Anda di halaman 1dari 49

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Landasan Teori

II.1.1 Konsep Efektivitas

II.1.1.1 Pengertian Efektivitas

Kata efektif berasal dari bahasa inggris yaitu effective yang berarti berhasil,

atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah popular

mendefinisikan efektivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau

menunjang tujuan. Robbins memberikan definisi efektivitas sebagai tingkat

pencapaian organisasi dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Efektivitas organisasi adalah konsep tentang efektif dimana sebuah

organisasi bertujuan untuk menghasilkan. Organizational effectiveness (efektivitas

organisasi) dapat dilakukan dengan memperhatikan kepuasan pelanggan,

pencapaian visi orgaisasi, pemenuhan aspirasi, menghasilkan keuntungan bagi

organisasi, pengembangan sumber daya manusia organisasi dan aspirasi yang

dimiliki, serta memberikan dampak positif bagi masyarakat di luar organisasi.

Bamard (1938:20) menyatakan bahwa efektivitas organisasi merupakan

kemahiran dalam sasaran spesifik dari organisasi yang bersifat objektif (if it

accomplished its specific objective aim). Schein dalam bukunya yang berjudul

Organizational Psychology mendefinisikan efektivitas organisasi sebagai

kemampuan untuk bertahan, menyesuaikan diri, memelihara diri dan juga

bertumbuh, lepas dari fungsi-fungsi tertentu yang dimiliki oleh organisasi tersebut.

6
Efektivitas dapat didefinisikan dengan empat hal yang menggambarkan

tentang efektivitas, yaitu :

1. Mengerjakan hal-hal yang benar, dimana sesuai dengan yang seharusnya

diselesaikan sesuai dengan rencana dan aturannya.

2. Mencapai tingkat diatas pesaing, dimana mampu menjadi yang terbaik dengan

lawan yang lain sebagai yang terbaik.

3. Membawa hasil, dimana apa yang telah dikerjakan mampu memberi hasil yang

bermanfaat.

4. Menangani tantangan masa depan

Efektivitas pada dasarnya mengacu pada sebuah keberhasilan atau

pencapaian tujuan. Efektivitas merupakan salah satu dimensi dari produktivitas,

yaitu mengarah kepada pencapaian untuk kerja yang maksimal, yaitu pencapaian

target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu.

Efektivitas menurut Hidayat (1986) yang menjelaskan bahwa :

Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target

(kuantitas,kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar persentase target

yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya.

Sedangkan pengertian efektivitas menurut Schemerhon John R. Jr. (1986:35)

adalah sebagai berikut :

Efektivitas adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara

membandingkan output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output realisasi

atau sesungguhnya (OS), jika (OS) > (OA) disebut efektif .

7
Adapun pengertian efektivitas menurut Prasetyo Budi Saksono (1984) adalah :

Efektivitas adalah seberapa besar tingkat kelekatan output yang dicapai dengan

output yang diharapkan dari sejumlah input.

Dari pengertian-pengertian efektivitas tersebut dapat disimpulkan bahwa

efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target

(kuantitas,kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target

tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. Berdasarkan hal tersebut maka untuk

mencari tingkat efektivitas dapat digunakan rumus sebagai berikut:

Efektivitas = Ouput Aktual / Output Target >=1

a. Jika output aktual berbanding output yang ditargetkan lebih besar atau sama

dengan 1 (satu), maka akan tercapai efektivitas.

b. Jika output aktual berbanding output yang ditargetkan kurang daripada 1 (satu),

maka efektivitas tidak tercapai.

Steers (1985:87) mengemukakan bahwa:

Efektivitas adalah jangkauan usaha suatu program sebagai suatu sistem dengan

sumber daya dan sarana tertentu untuk memenuhi tujuan dan sasarannya tanpa

melumpuhkan cara dan sumber daya itu serta tanpa memberi tekanan yang tidak

wajar terhadap pelaksanaannya.

Adapun Martoyo (1998:4) memberikan definisi sebagai berikut:

Efektivitas dapat pula diartikan sebagai suatu kondisi atau keadaan, dimana dalam

memilih tujuan yang hendak dicapai dan sarana yang digunakan, serta kemampuan

yang dimiliki adalah tepat, sehingga tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan

hasil yang memuaskan.

8
Dari beberapa pendapat di atas mengenai efektivitas, dipahami bahwa

efektivitas dalam proses suatu program yang tidak dapat mengabaikan target

sasaran yang telah ditetapkan agar operasionalisasi untuk mencapai keberhasilan

dari program yang dilaksaksanakan dapat tercapai dengan tetap memperhatikan

segi kualitas yang diinginkan oleh program.

Pengertian efektivitas secara umum menunjukkan sampai seberapa jauh

tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Hal tersebut sesuai

dengan pengertian efektivitas menurut Hidayat (1986) yang menjelaskan bahwa :

Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target

(kuantitas,kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar persentase target

yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya.

Unsur yang penting dalam konsep efektivitas adalah; yang pertama adalah

pencapaian tujuan yang sesuai dengan apa yang telah disepakati secara maksimal,

tujuan merupakan harapan yang dicita-citakan atau suatu kondisi tertentu yang ingin

dicapai oleh serangkaian proses. Emitai Etzioni (1982:54) mengemukakan bahwa

Efektivitas organisasi dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan organisasi

dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasaran. Adapun Komaruddin (1994:294)

juga mengungkapkan bahwa Efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukan

tingkat keberhasilan kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah

ditetapkan terlebih dahulu.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat diketahui bahwa efektivitas

merupakan suatu konsep yang sangat penting karena mampu memberikan

gambaran mengenai keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai sasarannya

9
atau dapat dikatakan bahwa efektivitas merupakan tingkat ketercapaian tujuan dari

aktivasi-aktivasi yang telah dilaksanakan dibandingkan dengan target yang telah

ditetapkan sebelumnya. Dari beberapa literatur ilmiah mengemukakan bahwa

efektivitas merupakan pencaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang

tepat dari serangkaian alternative atau pilihan cara dan menentukan pilihan dari

beberapa pilihan lainnya. Efektivitas juga bisa diartikan sebagai pengukuran

keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Sebagai contoh

jika sebuah tugas dapat selesai dengan pemilihan cara-cara yang sudah ditentukan,

maka cara tersebut adalah benar atau efektif.

II.1.1.2 Karakteristik Efektivitas Organisasi

Efektivitas juga dapat diartikan sebagai penggambaran siklus input dan

proses output. Petters dan Waterman mengemukakan tentang karakteristik umum

dari perusahaan-perusahaan efektif, yaitu :

1. Mempunyai bias terhadap setiap tindakan dan penyelesaian pekerjaan yang

dilakukan.

2. Selalu dekat dengan para pelanggan agar dapat mengerti secara penuh apa

yang dibutuhkan oleh para pelanggan.

3. Memberikan tingkat otonomi yang tinggi pada para pegawai serta memupuk

semangat kewirausahaan pegawai tersebut.

4. Berusaha untuk meningkatkan produktivitas lewat partisipasi para pegawai

perusahaan.

10
5. Para pegawai telah mengetahui apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh

perusahaan dan para manajer perusahaan terlibat secara aktif pada masalah

disetiap tingkatan.

6. Selalu berdekatan dengan usaha yang diketahui dan dipahami oleh pegawai

perusahaan.

7. Memiliki struktur organisasi yang bersifat luwes dan sederhana, dengan jumlah

individu-individu yang minimal dalam aktivitas staf yang mendukung bidangnya.

8. Menggabungkan kontrol yang sifatnya ketat dan desentralisasi yang bertujuan

mengamankan nilai-nilai inti perusahaan dengan kontrol yang longgar pada

bagian-bagian lain untuk mendorong pengambilan resiko serta inovasi.

Gibson mengemukakan pula kriteria efektivitas organisasi yang terdiri dari 5

(lima) unsur, yaitu :

1. Produksi. Produksi merupakan kriteria efektivitas yang mengacu pada ukuran

keluaran utama dari organisasi. Ukuran dari produksi mencakup tentang

keuntungan, penjualan, pangsa pasar, dokumen yang diproses, rekanan yang

dilayani, dan sebagainya. Ukuran tersebut memiliki hubungan secarqa langsung

dengan pelanggan dan rekanan organisasi yang bersangkutan.

2 Efisiensi. Efisiensi merupakan kriteria efektivitas mengacu pada ukuran

penggunaan sumber daya yang langka oleh organisasi. Efisiensi merupakan

perbandingan antara keluaran dan masukan. Ukuran efisiensi terdiri dari

keuntungan dan modal, biaya per unit, pemborosan, waktu terluang, biaya per

orang, dan sebagainya. Efisiensi diukur berdasarkan rasio antara keuntungan

dengan biaya atau waktu yang digunakan.

