Anda di halaman 1dari 20

HIPOTESIS

HUBUNGAN PENGETAHUAN KELUARGA DENGAN KEPATUHAN


MINUM OBAT PADA PASIEN SKIZOFRENIA

DI POLIK JIWA RSD MADANI PALU

OLEH :
PSIK VI/A

Nursanti
Pk 115 014 027
Diajukan sebagai syarat Tugas Individu
Mata Kuliah Riset Keperawatan
Kepada dosen Pembimbing Mata kuliah (Ns.Diah Fitri,M.Kep)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INDONESIA JAYA PALU
2017
PENYUSUNAN HIPOTESIS

A. FENOMENA

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang paling banyak terjadi, gejalanya


ditandai dengan adanya distorsi realita, disorganisasi kepribadian yang parah,
serta ketidakmampuan individu berinteraksi dengan kehidupan sehari-hari,
hampir 1% penduduk dunia mengalami Skizofrenia dalam hidup mereka,
ditemukan terbanyak pada usia 15-35, dan dari 1000 orang dewasa 7
diantaranya mengalami Skizofrenia (Elvira & Hadisukanto, 2010).

Sementara menurut WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena


depresi, 60 Juta orang terkena bipolar, 21 juta orang terkena Skizofrenia, serta
47, 5 juta terkena dimensia.

Keluarga sebagai orang yang dekat dengan pasien, harus mengetahui


prinsip lima benar dalam minum obat yang benar, dosis yang benar, cara/rute
pemberian yang benar dimana kepatuhan terjadi bila aturan pakai dalam obat
yang diresepkan serta pemberiannya di rumah sakit diikuti dengan benar. Ini
sangat penting terutama penyakit gangguan jiwa. Faktor keluarga sebagai
pendukung pada klien, adanya keterlibatan keluarga sebagai pengawas minum
obat pada keluarga dengan klien dalam kepatuhan minum obat (Butar Butar,
2012).

Hasil dari data Riset Kesehatan Dasar atau (Riskesdas) pada tahun 2013
Jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia saat ini adalah 236 juta orang,
dengan kategori gangguan jiwa ringan 6 % dari populasi dan 0,17%
sedangkan Prevalensi menderita gangguan jiwa berat. 14,3% seperti
Skizofrenia mencapai 400.000 orang atau sebanyak 1.7 per 1.000 penduduk
dan diantaranya mengalami pasung. Tercatat sebanyak 6 % penduduk berusia
15-24 tahun mengalami gangguan jiwa. Prevalensi gangguan mental
emosional tertinggi adalah adalah Sulawesi tengah sebanyak 6.0 persen.

Berdasarkan data yang diperoleh dari catatan rekam medik pasien yang
pelayanan rawat jalan di Polik Jiwa RSD Madani Palu pada tahun 2016
tercatat jumlah kunjungan pasien Jiwa dengan jenis Kelamin laki-laki =
4.505 dan wanita = 2.290 orang. Untuk pasien dengan diagnosa Skizofrenia
tercatat pada tahun 2014 sebesar 2.230 jiwa sementara tahun 2015 terdapat
2.569 jiwa, dan tahun 2016 terjadi peningkatan jumlah penderita Skizofrenia
sebesar 2.364 jiwa. (Rekam Medik RSD Madani Palu)

Keluarga merupakan orang terdekat dengan pasien, mempunyai peranan


penting dalam kesembuhan pasien, salah satunya yaitu dukungan informasi
dimana jenis dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung jawab
bersama yakni termasuk didalamnya memberikan solusi atas masalah ,
memberikan nasehat, pengarahan, saran atau umpan balik tentang apa yang
dilakukan seseorang, selain itu keluarga sebagai penyedia informasi untuk
melakukan konsultasi yang teratur ke rumah sakit dan terapi yang baik bagi
dirinya serta tindakan spesifik bagi klien untuk melawan stressor (Butar Butar,
2012).

