Anda di halaman 1dari 17

Critical Review

Critical Review
Suatu Tinjauan Kritis Terhadap Jurnal yang berjudul:
Price stabilization, liberalization and food security: conflicts and resolutions?
By :
Lawrence D. Smith
Food Policy, Vol 22, No.5,pp, 379-392, 1997
I. Brief Summary
1.1. Pendahuluan
Tulisan ini membahas masalah ketidakstabilan produksi dan
ketidaktahanan pangan transitory, yang akan mengakibatkan ketidakstabilan
harga, yang selanjutnya akan mempengaruhi pendapatan petani. Akibat dari
kejadian tersebut, maka akan diamati pula bagaimana pengaruhnya terhadap
konsumen, swasta dan pemerintah serta kestabilan makro ekonomi. Untuk
mengatasi masalah tersebut, maka penulis jurnal ini mencoba untuk melihat
sejauh mana peran yang bisa dilakukan oleh individu masyarakat, sektor swasta
dan pemerintah. Diharapkan dalam jangka panjang sektor swasta peranannya akan
meningkat secara signifikan. Selanjutnuya tulisan ini juga menunjukkan
bagaimana sektor biji-bijian cenderung untuk memasuki liberalisasi pasar.
Tulisan ini diawali dengan mengangkat isu bahwa salah satu ciri-ciri dan
masalah besar pada produksi pertanian adalah ketidakstabilan produksi. Ada
beberapa penyebab utama ketidakstabilan produksi yaitu perbedaan iklim, reaksi
secara dinamis atau lagged petani terhadap ketidakstabilan sebelumnya atau
goncangan lainnya seperti perubahan kebijakan pemerintah. Pada perekonomian
pasar, efek agregat dari ketidakstabilan produksi dan variasi hasil pada supply
akan mendorong harga dan perubahan income pada pasar komoditi secara
langsung mempengaruhi dan kaitan pasar untuk barang-barang lainnya, jasa-jasa
dan sumberdaya.
Ketidakstabilan produksi mengakibatkan para petani menghadapi
ketidakpastian, timbulnya berbagai kesulitan pada efisiensi alokasi sumberdaya,
mempengaruhi aliran pendapatan dan pengembalian investasi serta menambah
biaya sosial dan ekonomi para petani. Selanjutnya petani akan menurunkan
tingkat investasi fisik dan sumberdaya manusia yang secara potensial dapat
meningkatkan produktivitas pertanian.

Tgs Kebijakan Harga Pertanian Lanjut Oleh Yannizar 1


Critical Review

Sektor swasta akan mengurangi investasi pada pemasaran produk


pertanian dan fasilitas prosessing, karena tidak stabilnya produksi. Menurut
(Timmer, 1989) kekurangan investasi akan berdampak negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Ketidakstabilan produksi pertanian juga berpengaruh terhadap konsumen
baik pada ketersediaan maupun harga pangan. Hal tersebut sangat besar
pengaruhnya pada perekonomian dan Rumah Tangga yang berpendapatan rendah,
dimana makanan masih merupakan proporsi yang besar dari total pengeluaran.
Konsumen yang bermata pencarian pertanian sangat peka terhadap dampak dari
ketidakstabilan produksi. Para konsumen dihadapkan untuk meningkatkan mata
pencaharian atau menekan biaya transaksi lainnya dari keharusan merobah pola
makan dan anggaran. Hal ini sepertinya sebagian besar berbenturan dengan
anggota masyarakat yang lebih miskin. Selain itu, Timmer (1989) juga
berargumen, pengaruh ketidakstabilan harga pangan bisa berpengaruh besar
terhadap perekonomian secara keseluruhan. Salah satu pengaruhnya adalah tidak
stabilnya permintaan jangka pendek pada barang-barang non makanan. Lebih
penting lagi, pengaruh ketidakstabilan harga pangan dapat mengakibatkan
ketidakpastian tentang permintaan upah masa depan, profitabilitas dan daya saing.
Pemerintah juga dipengaruhi, dengan berbagai cara, oleh ketidakstabilan
produksi dan ketidaktahanan pangan. Pemerintah harus merespon para pemilih
dan tekanan aktivitas kelompok petani, konsumen dan industrialis. Pada banyak
negara salah satu faktor penentu legitimasi dan kelangsungan hidup dari suatu
pemerintahan adalah kemampuannya untuk menyediakan ketahanan pangan bagi
warganya. Pada negara-negara yang berpendapatan tinggipun, dimana pertanian
dan makanan cenderung menjadi relatif kurang penting, pemerintah sering merasa
terancam melalui tekanan politik bila produksi pertanian tidak stabil. Pemerintah
juga harus mempertimbangkan konsekwensi makro ekonomi, terutama sekali
pada negara-negara dimana pertanian masih memberikan kontribusi penting pada
GDP atau makanan merepresentasikan suatu komponen besar dari pengeluaran
konsumen warganya. Pada kasus ini ketidakstabilan produksi domestik, dan/atau
fluktuasi harga dunia, dapat mengakibatkan terjadinya multiflier effects yang

Tgs Kebijakan Harga Pertanian Lanjut Oleh Yannizar 2


Critical Review

memperburuk pengaruh ketidakstabilan. Pengaruh pada makro ekonomi atau


ketidakstabilan politik dapat berkonsekwensi dinamis pada kepercayaan investor,
yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi selanjutnya.

