Oleh:
Akhmad Haryono
ETNOGRAFI KOMUNIKASI: Konsep,
Metode, dan Contoh Penelitian
Pola Komunikasi
Diterbitkan oleh
UPT Penerbitan UNEJ
Jl. Kalimantan 37 Jember 68121
Telp. 0331-330224, Psw. 0319, Fax. 0331-339029
E-mail: upt-penerbitan@unej.ac.id
380.072
AK Akhmad Haryono
e Etnografi Komunikasi: Konsep, Metode, dan
Contoh Penelitian Pola Komunikasi/oleh
Akhmad Haryono.--Jember: Jember University
Press, 2015.
x, 136 hlm. ; 23 cm.
ISBN:
1. METODE KOMUNIKASI
I. Judul
iii
Oleh karena itu, konsep-konsep etnografi komunikasi, prosedur dan
langkah-langkah penelitian disusun dan diskusikan secara berimbang.
Untuk mempermudah daya cerna pembelajar/mahasiswa terhadap teori-
teori dan aplikasinya, dalam buku ini juga disajikan contoh-contoh yang
relevan. Pertimbangan lain penambahan penekanan pada` kegiatan
praktek penelitian, juga sebagai jawaban adanya kenyataan bahwa
beberapa perguruan tinggi sudah mencanangkan dirinya sebagai
universitas riset, sementara kini mahasiswa masih dijejali materi kuliah
yang hanya berfokus pada teori dan masih kurang dibekali pengetahuan
praktis tentang langkah-langkah dan prosedur kegiatan penelitian. Buku
ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab 1 memaparkan
tentang pentingnya bahasa sebagai alat komunikasi, Karakteristik lokasi
penelitian beserta kontribusi buku ini; Bab 2 menjelaskan tentang konsep-
konsep dan teori serta sejarah singkat etnografi komunikasi; Bab 3
memaparkan prinsip kerjasama dan kesantunan, serta kode dan alih kode
bagian dari pola dan strategi komunikasi; Bab 4 memaparkan tentang
konteks tuturan mencakup masyarakat tutur, peristiwa tutur, dan tindak
tutur; Bab 5 menjelaskan tentang desain dan metode penelitian etnografi
komunikasi; Bab 6 menyajikan contoh penyajian dan analisis data dalam
penelitian etnografi komunikasi; Bab 7 menjelaskan tentang faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya pola komunikasi.
Buku ini diharapkan disajikan selama satu semester dengan jumlah
minimal 14 tatap muka aktif dengan beban 2-3 SKS. Dua tatap muka
dialokasikan untuk pelaksanaan ujian tengah dan akhir semester. Dengan
demikian, total tatap muka sebanyak 16 kali pertemuan. Perkuliahan
diharapkan menggunakan metode pembelajaran yang berpusat pada
mahasiswa (student centered learning). Pada setiap pembelajaran
diharapkan baik dosen maupun mahasiswa telah membaca materi yang
akan dibahas dan dianjurakan membaca referensi lain yang sesuai dengan
topik. Peserta kuliah juga dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil
dengan anggota 4 sampai 5 orang setiap kelompok. Sebaiknya, dosen
menyiapkan tayangan berbentuk pawer point untuk memberi gambaran
tentang topik yang akan dipelajarai kurang lebih 15-30 menit. Selanjutnya
waktu digunakan untuk diskusi dan mengerjakan tugas yang sudah
disiapkan oleh dosen dan akan lebih baik kalau sudah dikirim via e-
learning yang tentunya mengacu pada bab dan pokok bahasan terkait
secara berkelompok. Tugas-tugas dapat berupa soal berdasarkan
kompetensi dan pendalaman materi yang disediakan pada masing-masing
bab, informasi pada bacaan, komentar, topik untuk diskusi, perbandingan
bahasa dan buadaya antaretnik, ataupun dengan menggali dari sumber-
sumber lain seperti internet. Dalam pembelajaran ini, dosen diharapkan
benar-benar bisa menjadi fasilitator
iv
dan pendamping yang cakap dan konstruktif serta memiliki kemampuan
dalam bidang yang dipelajari. Evaluasi harian terhadap kerja kelompok
dengan mendasarkan pada salah dan benar secara kaku bisa dikurangi dan
dicari alternatifnya. Misalnya, hasil satu kelompok kurang sempurna dan
kelompok lain lebih sempurna agar setiap warga belajar dalam kelompok
masing-masing dapat bertambah pengetahuan dan keterampilannya serta
mengenal dan belajar tentang kelebihan dan kekurangannya tanpa merasa
dihakimi dihadapan peserta didik yang lain.
Puji syukur penulis panjatkan ke hadiat Allah Swt. Sebab, hanya
atas berkat dan rahmat-Nyalah penulisan buku ajar Etnografi Komunikasi
ini dapat diselesaikan. Penulisan buku ini tidak akan dapat terlaksana
tanpa bantuan dan fasilitas dari berbagai pihak. Untuk itu, pada
kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih yang
mendalam kepada Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo, Prof. Dr. I. Dewa
Putu Wijana, Prof. Dr. F.X. Nadar, Dr. Suhandono, Dr. Yos Inyo
Fernandes yang telah memberikan bimbingan dan ilham kepada penulis
selama menjadi mahasiswa S3 di FIB UGM. Rektor Universitas Jember
dan Ketua UPT Penerbitan Universitas Jember yang telah memberikan
bantuan berupa fasilitas dalam penulisan dan penerbitan buku ajar ini;
Dekan Fakultas Sastra dan Ketua Lemlit Universitas Jember yang telah
memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian dan penulisan buku ini;
Teman Sejawat dan para Guru prof. Dr. Akhmad Sofyan, Prof. Dr.
Samuji; Prof. Dr. Ayu Sutarto, Prof. Dr. Bambang Wibisono, M.Pd., dan
Dr. Agus Sariono, M.Hum. yang telah memberikan inspirasi, dorongan,
dan semangat penulis untuk menyiapkan dan menyelesaikan naskah ini.
Sahabat-sahabat seperjuangan di Fakultas Sastra yang karena
keterbatasan tidak bisa disebutkan satu persatu yang juga telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan buku ajar ini. Para Kiai,
budayawan, dan pemerhati bahasa dan budaya Madura serta ke-NU-an
yang senantiasa memberikan bantuan dalam pelaksanaan penelitian dan
memberikan dorongan moril kepada penulis untuk segera menyelesaikan
penulisan buku ini. Berbagai pihak yang telah banyak membantu
penulisan buku ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Teristimewa
kepada istriku tercinta yang dalam keadaan suka dan duka telah
menemani dan memberi semangat kepada penulis, terima kasih atas
pengertiannya dan telah membangkitkan semangatku untuk
menyelesaikan tulisan ini. Untuk anak-anakku tercinta Shabrina Izzata
Afiayati Akhmad, savinah Ilmi Frohlicha Akhmad, dan Nugraha Fahmi
Akhmad, yang terkurangi limapahan kasih sayangnya demi
menyelesaikan penulisan ini, tetapi percayalah bahwa semua ini
dilakukan demi menyongsong masa depan ananda semua.
v
Akhirnya, penulis menyadari bahwa naskah buku ini masih belum
sempurna. Oleh karena itu, dengan senang hati penulis akan menerima
kritik dan saran dari berbagai pihak untuk penyempurnaan naskah buku
ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
vii
BAB 4. KONTEKS ....................................................................... 43
Kompetensi dan Pengantar ............................................................... 43
Masyarakat tutur (Speech Community) ............................................. 44
Peristiwa Tutur (Speech Event) ........................................................ 46
Tindak Tutur (Speech act) ................................................................ 49
Pendalaman Materi ........................................................................... 53
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
ix
x
Bab 1
Pendahuluan
2
budaya suatu masyarakat dan kelompok tertentu. Akan tetapi, sebaliknya
jika pemakai bahasa dan pelaku budaya salah dalam memahami makna
bahasa dan budaya yang merupakan alat dan bagian komunikasi, maka
bahasa dan budaya akan menjadi sumber persoalan dan konflik di
masyarakat.
Bahasa dan budaya merupakan satu kesatuan yang tak dapat
dipisahkan, karena melalui pemahaman terhadap budaya masyarakat
tertentu dapat tercermin unsur-unsur komunikasi dalam pemakaian bahasa
yaitu, siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang
menyandi pesan, apa makna yang terkandung dalam pesan, dalam konteks
apa seseorang berpesan, dan bagaimana menafsirkan pesan. Kesalahan
dalam menempatkan unsur-unsur komunikasi dalam budaya masyarakat
tertentu dapat mengakibatkan hambatan/kegagalan komunikasi, bahkan
akan menyulut timbulnya konflik dan kekerasan antarkelompok penganut
budaya tersebut. Tidak jarang masalah-masalah kecil (sepele) telah
menjadi masalah besar seperti pembunuhan, karena disebabkan kegagalan
komunikasi.
Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk
menyalurkan kepercayaan, nilai, dan norma. Bahasa merupakan alat bagi
manusia untuk berinteraksi dengan manusia lainnya dan juga sebagai alat
untuk berpikir. Maka, bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk
berkomunikasi dan sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas
sosial. Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan, dan membentuk
pikiran.
Masalah utama yang sering terjadi dalam pemakaian bahasa suatu
etnik adalah kesalahan dalam persepsi sosial yang disebabkan oleh
perbedaan-perbedaan budaya yang mempengaruhi proses pemahaman
terhadap bentuk-bentuk pemakaian bahasa yang dilakukan orang lain.
Pemberian makna suatu pesan sangat dipengaruhi oleh budaya pengirim
maupun penerima pesan. Kesalahan-kesalahan fatal dalam memahami
makna dapat menyebabkan persepsi yang salah terhadap maksud dan
tujuan pemakaian bahasa. Kesalahan-kesalahan ini diakibatkan oleh orang-
orang yang berlatar belakang berbeda budaya sehingga tidak dapat
memahami bentuk-bentuk komunikasi satu dengan lainnya dengan akurat.
Pemahaman atas perbedaan-perbedaan budaya ini akan membantu
mengetahui sumber-sember masalah yang potensial dalam pemakaian
bahasa, sedangkan pemahaman seseorang atas persamaan-persamaannya
akan membantunya lebih mendekatkan kepada pihak lain yang berbeda
budaya dan pihak lainpun akan merasa lebih dekat kepadanya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa budaya mempengaruhi
pola-pola komunikasi. Budayalah yang menentukan waktu dan jadwal
3
peristiwa tutur antarperson, tempat untuk membicarakan topik-topik
tertentu, jarak fisik yang memisahkan antara seorang penutur dengan
petutur (partisipan tutur), nada suara yang sesuai untuk pembicaraan topik
dan partisipan tertentu. Budaya juga melukiskan kadar dan tipe kontak
fisik yang dituntut oleh tradisi masyarakat tertentu, dan intensitas emosi
yang menyertainya. Budaya meliputi hubungan antar apa yang dikatakan
dan apa yang dimaksudkan sesuai konteksnya, seperti kata silakan yang
maksudnya bisa perintah atau larangan.
5
Frase cabis pamator yang memiliki pengertian mohon ijin
untuk menyampaikan sesuatu dihadapan kiai sebagai cerminan rasa
hormat yang amat tinggi ummat NU etnik Madura (UNUEM) kepada
kiai. Bahkan dibarengi dengan frase terro mangabdiy budhu yang
berarti ingin anaknya dijadikan abdi (pesuruh) kiai. Kata abdi (pesuruh)
dalam konteks warga NU di Jember juga berarti bahwa mereka
merendahkan diri dihadapan kiai yang sekaligus harus patuh selama
berada di pesantren. Begitu pula, kata budhu yang bisanya dalam
bahasa Madura (BM) digunakan untuk panggilan anak binatang sengaja
digunakan UNUEM untuk merendahkan diri sebagai abdi dihadapan
seorang kiai. Hal tersebut dilakukan karena UNUEM menganggap
bahwa kedudukan atau strata sosial kiai jauh lebih tinggi. Bagi
UNUEM pengabdian kepada seorang kiai lebih dari hanya sekadar
menimba ilmu karena menjadi abdi sekaligus memiliki pengertian
mempelajari ilmu agama maupun ilmu tngka (segala tindakan dan
perilaku yang dapat diterapkan kelak kalau santri sudah pulang ke
masyarakat).
Lebih lanjut (Haryono, 2011) mengemukakan bahwa tingginya
strata sosial kiai juga dapat dilihat dari perilaku berbahasa UNUEM
ketika berkomunikasi dengan kiai yang selalu menundukkan kepala
seraya merendahkan suaranya. Suara kiai biasanya cenderung lebih
tinggi dari UNUEM. Begitu pula dalam penggunaan tingkat tutur
(ondaghn bhsa/Speech level) UNUEM menggunakan tingkat tutur
yang paling tinggi yaitu ngghi bhunten, sedangkan kiai menggunakan
speech level madya (ngghi-enten) atau ngoko (enja-iy) seperti pada
konteks tuturan 1 di atas.
2. Ketaatan UNUEM kepada kiai yang sekaligus dianggap guru dan
pembimbing spiritual merupakan kewajiban nomor wahid dalam kultur
pesantren. Hal tersebut tercermin dalam komunikasi antara alumni yang
sudah lama pulang di masyarakat dengan Kiai (gurunya).
Konteks tuturan 2: komunikasi via telpon pada malam hari antara kiai
dengan seorang mantan santrinya.
6
Hamba disuruh mengantarkan ummi pada jam sembilan, tadi
pada jam tujuh telah menyuruh saya, tapi hal ini semua saya
pasrahkan kepada kiai.
7
tergantung ka padhna kadinto tapi semua saya pasrahkan pada
paduka. Tuturan ini mengindikasikan bahwa kepatuhan UNUEM
kepada kiai yang dianggap sebagai guru amat tinggi.
3. Tidak adanya kiai sebagai seorang yang disegani, karena dianggap
memiliki status dan kelas sosial yang lebih tinggi dan ditadzimkan,
telah menyebabkan ditinggalkannya prinsip-prinsip kesantunan dalam
komunikasi. Fenomena ini dapat memicu terjadinya konflik dalam
komunikasi, seperti terlihat pada percakapan berikut:
8
memahami secara mendalam hukum syari. Oleh karena itu, HM
kemudian menjawab dengan kelimat penegasan mungghu aghma bn
pamarnta ampon saya menurut hukum agama dan pemerintah sudah
sah. Pernyataan tersebut tidak lain sebagai kalimat bantahan bahwa
tamir juga paham ilmu agama secara mendalam dan transaksi jual beli
itu tidak salah. Kondisi yang sudah memanas semakin diperparah
dengan pernyataan HT Kabl ka tamir soro jh terros aghi
katakan kepada tamir jangan diteruskan. Tuturan ini telah
memperpanas suasana karena kalimat larangan jangan diteruskan
mempertegas pernyataan tidak sah pada tuturan sebelumnya. Yang
lebih membuat emosi pengurus tamir yang lain adalah keberadaan HT
yang masih baru telah berani melarang orang yang sudah lama di
ketamiran masjid tersebut. Oleh karena itu, pernyataan HH Ghulh
s lebbi onng persoalan nka saya yang lebih paham terhadap
permasalahan ini tak lain sebagai kalimat sanggahan bahwa orang
yang lama akan lebih tahu dan memahami persoalan yang terjadi dan
juga sekaligus sebagai penegasan bahwa orang baru tidak boleh merasa
lebih tahu dan otoriter.
4. Dalam sistuasi tidak formal komunikasi antara UNUEM biasanya
menggunakan referens para ulama yang dikagumi sebagai bagian
strategi komunikasi. Partisipan tutur akan lebih antusias mendengarkan
apa yang disampaikan petutur, jika di sela-sela percakapannya
menceritakan ulama yang dikagumi sebagai bumbu dari apa yang
menjadi tujuan tutur. Hal ini sebagaimana tercermin dalam tuturan
berikut:
Konteks tuturan: Percakapan anggota Forsa sebelum acara formal
dimulai pada sore hari
9
sobung ponapah mon nga nkah, d napah, d
tokaran.
