PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pemeriksaan apa yang dilakukan pada kasus.
2. Untuk mengetahui diagnosis pada kasus
3. Untuk mengetahui etiologi dari kasus.
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan yang dilakukan pada kasus.
5. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari gangguan psikotik akut dan sementara.
6. Untuk mengetahui prognosis dari gangguan psikotik akut dan sementara.
7. Untuk mengetahui diagnosis banding dari gangguan pskotik akut dan sementara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Menurut sebuah studi epidemiologi internasional, berbeda dengan skizofrenia,
kejadian nonaffective timbul psikosis akut 10 kali lipat lebih tinggi di negara
berkembang daripada di negara-negara industri. Beberapa dokter percaya bahwa
gangguan yang mungkin paling sering terjadi pada pasien dengan sosioekonomi
yang rendah, pasien dengan gangguan kepribadian yang sudah ada sebelumnya (
paling sering adalah gangguan kepribadian histrionik, narsistik, paranoid, skizotipal,
dan ambang ), dan orang yang pernah mengalami perubahan kultural yang besar (
misalnya imigran ).
2.3 Etiologi
Didalam DSM III faktor psikososial bermakna dianggap menyebabkan psikosis
reaktif singkat, tetapi kriteria tersebut telah dihilangkan dari DSM IV. Perubahan
dalam DSM IV menempatkan diagnosis gangguan psikotik singkat didalam kategori
yang sama dengan banyak diagnosis psikiatrik utama lainnya yang penyebabnya
tidak diketahui dan diagnosis kemungkinan termasuk gangguan yang heterogen
(Kaplan dan Sadock, 2003).
Penyebabnya belum diketahui secara pasti, tapi sebagian besar di jumpai pada
pasien dengan gangguan kepribadian mungkin memiliki kerentanan biologis atau
psikologis terhadap perkembangan gejala psikotik. Satu atau lebih faktor stres berat,
seperti peristiwa traumatis, konflik keluarga, masalah pekerjaan, kecelakaan, sakit
parah, kematian orang yang dicintai, dan status imigrasi tidak pasti, dapat memicu
psikosis reaktif singkat. Beberapa studi mendukung kerentanan genetik untuk
gangguan psikotik singkat (Kaplan dan Sadock, 2003).
2.4 Patofisiologi
Hipotesis dopamine pada gangguan psikosis serupa dengan penderita skizofrenia
adalah yang paling berkembang dari berbagai hipotesis, dan merupakan dasar dari
banyak terapi obat yang rasional. Hipotesis ini menyatakan bahwa skizofrenia
disebabkan oleh terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik. Beberapa bukti yang
terkait hal tersebut yaitu: (1) kebanyakan obat-obat antipsikosis menyekat reseptor
D2 pascasinaps di dalam sistem saraf pusat, terutama di sistem mesolimbik frontal;
(2) obat-obat yang meningkatkan aktifitas dopaminergik, seperti levodopa (suatu
precursor), amphetamine (perilis dopamine), atau apomorphine (suatu agonis
reseptor dopamine langsung), baik yang dapat mengakibatkan skizofrenia atau
psikosis pada beberapa pasien; (3) densitas reseptor dopamine telah terbukti,
postmortem, meningkat diotak pasien skizofrenia yang belum pernah dirawat dengan
obat-obat antipsikosis; (4) positron emission tomography (PET) menunjukkan
peningkatan densitas reseptor dopamine pada pasien skizofrenia yang dirawat atau
yang tidak dirawat, saat dibandingkan dengan hasil pemeriksaan PET pada orang
yang tidak menderita skizofrenia; dan (5) perawatan yang berhasil pada pasien
skizofrenia telah terbukti mengubah jumlah homovanilic acid (HVA), suatu
metabolit dopamine, di cairan serebrospinal, plasma, dan urine. Namun teori dasar
tidak menyebutkan hiperaktivitas dopaminergik apakah karena terlalu banyaknya
pelepasan dopaminergik, terlalu banyaknya reseptor dopaminergik atau kombinasi
mekanisme tersebut. Neuron dopaminergik di dalam jalur mesokortikal dan
mesolimbik berjalan dari badan selnya di otak tengah ke neuron dopaminoseptif di
sistem limbik dan korteks serebral (Trimble, 2010).