11
3. Kepuasan. Kepuasan merupakan kriteria efektivitas yang mengacu pada

keberhasilan organisasi dalam memenuhi kebutuhan karyawan dan anggota-

anggota perusahaan tersebut. Ukuran dari kepuasan meliputi sikap karyawan,

penggantian karyawan, absensi, kelambanan, keluhan, kesejahteraan dan

sebagainya.

4. Keadaptasian. Keadaptasian merupakan kriteria efektivitas yang mengacu pada

tanggapan organisasi terhadap perubahan eksternal dan internal. Perubahan-

perubahan eksternal seperti persaingan, keinginan para pelanggan, kualitas

produk, dan sebagainya serta perubahan internal seperti ketidakefisienan,

ketidakpuasan, dan sebagainya merupakan adaptasi terhadap lingkungan.

5. Kelangsungan hidup. Kelangsungan hidup merupakan kriteria efektivitas

mengacu pada tanggung jawab organisasi atau perusahaan dalam usaha

memperbesar kapasitas dan potensinya untuk dapat berkembang. Indikator-

indikator yang digunakan ialah produktivitas, efisiensi, kecelakaan, pergantian

pegawai, absensi, kualitas, tingkat keuntungan, moral, dan kepuasan karyawan

atau anggota perusahaan.

12
Stephen P. Robbins (1994 : 55) mengungkapkan kriteria efektivitas

organisasi sebagai berikut:

Tabel 1

Kriteria Keefektifan Organisasi

13
II.1.1.3 Pendekatan Efektivitas

Menurut Martani dan Lubis (1987:55), ada tiga pendekatan dalam mengukur

efektivitas organisasi, yaitu:

1. Pendekatan sumber (resource approach) yakni mengukur efektivitas dari input.

Pendekatan mengutamakan adanya keberhasilan organisasi untuk memperoleh

sumber daya, baik fisik maupun non fisik yang sesuai dengan kebutuhan

organisasi.

2. Pendekatan proses (process approach) adalah untuk melihat sejauh mana

efektivitas pelaksanaan program dari semua kegiatan proses internal atau

mekanisme organisasi.

3. Pendekatan sasaran (goals approach) dimana pusat perhatian pada output,

mengukur keberhasilan organisasi untuk mencapai hasil (output) yang sesuai

dengan rencana.

Steers mengemukakan bahwa efektivitas bersifat abstrak, oleh karena itu

hendaknya efektivitas tidak dipandang sebagai keadaan akhir akan tetapi

merupakan proses yang berkesinambungan dan perlu dipahami bahwa komponen

dalam suatu program saling berhubungan satu sama lain dan bagaimana berbagai

komponen ini memperbesar kemungkinan berhasilnya program.

Gibson (1984:38) mengungkapkan tiga pendekatan mengenai efektivitas yaitu:

1. Pendekatan Tujuan. Pendekatan tujuan untuk mendefinisikan dan mengevaluasi

efektivitas merupakan pendekatan tertua dan paling luas digunakan. Menurut

pendekatan ini, keberadaan organisasi dimaksudkan untuk mencapai suatu

tujuan tertentu. Pendekatan tujuan menekankan peranan sentral dari pencapaian

14
tujuan sebagai kriteria untuk menilai efektivitas serta mempunyai pengaruh yang

kuat atas pengembangan teori dan praktek manajemen dan perilaku organisasi,

tetapi sulit memahami bagaimana melakukannya. Alternatif terhadap pendekatan

tujuan ini adalah pendekatan teori sistem.

2. Pendekatan Teori Sistem. Teori sistem menekankan pada pertahanan elemen

dasar masukan-proses-pengeluaran dan beradaptasi terhadap lingkungan yang

lebih luas yang menopang organisasi. Teori ini menggambarkan hubungan

organisasi terhadap sistem yang lebih besar, dimana organisasi menjadi

bagiannya. Konsep organisasi sebagian suatu sistem yang berkaitan dengan

sistem yang lebih besar memperkenalkan pentingnya umpan balik yang ditujukan

sebagai informasi mencerminkan hasil dari suatu tindakan atau serangkaian

tindakan oleh seseorang, kelompok atau organisasi. Teori sistem juga

menekankan pentingnya umpan balik informasi. Teori sistem dapat disimpulkan:

(1) Kriteria efektivitas harus mencerminkan siklus masukan-proses-keluaran,

bukan keluaran yang sederhana, dan (2) Kriteria efektivitas harus mencerminkan

hubungan antar organisasi dan lingkungan yang lebih besar dimana organisasai

itu berada. Jadi efektivitas organisasi adalah konsep dengan cakupan luas

termasuk sejumlah konsep komponen. (3) Tugas manajerial adalah menjaga

keseimbangan optimal antara komponen dan bagiannya

3. Pendekatan Multiple Constituency. Pendekatan ini adalah perspektif yang

menekankan pentingnya hubungan relatif di antara kepentingan kelompok dan

individual dalam hubungan relatif diantara kepentingan kelompok dan individual

dalam suatu organisasi. Dengan pendekatan ini memungkinkan pentingnya

15
hubungan relatif diantara kepentingan kelompok dan individual dalam suatu

organisasi. Dengan pendekatan ini memungkinkan mengkombinasikan tujuan

dan pendekatan sistem guna memperoleh pendekatan yang lebih tepat bagi

efektivitas organisasi.

Robbins (1994:54) mengungkapkan juga mengenai pendekatan dalam

efektivitas organisasi:

1. Pendekatan pencapaian tujuan (goal attainment approach). Pendekatan ini

memandang bahwa keefektifan organisasi dapat dilihat dari pencapaian

tujuannya (ends) daripada caranya (means). Kriteria pendekatan yang populer

digunakan adalah memaksimalkan laba, memenangkan persaingan dan lain

sebaginya. Metode manajemen yang terkait dengan pendekatan ini dekenal

dengan Manajemen By Objectives (MBO) yaiutu falsafah manajemen yang

menilai keefektifan organisasi dan anggotanya dengan cara menilai seberapa

jauh mereka mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.

2. Pendekatan sistem. Pendekatan ini menekankan bahwa untuk meningkatkan

kelangsungan hidup organisasi, maka perlu diperhatikan adalah sumber daya

manusianya, mempertahankan diri secara internal dan memperbaiki struktur

organisasi dan pemanfaatan teknologi agar dapat berintegrasi dengan lingkungan

yang darinya organisasi tersebut memerlukan dukungan terus menerus bagi

kelangsungan hidupnya.

16
3. Pendekatan konstituensi-strategis. Pendekatan ini menekankan pada pemenuhan

tuntutan konstituensi itu di dalam lingkungan yang darinya orang tersebut

memerlukan dukungan yang terus menerus bagi kelangsungan hidupnya.

4. Pendekatan nilai-nilai bersaing. Pendekatan ini mencoba mempersatukan ke tiga

pendekatan diatas, masing-masing didasarkan atas suatu kelompok nilai.

Masing-masing didasarkan atas suatu kelompok nilai. Masing-masing nilai

selanjutnya lebih disukai berdasarkan daur hidup di mana organisasi itu berada.

II.1.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas

Berdasarkan pendekatan-pendekatan dalam efektivitas organisasi yang telah

dikemukakan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi efektivitas organisasi adalah sebagai berikut: (1) Adanya tujuan yang

jelas, (2) Struktur organisasi. (3) Adanya dukungan atau partisipasi masyarakat, (4)

Adanya sistem nilai yang dianut.

Organisasi akan berjalan terarah jika memiliki tujuan yang jelas. Adanya

tujuan akan memberikan motivasi untuk melaksanakan tugas dan tanggung

jawabnya. Selanjutnya tujuan organisasi mencakup beberapa fungsi diantaranya

yaitu memberikan pengarahan dengan cara menggambarkan keadaan yang akan

datang yang senantiasa dikejar dan diwujudkan oleh organisasi.

17
Faktor-faktor yang mempengaruhi organisasi harus mendapat perhatian yang

seriuas apabila ingin mewujudkan suatu efektivitas. Richard M Steers (1985:209)

menyebutkan empat faktor yang mempengaruhi efektivitas sebagai berikut:

Tabel 2

Faktor-faktor Yang Menunjang Efektivitas

18
Di bawah ini penulis menguraikan empat faktor yang mempengaruhi

efektivitas, yang dikemukakan oleh Richard M Steers (1985:8):

1. Karakteristik Organisasi adalah hubungan yang sifatnya relatif tetap seperti

susunan sumber daya manusia yang terdapat dalam organisasi. Struktur

merupakan cara yang unik menempatkan manusia dalam rangka menciptakan

sebuah organisasi. Dalam struktur, manusia ditempatkan sebagai bagian dari

suatu hubungan yang relatif tetap yang akan menentukan pola interaksi dan

tingkah laku yang berorientasi pada tugas.