Tuturan Syt pada data di atas tentang kerendahan hati seorang kiai
yang ingin ikram (memuliakan) sesama pengasuh pesantren sebagai upaya
memberikan pemahaman kepada partisipan tutur tentang akhlak seorang
kiai pengasuh pesantren yang saling memuliakan satu sama lain. Kiai
Basyir yang diceritakan sengaja tidak membuka jembatan yang
direhabnya, tidak lain hanya agar Kiai Waris melewati jembatan tersebut
pertama kali. Hal itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada Kiai
Waris. Kiai Waris juga begitu, setelah sampai di depan Kiai Basyir beliau
nyabis berjabatan tangan duluan kepada Kiai Basyir. Besok harinya Ki
Basyir nyabis datang kekediaman Kiai Waris. Perilaku ini
menunjukkan bahwa antara kiai pengasuh pesantren saling memuliakan
dan saling bersilaturrahim menyambung tali kasih sayang. Pada tuturan
tersebut syt menyatakan Lho nga nka terharu, sobung ponapa mon
nga nka, d napa, d tokaran. Melihat seperti itu saya terharu,
keharmonisan akan terjaga kalau seperti itu tidak akan ada konflik.
Perilaku kedua kiai tersebut mengharukan, karena akan menimbulkan
keharmonisan hubungan dan akan terjaga dari konflik. Strategi
komunikasi tersebut bertujuan agar apa yang dilakukan oleh kedua kiai
pengasuh pesantren tersebut dicontoh oleh para santrinya khususnya dan
ummat NU pada umumnya.
10
Contoh-contoh data tersebut menggambarkan adanya keunikan
dan kekhasan kultur dalam kelompok warga NU di Jember yang tercermin
dalam fakta-fakta kebahasaannya. Pola-pola komunikasi yang digunakan
warga NU di Jember tidak terlepas dari kategori dan fungsi bahasa yang
tercermin dalam tuturan, bahasa dan pilihan bahasa yang digunakan,
tingkat tutur (ondhghn bhsa/speech level), alih giliran tutur, serta
simbol-simbol yang ditampakkan melalui gerakan-gerakan tubuh (body
language), dan intonasi (tone) sebagai aspek pendukung pemahaman
terhadap tindak tutur.
Pola-pola komunikasi tersebut tercermin ketika seorang yang status
sosialnya lebih rendah kepada orang yang status sosialnya lebih tinggi dan
sebaliknya; orang yang tidak mempunyai peran kepada orang yang
memiliki peran dalam masyarakat dan sebaliknya; orang yang tidak
mempunyai jabatan kepada orang yang mempunyai jabatan baik dalam
instansi ataupun dalam masyarakat dan sebaliknya; bawahan kepada
atasannya dan sebaliknya; dan Guru/Kiai kepada murid/santri dan
sebaliknya, orang muda berbahasa kepada yang lebih tua dan sebaliknya;,
serta bagaimana warga NU berkomunikasi dengan kelompok sosial yang
lain.
Kesalahan dalam penggunaan pola-pola komunikasi tersebut dalam
konteks warga NU merupakan masalah yang dapat menyebabkan
interpretasi yang negatif terhadap pemakainya. Mereka telah dianggap
melanggar konvensi dalam pemakaian bahasa yang berlaku di lingkungan
masyarakat tersebut sehingga dapat menyebabkan seseorang terisolasi dari
pergaulan dan bahkan akan menuai cercaan dan cacian di masyarakat.
Oleh karena itu, topik ini menarik dan amat penting untuk
diskusikan sebagai upaya menggali lebih mendalam fenomena-fenomena
kebahasaan yang terjadi dalam kelompok warga NU di Jember yang
sekaligus dapat memahami pola-pola pemakaian bahasanya. Melalui
penjelasan ini juga diharapkan dapat memberikan tambahan khasanah baru
bagi kajian linguistik yang berhubungan dengan konteks sosial dan budaya
komunitas tertentu (etnografi komunikasi), khususnya komunitas warga
NU. Rekomendasi penelitian ini juga diharapkan menjadi referensi bagi
warga NU dan kelompok lainnya dalam berkomunikasi sehingga dapat
mencegah terjadinya kegagalan komunikasi yang dapat mengakibatkan
kesenjangan hubungan dan konflik.
11
Dari segi teoritis buku ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
pengembangan teori dalam bidang sosiolinguistik khususnya dalam kajian
etnografi komunikasi yang berkaitan dengan pola komunikasi yang
digunakan oleh komunitas tertentu. Keunikan dan kekhasan penggunaan
kode-kode bahasa yang merupakan refleksi dari kultur pada kelompok
masyarakat tertentu telah membentuk keunikan dan kekhasan bahasa yang
digunakan. Hal ini perlu dideskripsikan agar dapat memperkaya teori-teori
dalam kajian etnografi komunikasi.
Dari segi praktis buku hasil penelitian ini diharapkan dapat
memperakaya bahan ajar etnografi komunikasi yang kini masih langka.
Selain itu rekomendasi hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi pihak
terkait dengan organisasi Nahdlatul Ulama untuk mengidentifikasi akar
masalah yang berkaitan dengan kegagalan komunikasi yang mungkin bisa
terjadi baik antarwarga NU sendiri, maupun antarwarga NU dengan mitra
tutur yang lain (di luar warga NU) yang berbeda kultur.
Pendalaman Materi
1. Dengan menggunakan media ICT, carilah informasi lebih detail tentang
fungsi dan peran bahasa sebagai alat komunikasi.
2. Berilah contoh-contoh data lain berikut penjelasannya tentang bahasa
yang digunakan oleh orang-orang berstatus sosial berbeda.
3. Mengapa orang-orang yang memiliki status dan kelas sosial berbeda
cenderung menggunakan variasi bahasa berbda ? Apakah itu bagian
dari strategi komunikasi ?
4. Jika anda seorang pimpinan suatu perusahaan, secara kebetulan di
perusahaan tersebut paman mertua anda menjadi bawahan. Bagaimana
anda seharusnya berbahasa dengan orang yang dihormati, sementara
anda menjadi atasan. Berilah contoh percakapan dengan menggunakan
bahasa etnik yang anda ketahui.
12
Bab 2
Mengenal Konsep dan Teori
Etnografi Komunikasi
14
Terhadap Sebuah Komunitas Tutur. Kajian Etnografi tersebut
menyimpulkan bahwa orang Kaso merupakan sebuah komunitas unik yang
mempunyai paradigma tersendiri mengenahi bahasa, ujaran, dan makna
yang terkandung di dalamnya. Mereka berpendapat bahwa ujaran adalah
apa yang terdengar saja tanpa memperhitungkan anasir lain di
belakangnya.
Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian dan kajian lain
sebelumnya ada tiga hal yakni:
Pertama, penelitian dengan kajian etnografi komunikasi yang
dilakukan Sariono (2006) lebih menekankan pada pilihan bahasa, kode dan
alih kode pada masyarakat Using di Keluarahan Singotrunan Banyuwangi;
Budhiono (2010) menekankan pada bahasa ujaran dan maknanya yang
berlaku di masyarakat tutur orang Kaso. Kedua penelitian tersebut
objeknya bahasa etnik lain dan belum menyentuh pola komunikasi secara
komprehensif yang meliputi penggunaan tingkat tutur, kode dan alih kode
sebagai bentuk pilihan bahasa, tone (nada suara), body language, dan alih
giliran tutur yang merupakan perpaduan perilaku budaya warga etnik
Madura dan kultur pesantren berhaluan NU;
Kedua, kajian etnografi komunikasi Wibisono (2005) hanya
berobjek EM secara umum, artinya EM dari berbagai latar belakang, baik
dari segi tingkatan strata sosial, umur, maupun pendidikan, namun belum
menyentuh warga EM yang berlatar belakang warga NU. Begitu pula
kajian etnografi Wibisono dan Haryono (2009) hanya berobjek bahasa
komunitas EM pelaku perkawinan usia dini. Adapun penelitian ini lebih
menekankan pada bahasa kelompok WNUEM di Jember;
Ketiga, Pola Komunikasi yang diteliti Haryono (2006) dan sistem
komunikasi yang diteliti Wahyuningsih dkk. (2004) hanya menekankan
pada komunitas pesantren sementara kajian pola komunikasi yang ditulis
setyowati (2005) menekankan pada kajian ilmu komunikasi dengan objek
penelitian etnik Jawa. Adapun pada penelitian ini lebih menekankan pada
pola-pola yang tercermin dalam bahasa dan budaya WNUEM yang
merupakan akulturasi kultur pesantren yang berhaluan NU dan EM yang
hidup di masyarakat.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikemukakan bahwa sampai
saat ini belum ada penelitian dengan kajian etnografi komunikasi yang
secara khusus menelaah tentang pola komunikasi yang digunakan
WNUEM di Jember. Inilah yang menjadi alasan, penelitian ini menarik
dan perlu dilakukan.
15
Konsep Etnografi Komunikasi
Konsep dapat dijadikan sebagai dasar acuan awal dalam proses
suatu penelitian. Menurut KBBI konsep adalah rancangan dasar, ide,
pengertian, dan gambaran awal dari objek yang diabstrakkan dari peristiwa
konkret dan digunakan untuk memahami hal-hal lain dalam suatu
penelitian. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kridalaksana (2008:
117) bahwa konsep adalah gambaran awal dari objek penelitian yang
digunakan untuk memahami hal-hal lain dalam suatu penelitian. Paparan
konsep-konsep bisa bersumber dari pendapat para ahli, pengalaman
peneliti, dokumentasi, dan nalar yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti.
Untuk memahami konsep etnografi komunikasi, baik sebagai dasar
teori (ilmu) maupun sebagai studi riset, sebaiknya diawali dengan
pemahaman tentang aspek-aspek dasar yang mempengaruhi lahirnya
cabang ilmu linguistik tersebut. Aspek-aspek tersebut adalah bahasa,
komunikasi, dan kebudayaan, karena ketiga aspek tersebut yang tergambar
dalam kajian etnografi komunikasi.
Studi etnografi komunikasi tidak lain merupakan salah satu bentuk
penelitian kualitatif (paradigma interpretatif dan alamiah), yang
mengkhususkan pada penemuan berbagai pola komunikasi yang digunakan
manusia dalam suatu masyarakat tutur (Saville-Troike, 2003: 2-3). Tentu
saja penemuan berbagai pola komunkasi tersebut didasarkan pada analisis
komponen tutur yang dipengaruhi tiga aspek penting yang mendasari
pemolaan komunikasi yaitu: linguistik, interaksi sosial, dan kebudayaan.
Memahami pola komunikasi yang hidup dalam suatu masyarakat
tutur, atau masyarakat yang memiliki kaidah yang sama untuk
berkomunikasi, akan memberikan gambaran umum regularitas dari
perilaku komunikasi masyarakat tersebut. Dari pola tersebut juga dapat
diketahui bagaimana unit-unit komunikatif dari suatu masyarakat tutur
diorganisasikan, dipandang secara luas sebagai cara-cara berbicara, dan
bersama dengan makna, menurunkan makna dari aspek-aspek kebudayaan
yang lain.
Ketika seseorang sedang berkomunikasi dengan rekan kerjanya akan
spontan mengubah gaya komunikasinya lantaran seorang atasannya
menghampirinya. Kita sering tidak menyadari, suara (tone), lafal maupun
gerak-gerik telah berubah-ubah, ketika menghadapi bayi, anak kecil, orang
sebaya, orang tua, dan bahkan kekasih kita. Seseorang tentu tidak
menggunakan kalimat perintah, ketika yang dihadapi orang lebih tua dan
dihormati. Misalnya, Ibu sudah punya buku ini? Seraya menunjukkan buku
yang diharapkan dibelinya. Kalimat tersebut bentuknya kalimat tanya,
namun fungsinya kalimat perintah atau permintaan agar ibu tersebut
16
membeli buku itu. Hubungan bentuk dan fungsi komunikasi inilah yang
dalam kajian etnografi komunikasi disebut sebagai contoh pemolaan
komunikasi (communication patterning).
Studi etnografi komunikasi adalah pengembangan dari antropologi
linguistik yang dipahami dalam konteks komunikasi. Studi ini
diperkenalkan pertama kali oleh Hymes pada tahun 1964, sebagai kritik
terhadap ilmu linguistik yang terlalu menfokuskan diri pada fisik bahasa
saja (Kuswarno, 2008: 11).
Etnografi komunikasi juga dikenal sebagai salah satu cabang ilmu
antropologi, khususnya turunan dari etnografi berbahasa (ethnography of
speaking). Disebut etnografi komunikasi karena Hymes (1964a: 1-2)
beranggapan bahwa yang menjadi kerangka acuan untuk memberikan
tempat bahasa dalam suatu kebudayaan haruslah difokuskan pada
penggunaan bahasa dalam komunikasi, bukan hanya pada internal bahasa
itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan, bahasa bisa hidup dalam
komunikasi, bahasa tidak akan bermakna jika tidak digunakan dalam
komunikasi.
Hymes (1964a: 4) mendefinisikan ethnography of speaking sebagai
gabungan dari etnologi dan linguistik, suatu kajian yang menyangkut
situasi, penggunaan, pola, dan fungsi berbicara sebagai suatu aktivitas
tersendiri. Pada perkembangannya, Hymes mengubah istilah
pendekatannya itu dari ethnography of speaking menjadi ethnography of
communication. Semenjak itu pendekatan Hymes ini semakin dikenal luas
dan diakui sebagai suatu kajian yang penting dalam memandang perilaku
komunikasi manusia yang berhubungan erat dengan kebudayaan
(Kuswarno, 2008: 13).
Secara singkat dapat dikatakan, etnografi komunikasi merupakan
pendekatan terhadap sosiolinguistik bahasa, yaitu melihat penggunaan
bahasa secara umum dihubungkan dengan nilai-nilai sosial dan kultural.
Dengan demikian, tujuan deskripsi etnografi adalah untuk memberikan
pemahaman global mengenai pandangan dan nilai-nilai suatu masyarakat
sebagai cara untuk menjelaskan sikap dan perilaku anggota-anggotanya.
Dengan kata lain etnografi komunikasi menggabungkan sosiologi (analisis
interaksional dan identitas peran) dengan antropologi (kebiasaan pengguna
bahasa dan filosofi yang melatarbelakanginya) dalam konteks komunikasi,
atau ketika bahasa itu dipertukarkan.
Hymes (1964a); Saville-Troike (2003: 1-3) mengemukakan bahwa
ruang lingkup kajian etnografi komunikasi adalah sebagai berikut: (1) Pola
dan fungsi komunikasi (Patterns and function of communication); (2)
Hakikat dan definisi masyarakat tutur (nature and definition of speech
community); (3) Cara-cara berkomunikasi (means of communication); (4)
17
Komponen-komponen kompetensi komunikatif (components of
communicative competence); (5) Hubungan bahasa dengan pandangan
dunia dan organisasi sosial (relationship of language to world view and
social organization); dan (6) Semesta dan ketidaksamaan linguistik dan
sosial (linguistic and social universals and inqualities) (periksa juga
Kuswarno, 2008: 14).
Pola Komunikasi
Telah diakui bahwa perilaku linguistik ditentukan oleh kaidah
(rules) yaitu, mengikuti pola-pola dan kaidah-kaidah yang diformulasikan
secara deskriptif sebagai aturan (Sapir, 1994; Savielle-Troike, 2003: 10).