1.2. Penyediaan ketahanan pangan oleh swasta dan keterbatasan yang dihadapi
Strategi individu dalam menghadapai ancaman atau pengaruh dari
ketidakstabilan pendapatan dan ketahanan pangan transitory adalah melalui
pemanfaatan asuransi sendiri, antara lain, adanya toko-toko makanan Rumah
Tangga daerah pedesaan, diversifikasi hasil panen dan penggunaan varietas sifat
musim kering, memegang kekayaan dalam bentuk ternak, dan kombinasi aktivitas
pertanian dan non pertanian. Namun demikian, bila individu menyediakan sendiri
ketahanan pangan, mungkin tidak efisien. Anggota masyarakat miskin cenderung
menjadi tidak aman terhadap pangan jika mereka harus mengandalkan pada
penyediaan sendiri.
Secara teori sektor swasta dapat memberikan asuransi untuk kehilangan
pendapatan tetapi mungkin pilihan kerugian dan masalah moral hazard yang
dihasilkan dengan biaya pemeriksaan dan pemantauan yang tinggi. Ada juga
masalah-masalah tertentu dari pemberian asuransi dengan menghasilkan
covariance yang tinggi (Binswanger dan Rosenzweigh, 1986). Hal ini bukan
hanya masalah di negara-negara berpenghasilan rendah, bahkan di negara
perekonomian maju asuransi hasil panen tidak tersedia secara luas dari sektor
swasta. Walaupun asuransi swasta tersedia, kemungkinan masyarakat miskin yang
tidak mampu membayar premi asuransi untuk menjadi anggota sangat sulit.
Bahkan ketika masa depan pasar tersedia, asuransi yang tersedia biasanya hanya
mencakup resiko harga jangka pendek dan petani tampak enggan untuk
memanfaatkannya (Timmer, 1989).
Aktivitas sektor swasta dapat mengatasi masalah yang timbul dari
ketidakstabilan produksi tetapi mereka tidak luput dari berbagai hambatan. Ruang
arbitrase yang disediakan oleh sektor swasta memerlukan biaya transportasi dan
transaksi, termasuk resiko perobahan harga-harga sebelum beroperasi secara
komplit. Arbitrase juga memerlukan akses pada transportasi yang efektif dan
jaringan komunikasi, yang tidak mungkin disediakan oleh sektor swasta. Tanpa

Tgs Kebijakan Harga Pertanian Lanjut Oleh Yannizar 3


Critical Review

dukungan pemerintah terhadap infrastruktur, arbitrase tidak mungkin berjalan


dengan efektif. Selanjutnya juga bahwa inter-temporal arbitrase memerlukan
akses pada aset likuid yang dapat diubah menjadi pangan dengan cepat seperti
stok makanan, saldo kas atau cadangan devisa (Valdes et al., 1981). Swasta
biasanya memegang aset yang tidak likuid, karena aset likuid akan mendapat
suatu tingkat pengembalian yang lebih rendah dari aset yang tidak likuid.
Penerapan tersebut baik untuk finansial sendiri maupun dana pinjaman dan, tentu
saja, opportunity cost akan meningkat. Dalam hal ini pemerintah diharapkan dapat
membantu sektor swasta untuk memperoleh dana, misalnya dengan menyediakan
skim-skim kredit dan memfasilitasi ke pihak perbankan.
Masyarakat memerlukan adanya kompetisi yang cukup antara
arbitrageurs untuk menghindari terjadi eksploitasi yang bersifat monopoli. Pada
masyarakat, di mana kelompok etnis tertentu mendominasi perdagangan,
mengkwatirkan akan kondisi persaingan yang lemah. Dengan kata lain, dalam
perekonomian di sektor perdagangan umum yang telah diprivatisasi, unsur
monopoli ini terkadang masih ada. Untuk mengatasi ini pemerintah dapat
melakukan intervensi, misalnya dengan menerapkan kebijakan penetapan harga
maksimum (price ceiling) atau harga minimum (floor price).

1.3. Intervensi pemerintah, keterbatasan dan kendala yang dihadapi


Legitimasi dari suatu pemerintahan sering dikaitkan dengan
kemampuannya untuk memberikan ketahanan pangan bagi warganya. Hampir di
setiap negara, bahwa pemerintah beranggapan bahwa mereka bertanggung jawab
yang besar, atau berperanan dalam menghadapi masalah ketidakstabilan produksi
dan penyediaan pangan. Menurut Ross (1988), sesuai dengan perannya
pemerintah bahwa "penyediaan" apapun baik barang maupun jasa terdiri dari 4
komponen yaitu pembiayaan, produksi, konsumsi dan regulasi. Bentuk peranan
yang diambil pemerintah sangat bervariasi tergantung pada keadaan di setiap
negara.
Kemungkinan untuk menjadikan anggota masyarakat miskin yang paling
rentan dari ketidaktahanan pangan dihasilkan dari variabel harga pangan. Untuk
itu, intervensi pemerintah diperlukan terutama pada masalah distribusi pendapatan

