Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH PENYULUHAN DAN KOMUNIKASI PERIKANAN

Adopsi Inovasi Perikanan Budidaya Karamba Jaring Apung


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Penyuluhan dan Komunikasi
Perikanan

Disusun oleh:
Kelompok 5 / Perikanan A

Yuyun Yunengsah 230110130008


Fikri K. Naufaldy 230110140008
Gitri Maudy 230110140014
Deanta Faiz L. 230110140045
Freddy Aditya D. 230110140046
Anwar Muhammad S. 230110140066

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JATINANGOR

2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Adopsi
Inovasi Perikanan Budidaya Karamba Jaring Apung yang disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Penyuluhan dan Komunikasi Perikanan.
Makalah ini berisi penjelasan mengenai definisi penyuluhan, pengertian
teori komunikasi, fungsi komunikasi, dan tujuan komunikasi. Dalam penyusunan
makalah ini, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Kami menyadari terdapat banyak sekali kekurangan pada makalah ini baik
dari penyusunannya maupun isi materinya, sehingga kritikan yang bersifat
membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan
menjadikan lebih baik dalam pembuatan makalah selanjutnya.

Jatinangor, Maret 2016

Kelompok 5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Adopsi inovasi merupakan suatu proses mental atau perubahan perilaku
baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan
(psychomotor) pada diri seseorang sejak ia mengenal inovasi sampai memutuskan
untuk mengadopsinya setelah menerima inovasi (Rogers dan Shoemaker, 1971).
Hal senada disampaikan oleh Soekartawi (1988) yang menyatakan bahwa adopsi
merupakan proses mental dalam diri seseorang melalui pertama kali mendengar
tentang suatu inovasi sampai akhirnya mengadopsi.
Keramba Apung adalah sebuah sarana pembiakan perikanan yang
menggunakan jaring sebagai sarana pembiakan. Pembiakan ikan biasa dilakukan
di laut ataupun di media air tawar seperti danau atau waduk, dengan alasan
kedalaman yang dibutuhkan untuk keramba biasanya cukup dalam, dimana
kedalaman tersebut tidak tersedia di media air tawar lain seperti sungai atau
tambak. Keramba apung yang ada saat ini kebanyakan hanya berupa jaring yang
diikatkan pada pelampung yang terbuat dari drum atau gentong bekas dan ikan
dibudidayakan didalam jaring tersebut. Para petani ikan menebarkan benih ikan
pada awal masa pembiakkan dan pada saat masa panen mereka akan memanen
hasilnya. Keramba konvensional terdapat beberapa kelemahan, yaitu para petani
ikan baru bisa memanen ikannya jika sudah mencapai masa panen.
1.2 Tujuan
Tujuan proses adopsi inovasi dalam bidang perikanan ini adalah mengetahui
pentingnya proses adopsi dan inovasi dalam bidang perikanan dan juga pengaruh
antara faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi dan inovasi dalam bidang-bidang
perikanan tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Status sosial dari pemdudidaya karamba jaring apung ikan di danau
maninjau, Indonesia
Pengembangan masyarakat dunia di abad ke-21 telah menunjukkan
kecenderungan untuk perubahan perilaku dan pola gaya hidup dan konsumsi
makanan untuk produk perikanan. Keberlanjutan produksi pangan ikan sangat
tergantung pada motivasi dan partisipasi nelayan dan petani ikan. Pilihan
teknologi yang diterapkan dan ditegakkan kebijakan dan harus memiliki dampak
positif bagi kesejahteraan mereka. Berurusan dengan status sosial ekonomi petani
ikan di Danau Maninjau, Syandri memeriksa penelitian pada investasi karamba
jaring apung. Ia menemukan bahwa investasi yang sangat menguntungkan secara
ekonomi. Diadakan penelitian terhadap kualitas air dan status tropik dalam
kaitannya dengan massa ikan dengan teknologi keramba jaring apung di Danau
Maninjau. Kualitas buruk air menyebabkan ikan mati di keramba jaring apung.
Selain it , Pangemanan et,al. diteliti kelayakan mengambang sistem budidaya ikan
berdasarkan pengendapan dan aspek ekonomi di Danau Tondano yang
mengakibatkan bahwa semua daerah pesisir yang layak untuk mengembangkan
sistem bisnis budidaya ikan kecuali wilayah Utara Danau Tondano. Penelitian ini
meneliti aspek di Danau Maninjau. Kegiatan pembudidaya ikan dengan jaring
apung di Danau Maninjau dimulai pada tahun 1992 yang terdiri dari 16 unit
kandang dengan produksi 96 ton. Pada tahun 2013 , kandang meningkat menjadi
16.120 unit yang diproduksi 12.090 ton ikan dengan produksi nilai USD
2172600000. Pembudidaya spesies ikan Majalaya (Cyprinus carpio) dan ikan
nila (Oreochromis niloticus). Menurut FAO, sektor perikanan sangat berharga dan
pentingnya terkait dengan pekerjaan, dukungan mata pencaharian, pengentasan
kemiskinan, ketahanan pangan serta valuta asing. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk survei status sosial pembudidaya ikan di Danau Maninjau untuk
menganalisis sosial ekonomi karakteristik pembudidaya ikan, tingkat produksi
pembudidaya ikan, manajemen pembudidaya ikan, dan kendala untuk budidaya
ikan didaerah penelitian.
2.2 KJA Terpadu Dengan Sistem Akuageoponik (IFCAS) : Sebuah
Inovasi Pada Perikanan Dan Produksi Sayuran Untuk Kolam
Berlumpur Di Bangladesh
Akuageoponik (aquaphonic) merupakan salah satu teknologi budidaya
yang mengkombinasikan pemeliharaan ikan dengan tanaman (Nelson, 1998).
Teknologi ini merupakan teknologi terapan hemat lahan dan air dalam budidaya
ikan sehingga dapat dijadikan sebagai suatu model perikanan perkotaan dan
pertamanan di kompleks perumahan.
Penerapan akuageoponik merupakan jawaban dari efisiensi air dan
penghematan lahan budidaya serta tambahan pendapatan (income) dari hasil
panen. Dengan budidaya akuageoponik nitrat dan pospat yang merupakan limbah
dari budidaya ikan dapat diserap dan digunakan sebagai pupuk oleh tanaman
akuatik sehingga menurunkan konsentrasi cemaran (N dan P) serta meningkatkan
kualitas air.
Sistem ini mengintegrasikan budidaya ikan secara tertutup (resirculating
aquaculture) yang dipadukan dengan sistem tanam sayur/buah tahan air.
Penggunaan biofilter pada sistem akuageoponik diharapkan meningkatkan
kualitas air untuk digunakan kembali dalam pemeliharaan ikan. Untuk kegiatan
budidaya perikanan kualitas air yang tepat dan berada dalam kisaran layak
berkaitan dengan sintasan dan pertumbuhan ikan (Boyd, 1982; Effendi, 2002).
Suhu dan pH merupakan faktor kontrol, sedangkan oksigen dan cahaya
merupakan faktor pembatas terhadap organisme (ikan). Macan (1960) menyatakan
dengan mengetahui komposisi jenis dan kelimpahan plankton dan makrobentos
pada kolam ikan nila dalam penerapan sistem akuageoponik akan diketahui
kondisi ekologis kolam dan keseimbangannya guna pengelolaan lingkungan
budidaya.
lkan Nila merupakan jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi
dan merupakan komoditas penting dalam bisnis ikan air tawar dunia. Beberapa hal
yang mendukung pentingnya komoditas Nila adalah a) memiliki resistensi yang
relatif tinggi terhadap kualitas air dan penyakit; b) memiliki toleransi yang luas
terhadap kondisi lingkungan; c) memiliki kemampuan yang efisien dalam
membentuk protein kualitas tinggi dari bahan organik, limbah domestik, dan