Dengan demikian, bunyi-bunyi (sounds) harus dihasilkan dalam bahasa
yang spesifik (language specific), tetapi urutan kaidah jika
diinterpretasikan sebagai kehendak penutur; pesan dan bentuk kata yang
mungkin dalam suatu kalimat ditentukan oleh kaidah grammatika; dan
bahkan definisi wacana yang tersusun dengan baik (well-constructed
discourse) ditentukan oleh kaidah retorika budaya yang spesifik (culture-
sopesific rules of rhetoric) (Hymes, 2000: 314; Saville-Troike, 2003: 10).
Didasarkan pada pendapat di atas, konsep pola komunikasi dapat
didefinisikan sebagai model-model interaksi penggunaan kode bahasa
yang didasarkan pada hubungan-hubungan yang khas dan berulang
antarkomponen tutur yang dipengaruhi oleh aspek-aspek linguistik,
interaksi sosial, dan kultural. Pola komunikasi tersebut dapat berupa
kategori dan fungsi bahasa yang tercermin dalam tuturan, penggunaan
tingkat tutur (ondhghn bhsa/speech level), pilihan bahasa dan ragam
bahasa sebagai wujud alih kode dan campur kode, intonasi (tone), dan
simbol-simbol yang ditampakkan melalui gerakan-gerakan tubuh (body
language) sebagai aspek pendukung pemahaman terhadap tindak tutur
yang terjadi dalam bahasa verbal, serta alih giliran tutur.
Hubungan bentuk dan fungsi merupakan contoh pemolaan
komunikatif (communicative patterning) dalam dimensi yang berbeda-
beda. Misalnya, bertanya kepada seseorang apakah seseorang mempunyai
rokok segera disadari sebagai permintaan daripada sekedar pertanyaan
yang memerlukan informasi. Begitu pula, ketika seseorang bertanya:
Punya uang? yang disampaikan dengan nada landai dan santun, maka
segera direspon oleh partisipan tutur dengan jawaban butuh berapa? atau
untuk beli apa? ini berarti bahwa seseorang akan pinjam atau meminta
uang. Dalam kelompok masyarakat NU di Jember pemakaian dan fungsi
bahasa, penggunaan tingkat tutur, alih giliran berbicara, intonasi (tone),
bentuk-bentuk pilihan bahasa serta penggunaan gaya bahasa dalam
konteks tuturan tertentu merupakan bentuk pola komunikasi.
18
Pemolaan (Patterning) terjadi pada semua tingkat komunikasi:
masyarakat, kelompok, dan individu (periksa, Hymes, 1961: 59). Pada
tingkat masyarakat, komunikasi biasanya berpola dalam bentuk-bentuk
fungsi, kategori ujaran (categories of talk), sikap, serta konsepsi tentang
bahasa dan penutur. Komunikasi juga berpola menurut peran dan
kelompok tertentu dalam suatu masyarakat seperti, jenis kelamin, usia,
status sosial, dan jabatan: misalnya, seorang guru memiliki cara-cara
berbicara yang berbeda dengan ahli hukum, dokter, atau salesmen
asuransi. Cara berbicara juga berpola menurut tingkat pendidikan, tempat
tinggal perkotaan atau pedesaan, wilayah geografis, dan ciri-ciri kelompok,
serta organisasi sosial yang lain (Saville-Troike, 2003: 11).
Berikutnya yang terakhir, komunikasi berpola pada tingkat individu,
pada tingkat ekspresi dan interpretasi kepribadian. Pada tataran faktor-
faktor emosional seperti kegemetaran memiliki dampak fisiologis pada
mekanisme vokal, faktor-faktor emosional ini tidak dipandang sebagai
bagian dari komunikasi, tetapi banyak simbol konvensional yang
merupakan bagian dari komunikasi terpola.
Persepsi individu sebagai lancar bicara atau grogi (voluble or
taciturn) juga berada dalam terminologi norma kebudayaan, dan bahkan
ekspresi rasa sakit dan tertekan biasanya juga terpola secara kultural
(Saville-Troike, 2003: 12). Seperti, ketika seorang santri menghadap kiai
yang terjadi adalah kegrogian yang disebabkan status sosial berbeda, rasa
hormat, dan patuh yang amat mendalam kepada seorang guru, tetapi
hubungan sesama santri menjadi lancar berbicara lantaran mereka
memiliki status sosial yang sama dan penuh keakraban dalam hubungan
personal.
Kalau kita cermati secara seksama pada tingkat masyarakat,
kelompok, dan individu memiliki pola sendiri-sendiri dalam
berkomunikasi. Namun demikian, terdapat benang merah keterkaitan
hubungan yang tidak dapat dipisah antara tingkat-tingkat itu, dan juga
antarsemua pola kebudayaan. Sebaiknya ada topik umum yang
menghubungkan pandangan dunia (world view) yang hadir dalam berbagai
aspek kebudayaan, seperti hal ini, akan dimanifestasikan pada cara
berbicara sebagaimana terdapat dalam kepercayaan dan sistem nilai.
Konsep hirarki kontrol tampaknya bersifat menyebar dalam beberapa
kebudayaan dan haruslah paling awal dipahami untuk menjelaskan
batasan-batasan dalam bahasa tertentu seperti kepercayaan agama dan
organisasi sosial (Saville-Troike, 2003: 12).
Perhatian terhadap pola merupakan dasar antropologi dengan
interpretasi makna dasar yang tergantung pada temuan dan diskripsi
struktur serta desain normatif. Penekanan yang lebih pada proses interaksi
19
dalam menghasilkan pola-pola perilaku memperluas perhatian kajian
etnografi komunikasi sampai pada penjelasan dan diskripsi linguistik,
aspek-aspek sosial, dan norma-norma kebudayaan.
20
dapat dipandang sebagai kemampuan individu untuk merekonstruksi
informasi kontekstual (Duranti, 1998: 213).
Jadi, bagi ahli Ethnografi Komunikasi (EK), serta para peneliti lain
dalam bidang ilmu pengetahuan sosial pada umumnya, penggunaan bahasa
harus diinterpretasikan sebagai penggunaan kode-kode (symbol) linguistik
dalam tingkah laku kehidupan sosial. EK adalah penyatuan "suatu bahasa",
yang merupakan sebuah ilusidan seseorang harus lebih melihat pada
konteks khusus dari penggunaan bahasa, agar dapat menerangkan
bagaimana simbol-simbol linguistik dapat berfungsi sebagaimana
mestinya. Melihat begitu pentingnya interaksi antara kemampuan bertutur
dan tindakan sosial, sehingga metodologi dan cara menulis yang
dikembangkan untuk mempelajari penggunaan referensial (atau denotasi)
dari kemampuan berbicara belum mencakup aspek fungsi sosialnya
(Silverstein, 1977). Istilah pertuturan diperkenalkan oleh Hymes (1961)
untuk menekankan aspek yang berorientasi pada praktis (kebiasaan yang
dapat diterima) dari kode linguistik. Oleh karena itu, pertuturan harus
dianggap sebagai suatu bentuk tugas manusia yang secara filogenitis dan
ontogenitis merupakan bentuk yang paling kuat dari tingkah laku
kooperatif (Duranti, 1998: 213).
Oleh karena itu, kepedulian terhadap penggunaan bahasa tidak
hanya berupa komitmen metodologi dalam mendapatkan apa yang
sebenarnya dikatakan oleh penutur dalam berbagai macam konteks, akan
tetapi juga konsekuensi ketertarikan terhadap sesuatu yang dilakukan oleh
penutur dengan bahasa tersebut, baik dengan suka maupun tidak suka,
sadar maupun tidak sadar, langsung maupun tidak langsung. Pada
khususnya, para ahli EK peduli dengan karya yang dilakukan oleh dan
melalui bahasa dalam (1) membentuk, menentang, dan menciptakan
kembali identitas sosial dan hubungan sosial; (2) menjelaskan pada yang
lainnya termasuk kita sendiri mengapa dunia seperti ini dan apa yang dapat
dan seharusnya dilakukan untuk mengubahnya; (3) memberikan kerangka
bagi peristiwa-peristiwa pada tingkat sosial maupun individual; dan (4)
membuka penghalang-penghalang fisik, politik, dan budaya. Di antara
beberapa bidang penelitian ini juga diteliti dalam pragmatik (Levinson,
1983: 1-4).
Yang biasanya membedakan pendekatan etnografi komunikasi
dengan analisis pragmatik sebagai dua pendekatan yang berusaha
menelaah bahasa yang digunakan dalam konteks tertentu adalah Etnografi
komunikasi memiliki kepedulian yang lebih kuat terhadap konteks sosial-
budaya penggunaan bahasa, dengan hubungan khusus antara bahasa dan
sistem-sistem lokal ilmu pengetahuan dan tatanan sosial (antropologi), dan
kurangnya komitmen terhadap relevansi cara penulisannya terhadap
21
penggunaan kemampuan bertutur yang strategis dalam interaksi sosial dan
digunakannya analisis komponen tutur yang diformulasikan dalam
SPEAKING-gird. Adapun Pragmatik lebih menekankan pada studi tentang
makna yang dikehendaki oleh penutur dan yang diterima (diinterpretasi)
oleh petutur (partisipan tutur, lawan tutur, mitra tutur) dengan
memperhatikan hubungan dengan situasi ujar (speech situations) dan
menggunakan perangkat analisis PK ( Grice, 1975: 45-46) yang dirinci ke
dalam 4 maksim (Quality, Quantity, Relation/Relevance, Manner) dan PS
(Prinsip kesantunan dalam berbahasa) sehingga dalam kajian pragmatik
fokus pengkajian sering mengaitkan implikatur, presupposisi, dan
inferensi.
Namun demikian, kita tidak perlu terlalu jauh mempersoalkan
perbedaan kedua pendekatan tersebut, karena keduanya saling mendukung
dan mimilki keterkaitan satu sama lain sebagai pendekatan yang mengkaji
pemakaian bahasa dalam konteks sosial budaya masyarakat tutur tertentu.
Kompetensi Komunikatif
Kompetensi Komunikatif (KK) merupakan istilah Hymes (1972b:
276) bahwa penutur yang bisa menghasilkan kalimat gramatikal suatu
bahasa yang didasarkan pada definisi kompetensi linguistik Chomsky
(1965) akan terinstitusionalisasi apabila mereka mencoba melakukannya
(periksa Duranti, 2000: 215).
Kompetensi komunikatif melibatkan pengetahuan tidak saja
mengenahi kode bahasa, tetapi juga apa yang akan dikatakan kepada siapa,
dan bagaimana mengatakannya secara benar dalam situasi tertentu.
Kompetensi komunikatif berkenaan dengan pengetahuan sosial dan
kebudayaan yang dimiliki penutur untuk membantu mereka menggunakan
dan menginterpretasikan bentuk-bentuk linguistik.
Kenyataan bahwa seorang anak yang normal belajar tentang susunan
kalimat, tidak hanya tata bahasanya, tetapi juga belajar tentang kesesuaian
pemakaiannya dalam konteks tertentu. Dia belajar kompetensi tentang
kapan dia berbicara dan kapan tidak berbicara, dan apa yang dibicarakan,
dengan siapa, kapan, dimana, dan bagaimana caranya. Pendek kata,
seorang anak dengan kemampuan bertuturnya menjadi mampu
23
mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain, menirukan lagu-lagu,
bermain peran (roleplay) dengan menirukan seseorang yang berperan
sebagai dokter dan pasien, pembeli dan penjual, dan sebagainya.
Di samping itu, KK merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dengan sikap, nilai, dan motivasi yang berkenaan dengan bahasa, sisi-sisi,
dan penggunaannya, serta tidak dapat dipisahkan dengan kompetensi untuk
menentukan sikap terhadap interrelasi bahasa dengan kode-kode dan
simbol-simbol lain dari tindakan komunikatif (Hymes, 1972b: 277-278).
Pembahasan tentang kompetensi komunikatif dan kompetensi
linguistik (gramatikal) biasanya berkisar di antara dua pokok persoalan,
yaitu: (1) perlunya menyertakan deskripsi gramatikal dengan kondisi-
kondisi yang sesuai, (2) perimbangan antara kode gramatikal (atau
linguistik) dengan aspek-aspek lain seperti gerakan tubuh, tatapan mata,
dan sebagainya (Duranti, 2000: 215).
Kompetensi komunikatif meliputi baik pengetahuan dan harapan
tentang siapa yang bisa atau tidak bisa berbicara dalam setting tertentu,
kapan mengatakannya dan bilamana harus tetap diam, siapa yang diajak
bicara, bagaimana seseorang berbicara kepada orang yang status perannya
berbeda, perilaku non verbal apakah yang sesuai untuk berbagai konteks,
rutin apakah yang terjadi untuk alih giliran dalam percakapan, bagaimana
menawarkan bantuan dan kerjasama, bagaimana meminta dan memberi
informasi, bagaimana menegakkan disiplin dan sebagainya (Saville-
Troike, 2003: 18)
Ternyata, perbedaan utama antara pemikiran Chomsky dan Hymes
tentang kompetensi adalah: Chomsky mengandalkan asumsi yang
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dapat dipelajari secara terpisah
dengan tindakan, yang diartikan sebagai implementasi dari ilmu
pengetahuan tersebut dalam penggunaan bahasa, sedangkan bagi Hymes,
partisipasi, penampilan, dan ilmu pengetahuan intersubjektif secara
keseluruhan merupakan segi-segi yang sangat penting sebagai
kemampuan untuk "mengetahui sebuah bahasa" (Saville-Troike, 2003: 18).
Kita semua tahu bahwa sebagian besar dari hasil karya yang
dilakukan oleh Chomsky dan murid-muridnya didasarkan pada
kemampuannya untuk menemukan (yaitu membayangkan) konteks yang
sesuai dalam mengujarkan jenis-jenis ujaran tertentu. Walaupun ada
asumsi teoritis tentang aspek-aspek tertentu dalam tata bahasa yang
dianggap sebagai kognitif murni, akan tetapi definisi yang sebenarnya dari
aspek-aspek semacam itu terletak pada kemungkinan dalam memadukan
kalimat-kalimat dengan dunia yang sebenarnya, yang pada gilirannya
disusun berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh para ahli bahasa
tentang dunia di mana mereka tinggal (Duranti, 1998: 216).
24
KK mengacu pada pengetahuan dan ketrampilan untuk penggunaan
dan interpretasi bahasa yang tepat secara kontekstual dalam suatu
masyarakat. Oleh karena itu, KK mengacu pada pengetahuan dan
ketrampilan komunikatif yang sama-sama dimiliki oleh kelompok tertentu
(seperti aspek-aspek lain dalam suatu kebudayaan), meskipun hal ini
sangat bervariasi dalam anggota-anggota kelompok yang melibatkan
individu-individu yang berbeda. Hakekat kompetensi individu itu
merefleksikan hakekat bahasa itu sendiri. (Saville-Troike, 2003: 14)
Perbedaan lintas budaya bisa dan memang menghasilkan konflik-
konflik atau menyebabkan kegagalan komunikasi. Misalnya, masalah-
masalah seperti tingkat bunyi bisa berbeda secara lintas budaya, dan
maksud penutur bisa dipahami secara salah karena perbedaan pola harapan
dan interpretasi.
Oleh karena itu, KK seharusnya dimasukkan dalam konsep
kompetensi kebudayaan (cultural competence), atau keseluruhan
pengetahuan dan keterampilan yang dibawa dalam suatu situasi.
Pandangan ini konsisten dengan pendekatan semiotik yang mendefinisikan
kebudayaan sebagai makna, dan memandang semua etnografer
berhubungan dengan simbol (periksa Geertz, 1973;). Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa sistem kebudayaan merupakan pola simbol, dan
bahasa merupakan salah satu sistem simbol dalam kerangka ini.
Interpretasi makna linguistik menghendaki pengetahuan makna di mana
perilaku linguistik itu ditempatkan (periksa juga Ibrahim, 1994: 28).