Tgs Kebijakan Harga Pertanian Lanjut Oleh Yannizar 4


Critical Review

dan penurunan kemiskinan. Justifikasi lain untuk intervensi pemerintah, bahwa


bentuk dan cakupan ketidakstabilan sangat tidak terduga dimana sektor swasta
tidak mau menerima resiko yang dihadapi. Misalnya, stabilisasi memerlukan
persediaan tahunan, tetapi ini sangat berresiko bagi sektor swasta, jika masa
depan pasokan dan harga tidak dapat diprediksi. Sekalipun sektor swasta bersedia
untuk menerima resiko, namun dana yang diperlukan untuk menangani
ketidakstabilan mungkin melebihi akses ke keuangan. Dengan demikian
penyediaan dana oleh pemerintah, secara langsung atau tidak langsung, untuk
membiayai kegiatan stabilisasi tidak dapat dihindari. Pemerintah mungkin
berpendapat bahwa pilihan bentuk stabilisasi dalam hal ini adalah uang arbitrase
melalui perdagangan internasional, tetapi terkadang terdapat kondisi di mana
perdagangan sendiri tidak dapat menyediakan cukup stabilitas atau ketahanan.
Sebagai contoh, di beberapa negara Sub Sahara Afrika, biaya transportasi sangat
tinggi bahwa kesenjangan antara harga paritas ekspor dan impor, yang
menentukan batas-batas dari harga produsen dan konsumen domestik sangat
besar.
Dalam beberapa situasi, akses sektor swasta ke valuta asing juga terbatas.
Dengan demikian, ruang arbitrase sektor swasta tidak bisa menjadi satu-satunya
bentuk stabilisasi yang digunakan. Ada juga pertimbangan bahwa bekerjanya
ruang arbitrase sektor swasta mungkin membuat ketidakstabilan dari suatu negara
tertentu, walaupun secara global tidak.
Intervensi pemerintah juga diperlukan, karena penyediaan stabilitas
memiliki banyak sifat dari suatu barang publik. Jika pangan tersedia dan harga
pangan distabilkan semua konsumen mungkin mendapat suatu manfaat yang tidak
akan mengurangi manfaat yang dinikmati oleh orang lain. Dalam hal ini berarti
penyediaan stabilitas bersifat non-rivalrous.
Meskipun banyak alasan tentang perlunya intervensi pemerintah untuk
meringankan efek dari ketidakstabilan produksi, berbagai bentuk kebijakan yang
telah dipilih di masa lalu telah terbukti tidak efektif dan mahal. Salah satu
instrumen yang biasa digunakan pemerintah untuk menerapkan kebijakan
stabilisasi harga adalah beberapa bentuk buffer stock agen yang dijalankan dan

Tgs Kebijakan Harga Pertanian Lanjut Oleh Yannizar 5


Critical Review

dibiayai oleh negara atau organisasi parastatal. Pada prinsipnya agency


mempertahankan penjualan maksimum dan pembelian harga minimum dengan
menambah stok melalui pembelian dalam negeri dan impor atau melepaskannya
dari persediaan stok dalam negeri atau melalui penjualan ekspor.
Dengan suatu tingkat ketidakstabilan produksi yang tinggi mengakibatkan
permintaan yang tidak terduga dan sangat besar pada kebutuhan anggaran fiskal.
Meskipun suatu pemerintahan mungkin berniat untuk melakukan suatu
kombinasi tertentu dari kebijakan, dan kemampuan untuk melakukan hal ini
sehingga dapat melebihi daya fiskalnya. Dalam kondisi ini berbagai langkah-
langkah dapat diadopsi oleh pemerintah dan/atau badan untuk mengatasi situasi.
Salah satu tindakan telah membatasi kegiatan sektor swasta. Misalnya,
para agen biasanya memiliki sebuah lembaga monopoli atas impor atau ekspor
untuk mencegah ketidakstabilan arbitrase sektor swasta dalam situasi ketika harga
dunia bervariasi secara signifikan dari target harga dalam negeri. Suatu alternatif
adalah beberapa bentuk variabel pengadaan sistem untuk mengontrol arus
perdagangan internasional. Pada beberapa negara hambatan yang sama mungkin
ditempatkan pada sektor swasta dalam kegiatan perdagangan dalam negeri. Hal ini
dapat mengambil bentuk secara lengkap pada semua larangan, atau jenis tertentu,
dari kegiatan usaha sektor swasta, yang mengarah ke satu saluran pemasaran, atau
pengiriman wajib oleh produsen atau pedagang dengan intervensi badan. Sekali
lagi, ini mungkin karena harga dipertahankan dengan tidak konsisten dengan
harga pasar bebas domestik. Dalam kondisi ini agen atau pemerintah, mungkin
takut kehilangan kredibilitas jika tidak bisa menjamin ketersediaan pangan di
daerah perkotaan atau untuk kelompok sasaran tertentu.
Intervensi agen mungkin dibatasinya secara de facto. Sering tidak
dilakukan upaya untuk menjaga ketersediaan makanan atau kestabilan harga di
daerah pedesaan, penekanan sepenuhnya pada stabilitas harga konsumen di daerah
perkotaan, dan buffer stock operasi agen dibatasi untuk mencapai tujuan ini. Agen
mungkin menawarkan pengeluaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
antisipasi dan kemudian menarik diri dari pasar. Tentu saja, hal ini dapat
mengakibatkan harga yang sangat bervariasi bagi produsen yang tidak menjual ke

