Critical Review
Suatu Tinjauan Kritis Terhadap Jurnal yang berjudul:
Price stabilization, liberalization and food security: conflicts and resolutions?
By :
Lawrence D. Smith
Food Policy, Vol 22, No.5,pp, 379-392, 1997
I. Brief Summary
1.1. Pendahuluan
Tulisan ini membahas masalah ketidakstabilan produksi dan
ketidaktahanan pangan transitory, yang akan mengakibatkan ketidakstabilan
harga, yang selanjutnya akan mempengaruhi pendapatan petani. Akibat dari
kejadian tersebut, maka akan diamati pula bagaimana pengaruhnya terhadap
konsumen, swasta dan pemerintah serta kestabilan makro ekonomi. Untuk
mengatasi masalah tersebut, maka penulis jurnal ini mencoba untuk melihat
sejauh mana peran yang bisa dilakukan oleh individu masyarakat, sektor swasta
dan pemerintah. Diharapkan dalam jangka panjang sektor swasta peranannya akan
meningkat secara signifikan. Selanjutnuya tulisan ini juga menunjukkan
bagaimana sektor biji-bijian cenderung untuk memasuki liberalisasi pasar.
Tulisan ini diawali dengan mengangkat isu bahwa salah satu ciri-ciri dan
masalah besar pada produksi pertanian adalah ketidakstabilan produksi. Ada
beberapa penyebab utama ketidakstabilan produksi yaitu perbedaan iklim, reaksi
secara dinamis atau lagged petani terhadap ketidakstabilan sebelumnya atau
goncangan lainnya seperti perubahan kebijakan pemerintah. Pada perekonomian
pasar, efek agregat dari ketidakstabilan produksi dan variasi hasil pada supply
akan mendorong harga dan perubahan income pada pasar komoditi secara
langsung mempengaruhi dan kaitan pasar untuk barang-barang lainnya, jasa-jasa
dan sumberdaya.
Ketidakstabilan produksi mengakibatkan para petani menghadapi
ketidakpastian, timbulnya berbagai kesulitan pada efisiensi alokasi sumberdaya,
mempengaruhi aliran pendapatan dan pengembalian investasi serta menambah
biaya sosial dan ekonomi para petani. Selanjutnya petani akan menurunkan
tingkat investasi fisik dan sumberdaya manusia yang secara potensial dapat
meningkatkan produktivitas pertanian.
1.2. Penyediaan ketahanan pangan oleh swasta dan keterbatasan yang dihadapi
Strategi individu dalam menghadapai ancaman atau pengaruh dari
ketidakstabilan pendapatan dan ketahanan pangan transitory adalah melalui
pemanfaatan asuransi sendiri, antara lain, adanya toko-toko makanan Rumah
Tangga daerah pedesaan, diversifikasi hasil panen dan penggunaan varietas sifat
musim kering, memegang kekayaan dalam bentuk ternak, dan kombinasi aktivitas
pertanian dan non pertanian. Namun demikian, bila individu menyediakan sendiri
ketahanan pangan, mungkin tidak efisien. Anggota masyarakat miskin cenderung
menjadi tidak aman terhadap pangan jika mereka harus mengandalkan pada
penyediaan sendiri.
Secara teori sektor swasta dapat memberikan asuransi untuk kehilangan
pendapatan tetapi mungkin pilihan kerugian dan masalah moral hazard yang
dihasilkan dengan biaya pemeriksaan dan pemantauan yang tinggi. Ada juga
masalah-masalah tertentu dari pemberian asuransi dengan menghasilkan
covariance yang tinggi (Binswanger dan Rosenzweigh, 1986). Hal ini bukan
hanya masalah di negara-negara berpenghasilan rendah, bahkan di negara
perekonomian maju asuransi hasil panen tidak tersedia secara luas dari sektor
swasta. Walaupun asuransi swasta tersedia, kemungkinan masyarakat miskin yang
tidak mampu membayar premi asuransi untuk menjadi anggota sangat sulit.
Bahkan ketika masa depan pasar tersedia, asuransi yang tersedia biasanya hanya
mencakup resiko harga jangka pendek dan petani tampak enggan untuk
memanfaatkannya (Timmer, 1989).
Aktivitas sektor swasta dapat mengatasi masalah yang timbul dari
ketidakstabilan produksi tetapi mereka tidak luput dari berbagai hambatan. Ruang
arbitrase yang disediakan oleh sektor swasta memerlukan biaya transportasi dan
transaksi, termasuk resiko perobahan harga-harga sebelum beroperasi secara
komplit. Arbitrase juga memerlukan akses pada transportasi yang efektif dan
jaringan komunikasi, yang tidak mungkin disediakan oleh sektor swasta. Tanpa
agen. Situasi ini kian diperparah ketika agen menjadi illiquid. Petani yang
dibutuhkan untuk menyampaikan produksi kepada agen mungkin pembayarannya
telah tertunda untuk beberapa bulan.