Berdasarkan hasil wawancara awal peneliti dengan salah satu keluarga


pasien di polik Jiwa RSD Madani Palu. keluarga mengatakan bahwa anaknya
sudah hampir 6 bulan berobat dan perna mengalami putus obat sehingga
penyakit anaknya kambuh kembali. pengetahuan keluarga dengan kepatuhan
minum obat pasien Skizofrenia dapat membantu keluarga dalam perawatan
pasien Skizofrenia, beberapa keluarga tidak mengetahui pentingnya minum
obat secara teratur bagi pasien Skizofrenia. Berdasarkan hal tersebut maka
saya tertarik untuk melakukan penelitian Hubungan pengetahuan keluarga
dengan kepatuhan klien skizofrenia dalam minum obat di Polik Jiwa RSD
Madani Palu.

B. Penelusuran Literatur Dan Tinjauan Pustaka


1. Pengetahuan
a Pengertian
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu, pengetahuan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa,
dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmojo, 2007.p.143) Proses yang didasari oleh pengetahuan kesadaran
dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersikap langgeng.
Sebaliknya apabila perilaku tersebut tidak didasari oleh pengetahuan dan
kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003, p.121)
b Tingkat pengetahuan
Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan sebagai berikut:
1) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu adalah
tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa
orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan, menyatakan. (Notoatmodjo, 2003:122)
2) Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus
dapat menjelaskan menyebutkan cotoh menyimpulkan, meramalkan, dan
sebagainya terhadap objek yang dipelajari, misalnya dapat menjelaskan
mengapa harus datang ke Posyandu (Notoatmodjo, 2003:122).
3) Analisis (analysis)
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi,
dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat
dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan (membuat
bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan (Notoatmodjo,
2003:123).
4) Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini
dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, dan
prinsip (Notoatmodjo, 2003:123)
5) Sintesis (synthesis).
Sintesis menunujuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan bagian-bagian
di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu
suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi
yang ada. Misalnya: dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat
meringkaskan, dapat menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan yang
telah ada (Notoatmodjo, 2003:123).
6) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaianpenilaian ini
berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan
kriteria yang ada (Notoatmodjo, 2003:123)
c. Cara Pengukuran Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan memberikan seperangkat alat
tes/kuesioner tentang objek pengetahuan yang mau diukur. Selanjutnya dilakukan
penilaian dimana setiap jawaban benar dari masing-masing pertanyaan diberi
nilai 1 jika salah diberi nilai 0 (Notoatmodjo, 2003) Penilaian dilakukan dengan
cara membandingkan jumlah skor jawaban dengan skor yang diharapkan
(tertinggi) kemudian dilakukan 100% dan hasilnya berupa persentasi dengan
rumus yang digunakan sebagai berikut:

P =f x 100%
n
Keterangan :
P = persentasi
f = frekuensi dari seluruh alternatif jawaban yang menjadi pilihan yang telah
dipilih responden atas pernyataan yang diajukan
n = jumlah frekuensi seluruh alternatif jawaban yang menjadi pilihan responden
selaku peneliti
100% = bilangan genap (Serbaguna, 2008)
Selanjutnya pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diiterpretasikan dengan
skala yang bersifat kualitatif, yaitu:
1) Baik : hasil presentasi76%-100%
2) Cukup : hasil presentasi 56%-75%
3) Kurang : hasil presentasi<56% (A. Wawan dan Dewi M, 2010)
d. Proses Adaptasi Perilaku
Dari pengalaman dan penelitian, terbukti bahwa perilaku yangdidasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007:121)
mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru),
didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:
1) Awareness (kesadaran)
Subjek tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih
dahulu
2) Interest (tertarik)
Dimana subjek mulai tertarik terhadap stimulus yang sudah diketahui dan
dipahami terlebih dahulu.
3) Evaluation
Menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus yang sudahdilakukan serta
pengaruh terhadap dirinya
4) Trial
Dimana subjek mulai mencoba untuk melakukan perilaku baru yang sudah
diketahui dan dipahami terlebih dahulu.
5) Adoption
Dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran
dan sikapnya terhadap stimulus.

e. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan


Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003)
adalah:
1) Umur
Umur merupakan variabel yang selalu diperhatikan dalam
penelitian-penelitian epidemiologi yang merupakan salah satu hal
yang mempengaruhi pengetahuan. Umur adalah lamanya hidup
seseorang dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan. Semakintinggi
umur seseorang, maka semakin bertambah pula ilmu atau
pengetahuan yang dimiliki karena pengetahuan seseorang diperoleh
dari pengalaman sendiri maupun pengalaman yang diperoleh
dariorang lain.