Tgs Kebijakan Harga Pertanian Lanjut Oleh Yannizar 6


Critical Review

agen. Situasi ini kian diperparah ketika agen menjadi illiquid. Petani yang
dibutuhkan untuk menyampaikan produksi kepada agen mungkin pembayarannya
telah tertunda untuk beberapa bulan.
Meskipun agen dapat memilih untuk memaksa kegiatan sektor swasta
untuk memenuhi tujuan-tujuan mereka sendiri, beberapa tujuan kebijakan
membuatnya sangat sulit bagi sektor swasta untuk beroperasi secara efektif.
Misalnya, adopsi dari harga yang sempit atau pan-musiman atau harga pan-
teritorial menjadikannya hampir mustahil bagi sektor swasta untuk melakukan
operasi ruang arbitrase. Timbul masalah bagi operasi sektor swasta jika upaya
pemerintah untuk mengatur tingkat harga yang berbeda dari tingkat keseimbangan
pasar sehingga kondisi kelebihan pasokan atau permintaan tetap berlaku. Dalam
keadaan ini semua sektor swasta mungkin menjadi "crowded out" melalui
kompensasi yang tidak mencukupi.
Intervensi lembaga juga menghadapi masalah yang lazim dihadapi oleh
sebagian besar perusahaan-perusahaan milik negara yakni masalah insentif, tidak
adanya persaingan, dan masalah regulasi dan akuntabilitas. Salah satu sumber
masalah ini adalah tujuan yang tidak jelas atau bertentangan, terutama jika hal ini
mengakibatkan kerugian keuangan. Misalnya, pemerintah dapat menetapkan
harga pembelian dan penjualan yang sangat dekat yang bahkan efisiensi sebagian
organisasi tidak akan menjadi sehat secara finansial. Pada saat yang sama, agen
tidak boleh diberikan dengan dana yang cukup untuk menjalankan fungsinya
secara efektif dan mungkin menjadi terutang dan/atau dipaksa untuk mengingkari
fungsinya. Namun, dalam jangka panjang kerugian ini biasanya dihapuskan oleh
pemerintah.
Masalah lainnya adalah keengganan dari kementerian mensponsori agar
lembaga ini cukup otonom atau fleksibilitas untuk menanggulangi variabel sifat
produksi pertanian dan kondisi perdagangan internasional. Adanya distorsi harga
secara luas dan kontrol pasar, digabungkan dengan ketidakdisiplinan keuangan,
hampir pasti telah menyebabkan berbagai kegiatan rent-seeking. Intervensi Badan
Parastatal juga telah digunakan sebagai sumber patronase politik, baik dari segi
alih dana dan sumber daya untuk kelompok tertentu dalam masyarakat, dan

Tgs Kebijakan Harga Pertanian Lanjut Oleh Yannizar 7


Critical Review

menawarkan pekerjaan kepada individu favorit. Jika badan-badan ini berfungsi


secara efektif, maka sangat diperlukan tujuan yang jelas, kerangka finansial yang
sehat, anggaran yang cukup, dan prosedur akuntansi yang transparan. Jika hal ini
tidak dapat tercapai maka peranan mereka dalam memberikan ketahanan pangan
secara efektif akan sulit tercapai.

1.4. Penyesuaian struktural, transformasi ekonomi, reformasi dan liberalisasi


Sebagian besar negara-negara berkembang telah mulai mengalami masalah
neraca pembayaran pada akhir tahun 1970-an yang mengharuskan bantuan IMF.
Pada tahun 1980-an resep IMF konvensional yang mengandalkan pada kebijakan
penurunan pengeluaran ternyata tidak tepat. Pertumbuhan yang berorientasi pada
pendekatan ("penyesuaian struktural") telah diperkenalkan yang dikombinasikan
serangkaian kebijakan sisi penawaran dengan instrumen International Monetary
Fund konvensional (IMF, 1987). Baik di negara-negara berkembang yang
melakukan transformasi struktural maupun negara-negara bekas Uni Soviet (FSU)
dan Eropa Tengah dan Timur (CEE), sektor biji-bijian sering diidentifikasi oleh
organisasi donor sebagai tujuan utama bagi liberalisasi pasar.
Suatu stimulus penting untuk reformasi sektor biji-bijian telah terukur
secara jelas dengan pengeluaran fiskal yang besar dan inefisiensi di berbagai agen
sektor publik. Dalam beberapa kasus akumulasi kerugian tersebut sangat besar
yang merupakan salah satu faktor kontribusi pada ketidakstabilan ekonomi makro.
Tekanan utama dari proses reformasi adalah bagaimana meminimalkan yang
dapat menyebabkan "kerusakan" badan-badan sektor publik di masa depan.
Dengan demikian untuk melakukan reformasi sektor-sektor biji-bijian dalam
rangka mencapai stabilitas produksi pada negara-negara berkembang dan juga
untuk transisi ekonomi, maka lembaga donor (IMF) biasanya mengusulkan paket
kebijakan berikut ini: (1) Liberalisasi pasar yang cepat melalui penghapusan
kontrol administratif pada harga domestik dan perdagangan internasional, (2) agar
mengurangi peran agen pemasaran sektor publik sereal dengan terbatas pada
kegiatan stabilisasi pasar, dan (3) peningkatan peranan sektor swasta.
Liberalisasi yang cepat tanpa jaring pengaman bisa menciptakan masalah
yang serius dari ketidaktahanan pangan yang kronis, sesuatu yang diciri-cirikan