Outline berikut ini meringkas rentang pengetahuan yang harus
dimiliki penutur untuk bisa berkomunikasi secara tepat. Dari perspektif
etnografer, ini juga menunjukkan rentang fenomena linguistik,
interaksional, dan kultural yang harus diberi perhatian dalam suatu
deskripsi dan penjelasan komunikasi yang memadai. Berikut ini
merupakan komponen-komponen kompetensi komunikasi:
1. Pengetahuan Linguistik (linguistik knowledge)
a. Elemen-elemen verbal;
b. Elemen-elemen nonverbal;
c. Pola elemen-elemen dalam peristiwa tutur tertentu;
d. Rentang varian yang mungkin (dalam semua elemen dan
pengorganisasian elemen-elemen itu)
e. Makna varian-varian dalam situasi tertentu.
2. Keterampilan interaksi (interaction skills)
a. Persepsi ciri-ciri penting dalam situasi komunikatif;
b. Seleksi dan interpretasi bentuk-bentuk yang tepat untuk situasi,
peran dan hubungan tertentu (kaidah untuk penguna ujaran);
c. Norma-norma interaksi dan interpretasi;
25
d. Strategi untuk mencapai tujuan.
3. Pengetahuan kebudayaan (cultural knowledge)
a. Struktur sosial
b. Nilai dan sikap;
c. Peta/skema kognitif
d. Proses enkulturasi (transmisi pengetahuan dan keterampilan)
(Saville-Troike, 2003: 20)
27
yang mengontrol perilaku. mencontohkan konsep ini dengan tema
Apache mengenahi superioritas pria, yang juga direalisasikan dalam pola
komunikasi maupun domain religius dan politik. Dalam pertemuan-
pertemuan suku, misalnya hanya beberapa wanita tua saja yang
diperkenankan berbicara sebelum kesemua pria terdengar suaranya, dan
merupakan hal yang tidak biasa bagi wanita untuk berdoa keras di muka
umum (Saville-Troike, 2003: 28).
Jika directness dan indirectness (langsung atau tidak langsung)
merupakan tema kebudayaantema-tema itu selalu berhubungan dengan
bahasa. Sebagaimana didefiniskan dalam teori tindak tutur, tindak
langsung merupakan tindak yang mencerminkan bentuk lahir cocok
dengan fungsi interaksi, seperti diam yang digunakan sebagai perintah
atau larangan, versus yang tidak langsung kok makin gaduh ya disini
atau sampai saya tidak bisa mendengarkan pikiran saya. Padahal dalam
konteks tersebut seseorang meminta orang lain diam atau tidak ramai.
Penggunaan metafor dan peribahasa merupakan strategi komunikatif yang
umum untuk mendepersonalisasi apa yang dikatakan dan memberikan
ketidaklangsungan.
Meskipun bahasa tidak dipertanyakan lagi merupakan bagian
integral dari kebudayaan, mengasumsikan pengalaman kebudayaan yang
spesifik dan kaidah-kaidah perilaku sebagai koordinat keterampilan
linguistik spesifik, merupakan penyederhanaan yang naif terhadap
hubungan bahasa dan kebudayaan.
Pendalaman Materi
1. Dengan memanfaatkan media ICT, carilah perbandingan tentang
pengertian, definisi, dan sejarah kajian etnografi komunikasi!
2. Jelaskan pengertian pola komunikasi, dan pada tingkatan apa pola
komunikasi terjadi?
3. Berilah penjelasan tentang fungsi-fungsi komunikatif bahasa
4. Sebutkan unsur-unsur yang mendukung kompetensi komunikatif
beserta penjelasannya!
5. Mengapa bahasa dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan satu sama lain,
jelaskan!
28
Bab 3
Prinsip Kerjasama dan Kesantunan,
Kode dan Alih Kode
Sebagai Pola dan Strategi Komunikasi
Strategi komunikasi dalam buku ini adalah cara atau metode yang
digunakan oleh penutur agar tujuan tutur dapat diterima dengan baik oleh
mitra tutur tanpa adanya kesalahpahaman yang dapat menimbulkan
kegagalan komunikasi (Haryono 2014). Strategi komunikasi meliputi
prinsip kerja sama (PK) berserta maksim-maksimnya dan prinsip
kesantunan (PS). Adapun pola komunikasi menurut Haryono (2013:22)
dapat didefinisikan sebagai model-model interaksi penggunaan kode
bahasa yang didasarkan pada hubungan-hubungan yang khas dan berulang
antarkomponen tutur yang dipengaruhi oleh aspek-aspek linguistik,
interaksi sosial, dan kultural.
Pola komunikasi tersebut dapat berupa kategori dan fungsi bahasa
yang tercermin dalam tuturan, penggunaan tingkat tutur (ondhghn
bhsa/speech level), pilihan bahasa dan ragam bahasa sebagai wujud alih
kode dan campur kode, intonasi (tone), dan simbol-simbol yang
ditampakkan melalui gerakan-gerakan tubuh (body language) sebagai
aspek pendukung pemahaman terhadap tindak tutur yang terjadi dalam
bahasa verbal, serta alih giliran tutur. (Haryono, 2011).
Oleh karena itu, dalam kajian etnografi komunikasi juga diperlukan
teori-teori kebahasaan yang relevan seperti teori-teori pragmatik dan
sosiolinguistik yang dibutuhkan untuk memperkuat analisis komponen
tutur dan analisis percakapan sebagaimana disajikan berikut ini.
Prinsip Kerjasama (PK) dan Prinsip Sopan Santun (PS) dalam
Berkomunikasi
Prinsip Kerjasama (PK) (Cooperative Principle) dalam suatu
percakapan adalah suatu pedoman yang perlu diperhatikan dan ditaati oleh
partisipan tutur dalam peristiwa tutur agar komunikasi berjalan dengan
lancar dan efektif, serta tidak terjadi kesalahpahaman. Grice (1975: 47);
Yule (1996: 36-37); Nadar (2008: 24-25) menjelaskan bahwa PK itu
mempunyai pengertian sebagai berikut: Buatlah sumbangan percakapan
anda sedemikian rupa sesuai yang dikehendaki, sesuai dengan
perkembangan konteks atau situasi terjadinya percakapan, dan sesuai
dengan maksud atau arah yang disepakati dalam percakapan yang anda
ikuti. Kita membutuhkan PK untuk lebih mudah menjelaskan hubungan
antara makna dan dayapenjelasan yang demikian sangat memadai,
khususnya untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam
semantik yang memakai pendekatan kebenaran (truth-based approch).
Grice lebih lanjut merinci prinsip kerjasama ke dalam 4 maksim
(maxims / guidelines)sbb:
a. Kualitas (Quality):Buatlah sumbangan percakapan dan merupakan
sumbangan percakapan yang benar, khususnya: Jangan mengatakan
apa yang dianggap anda salah; Jangan mengatakan sesuatu yang tidak
didukung bukti yang cukup.
b. Kuantitas (Quantity): Buatlah sumbangan percakapan anda
seinformatif mungkin sesuai yang diperlukan oleh percakapan
itujangan memberikan sumbangan lebih informatif dari pada yang
diperlukan .
c. Hubungan/relevansi (Relation / Relevance): Buatlah percakapan anda
relevan.
d. Cara (Manner): Bicaralah dengan jelas, dan khususnya: 1) Hindari
kekaburan; 2) Hindari ketaksaan; 4) Bicaralah singkat; 4) Bicaralah
secara teratur.
Keempat maksim tersebut menjelaskan apa yang harus dilakukan
peserta percakapan agar dia dapat berbicara secara efisien, rasional, dan
dilandasi kerjasama, artinya pembicara harus bekerja dengan jujur,
relevan, dan jelas dengan memberikan informasi secukupnya. Untuk lebih
jelasnya kita perhatikan percakapan berikut.
Ada seorang wanita yang sedang duduk pada suatu kursi panjang
dipertamanan, dan seekor anjing terbaring di tanah di depan kursi panjang
itu. Seorang lelaki datang mendekati dan duduk pada kursi tersebut.
31
pendapat A. Dari sini kita memperoleh: Penutur berpendapat bahwa tidak
semua orang merindukan agatha. Bahwa B sengaja tidak menyatakan
pendapat ini, melanggar maksim kuantitas atau maksim
kejelasan/kelengkapan informasi, dan maksim hubungan atau relevansi. B
lebih mentaati PS dari pada PK karena dia tidak ingin bertindak tidak
sopan terhadap pihak ketiga (Agatha).
34
3. ngghi- penutur kpd atasan, bhdhn panjhn- ngghi
bhunten berumur kpd mertua kaul nengngan
(-B) lebih
rendah dg
jarak status
sosial
cukup jauh;
sering
berinteraksi
+4. bhsa penutur dg kpd kiai; kpd dlm/ Ajunan, dhlm
alos jarak status pejabat abdhina padhna
(BAl) sosial tinggi
sangat jauh;
jarang
berinteraksi
+5. enggh- penutur mertua kpd bul Dhika engghe
enten berumur menantu,
(Eg-E) lebih tua; tetangga yg
sering lebih muda
berinteraksi
+6. bhsa agak akrab, teman saya Situ iya
Malaju tidak ada sekolah atau
(ragam hubungan kantor, etnik
kota) keluarga lain
(BMlj)
Dikutip dari Sofyan, (2009: 47) sebagian dikembangkan sendiri oleh
penulis sesuai topik penelitian
Kaliamat dalam bahasa Jawa di atas diurut dari gaya level yang
paling formal High(level 3a disebut krama inggil), kepada gaya yang
paling tidak formal Low(level 1 disebut ngoko).
36
Konflik etnik juga bisa terjadi karena kegagalan komunikasi yang
disebabkan etnik yang satu tidak mengenal budaya etnik yang lain
sehingga terjadi kesalah pahaman dalam komunikasi. Begitu juga
seringnya kekerasan yang menimpa para TKI asal Indonesia di luar negeri,
mungkin juga karena minimnya pengetahuan lintas budaya negara tujuan,
sehingga terjadi kesalah pahaman dalam berkomunikasi. Bahkan menurut
Suparmin (2000: 57-58) pernah terjadi seorang mahasiswa Indonesia (MI)
yang mendapat tugas belajar di Amerika pernah harus menanggung malu
besar bukan karena masalah penguasaan bahasa, tetapi karena ketidak
tahuannya akan kebiasaan pragmatik lintas budaya setempat. Suatu hari
waktu istirahat makan siang di kampus, dia diajak seorang teman
mahasiswa asal Amerika (MA) makan siang di kafe.
MA : Do you like to come with me to cafee ?
MI : Yes, okay
Tentu saja tanpa berbasa-basi dan menanyakan apakah dia akan ditraktir.
Dia malah merasa senang sekali karena saat itu kebetulan dia tidak
membawa uang sama sekali karena lupakebetulan sekali ada yang mau
mentraktirbegitulah inferens yang dia tangkap. Merasa akan ditraktir dia
managmbil makanan agak lebih dari bisanya. Pada saat membayar
temannya tadi ternyata membayar hanya untuk makanan yang dia ambil
saja, sedangkan makanan yang diambil si MI tidak dibayarnyatentu saja
dia terkejut sekalisudah terlanjur mengambil makanan, tetapi tidak
membawa uang. Pada hal sudah berada di depan kasir yang siap menerima
pembayaran dan dibelakangnya banyak yang antri akan membayar.
Akhirnya, dengan menahan rasa malu dia terpaksa pinjam dulu kepada
teman yang masih belum lama dikenalnya tersebut. Rupanya kebiasaan di
sana tidak seperti di Indonesia, mengajak makan bersama bukan berarti
mentraktir, kecuali kalau secara jelas (eksplisit) yang mengajak
menyatakan bahwa nanti dia akan membayar.
Mereka yang pernah tinggal di luar negeri atau di luar daerah di
mana ia dibesarkan, pasti pernah menanggung malu, mendapat marah atau
sikap yang kurang bersahabat dan sebagainya, bukan karena penguasaan
bahasa, tetapi karena ketidakpahaman terhadap budaya setempat sehingga
menimbulkan inferensi yang salah.
Kesalah pahaman seperti di atas, sering terjadi tidak saja dalam
komunikasi verbal (dengan menggunakan kata-kata), tetapi juga dalam
komunikasi non verbal, yaitu komunikasi dengan menggunakan gerakan-
gerakan tubuh atau bahasa tubuh (body language). Bahasa tubuh ini bisa
berupa ekspresi wajah, gerak mata, kepala, bahu, tangan, kaki, dan
sebagainya yang sering digunakan bersamaan dengan bahasa lisan (oral
language). Banyak contoh kejadian kesalah pahaman dalam komunikasi
37
non-verbal, seperti halnya dalam komunikasi verbal mengakibatkan rasa
malu, dimarahi, dan sebaginyabahkan pernah terjadi di Kairo (Mesir)
seorang profesor Inggris didemo mahasiswanya dan dituntut supaya diusir
kembali ke negaranya gara-gara body language ini. Asal mulanya adalah
pada waktu berada dalam kelas sehari sebelumnya si profesor, mungkin
karena santainya, duduk di kursi dengan kakinya di julurkan ke depan
(selonjor) sehingga alas sepatunya terlihat atau menghadap ke arah
mahasiswanya. Rupanya dia tidak memahami bahwa di Mesir hal itu
merupakan suatu bentuk penghinaan yang luar biasa. Salah paham ini
terjadi karena adanya perbedaan penafsiran terhadap gerak tubuh dalam
budaya yang berbeda. Misalnya, membuat lingkaran kecil dengan ibu jari
dan telunjuk, kalau di Amerika artinya sama dengan okay, di Jepang
artinya uang di Perancis artinya sesuatu yang tidak ada nilainya bahkan
di Yunani gerak itu ditafsirkan sebagai gerakan tidak senonoh (porno)
(Suparmin, 2000: 58).
Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapat dipahami bahwa budaya
bersifat group-specificartinya, tiap kelompok masyarakat mempunyai
ciri budaya sendiri-sendiri, atau dengan perkataan lain kelompok yang
berbeda mempunyai budaya yang berbeda pula, sehingga di dunia ini dapat
dijumpai berbagai budaya yang berbeda satu sama lain. Murdock (1961)
mengemukakan bahwa pola tingkah laku budaya memiliki tujuh ciri yang
bersifat universal, yaitu dapat dijumapai dalam budaya manapun juga.
Ciri-ciri tersebut ialah bahwa pola tingkah laku budaya tadi: (1) Berasal
dari alam pikiran manusia; (2) Mempermudah interaksi manusia dengan
lingkungannya; (3) Memenuhi kebutuhan dasar manusia; (4) Bersifat
komulatif dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam
kondisi eksternal dan internal; (5) Cenderung membentuk struktur yang
konsisten; (6) Dipelajari dan dimiliki bersama oleh seluruh anggota
masyarakat; dan (7) Diteruskan kepada generasi baru. Begitu pula
kesopanan merupakan konsep yang universal (That Pliteness is
conceptually universal) yaitu, kesopanan dapat dijumpai dimanapun dalam
bahasa dan budaya manapun juga.
39
pembicaraannya dengan topik santai, berkisar masalah anak, kenaikan
harga sembako, dan lain sebagainya. Dalam topik seperti ini, pada
umumnya dipergunakan bahasa ragam santai. Namun, ketika komunikasi
beralih ke topik yang lain, seperti masalah pendidikan, bahasa yang
dipergunakan biasanya bukan ragam santai, melainkan ragam formal.
Peristiwa pergantian ragam informal ke ragam formal atau sebaliknya
dikatakan sebagai alih kode.