Meskipun agen dapat memilih untuk memaksa kegiatan sektor swasta
untuk memenuhi tujuan-tujuan mereka sendiri, beberapa tujuan kebijakan
membuatnya sangat sulit bagi sektor swasta untuk beroperasi secara efektif.
Misalnya, adopsi dari harga yang sempit atau pan-musiman atau harga pan-
teritorial menjadikannya hampir mustahil bagi sektor swasta untuk melakukan
operasi ruang arbitrase. Timbul masalah bagi operasi sektor swasta jika upaya
pemerintah untuk mengatur tingkat harga yang berbeda dari tingkat keseimbangan
pasar sehingga kondisi kelebihan pasokan atau permintaan tetap berlaku. Dalam
keadaan ini semua sektor swasta mungkin menjadi "crowded out" melalui
kompensasi yang tidak mencukupi.
Intervensi lembaga juga menghadapi masalah yang lazim dihadapi oleh
sebagian besar perusahaan-perusahaan milik negara yakni masalah insentif, tidak
adanya persaingan, dan masalah regulasi dan akuntabilitas. Salah satu sumber
masalah ini adalah tujuan yang tidak jelas atau bertentangan, terutama jika hal ini
mengakibatkan kerugian keuangan. Misalnya, pemerintah dapat menetapkan
harga pembelian dan penjualan yang sangat dekat yang bahkan efisiensi sebagian
organisasi tidak akan menjadi sehat secara finansial. Pada saat yang sama, agen
tidak boleh diberikan dengan dana yang cukup untuk menjalankan fungsinya
secara efektif dan mungkin menjadi terutang dan/atau dipaksa untuk mengingkari
fungsinya. Namun, dalam jangka panjang kerugian ini biasanya dihapuskan oleh
pemerintah.
Masalah lainnya adalah keengganan dari kementerian mensponsori agar
lembaga ini cukup otonom atau fleksibilitas untuk menanggulangi variabel sifat
produksi pertanian dan kondisi perdagangan internasional. Adanya distorsi harga
secara luas dan kontrol pasar, digabungkan dengan ketidakdisiplinan keuangan,
hampir pasti telah menyebabkan berbagai kegiatan rent-seeking. Intervensi Badan
Parastatal juga telah digunakan sebagai sumber patronase politik, baik dari segi
alih dana dan sumber daya untuk kelompok tertentu dalam masyarakat, dan
sekarang oleh banyak negara-negara FSU dan CEE (Smith dan Spooner, 1997).
Kita juga harus mempertimbangkan dampaknya pada kelompok berpendapatan
rendah, terutama bagi yang berpendapatan tetap.
Dalam rangka melakukan reformasi stabilisasi dan ketahanan pangan,
terutama pada sektor biji-bijian, maka harus memperhatikan: (a) Dampak terhadap
stabilitas makroekonomi; ketidakstabilan ekonomi makro seperti merajalelanya
inflasi dan volatile, kekurangan valuta asing dan defisit fiskal besar-besaran
adalah jauh lebih besar dari sumber ketidakamanan terhadap produsen, pedagang
dan konsumen dari ketidakstabilan produksi pertanian. Upaya untuk memberikan
ketahanan pangan dan stabilitas harga riil diharapkan tidak memperburuk
ketidakstabilan makro ekonomi. Penghapusan subsidi harga umum secara
bertahap dan penjajaran harga dengan tren harga dunia diharapkan dapat
membantu proses tersebut, sebagai upaya untuk merangsang penerimaan devisa
bersih dan untuk memulihkan keseimbangan fiskal, (b) pengembangan sektor
swasta; ada banyak fungsi yang dapat dilakukan oleh swasta secara efektif yaitu
antara lain dapat melakukan penataan ruang dan operasi arbitrase inter-temporal
biaya pemasaran yang rendah. Untuk mengembangkan sektor swasta pemerintah
harus menyadari bahwa harga musim dan harga teritorial adalah tidak sesuai
dengan perkembangan sektor swasta dan efektivitas arbitrase spasial diharapkan
tidak dihalangi oleh hukum dan hambatan administrasi. Pemerintah, terutama
pada transisi ekonomi juga harus menciptakan infrastruktur dari suatu sistem
pemasaran yang "normal", seperti membuka bursa komoditi dan pengembangan
pasar. Penyediaan infrastruktur juga harus didukung oleh likuiditas swasta dan
keyakinan untuk spekulasi pembiayaan komoditas. Sementara itu secara
keseluruhan susunan dari kelembagaan baru akan muncul. Sebagai contoh, di