2.5 Manifestasi klinis
Gambaran utama perilaku:
Perilaku yang diperlihatkan oleh pasien yaitu :
1. Mendengar suara-suara yang tidak ada sumbernya
2. Keyakinan atau ketakutan yang aneh/tidak masuk akal
3. Kebingungan atau disorientasi
4. Perubahan perilaku; menjadi aneh atau menakutkan seperti menyendiri,
kecurigaan berlebihan, mengancam diri sendiri, orang lain atau lingkungan,
bicara dan tertawa serta marah-marah atau memukul tanpa alasan (Kaplan dan
Sadock, 2003).
Gejala gangguan psikotik singkat selalu termasuk sekurang kurangnya satu
gejala psikosis utama, biasanya dengan onset yang tiba-tiba, tetapi tidak selalu
memasukkan keseluruhan pola gejala yang ditemukan pada skizofrenia.
Beberapa klinisi telah mengamati bahwa gejala afektif, konfusi dan gangguan
pemusatan perhatian mungkin lebih sering ditemukan pada gangguan psikotik
singkat daripada gangguan psikotik kronis. Gejala karakteristik untuk gangguan
psikotik singkat adalah perubahan emosional, pakaian atau perilaku yang aneh,
berteriak teriak atau diam membisu dan gangguan daya ingat untuk peristiwa
yang belum lama terjadi. Beberapa gejala tersebut ditemukan pada gangguan
yang mengarahkan diagnosis delirium dan jelas memerlukan pemeriksaan
organik yang lengkap, walaupun hasilnya mungkin negative (Maslim, 2001).
Pemeriksaan status mental biasanya hadir dengan agitasi psikotik parah yang
mungkin terkait dengan perilaku aneh, tidak kooperatif, agresif fisik atau verbal,
tidak teratur berbicara, berteriak atau kebisuan, suasana hati labil atau depresi,
bunuh diri, membunuh pikiran atau perilaku, kegelisahan, halusinasi, delusi,
disorientasi, perhatian terganggu, konsentrasi terganggu, gangguan memori, dan
wawasan miskin (Bora, 2009).
Seperti pada pasien psikiatrik akut, riwayat yang diperlukan untuk membuat
diagnosis mungkin tidak dapat diperoleh hanya dari pasien. Walaupun adanya
gejala psikotik mungkin jelas, informasi mengenai gejala prodromal, episode
suatu gangguan mood sebelumnya, dan riwayat ingesti zat psikotomimetik yang
belum lama mungkin tidak dapat diperoleh dari wawancara klinis saja.
Disamping itu, klinis mungkin tidak mampu memperoleh informasi yang akurat
tentang ada atau tidaknya stressor pencetus.
Contoh yang paling jelas dari stresos pencetus adalah peristiwa kehidupan
yang besar yang dapat menyebabkan kemarahan emosional yang bermakna pada
tiap orang. Peristiwa tersebut adalah kematian anggota keluarga dekat dan
kecelakaan kendaraan yang berat. Beberapa klinis berpendapat bahwa keparahan
peristiwa harus dipertimbangkan didalam hubungan dengan kehidupan pasien.
Walaupun pandangan tersebut memiliki alasan, tetapi mungkin memperluas
definisi stressor pencetus dengan memasukkan peristiwa yang tidak berhubungan
dengan episode psikotik. Klinisi lain berpendapat bahwa stressor mungkin
merupakan urutan peristiwa yang menimbulkan stress sedang, bukannya
peristiwa tunggal yang menimbulakan stress dengan jelas. Tetapi penjumlahan
derajat stress yang disebabkan oleh urutan peristiwa memerlukan suatu derajat
pertimbangan klinis yang hampir tidak mungkin (Bora,2009).