Tgs Kebijakan Harga Pertanian Lanjut Oleh Yannizar 8


Critical Review

sekarang oleh banyak negara-negara FSU dan CEE (Smith dan Spooner, 1997).
Kita juga harus mempertimbangkan dampaknya pada kelompok berpendapatan
rendah, terutama bagi yang berpendapatan tetap.
Dalam rangka melakukan reformasi stabilisasi dan ketahanan pangan,
terutama pada sektor biji-bijian, maka harus memperhatikan: (a) Dampak terhadap
stabilitas makroekonomi; ketidakstabilan ekonomi makro seperti merajalelanya
inflasi dan volatile, kekurangan valuta asing dan defisit fiskal besar-besaran
adalah jauh lebih besar dari sumber ketidakamanan terhadap produsen, pedagang
dan konsumen dari ketidakstabilan produksi pertanian. Upaya untuk memberikan
ketahanan pangan dan stabilitas harga riil diharapkan tidak memperburuk
ketidakstabilan makro ekonomi. Penghapusan subsidi harga umum secara
bertahap dan penjajaran harga dengan tren harga dunia diharapkan dapat
membantu proses tersebut, sebagai upaya untuk merangsang penerimaan devisa
bersih dan untuk memulihkan keseimbangan fiskal, (b) pengembangan sektor
swasta; ada banyak fungsi yang dapat dilakukan oleh swasta secara efektif yaitu
antara lain dapat melakukan penataan ruang dan operasi arbitrase inter-temporal
biaya pemasaran yang rendah. Untuk mengembangkan sektor swasta pemerintah
harus menyadari bahwa harga musim dan harga teritorial adalah tidak sesuai
dengan perkembangan sektor swasta dan efektivitas arbitrase spasial diharapkan
tidak dihalangi oleh hukum dan hambatan administrasi. Pemerintah, terutama
pada transisi ekonomi juga harus menciptakan infrastruktur dari suatu sistem
pemasaran yang "normal", seperti membuka bursa komoditi dan pengembangan
pasar. Penyediaan infrastruktur juga harus didukung oleh likuiditas swasta dan
keyakinan untuk spekulasi pembiayaan komoditas. Sementara itu secara
keseluruhan susunan dari kelembagaan baru akan muncul. Sebagai contoh, di
beberapa negara, pengolah yang digunakan untuk bergantung pada badan sektor
publik untuk mereka yang telah membuat perjanjian dengan menghubungkan
pasar petani, membiayai produksi dan pemasaran padi-padian untuk menjamin
pasokan mereka sendiri. Inovasi yang sama muncul di bidang keuangan, seperti
skim kredit persediaan. Pemerintah dapat membantu perkembangan ini dengan
memberikan kerangka hukum dan administrasi yang diperlukan, (c) intervensi

Tgs Kebijakan Harga Pertanian Lanjut Oleh Yannizar 9


Critical Review

agen sektor publik; arbitrase sektor swasta yang efektif tidak akan berkembang
dalam waktu yang singkat, beberapa bentuk intervensi sektor publik tetap
diperlukan. Intervensi sektor publik untuk menstabilkan harga dan menjaga
ketahanan pangan sangat diperlukan di mana sektor swasta belum sepenuhnya
berkembang. (d). bantuan internasional; stabilisasi harga dan ketahanan pangan
sangat diperlukan pada negara di mana makanan masih merupakan proporsi yang
signifikan dari pengeluaran konsumen dan pertanian merupakan komponen
penting dari PDB. Namun, pada saat ini terdapat sedikit atau tidak ada donor
untuk mendukung kegiatan tersebut. Hal ini dikarenakan banyak catatan buruk
lembaga parastatal di masa lalu. Seharusnya masyarakat donor internasional harus
melihat kembali tentang peran lembaga intervensi.

II. Tinjauan kritis


Sesuai dengan judul tulisan ini Stabilisasi harga, liberalisasi dan
ketahanan pangan: konflik dan resolusi, maka bila diamati tulisan ini belum jelas
apa yang menjadi konflik. Selanjutnya juga tidak jelas resolusi apa yang
ditawarkan. Masalah liberalisasi juga belum dibahas dengan baik dan tuntas.
Tulisan ini seharusnya dimulai dengan menjelaskan fungsi dan peranan
pemerintah, sehingga jelas batas wewenang dan tanggung jawab pemerintah
dalam hal memberikan layanan stabilisasi produksi dan harga serta ketahanan
pangan. Selanjutnya dapat dijelaskan kegiatan-kegiatan apa saja yang dapat
dilakukan oleh sektor swasta, untuk tercapainya stabilisasi produksi, harga dan
ketahanan pangan. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa masalah stabilisasi
produksi dan harga serta ketahanan pangan pada dasarnya adalah wewenang dan
tanggung jawab pemerintah. Musgrave dan Musgrave (1993), misalnya
menyatakan bahwa dalam perekonomian pemerintah memiliki 3 (tiga) fungsi
yaitu fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. Selanjutnya simatupang (2007),
mengatakan bahwa ketahanan pangan memenuhi kriteria barang publik
sehingga pembangunannya mesti dilakukan pemerintah termasuk melalui
intervensi pasar. Kebijakan ketahanan pangan dievaluasi berdasarkan minimum
cost, bukan maximizing benefit. Dari kedua pendapat ini, jelas bahwa masalah
stabilisasi produksi dan harga serta ketahanan pangan merupakan tugas