2) Pendidikan
Pendidikan merupakan proses menumbuh kembangkan seluruh
kemampuan dan perilaku manusia melalui pengetahuan, sehingga
dalam pendidikan perlu dipertimbangkan umur (proses
perkembangan klien) dan hubungan dengan proses belajar. Tingkat
pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhpersepsi seseorang atau lebih mudah menerima ide-ide
dan teknologi. Pendidikan meliputi peranan penting dalam
menentukan kualitas manusia. Dengan pendidikan manusia dianggap
akanmemperoleh pengetahuan implikasinya. Semakin tinggi
pendidikan, hidup manusia akan semakin berkualitas karena
pendidikan yang tinggi akan membuahkan pengetahuan yang baik
yang menjadikan hidup yang berkualitas.
3) Paparan media massa
Melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik maka
berbagai ini berbagai informasi dapat diterima oleh masyarakat,
sehingga seseorang yang lebih sering terpapar media massa akan
memperoleh informasi yang lebih banyak dan dapat mempengaruhi
tingkat pengetahuan yang dimiliki.
4) Sosial ekonomi (pendapatan)
Dalam memenuhi kebutuhan primer, maupun skunder keluarga, status
ekonomi yang baik akanlebih mudah tercukupi dibanding orang dengan
status ekonomi rendah, semakin tinggi status sosial ekonomi seseorang
semakin mudah dalam mendapatkanpengetahuan, sehingga menjadikan
hidup lebih berkualitas
5) Hubungan sosial
Faktor hubungan sosial mempengaruhi kemampuan individu sebagai
komunikan untuk menerima pesan menurut model komunikasi media.
Apabila hubungan sosial seseorang dengan individu baik maka
pengetahuan yang dimiliki juga akanbertambah.
6) Pengalaman
Pengalaman adalah suatu sumber pengetahuan atau suatu carauntuk
memperoleh kebenaran pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara
mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan
permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu. Pengalaman
seseorang individu tentang berbagai hal biasanyadiperoleh dari
lingkungan kehidupan dalam proses pengembangan misalnya sering
mengikuti organisasi.

2. Skizofrenia
A. Pengertian Skizofrenia
Beberapa ahli menguraikan istilah Skizofrenia berdasarkan gejala,
penyebab dandampak yang ditimbulkan. Menurut Kraepelin (1919, dalam
Benhard, 2007) menyebut istilah skizofrenia dengan penurunan fungsi
kognitif terjadi pada usiamuda ditandai dengan proses kognitif yang makin
memburuk dengan gejala halusinasi dan waham. Skizofrenia adalah gangguan
psikotik yang bersifat kronis,dapat mengalami kekambuhan dengan gejala
klinis yang beragam dan tidak khas (Kusuma, 2007). Skizofrenia adalah
penyakit otak neurobiogical yang serius dan menetap, ditandai dengan
kognitif dan persepsi serta efek yang tidak wajar (Laraia, 2009). Skizofrenia
dikarakteristikan dengan psikosis, halusinasi, delusi, disorganisasi
pembicaraan dan perilaku, efek datar, penurunan kemampuan kognitif,
ketidakmampuan bekerja atau kegiatan dan hubungan sosial yang memburuk
(Bustillo, 2008).
Berdasarkan teori diatas maka dapat disimpulkan pengertian skizofrenia
adalah gangguan jiwa yang menetap, bersifat kronis dan bisa terjadi
kekambuhandengan gejala psikotik beranekaragam dan tidak khas, seperti:
penurunan fungsi kognitif yang disertai halusinasi dan waham, efek datar,
disorganisasi perilakudan memburuknya hubungan sosial.