2. Karakteristik Lingkungan, mencakup dua aspek. Aspek pertama adalah

lingkungan ekstern yaitu lingkungan yang berada di luar batas organisasi dan

sangat berpengaruh terhadap organisasi, terutama dalam pembuatan keputusan

dan pengambilan tindakan. Aspek kedua adalah lingkungan intern yang dikenal

sebagai iklim organisasi yaitu lingkungan yang secara keseluruhan dalam

lingkungan organisasi.

3. Karakteristik Pekerja merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap

efektivitas. Di dalam diri setiap individu akan ditemukan banyak perbedaan, akan

tetapi kesadaran individu akan perbedaan itu sangat penting dalam upaya

mencapai tujuan organisasi. Jadi apabila suatu rganisasi menginginkan

keberhasilan, organisasi tersebut harus dapat mengintegrasikan tujuan individu

dengan tujuan organisasi.

4. Karakteristik Manajemen adalah strategi dan mekanisme kerja yang dirancang

untuk mengkondisikan semua hal yang di dalam organisasi sehingga efektivitas

tercapai. Kebijakan dan praktek manajemen merupakan alat bagi pimpinan untuk

19
mengarahkan setiap kegiatan guna mencapai tujuan organisasi. Dalam

melaksanakan kebijakan dan praktek manajemen harus memperhatikan manusia,

tidak hanya mementingkan strategi dan mekanisme kerja saja. Mekanisme ini

meliputi penyusunan tujuan strategis, pencarian dan pemanfaatan atas sumber

daya, penciptaan lingkungan prestasi, proses komunikasi, kepemimpinan dan

pengambilan keputusan, serta adaptasi terhadap perubahan lingkungan inovasi

organisasi.

II.1.2 Konsep Pengelolaan

Pengelolaan atau yang sering disebut manajemen pada umumnya sering

dikaitkan dengan aktivitas-aktivitas dalam organisasi berupa perencanaan,

pengorganisasian, pengendalian, pengarahan, dan pengawasan. Istilah manajemen

berasal dari kata kerja to manage yang berarti menangani, memimpin,

membimbing, atau mengatur. Sejumlah ahli memberikan batasan bahwa

manajemen merupakan suatu proses, yang diartikan sebagai usaha yang sistematis

untuk menjalankan suatu pekerjaan. Proses ini merupakan serangkaian tindakan

yang berjenjang, berlanjut dan berkaitan dilakukan untuk mencapai tujuan yang

telah ditetapkan.

George. R.Terry dalam Soewarno Handayaningrat (1981:20) mengatakan

bahwa manajemen merupakan suatu proses yang membeda-bedakan atas

perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan dengan

memanfaatkan baik ilmu maupun seni agar dapat menyelesaikan tujuan yang telah

ditetapkan sebelumnya. Sementara menurut Harold Koontz dan Cyril ODonnel

20
management is getting things done through people. In bringing about this

coordinating of group activity, the manager, as a manager plans, organizes, staffs,

direct and control the activities other people yang dapat diterjemahkan bahwa

manajemen adalah usaha mencapai tujuan tertentu melalui kegiatan orang lain.

Dengan demikian manajer mengadakan koordinasi atau sejumlah aktivitas orang

lain yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, penempatan, pengarahan, dan

pengendalian.

Dari batasan dan pengertian manajemen di atas, terdapat beberapa bagian

manajemen yang meliputi :

1) Unsur sifat, yaitu :

a) Manajemen sebagai suatu seni

b) Manajemen sebagai suatu ilmu

2) Unsur fungsi, yaitu perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan

pengendalian/pengawasan

3) Unsur sasaran, yaitu :

a) Pegawai, yaitu orang yang telah menjadi unsur integral dari organisasi

b) Mekanisme kerja, yaitu cara atau tahapan yang dilakukan organisasi dalam

usaha pencapaian tujuan

4) Unsur tujuan, yaitu hasil akhir yang ingin dicapai dalam organisasi

Untuk lebih jelasnya mengenai fungsi manajemen yang dikemukakan George

R. Terry dalam bukunya Principles of Management yang meliputi perencanaan,

pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan akan dibahas lebih terperinci lagi.

21
1. Perencanaan (Planning)

Perencanaan merupakan landasan pokok dan menjadi salah satu fungsi

manajemen yang memegang peranan penting dalam menjamin tercapainya tujuan

yang diinginkan. Dalam penyusunan rencana yang baik, butuh data dan informasi

yang akurat dari penelitian dan pembuktian lapangan. F.X.Soedjadi dalam syafiie

dkk (1999:76) memberikan definisi perencanaan sebagai proses kegiatan pemikiran,

dugaan, dan penentuan prioritas yang harus dilakukan secara rasiona sebelum

melaksanakan tindakan yang sebenarnya dalam rangja mencapai tujuan yang telah

ditetapkan. Sementara Siagian dalam bukunya Filsafat Administrasi menjelaskan

bahwa perencanaan (planning) adalah keseluruhan proses pemikiran dan

penentuan secara matang tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan

datang dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan.

Widjojo Nitisastro dalam Bintoro (1985:14) juga mengemukakan bahwa

perencanaan pada dasarnya berkisar pada dua hal yaitu:

1) Penentuan secara sadar mengenai tujuan-tujuan konkrit yang hendak dicapai

dalam jangka waktu tertentu atas dasar nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat

yang bersangkutan

2) Pilihan diantara alternatif yang dianggap efektif dan efisien serta rasional guna

mencapai tujuan tersebut

22
Lebih lanjut Bintoro (1985:12) memberikan pengertian perencanaan dalan

tiga hal, yaitu :

1) Perencanaan dalam arti seluas-luasnya adalah suatu proses mempersiapkan

secara sistematis segala kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk

mencapai tujuan tertentu

2) Perencanaan adalah suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaikbaiknya

dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada supaya lebih efektif dan

efisien

3) Perencanaan adalah penentuan tujuan yang akan dicapai atau yang akan

dilakukan bagaimana, kapan dan oleh siapa.

Proses perencanaan dapat ditinjau dari tiga segi, dengan perkataan lain

bahwa fungsi perencanaan dapat dilaksanakan dengan baik melalui tiga cara. Cara-

cara tersebut yaitu pertama, mengetahui sifat-sifat atau ciri-ciri suatu rencana yang

baik. Setelah cirri-ciri itu diketahui lalu diusahakan agar rencana yang dibuat

memenuhi syarat-syarat tersebut. Kedua, memandang proses perencanaan sebagai

suatu rangkaian pertanyaan yang harus dijawab dengan memuaskan. Rudyard

Kipling, sastrawan inggris yang terkenal pernah mengatakan bahwa dalam hidupnya

ia mempunyai enam pelayan yang baik yang bernama : what, where, when, how,

who dan why. Para ahli administrasi dan manajemen telah meminjam konsep

tersebut dan menerapkannya dalam bidang administrasi dan manajemen, dalam hal

ini dalam bidang perencanaan. Ketiga, memandang proses perencanaan sebagai

suatu masalah yang harus dipecahkan dengan mempergunakan teknik-teknik ilmiah.

Dalam menerapkan prinsip-prinsip pemecahan masalah dengan teknik ilmiah,

23
pimpinan dapat pula menciptakan suatu rencana yang baik, dengan perkataan lain

pembuatan suatu rencana dapat dippandang sebagai masalah yang harus

terpecahkan dengan sistematis.

2. Pengorganisasian (Organizing)

Pengorganisasian merupakan proses penyusunan struktur organisasi yang

sesuai dengan tujuan organisasi, sumber daya-sumber daya yang dimilikinya, dan

lingkungan yang melingkupinya. Menurut Siagian, pengorganisasian adalah

keseluruhan proses pengelompokan orang-orang, alat-alat, tugas-tugas, tanggung

jawab, dan wewenang sedemikian rupa sehingga tercipta suatu organisasi yang

dapat digerakkan sebagai suatu kesatuan dalam rangka pencapaian tujuan yang

telah ditentukan. Pengorganisasian (organizing) dilakukan dengan tujuan membagi

suatu kegiatan besar menjadi kegiatankegiatan yang lebih kecil. Pengorganisasian

mempermudah manajer dalam melakukan pengawasan dan menentukan orang

yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah dibagi-bagi tersebut.

Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara menentukan tugas apa yang harus

dikerjakan, siapa yang harus mengerjakannya, bagaimana tugas-tugas tersebut

dikelompokkan, siapa yang bertanggung jawab atas tugas tersebut, pada tingkatan

mana keputusan harus diambil. Dua aspek utama proses susunan struktur

organisasi yaitu departementalisasi dan pembagian kerja. Departementalisasi

adalah pengelompokkan kegiatan-kegiatan kerja organisasi agar kegiatan-kegiatan

sejenis saling berhubungan dapat dikerjakan bersama. Hal ini akan tercermin pada

struktur formal suatu organisasi dan tampak atau ditunjukkan oleh bagan suatu

organisasi.