Chaer dan Agustina, (1995: 141) mendefinisikan alih kode sebagai
gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Misalnya:
Ali dan Ibrahim, keduanya berasal dari Pesantren, dua puluh menit
sebelum kuliah dimulai sudah hadir di ruang kuliah. Keduanya terlibat
dalam percakapan yang topiknya tidak menentu dengan menggunakan
bahasa Arab. Ketika mereka sedang asyik bercakap-cakap masuklah Anto,
teman kuliahnya yang bukan dari pesantren, yang tentu saja tidak dapat
berbahasa Arab. Anto menyapa mereka dalam bahasa Indonesia. Lalu
mereka segera terlibat percakapan dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Peristiwa peralihan penggunaan bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang
dilakukan Ali dan Ibrahim kerena berubahnya situasi yang dipengaruhi
datangnya orang ketiga, yakni situasi kearaban berubah menjadi situasi
keindonesiaan yang dipengaruhi oleh datangnya Anto sebagai partisipan
tutur baru yang memulai dengan tuturan bahasa Indonesia.
Hymes (1972a: 103); Rahardi (2001: 20) menyatakan bahwa alih
kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan
pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa, atau
bahkan beberapa gaya dari suatu ragam bahasa.
Seseorang yang melakukan pembicaraan sebenarnya mengirimkan
kode-kode kepada lawan bicaranya. Pengkodean itu melalui suatu proses
yang terjadi pada pembicara, hampa suara, dan pada lawan bicara. Kode-
kode itu harus dimengerti oleh kedua belah pihakkalau pihak yang satu
memahami apa yang dimaksud oleh lawan bicaranya, maka ia akan
mengambil kesimpulan dan bertindak sesuai dengan apa yang seharusnya
dilakukan. Tindakan itu, misalnya diam, memutuskan pembicaraan, atau
mengulangi lagi pertanyaan sebagai bentuk kode yang digunakan untuk
mengajak lawan tutur mencurahkan perhatiannya. Seseorang berkode
bahasa dengan berbagai variasi sesuai suasana emosional penutur yang
dapat diimplementasikan dengan nada suara lembut, keras, cepat, lambat,
dan sebagainya, misalnya kalau marah tentu dengan nada cepat dan keras,
sebaliknya kalau merayu tentu dengan nada pelan dan lembut. Berdasarkan
penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kode
meliputi bahasa dengan segala unsur-unsurnya (seperti kalimat, kata,
morem, maupun fonem), variasi-variasi bahasa, dan gaya-gaya bahasa.
40
Alih kode adalah pertukaran dari satu bahasa ke bahasa lain, atau
pertukaran dari satu varian bahasa ke bahasa varian bahasa lain dalam
bahasa yang sama, ataupun pertukaran dari satu gaya bahasa yang satu ke
gaya bahasa yang lain dalam bahasa yang sama. Alih kode terjadi untuk
menyesuaikan diri dengan peran, atau adannya tujuan tertentu seorang
penuturkadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena
suatu tujuan. Misalnya, untuk mengubah situasi dari formal menjadi tidak
formal atau sebaliknya untuk menetralisasi situasi dan menghormati
kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih
kodeapalagi jika latar belakang kebahasaan mereka berbeda.
Kegiatan alih kode antarbahasa, antarvariasi bahasa, dan antargaya
bahasa dapat dilihat pada situasi berikut :
Alih kode antarbahasa, misalnya: Ketika dua orang sedang
bercakap-cakap dengan bahasa Inggris, karena kebetulan keduanya
mahasiswa Jurusan Sastra Inggris. Di tengan-tengah perbincangan
tersebut, tiba-tiba datang orang ketiga temannya yang kini sebagai
mahasiswa pada Jurusan Sastra Indonesia yang kurang memahami bahasa
Inggris. Selanjutnya, percakapan beralih dari bahasa Inggris ke bahasa
Indonesia agar orang ketiga tersebut dapat ikut dalam peristiwa tutur.
Alih kode antarvarian bahasa, misalnya: Seseorang beralih dari
varian bahasa Madura kasar enj-iyh kepada varian bahasa Madura level
ngghi-bhunten atau bhsa alos, karena diantara partisipan tutur yang
datang kemudian ternyata ada orang yang amat dihormati.
Alih kode antargaya bahasa, misalnya ketika sedang meminta
sesuatu dari orang lain, tentu dengan nada suara yang lembut. Berbeda
ketika seseorang sedang marah tentu beralih kode dengan nada suara yang
kasar dan keras.
Campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke
bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Yang
termasuk di dalamnya adalah pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dsb.
Campur kode adalah proses yang samayang digunakan untuk membuat
bahasa pidgin, tetapi perbedaannya adalah bahasa pidgin diciptakan di
dalam kelompok-kelompok yang tidak menggunakan satu bahasa yang
sama, sedangkan campur kode terjadi ketika para penutur multilingual
menggunakan satu bahasa yang sama atau lebih (Kridalaksana, 2008)
Campur kode terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu
bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur
bahasa lainnya. Campur kode dapat terjadi tanpa adanya sesuatu dalam
situasi berbahasa yang menuntut adanya pencampuran bahasa, tetapi dapat
juga disebabkan faktor kesantaian, kebiasaan, atau tidak adanya padanan
yang tepat untuk mengungkap suatu fenomena. Misalnya, untuk
41
membangkitkan rasa humor, seorang kiai yang sedang berceramah dengan
BI di depan mayoritas UNUEM, bercampur kode ke kosa kode BM yang
dapat membangkitkan tawauntuk mengungkapkan kosa kata BA yang
kurang pas di terjemahkan ke BI, segera bercampur kode ke BAdan
untuk menunjukkan keakraban, WNUEM sering bercampur kode ke BMlj
dan BA. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti
latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri
menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi,
karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada
padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa
lainwalaupun hanya mendukung satu fungsi.
Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic
convergence). Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Campur kode
ke dalam (innercode-mixing): Campur kode yang bersumber dari bahasa
asli dengan segala variasinya; dan (2) Campur kode ke luar (outer code-
mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing. Latar belakang
terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: (1) sikap
(attitudinal type) latar belakang sikap penutur; dan (2) kebahasaan
(linguistik type) latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan
identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan
atau menafsirkan. Dengan demikian, campur kode terjadi karena adanya
hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi
bahasa. Beberapa wujud campur kode: (a) penyisipan kata, (b) menyisipan
frasa (c) penyisipan klausa, (d) penyisipan ungkapan atau idiom, dan (e).
penyisipan bentuk blaster (gabungan pembentukan asli dan asing).
Pendalaman Materi
1. Mengapa dalam berbahasa seseorang menggunakan strategi
komunikasi?
2. Jelaskan prinsip kerjasama dan prinsip sopan santun dalam berbahasa
yang dikemukakan Griece!
3. Mengapa tingkat tutur digunakan dalam berbahasa? jelaskan, dan
berilah contoh penggunaan tingkat tutur yang digunakan dalam
percakapan dari orang yang memiliki kelas dan status sosial berbeda.
4. Berilah contoh kesalahpahaman dalam komunikasi akibat
ketidakpahaman budaya penutur suatu bahasa (pragmatik lintas
budaya).
5. Jelaskan apa yang dimaksud kode, alih kode, dan Campur kode dalam
peristiwa komunikasi?
6. Kapan dan mengapa sesorang menggunakan kode, alih kode, dan
campur kode?
42
Bab 4
Konteks
45
hipotesis yang berbeda, atau sebaliknya, yaitu gagasan bahwa "jenis" atau
keteraturan yang ditemukan tidak ada dalam pikiran seseorang melainkan
berada nun jauh di luar sana, yaitu di dalam dunia nyata (periksa Duranti,
1998: 219)
Oleh karena itu, segala gagasan tentang masyarakat bahasa (dan hal
ini juga akan menjadi benar dalam mendefinisikan "dialek" atau "logat
asli") akan bergantung pada dua fenomena: (1) pola-pola variasi dalam
kelompok pengguna bahasa juga dapat ditetapkan di tempat tertentu, di
luar homogenitas linguistik dan (2) aspek-aspek yang dicapai secara
kooperatif dalam tingkah laku manusia sebagai strategi untuk membentuk
keanggotaan dalam tingkah laku kehidupan sosial. Kemampuan
menerangkan (1) pada akhirnya bergantung pada keberhasilan kita dalam
memahami (2).
Bahasa sering berfungsi mempertahankan pemisahan identitas
masyarakat tutur di dalam masyarakat yang lebih besar, yang anggota
masyarakat tutur itu juga merupakan anggota dari masyarakat yang lebih
besar tersebut. Dalam kasus-kasus di mana individu dan kelompok
menjadi milik lebih dari satu masyarakat tutur, berguna sekali untuk
membedakan keanggotaan primer dan sekunder.
Dengan demikian, individu, khususnya dalam masyarakat yang
kompleks, bisa berpartisipasi dalam sejumlah masyarakat tutur yang diskrit
(terpisah) maupun yang overlap, seperti halnya mereka berpartisipasi
dalam setting sosial yang bervariasi yang dipilih oleh seseorang sebagai
orientasi dirinya sendiri pada saat tertentu dengan mengatur kaidah yang
digunakanmerupakan bagian dari strategi komunikasi.
47
tertentu dan tanpa dibarengi dengan teori (umum) yang berkaitan dengan
komponen yang beraneka ragam.
Dalam program Hymes (1972a), pembahasan teori seperti itu
tampaknya hanya memungkinkan pada level lokal (yaitu berkenaan
dengan masyarakat tertentu) dan bukan dalam kerangka yang lebih global
dan komparatif. Dalam EK hal ini diperlukan, di mana tidak pernah ada
usaha dalam memformulasikan fonemik umum dari peristiwa komunikasi.
Hubungan antara komponen-komponen model tersebut terbukti sangat
berarti dalam masyarakat tertentu, akan tetapi tidak perlu menunjukkan
prinsip yang universal dari hubungan antara kemampuan bertutur dan
konteks dalam masyarakat pada umumnya. Sedikit usaha, seperti yang
dilakukan Irvine (1979), terbukti merupakan pembahasan tentang
bagaimana seseorang seharusnya tidak berkesimpulan tentang segi
universal dari kelompok masyarakat tertentu; yaitu apa yang dianggap
"formal" dalam satu konteks tidak harus formal dalam konteks yang lain.
(Beberapa perkecualian di sini berlaku pada beberapa usaha dalam
menjelaskan bentuk areal secara umum, di mana ada studi lokal yang dapat
mencakup kemungkinan tersebut, misalnya yang dilakukan oleh Roberts &
Forman, 1972; Abrahams, 1983).
Jika beberapa jenis tuntutan universal diterima oleh EK, maka hal
ini akan menjadi sama dengan apa yang disebut Merlau-Ponty sebagai
lateral universal, yaitu universalitas usaha intersubjektif ketimbang
struktur. Untuk memahaminya, kita harus merefleksikan kembali tujuan-
tujuan yang ingin dicapai EK. Berbeda dengan pendekatan-pendekatan lain
dalam linguistik, EK sangat peduli dengan penggunaan bahasa sebagai
perekat dan alat dalam kehidupan sosial. Ini berarti bahwa ahli etnografi
objektif dan intersubjektif (yaitu, intuisi, audio-recording, transkripsi,
wawancara, partisipasi dalam kehidupan "subjek") terlibat dalam
mempelajari "objek" yang lebih kompleks dan lebih multi bentuk daripada
yang diteliti dalam cabang linguistik lain. Salah satu tujuan EK adalah
untuk mempertahankan kompleksitas languange as praxis daripada
menguranginya menjadi pokok-pokok yang abstrak dan independen
(Duranti, 1988: 223).
Kritik yang memungkinkan terhadap kelemahan analisis speech
event adalah bahwa ia cenderung menyeleksi bidang-bidang interaksi yang
dilabeli oleh suatu budaya, akan tetapi ia dapat mengabaikan interaksi-
interaksi yang tidak dikenal oleh anggota-anggotanya sebagai bagian-
bagian. Hal yang perlu dijelaskan di sini bahwa walaupun keberadaan
istilah leksikal bagi "bidang interaksi" hanya merupakan pendukung dari
pengorganisasian pengalaman lapangan, akan tetapi istilah tersebut
merupakan kata kunci yang menarik bagi pekerja lapangan.
48
Tindak Tutur (Speech act)
Bahasa memiliki banyak fungsi untuk memenuhi kebutuhan para
penggunanya. Fungsi utama bahasa adalah alat untuk menyampaikan
pesan atau maksud dari penutur kepada petutur (mitra tutur). Maksud yang
terkandung dalam komunikasi tersebut diungkapkan dengan kalimat.
Kailmat-kalimat yang komunikatif terbagi menjadi dua kategori
berdasarkan maknanya, yakni (1) kalimat perlakuan (performative) dan (2)
kalimat pernyataan (constative). Tujuan speech act menurut Austin, (1962:
98-99) adalah menekankan pada fungsi pragmatik dari kemampuan
berbicara, yang tidak hanya menggambarkan pandangan dunia, akan tetapi
juga mengubahnya sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di
masyarakat pada umumnya.
Penerimaan tujuan speech act tidak perlu disampaikan secara tidak
langsung akan diterimanya landasan epistimologi atau ideologi yang
mendasari teori tindakan komunikasi (Pratt, 1981). Secara khusus, teori
seperti itu dikatakan telah banyak memberi keunggulan bagi perhatian
pengguna bahasa sebagai definisi makna pengucapan. Akhir-akhir ini
sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa peran yang diberikan atas
perhatian pengguna bahasa dalam menginterpretasi cara berbicara
sebenarnya berbeda antarbudaya dan konteksnya (Streeck, 1980; Duranti,
1988: 225).
Kalimat-kalimat perlakuan relatif tidak begitu banyak jumlahnya
dalam suatu bahasa; yang jauh lebih banyak adalah kalimat pernyataan.
Austin (1962) mengatakan bahwa makna atau juga disebut nilai kalimat
adalah tindakan membuat janji itu. Jadi mengucapkan kalimat adalah
perlakuan berjanji dan kalimat itu disebut kalimat perlakuan. Di sini
tidak dipermasalahkan benar atau tidak benar, baik apa yang dikatakan
dalam kalimat saya datang besok, maupun kalimat induknya saya
berjanji. Dengan kata lain berjanji itu adalah pengucapan kalimat: saya
berjanji datang besok pagi. Selanjutnya, teori sebagai hasil pengkajian
kalimat-kalimat sebagai ungkapan disebut teori tindak tutur (speech act
theory).
Menurut Searle (1985: 16), dalam komunikasi bahasa terdapat
tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bahasa bukan sekadar
lambang, kata, atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk
atau hasil dari lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku tindak
tutur. Lebih tegasnya, tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu
kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari
komunikasi bahasa. Sebagaimana komunikasi bahasa yang dapat berwujud
pernyataan, petanyaan, dan perintah (Yule, 1996).
49
Wijana (2010: 92-94) mengemukakan, tindak tutur (speech act)
adalah berbagai bentuk tindakan yang dapat dilakukan oleh penutur
(termasuk juga penulis) dalam menggunakan bahasanya. Menurutnya,
sekurang-kurangnya ada 7 jenis tindak tutur yang mungkin dilakukan oleh
penutur. Ketujuh jenis tindak tutur itu adalah tindak tutur asertif,
performatif, verdikatif, ekspresif, direktif, komisif, dan fatis. Pembagian
tersebut didasarkan pada fungsi-fungsi yang dimainkan dalam setiap
tuturan pada peristiwa komunikasi. Sudut pandang fungsional dalam hal
ini harus dibedakan dengan sudut pandang formal yang selama ini
digunakan oleh ilmu tata bahasa di dalam menggolong-golongkan kalimat.
Penggolongan kalimat menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya
(introgatif), dan kalimat perintah (imperatif) didasrakan atas kriteria yang
bersifat formal, yakni lagu akhir (terminal counter) masing-masing kalimat
itu. Selanjutnya Wijana memmberi contoh sebagai barikut:
(1) Udaranya dingin sekali.