2.6 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis gejala pasti gangguan psikotik akut adalah sebagai
berikut :
1. Halusinasi (persepsi indera yang salah atau yang dibayangkan : misalnya,
mendengar suara yang tak ada sumbernya atau melihat sesuatu yang tidak ada
bendanya).
2. Waham (ide yang dipegang teguh yang nyata salah dan tidak dapat diterima
oleh kelompok sosial pasien, misalnya pasien percaya bahwa mereka diracuni
oleh tetangga, menerima pesan dari televisi, atau merasa diamati/diawasi oleh
orang lain).
3. Agitasi atau perilaku aneh (bizar)
4. Pembicaraan aneh atau kacau (disorganisasi)
5. Keadaan emosional yang labil dan ekstrim (iritabel) (Maslim, 2001).
Berdasarkan DSM-IV diagnosisnya terutama atas lama gejala, untuk gejala
psikotik yang berlangsung sekurangnya satu hari tetapi kurang satu bulan dan yang
tidak disertai dengan suatu gangguan mood, gangguan berhubungan dengan zat,
atau suatu gangguan psikotik karena kondisi medis umum, diagnosis gangguan
psikotik singkat kemungkinan merupakan diagnosis yang tepat. Untuk gejala
psikotik yang berlangsung lebih dari satu hari, diagnosis sesuai yang harus
dipertimbangkan adalah gangguan delusional (jika waham adalah gejala psikotik
yang utama), gangguan skizofreniform ( jika gejala berlangsung kurang dari 6
bulan), dan skizofrenia (jika gejala telah berlangsung lebih dari 6 bulan) (Kaplan
dan Sadock, 2003).
3.1 Skenario
Seorang laki-laki berusia 30 tahun dibawa keluarga ke IGD RS dengan
keluhan marah-marah dan melempar rumah tetangga dengan batu sejak 1 hari
yang lalu. Pasien tampak sering berbicara sendiri dan mencurigai tetangga ingin
menjahatinya. Perubahan perilaku pasien sudah tampak sejak 3 minggu yang
lalu, setelah pasien ditipu oleh rekan kerjanya dan kehilangan uang sebesar Rp.
40 juta. Dari pemeriksaan, dokter mengatakan bahwa pasien mengalami
halusinasi dan waham sehingga menyarankan pasien untuk dirawat. Keluarga
menolak dengan alasan pasien hanya tasapo dan tidak ada riwayat gangguan
jiwa di keluarga mereka. Dokter menjelaskan bahwa pasien memerlukan
tatalaksana berupa farmakoterapi dan non-farmakoterapi sehingga kondisi
gelisah pasien bisa segera teratasi.
3.2 Terminologi
1. Waham adalah suatu keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan,
tetapi dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain.
Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol.
2. Halusinasi adalah perubahan sensori dimana pasien merasakan sensasi yang
tidak ada berupa suara, penglihatan, pengecapan,dan perabaan.
3. Gelisah adalah suatu perasaan hati yang tidak tentrem, selalu merasa
khawatir, tidak tenang dalam tingkah lakunya, tidak sabar ataupun dalam
kecemasan.
4. Farmakoterapi adalah sub ilmu dari farmakologi yang mempelajari tentang
penanganan penyakit melalui penggunaan obat-obatan. Dalam ilmu ini obat-
obatan digunakan untuk membuat diagnosis, mencegah timbulnya, dan cara
menyembuhkan suatu penyakit.
5. Tasapo merupakan sebuah istilah akibat kemarahan dari mahkluk gaib
sehingga mahkluk gaib tersebut mendatangkan malapetaka dan penyakit
kepada manusia, sebab kemamarahan mahkluk gaib ini menurut kepercayaan
masyarakat tertentu.
2. Diagnosis yang kami dapat adalah gangguan psikotik akut dan sementara
yaitu suatu gangguan kejiwaan yang terjadi selama 1 hari sampai kurang dari
1 bulan, dengan gejala psikosis, dan dapat kembali ke tingkat fungsional
premorbid (Kaplan dan Sadock, 2003).
