Anda di halaman 1dari 2

Para penulis tidak selalu terlahir dari ruangan workshop kepenulisan

ataupun diskusi literasi. Beberapa terlahir dari kegelisahan dan kekecewaan.


Keadaan seperti itulah yang diam-diam memaksa mereka menulis dan
memberanikan diri untuk menumpahkannya lalu dijadikan buku.
Hal serupa dialami Nata Timothy, seorang mahasiswa di Yogyakarta dengan
buku kumpulan puisi, Sisa -Sisa Picesty.
Buku itu dilaunching pada 12 Februari 2017 di Omah Kopi, Yogyakarta.
Penulis buku ini menuturkan proses kreatif sekaligus ikhwal kelahiran puisi
tersebut ditemani dua penyair muda berbakat sebagai pembedah, Raedu
Basha dan Alfin Rizal.
Dimoderatori Neng Lilis, para peserta terlihat antusias menikmati kegiatan
bedah buku sambil menyeruput secangkir kopi hangat tentang kisah ikhwal
kelahiran buku tersebut.
Raedu Basha, dalam selebaran tulisan untuk peserta berjudul, Patah Cinta
akan Menyulap seseorang Menjadi Penyair, sebagai ruang apresiasi
untuk karya Nata Timothy, memaknai jika puisi kerapkali lahir dari
ketersakitan. Jika karya belum bagus. Berarti rasa sakitnya belum benar-
benar terasa ke hulu hati.
"Seperti kisah pemuda saat bertanya kepada (Almarhum) Gus Dur tentang
karya tulisnya yang jelek. Dengan enteng Gus Dur menanggapi, berarti
kamu belum disakiti perempuan. Pantas tulisanmu jelek."
Ledekan Gus Dur di atas, kata Raedu mirip dengan puisi Jalaluddin Rumi,
Jika seseorang bertanya, "Bagaimana rasanya terbunuh cinta?"
Pejamkan matamu, lalu sobeklah bajumu. Katakan padanya, seperti ini.
"Jatuh cinta dan patah hati, dua peristiwa jantung itu, akan dengan mudah
menyulap seseorang yang baru mengenal bahasa dan baru bisa merangkai
frase, kalimat, paragraf, menjadi pemabuk puisi," ujarnya sesekali
menyinggung puisi-puisi yang ditulis Nata.
Sementara Alfin Rizal, menuturkan awal prosesnya mencari arti kata Picesty
lewat mesin pencari di internet.
Sayang, pencariannya malah berbuah nama-nama masakan. Lalu, dirinya
baru tersadarkan jika Picesty ternyata merupakan nama khusus di hati
penulis (pujaan hati, red).
Soal proses menghidupi semangat berkarya, Alfin hampir sama dengan
Raedu, jika proses menulis kurang maksimal. "Mintalah kepada Picesty
untuk disakiti kembali. Sesakit-sakitnya,"tuturnya disambut gelak tawa
peserta.
Menurutnya, jalan Nata menulis puisi sebagai pelampiasan apa yang
berkecamuk di dalam dirinya setidaknya, ditemukan pada puisi
berjudul, Kata Lawan Kata : kata lawan mata / mata yang dapat berbicara
dengan lantang / lantang dengan segala peluru-peluru aksara yang bermutu,
maupun tidak ...
Sementara, Nata sendiri menceritakan ikhwal proses kreatifnya dimulai
dengan ingatan yang pernah datang, entah sejam yang lalu maupun
beberapa hari yang lalu.
Ingatan itulah yang diam-diam dihadirkan sekaligus diwujudkan kembali
dalam bentuk potongan puisi dan kemudian diterbitkan.
Nata mengakui jika penulis puisi tersebut semata-mata ruang untuk
berkontemplasi memikirkan sisa-sisa kenangan untuk Picesty, yang
disebutnya sebagai nama pertama dari wanita pertama.
Buku cetakan 2016 ini diterbitkan Penerbit Ganding Pustaka Yogyakarta.
Berisi 29 puisi. Sebuah karya hasil pergulatan seseorang menghadirkan
kembali sisa-sisa kenangan yang tak ingin dilupakan bersama pujaan hati.
Keren, kan?
Fendi Chovi, 2017

Anda mungkin juga menyukai