(2) Apakah pohon-pohon yang sudah susah payah kita tanam ini harus
ditebang?
(3) Pergi lagi sana!
Ketiga kalimat tersebut dari sudut pandang struktural masing-
masing adalah: (1) kalimat berita, (2) kalimat tanya, dan (3) kalimat
perintah. Namun dari sudut pandang fungsional, ketiga kalimat di atas
dapat memerankan fungsi-fungsi yang mungkin saja sama atau berbeda
bergantung pada konteks tuturannya yang berkaitkan dengan siapa yang
berbicara, kepada siapa, dimana, dan untuk apa pembicaraan itu. Misalnya,
dalam konteks tuturan (1) bukan kalimat berita, tetapi perintah tidak
langsung kepada seseorang untuk menutup pintu atau mematikan AC.
Demikian juga tuturan (2) bukanlah pertanyaan yang sebenarnya, boleh
jadi merupakan strategi tidak langsung untuk mempengaruhi lawan tutur
agar mendukung usulan penutur untuk tidak menebang pohon. Adapun
tuturan (3) mungkin juga merupakan larangan yang diutarakan secara tidak
literal agar lawan bicara tidak pergi. Dengan demikian, kalimat yang
secara formal sudah memiliki bentuk yang relatif tetap, ternyata
memungkinkan memiliki fungsi yang berbeda-beda, sehingga
dimungkinkan lawan tutur dapat menangkap sesuatu yang diungkapkan
secara langsung atau tidak langsung, secara literal atau tidak literal, dan
berbagai maksud yang lain adalah karena penutur dan lawan tutur
memiliki asumsi dan penfsiran yang sama terhadap kaidah-kaidah
pertuturan beserta berbagai prinsip yang mengatur berlangsungnya
pertuturan yang wajar, termasuk berbagai macam penyimpangannya.
Dalam pertuturan yang wajar, penutur lazimnya ingin mengemukakan
50
sesuatu dan berharap lawan tutur dapat menagkap atau memahami apa
yang diungkapkannya secara rasional.
Tindak tutur dalam ujaran suatu kalimat merupakan penentu makna
kalimat itu. Namun makna kalimat tidak ditentukan hanya oleh tindak tutur
seperti dalam kalimat yang sedang diujarkan itu, tetapi selalu dalam
prinsip adanya kemungkinan untuk menyatakan secara tepat apa yang
dimaksud oleh penuturnya. Oleh sebab itu, mungkin juga dalam setiap
tindak tutur, penutur menuturkan kalimat yang unik karena dia berusaha
menyesuaikan ujaran dengan konteksnya. Dalam pegertian seperti itu,
studi tentang makna kalimat dan studi tentang tindak tutur bukanlah dua
studi yang terpisah, melainkan satu studi dengan dua paradigma yang
berbeda. Dengan demikian, teori tindak tutur adalah teori yang lebih
cenderung meneliti tentang makna kalimat dan bukannya teori yang lebih
cenderung berusaha menganalisis struktur kalimat (Rani, 2004: 159)
Oleh karenanya, tuturan yang sama dapat digunakan pada tujuan
yang berbeda, berdasarkan pada pemahaman yang berbeda tentang
peristiwa sosial dimana konteks percakapan tersebut berlangsung. Tugas
penganalisis adalah menerangkan hubungan antara realitas subjektif
pengguna bahasa, bentuk linguistik yang dipilih dan respon dari audien:
"Level tindakan komunikasi segera menjembatani antara tingkat tata
bahasa biasa dan situasi, sehingga ia mengimplikasikan bentuk linguistik
dan norma-norma sosial" (Hymes, 1972 a: 7).
Apabila seseorang ingin mengemukakan sesuatu kepada orang lain,
maka apa yang ingin dikemukakannya itu adalah makna atau maksud suatu
kalimat. Untuk menyampaikan makna atau maksud tersebut, penutur harus
menuangkan dalam wujud tindak tutur. Tindak tutur yang akan
disampaikannya tergantung kepada beberapa faktor, antara lain: dengan
media bahasa apa dia harus bertutur, kepada siapa dia akan menyampaikan
ujarannya, dalam situasi bagaimana ujaran itu disampaikan, dan
kemungkinan-kemungkinan struktur manakah yang ada dalam bahasa yang
dipergunakannya. Dengan demikian, untuk satu maksud, perlu
dipertimbangkan berbagai kemungkinan tindak tutur sesuai dengan posisi
penutur, situasi tutur, dan kemungkinan struktur yang ada dalam bahasa
itu.
Posisi penutur dan situasi ujaran yang berbeda akan menyebabkan
perbedaan tindak tuturnya. Tindak tutur untuk menyampaikan maksud
seperti itu dalam suatu bahasa tertentu akan berbeda lagi apabila yang
dipergunakan bahasa yang lain. Bahasa Madura misalnya, akan segera
nampak perbedaan tindak tuturnya jika dibandingkan dengan bahasa
Indonesia. Kemungkinan memilih tidak tutur sangat ditentukan oleh
bahasa itu untuk menyampaikan ujarannya (Hymes, 1972a: 8)
51
Yule (1996: 48-49) menyatakan bahwa secara analitis dapat
dipisahkan tiga macam tindak tutur yang terjadi secara serentak yaitu: (1)
tindak lokusi (locutinary act) (2) tindak ilokusi (illocutionary act) (3)
tindak perlokusi (perlocutionary act). Tindak lokusi menurut Searle
disebut tindak proposisi (propotional act) mengacu pada aktivitas bertutur
kalimat tanpa disertai tanggung jawab penuturnya untuk melakukan suatu
tindakan tertentu. Dalam tindak lokusi seorang penutur mengatakan
sesuatu secara pasti. Gaya bahasa si penutur langsung dihubungkan dengan
sesuatu yang diutamakan dalam isi ujarannya. Dengan demikian, sesuatu
yang diutamakan dalam tindak lokusi adalah isi ujaran yang diungkapkan
oleh penutur. Lyons (1977) menjelaskan bahwa tindak lokusi itu adalah
suatu tindak berkata, yaitu menghasilkan ujaran dengan makna dan
referensi tertentu. Selanjutnya Austin menyatakan: Tindak tutur itu
merupakan dasar bagi dilakukannya tindak tutur lain, lebih-lebih terhadap
tindak ilokusi (periksa Rani, 2004: 160).
Tindak ilokusi adalah suatu tindak yang dilakukan dalam
mengatakan sesuatu seperti membuat janji, membuat pernyataan,
mengeluarkan perintah atau permintaan, menasbihkan nama sebuah kapal,
dan lain-lain (Lyons, 1977: 730). Kaitannya dengan tindak ilokusi, Austin
mengatakan bahwa tindak mengatakan sesuatu (of saying) berbeda dengan
tindak dalam mengatakan sesuatu (in saying). Tindak mengatakan sesuatu
hanyalah bersifat mengungkapkan sesuatu, sedangkan tindak dalam
mengatakan sesuatu mengandung tanggung jawab si penutur untuk
melaksanakan sesuatu sehubungan dengan isi ujarannya. Tindak dalam
mengatakan sesuatu inilah yang oleh Austin disebut tindak ilokusi,
sedangkan tindak mengatakan sesuatu lebih dekat hubungannya dengan
tindak lokusi. Dalam tindak ilokusi didapatkan suatu daya atau kekuatan
(force) yang mewajibkan si penutur untuk melaksanakan sesuatu tindak
tertentu (Rani, 2004: 161).
Secara khusus, searle mendeskripsikan tindak ilokusi ke dalam lima
jenis tindak tutur, yaitu: (1) Asertif atau representatif ialah tindak tutur
yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu adanya, misalnya
pemberian pernyataan, pemberian saran, pelaporan, pengeluhan, dan
sebagainya; (2) Komisif adalah tindak tutur yang mendorong penutur
melakukan sesuatu, misalnya bersumpah, berjanji, mengusulkan; (3)
Direkstif adalah tindak tutur yang berfungsi mendorong pendengar
melakukan sesuatu, misalnya menyuruh, meminta, menasehati; (4)
Ekspresif, yaitu tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap,
misalnya berupa tindakan meminta maaf, berterima kasih, menyampaikan
ucapan selamat, memuji, menyatakan bela sungkawa, mengkritik.
Tindakan ini berfungsi untuk mengekspresikan dan mengungkapkan sikap
52
psikologis penutur terhadap mitra tutur; dan (5) Deklarasi, yakni tindak
tutur yang menghubungkan isi proposisi dengan realitas yang sebenarnya,
misalnya membaptis, menghukum, menetapkan, memecat, memberi nama,
dan sebagainya (Rani, 2004: 162).
Kategori yang terakhir (5) itu menurut Searle, merupakan kategori
tindak ilokusi yang sangat spesifik. Tindak deklarasi dilaksanakan oleh
seseorang yang mempunyai tugas khusus untuk melakukannya dalam
kerangka kerja institusional. Misalnya, seorang hakim, yang bertugas
menjatuhkan hukuman, seorang wali yang menikahkan anaknya, dan
seorang pejabat yang meresmikan dimulainya sebuah acara seminar.
Sebagai tindak institusional, kata-kata tersebut jarang diucapkan secara
spontan. Sebagai contoh, pernyataan seorang hakim dalam menjatuhkan
hukuman kepada terdakwa pada umumnya berbentuk klise, tidak berubah
dari satu terdakwa ke terdakwa lainnya dan dinyatakan dengan tegas
(periksa Leech, 1993: 316-317).
Jika kita cermati, dalam tindak ilokusi terlihat bahwa isi ujaran lebih
ditujukan pada diri si penuturnya. Dalam tindak perlokusi, isi ujaran itu
lebih ditujukan pada diri si pendengar. Austin mengemukakan bahwa
mengatakan sesuatu sering menimbulkan pengaruh pasti. Implikasi tindak
lokusi terhadap pendengar inilah yang disebut tindak perlokusi, yaitu
tindak tutur yang dilakukan untuk mempengaruhi orang lain, misalnya:
menjadikan orang marah, dan membuat seseorang tertawa. Dengan kata
lain untuk membuat orang lain bereaksi. Tujuan tertentu yang dirancang
oleh si penutur dalam isi ujarannya merupakan ciri khas tindak tutur
perlokusi (Leech, 1993: 316-317).
Dalam ilmu bahasa dapat disamakan tindak lokusi dengan
predikasi tindak ilokusi dengan maksud kalimat dan tindak perlokusi
dengan akibat suatu ungkapan (Rani, 2004: 163). Dengan demikian dapat
dikatakan pula bahwa lokusi adalah makna dasar atau referensi kalimat,
ilokusi sebagai daya yang ditimbulkan oleh pemakainya sebagai perintah,
permintaan, ejekan, keluhan, pujian, dan lain sebagainya; dan perlokusi
adalah hasil dari ucapan tersebut terhadap pendengarnya.
Pendalaman Materi
1. Jelaskan peran konteks dalam penggunaan bahasa!
2. Jelaskan pengertian masyarakat tutur sebagai konteks tempat terjadi
tuturan!
3. Mengapa peristiwa tutur dikatakan sebagai bagian dari konteks?
4. Sebutkan macam-macam tindak tutur dan berilah contoh-contoh dari
masing-tindak tutur!
53
5. Dengan menggunakan media ICT carilah pengetahuan lebih luas
tentang konteks, dan buatlah rangkuman!
54
Bab 5
Desain dan Metode Penelitian
Etnografi Komunikasi
57
(3) Pernyataan pemegang otoritas atau pengambil kebijakan tentang
permasalahan-permaslahan yang terjadi di masyarakat tutur;
(4) Pengamatan sepintas (observasi awal), observasi awal dilakukan
setelah kita membaca, melihat, atau merasakan fenomena-fenomana
yang tidak selazimnya terjadi di masyarakat tutur suatu etnik;
(5) Pengalaman pribadi, identifikasi masalah dapat bersumber pada
pengalaman pribadi yang kurang menyenagkan dalam peristiwa
komunikasi;
(6) Perasaan intuitif terkait pola komunikasi masyarakat tutur suatu etnik.
58
(1) Rumusan masalah berisi uraian tentang masalah-masalah yang akan
dipecahkan dalam penelitian pendekatan etnografi komunikasi;
(2) Perumusan masalah merupakan pernyataan akumulatif dari berbagai
hal yang ada dalam latar belakang masalah yang terjadi di masyarakat
tutur;
(3) Agar pemecahan masalah yang diajukan dapat dituntaskan dan tidak
salah arah, ruang lingkup masalah bisa dibatasi dan dinyatakan atau
dirumuskan dengan jelas;
(4) Perumusan masalah yang dinyatakan dalam kalimat tanya akan lebih
jelas daripada jika dinyatakan dalam kalimat berita;
(5) Perumusan masalah dapat dirangkum dalam satu permasalahan pokok
dan dapat pula dirinci menjadi lebih dari satu permasalahan.
59
merupakan etnik terbesar di Jember yang memiliki kekhasan dan
keunikan kultur yang tecermin dalam pola komunikasinya. Adapun
bahasa yang paling dominan digunakan oleh WNUEM adalah BM. BI
dan BA juga digunakan sebagai alih kode dan campur kode.
3. Berkaitan dengan peristiwa tutur, penelitian ini mencakup situasi
formal dan informal. Dalam situasi formal, hanya berfokus pada setting
pertemuan-pertemuan yang bersifat rutin, pengajian, acara perkawinan,
dan hari-hari besar Islam. Adapun situasi informal hanya berfokus
pada obrolan sehari-hari dan pertemuan yang sifatnya santai seperti di
masjid, mushalla/langgar NU, rumah WNUEM, dan termasuk dalam
ranah keluarga. Peristiwa tutur dalam pertemuan-pertemuan formal dan
informal yang bekaitan dengan politik, jual beli seperti di toko dan di
pasar, tidak tercakup dalam penelitian ini karena merupakan
permasalahan yang pembahasannya sangat luas dan juga membutuhkan
energi yang besar sehingga perlu diteliti secara khusus pada even-even
penelitian yang lain.
Manfaat Penelitian
Manfaat atau kontribusi penelitian memaparkan kegunaan hasil
penelitian yang akan dicapai, baik untuk kepentingan ilmu (pengembangan
teori), kebijakan pemerintah, maupun menyelesaikan permasalahan yang
terjadi di masyarakat luas. Manfaat penelitian dapat juga dirumuskan
dalam bentuk kontribusi teoritis dan kontribusi praktis.
Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka memuat uraian sistematis tentang hasil-hasil
penelitian terdahulu yang ada hubungannya dengan penelitian yang
dilakukan. Jelaskan persamaan dan perbedaan dengan permasalahan yang
sedang diteliti, sehingga mengarah mengapa penelitian itu dilakukan (lihat
Bab 2).
Adapun landasan teori dijabarkan dari berbagai literatur yang gayut
dengan permasalahan yang akan diteliti sebagai landasan dalam
memecahkan masalah dan juga untuk merumuskan hipotesis atau asumsi-
asumsi dasar.
61
Landasan Teori bisa dirujuk dari konsep-konsep dan teori-teori pada
bab sebelumnya dan buku-buku lain atau berkala ilmiah yang relevan
dengan topik penelitian (lihat Bab 2).
Landasan teori dapat dilakukan dengan tahapan berikut:
1. Mengumpulkan pendapat atau teori berkaitan etnografi komunikasi
yang telah ada yang berkaitan dengan masalah yang akan dipecahkan;
2. Membandingkan dan memilih teori etnografi komunikasi yang paling
relevan dengan masalah yang dibahas;
3. Mengadakan penilaian kelemahan dan keunggulan teori-teori yang
telah dikumpulkan;
4. Menentukan teori-teori yang akan digunakan sesuai permasalahan
penelitian.