3. Etiologi belum diketahui secara pasti, tapi sebagian besar di jumpai pada
pasien dengan gangguan kepribadian mungkin memiliki kerentanan biologis
atau psikologis terhadap perkembangan gejala psikotik. Satu atau lebih faktor
stres berat, seperti peristiwa traumatis, konflik keluarga, masalah pekerjaan,
kecelakaan, sakit parah, kematian orang yang dicintai, dan status imigrasi
tidak pasti, dapat memicu psikosis reaktif singkat. Beberapa studi
mendukung kerentanan genetik untuk gangguan psikotik singkat (Kaplan dan
Sadock, 2003).
4. Penatalaksanaan Non-famakologi
Menjaga keamanan pasien dan individu yang merawatnya, hal yang dapat
dilakukan :
a. Keluarga atau teman harus mendampingi pasien
b. Kebutuhan dasar pasien terpenuhi (misalnya, makan, minum, eliminasi
dan kebersihan)
c. Memotivasi pasien dan memberikan penjelasan kepada keluarga bahwa
pasien mengalami gangguan jiwa, bukan tasapo.
Konseling pasien dan keluarga :
a. Bantu keluarga mengenal aspek hukum yang berkaitan dengan
pengobatan psikiatrik antara lain : hak pasien, kewajiban dan tanggung
jawab keluarga dalam pengobatan pasien.
b. Dampingi pasien dan keluarga untuk mengurangi stress dan kontak
dengan stressor.
c. Motivasi pasien agar melakukan aktivitas sehari-hari setelah gejala
membaik.
Penatalksanaan farmakologi:
Berikan obat antipsikotik untuk mengurangi gejala psikotik :
- Haloperidol 2-5 mg, 1 sampai 3 kali sehari, atau
- Chlorpromazine 100-200 mg, 1 sampai 3 kali sehari
Dosis harus diberikan serendah mungkin untuk mengurangi efek
samping, walaupun beberapa pasien mungkin memerlukan dosis yang lebih
tinggi. Obat antiansietas juga bisa digunakan bersama dengan neuroleptika
untuk mengendalikan agitasi akut (misalnya: lorazepam 1-2 mg, 1 sampai 3
kali sehari). Lanjutkan obat antipsikotik selama sekurang-kurangnya 3 bulan
sesudah gejala hilang.
7. Selain diagnosis pasti, ada diagnosis banding untuk psikotik akut ini karena
dimungkinkan adanya gangguan fisik yang bisa menimbulkan gejala
psikotik.
o Epilepsi
o Intoksikasi atau putus zat karena obat atau alcohol
o Febris karena infeksi
o Demensia dan delirium atau keduanya
o Jika gejala psikotik berulang atau kronik, kemungkinan skizofrenia
dan gangguan psikotik kronik lain
o Jika terlihat gejala mania (suasana perasaan meninggi, percepatan
bicara atau proses pikir, harga diri berlebihan), pasien mungkin
sedang mengalami suatu episode maniak
o Jika suasana perasaan menurun atau sedih, pasien mungkin sedang
mengalami depresi
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Gangguan jiwa merupakan istilah resmi yang digunakan dalam PPDGJ
(Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa). Penyebab gangguan jiwa
itu bermacam-macam ada yang bersumber dari berhubungan dengan orang lain
yang tidak memuaskan seperti diperlakukan tidak adil, diperlakukan semena-
mena, kehilangan pekerjaan, dan lain-lain. Selain itu ada juga gangguan jiwa
yang disebabkan factor organik, kelainan saraf dan gangguan pada otak.
DAFTAR PUSTAKA
Bora E., Yucel M., and Pantelis C. 2009. Cognitive functioning in schizophrenia,
schizoaffective disorder and affective psychoses: meta-analytic study. British
Journal of Psychiatry, 195:475-482
Maslim, R. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya
Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. 2003. Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatri. 9th ed.
Philadelpia: Lippincott William & Wilkins.
Trimble MR., George MS. 2010. Biological Psychiatry 3rd edition. Wiley-Blackwell.