Tgs Kebijakan Harga Pertanian Lanjut Oleh Yannizar 10


Critical Review

pemerintah dan tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada sektor swasta, karena
swasta akan berorientasi profit. Sebagaimana diketahui bahwa pangan
menyangkut kehidupan semua warga negara, untuk itu komoditas pangan bisa
pula dipandang sebagai komoditas politik. Kestabilan suatu pemerintahan akan
sangat tergantung pada tercukupinya pangan bagi seluruh penduduknya.
Tulisan ini tidak merumuskan permasalahan dan tujuan penelitian dengan
baik serta tanpa model penelitian. Tulisan ini juga tidak mendefinisikan variabel-
variabel atau konsep-konsep yang digunakan secara jelas. Tulisan ini hanya
bersifat deskriptif yang tidak didukung oleh data empiris serta terlalu
menjeneralisir permasalahan, seharusnya lebih baik melakukan penulisan pada
kasus kawasan, wilayah atau negara tertentu saja. Teori-teori yang mendukung
sangat minim, hanya bersifat konsep-konsep yang diutarakan. Dengan demikian,
maka ketajaman analisis tidak tampak dan kesimpulan tulisan masih
mengambang.
Masalah ketidaktahanan pangan, bukan hanya masalah ketidakstabilan
produksi, tetapi juga menyangkut pada masalah distribusi dan akses masyarakat.
Tulisan ini tidak melakukan tinjauan terhadap kedua masalah ini, padahal
walaupun pangan tersedia dalam jumlah yang cukup tanpa distribusi yang baik
dan kemampuan masyarakat untuk mengakses, ketahanan pangan akan sulit
tercapai. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa masalah distribusi merupakan
salah satu fungsi pemerintah dan fungsi ini relatif agak mudah untuk
diimplimentasikan dan tidak memerlukan waktu yang terlalu lama. Namun,
masalah kemampuan masyarakat untuk mengakses pangan relatif sulit untuk
diatasi. Kemampuan untuk mengakses pangan akan sangat tergantung pada
kemampuan ekonomi masyarakat. Sebagaimana diketahui, bahwa di negara-
negara berkembang masalah kemiskinan masih menjadi isu yang utama. Untuk
meningkatkan kemampuan mengakses pangan untuk kelompok masyarakat yang
paling miskin dapat dilakukan dengan pemberian subsidi harga, seperti pengadaan
Raskin dan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), sebagaimana yang
diterapkan oleh Indonesia akhir-akhir ini. Pemberian BLT ini harus dipandang
sebagai hal yang sangat mendesak dan hanya diberikan untuk jangka pendek pada

Tgs Kebijakan Harga Pertanian Lanjut Oleh Yannizar 11


Critical Review

masyarakat yang sangat miskin, yang harus dilanjutkan dengan bantuan


permodalan, sehingga kemampuan untuk mengakses pangan menjadi meningkat
dan berkesinambungan.
Pentingnya kemampuan untuk mengakses pangan didukung oleh beberapa
hasil penelitian, seperti Ilham et al. (2006), menyatakan bahwa ketersediaan
pangan di tingkat nasional terbukti tidak menjamin akses pangan di tingkat rumah
tangga. Lebih lanjut Ilham et al. (2006), mengatakan bahwa untuk mengefektifkan
kebijakan harga pangan perlu didukung oleh kebijakan lain, terutama kebijakan
penyediaan infrastruktur, peningkatan pendapatan masyarakat, dan membenahi
kebocoran-kebocoran dana yang berkaitan dengan program pangan.
Senada dengan pendapat Simatupang (2007), menyatakan bahwa strategi
swasembada pangan yang didasarkan pada paradigma ketersediaan pangan (food
availability) terbukti tidak dapat menjamin akses pangan bagi semua keluarga
atau individu yang merupakan inti dari ketahanan pangan. Paradigma yang
dipandang lebih tepat ialah perolehan pangan (food entitlement) yang mencakup
dimensi ketersediaan, akses dan penggunaan.
Jadi tak dapat dipungkiri bahwa intervensi pemerintah sangat penting
dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Kebijakan liberalisasi
pangan yang diusulkan oleh penulis ini, sangat tidak menguntungkan, terutama
bagi negara-negara yang sedang berkembang. Hal ini, karena terkait terutama
terhadap masih rendahnya kemampuan untuk mengakses pangan, karena
rendahnya tingkat pendapatan. Disamping itu juga, daya saing negara-negara
berkembang juga masih rendah, karena rendahnya sumberdaya petani yang
mengakibatkan penyerapan dan inovasi teknologi menjadi terhambat. Hal ini
selanjutnya mengakibatkan rendahnya produktivitas dan kualitas produksi yang
dihasilkan. Jika liberalisasi dipaksakan, maka pangan impor akan membanjiri
negara-negara berkembang, yang selanjutnya akan semakin melemahkan
kemampuan berproduksi di dalam negeri, karena tidak adanya insentif harga yang
diharapkan oleh petani (produsen). Apalagi di negara-negara berkembang masalah
input, terutama pupuk dan pestisida masih menjadi persoalan yang utama. Tidak
jarang terjadi kelangkaan pupuk dengan harga yang sangat tinggi. Begitu juga