beberapa negara, pengolah yang digunakan untuk bergantung pada badan sektor
publik untuk mereka yang telah membuat perjanjian dengan menghubungkan
pasar petani, membiayai produksi dan pemasaran padi-padian untuk menjamin
pasokan mereka sendiri. Inovasi yang sama muncul di bidang keuangan, seperti
skim kredit persediaan. Pemerintah dapat membantu perkembangan ini dengan
memberikan kerangka hukum dan administrasi yang diperlukan, (c) intervensi
agen sektor publik; arbitrase sektor swasta yang efektif tidak akan berkembang
dalam waktu yang singkat, beberapa bentuk intervensi sektor publik tetap
diperlukan. Intervensi sektor publik untuk menstabilkan harga dan menjaga
ketahanan pangan sangat diperlukan di mana sektor swasta belum sepenuhnya
berkembang. (d). bantuan internasional; stabilisasi harga dan ketahanan pangan
sangat diperlukan pada negara di mana makanan masih merupakan proporsi yang
signifikan dari pengeluaran konsumen dan pertanian merupakan komponen
penting dari PDB. Namun, pada saat ini terdapat sedikit atau tidak ada donor
untuk mendukung kegiatan tersebut. Hal ini dikarenakan banyak catatan buruk
lembaga parastatal di masa lalu. Seharusnya masyarakat donor internasional harus
melihat kembali tentang peran lembaga intervensi.
pemerintah dan tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada sektor swasta, karena
swasta akan berorientasi profit. Sebagaimana diketahui bahwa pangan
menyangkut kehidupan semua warga negara, untuk itu komoditas pangan bisa
pula dipandang sebagai komoditas politik. Kestabilan suatu pemerintahan akan
sangat tergantung pada tercukupinya pangan bagi seluruh penduduknya.
Tulisan ini tidak merumuskan permasalahan dan tujuan penelitian dengan
baik serta tanpa model penelitian. Tulisan ini juga tidak mendefinisikan variabel-
variabel atau konsep-konsep yang digunakan secara jelas. Tulisan ini hanya
bersifat deskriptif yang tidak didukung oleh data empiris serta terlalu
menjeneralisir permasalahan, seharusnya lebih baik melakukan penulisan pada
kasus kawasan, wilayah atau negara tertentu saja. Teori-teori yang mendukung
sangat minim, hanya bersifat konsep-konsep yang diutarakan. Dengan demikian,
maka ketajaman analisis tidak tampak dan kesimpulan tulisan masih
mengambang.
Masalah ketidaktahanan pangan, bukan hanya masalah ketidakstabilan
produksi, tetapi juga menyangkut pada masalah distribusi dan akses masyarakat.
Tulisan ini tidak melakukan tinjauan terhadap kedua masalah ini, padahal
walaupun pangan tersedia dalam jumlah yang cukup tanpa distribusi yang baik
dan kemampuan masyarakat untuk mengakses, ketahanan pangan akan sulit
tercapai. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa masalah distribusi merupakan
salah satu fungsi pemerintah dan fungsi ini relatif agak mudah untuk
diimplimentasikan dan tidak memerlukan waktu yang terlalu lama. Namun,
masalah kemampuan masyarakat untuk mengakses pangan relatif sulit untuk
diatasi. Kemampuan untuk mengakses pangan akan sangat tergantung pada
kemampuan ekonomi masyarakat. Sebagaimana diketahui, bahwa di negara-
negara berkembang masalah kemiskinan masih menjadi isu yang utama. Untuk
meningkatkan kemampuan mengakses pangan untuk kelompok masyarakat yang
paling miskin dapat dilakukan dengan pemberian subsidi harga, seperti pengadaan
Raskin dan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), sebagaimana yang
diterapkan oleh Indonesia akhir-akhir ini. Pemberian BLT ini harus dipandang
sebagai hal yang sangat mendesak dan hanya diberikan untuk jangka pendek pada
dengan pestisida juga dijual dengan harga yang sangat tidak terjangkau oleh
petani. Dengan demikian, kebijakan pembatasan impor masih diperlukan, yang
dibarengi dengan meningkatkan produksi dalam negeri melalui peningkatan
produktivitas serta kebijakan diversifikasi pangan, sehingga akan mengurangi
tekanan pada ketersediaan terhadap satu macam produk pangan (beras).