pertanian; d) memiliki kemampuan tumbuh yang baik; serta e) mudah tumbuh
dalam sistem budidaya intensif (Carman dan Sucipto, 2009).
Nila Best merupakan hasil program seteksi famili. Penggunaan seleksi
famili dalam sebuah program pemuliaan ikan nila merupakan langkah tepat yang
harus ditempuh mengingat performa nila sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan. Hingga saat ini budidaya pembesaran ikan Nila masih sangat layak
untuk dikembangkan dalam suatu unit usaha karena harga jual ikan ini di pasar
domestik sangat menggiurkan, sementara itu beberapa pasar di daerah seperti
Jawa Tengah, Jawa Barat dan Padang masih kekurangan pasokan. Menurut data
statistik hampir 80% dari produk nila terserap untuk pasar lokal, belum lagi
peluang pasar untuk eksport (Carman dan Sucipto, 2009).
Amonia dalam air merupakan produk hasil metabolisme ikan dan
pembusukan senyawa organik oleh bakteri. Keberadaan amonia dalam air
mempengaruhi pertumbuhan karena dapat mereduksi masukan oksigen yang
disebabkan oleh rusaknya insang, menambah energi untuk keperluan
detoksifikasi, mengganggu osmoregulasi dan mengakibatkan kerusakan fisik pada
jaringan (Boyd, 1990), kandungan nitrit dalam perairan dapat menghambat
kemampuan darah biota air dalam mengikat oksigen, sehingga biota ini akan
terserang methaemoglobin yang dapat menyebabkan kematian. Setelah nitrit
terbentuk danterakumulasi maka nitrobakter akan tumbuh dengan mengkonsumsi
nitrit tersebut dan kemudian menguraikannya menjadi nitrat. Nitrat umunya tidak
berbahaya/beracun bagi ikan tetapi menurut EPA (1986) nitrat dapat berbahaya
apabila pada kondisi tertentu nitrat tersebut berkurang dan berubah menjadi nitrit,
namun pada konsentrasi sekitar 90 Miligram per Liter (MgL) tidak merugikan
ikan.
2.3 Pengembangan akuakultur di pedesaan : Tinjauan Hubungan Sosial
Ekonomi Dengan tingkat adopsi teknologi
Pembangunan perikanan budidaya di Indonesia secara umum telah mampu
meningkatkan produksi pada berbagai bidang usaha yang dikembangkan.
Produksi perikanan dalam periode 2000-2004 mengalami peningkatan rata-rata
per tahun sebesar 5.23% yakni dari 5.107 juta ton pada tahun 2000 menjadi 6.231
juta ton pada tahun 2004. Produksi perikanan tersebut masih didominasi oleh
usaha penangkapan. Rendahnya produksi perikanan budidaya antara lain
disebabkan oleh masih rendahnya manajemen budidaya pada sebagian besar
pembudidaya ikan (Mintohardjo, 2003).
Berbagai upaya untuk meningkatkan produksi akuakultur terus dilakukan
oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dengan melaksanakan berbagai macam
program diantaranya, program Intensifikasi Budidaya Ikan (INBUDKAN),
Budidaya Ikan di Pedesaan, Budidaya Ikan Terintegrasi dan lain-lain. Melalui
program ini, teknologi budidaya ikan diintroduksikan dengan tujuan untuk
memperbaiki pelaksanaan budidaya ikan.
Keberhasilan program pengembangan perikanan budidaya sangat
dipengaruhi oleh kesesuaian teknologi yang dianjurkan dengan kebutuhan
pembudidaya ikan. Hal ini disebabkan oleh sifat akuakultur yaitu spesifik lokasi,
sehingga teknologi yang telah diciptakan dengan baik harus diadaptasikan atau
dimodifikasi untuk diaplikasikan di lokasi berbeda guna mengetahui variabilitas
ekonominya (Widodo, 2001).
Perkembangan inovasi dan teknologi di bidang perikanan saat ini kian
berkembang cukup pesat, oleh karena itu diperlukan sebuah kegiatan untuk
melakukan perubahan-perubahan kepada masyarakat. Salah satu upaya
melaksanakan perubahan tersebut diperlukan kegiatan penyuluhan (Van Den Ban
dan Hawkins, 1999; Wiramiharja et.al. 2007). Penyuluhan sangat diperlukan
dalam pengembangan masyarakat agar mampu mandiri. Penyuluhan berperan
penting untuk meningkatkan kesejahteraan melalui perubahan perilaku dalam
berusaha, berbisnis dan bermasyarakat (Slamet, 2003).
Pengembangan akuakultur pada lokasi yang berbeda dipengaruhi oleh
sejumlah pembatas diantaranya faktor biologi, ekonomi dan sosial (Widodo,
2001). Selain itu, faktor lainnya adalah kesediaan pembudidaya ikan untuk
mengadopsi teknologi budidaya ikan yang dianjurkan. Kesediaan untuk
melakukan adopsi atau tidak akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
keluaran program yang dikembangkan itu sendiri (Kusai, 1996).
Kabupaten Purbalingga merupakan salah satu sentra pembesaran ikan
gurame di kawasan Eks Karesidenan Banyumas. Program pengembangan
budidaya ikan berikut introduksi teknologi pembesaran ikan gurami telah
dilakukan sejak lama. Namun hingga saat ini informasi mengenai tingkat adopsi
teknologi belum banyak diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini dilaksanakan
dengan tujuan untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat adopsi teknologi
pembesaran ikan gurami yang ada dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi
pengambil kebijakan untuk menyempurnakan program-program yang terkait
dengan penyediaan paket teknologi.
2.4 Pengaruh Budidaya Ikan Nila di Keramba Jaring Apung Pada
Kualitas Air Dari Waduk Nova Avahandava, So Paulo, Brasil
Akuakultur adalah kegiatan yang berkembang pesat dengan pertumbuhan
produksi yang cepat. Jumlah unit keramba jaring di Sao Paulo diperkirakan sekitar
ada 1 di Brazil. Produksi ikan air tawar pada tahun 1997 adalah 10.000 ton,
sedangkan 2006 produksinya mencapai 191.000 ton (IBAMA 2008). Di negara
bagian Sao Paulo, produksi ikan air tawar adalah 20.952 ton pada tahun 2006.
Produksi keramba jaring apung berkembang cepat dan telah memberikan
kontribusi yang baik. Ikan nila (Oreochromis Niloticus) merupakan spesies utama
yang dipelihara di keramba jaring apung yang bertumbuh dengan cepat, mudah
menyesuaikan diri dengan kepadatan tebar yang tinggi dan bisa menghasilkan filet
yang baik dan diterima dipasar nasional dan internasional. Budidaya ikan di
keramba memiliki potensi besar untuk berperan dalam pengembangan budidaya di
Brazil. Namun, agar ramah terhadap lingkungan, penting untuk mempelajari dan
memantau dampak kegiatan terhadap lingkungan. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengevaluasi perilaku parameter kualitas air di daerah di mana ada
produksi budidaya ikan nila yang terletak di waduk Nova Avanhandava.
Budidaya ikan seperti di keramba jaring apung tersebar luas diseluruh
dunia dan diindikasikan sebagai salah satu metode utama dalam memproduksi
ikan di daerah tropis. Dampak lingkungan dari kotoran ikan dan sisa pakan pada
budidaya ikan dapat menyebabkan eutrofikasi atau pertumbuhan mikroorganisme
secara berlebihan atau blooming. Selama satu decade terakhir, budidaya ikan nila
di Brazil meningkatkan produksi dan ekspor ikan.Percobaan ini dilakukan untuk
menganalisis parameter mikrobiologi dari kualitas air dari waduk yang digunakan
untuk irigasi dan budidaya ikan Nila (Oreochromis Niloticus) di keramba jaring
apung. Dalam budidaya ikan, sangat penting untuk mengontrol sifat kimia, fisik,
maupun biologi air yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan
pertumbuhan ikan. Mikroba memiliki peran dalam pengendalian parameter air
seperti oksigen terlarut, pH dan amonia.