Pendekatan Penelitian
Dalam setiap kegiatan penelitian sejak awal sudah harus ditentukan
dengan jelas pendekatan/desain penelitian apa yang akan diterapkan. Hal
ini dimaksudkan agar penelitian tersebut dapat benar-benar mempunyai
landasan yang kokoh dilihat dari sudut metodologi penelitian, disamping
pemahaman hasil penelitian yang akan lebih proporsional apabila
pembaca mengetahui pendekatan yang diterapkan.
Obyek dan masalah penelitian memang mempengaruhi
pertimbangan-pertimbangan mengenai pendekatan, desain ataupun metode
penelitian yang akan diterapkan. Tidak semua obyek dan masalah
penelitian bisa didekati dengan pendekatan tunggal, sehingga diperlukan
pemahaman pendekatan lain yang berbeda agar begitu obyek dan masalah
yang akan diteliti tidak pas atau kurang sempurna dengan satu pendekatan
62
maka pendekatan lain dapat digunakan sebagai pendukung misalnya,
ketika obyek dan masalah yang akan kita teliti lebih relevan untuk
menggunakan pendekatan kualitatif, maka diperbolehkan sebagai data
pendukung adalah data-data kuantitatif dan sebaliknya pendakatan
kuantitatif juga dapat didukung dengan data-data kualitatif.
Secara umum pendekatan penelitian atau sering juga disebut
paradigma penelitian yang cukup dominan adalah paradigma penelitian
kuantitatif dan penelitian kualitatif. Dari segi peristilahan para ahli
nampak menggunakan istilah atau penamaan yang berbeda-beda meskipun
mengacu pada hal yang sama, untuk itu guna menghindari kekaburan
dalam memahami kedua pendekatan ini, berikut akan dikemukakan
penamaan yang dipakai para ahli dalam penyebutan kedua istilah
tersebut seperti terlihat dalam tabel 1 berikut ini
Peran peneliti
Peran peneliti dalam penelitian bisa tertutup dan bisa terbuka. Di
dalam situasi komunikasi yang tidak formal bisa peran peneliti tertutup,
tetapi dalam setting penelitian formal peneliti bisa terbuka. Dikatakan
tertutup karena peneliti merahasiakan identitas sebagai peneliti - dalam hal
ini peneliti berperan sebagai inteligent. Hal ini dilakukan juga untuk
menjaga validitas keaslian data.
Lokasi Penelitian
Lokasi yang dijadikan tempat untuk menggali dan memperoleh data
dalam pelaksanaan penelitian mutlak harus disebut dengan alasan-alasan
rasional berkaitan dengan karakteristik penelitian. Alasan pemilihan lokasi
penelitian tidak tepat jika yang digunakan sebagai argumentasi adalah
bersifat pribadi, misalnya karena peneliti berdomisili di lokasi penelitian
atau berdekatan, terbatasnnya waktu peneliti, kemudahan transportasi, dsb.
Alasan pemilihan lokasi penelitian bisa seperti contoh berikut ini:
Lokasi yang dijadikan tempat untuk menggali dan memperoleh
data dalam pelaksanaan penelitian ini berada dalam ruang lingkup
Kabupaten Jember. Dipilihnya Kabupaten Jember sebagai lokasi
penelitian karena di daerah tersebut merupakan basis WNUEM yang
64
masih memiliki keunikan dan kekhasan kultural. Hasil penelitian ini nanti
akan menjadi cerminan pola komunikasi WNUEM di daerah tapal kuda
lainnya (Pasuruan, Lumajang, situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi)
yang memiliki karakter kultur daerah yang hampir sama.
Sumber Data
Data dapat diperoleh dari berbagai sumber yakni sumber data primer
dan sekunder misalnya, Data akan diperoleh dari tiga sumber: sumber
pertama (primer) digali dari pengamatan secara langsung proses
komunikasi komunitas WNUEM melalui observasi partisipasi; sumber
primer kedua akan digali dari para informan dari kalangan warga NU
yakni kiai, pengurus NU, umat NU dari kalangan santri dan terpelajar;
sedangkan sumber sekunder, akan digali dari para ilmuwan dan akademisi
yang terdiri dari kalangan guru dan dosen yang menekuni kajian tentang
NU dan kajian Madura.
Setting Penelitian
Setting penelitian bisa formal dan non formal seperti: Adapun yang
dijadikan setting untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah situsi
formal dan informal, ketika proses komunikasi tersebut berlangsung.
Situasi formal seperti dalam rapat-rapat, pengajian, rapat-rapat pengurus
NU dan sebagainya. Adapun situasi informal, yaitu komunikasi yang
terjadi dalam pembicaraan obrolan (santai) antarwarga NU di luar situasi
formal.
Observasi Partisipasi
Dalam penelitian etnografi komunikasi, metode pengumpulan data
yang paling umum dan relevan di dalam domain kebudayaan adalah
observasi partisipasi dan non partisipasi. Kegiatan ini dilaksanakan untuk
memperoleh data peristiwa komunikasi dengan cara mengamati, mencatat,
dan merekam secara langsung data penelitian. Dalam observasi partisipasi,
peneliti bisa berpartisipasi dengan mitra tutur berada di tengah-tengah
komunitas warga NU dan sesekali juga terlibat langsung dalam proses
komunikasi, yang hal itu hanya bisa dilakukan dalam setting situasi
informal. Adapun obeservasi non partisipasi, peneliti hanya menyimak
langsung pemakaian bahasa dalam komunikasi tanpa terlibat dalam
komunikasi. Hal itu dilakukan pada setting situasi formal. Metode
observasi partisipasi menggunakan teknik dasar berupa teknik sadap dan
teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap, rekam, dan catat,
sedangkan metode observasi nonpartisipasi hanya menggunakan teknik
sadap, dengan teknik lanjutan berupa simak, rekam, dan catatpeneliti
tidak terlibat dan melibatkan diri dalam komunikasi.
Introspeksi
Metode introspeksi biasa digunakan jika peneliti meneliti bahasa
dan budayanya sendiri dan masih hidup di tengah-tengah masyarakat tutur
yang sedang diteliti atau paling tidak masih eksis menggunakan bahasa
dan budaya yang sedang menjadi objek penelitian. Itulah sebabnya teknik
atau metode ini dsebut metode introsepksi atau
66
mengoreksi/menginterpretsi bahasa dan budayanya diri sendiri. Dengan
menggunakan introspeksi, peneliti mencoba mengeksplisitkan kaidah-
kaidah dan nilai-nilai yang diserap secara sadar maupun tidak sadar ketika
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat tutur atau bahkan sejak nenek
moyang telah menggunakan bahasa dan budaya nmasyarakat tutur
tersebut.
Introspeksi juga berarti cara menganalisis nilai-nilai dan perilakunya
sendiri dan orang-orang yang berada di masyarakatnya. Hal ini memang
tidak mudah dilakukan karena orang bergerak dalam kebudayaannya
sendiri secara otomatis berada di bawah level kesadaran. Selain itu, akan
sangat tidak nyaman sebagai seorang peneliti mengeksplisitkan dan
menginterpretasi kaidah-kaidah yang secara implisit sudah diketahui.
Sebagai peneliti yang handal dan menghindari validitas data dari
banyaknya pengaruh yang datang dari diri peneliti, seharusnya akan lebih
baik kalau sebagai peneliti meneliti bahasa dan budaya kelompok etnik
lain atau masyarakat tutur di luar masyarakat tutur peneliti. Oleh karena
itu, ketika para peneliti yang mereka mengetahui dan sudah terlibat
langsung dalam pola-pola penggunaan bahasa dalam masyarakat tutur
mereka sendiri, penting kiranya untuk mengkonfirmasi ulang asumsi-
asumsi yang diperoleh melalui hasil introspeksi dengan perspektif pihak
lain.
Namun demikian, metode ini tetap berguna untuk menemukan
kaidah-kaidah yang selama ini tersembunyi dalam diri peneliti, yang pada
akhirnya akan menjadi pisau analisis sekaligus pembanding dalam kajian
etnografi komunikasi. Selama peneliti secara objektif tetap mengakumulasi
pandangan dan masukan dari pihak-pihak lain yang ada dalam masyarakat
tutur.
Wawancara
Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang
perilaku komunikasi/tindak tutur yang dipergunakan oleh komunitas
warga NU dalam setting komunikasi yang sesungguhnya sehingga
diperoleh data untuk mengetahui sebab-sebab yang dapat mempengaruhi
pola komunikasi. Kegiatan wawancara tersebut dilakukan dengan dua cara
yaitu: (1) Wawancara terarah (terstruktur), yakni wawancara yang
dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah
dipersiapkan, sedangkan wawancara tidak terarah (tidak terstruktur) adalah
wawancara yang bersifat bebas dan santai. Digunakannya wawancara tidak
terarah bertujuan agar informan memberikan keterangan seluas-luasnya,
yang tidak dapat terungkap dengan metode wawancara terarah.
67
Perekaman
Kegiatan ini menggunakan alat rekam dan atau audio visual untuk
merekam proses komunikasi dan wawancara baik dalam situasi formal
maupun informal untuk mengatasi keterbatasan peneliti dalam mencatat
secara langsung proses komunikasi dalam observasi partisipasi mapun
wawancara.
Pencatatan
Selain perekaman juga dilakuklan pencatatan sekemampuan
peneliti. Kegiatan ini dilakukan untuk mencatat data-data yang diperoleh
dari lapangan secara langsung, dalam artian semua data dan informasi
yang didapat di lapangan dicatat secara cermat pada hari yang sama.
Kegiatan ini dilakukan dengan maksud untuk menghindari kemungkinan
terlupakan atau tumpang tindih data dan informasi yang diperoleh, baik
melalui observasi partisipasi maupun dari informan penelitian.
Transkripsi Data
Data yang berhasil dikumpulkan melalui observasi partisipasi
dengan alat rekam, ditarnsikripsikan ke dalam data tertulis secara fonologi.
Secara fonologi artinya kata-kata dalam data tersebut ditranskripsi apa
adanya sesuai ucapan yang dikemukakan oleh subjek penelitian dan aturan
ejaan yang diberlakukan dalam bahasa tersebut, agar ciri-ciri fonologis
bahasa yang ada dalam data fonetis dapat ditampakkan dalam data tulis
yang telah tertranskripsi.
68
sequence (urutan bertindak) termasuk alih giliran tutur; (5) K: key
(kunci) nada tutur; (6) I: instrumentalities sarana tutur; (7) N: norms
(norma-norma) norma interaksi dan interpretasi; (8) G: genres 'jenis
tuturan'. Dalam analisis komponen tutur tersebut juga digunakan metode
analisis interaksi. Metode analisis interaksi digunakan untuk menganalisis
model-model dan norma-norma interaksi yang digunakan warga NU di
Jember dalam berkomunikasi.
Metode analisis conversation digunakan untuk menganalisis
percakapan yang digunakan warga NU misalnya, ketika seseorang
bertanya: Mengapa Anda tidak datang ke pengajian? Kemudian
dijawab, Tetangga kedatangan besan. Antara kalimat pertanyaan dan
jawaban secara struktural tidak berhubungan. Tetapi kalimat jawaban
Tetangga kedatangan besan dilihat dari konteks percakapan dapat saja
diinferensi berbeda-beda oleh pertisipan tutur yang mengarah terhadap
jawaban dari pertanyaan Mengapa Anda tidak datang ke pengajian?
Metode analisis wacana dengan bantuan konsep pragmatik (lihat
Brown & Yule, 1996: 1-2) dipergunakan untuk menganalisis faktor-faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya hambatan atau kegagalan komunikasi,
dengan cara menganalisis secara mendalam prinsip kerjasama (PK) dan
prinsip sopan santun (PS) Grice (1975: 45-6); Leech (1993: 11). Prisnsip
PK meliputi empat maksim, yaitu: Kualitas (Quality): tingkat kualitas
(kebenaran) percakapan yang sedang berlangsung, Kuantitas (Quantity):
Buatlah sumbangan percakapan anda seinformatif mungkin sesuai yang
diperlukan oleh percakapan itu. Jangan memberikan sumbangan lebih
informatif dari pada yang diperlukan. Hubungan/relevansi (Relation /
Relevance): Buatlah percakapan anda relevan dengan topik. Cara
(Manner): Bicaralah dengan jelas, dan khususnya: 1) hindari kekaburan; 2)
hindari ketaksaan (makna ganda); 4) bicaralah singkat; 5) bicaralah secara
teratur.
Data yang diperoleh melalui wawancara akan dianalisis dengan
metode eksplanasi untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi pola komunikasi yang digunakan warga NU pada situasi
formal dan informal, dengan cara menganalisis secara mendalam perilaku
dalam berkomunikasi dan tradisi-tradisi serta budaya yang mempengaruhi
pola komunikasi.
Sistematika Penulisan
Sistematika punulisan laporan penelitian ini (disertasi, Thesis, atau
skripsi) disajikan dalam sembilan bab, tidak termasuk bagian awal dan
bagian akhir. Bagian awal mencakup halaman judul, lembar identitas dan
pengesahan, halaman pernyataan, kata pengantar, intisari, abstract, daftar
isi, daftar tabel, daftar lambang fonetis dan ortografis, pedoman
transliterasi Arab-Indonesia, daftar lambang, singkatan, dan glosarium,
serta daftar lampiran.
Bab pertama, merupakan pendahuluan, yang berisi latar belakang
masalah, rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, dan tujuan yang
dijawab pada bab-bab berikutnya. Adapaun tinjauan pustaka sebegai
referensi untuk melihat perbedaan dengan penelitian sejenis
sebelumnyalandasan teori yang gayut dengan topik penelitian dan
langkah-langkah metodologis digunakan sebagai pisau bedah untuk
menjawab permasalahan penelitian. Bab kedua, membahas tentang NU,
pesantren, dan kultur paternalistik sebagai langkah awal untuk memahami
konteks dan objek penelitian. Bab ketiga, membahas tentang situasi
kependudukan dan kebahasaan di Jember yang meliputi situasi
kependudukan dan situasi kebahasaan di Jember serta, penggunaan BM
oleh warga NU di Jember. Bab keempat, menjelaskan pola komunikasi
antarkiai yang diklasifikasi menjadi pola komunikasi kiai yang memiliki
hubungan guru-santri, pola komunikasi kiai yang sederajat, dan pola
komunikasi dalam kelurga kiai. Bab kelima, membahas pola komunikasi
kiai dengan UNUEM yang meliputi pola komunikasi kiai pesantren-
UNUEM dan pola komunikasi kiai langghrn-UNUEM. Bab keenam,
membahas pola komunikasi UNUEM, yang meliputi pola komuniksi yang
melibatkan tokoh NU, pola komunikasi yang melibatkan UNUEM
terpelajar, pola komunikasi UNUEM yang dipengaruhi perbedaan umur,
pola komunikasi yang dipengaruhi keeratan hubungan, dan pola
komunikasi dalam keluarga umat. Bab ketujuh, menjelaskan kisah ulama
sebagai pola dan strategi komunikasi. Pada bab ini dipaparkan beberapa
kisah ulama/kiai yang mencerminkan perilaku luhur sebagai contoh
70
penggunaan pola dan strategi komunikasi yang efektif untuk mencapai
tujuan tutur. Bab kedelapan, menjelaskan tentang faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya pola komunikasi WNUEM dan impilkasi temuan
terhadap pemertahanan BM. Faktor-faktor tersebut meliputi: faktor kultur
paternalistik, faktor komponen tutur, dan faktor kompetensi komunikatif.
Bab kesembilan, yang merupakan bab penutup berisi simpulan bab-bab
sebelumnya dan rekomendasi kepada berbagai pihak berkaitan dengan
temuan penelitian. Pada bab-bab analisis (bab IV-VIII) yang dianggap
sangat rumit dan terlalu panjang untuk disarikan dalam bab simpulan,
penulis mengakhiri dengan ringkasan sebagai upaya penyederhanaan untuk
memudahkan para pembaca memahaminya.