Ada yang berpendapat bahwa krisis pangan global sekarang ini adalah
hasil dari kesalahan kebijakan dari lembaga-lembaga dunia seperti Bank Dunia
dan IMF (Dana Monter Internasional) dan juga kesalahan kebijakan dari banyak
negara di dunia, termasuk negara-negara yang secara potensi adalah negara besar
penghasil beras seperti Indonesia, India dan China. Schutter, misalnya, ketua FAO
(badan PBB yang menangani pangan dan pertanian) mengatakan bahwa Bank
Dunia dan IMF menyepelekan pentingnya investasi di sektor pertanian. Salah satu
contohnya adalah desakan dari kedua badan dunia ini kepada negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia, untuk menghasilkan komoditas berorientasi
ekspor, terutama manufaktur, dengan mengabaikan ketahanan pangan (Tambunan,
2008). Pendapat Tambunan ini juga membuktikan, bahwa reformasi dan
liberalisasi pangan yang diajukan penulis, tidak cukup ampuh untuk mengatasi
masalah ketidakstabilan produksi dan harga.
Tulisan ini juga terlalu menekankan pentingnya stabilitas produksi.
Masalah stabilitas pendapatan kurang mendapat perhatian. Padahal untuk
meningkatkan ketahanan pangan baik dari sisi konsumen maupun produsen
diperlukan stabilitas pendapatan (income stability). Petani (produsen) yang tidak
memiliki pendapatan yang cukup, terutama petani miskin, tentu akan sulit untuk
membiayai produksinya, seperti pengadaan bibit dan pupuk. Para konsumen
seperti dijelaskan di atas, jika pendapatannya tidak stabil, akan sulit mengakses
pangan. Dengan demikian menciptakan stabilitas pendapatan masyarakat (income
stability) sangat penting dalam rangka mencapai stabilitas ketahanan pangan.
Terhadap petani (produsen), misalnya dapat diberikan subsidi input, sehingga
dapat meningkatkan kemampuan berproduksi dan dapat menggairahkan petani
untuk berproduksi. Para konsumen seperti dijelaskan di atas juga diberikan
subsidi harga melalui pengadaan Raskin dan pemberian BLT.
berjalan optimal. Untuk itu, pemerintah harus memastikan petani tanaman pangan
mendapatkan harga yang pantas di saat panen. Ini dilanjutkan dengan kebijakan
yang bisa memastikan harga dan pasokan bahan pangan pada tingkat yang
terjangkau oleh konsumen dengan meminimalisasi peran spekulan dari pedagang
dan distributor yang mencari keuntungan sesaat dalam jumlah besar bagi
kepentingan mereka.
Terkait dengan masalah liberalisasi pasar beras di Indonesia, dapat dilihat
bahwa, menurut Jamhari (2004) setelah liberalisasi dilakukan pada bulan
September 1998 proporsi impor beras yang dilakukan oleh swasta meningkat
sangat signifikan, yaitu dari 19% pada tahun 1998 menjadi 63% tahun 1999.
Liberalisasi pasar beras juga membuat petani padi di Indonesia semakin
menderita, karena harga beras selalu berada di bawah harga dasar atau terjadi
penurunan harga pada tingkat petani, hal ini tentu akan menurunkan tingkat
pendapatan mereka. Untuk mengatasi hal tersebut, maka pemerintah telah
melakukan kebijakan pengenaan tarif impor sebesar 30% (Rp.430/kg) pada
tanggal 1 Januari 2000. Kebijakan ini ternyata juga tidak efektif. Untuk itu saat ini
masih diperdebatkan tentang perlunya mengembalikan satus Bulog menjadi
Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). Apakah hal ini akan efektif ?
Belum tentu juga, karena masih banyak persoalan lain menyangkut ketahanan
pangan Indonesia, seperti produksi yang rendah, akibat alih fungsi lahan, terutama
daerah sentra padi Indonesia (Jawa), varietas bibit unggul, kelangkaan pupuk,
sarana irigasi, produktivitas lahan yang terus turun dll. Setidaknya dengan
penghapusan Bulog sebagai Perum, orientasi untuk mengejar profit tidak ada lagi,
dengan demikian Bulog akan dapat berfungsi sebagai badan stabilisasi
sepenuhnya.
IV. Penutup
Dalam masalah stabilisasi produksi dan harga serta ketahanan pangan
suatu negara, maka intervensi pemerintah sangat diperlukan, untuk itu, maka
peranan pemerintah harus diberi porsi yang lebih besar dari sektor swasta.
Pengalaman membuktikan, bahwa reformasi atau swastanisasi pengelolaan