Tgs Kebijakan Harga Pertanian Lanjut Oleh Yannizar 12


Critical Review

dengan pestisida juga dijual dengan harga yang sangat tidak terjangkau oleh
petani. Dengan demikian, kebijakan pembatasan impor masih diperlukan, yang
dibarengi dengan meningkatkan produksi dalam negeri melalui peningkatan
produktivitas serta kebijakan diversifikasi pangan, sehingga akan mengurangi
tekanan pada ketersediaan terhadap satu macam produk pangan (beras).
Ada yang berpendapat bahwa krisis pangan global sekarang ini adalah
hasil dari kesalahan kebijakan dari lembaga-lembaga dunia seperti Bank Dunia
dan IMF (Dana Monter Internasional) dan juga kesalahan kebijakan dari banyak
negara di dunia, termasuk negara-negara yang secara potensi adalah negara besar
penghasil beras seperti Indonesia, India dan China. Schutter, misalnya, ketua FAO
(badan PBB yang menangani pangan dan pertanian) mengatakan bahwa Bank
Dunia dan IMF menyepelekan pentingnya investasi di sektor pertanian. Salah satu
contohnya adalah desakan dari kedua badan dunia ini kepada negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia, untuk menghasilkan komoditas berorientasi
ekspor, terutama manufaktur, dengan mengabaikan ketahanan pangan (Tambunan,
2008). Pendapat Tambunan ini juga membuktikan, bahwa reformasi dan
liberalisasi pangan yang diajukan penulis, tidak cukup ampuh untuk mengatasi
masalah ketidakstabilan produksi dan harga.
Tulisan ini juga terlalu menekankan pentingnya stabilitas produksi.
Masalah stabilitas pendapatan kurang mendapat perhatian. Padahal untuk
meningkatkan ketahanan pangan baik dari sisi konsumen maupun produsen
diperlukan stabilitas pendapatan (income stability). Petani (produsen) yang tidak
memiliki pendapatan yang cukup, terutama petani miskin, tentu akan sulit untuk
membiayai produksinya, seperti pengadaan bibit dan pupuk. Para konsumen
seperti dijelaskan di atas, jika pendapatannya tidak stabil, akan sulit mengakses
pangan. Dengan demikian menciptakan stabilitas pendapatan masyarakat (income
stability) sangat penting dalam rangka mencapai stabilitas ketahanan pangan.
Terhadap petani (produsen), misalnya dapat diberikan subsidi input, sehingga
dapat meningkatkan kemampuan berproduksi dan dapat menggairahkan petani
untuk berproduksi. Para konsumen seperti dijelaskan di atas juga diberikan
subsidi harga melalui pengadaan Raskin dan pemberian BLT.

Tgs Kebijakan Harga Pertanian Lanjut Oleh Yannizar 13


Critical Review

III. Implementasi di Indonesia


Reformasi dan liberalisasi serta peningkatan peran sektor swasta untuk
melakukan stabilitas produksi dan harga serta ketahanan pangan sebagaimana
yang dikemukakan pada tulisan ini, sepertinya kurang tepat untuk
diimplementasikan di Indonesia sepenuhnya. Sebagai negara yang sedang
berkembang Indonesia dengan berbagai keterbatasan, intervensi pemerintah masih
sangat diperlukan. Menurut Malian at all. (2004), menyebutkan bahwa kebijakan
stabilitas harga beras di pasar domestik yang berorientasi pada peningkatan
pendapatan petani, merupakan suatu paket kebijakan yang diperlukan oleh petani
padi saat ini. Petani Indonesia dengan tingkat pendidikan yang relatif masih
rendah sangat memerlukan bimbingan dan berbagai insentif dalam menggiatkan
produksi nasional. Kuantitas dan kualitas pangan yang dihasilkan masih sangat
terbatas. Kalau impor beras tidak dibatasi, maka harga domestik akan anjlok, yang
selanjutnya akan menurunkan tingkat pendapatan petani dan tidak akan
menggairahkan petani untuk berproduksi. Hal ini tentu akan mengganggu
stabilitas ketahanan pangan kita.
Di Indonesia reformasi pengelolaan pangan, diawali oleh saran atau
desakan IMF kepada pemerintah Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto, dan
bahkan dipaksakan setelah krisis ekonomi 1997/98, yakni mengurangi secara drastis
peran Bulog (Tambunan, 2008). Reformasi Bulog dilanjutkan dengan
direorganisasinya Bulog menjadi Perusahaan Umum (Perum) Bulog sejak 9 Mei
2003 (Yonekura, 2005). Sebagai akibat diterimanya saran IMF oleh Indonesia,
maka terjadi kekacauan manajemen pangan karena semuanya diserahkan kepada
sektor swasta. Walaupun belum ada bukti secara ilmiah bahwa mengecilnya peran
Bulog dalam era pasca krisis sekarang ini menjadi penyebab utama lemahnya
ketahanan pangan di Indonesia, namun sudah pasti bahwa reformasi Bulog
tersebut turut berperan (Tambunan, 2008).
Mencermati hal tersebut, maka swastanisasi pengelolaan pangan ternyata
sangat membahayakan stabilitas ketahanan pangan bagi Indonesia. Peran
pemerintah terhadap pangan, terutama beras harus diberi porsi yang lebih besar.

Tgs Kebijakan Harga Pertanian Lanjut Oleh Yannizar 14


Critical Review

Disamping masalah swastanisasi pangan, di Indonesia juga telah terjadi


kegagalan koordinasi antara pihak Perum Bulog dengan Menteri Pertanian
(Yonekura, 2005). Untuk itu, dalam rangka meningkatkan produksi, pola
distribusi, kestabilan produksi dan harga, perlu ditingkatkan koordinasi dan
kerjasama antara kedua lembaga pemerintahan tersebut.
Seiring dengan mencuatnya kenaikan harga berbagai komoditas pangan
strategis akhir-akhir ini, maka pemerintah berencana akan mengkaji pengembalian
status Bulog dari Perum menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND).
Sebagai perusahaan dengan status Perum, maka Bulog memiliki kewajiban untuk
memperoleh keuntungan, padahal Bulog juga memiliki tugas publik seperti
stabilisasi harga, khususnya beras (Republika, 2008). Rencana ini sangat tepat,
karena dengan fungsi yang saling bertolak belakang tersebut, maka pada saat
krisis pangan yang terjadi saat ini, maka Perum Bulog tidak bisa berbuat banyak,
terutama untuk melalukan stabilisasi harga. Perlu diingat bahwa pengendalian
harga tidak bisa diserahkan pada mekanisme pasar.
Dalam rangka menjaga stabilitas harga beras dalam negeri, peningkatan
pendapatan petani dan peningkatan ketahanan pangan serta pengembangan
ekonomi pedesaan, pemerintah telah menetapkan kebijakan perberasan nasional
sebagaimana yang tercantum pada Inpres Nomor 2 Tahun 2005. Namun
kenyataannya bahwa persoalan ketahanan pangan di Indonesia masih saja
dihadapkan pada berbagai persoalan, seperti rendahnya profit yang diterima oleh
petani, harga pangan yang belum terjangkau oleh konsumen dan masih tingginya
tingkat ketergantungan pengadaan pangan melalui impor.
Menurut Arifin (2008), bahwa untuk memulihkan perekonomian Indonesia
dapat diwujudkan bila pemerintah merumuskan kembali kebijakan sektor
pertanian yang mengusung peningkatan kesejahteraan bagi petani. Dalam hal ini,
petani dijamin akan mendapatkan keuntungan yang wajar, sehingga termotivasi
untuk meningkatkan produktivitas. Selain itu, pemerintah juga harus konsisten
untuk tidak menggantungkan pengadaan pangan melalui impor. Selain
menjatuhkan harga jual hasil panen petani, impor juga mengakibatkan upaya
untuk terus meningkatkan kuantitas maupun kualitas produksi pangan tidak akan