B. Penyebab Skizofrenia
Penyebab skizofrenia tidak diketahui secara pasti, berbagai macam
faktor predisposisi dan presipitasi yang mendukung terjadinya kekambuhan.
Namun pada dasarnya ada hubungan dengan faktor bawaan atau bakat yang
diturunkan dari orang tua secara genetik. Benhard (2007) menjelaskan
penyebab skizofrenia sebagai berikut:
1) Model diatesis stres, menjelaskan bahwaskizofrenia timbul karena adanya
kesatuan antara faktor biologis, faktorpsikososial dan lingkungan.
Individu yang rentan mengalami stresor akan lebihmudah menjadi
skizofreniaFaktor pencetus dan kekambuhan dari skizofrenia dipengaruhi
oleh emotionalturbulent families, stressful life event, diskriminasi dan
kemiskinan.
2) Faktorneurobiologis, perkembangan saraf pada awal kehamilan
ditentukan oleh intakenutrisi (ibu hamil yang malnutrisi beresiko janinnya
kelak berkembang menjadiskizofrenia) begitu pula trauma psikologis
yang dialami ibu selama hamil. Padamasa kanak disfungsi situasi sosial
seperti trauma masa kecil, kekerasan,hostilitas dan hubungan
interpersonal yang kurang hangat sangat mempengaruhiperkembangan
neurological sehingga anak lebih beresiko mengalamiskizofrenia.
Dari berbagai pendapat tentang penyebab skizofrenia tersebut, maka
peneliti berpendapat bahwa terjadinya skizofrenia sangatlah unik artinya tiap
individu akan berbeda tergantung riwayat perkembangan syaraf dari masa
intra uteri sampai pada perkembangan ketika dewasa. Selain itu cara pandang
dan cara koping mekanisme individu dalam mengatasi berbagai stressor baik
dari dalam diri, keluarga dan lingkungan sekitarnya juga menjadi faktor
pencetus terjadinyaskizofrenia. Adanya gangguan fisik yang didapat ketika
individu sedah dewasa, seperti trauma fisik merupakan salah satu faktor
pendukung terjadinya skizofrenia.
C. Manifestasi Klinik
Gejala skizofrenia biasanya dimulai di usia remaja atau dewasa muda awal.
Skizofrenia mempengaruhi pria dan wanita dengan frekuensi yang sama.Penyakit ini
cenderung terjadi pada laki-laki berusia 16-24 tahun dan perempuandi antara 20-34
tahun (Bustillo, 2008). Jadi jenis kelamin tidak menentukan dan mempengaruhi
kejadian skizofrenia.
D. Gejala Skizofrenia
Menurut Benhard (2007), gejala yang tampak dari skizofrenia dibagi dalam 5
dimensi, yaitu:
a. Gejala positif
Menggambarkan fungsi normal yang berlebihan dan khas, meliputi:
waham,halusinasi, disorganisasi pembicaraan dan perilaku seperti katatonia
atau agitasi.
b. Gejala negatif
Yaitu: affective flattening, alogia, avoliyion, anhedonia dan gangguan atensi.
Selain itu ditemukan pula adanya penurunan fungsi normal seperti efek tumpul,
penarikan emosi dalam berkomunikasi, raport yang buruk dengan lingkungan
sekitar, bersifat pasif dan menarik diri dari hubungan sosial.
c. Gejala kognitif
Adanya gangguan proses kognitif dapat juga terjadi inkoheren, asosiasilonggar,
atau neologisme. Selain itu adanya gangguan atensi dan pengolahan informasi.
Gangguan kognitif yang berat seperti: gangguan kemampuan menghasilkan
pembicaraan yang spontan, uratan peristiwa, kewaspadaan dan masalah atensi,
proritas dan prilaku pada hubugan sosial.
d. Gejala agresif dan hostile
Menekankan pada masalah pengendalian impuls. Hostilitas berupa penyerangan
secara fisik atau verbal terhadap orang lain, termasuk perilaku bunuh diri