2.5 ANALISIS EFISIENSI TEKNIS USAHA BUDIDAYA


PEMBESARAN IKAN KERAPU DALAM KERAMBA JARING
APUNG DI PERAIRAN TELUK LAMPUNG: Produktivitas, Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi Dan Implikasi Kebijakan
Pengembangan Budidayanya
Dalam kegiatan berproduksi, tujuan pembudidaya ikan adalah
memaksimumkan keuntungan usaha. Perolehan keuntungan maksimum berkaitan
erat dengan efisiensi dalam berproduksi. Proses produksi tidak efisien dapat
disebabkan oleh dua hal berikut. Pertama, karena secara teknis tidak efisien. Ini
terjadi karena ketidak berhasilan mewujudkan produktivitas maksimal; artinya per
unit paket masukan (input bundle) tidak dapat menghasilkan produksi maksimal.
Kedua, secara alokatif tidak efisien karena pada tingkat harga-harga masukan
(input) dan keluaran (output) tertentu, proporsi penggunaan masukan tidak
optimum. Ini terjadi karena produk penerimaan marjinal (marginal revenue
product) tidak sama dengan biaya marjinal (marginal cost) masukan (input) yang
digunakan. Efisiensi ekonomi mencakup efisiensi teknis (technical efficiency)
maupun efisiensi alokatif (allocative efficiency) sekaligus.
Faktor-faktor internal lazimnya berkaitan erat dengan kapabilitas
manajerialnya dalam berusaha. Tercakup dalam gugus faktor ini adalah tingkat
pengusahaan teknologi budidaya dan pasca panen serta kemampuan pembudidaya
ikan mengakumulasikan dan mengolah informasi yang relevan dengan usaha
budidayanya sehingga pengambilan keputusan yang dilakukan tepat.
Wujud kapabilitas manajerial dalam aspek budidaya tercermin dalam
aplikasi teknologi usaha bidudaya. Masukan apa saja yang digunakan, berapa
banyak, kapan (dan berapa kali) dan dengan cara bagaimana mengaplikasikannya
merupakan unsur-unsur pokok yang tercakup dalam aplikasi teknologi tersebut.
Jika produksi yang diperoleh mendekati potensi maksimum dari suatu aplikasi
teknologi yang terbaik (the best practiced) di suatu ekosistem yang serupa, maka
dapat dikatakan bahwa pembudidayaan ikan tersebut telah mengelola usaha
budidayanya dengan efisiensi teknis yang tinggi.
Usaha budidaya ikan kerapu dengan sistem karamba jaring apung di
Propinsi Lampung berkembang pesat, hal ini didukung oleh potensi sumberdaya
tersedia cukup besar, orientasi pasar ekspor dengan harga yang tergolong tinggi.
Di samping itu didukung pula dengan telah dikuasainya teknologi dalam usaha
budidaya ikan kerapu mulai dari teknologi pembenihan, pendederan hingga
pembesaran (Akbar, 2001).
Pengembangan usaha budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung
juga perlu memperhatikan kondisi tingkat efisiensi teknis. Dengan mengetahui
kondisi tingkat efisiensi teknis usaha, pengusaha dapat mempertimbangkan perlu
tidaknya suatu usaha dikembangkan lebih lanjut, dengan pendekatan bagaimana
bila memang pengembanganusaha tersebut diperlukan (Jondrow et al., 1986).
Untuk kasus usaha budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung di
Propinsi Lampung, penentuan kondisi tingkat efisiensi teknis dipandang perlu
karena berkaitan dengan strategi pengembangan system usaha dan peningkatan
produktivitas budidaya kerapu ke depan, apakah sebaiknya mengarah pada
penerapan sistem intensifikasi atau ekstensifikasi. Untuk itu, perlu dilakukan
analisis efisiensi teknis usaha budidaya ikan kerapu dalam keramba jarring apung
di Propinsi Lampung. Penelitian ini bertujuan: (a) untuk mengetahui tingkat
efisiensi teknis yang dicapai pembudidaya ikan dalam menjalankan usaha
budidayanya, (b) bagaimana sebaran efisiensi teknis tersebut diantara
pembudidaya pembesaran ikan kerapu dan (c) faktor-faktor apa yang
mempengaruhi kapabilitas manajerial sebagaimana tercermin dari tingkat efisiensi
teknis yang dicapai.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Status sosial dari pemdudidaya karamba jaring apung ikan di danau
maninjau, Indonesia
A. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Danau Maninjau Provinsi Sumatera Barat ,
Indonesia. Danau ini terletak di Kecamatan Tanjung Raya dibagi menjadi 8
wilayah pemerintah daerah , yaitu Maninjau , Bayur , Duo Koto , Koto Kaciek ,
Koto Gadang VI Koto , Koto Malintang , Tanjung Sani , dan Sungai Batang.
B. Teknik Sampling , Ukuran Sampel Dan Analisis Data
Teknik random sampling yang digunakan dalam pemilihan sampel , di
zona perikanan dari program pengembangan perikanan dari Danau Maninjau . Di
8 wilayah pemerintah daerah , 30 ikan - petani dipilih secara acak sebagai
informasi dari masing-masing dari pemerintah daerah yang benar-benar 240 ikan -
petani secara acak informan yang dipilih penelitian . Penelitian ini menggunakan
data yang dikumpulkan dari sumber primer dan sekunder . Data primer
dikumpulkan dengan melakukan wawancara dijadwalkan dan terstruktur ,
sementara sumber-sumber sekunder yang dikumpulkan melalui studi pustaka pada
buku teksan jurnal publikasi pada Budidaya . Wawancara itu digunakan untuk
mengumpulkan data dari ikan petani. Data dianalisis dengan menggunakan
statistik deskriptif.
3.2 KJA Terpadu Dengan Sistem Akuageoponik (IFCAS) : Sebuah
Inovasi Pada Perikanan Dan Produksi Sayuran Untuk Kolam
Berlumpur Di Bangladesh
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai dari Juli 2013 dengan memilih 9 rumah
tangga dari desa Dinar, di Charkawa Kecamatan Uni Barisal Sadar
Banglades.

Gambar 1. Lokasi Barisal Bangladesh tampak atas shaded ponds


Sumber : Elsevier 2015
B. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental, kuantitatif dan
kualitatif data mengenai pertumbuhan ikan di IFCAS dan kolam, produksi
sayuran, ikan dan konsumsi sayur, penjualan dan adopsi petani dari IFCAS
dicatat secara teratur. Setiap bulan sampel ikan diukur mengetahui
panjang dan berat, menggunakan penggaris dan neraca elektronik (Model
HKD-620AS-LED). Ikan dan produksi sayuran dan data konsumsi dicatat
oleh petani, yang telah dibekali pemahaman lebih mengenai dampak
keseluruhan teknologi.
3.3 Pengembangan akuakultur di pedesaan : Tinjauan Hubungan Sosial
Ekonomi Dengan tingkat adopsi teknologi
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di dua kecamatan yaitu Kemangkon dan
Purbalingga. Pemilihan kecamatan dilakukan secara sengaja (purposive
sampling) dengan kriteria bahwa kabupaten tersebut merupakan sentra
pembesaran ikan gurami di Kabupaten Purbalingga. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Februari hingga April 2006.
B. Metode Penelitian
Data primer yang dikumpulkan mencakup data karakteristik internal
dan eksternal responden (pembudidaya ikan). Karakteristik internal
responden mencakup data umur, pendidikan formal, pendidikan non
formal, pendapatan, jumlah tanggungan, alasan melakukan usaha,
frekuensi interaksi dengan penyuluh perikanan. Data primer diperoleh
dengan wawancara terhadap responden menggunakan pertanyaan
terstruktur yang bertujuan untuk mengetahui tingkat adopsi teknologi
budidaya ikan dan keeratan hubungan antara karakteristik internal
responden dengan tingkat adopsi.

