
Beberapa kota seperti Jakarta Timur, Pekalongan, Mojokerto sangat aktif
melaksanakan kegiatan Pemeriksaan Jentik melalui peran serta masyarakat dan
Jumantik

5. Kondisi Sarana Pendukung


Mesin fogging tersedia disetiap Dinas Kesehatan kota atau Puskesmas
jumlahnya bervariasi, namun biasanya tidak disertai biaya pemeliharaan. Oleh
karena itu mesin2 yang rusak tidak tersedia suku cadang , sering kali diambil dari
mesin2 yang ada, sehingga banyak mesin fogging yang rusak.

6. Sumber Pembiayaan
a. Masalah DBD belum dianggap sebagai masalah prioritas di beberapa wilayah
sehingga alokasi dana APBD untuk penanggulangan DBD masih tergolong kecil
di masing-masing wilayah endemis.
b. Untuk penyemprotan suatu area , luas radius 100 meter ( 1 HA , estimasi hanya
untuk 20-40 rumah ) dibutuhkan biaya Rp.300.000 - 500.000/ 2 siklus . Area
yang disemprot harus memenuhi kriteria PE tersebut, dengan tujuan membunuh
nyamuk yang mengandung virus. Oleh karena itu apabila masyarakat meminta
penyemprotan tidak memenuhi kriteria PE, mereka harus menanggung biaya itu
sendiri. Penyemprotan (fogging) liar ini biasanya dilakukan oleh perusahaan2
penyemprot/ pihak swata yang hanya mengutamakan aspek keuntungan/komersil
saja.
c. Peningkatan kasus yang umumnya terjadi bulan Januari hingga Maret , dimana
pada bulan-bulan tersebut dana operasional belum turun dari APBD, ini membuat
hambatan dalam pelaksanaan penanggulangan kasus di lapangan.

7. Faktor kerjasama/peran serta


Faktor peran serta lintas sektor maupun peran serta masyarakat yang masih kurang
dan cenderung mengharapkan sektor kesehatan saja yang mengatasi masalah DBD.
Dengan kata lain masalah DBD masih dianggap sebagai masalah sektor kesehatan
semata.

III. Arah Kebijakan Pengendalian Penyakit DBD

Melalui Kepmenkes no. 581/Tahun 1992, telah ditetapkan Program Nasional


Penanggulangan DBD yang terdiri dari 8 pokok program yaitu :
1. Surveilans epidemiologi dan Penanggulangan KLB
2. Pemberantasan Vektor
3. Penatalaksanaan Kasus
4. Penyuluhan
5. Kemitraan dalam wadah POKJANAL DBD
6. Peran Serta Masyarakat : Jumantik
7. Pelatihan
8. Penelitian
Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis Dit PPBB -Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan RI 4
Langkah-Langkah Kebijakan Pemerintah :

1. Untuk setiap kasus DBD harus dilakukan Penyelidikan epidemiologi meliputi


radius 100 meter dari rumah penderita. Apabila ditemukan bukti2 penularan
yaitu adanya penderita DBD lainnya , ada 3 penderita demam atau ada faktor
risiko yaitu ditemukan jentik, maka dilakukan penyemprotan (Fogging Focus)
dengan siklus 2 Kali disertai larvasidasi, dan gerakan PSN.
2. Puskesmas melaksanakan kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala ( PJB )
setahun 4 kali untuk memonitor kepadatan jentik diwilayahnya.
3. Lebih mengutamakan pencegahan yaitu dengan melaksanakan PSN (
Pemberantasan Sarang Nyamuk ) melalui 3 M PLUS, dengan melibatkan
masyarakat.
4. Memfasilitasi terbentuknya tenaga JUMANTIK ( Juru Pemantau Jentik)
5. Kemitraan melalui wadah POKJANAL ., bersama DEPDAGRI dan lintas
sektor lainnya terutama DEPDIKNAS
6. Penyuluhan kepada masyarakat agar masyarakat tetap waspada.

IV. Tantangan Ke Depan

DBD merupakan masalah kita bersama, bukan hanya sektor kesehatan semata.
Sektor kesehatan bertanggung jawab penuh pada perawatan penderita di
Puskesmas/ Rumah Sakit dalam rangka menurunkan angka kematian. Namun
mengingat begitu kompleksnya masalah penularan DBD, maka perlu peran berbagai
SEKTOR dan Masyarakat sendiri untuk memberantas penyakit DBD melalui
pemberantasan nyamuk dan jentik nya. Mengingat bahwa kejadian DBD semakin
meluas maka DBD perlu mendapat perhatian dari semua pihak dan menjadi
masalah Nasional dan perlu perbaikan di berbagai aspek mulai dari aspek
manajemen kasus, manajemen vektor, manajemen logistik ( insektisida, larvasida,
mesin fogging) , peningkatan peran serta masyarakat dan penelitian-penelitian
termasuk pengembangan vaksin didukung dengan pendanaan yang memadai.

V. Prioritas Kegiatan

a. Pengendalian vektor dengan melaksanakan Gerakan Pemberantasan


Sarang Nyamuk (PSN) terutama pada kabupaten dan kota endemis
tinggi, dengan tetap meningkatkan kewaspadaan di setiap wilayah.
b. Peningkatan surveilans kasus & vektor
c. Peningkatan kemitraan dengan lintas sektor dan lintas program terkait,
diantaranya melalui wadah POKJANAL (Kelompok Kerja Operasional)
DBD, UKS, BMKG, kalangan Akademisi dan lain-lain.
d. Penanggulangan kasus / KLB
Manajemen kasus di UPK sesuai standar
Setiap kasus yang dilaporkan dari UPK (Unit Pelayanan Kesehatan)
maka dilakukan langkah langkah Penanggulangan kasus/fokus
yaitu: Penyelidikan Epidemiologi (PE), Fogging Fokus, Larvasidasi
dan Penyuluhan.
Peningkatan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan KLB antara
lain dengan peningkatan surveilans dan memenuhi ketersediaan
logistik (insektisida, larvasida, dll)

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis Dit PPBB -Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan RI 5

Anda mungkin juga menyukai