(suicide), merusak barang orang lain, atau sexual acting out. e. Gejala depresi
dan anxiousGejala ini bersamaan dengan mood yang terdepresi, mood cemas,
rasa bersalah, tension, irritabilitas atau kecemasan. Secara garis besar gejala
yang muncul pada skizofrenia adalah adanya gejala positif seperti gejala
halusinasi, waham, perilaku aneh dan gejala negatif seperti gejala dalam
penurunan interaksi sosial, gangguan tidur, gangguan pemenuhan nutrisi, deficit
perawatan diri. Gejala ini yang menentukan pemberian terapi baik psikofarma
maupun asuhan keperawatan yang akan diberikan.
E. Tipe Skizofrenia
DSM-IV (Diagnostic Statistical Manual) membagi tipe skizofrenia
kedalam enam subtipe yaitu: tipe katatonik, disorganisasi (hebrefenik), paranoid,
tak terinci, residual dan skizofrenia simpleks. Sedangkan penggolongan
skizofreniamenurut PPDGJ (F20) antara lain: tipe paranoid (F20.0), tipe
hebrefenik(F20.5), tipe simpleks (F20.6), tipe depresi pasca skizofrenia (F20.4)
(Benhard,2007).
F. Terapi Skizofrenia
Ada berbagai macam terapi yang bisa kita berikan pada pasien skizofrenia.
Ha ini diberikan dengan kombinasi satu sama lain dengan jangka waktu yang
relatif cukup alam. Hawari (2001) menguraikan terapi skizofrenia terdiri dari
pemberian obat-obatan, psikoterapi dan rehabilitasi. Terapi psikososial pada
skizofrenia meliputi: terapi individu, terapi kelompok, terapi keluarga,rehabilitasi
psikiatri, latihan keterampilan sosial dan manajemen kasus (Hawari,2001).
Terapi psikofarmaka pada skizofrenia dengan antipsikotik dua
kategori, yaitu: obat antipika (clozapin, risperidon, olanzapine, dan
trifluoperazine) ( Maslim, 2001). Faktor-faktor yang mempengaruhi efek
terapeutik obat antipsikotik ini meliputi: usia, genetik, perilaku
penyalahgunaan zat, kondisi medis, obatmenginduksi enzim, obat yang
menghambat clearance dan perubahan dalam ikatan protein (Benhard,
2007).
Efek teraputik obat pada pasien skizofrenia memiliki respon yang berbeda
padasetiap individu dan membutuhkan waktu lama untuk merasakan manfaat dari
obat tersebut. Sampai saat ini dari obat yang telah ditemukan belum ada obat
yang sangat ideal untuk skizofrenia, karena masing-masing jenis obat memiliki
kelebihan dan kekurangannya. Menurut Maslim (2001), efek samping yang
sering terjadi adalah gejala ekstra piramidal seperti: kedua tangan gemetar
(tremor), kekakukan alat gerak (bila berjalan seperti robot), otot leher kaku
sehingga kepala pasien seolah-olah terpelintir atau tertarik. Efek samping ini
menimbulkan rasa tidak nyaman buat pasien dan menimbulkan asumsi
negatifterkait ada dan tidak adanya manfaat dari obat tersebut bagi kesembuhan
pasien skizofrenia. Hal ini akan berdampak pada prilaku pasien dalam
menjalankan
regimen terapeutik yang disarankan dari petugas kesehatan.
G. Karateristik Skizofrenia yang Mengalami Ketidakpatuhan
Hasil penelitian Wardani (2009) menunjukkan perilaku tidak patuh minum
obat pada pasien skizofrenia sangat beragam, seperti: menurunkan dosis,
meningkatkan dosis, minum obat dengan dosis diluar pengawasan medis, menolak
obat dan minum obat tidak tepat waktu. Perilaku tidak patuh juga dapat dilihat ketika
pasien skizofrenia membeli obat sendiri tanpa pengawasan dan kontrol terlebih
dahulu ke medis.