3.4 Pengaruh Budidaya Ikan Nila di Keramba Jaring Apung Pada


Kualitas Air Dari Waduk Nova Avahandava, So Paulo, Brasil
A. Metode dan Tempat Penelitian
Area budidaya ikan terdiri dari 1 ha permukaan air dengan kedalaman rata-
rata 6 m. Memiliki sekitar 60 keramba jaring bersih 18 m3 ( 3 x 3 x 2 m ). Pada
akhir masa percobaan mereka memiliki 120 jaring apung yang terpasang dan
beroperasi. Pengambilan sampel sebanyak 3 lokasi, salah satu jaring apung di
daerah - P1 ( 2104'040 ' 'S dan 5005'461''W ), yang kedua di tempat pembesaran
- P2 ( 2103'913 ' 'S dan 5005'483''W ), dan yang ketiga dari jaring apung daerah
- P3 ( 2103'853 ' 'S dan 5005'591 " W ) . Jarak antara stasiun pengambilan
sampel yang 200 m antara P1 dan P2 dan 600 m antara P2 dan P3 . Kedalaman
yang 4 , 6 dan 8 m untuk P1 , P2 dan P3 stasiun.
Di laboratorium , parameter berikut ditentukan : fosfor, nitrogen, amonia,
nitrit, nitrat dan klorofil -a . Metodologi yang digunakan adalah sesuai dengan
APHA (1998 ) . Data dikumpulkan bulanan dari Desember 2005 sampai
Desember 2006. Dalam 2007 , dalam pengukuran dan analisis laboratorium
dilakukan dalam tujuh bulan dan lima bulan berturut-turut. Nilai rata-rata yang
diperoleh menjadi sasaran ANOVA . Ketika perbedaan signifikan yang diamati
antara sarana , uji Tukey ( p < 0,05 ) diaplikasikan menggunakan program
statistik.
Pengenceran sampel air dengan larutan garam 0,9% dan berlapis pada
media selektif. Total hitungan bakteri aerobic mesofilik dilakukan pada Plate
Count Agar (PCA), diinkubasi pada 30oC selama 5 hari. Menurut PHA (1998),
menggunakan media sebagai berikut : sodium lauryl sulfate (untuk uji coliform),
lactose bile 2% Brilliant Green Broth (tes untuk konfirmasi total coliform) dan
Escherichia coli Broth (untuk thermotolerant coliform). Kehadiran E. coli
ditentukan pada media fluorogenik.
3.5 Analisis Efisiensi Teknis Usaha Budidaya Pembesaran Ikan Kerapu
Dalam Keramba Jaring Apung Di Perairan Teluk Lampung:
Produktivitas, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dan Implikasi
Kebijakan Pengembangan Budidayanya
A. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan sejak September hingga Desember 2002. Sampai
dengan saat dilakukan penelitian ini, kegiatan budidaya pembesaran ikan kerapu
dalam keramba jaring apung di Propinsi Lampung masih terkonsentrasi di areal
sekitar Perairan Teluk Lampung yang secara administratif temasuk dalam
Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan. Selain itu, dengan
pertimbangan bahwa di lokasi tersebut adalah satu-satunya sentra produksi
kegiatan budidaya ikan kerapu dalam keramba jarring apung di Propinsi
Lampung, maka dalam penelitian ini secara sengaja (purposive) lokasi tersebut
ditentukan sebagai wilayah sampel. Populasi petani ikan di wilayah sampel
tersebut sebanyak 34 orang petani, sehingga untuk pengumpulan data digunakan
metode sensus diambil dari semua petani pembudidaya ikan kerapu tersebut.

B. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan model SPF yang telah mengalami
pengembangan lebih lanjut, yaitu model Stochastic Production Frontier
Technical Efficiency (SPF-TE) Effect Model sebagaimana dilakukan oleh Battesa
and Coelli (1995) maupun Yao and Liu (1998). Model tersebut relatif lebih baik
dari yang digunakan dalam penelitian-penelitian terdahulu. Hal ini karena dalam
model penelitian ini parameter yang bekerja dalam proses produksi dan parameter
yang mencerminkan kapabilitas manajerial usaha budidaya diestimasi secara
simultan agar konsisiten (Kunbhakar, 1987).
Pendugaan parameter yang tak biasa adalah menggunakan metoda Maximum
Likelihood (MLE). Agar konsisten maka pendugaan parameter fungsi produksi
dan inefficiency dilakukan secara simultan dengan program Frointer Version 4.1
(Coelli, 1996) dengan opsi Technical Efficiency Effect Model