24
Pembagian kerja adalah perincian tugas pekerjaan agar setiap individu pada

organisasi bertanggung jawab dalam melaksanakan sekumpulan kegiatan. Kedua

aspek ini merupakan dasar proses pengorganisasian suatu organisasi untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efisien dan efektif. Pengorganisasian

merupakan suatu proses untuk merancang struktur formal mengelompokan dan

mengatur serta membagi tugas-tugas atau pekerjaan diantara para anggota

organisasi dapat dicapai dengan efisien. Ada beberapa aspek penting dalam proses

pengorganisasian, yaitu :

1. Bagan organisasi formal

2. Pembagian kerja

3. Departementalisasi

4. Rantai perintah atau kesatuan perintah

5. Tingkat-tingkat hirarki manajemen

6. Saluran komunikasi

7. Rentang manajemen dan kelompok informal yang dapat dihindarkan.

Proses pengorganisasian terdiri dari tiga tahap, yaitu :

1. Perincian seluruh pekerjaan yang harus dilaksanakan setiap individu dalam

mencapai tujuan organisasi.

2. Pembagian beban pekerjaan menjadi kegiatan-kegiatan yang secara logika

dapat dilaksanakan oleh setiap individu. Pembagian kerja sebaiknya tidak

terlalu berat sehingga tidak dapat diselesaikan, atau terlalu ringan sehingga

ada waktu menganggur, tidak efisien dan terjadi biaya yang tidak perlu.

25
3. Pengadaan dan pengembangan mekanisme kerja sehingga ada koordinasi

pekerjaan para anggota organisasi menjadi kesatuan yang terpadu dan

harmonis. Mekanisme pengkoordinasian ini akan membuat para anggota

organisasi memahami tujuan organisasi dan mengurangi ketidak efisiensian

dan konflik.

3. Penggerakan (Actuating)

Penggerakan merupakan hubungan manusia dalam kepemimpinan yang

mengikat para bawahan agar bersedia mengerti dan menyumbangkan tenaganya

secara efektif serta efisien dalam pencapaian tujuan suatu organisasi. Di dalam

manajemen, pengarahan ini bersifat sangat kompleks karena disamping

menyangkut manusia juga menyangkut berbagai tingkah laku dari manusiamanusia

itu sendiri. Manusia dengan berbagai tingkah lakunya yang berbeda-beda. Ada

beberapa prinsip yang dilakukan oleh pimpinan perusahaan dalam melakukan

pengarahan yaitu :

1. Prinsip mengarah kepada tujuan

2. Prinsip keharmonisan dengan tujuan

3. Prinsip kesatuan komando

Pada umumnya pimpinan menginginkan pengarahan kepada bawahan

dengan maksud agar mereka bersedia untuk bekerja sebaik mungkin, dan

diharapkan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip di atas. Cara-cara pengarahan

yang dilakukan dapat berupa :

1. Orientasi merupakan cara pengarahan dengan memberikan informasi yang

perlu supaya kegiatan dapat dilakukan dengan baik.

26
2. Perintah merupakan permintaan dari pimpinan kepada orang yang berada di

bawahnya untuk melakukan atau mengulangi suatu kegiatan tertentu pada

keadaan tertentu.

3. Delegasi wewenang. Dalam pendelegasian wewenang ini pimpinan

melimpahkan sebagian dari wewenang yang dimilikinya kepada bawahannya.

4. Pengawasan (Controlling)

Pengawasan merupakan fungsi manajemen yang dimaksudkan untuk

mengetahui apakah pelaksanaan sesuai dengan rencana yang telah disusun

sebelumnya, dalam artian pengawasan membandingkan antara kenyataan dengan

standar yang telah ditentukan sebelumnya. Pengawasan juga dimaksudkan untuk

mencegah dan mengadakan koreksi atau pembetulan apabila pelaksanaan

menyimpang dari rencana yang telah disusun. Terdapat berbagai definisi

pengawasan yang diberikan oleh para ahli, menurut Siagian dalam syafiie dkk

(1999:83) bahhwa pengawasan merupakan proses pengamatan dari pelaksanaan

seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar seluruh pekerjaan yang

diaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Sementara

menurut Siswanto Sastrohadiwiryo ( 2003:26) pengawasan merupakan suatu proses

dan rangkaian kegiatan untuk mengusahakan agar suatu pekerjaan dapat

dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkandan tahapan yang harus

dilalui.

Pengawasan mutlak diperlukan agar dalam pelaksanaannya seminimal

mungkin dapat dihindari segala ketimpangan dari apa yang telah disusun

27
sebelumnya. Soewarno handayaningrat (1981:144) menjelaskan fungsi pengawasan

sebagai berikut :

a) Mempertebal rasa tanggung jawab terhadap pejabat yang diserahi tugas dan

wewenang dalam pelaksanaan pekerjaan

b) Mendidik para pejabat agar mereka melaksanakan pekerjaannya sesuai

dengan prosedur yang telah ditentukan

c) Untuk mencegah terjadinya penyimpangan, kelalaian, dan kelemahan agar

tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan

d) Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan agar pelaksanaan tidak

mengalami hambatan pemborosan

Proses pengawasan pada dasarnya dilaksanakan oleh manajemen dengan

mempergunakan dua macam teknik, yaitu :pengawasan langsung (direct control)

dan pengawasan tidak langsung (indirect control). Yang dimaksud dengan

pengawasan langsung adalah apabila pimpinan organisasi melakukan sendiri

pengawasan terhadap kegiatan yang sedang dijalankan oleh para bawahannya.

Pengawasan langsung ini dapat berbentuk inspeksi langsung, on the spot

observation dan on the spot report. Akan tetapi karena banyaknya dan kompleksnya

tugas seorang pimpinan terutama dalam organisasi yang besar maka seorang

pimpinan tidak mungkin dapat selalu menjalankan pengawasan langsung sehingga

pimpinan sering pula melakukan pengawasan yang bersifat tidak langsung. Yang

dimaksud dengan pengawasan tidak langsung adalah pengawasan dari jarak jauh.

Pengawasan ini dilakukan melalui laporan yang disampaikan oleh para bawahan.

Laporan tersebut dapat berbentuk tertulis dan lisan. Kelemahan dari pengawasan

28
tidak langsung itu adalah bahwa para bawahan seringkali hanya melaporkan hal-hal

yang positif saja, padahal seorang pimpinan yang baik akan menuntun bawahannya

untuk melaporkan hal-hal baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif.

Pengawasan tidak akan dapat berjalan dengan baik apabila hanya bergantung pada

laporan saja, karena itu pengawasan tidak langsung saja tidak cukup. Adalah

kebijaksanaan apabila pimpinan organisasi menggabungkan teknik pengawasan

langsung dan pengawasan tidak langsung dalam melakukan fungsi pengawasan.

II.1.3 Konsep Administrasi Perpajakan

II.1.3.1 Pengertian Administrasi

Administrasi menurut pendapat A. Dunsire yang telah dikutip oleh Donovan

dan Jackson (1991) dikemukakan kembali oleh Yeremias T. Keban yaitu bahwa:

Administrasi diartikan sebagai arahan, pemerintahan, kegiatan, implementasi,

mengarahkan, penciptaan prinsip-prinsip implementasi kebijakan, kegiatan

melakukan analisis, menyeimbangkan dan mempresentasikan keputusan,

pertimbangan-pertimbangan kebijakan, sebagai pekerjaan individual dan kelompok

dalam menghasilkan barang dan jasa publik, dan sebagai arena bidang kerja

akademik dan teoritis.

Mengutip pendapat Trecker, administrasi merupakan suatu proses yang

dinamis dan berkelanjutan, yang digerakkan dalam rangka mencapai tujuan dengan

cara memanfaatkan orang dan material melalui koordinasi dan kerjasama. Definisi-

definisi di atas menunjukkan beberapa batasan istilah administrasi yang secara

langsung menepis anggapan bahwa administrasi selalu diartikan sebagai kegiatan

29
ketatausahaan yang berkaitan dengan pekerjaan mengatur berkas, membuat

laporan administratif, dan sebagainya. Mengutip Chandler and Plano, dalam The

Public Aministration Dictionary, definisi administrasi adalah proses dimana

keputusan dan kebijakan diimplementasikan

II.1.3.2 Pengertian Pajak

Definisi pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, (1994) guru besar

dalam Hukum Pajak pada Universitas Padjajaran, Bandung, seperti dikutip oleh Safri

Nurmantu, yaitu: Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan

dari sektor partikulir ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-undang (dapat

dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestasi), yang langsung

dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.

Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-Undang

dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat

ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Pajak

memiliki peranan yang sangat penting bagi penerimaan negara. Unsur-unsur pokok

dari definisi di atas, yaitu: (1) iuran atau pungutan, (2) dipungut berdasarkan

Undang-undang, (3) pajak dapat dipaksakan, (4) tidak menerima atau memperoleh

kontraprestasi, dan (5) untuk membiayai pengeluaran umum Pemerintah.

II.1.3.3 Pengertian Administrasi Perpajakan

Menurut Ensiklopedi perpajakan yang ditulis oleh Sophar Lumbantoruan,

Administrasi perpajakan (Tax Administration) ialah cara-cara atau prosedur

30
pengenaan dan pemungutan pajak. Mengenai peran administrasi perpajakan,

Liberty Pandiangan mengemukakan bahwa administrasi perpajakan diupayakan

untuk merealisasikan peraturan perpajakan dan penerimaan negara sebagaimana

amanat APBN. De Jantscher (1997) seperti dikutip Gunadi, menekankan peran

penting administrasi perpajakan dengan menuju pada kondisi terkini, dan

pengalaman di berbagai negara berkembang, kebijakan perpajakan (tax policy) yang

dianggap baik (adil dan efisien) dapat saja kurang sukses menghasilkan penerimaan

atau mencapai sasaran lainnya karena administrasi perpajakan tidak mampu

melaksanakannya.

Menurut Carlos A. Silvani (1992) seperti dikutip Gunadi, administrasi pajak

dikatakan efektif bila mampu mengatasi masalah-masalah:

1) Wajib Pajak yang tidak terdaftar (unregistered taxpayers).

Artinya sejauh mana administrasi pajak mampu mendeteksi dan mengambil

tindakan terhadap anggota masyarakat yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak

walau seharusnya yang bersangkutan sudah memenuhi ketentuan untuk menjadi

Wajib Pajak. Penambahan jumlah Wajib Pajak secara signifikan akan

meningkatkan jumlah penerimaan pajak. Penerapan sanksi yang tegas perlu

diberikan terhadap mereka yang belum mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak

padahal sebenarnya potensial untuk itu.

2) Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT).

Menyikapi Wajib Pajak yang sudah terdaftar tetapi tidak menyampaikan Surat

Pemberitahuan (SPT), atau disebut juga stop filing taxpayers, misalnya dengan

melakukan pemeriksaan pajak untuk mengetahui sebab-sebab tidak

31
disampaikannya Surat Pemberitahuan (SPT) tersebut. Kendala yang mungkin

dihadapi adalah terbatasnya jumlah tenaga pemeriksa.

3) Penyelundup pajak (tax evaders)

Penyelundup pajak (tax evaders) yaitu Wajib Pajak yang melaporkan pajak lebih

kecil dari yang seharusnya menurut ketentuan perundang-undangan.

Keberhasilan sistem self assessment yang memberi kepercayaan sepenuhnya

kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan

melaporkan sendiri pajak yang terutang, sangat tergantung dari kejujuran Wajib

Pajak. Tidak mudah untuk mengetahui apakah Wajib Pajak melakukan

penyelundupan pajak atau tidak. Dukungan adanya bank data tentang Wajib

Pajak dan seluruh aktivitas usahanya sangat diperlukan.

4) Penunggak pajak (delinquent tax pavers).

Dari tahun ke tahun tunggakan pajak jumlahnya semakin besar. Upaya pencairan

tunggakan pajak dilakukan melalui pelaksanaan tindakan penagihan secara

intensif.

Apabila kebijakan perpajakan yang ada mampu mengatasi masalah-masalah

di atas secara efektif, maka administrasi perpajakannya sudah dapat dikatakan baik

sehingga Tax ratio akan meningkat. Dasar bagi terwujudnya suatu administrasi

pajak yang baik adalah diterapkannya prinsip-prinsip manajemen modern yaitu

Planning, Organizing, Actuating dan Controlling, terdapatnya kebijakan perpajakan

yang jelas dan sederhana sehingga memudahkan Wajib Pajak untuk melaksanakan

kewajibannya, tersedianya Pegawai Pajak yang berkualitas dan jujur serta

pelaksanaan penegakan hukum yang tegas dan konsisten.

32
Menurut Gunadi, dalam menilai seberapa baik kemampuan administrasi

perpajakan dalam mengumpulkan penerimaan, perlu diingat sasaran administrasi

pajak yakni meningkatkan kepatuhan pembayar pajak dan melaksanakan ketentuan

perpajakan secara seragam untuk mendapatkan penerimaan maksimal dengan

biaya optimal. Mengutip de Jantscher (1996) dikemukakan bahwa keadilan

merupakan salah satu elemen yang dapat membantu meningkatkan kepercayaan

masyarakat atas sistem perpajakan dan selanjutnya meningkatkan kepatuhan

sukarela masyarakat pembayar pajak.

Setelah memperoleh kepercayaan masyarakat serta pengertian dan

dukungan rakyat banyak, administrasi pajak baru dapat dianggap sehat (sound).

Toshiyuki (2001) seperti dikutip Gunadi menyatakan bahwa untuk mencapai hal

tersebut, disyaratkan beberapa kondisi administrasi perpajakan seperti berikut:

Pertama, administrasi pajak harus dapat mengamankan penerimaan negara. Kedua,

harus berdasarkan peraturan perundang-undangan dan transparan. Ketiga, dapat

merealisasikan perpajakan yang sah dan adil sesuai ketentuan dan menghilangkan

kesewenang-wenangan, arogansi, dan perilaku yang dipengaruhi kepentingan

pribadi. Keempat, dapat mencegah dan memberikan sanksi serta hukuman yang

adil atas ketidakjujuran dan pelanggaran serta penyimpangan. Kelima, mampu

menyelenggarakan sistem perpajakan yang efisien dan efektif. Keenam,

meningkatkan kepatuhan pembayar pajak. Ketujuh, memberikan dukungan terhadap

pertumbuhan dan pembangunan usaha yang sehat masyarakat pembayar pajak.

Kedelapan, dapat memberikan kontribusi atas pertumbuhan demokrasi masyarakat.

33
II.1.3.4 Reformasi Administrasi Perpajakan

Menurut Gunadi reformasi perpajakan meliputi dua area, yaitu reformasi

kebijakan pajak (tax policy) yaitu regulasi atau peraturan perpajakan yang berupa

undang-undang perpajakan dan reformasi administrasi perpajakan. Reformasi

administrasi memiliki tujuan utama untuk memberikan pelayanan kepada

masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Kedua, untuk meng-

administrasikan penerimaan pajak sehingga transparansi dan akuntabilitas

penerimaan sekaligus pengeluaran pembayaran dana dari pajak setiap saat bisa

diketahui. Yang ketiga, memberikan suatu pengawasan terhadap pelaksanaan

pemungutan pajak, terutama adalah kepada aparat pengumpul pajak, kepada Wajib

Pajak, ataupun kepada masyarakat pembayar pajak.

Mengenai reformasi administrasi, Gerald E. Caiden (1969) seperti dikutip

oleh Soesilo Zuhar, mengemukakan bahwa reformasi administrasi didefiniskan

sebagai:

the artificial inducement of administration transformation against resistance.

Definisi dari Caiden ini mengandung beberapa implikasi: (1) reformasi administrasi

merupakan kegiatan yang dibuat oleh manusia (manmade) tidak bersifat eksidental,

otomatis maupun alamiah, (2) reformasi administrasi merupakan suatu proses, (3)

resistensi beriringan dengan proses reformasi administrasi.

Menurut Chaizi Nasucha, reformasi administrasi perpajakan adalah

penyempurnaan atau perbaikan kinerja administrasi, baik secara individu, kelompok,

maupun kelembagaan agar lebih efisien, ekonomis, dan cepat. Bird dan Jantscer

(1992) seperti dikutip Chaizi Nasucha, mengemukakan bahwa agar reformasi

34
administrasi perpajakan dapat berhasil, dibutuhkan: (1) struktur pajak

disederhanakan untuk kemudahan, kepatuhan, dan administrasi, (2) strategi

reformasi yang cocok harus dikembangkan, (3) komitmen politik yang kuat terhadap

peningkatan administrasi perpajakan.