3. Kepatuhan Minum Obat


A. Pengertian kepatuhan
Kepatuhan pasien didefenisikan sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai
dengan ketentuan yang diberikan oleh petugas kesehatan (Sackett, 1976 dala
Niven, 2002) Menurut Sarafino (1990 dalam Smet, 1994) kepatuhan merupakan
tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan
olehdokternya atau oleh orang lain. Kepatuhan adalah sejauh mana pasien
mengerti maksud atau harapan dari dokter dalam memberikan pengobatan
(McGavock,1996 dalam Hughes, 1997). Kepatuhan sering digunakan untuk
menggambarkan perilaku bahwa pasien akan mengubah perilakunya atau patuh
karena mereka diminta untuk itu (Brunner & Suddart, 2002).
Kepatuhan dalam pengobatan dapat diartikan sebagai perilaku pasien yang mentaati
semua nasihat dan petunjuk yang dianjurkan oleh kalangan tenaga medis
(Australian Collage of Pharmacy Practice, 2001). Pendapat lain mengenai
kepatuhan adalah kerelaan seseorang untuk melakukan suatu permintaan yang
sebenarnya tidak ingin dilakukan. Kepatuhan ini muncul karena adanya tekanan
sosial dan perundingan, hal ini sangat dipengaruhi olehinformasi yang diterima
oleh seseorang tentang perilaku yang diharapkan dan diminta (Sears, 1994).
Dapat disimpulkan bahwa kepatuhan merupakan perilaku yang muncul akibat
permintaan atau saran dari orang lain mengenai tata cara menjalani sebuah
program pengobatan, terjadi karena adanya kebutuhan akan peningkatan status
kesehatan pasien. Kepatuhan ini dapat dilihat, dinilai dan diukur dengan
menggunakan sebuah instrumen (alat ukur), untuk itu perlu kita ketahui lebih
lanjut karateristik dari sebuah perilaku kepatuhan.
B. Karateristik Kepatuhan
Kepatuhan program terapeutik adalah perilaku pasien dalam mencapai
perawatan kesehatan seperti: upaya aktif, upaya kolaboratif sukarela antara pasien
dan provider. Termasuk didalamnya mengharuskan pasien membuat perubahan
gaya hidup untuk menjalani kegiatan spesifik seperti minum obat,
mempertahankan diet, membatasi aktivitas, memantau mandiri terhadap gejala
penyakit, tindakan hygine spesifik, evaluasi kesehatan secara periodik, pelaksana
tindakan teraputik dan pencegahan lain (Brunner & Suddart, 2002).
Sedangkanhasil penelitian Wardani (2009) menunjukkan tolak ukur perilaku
kepatuhan minum obat yaitu adanya kerjasama keluarga dan pasien dalam
pemberian obat, kesadaran diri terhadap kebutuhan obat, kemandirian minum obat
dan kedisiplinan minum obat. Selain itu perlikau patuh minum obat diikuti dengan
kontrol rutin setelah dirawat di rumah sakit. Munurut Samalin (2010) karateristik
kepatuhan partial meliputi: pasien mengurangi dosis yang ditentukan oleh pasien
sendiri atau hanya mengambil pengobatan mereka dari waktu ke waktu.

C. Alat ukur kepatuhan


Kepatuhan sulit untuk dianalisa, karena sulit didefenisikan, diukur dan
tergantung pada banyak faktor. Kebanyakan berhubungan dengan ketidaktaatan
minum obat sebagai cara pengobatan, misalnya: tidak minum cukup obat, terlalu
banyak dan minum obat diluar yang diresepkan. Metode untuk mengukur
kepatuhan dilihat dari sejauh mana para pasien mematuhi nasihat dokter dengan
baik, meliputi: laporan pasien, laporan dokter, perhitungan pil dan botol, tes darah
dan urine, alat-alat mekanis, observasi langsung dan hasil pengobatan(Smet, 1994).
Pada penelitian ini menggunakan observasi langsung yang dilakukan perawat primer
yang mengelola pasien tersebut dengan cara mengisi checklist pada kuesioner
kepatuhan minum obat.

D. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan


Berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku kepatuhan minum obat, diantaranya
adalah: penyakit, individu, petugas kesehatan, obat yang dikonsumsi dan lingkungan
pasien (Niven, 2002). Berikut ini akan diuraikan satu persatu dan dilengkapin dengan
konsep lain dikemukakan oleh Brunner &Suddart(2002) serta Fleischhacker (2003).
a. Individu
Variabel demografi yang mempengaruhi kepatuhan seperti: usia, jenis
kelamin, suku bangsa, status sosio ekonomi dan pendidikan (brunner &Suddart,
2002) sedangkan Fleischhecker (2003) menguraikan usia, jenis kelamin, gangguan
kognitif, dan sikopatologi sebagai faktor yang mempengaruhi kepatuhan. Pada pria
diusia dewasa awal memiliki kecenderungan tidak patuh karena kegiatan diusia
produktifnya. Usia lanjut menunjukkan kepatuhan yang rendah karena penurunan
kapasitas fungsi memori dan penyakit regenratif selain skizofrenia yang
dialaminya. Tingkat kepatuhan wanita lebih tinggi dari pada pria, wanita muda
lebih patuh daripada wanita tua. Pasien dengan gejala positif (waham dan maniak)
sulit terhadap pengobatan karena merasa dipaksa dan takut diracuni.
Faktor individu lain yaitu: kurangnya informasi (pengetahuan),
gangguankognitif dan komordibitas (Samalin, 2010). Persepsi pasien terhadap
suatu obat akan mempengaruhi kepatuhan, pasien yang paham akan instruksi obat
cenderung lebih patuh. Selain itu keyakinan dan nilai individu juga mempengaruhi
kepatuhan, pasien yang tidak patuh biasanya mengalami depresi, ansietas dengan
kesehatannya, memiliki ego lemah dan terpusat perhatian pada diri sendiri.
Sehingga pasien tidak ada motivasi, mengingkari penyakitnya dan kurang
perhatian pada program yang harus dijalankan. Varibel psikososial yang
dikemukakan Brunner & Suddart (2002) dan Smet (1994) seperti intelegensia,
sikap terhadap tenaga kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap
penyakit, keyakinan agama atau budaya dan biaya finansial juga mempengaruhi
dalam mematuhi program pengobatan.
b. Penyakit
Menurut Brunner & Suddart (2002) variabel penyakit seperti keparahan
penyakit dan hilangnya gejala akibat terapi mempengaruhi kepatuhan pasien
terhadap program pengobatan. Fleischhacker (2003) menjelaskan pasien dengan
gejala negatif dapat memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi ataupunrendah, bisa
karena kurangnya motivasi ataupun sebaliknya pasien tidakberani menolak anjuran
medis dan mengikuti saja apa yang disarankan mengenai program pengobatannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Saenz & Mareinelli (1998) dengan sampel 30
pasien skizofrenia dan 30 pasien gangguan bipolar. Hasilnya menunjukkan pasien
skizofrenia yang memiliki daya tilik negatif mempengaruhi keputusanuntuk
mematuhi pengobatan, selain itu pasien yang mengalami gangguan bipolar merasa
efek samping obat yang dirasakan sebagai alasan mereka tidak patuh terhadap
pengobatan.
c. Obat yang dikonsumsi
Samalin (2010) menjelaskan hubungan obat yang dikonsumsi mempengaruhi
kepatuhan diantaranya teruatama terkait dengan kemanjuran dan tolerabilitas
antipsikotik. Menurut Videbeck (2008) faktor yang mempengaruhi pengobatan
meliputi: efek samping, dosis yang diberikan, cara penggunaan, lama pengobatan,
biaya pengobatan dan jumlah obat yang harus diminum semakin banyak jumlah
obat yang direkomendasikan maka kemungkinan besar makin rendah tingkat
kepatuhan karena kompleksitas pengobatan yang harus dijalankan.
Uraian lebih lanjut dikemukakan oleh Fleischhacker (2003) sebagian
besarobat memiliki waktu pencapaian efek teraputik yang cukup lama, sehingga
pasien tidak segera merasakan manfaat obat yang diminum selama ini. Tetapi,
pasien akan mengalami efek samping yang kurang menyenangkan terlebihdahulu
dibandingkan manfaat obat. Pasien skizofrenia tidak segera kambuh setelah putus
obat, sehingga pasien beranggapan kekambuhannya tidak ada hubungannya
dengan putus obat. Selain itu jumlah obat dan kerumitan carameminumnya
mempengaruhi kepatuhan pasien skizofrenia meminum obatnya. Makin banyak
jenis obat yang harus diminum tiap harinya, maka pasien akan merasakan
kesulitan mematuhi program pengobatan.
d. Petugas kesehatan
Kualitas interaksi antara pasien dengan petugas kesehatan menentukan derajat
kepatuhan. Kegagalan pemberian informasi lengkap tentang obat dari tenaga
kesehatan bisa menjadi penyebab ketidakpatuhan pasien meminum obatnya.
Menurut Fleischhacker (2003) pemberian perawatan lanjutan ketika dirumah,
keyakinan tenaga kesehatan terhadap suksesnya pengobatan, hubungan yang baik
pasien dan tenaga kesehatan dan efektivitas dari perawatan pada rawat jalan
mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan.