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Status sosial dari pemdudidaya karamba jaring apung ikan di danau
maninjau, Indonesia
Karakteristik sosial ekonomi dari tenpat petani ikan seperti telah diuraikan
pada tabel 1, sebagian besar dari ikan petani ( 39.16 % ) adalah 31- 40 tahun.
Sementara sisanya, 20.83 % adalah 20-30 tahun, 19.63 % yang 41-50 tahun, dan
19.58 % berada di atas 50 tahun. Rata-rata usia (60 %) menunjukkan bahwa upaya
petani pun relatif muda. Petani muda yang produktif dan inovatif dan berani untuk
berinvestasi. kelompok usia dari 35-44 tahun (39.36 %) merupakan hal yang
paling produktif bertani. Dalam perspektif gender, responden 88.75 % sebagian
besar adalah laki-laki, sementara 11.25 % adalah perempuan. Di bidang
pendidikan, sebagian besar responden ( 45.83 % ) adalah lulusan sekolah
menengah atas, 27.08 % Sekolah Menengah Pertama dan 6.66 % sarjana.
Temuan itu sebagian besar dari petani ikan di wilayah studi kaum terpelajar yang
dapat dengan mudah mengadopsi inovasi. sebagian besar pembudidaya ikan
dalam penelitian ini daerah yang begitu berpengalaman bahwa mereka potensial
untuk mengembangkan inovasi untuk peningkatan produksi. di daerah pedesaan
sumber daya manusia yang dimainkan peran yang sangat penting untuk
pelaksanaan operasi akuakultur. mayoritas ( 50,41 % ) dari responden memiliki
dana pribadi, sedangkan 25,41 % dari mereka mendapat pendanaan dari juragan ,
13,75 % dari keluarga, dan 9,58 % dari penyisihan Bank. dana pribadi saja bisa
memiliki 8 unit jaring apung kandang secara maksimal. Petani yang telah
pendanaan dari juragan dan Bank bisa memiliki lebih dari 8 unit jaring apung -
kandang . Mayoritas ( 61,66 % ) dari tanah untuk pertanian di daerah penelitian
milik petani diri mereka ( mereka lahan sendiri ) , sisanya 24,17 % yang disewa ,
dan 14,16 % adalah tanaman- orang berbagi - menyewa lahan . Pendapatan
tahunan petani ikan adalah bahwa Mayoritas ( 32,08 % ) dari petani yang
diperoleh dari Rp 10.000.000 menjadi Rp 20.000.000 , 25,42 % diperoleh dari Rp
21.000.000 untuk 30.000.000 , sedangkan 22,5 % yang diperoleh di atas Rp
40.000.000.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas ( 52,08 % ) dari budidaya
adalah budidaya ikan memiliki bisnis yang berfokus pada aktivitas pembudidaya
ikan saja, sementara yang lain adalah pembudidaya ikan dengan terintegrasi.
Kegiatan pembudidaya ikan : 20.41 % dipraktekkan ikan dan pertanian padi , 20
% dipraktekkan ikan dan budidaya kakao , dan 7,5 % dari mereka berlatih ikan
dan peternakan sapi. Budidaya ikan terpadu di daerah sangat tergantung pada
lokasi, topografi, curah hujan, musim, dan teknologi yang dimiliki oleh petani.
Mengenai dengan informasi tentang budidaya ikan, mayoritas (51,25 %) dari
responden mendapat informasi dari teman-teman mereka dan sesama petani, 29,16
% dari media massa, 8,75 % dari agen dan juragan, sedangkan 2,08 % dari petani
mendapat informasi dari internet. Mayoritas ( 96,66 % ) dari petani menyatakan
bahwa kualitas air yang buruk adalah kendala utama untuk ikan produksi di
daerah penelitian. Faktor-faktor lain yang kendala untuk budidaya ikan di daerah
penelitian adalah: tingginya harga input ( 88,33 % ) , tingginya biaya feed (83,33
%), penyakit (71,66 %), dan infrastruktur yang tidak memadai (68,33 %). Kendala
faktor berkurang produksi ikan dan pendapatan sosial didaerah penelitian.
2.2 KJA Terpadu Dengan Sistem Akuageoponik (IFCAS) : Sebuah
Inovasi Pada Perikanan Dan Produksi Sayuran Untuk Kolam
Berlumpur Di Bangladesh
A. Hasil Penelitian
Karakteristik rumah tangga dan partisipasi mereka dalam pelaksanaan
penelitian. Rata-rata usia kepala rumah tangga HSP (48 4.36 tahun) secara
signifikan lebih tinggi (p <0,05) dibandingkan (33,75 3,75) dari kepala
rumah tangga MSP, tetapi semua yang digolongkan sebagai setengah baya,
mempertimbangkan populasi Bangladesh (Tabel 1). Kepala keluarga HSP
ditemukan lebih berpendidikan daripada rumah tangga MSP, dan untuk alasan
ini kepala HSP rumah tangga cenderung karyawan dalam pekerjaan kecil dan
usaha.
Pertanian adalah pekerjaan utama rumah tangga MSP, dan ukuran rumah
tangga mereka secara signifikan lebih besar (p <0,05) dibandingkan dengan HSP.
Tidak ada perbedaan yang signifikan (p> 0,05) dalam ukuran kepemilikan tanah
yang dimiliki oleh HSP dan MSP rumah tangga, tetapi karena keterlibatan mereka
di bidang pertanian, MSP rumah tangga disewakan di tambahan lahan (0,34
0,15 ha). Tahunan pendapatan rumah tangga HSP tidak signifikan lebih tinggi (p>
0,05) dibandingkan dengan rumah tangga MSP, namun karena melakukan
setidaknya satu pekerjaan tambahan, rumah tangga MSP memiliki pendapatan
tahunan yang relatif lebih tinggi.
Pertumbuhan dan produksi ikan konsumsi ditingkat rumah tangga
Kelangsungan hidup ikan nila di kandang IFCAS HSP (48,61%) dan
MSP (49,13%) tidak berbeda nyata. Namun, ada perbedaan yang signifikan (p
<0,05) ditemukan antara INCAS dari HSP dan MSP untuk pertumbuhan
individu ikan nila (Tabel 2). Rata-rata ukuran ikan nila di IFCAS adalah 76,2
8,3 dan 112,3 37,9 g, masing-masing di HSP dan MSP setelah empat
bulan, di mana berat badan awal adalah 0,73 g. Produksi ikan nila di IFCAS
dan ikan mas di kolam secara signifikan lebih tinggi (p <0,05) di MSP
daripada di HSP. Rata-rata total produksi dari nila di IFCAS (kg 9 m-2)
adalah 31,2 4,4 dan 52,2 25,9 kg di HSP dan MSP, masing-masing.
Pertumbuhan individu Rohu dan mrigal secara signifikan lebih tinggi (p
<0,05) di MSP daripada di HSP (Tabel 2).

Namun, pertumbuhan individu dengan pakan tenggelam, secara umum ikan


mas secara signifikan memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi (p <0,05) di HSP
dibandingkan dengan MSP. Produktivitas ikan mas di kolam diperkirakan
berdasarkan nilai survival rate 70% dari ikan mas dalam sistem polikultur di
Bangladesh, seperti dilansir ADB (2005).
Pertumbuhan ikan lele penyengat tidak sebanding di antara setiap tipe
kolam (Stock hanya terdapat di HSP), namun pertumbuhan yang baik di HSP
mengindikasikan potensi pertumbuhan di MSP juga. Tidak terdapat
perbedaannyata (p>0,005) antara ikan konsumsi di kolam IFCAS dengan HSP dan
MSP rumahtangga.
1. Pembahasan
Wilayah Barisal menempati area yang luas dari dataran rendah dataran
banjir pasang surut di mana tanah umumnya lempung berpasir untuk lempung di
alam, namun persentase tanah liat jauh lebih tinggi dari pada daerah lain di
wilayah Bangladesh. Dataran rendah sifat tanah di wilayah tersebut masyarakat
ingin memiliki rumah yang lebih tinggi ketinggian untuk menghindari banjir.
Penggalian tanah ini mengakibatkan pembangunan kolam yang tidak teratur
dalam bentuk dan kedalaman serta dikelilingi oleh berbagai pohon.
Tanah liat menjadi keras selama musim kemarau, sehingga sulit untuk
tumbuh sayuran. Hijan berkepanjangan selama monsun membuat wisma tanah
berlumpur dan kadang-kadang tergenang, dan juga menyebabkan kesulitan untuk
menanam sayuran (IDE, 2009).
Awalnya data sosio-ekonomi dasar rumah tangga terpilih dikumpulkan
untuk menilai dampak dari teknologi pada akhir persidangan. Pemilihan rumah
tangga untuk sidang itu berdasarkan pada berbagai kriteria, termasuk memiliki
kolam keruh berdekatan dengan rumah-rumah mereka, kesediaan anggota rumah
tangga untuk berpartisipasi, dan berbagi masukan biaya untuk penelitian. Proyek
itu yang diberikan dasar pembudidaya IFCAS dan bibit ikan kepada petani.
Namun, 40% biaya dari total pakan ditanggung petani. kolam dari sembilan
petani, lima telah sangat berbayang (HSP) dan empat kolam telah cukup keruh
(MSP), dengan luas rata-rata 0.03 0.01 dan 0.07 0.03 ha. Kedalaman kolam
berkisar 2-3 m selama Juni-November, dengan topografi dasar tidak teratur.
Karakteristik untuk HSP termasuk; luas permukaan, seluruh gili tertutup oleh
pohon, paparan sinar matahari ditengah dari luas permukaan saja, dan
ketidakmampuan untuk menghasilkan sayuran pada tanggul karena kurangnya
paparan sinar matahari. MSP memiliki luas permukaan yang relatif lebih besar,
sebagian besar tanggul tertutup oleh pohon, dan paparan sinar matahari pada
proporsi yang lebih besar dari permukaan air. Petani tidak bisa menanam sayuran
di tanggul MSP, karena adanya akar pohon yang besar. Pada minggu pertama
bulan Juli 2013, tumbuhan air yang tidak diinginkan dan puing-puing yang
mengambang secara manual dihapus dari kolam percobaan. Berikut ini, air kolam
itu diperlakukan dengan kapur pada tingkat 247 kg ha-1.
Sebuah persegi panjang ukuran 9 m2 besi-bar yang terbuat struktur
dibangun, memiliki empat alur cekung di keempat sudutnya untuk memegang
mengapung drum plastik. Seluruh bawah struktur dikelilingi oleh KJA persegi
panjang nilon dengan ukuran panjang-3,66 m lebar-2,44 m kedalaman-1,25 m
(Gambar. 2).