Tgs Kebijakan Harga Pertanian Lanjut Oleh Yannizar 15


Critical Review

berjalan optimal. Untuk itu, pemerintah harus memastikan petani tanaman pangan
mendapatkan harga yang pantas di saat panen. Ini dilanjutkan dengan kebijakan
yang bisa memastikan harga dan pasokan bahan pangan pada tingkat yang
terjangkau oleh konsumen dengan meminimalisasi peran spekulan dari pedagang
dan distributor yang mencari keuntungan sesaat dalam jumlah besar bagi
kepentingan mereka.
Terkait dengan masalah liberalisasi pasar beras di Indonesia, dapat dilihat
bahwa, menurut Jamhari (2004) setelah liberalisasi dilakukan pada bulan
September 1998 proporsi impor beras yang dilakukan oleh swasta meningkat
sangat signifikan, yaitu dari 19% pada tahun 1998 menjadi 63% tahun 1999.
Liberalisasi pasar beras juga membuat petani padi di Indonesia semakin
menderita, karena harga beras selalu berada di bawah harga dasar atau terjadi
penurunan harga pada tingkat petani, hal ini tentu akan menurunkan tingkat
pendapatan mereka. Untuk mengatasi hal tersebut, maka pemerintah telah
melakukan kebijakan pengenaan tarif impor sebesar 30% (Rp.430/kg) pada
tanggal 1 Januari 2000. Kebijakan ini ternyata juga tidak efektif. Untuk itu saat ini
masih diperdebatkan tentang perlunya mengembalikan satus Bulog menjadi
Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). Apakah hal ini akan efektif ?
Belum tentu juga, karena masih banyak persoalan lain menyangkut ketahanan
pangan Indonesia, seperti produksi yang rendah, akibat alih fungsi lahan, terutama
daerah sentra padi Indonesia (Jawa), varietas bibit unggul, kelangkaan pupuk,
sarana irigasi, produktivitas lahan yang terus turun dll. Setidaknya dengan
penghapusan Bulog sebagai Perum, orientasi untuk mengejar profit tidak ada lagi,
dengan demikian Bulog akan dapat berfungsi sebagai badan stabilisasi
sepenuhnya.

IV. Penutup
Dalam masalah stabilisasi produksi dan harga serta ketahanan pangan
suatu negara, maka intervensi pemerintah sangat diperlukan, untuk itu, maka
peranan pemerintah harus diberi porsi yang lebih besar dari sektor swasta.
Pengalaman membuktikan, bahwa reformasi atau swastanisasi pengelolaan

Tgs Kebijakan Harga Pertanian Lanjut Oleh Yannizar 16


Critical Review

pangan ternyata tidak menguntungkan, bahkan dapat mengganggu stabilitas


produksi dan harga.
Liberalisasi perdagangan pangan tidak menguntungkan, terutama bagi
Indonesia. Dengan demikian, maka pembatasan impor melalui pengenaan tarif
impor masih tetap diperlukan. Disamping itu, peningkatan produksi dalam negeri
dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan harus dilakukan dan perlu diupayakan
untuk meminimalisasi peran spekulan yang mencari keuntungan sesaat.
Selanjutnya pengkajian untuk mengembalikan status Bulog dari Perum menjadi
Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) harus dilakukan dengan segera.
Untuk mencapai ketahanan pangan, tidak cukup hanya melalui stabilitas
produksi. Bagi konsumen masalah distribusi dan kemampuan mengakses jauh
lebih penting. Dengan demikian, perlu dilakukan distribusi yang merata dan
peningkatan pendapatan dalam rangka meningkatkan akses pangan. Bagi petani
(produsen) untuk berproduksi juga diperlukan pendapatan yang stabil. Petani
(produsen) yang miskin dapat dibantu melalui pemberian subsidi input dan
konsumen miskin dapat dibantu melalui subsidi harga seperti Raskin dan/atau
pemberian BLT. Hal ini berarti baik konsumen maupun produsen perlu
ditingkatkan pendapatannya dalam mencapai ketahanan pangan. Disamping itu
juga perlu dilakukan diversifikasi pangan, supaya masyarakat tidak hanya
tergantung pada komoditi beras. Untuk itu, paradigma pembangunan ketahanan
pangan harus dirobah dari swasembada beras menjadi swasembada pangan.
Dari stabilitas produksi menjadi stabilitas pendapatan (income stability).

Tgs Kebijakan Harga Pertanian Lanjut Oleh Yannizar 17

Anda mungkin juga menyukai