Menurut Guillermo Perry dan John Walley, di negara-negara berkembang

dimana sistem pajaknya kuat dan struktur pajak telah ditetapkan, reformasi

perpajakan mengacu pada usaha peningkatan administrasi perpajakan. Eke (2001)

seperti dikutip Chaizi Nasucha mengemukakan bahwa isu keberhasilan reformasi

administrasi perpajakan kedepan adalah kapasitas administrasi perpajakan dalam

mengimplementasikan struktur perpajakan secara efisien dan efektif. Hal ini

meliputi pengembangan sumber daya manusia, teknologi informasi, struktur

organisasi, proses dan prosedur, serta sumber daya financial dan insentif yang

cukup. Sasaran administrasi pajak yakni: (1) meningkatkan kepatuhan para

pembayar pajak, dan (2) melaksanakan ketentuan perpajakan secara seragam

untuk penerimaan maksimal dengan biaya yang optimal. Efektivitas administrasi

pajak bukanlah satu-satunya indikator kepatuhan pajak, di negara-negara yang

memiliki derajat ketidakpatuhan wajib pajaknya tinggi, kemampuan administrasi

pajak untuk memungut pajak yang efektif merupakan kunci pembentukan perilaku

pembayar pajak.

Menurut Gunadi administrasi perpajakan dituntut bersifat dinamik sebagai

upaya peningkatan penerapan kebijakan perpajakan yang efektif. Kriteria fisibilitas

administrasi menuntut agar sistem pajak baru meminimalisir biaya administrasi

(administrative cost) dan biaya kepatuhan (compliance cost) serta menjadikan

35
administrasi pajak sebagai bagian dari kebijakan pajak. Tanzi dan Pallechio (1995)

dalam Ott (2001) seperti dikutip Chaizi Nasucha berkenaan dengan elemen dasar

reformasi administrasi perpajakan dinyatakan syarat-syarat sebagai berikut: (1)

komitmen politik yang berkelanjutan; (2) staf yang mampu berkonsentrasi terhadap

pekerjaan dalam jangka panjang; (3) strategi yang tepat dan didefinisikan dengan

baik karena tidak ada strategi yang cocok untuk semua negara; (4) pendidikan dan

pelatihan pegawai; (5) tersedia dana dan sumber daya lain yang cukup.

Dua tugas utama reformasi administrasi perpajakan menurut Chaizi Nasucha

dengan mengutip Ott (2001) adalah untuk mencapai efektivitas yang tinggi, yaitu

kemampuan untuk mencapai tingkat kepatuhan yang tinggi dan efisiensi berupa

kemampuan untuk membuat biaya admninistrasi per unit penerimaan pajak sekecil-

kecilnya. Efektivitas dan efisiensi kadang-kadang menciptakan kontradiksi sehingga

diperlukan koordinasi, diperlukan ukuran-ukuran khusus untuk meningkatkan

efektivitas dan efisiensi administrasi perpajakan.

Dalam meningkatkan efektivitas digunakan ukuran (1) kepatuhan pajak

sukarela, (2) prinsip-prinsip self assesment, (3) menyediakan informasi kepada wajib

pajak, (4) kecepatan dalam menemukan masalah-masalah yang berhubungan

dengan Surat Pemberitahuan (SPT) dan pembayaran, (5) peningkatan dalam kontrol

dan supervisi, (6) sanksi yang tepat. Dalam meningkatkan efisiensi dalam

administrasi perpajakan secara khusus dapat distimulasi oleh: (1) penyediaan unit-

unit khusus untuk perusahaan besar; (2) peningkatan perpajakan khusus untuk

wajib pajak kecil, (3) penggunaan jasa perbankan untuk pemungutan pajak, dan

lain-lain.

36
Chaizi Nasucha menambahkan bahwa reformasi administrasi perpajakan

dapat dilaksanakan tanpa melakukan reformasi perpajakan, yaitu untuk

mensinergikan faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kinerja organisasi.

Lingkungan eksternal yang dimaksud adalah kebijakan fiskal, antara lain item-item

yang tidak dimasukkan dalam dasar pengenaan pajak, pembelanjaan dan

pelayanan publik. Dalam ekonomi yang mulai berkembang, administrasi perpajakan

harus difokuskan kepada wajib pajak besar secara maksimal dan memberikan

kontribusi kepada wajib pajak kecil.

Dengan mendasarkan pada teori Caiden (1991), menurut Chaizi Nasucha,

empat dimensi reformasi administrasi perpajakan, yaitu:

1) Struktur organisasi.

Mengutip Adiwisatra (1998), dijelaskan Chaizi Nasucha bahwa struktur organisasi

adalah unsur yang berkaitan dengan pola-pola peran yang sudah ditentukan dan

hubungan antar peran, alokasi kegiatan kepada sub unit-sub unit terpisah,

pendistribusian wewenang diantara posisi administratif, dan jaringan komunikasi

formal.

2) Prosedur organisasi.

Prosedur organisasi berkaitan dengan proses komunikasi, pengambilan

keputusan, pemilihan prestasi, sosialisasi dan karier. Pembahasan dan

pemahaman prosedur organisasi berpijak pada aktivitas organisasi yang

dilakukan secara teratur.

3) Strategi organisasi. Strategi organisasi dipandang sebagai siasat, sikap

pandangan dan tindakan yang bertujuan memanfaatkan segala keadaan, faktor,

37
peluang, dan sumber daya yang ada sedemikian rupa sehingga tujuan organisasi

dapat dicapai dengan berhasil dan selamat. Strategi berkembang dari waktu ke

waktu sebagai pola arus keputusan yang bermakna.

4) Budaya organisasi.

Budaya organisasi didefinisikan sebagai sistem penyebaran kepercayaan dan

nilai-nilai yang berkembang dalam organisasi dan mengarahkan perilaku

anggota-anggotanya. Budaya organisasi mewakili persepsi umum yang dimiliki

oleh anggota organisasi.

II.1.4 Pajak Bumi dan Bangunan

II.1.4.1 Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan

Pengertian PBB menurut UUPBB adalah iuran yang dikenakan terhadap

pemilik, pemegang kekuasaan, penyewa dan yang memperoleh manfaat dari bumi

dan atau bangunan. Pengertian Bumi disini adalah termasuk permukaan bumi dan

tubuh bumi yang ada dibawahnya. Bumi menunjuk pada permukaan bumi meliputi

tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Bangunan adalah

konstruksi teknik yang ditanam atau diletakan secara tetap pada tanah dan atau

perairan dan digunakan sebagai tempat tinggal atau tempat berusaha.

Dari peranan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian PBB adalah iuran

yang dikenakan terhadap orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak,

memiliki, menguasai dan memperoleh manfaat dari bumi dan bangunan. Pajak ini

pemungutannya dilakukan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini dilakukan oleh Ditjen

Pajak yang dalam pelaksanaanya senantiasa bekerja sama dengan pemerintah

38
daerah. Keterlibatan pemda dikarenakan persentase pembagian hasil

penerimaannya sebagian besar dialokasiakan ke pemerintah daerah. Pemungutan

dan pengalokasian PBB oleh pusat dikarenakan agar adanya keseragaman dan

keadilan dalam pemajakannya. Hal ini karena pemerintah pusat bertindak sebagai

pengatur agar pemerintah daerah tidak memutuskan PBB atas kemauannya sendiri.

II.1.4.2 Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang saat ini dikenal oleh masyarakat luas

sebagai pajak atas pemilikan dan pemanfaatan bumi dan bangunan di Indonesia

merupakan perubahan atas berbagai jenis pajak atas bumi (dan juga bangunan)

yang sebelum tahun 1986 diberlakukan d Indonesia. Dalam sejarah panjang bangsa

Indonesia, pajak atas bumi dapat dikatakan sebagai jenis pungutan (pajak) yang

paling tua.

Pada masa prasejarah (sebelum adanya kerajaan-kerajaan hindu di

Indonesia) rakyat sudah mulai dibebani dengan persembahan upeti atau

penyerahan wajib dalam bentuk natura kepada para penguasa sebagai tanda

pengakuan atas kepemimpinan dan bukti rasa syukur atas pengayoman dari

penguasa tersebut. Yang menjadi objek pemungutan pajak adalah harta berharga

dari masyarakat agraris pada masa itu yaitu tanah pertanian.

R.Saban 2006 (dalam Marihot 2009 : 2)

39
II.1.4.3 Subjek Pajak Bumi dan Bangunan

Subjek PBB menurut Pasal 4 UUPBB adalah orang atau badan yang secara

nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi,

dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan.

Selanjutnya dapat dirinci, bahwa yang dimaksud subjek pajak sebagaimana

dimaksudkan diatas adalah terdiri dari orang atau badan yang:

a. Memiliki atau mempunyai hak atas bumi dan atau bangunan:

1) Memiliki atau mempunyai hak atas bumi (tanah) saja;

2) Memiliki atau mempunyai hak atas bangunan saja; dan

3) Memiliki atau mempunyai hak atas bumi (tanah dan bangunan).

b. Menguasai bumi dan atau bangunan:

1) Menguasai bumi (tanah) saja;

2) Menguasai bangunan saja; dan

3) Menguasai bumi (tanah) dan bangunan;

c. Memperoleh manfaat atas bumi dan atau bangunan:

1) Memperoleh manfaat atas bumi (tanah) saja;

2) Memperoleh manfaat atas bangunan saja; dan

3) Memperoleh manfaat atas bumi (tanah) dan bangunan

Berdasarkan rincian diatas, dapat disimpulkan bahwa subjek PBB adalah:

a. Pemilik;

b. Pemegang kekuasaan;

c. Penyewa atau sebagainya.