Sebuah persegi panjang ukuran 9 m2 besi-bar yang terbuat struktur


dibangun, memiliki empat alur cekung di keempat sudutnya untuk memegang
mengapung drum plastik. Seluruh bawah struktur dikelilingi oleh KJA persegi
panjang nilon dengan ukuran panjang-3,66 m lebar-2,44 m kedalaman-1,25 m
(Gambar. 2).
Dua lubang, satu pada setiap ujung lebar struktur IFCAS diisi dengan
campuran (media) dari 70% kering kolam lumpur dari kolam yang sama dan 30%
kotoran sapi, perkebunan sayur. Dimensi masing-masing lubang yang 0,61 m
0,51 m 0,20 m, dan 20% dari tanah di setiap pit (sekitar 4 cm kedalaman) adalah
kontak dengan air kolam sehingga akar sayuran bisa dengan mudah mengambil
nutrisi. bobot setengah bata digantung di bawah empat sudut dan pusat jaring,
untuk memastikan bahwa jaring tetap berbentuk persegi panjang di bawah air.
Sebuah atap adalah dibuat di bagian atas struktur dengan bambu yang
membentang dan bersih untuk sayuran tumbuh naik. IFCAS di kolam diduduki
sekitar 3% (9 out 300 m2) dan 1,28% (9 dari 700 m2) dari luas permukaan kolam
di HSP dan MSS. Semua 9 IFCAS ditetapkan di daerah sinar matahari terkena
kolam oleh petani sendiri. Petani membuat beberapa perubahan dengan aslinya
desain IFCAS mana ukuran perancah adalah 3,66 m 2,44 m 0,4 m.
Ketinggian dan ukuran perancah diangkat dan diperpanjang, masing-
masing, menggunakan bambu yang dibelah untuk memperbesar ruang tumbuh
sayuran dan untuk memfasilitasi tumbuh sayuran panjang (misalnya, labu, yang
dapat mencapai hingga 50 cm). Makan ikan di kandang dari IFCAS dan kolam
adalah kegiatan sehari-hari, dan merawat tanaman sayuran di lubang IFCAS
adalah kegiatan mingguan. Tingkat partisipasi oleh perempuan cukup
menggembirakan, dan terbesar di antara orang-orang dengan rumah tangga HSP.
Penyesuaian parameter kualitas air kolam
Parameter kualitas air termasuk temperatur (menggunakan termometer
celcius), DO, pH, NH3, NO2 yang diukur dengan peralatan HACH (model FF-1A,
Cat npo. 2430-02). Analisis ini dilakukan di tepian kolam pada awal dan akhir
penelitian di pertengahan Juli dan pertengahan November 2013, tepatnya antara
pukul 09.00-10.00.
Sediaan Ikan dan manajemen kolam
Monosex fry improved (Jenis GIFT) Nila (Oreochromis niloticus)
disimpan selama empat bulan (pertengahan Juli hingga pertengahan November
2013). Pada kolam jaring berukuran 9 m2 dengan rata-rata 100 m2. dan pakan
komersial apung yang mengandung 28-30% protein alami. Pembudidaya
disarankan untuk memberi makan Nila dua kali sehari setiap pagi dan sore
dengan memperhatikan berat badan dari sediaan ikan. Pada dua bulan pertama
(pertengahan Juli sampai pertengahan september) dan dua bulan terakhir (dari
pertengahan september hingga pertengahan November), pemberian pakan di
lakukan hingga kenyang dengan rata-rata 20%, dan 15% dari berat badan Nila.
Sendook panjang sebagai alat dibuat dari stik bambu dan mug plastik kecil
sehingga pembudidaya dapat memberikan pakan kepada ikan nila di dalam kolam.
Tepian dari IFCAS di periksa setiap hari untuk memperhatikan pertambahan
kejenuhan dan mengurangi limbah pakan. Pada waktu yang bersamaan dengan
stocking Nila IFCAS, ikan mas ditebar pada HSP dan MSP dengan nilai
kepadatan 14.820/ha. dengan polikultur dari catla (Catla catla), Rohu (Labeo
rohita), mrigal (Cirrhinus cirrhosus) dan ikan mas (Cyprinus carpio) dengan rasio
1: 2: 2: 1. Selain itu, di HSP ditebar lele penyengat (Heteropneustes fossilis)
dengan kepadatan pada tingkat 1.235 ha/hektar. Hal ini dilakukan untuk
mengamati kinerja pertumbuhan di HSP karena diyakini bahwa lele penyengat
dapat tumbuh dengan baik di kondisi gelap. Ikan mas diberi makan dengan pakan
tambahan dari campuran dedak padi, dedak gandum dan mustard bungkil yang
disiarkan pada tingkat berat badan 10% selama 3 bulan pertama (dari pertengahan
Juli sampai pertengahan Oktober) dan berat badan 5% selama 2 bulan terakhir
(dari pertengahan Oktober sampai pertengahan Desember). Untuk meningkatkan
pertumbuhan pakan alami untuk ikan mas, pemupukan tambak dilakukan dengan
urea (400 kg ha-1) dan TSP (200 kg ha-1) sebulan sekali. Selama bulan-bulan
musim dingin (November dan Desember), kapur dan garam digunakan pada
tingkat 247 kg ha-1 untuk meningkatkan kualitas air dan mencegah penyakit ikan.
Observasi yang kami lakukan untuk melihat hubungan biologi terapan
antara bidang peternakan dan pertanian yaitu pada budidaya sayuran dan ikan
dengan teknik akuageoponik. Secara etimologis, akuageoponik berasal dari tiga
kata yaitu akuakultur, geologi dan hidroponik. Akuakultur artinya budidaya ikan,
geologi artinya bebatuan atau kondisi tanah, sementara hidroponik artinya
budidaya tanaman tanpa tanah, atau budidaya tanaman yang memanfaatkan air
dan tanpa menggunakan tanah sebagai media tanam. Jadi, akuageoponik adalah
budidaya tanaman organik dengan memanfaatkan unsur hara dalam air limbah
pada kolam budidaya ikan. Kombinasi antara akuakultur, geologi dengan
hidroponik ini menghasilkan hubungan simbiosis mutualisme atau saling
menguntungkan.
Munculnya gagasan mengenai budidaya tanaman dan ikan dengan teknik
akuageoponik ini didasari oleh keterbatasan lahan dan air dalam mengembangkan
sektor pertanian dan perikanan sehingga muncullah alternatif yang mudah
diterapkan bahkan dalam skala kecil atau rumah tangga.
Prinsip yang digunakan pada sistem akuageoponik adalah resirkulasi air,
yaitu memanfaatkan secara terus menerus air dari pemeliharaan ikan yang
dialirkan ke tanaman lalu kembali ke kolam ikan. Air dari pemeliharaan ikan
tersebut kaya akan unsur N dan P, dimana pada media filter yang terdiri dari
kerikil dan pasir ditanami sayuran yang dapat memanfaatkan unsur hara yang
dihasilkan oleh ikan. Sedangkan air yang telah melewati media tanam yang
bertindak sebagai filter, akan dialirkan ke dalam kolam ikan dalam keadaan bersih
setelah disaring.
Limbah yang dihasilkan oleh ikan digunakan sebagai pupuk untuk
tanaman. Pada budidaya sayur dan ikan dengan teknik akuageoponik, aliran air
kaya nutrisi dari media pemeliharan ikan digunakan untuk menyuburkan tanaman.
Hal ini baik untuk ikan karena akar tanaman dan rhizobakter mengambil nutrisi
dari air. Nutrisi yang berasal dari feses, urin dan sisa pakan ikan adalah
kontaminan yang menyebabkan meningkatnya kandungan racun pada media atau
kolam pemeliharaan ikan, tetapi air limbah ini juga menyediakan pupuk cair untuk
menumbuhkan tanaman secara hidroponik. Sebaliknya, media tanaman berfungsi
sebagai biofilter, yang akan menyerap ammonia, nitrat, nitrit dan posfor sehingga
air yang sudah bersih dapat dialirkan kembali ke media pemeliharaan.
Tanaman yang dapat dibudidayakan dalam teknik akuageoponik ini
tentunya tanaman yang cenderung menyukai air, pada sayuran contohnya seperti
kangkung, pakchoi, cesin, dan selada. Sedangkan pada buah-buahan contohnya,
cabai, terung, strawberry dan anggur. Ikan yang digunakan dalam budidaya teknik
akuageoponik bisa dari kalangan ikan konsumsi maupun ikan hias. Ikan konsumsi
contohnya ikan mas, nila, patin dan lele, sedangkan ikan hias bisa menggunakan
ikan cupang, ikan koi dll. Dalam pemilihan tanaman dan ikan untuk
dibudidayakan dengan teknik akuageoponik ini sebaiknya didasarkan pada nilai
ekonomis.
4.3 Pengembangan akuakultur di pedesaan : Tinjauan Hubungan Sosial
Ekonomi Dengan tingkat adopsi teknologi
A. Tingkat Adopsi Teknologi Pembesaran Ikan Gurami
Penentuan tingkat adopsi dijabarkan secara perorangan dan bersama-sama
yang menunjukkan bahwa tingkat adopsi secara perorangan di kedua lokasi
penelitian secara umum masuk dalam kategori sedang. Hasil penilaian tingkat
adopsi secara perorangan ini sangat konsisten dengan penilaian secara bersama-
sama (kolektif), dimana skor total untuk Kecamatan Purbalingga maupun
Kemangkon hampir sama yaitu 2.96. Ini berarti bahwa paket teknologi anjuran
tidak seluruhnya diadopsi oleh pembudidaya ikan di kedua daerah tersebut.
Tabel 1. Sebaran Responden menurut tingkat Adopsi Teknologi Pembesaran Ikan
Gurami
No Tingkat Jumlah Responden
Adopsi
Purbalingga Kemangkon