e. Lingkungan klien
Keluarga dapat mempengaruhi keyakinan, nilai kesehatan dan
menentukanprogram pengobatan yang dapat diterima oleh klien. Keluarga
berperan dalam pengambilan keputusan tentang perawatan anggota keluarga yang
sakit, menentukan keputusan mencari dan mematuhi anjuran pengobatan. Menurut
salimin (2010), faktor lingkungan, seperti tingkat dukungan sosial yangtersedia,
juga prediktor yang akurat dari kepatuhan.

E. Proses terjadinya prilaku ketidak patuhan


Hasil penelitian studi kualitatif oleh Wardani (2009) menemukan penyebab
ketidakpatuhan dari faktor individu adalah: sikap negatif terhadap pengobatan,
penyangkalan terhadap penyakit, manfaat obat dan sikap selektif terhadap
caregiver. Selain itu, efek samping obat terhadap fisik, seksualitas, aktivitas, dan
tingkat konsentrasi menjadi alasan klien tidak patuh, bahkan sampai
menghentikan minum obat.
Hasil menelitian Wardani (2009) menunjukkan sikap negatif keluarga
menjadi penyebab tidak patuh. Sikap negatif keluarga inti seperti: respon simpati
terhadap efek samping obat yang dirasakan pasien, secara tidak langsung
menyebabkan pasien tidak patuh. Sikap negatif dari keluarga besar terhadap
pengobatan meliputi sikap mendukung ketidakpatuhan dan ungkapan yang
menurunkan motivasi minum obat. Sedangkan penyebab yang bersumber dari
perilaku tenaga kesehatan adalah informasi yang tidak jelas dan ungkapan yang
mematahkan semangat dari tenaga kesehatan dapat menyebabkan ketidakpatuhan
terhadap pengobatan.
C. Hasil penelitian sebelumnya
Hasil penelitian menurut Butar Butar (2012), dengan hasil penelitian
menggambarkan bahwa 56,4 % responden memiliki pengetahuan yang baik
mengenai pengobatan pasien Skizofrenia, 43,5% responden memiliki
pengetahuan sedang mengenai pengobatan pasien Skizofrenia, 84,6 %
responden patuh dalam menjalankan pengobatan dan sebanyak 15,4% tidak
patuh dalam pengobatan. Yang menyatakan terdapat hubungan yang
signifikan antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan minum obat pasien
Skizofrenia.
Hasil penelitian menurut Natalia Purnamasari (2013) dengan judul
Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Kepatuhan Minum obat di
Rumah Sakit Prof. V.L. Ratumbuysang Manado, hasil penelitian terdapat
hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kepatuhan minum
obat pasien Skizofrenia.

C. Kerangka Teori

Pemahaman tentang instruksi

Tingkat pendidikan

Kesakitan dan pengobatan Kepatuhan Minum Obat

Keyakinan, sikap dan


kepribadian

Dukungan Keluarga dan


sosial

Tingkat ekonomi
Gambar 1.1 Kerangka Teori
Carpenito, 2000

D. Kerangka Konsep

Variabel bebas variabel terikat


Pengetahuan Keluarga Kepatuhan minum Obat

Variabel penelitian
1. Variabel bebas (independent) dalam penelitian ini adalah Pengetahuan
Keluarga
2. Variabel terikat (dependent) dalam penelitian ini adalah kepatuhan Minum
obat pada pasien skizofrenia

E. Hipotesis
1) Ha = Ada Hubungan antara Pengetahuan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum
Obat Pada Pasien Skizofrenia Di Polik Jiwa RSD Madani Palu
2) H0 = tidak Ada Hubungan antara Pengetahuan Keluarga Dengan Kepatuhan
Minum Obat Pada Pasien Skizofrenia Di Polik Jiwa RSD Madani Palu

Anda mungkin juga menyukai