40
Subjek pajak sebagaimana diuraikan diatas, adalah pihak yang berkewajiban

mendapatkan objek pajak dan membayar PBB. Dalam hal ini disebut wajib pajak.

Terhadap objek pajak yang belum jelas wajib pajaknya, UUPBB memberikan

wewenang pada Ditjen pajak untuk menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak.

Sebagai keseimbangan, UUPBB memberikan hak kepada subjek pajak yang telah

ditetapkan sebagai wajib pajak untuk dapat memberikan keterangan secara tertulis

kepada Ditjen pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak dimaksud.

Atas keberatan tersebut dalam waktu sebulan sejak diterimanya surat keterangan ini

Ditjen pajak akan mengeluarkan surat keputusan disertai dengan alasan-alasannya.

( Pasal 4 UUPBB).

Dapat disimpulkan bahwa subyek Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang

atau badan yang secara jelas dan nyata mempunyai suatu hak bumi, dan/atau

memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau

memperoleh manfaat atas bengunan misalnya : Pemilik, Penyewa, Pemegang

Kuasa. Jadi subyek pajaklah yang menjadi wajib pajak yang berkewajiban untuk

membayar pajaknya.

II.1.4.4 Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) UU PBB, yang menjadi Objek PBB adalah

bumi dan atau bangunan, permukaan bumi, tanah (perairan) dan tubuh bumi yang

ada dibawahnya. Sedangkan bangunan yang juga dijadikan objek PBB adalah

konstruksi teknik yang ditanam atau diletakan secara tetap pada tanah dan atau

perairan.

41
Selanjutnya penjelasan dari Pasal 1 Angka (2) UUPBB, menguraikan lebih

lanjut mengenai pengertian bangunan yang menjadi objek PBB adalah :

a. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu komplek suatu bangunan seperti

hotel, pabrik, dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan

dengan kompleks bangunan tersebut;

b. Jalan TOL;

c. Kolam renang;

d. Pagar mewah;

e. Tempat olahraga;

f. Galangan kapal;

g. Dermaga;

h. Taman mewah;

i. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas;

j. Pipa minyak;

k. Fasilitas lain yang memberi manfaat

Dalam rangka memberikan manfaat kepada pemerintahan atau berupaya

dalam pelaksanaan pemungutan PBB secara adil maka undang-undang

memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur tentang

klasifikasi objek pajak. Yang dimaksud dengan klasifikasi objek bumi dan bangunan

adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan

sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak terhutang.

Menurut Mardiasmo (2002:271) dalam menentukan klasifikasi bumi dan

bangunan, Menteri Keuangan harus memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:

42
a. Bumi/tanah:

1) Letak;

2) Peruntukan;

3) Pemanfaatan;

4) Kondisi;

b. Bangunan:

1) Bahan yang digunakan;

2) Rekayasa;

3) Letak;

4) Kondisi lingkungan dan lain-lain;

Objek PBB yang tidak dikenakan PBB pasal 3 UUPBB yaitu objek pajak

yang :

a. Digunakan semata-semata untuk melayani kepentingan umum yang tidak

dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;

b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;

c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,

tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum

dibebani oleh suatu hak;

d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsultan berdasarkan asas perlakuan

timbal balik;

e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan

oleh menteri keuangan;

f. Objek pajak digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan;

43
g. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan paling

besar Rp.12.000.000 (dua belas juta rupiah) untuk setiap Wajib pajak.

Selain itu, adapun objek pajak yang dimiliki oleh pemerintah. Objek pajak

yang dimiliki, dikuasai atau digunakan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah

untuk menyelenggarakan berlangsungnya pemerintahan. Dalam hal ini karena Pajak

Bumi dan Bangunan merupakan pajak Negara yang sebagian besar penerimaanya

merupakan pendapatan daerah yang dipergunakan unutk menyediakan fasilitas-

fasilitas yang dinikmati oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, maka

merupakan suatu kewajaran jika Pemerintah Pusat membayar penggunaan fasilitas-

fasilitas tersebut dengan mambayar Pajak Bumi dan Bangunan. Ketentuannya

adalah sebagai berikut :

1) Rumah-rumah Dinas yang dihuni oleh pegawai Instansi Pemerintah tersebut

pembayaran PBB-nya adalah kewajiban penghuni yang bersangkutan.

2) Rumah-rumah Dinas Instansi Pemerintah yang kosong pembayaran PBB-nya

adalah kewajiban Instansi yang bersangkutan.

3) Rumah-rumah Peristirahatan milik Instansi Pemerintah, pembayaran PBB-nya

adalah kewajiban Instansi yang bersangkutan.

II.1.4.5 Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan

a. UU No 12 Tahun 1985 tentang PBB

b. PP No 46 Tahun 1985 tentang persentase NJKP pada PBB

c. Kep. Menkeu No. 1002/KMK.04/1985 tentang Tata cara pendaftaran Objek Pajak

PBB

44
d. Kep. Menkeu No. 1003/KMK.04/1985 tentang penuntun klasifikasi dan besarnya

NJOP sebagai dasar pengenaan PBB

e. Kep. Menkeu No. 1006/KMK.04/1985 tentang tata cara penagihan PBB dan

penunjukan pejabat yang berwenang mengeluarkan Surat Paksa

f. Kep. Menkeu No. 1007/KMK.04/1985 tentang pelimpahan Wewenang penagihan

PBB kepada Gubernur Kepala Daerah TK I dan/atau Bupati/Walikota Madya

Kepala Daerah TK II

g. Kep. Gubernur DKI Jakarta No. 816 Tahun 1989 tentang petunjuk pelaksanaan

pemungutan PBB di Wilayah DKI Jakarta

h. UU No. 12 tahun 1994

Peraturan perpajakan tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

telah beberapa kali mengalami perubahan, yang terakhir adalah Undang-Undang No.

28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Perubahan-

perubahan yang terjadi tercermin dari ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem

dan mekanisme pemungutan pajak. Sistem pemungutan pajak di Indonesia adalah

sebagai berikut:

1. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban, dan

peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung bersama-sama melaksanakan

kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan

pembangunan nasional.

2. Tanggung jawab dan kewajiban pelaksanaan pajak sebagai pencerminan

kewajiban di bidang perpajakan berada pada Wajib Pajak sendiri.

45
3. Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan

nasional melalui sistem menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak

yang terutang.

II.1.4.6 Surat Pemberitahuan Obyek pajak ( SPOP )

Tujuan dilakukan pendataan adalah untuk melengkapi data, baik data obyek

maupun subyek pajak. Pendataan yang dimaksudkan di atas tentunya juga akan

meliputi pekerjaan-pekerjaan :

1) Pemetaan

2) Klasifikasi / Penilaian

3) Identifikasi / Rincikan

4) Verifikasi

5) Pengolahan data, dan

6) Pembukuan.

Hal tersebut penting adanya untuk menunjang keakuratan data yang

diperlukan, baik oleh aparat pajak maupun wajib pajak itu sendiri. Dalam rangka

meningkatkan atau menggali potensi pokok ketetapan dan penerimaan PBB yang

seoptimal mungkin, perlu diadakan suatu pendataan untuk menjaring obyek PBB

yang seluas-luasnya melalui pemeberian SPOP kepada para subyek pajak. Dalam

kenyataanya, sehubungan dengan pengisian SPOP oleh para wajib pajak mungkin

saja terjadi hal-hal sebagai berikut :

1) Wajib Pajak mengisi SPOP dengan benar dan mengembalikannya sesuai batas

waktu yang ditentukan.

46
2) Wajib Pajak mengisi SPOP dengan benar, tetapi terlambat mengembalikannya.

3) Wajib Pajak mengisi SPOP tidak lengkap / tidak benar secara disengaja ataupun

tidak disengaja dan mengembalikannya sesuai batas waktu yang ditentukan.

4) Wajib Pajak mengisi SPOP tidak lengkap / tidak benar secara disengaja ataupun

tidak disengaja dan mengembalikannya terlambat.

5) Wajib Pajak tidak mengembalikan SPOP.

II.1.4.7 SPT Masa, SPT Tahunan dan Prosedur Pembayaran PBB

Surat pemberitahuan ( SPT ) adalah surat yang oleh WP digunakan untuk

melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan ( Pasal 1 angka 10 UU KUP ).