Jumlah Persen Jumlah Persen


Responden Responden Responden Responden
(%) (%)
1. Rendah 6 17.14 5 14.28

2. Sedang 28 80 29 68.57

3. Tinggi 1 2.86 1 2.86

Jumlah 35 100 35 100

B. Hubungan Antara Karakter Internal dan Eksternal Pembudidaya


Dengan Tingkat Adopsi Teknologi Pembesaran Ikan Gurami
Hubungan antara pendidikan formal responden dengan tingkat adopsi
pembesaran ikan gurami terlihat berpengaruh sangat nyata di daerah kecamatan
Purbalingga. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan formal responden,
semakin tinggi pula tingkat adopsinya. Hal ini diduga pembudidaya ikan yang
berpendidikan lebih tinggi relatif lebih cepat melaksanakan adopsi inovasi dan
sebaliknya pembudidaya yang berpendidikan rendah lebih sulit untuk melakukan
adopsi inovasi dengan cepat.
Sedangkan untuk kecamatan Kemangkon pendidikan formal memiliki
hubungan negatif dengan tingkat adopsi. Kecenderungan ini disebabkan di daerah
tersebut usia responden relatif berusia lanjut dan telah melakukan kegiatan
pembesaran ikan gurami cukup lama sehingga merasa bahwa teknologi anjuran
tidak perlu diikuti.
Hubungan antara pendidikan non formal dikedua lokasi mempunyai
hubungan nyata. Adanya pengaruh mengindikasikan bahwa wawasan,
pengetahuan dan keterampilan responden menyangkut teknologi anjuran cukup
memadai. Pendidikan non formal yang pernah diikuti responden mampu
mendorong mental untuk menerima inovasi yang menguntungkan dapat
diciptakan.
Sedangkan untuk variabel lain yaitu pendapatan di kecamatan Purbalingga
menunjukkan semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin rendah tingkat
adopsinya. Berbeda halnya dengan di kecamatan Kemangkon, semakin tinggi
pendapatan maka semakin tinggi pula tingkat adopsinya. Perbedaan pendapatan
pada kedua daerah tersebut dipengaruhi oleh luasan kolam yang dimiliki.
Hubungan antara alasan melakukan usaha dengan tingkat adopsi untuk di
kecamatan Purbalingga dan Kemangkon sangat erat. Artinya semakin kuat alasan
melakukan usahanya maka semakin tinggi tingkat adopsinya. Alasan utama
responden adalah untuk pemenuhan kebutuhan keluarga, sehingga usaha budidaya
ikan merupakan usaha pokok responden.
Tabel 2. Nilai koefisien korelasi menurut Rank Spearman dari hubungan
karakteristik internal responden dengan tingkat adopsi teknologi pembesaran ikan
gurami
No Karakteristik Internal Responden Nilai rs
Purbalingga Kemangkon
1. Umur 0.188 0.021
2. Pendidikan formal 0.457 -0.167
3. Pendidikan non formal 0.402* -0.422*
4. Pendapatan -0.105 0.273
5. Jumlah tanggungan keluarga -0.045 -0.266
6. Alasan melakukan usaha 0.557* 0.157
7. Frekuensi interaksi dengan penyuluh 0.273 0.118
perikanan
Keterangan : * = signifikan (nilai kritis adalah 0.325 pada taraf signifikan 0.05.
+/- = memiliki hubungan nyata
4.4 Pengaruh Budidaya Ikan Nila di Keramba Jaring Apung Pada
Kualitas Air Dari Waduk Nova Avahandava, So Paulo, Brasil
Dengan mempertimbangkan seluruh periode penelitian, nilai rata-rata dari
parameter air dianalisis in situ, tidak ada perbedaan yang signifikan antara sampel
( p > 0,05 ), meskipun oksigen terlarut ( OD ) dan pH nilai-nilai yang lebih rendah
di P2 ( Tabel 1 ). Hanya tingkat fosfor berbeda ( p < 0,05 ) antara stasiun
pengambilan sampel, dengan tingkat tertinggi ditentukan di P2 ( Tabel 1 ).

Curah hujan yang sering terjadi antara Desember dan Februari, suhu air
minimal 21,5oC dan untuk maksimum 30,0oC. Kadar oksigen berbanding terbalik
dengan curah hujan pada tahun 2006, parameter air sama dengan pengambilan
sampel tapi tidak dengan fosfor, nitrogen, amonia, dan konsentrasi nitrit. Tapi,
disampel lainnya konsentrasi nutrisi menjadi bervariasi pada Desember 2006, di
P3. Nilai rata-rata dari parameter yang diperiksa di stasiun pengambilan sampel
air berada dalam standar kualitas air yang direkomendasikan oleh resolusi no.
357/2005 dari Conselho Nacional do Meio Ambiente bagi air tawar. Konsentrasi
rata-rata secara signifikan lebih tinggi dari jumlah fosfor (p < 0,05) dalam P2
(0,035 mg L - 1) adalah hasil dari sisa pakan dan kotoran ikan. Konsentrasi rata-
rata total fosfor dalam P3 lebih rendah (0,015 mg L - 1), yang berasimilasi dengan
ekosistem perairan. Pemantauan parameter air adalah fundamental, sehingga
produsen dapat menyesuaikan manajemen sesuai dengan kondisi lingkungan,
dengan mengurangi kepadatan ikan atau mengubah jumlah pakan misalnya, untuk
mengurangi atau menghindari penurunan kualitas air.
Keberhasilan budidaya ikan di kolam tergantung pada fisik, kimia, biologi
air dan pengelolaan nutrisi. Semua faktor di kolam budidaya ini saling terkait dan
membutuhkan pengawasan yang konstan untuk menghindari kontaminasi
lingkungan, cyanobakteria merupakan penyebab utama eutrofikasi di danau dan
memungkinkan terjadi di kolam budidaya karena cyanobakteria dapat
menghasilkan cyanotoxin yang beracun untuk vertebrata terutama ikan (Funari
dan Testai 2008). Mikroorganisme memiliki fungsi penting dalam air karena
mereka berpartisipasi dalam transformasi nutrien, gizi ikan, pengendalian
penyakit dan mereka dapat mempengaruhi berbagai parameter kualitas air, seperti
oksigen terlarut, pH dan amonia (Moriarty 1997).
Indikator mikroorganisme seperti thermotolerant coliform, Escherichia
coli dan faecal Streptococci biasanya digunakan untuk menilai tingkat
kontaminasi air dan pakan. Faecal streptococci dan enterococos merupakan salah
satu indicator paling efisien untuk kontaminasi feses dalam air (APHA 1998).
Hasil parameter sampel air dari 3 sampel yaitu rata-rata suhu air bervariasi antara
27,8oC dan 28,1oC. Nilai pH menunjukkan fluktuasi yang kuat selama periode
penelitian terutama pada saat budidaya (6,2-10). Selama percobaan, jumlah
amonia, nitrit, fosfor, dan oksigen terlarut dalam air waduk tidak berbeda secara
signifikan, tingkat amonia 0,047-0,597 mg/L, nitrit 0,001-0,021 mg/L, fosfor
0,050-0,355 mg/L dan oksigen 7,1 dan 8,4 mg/L. Koliform yang ditemukan di
semua sampel antara 70 dan 4600 MPN/100ml dalam periode Maret sampai
November 2008.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Penelitian ini menghasilkan bahwa budidaya karamba yang jaring apung
memainkan peran penting untuk meningkatkan produksi ikan dan
pendapatan ikan petani . Sebagian besar petani ikan yang diperoleh
tahunan penghasilan yang bisa mendukung kebutuhan sehari-hari. Dalam
budidaya, beberapa budidaya ikan dipraktekkan pembudidaya ikan
terpadu, dan kebanyakan dari mereka mepraktekan produksi budidaya
ikan. Para pembudidaya didominasi oleh laki-laki dengan usia berbagai
31-40 tahun. Mereka rata-rata memiliki 4-6 orang dirumah tangga, dan
sebagian dari mereka lulusan Sekolah Tinggi . Informasi tentang budidaya
itu diperoleh dari teman-teman mereka dan sesama pembudidaya. Tidak
ada informasi yang mereka dapatkan dari internet karena sibuk dengan
budidaya ikan mereka . Kualitas air yang buruk Danau Maninjau yang
dipimpin sebagian besar budidaya spesies ikan nila benih yang berasal dari
hatchery swasta. Kualitas air yang buruk adalah kendala utama untuk
produksi ikan.
2. Upaya penelitian partisipatif pembudidaya dilakukan dari Juli hingga
Desember 2013 untuk merancang dan membangun teknologi yang dikenal
sebagai IFCAS untuk pembesaran ikan dan pertumbuhan sayuran di kolam
keruh di wilayah Barisal dari Bangladesh dinaungi oleh ANEP didanai Uni
Eropa (Pertanian dan Nutrisi Proyek Perluasan). Istilah aqua, geo dan
ponik berarti air kolam, kolam lumpur / tanah dan budidaya. Memproduksi
dan panen teratur ikan di kolam yang teduh dan menanam sayuran di
tanggul sekitarnya untuk konsumsi rumah tangga dibatasi. Untuk
mengatasi kesulitan, sebuah IFCAS (3.66 m 2,44 m = 9 m2) didirikan di
setiap 9 - 5 kolam sangat berbayang (HSP) dan 4 kolam cukup keruh
(MSP) - di mana nila gift regangan (Oreochromis niloticus) penuh
ditingkat 100 kolam m-3. Di kolam, spesies ikan mas (Catla catla, Labeo
rohita, Cirrhinus cirrhosus dan Cyprinus carpio) ditebar di rasio 1: 2: 2: 1,
dan pada tingkat 14.820 ha-1. Nila diberi makan pakan terapung dan ikan
mas diberi pakan tambahan. Sayuran ditanam pada tepian IFCAS, dan nila
ditumbuhkan dalam KJA dibangun di bawahnya. Anggota perempuan dari
rumah tangga HSP berpartisipasi sepenuhnya dalam penelitian tindakan
dalam produksi sayuran dan ikan di IFCAS. Rumah tangga yang
berpartisipasi mulai mengkonsumsi sayuran dan ikan nila dari IFCAS
dalam waktu 1,5 dan 1 bulan dari awal percobaan. Rata-rata konsumsi ikan
20 kg/rumah tangga tercatat dalam waktu empat bulan, dari yang lebih dari
50% adalah ikan nila dari IFCAS. Secara keseluruhan ikan dan sayuran
produksi lebih tinggi pada MSP dibandingkan dengan HSP. Sebuah
analisis keuangan menunjukkan rasio manfaat-biaya IFCAS yaitu > 1,
menunjukkan efisiensi investasi dari IFCAS bagi petani.
3. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tingkat adopsi
teknologi pembesaran ikan gurami tergolong kategori sedang.
Karakteristik internal yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi di
kecamatan Purbalingga adalah pendidikan formal dan pendidikan non
formal, pendapatan dan alasan melakukan usaha. Sedangkan hubungan
karakteristik internal yang berpengaruh di wilayah Kemangkon adalah
pendapatan.
4. Budidaya ikan yang ada di waduk tidak berdampak buruk pada
lingkungan, dan menunjukkan bahwa hingga kedalaman 1 m, air
mampu mengasimilasi nutrisi dan bahan organik dari sistem jaring
apung. Peningkatan kadar nitrat dan materi lain ditangguhkan pada
tahun kedua budidaya menunjukkan pengaruh tertinggi pada budidaya
keramba di ekosistem dari waktu ke waktu. Dengan demikian,
pemantauan yang intensif pada parameter air adalah fundamental,
sehingga produsen dapat menyesuaikan manajemen ( kepadatan ikan
atau pemberian pakan ) sesuai dengan kondisi lingkungan untuk
mengurangi penurunan kualitas air.
5.
5.2 Saran
Seharusnya pemerintah lebih menggalakan lagi program budidaya
tanaman dengan sistem akuageoponik ini terutama di kota-kota besar yang
ketersediaan lahannya sudah semakin sempit untuk mengembangkan bidang
pertanian dan kita sebagai mahasiswa yang telah mengetahui budidaya sistem
akuageoponik ini juga harus memperkenalkan kepada masyarakat dilingkungan
sekitar mengenai budidaya tanaman dengan sistem akuageoponik ini, agar ilmu
yang telah didapat dari observasi ini dapat berguna bagi diri kita dan orang lain.

Anda mungkin juga menyukai