1. Fungsi SPT

Fungsi SPT bagi WP PPh ( Pajak Penghasilan ) adalah sebagai sarana

untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang

sebenarnya terutang dan melaporkan tentang :

1) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau

melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu tahun pajak, atau

bagian tahun pajak;

2) Pembayaran dari pemotongan atau pemungut tentang pemotongan atau

pemungutan orang pribadi atau badan lain dalam satu tahun pajak yang

ditentukan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

47
Fungsi SPT bagi WP PKP ( Pengusaha Kena Pajak ) adalah sebagai sarana

untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau

dipungut dan menyetorkan pajak yang terutang.

2. Jenis SPT

Berdasarkan kewajiban dalam penyetoran dan pelaporannya, SPT dibagi

dalam dua jenis, yaitu sebagai berikut.

1) SPT masa adalah surat yang oleh WP digunakan untuk melaporkan

penghitungan dan atau pemabayaran pajak yang terutang dalam masa pajak.

2) SPT tahunan adalah surat yang oleh WP digunakan unutk melaporkan

penghitungan dan atau pembayaran pajak yang terutang dalam 1 tahun pajak.

3. Prosedur Pelaporan SPT

Batas waktu pelaporan SPT masa adalah selambat-lambatnya 20 hari

setelah akhir masa pajak, sedangkan untuk SPT tahunan adalah selambat-

lambatnya tiga bulan setelah akhir tahun pajak. Tahun pajak terdiri dari tahun buku

dan tahun kawin (Januari s.d. Desember). Apabila WP melewati batas penyampaian

SPT tahunan, maka diperkenankan untuk mengajukan perpanjangan pelaporan SPT,

paling lama enam bulan. Permohonan perpanjangan harus disampaikan sebelum

berakhirnya penyampaian SPT tahunan.

Dalam waktu dua tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya

masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak, WP dapat membetulkan SPT

masa atau SPT tahunan sesuai dengan Pasal 8 UU KUP. Pemebetulan dilakukan

dengan cara mengisi formulir SPT yang dibetulkan dan judulnya ditambahi

keterangan SPT-Pembetulan.

48
5. Tahun, Saat dan Tempat yang Menentukan Pajak Terutang

Sehubungan dengan pelaksanaan PBB, wajib pajak memerhatikan tahun

pajak, saat, dan tempat yang menentukan pajak terutang atau yang harus dibayar.

Tahun pajak pada PBB adalah jangka waktu satu tahun takwin. Tahun takwin adalah

masa dari tanggal 1 Januari sampai 31 Desember. Saat menentukan pajak terutang

adalah menurut keadaan objek pada tanggal 1 Januari. Dengan demikian, segala

mutasi atau perubahan atas objek pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari

sampai 31 Desember tahun berjalan akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.

Tempat pajak terutang adalah sebagai berikut :

1. Untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

2. Untuk Daerah lainnya, di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II atau Kotamadya

Daerah Tingkat II yang meliputi letak objek pajak.

6. Dasar Pengenaan PBB

Dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP adalah

harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar, dan

bila tidak terdapat jual-beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan

objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.

NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk

daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya.

Penentuan NJOP diperoleh melalui penilaian objek PBB tersebut. Besarnya NJOP

yang ditetapkan terakhir oleh Keputusan Menteri Keuangan No. 201/KMK. 04/2000

adalah sebesar Rp.12.000.000,00 untuk setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib

49
pajak mempunyai beberapa objek pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu

objek pajak yang nilainya terbesar.

7. Dasar Penghitungan PBB

Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Berdasarkan

peraturan pemerintah No. 46 Tahun 2000, besarnya NJKP untuk penghitungan

pajak bumi dan bangunan ditentukan sebagai berikut :

1) Sebesar 40% dari NJOP untuk :

a) Objek Pajak Perkebunan;

b) Objek Pajak Kehutanan;

c) Objek Pajak Bumi dan Bangunan lainnya apabila NJOP.= 1 miliar rupiah.

2) Sebesar 20% dari NJOP untuk :

a) Objek Pajak Pertambangan;

b) Objek Pajak Bumi dan Bangunan lainnya NJOP<1 miliar rupiah.

8. Dasar Penagihan PBB

Dasar penagihan Pajak PBB ada 3 yaitu, sebagai berikut.

1. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)

SPPT adalah surat yang dipergunakan oleh Direktorat Jendral Pajak untuk

memberitahukan besarnya pajak yang terutang kepada wajib pajak.

a) Dasar Penertiban SPPT

1) Surat pemberitahuan ini diterbitkan berdasarkan Surat Pemberitahuan

Objek Pajak (SPOP).

50
2) Objek pajak yang sebelumnya telah dikenakan IPEDA, SPPT dapat

diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang telah ada pada kantor

pelayanan PBB yang bersangkutan.

b) Waktu Pelaksanaan SPPT

Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat-lambatnya

enam bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak. Jadi, bila

seorang wajib pajak menerima SPPT pada tanggal 1 Maret 1998, selambat-

lambatnya pada tanggal 31 Agustus 1998 ia sudah harus melunasi PBB-nya.

Tanggal 31 Agustus ini disebut juga tanggal jatuh tempo SPPT.

2. Surat Ketetapan Pajak (SKP)

a) Dasar Penertiban SKP

SKP ditertibkan apabila Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang

lainnya ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak

berdasarkan SPOP yang dikembalikan oleh wajib pajak.

b) Waktu Pelunasan SKP

Pajak yang terutang berdasarkan SKP harus dilunasi selambat-lambatnya satu

bulan stanggal diterimanya SKP oleh wajib pajak. Jadi, bila seorang wajib

pajak menerima SKP pada tanggal 1 Maret 1998, ia sudah harus melunasi

PBB selambat-lambatnya 31 Maret 1998 ini juga disebut tanggal jatuh tempo

SKP.

51
3. Surat Tagihan Pajak

a) Dasar Penertiban SPT

1) Wajib pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam

SPPT, yaitu melampaui batas waktu enam bulan sejak tanggal diterimanya

SPPT oleh wajib pajak.

2) Wajib pajak terlambat membayar utangnya pajaknya seperti tercantum

dalam SKP, yaitu melampaui batas waktu satu bulan sejak tanggal

diterimanya SK oleh wajib pajak.

3) Wajib pajak melunasi pajak yang terutang setelah lewat saat jatuh tempo

pembayaran PBB, tetapi denda administrasi tidak dilunasi.

b) Besarnya Denda Administrasi dalam SPPT

Besarnya denda administrasi karena wajib pajak terlambat membayar

pajaknya, melampaui batas waktu jatuh tempo SPPT, adalah sebesar 2%

sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo samapi dengan hari pembayaran

untuk jangka waktu paling lama 24 bulan.

c) Saat Jatuh Tempo SPT

Saat jatuh tempo STP adalah satu bulan sejak diterimanya STP oleh wajib

pajak. Misalkan STP diterima oleh wajib pajak tanggal 1 September 2005,

maka, jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 30 September 2005.

52
9. Pembagian Hasil PBB

Hasil penerimaan PBB merupakan penerimaan Negara yang dibagi antara

pemerintah pusat dan daerah dengan pembagian sebagai berikut.

1) Pemerintah pusat sebesar 10% dari penerimaan PBB

2) Pemerintah daerah sebesar 90% dari penerimaan PBB, dengan ketentuan

sebagai berikut.

a) Biaya pemungutan PBB = 9% diperoleh dari (10%x bagian pemda (90%))

b) Daerah tingkat I = 16,2% diperoleh dari (20%x81%)

c) Daerah tingkat II = 64,8% diperoleh dari (80%x81%)

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 83/KMK.04/1994, 10%

bagian pemerintah pusat dibagikan secara merata kepada seluruh daerah tingkat II

setelah dikurangi dengan biaya administrasi. Dengan melihat pembagian tersebut,

tampak jelas bahwa hasil penerimaan pajak bumi dan tingkat II dimana pajak

tersebut dipungut.

II.2 Kerangka Konsep

Untuk mengukur efektivitas pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan maka

berdasarkan beberapa teori dan konsep efektivitas penulis menggunakan

pendekatan proses. Dimana untuk melihat sejauh mana efektivitas pengelolaan

Pajak Bumi dan Bangunan dari segi fungsi-fungsi manajemen menurut George R.

Terry diantaranya perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan.

53
Kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat digambarkan secara sederhana

sebagai berikut:

Gambar 1
Bagan kerangka konsep

Pengelolaan :
- Perencanaan
Pajak Bumi dan Efektivitas
Bangunan - Pengorganisasan Pajak Bumi dan
Bangunan
- Penggerakan
- Pengawasan

54

Anda mungkin juga menyukai