Bagian akhir dari laporan penelitian berisi daftar pustaka dan
lampiran-lampiran (daftar informan, daftar pertanyaan untuk menjaring
data berupa informasi, riwayat hidup penulis, peta Kabupaten Jember, dan
surat keterangan penelitian).
Pendalaman Materi
Jelaskan secara singkat prosedur pelaksanaan penelitian etnografi
komunikasi terutama yang terkait dengan pola komunikasi!
Rumuskan permasalahan, tujuan, dan manfaat penelitian terkait
penelitian etnografi komunikasi!
Tuliskan tinjauan pustaka terkait penelitian yang akan dilakukan dari
berbagai sumber yang relevan!
Susunlah landasan teori yang relevean dengan permasalahan yang akan
diteliti terkait kajian Etnografi komunikasi!
Susunlan Metode penelitan terkait dengan permasalahan yang anda
rumuskan!
Sebutkan dan jelaskan teknik-teknik pengumpulan data dalam
penelitian etnografi komunikasi!
Carilah contoh data sesuai dengan permasalahan yang anda rumuskan
dan cobalah dianalisis dengan menggunakan teori komponen tutur;
Berilah contoh analisis data komponen tutur;
Berilah gambaran tentang penyajian hasil analaisis data dan penulisan
laporan penelitian etnografi yang anda rencanakan!
Dengan menggunakan media ICT, anda dapat mengenal lebih
mendalam apa dan bagaimana penelitian etnogfari komunikasi.
71
72
Bab 6
Contoh Penyajian Analisis
Pola Komunikasi
74
formal. Yang dimaksud ikatan guru-santri adalah kiai dan umat yang
pernah terlibat langsung maupun tidak langsung dalam ikatan sebagai
pengasuh dan santri dalam suatu pesantren. Pola komunikasi KP-UNUEM
yang berlatar belakang guru-santri juga dipengaruhi oleh perbedaan umur.
Kepada umat mantan santrinya yang berumur lebih tua, kiai juga ber-
bhsa dengan tingkat tutur Eg-E, seperti terlihat pada data berikut:
Data 22: Percakapan KP-UNUEM
(A) P1: Dika din?
Kamu din?
(B) P2: ngghi, kadinto.
Ya, saya
(C)P2: Dri compo?
Dari rumah saja
(D) P2: ngghi, cabis pamator, kadinto
Ya, mohon ijin bicara
(E) P1: Engghi, nap din?
Ya, ada apa din?
(F) P2: Nyoona dhi sareng barokah dua! Bdi
matowaa Azizah, kadinto.
Mohon ijin dan doa restunya! Rencana akan
menikahkan Azizah
(G) P1: Bil, din?
Kapan rencananya, din?
(H) P2: Insya Allah buln Rebb tanggal salkor, soona
rabuna sadhj.
Insya Allah bulan Syaban tanggal dua puluh satu, kami
mohon kehadiran kiai beserta keluarga besar
75
kedatangannya ke dhlem. Oleh karena itu, P2 langsung menjawabnya
dengan ngghi, cabis pamator, kadinto. Ya, mohon ijin bicara yang
berfungsi sebagai pembuka tujuan tutur yang pada umumnya diucapkan
UNUEMketika akan menyampaikan tujuan tutur tertentu kepada kiai.
Pertanyaan kiai pada data 21(E) Engghi, nap din? Ya, apa din? yang
merupakan kalimat tanya, berfungsi mempersilakan Nadin untuk
mengemukakan tujuan tutur yang akan disampaikan. Tuturan 21(F)
sebagai bentuk kalimat yang menegaskan bahwa semua urusan masyarakat
selalu memohon ijin dan doa restu dari kiai sebagai orang yang
ditokohkan. Kata matowaa membuat seseorang menjadi tua pada data
21(F) bermakna menikahkan seseorang, yang merupakan suatu proses
pendewasaan seseorang atau hilangnya masa remaja menuju kepada
generasi yang lebih dewasa. Pernyataan hari dan tanggal pada tuturan
21(H) yang diikuti dengan soona rabuna sadhj. dimohon
kehadirannya semua merupakan undangan kepada kiai beserta
keluarganya. Kata insya Allah jika Allah mengijinkan pada data 21 (H)
dan (I) digunakan untuk menyatakan bahwa suatu hal akan terjadi atas izin
Allah. Kata tersebut biasa digunakan, ketika seseorang akan berjanji untuk
menentukan suatu acara, dan even-even lain. Namun seringkali, justru
kata insya Allah sebagai simbol tidak akan ditepatinya janji. Kalimat
mandhr mogh sobung alangan bn dhika palancarra. semoga engkau
diberi kelancaran sebagai bentuk doa dari kiai, agar dapat hadir dan
pelaksanaan acara pernikahan berjalan dengan lancar.
Analisis komponen tutur:
Situasi tempat dan suasana tutur:
Konteks tuturan berlangsung di ruang belakang dhlem kiai.
Keangkeran situasi tempat dan suasana tutur berdampak pada
terbentuknya tuturan yang seirus.
Peserta tutur:
P1: KP
P2: UNUEM
P3: Nyai (istri kiai)
P4: Santri perempuan
Tujuan tutur:
Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah memohon doa
restu dan mengundang kiai untuk acara pernikahan santri.
Bentuk pesan:
Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai,
tetapi serius karena membicarakan topik yang penting.
76
Urutan tindak:
P3 mempersilahkan para tamu masuk ke ruang tamu yang
disedikan
P2 masuk ruangan belakang
P4 menyuguhkan mamiri
P1 datang di ruang belakang
P2 memberi salam
P1 dan semua partisipan tutur menjawab salam
P1 memulai percakapan
Jenis tuturan:
Termasuk kategori bahasa lisan serius. Dalam tuturan ini, nadin
sebagai umat berusaha menggunakan nada tutur (tone) lebih
rendah dari nada tutur kiai.
Norma interaksi dan interpretasi:
Setiap perjumpaan antarwarga NU dengan kiai biasa diawali
dengan ucapan salam. Dalam tuturan tersebut P1 menggunakan
BM level Eg-E. Hal tersebut terlihat dari kosakode yang
digunakan P1 dhika 21 (A), compo 21(C), nap 21 (E) dan
seterusnya yang merupakan kosakode BM level Eg-E. Pemilihan
tingkat tutur tersebut disebabkan P2 sudah dikenal secara baik oleh
P1, bahkan dia mantan santrinya yang umurnya juga lebih muda.
Sementara itu, P2 menggunakan BAl dan BM level -B. Posisi
tempat duduk P1 bersebelahan dengan P3 menghadap kepada P2
sebagai lawan tutur. Sementara P2 seringkali menundukkan
kepala, sesekali saja mangangkat pandangannya. UNUEM pada
umumnya berusaha merendahkan suaranya di bawah suara kiai
dan nyai. Alih giliran tutur, pada umumnya dimulai dari kiai,
kecuali jika umat minta izin dengan frasa cabis pamator mohon
izin bicara. Untuk melaksanakan acara-acara yang berkaitan
dengan agama dan akan melibatkan warga NU, seperti
pernikahanUNUEM biasa memohon izin dan doa restu kepada
kiai yang dianggap sebagai guru dan tokoh agama di masyarakat.
Kehadiran kiai pada acara-acara yang diselenggarakan umat NU
merupakan berkah dan menjadi kebahagiaan yang luar biasa bagi
umat NU.
Kepada umat mantan santrinya yang lebih muda, kiai tidak ber-
bhsa, yakni mengunakan BM level E-I, seperti data berikut:
Data 23: Percakapan KAN (Kiai pesantren) dengan Msd dan Ismail (umat)
(A) P1: Aroa Mail, olok cong soro d na!
Itu Mail, Panggilkan nak suruh ke sini!
77
(B) P2: langsung memanggil mail, tanpa komentar apapun.
Aroa Mail itu Mail pada data 23(A) sebagai bentuk kalimat
penunjuk orang yang sudah kelihatan mata. Kata aroa untuk menunjuk
sesuatu yang jauh. Adapun Mail merupakan nama penunjuk panggilan
orang, yang dalam BM bisa menggunakan suku kata paling belakang,
seperti Ibrahim him, Dafir Fir, Mashuri Ri, dsb. Untuk memanggil
langsung orang kedua biasanya digunakan reduplikasi seperti data 20(C)
Il-mail, dan contoh yang lain Dun-Madun, Ki-Rifki, Man-Firman dsb.
Panggilan cong nak dalam BM sebagai bentuk sapaan rasa dekat dan
sayang orang tua kepada anak atau siapa saja yang sudah dianggap sebagai
anak. Begitu pula kiai kepada santri yang berperan sebagai pengasuh di
pesantren, sudah menganggap santri sebagai anak sendiri. Dalam
percakapan tersebut P2 dan P3 tidak berkata-kata sepatahpun, namun
langsung dengan tindakan (bilhal) melaksanakan apa yang menjadi
perintah kiai.
Analisis Komponen Tutur:
Situasi tempat dan suasana tutur:
Konteks tuturan berlangsung di dua tempat yang berbeda. Kiai
berada di Ruang terima tamu (mperan dhalem kiai), sementara
itu, santri berada di halaman depan dhlem.
Peserta tutur:
P1: Kiai pengasuh pesantren.
P2 dan P3 : UNUEM yang berlatar belakang santri dengan umur
lebih muda
P4: UNUEM yang terdiri dari wali santri dan para tamu umum
Tujuan tutur:
Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah meminta santri
untuk megambilkan rekomendasi.
Bentuk pesan:
Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan serius yang
berbentuk perintah.
78
Urutan tindak:
P1 menyuruh P2 untuk memanggil P3
P2 menyampaikan ke P3 bahwa di panggil P1
P3 menghadap P1
P1 memerintah P3 mengambil rekomendasi
P3 mengambilkan rekomendasi dan menyerahkan kepada P1
Jenis tuturan:
Termasuk kategori bahasa lisan tidak formal, tapi serius. Dalam
tuturan ini, Msd dan Ismail tidak berkata apa-apa, kecuali
melaksanakan apa yang diperintahkan kiai.
Norma interaksi dan interpretasi:
Dalam tuturan tersebut P1 tidak ber-bhsa yakni menggunakan
BM level E-I. Hal tersebut terlihat dari kosakode yang digunakan
P1 Aroah itu, olok panggil soro suruh d na ke sini pada
data 21(A), dan ngalaaghi ambilkan bi dengan 21(C), yang
merupakan kosakata BM level E-I. Pemilihan tingkat tutur E-I
(ngoko) tersebut disebabkan P2 dan P3 merupakan umat yang
umurnya setara dengan putra-putri kiai. Sementara P2 dan P3
langsung melaksanakan perintah dengan bilhal (dengan perbuatan)
yakni langsung melaksanakan perintah P1. Melaksanakan perintah
dengan perbuatan sebagai jawaban terhadap perintah lawan tutur,
sebagai bentuk kepatuhan dan rasa tadzim santri kepada guru
yang lebih afdal dalam pandangan NUEM daripada hanya sekedar
menjawab tapi tidak langsung dilaksanakan. Hal tersebut juga
sebagai cerminan kultur paternalistik. Pada tuturan tersebut P2
dan P3 dalam posisi berdiri di halaman dhlem kiai dengan
menundukkan kepala dan menyilangkan tangannya di depan bawa
pusar. Body language ini, juga sebagai bentuk rasa tadzim santri
kepada gurunya.
Berdasarkan paparan analisis data (22) dan (23) tersebut, dapat
disarikan bahwa pola komunikasi KP-UNUEM yang berlatar belakang
guru-santri dapat dilihat pada tabel berikut.
80
Anyoona mohon pada tuturan 24(A) digunakan untuk meminta
sesuatu kepada orang yang dihormati. Adapun kadinto ini, di sini
sebagai penanda fatis yang dipakai untuk menunjukkan rasa hormat
kepada lawan tutur. Rekomendasi ponapa? Rekomendasi apa?24(B)
sebagai pertanyaan kepada lawan tutur tentang rekemendasi yang
dimaksud karena ternayata terdapat berbagai rekomendasi yang bisa
dikeluarkan oleh KP. Kaanguy pesen kors, kadinto Untuk pesan porsi
haji yang berarti untuk memesan porsi tahun keberangkatan haji. Pesan
kors yang diidentikkan dengan Pesan kedudukan 24(D), juga sebagai
bentuk kelakar KP yang dalam BM pesen ketojun pesan kursi/porsi.
Adapun kedudukan identik dengan pangkat dan jabatan. Sebagai bentuk
kelakar umat bertanya pada tuturan 24(E) Berarti kadinto benya
rekomnedasi. Berarti di sini banyak rekomendasi. Jawaban kiai pada
tuturan 24(F) Kemarin bapak Bupati meminta rekomendasi untuk dua
puluh tujuh calon jamaah haji, agar diberangkatkan cepat, semua saya
tolak. Sebagai bentuk informasi bahwa rekomendasi yang bisa didapatkan
dari P2 sebagai ketua KBIH Al-Ghazali adalah rekomendasi yang
berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji maupun umroh, termasuk
mempercepat pemberangkatan. Begitu pula umat bisa bergurau dengan
pertanyaan Bagaimana kalau yang memberi rekomendasi KH Abd.
Gahni?. Pada hal K. Abd. Ghani hanya sebagai kiai langghrn yang
tidak memiliki power apa-apa dibandingkan dengan bupati. Jawaban kiai
langsung diterima sambil tertawa kecil pada tuturan 24(G), sebagai
bentuk kelakar juga, yang sebanarnya mengandung arti siapapun yang
memberi rekomendasi tentang keberangkatan, kiai lebih memperhatikan
faktor kebutuhan dan keadilan.
81
Bentuk pesan:
Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai
penuh kelakar antarpartisipan tutur.
Urutan tindak:
P1 mempersilahkan para tamu meminum air kemasan yang
disediakan
P2 memohon rekomendasi kepada P1
P1 bertanya kepada P2, dan memberikan rekomendasi kepada P2
P3 dan P4 mendengarkan percakapan P1 dan P2
Jenis tuturan:
Termasuk kategori bahasa lisan tidak formal sehingga terjadi
kelakar antara P1 dan P2.
Norma interaksi dan interpretasi:
Dalam percakapan pada data 24, P1 mengunakan BM level -B
sering beralih kode ke BI. Hal tersebut dilihat dari kosakode yang
digunakan pada tuturan 24(B) yakni ponapa apa yang merupakan
kosakata BM dalam tingkat tutur -B. Adapaun penggunaan BI
dapat dilihat pada 24 (G), dan (I). Pada tuturan tersebut P1 juga
sering berkelakar dengan menggunakan BM yang
diinterferensikan ke dalam bahasa Indonesia seperti terlihat pada
tuturan 24 (D). Alih kode ke BI dan kelakar tersebut sebagai
upaya P1 untuk menghindari percakapan yang terlalu formal. Ini
berarti pula bahwa dengan umat yang terpelajar, dan berstatus
sosial tinggi, P2 berusaha menghilangkan sekad yang terlalu jauh
dalam berkomunkasi. P2 dalam percakapan tersebut juga
menggunakan BM level -B dan berbahasa Indonesia. Hal tersebut
terlihat dari kosakata yang digunakan anyoona mohon
kadinto ini 24(A) dan kadinto 24(E) yang merupakan BM
level -B. Adapun penggunaan BI bisa dilihat pada tuturan 24(A)
dan (F). Hal ini menunjukkan adanya kesetaraan antara UNUEM
yang berlatar belakang pendidikan tinggi dan terpelajar dengan
kiai dalam berkomunikasi. Kesetaraan hubungan tersebut juga
terindikasi dari tidak adanya penggunaan cabis pamator mohon
ijin berbicara yang biasanya digunakan UNUEM untuk memulai
pembicaraan. Bahasa tubuh yang ditunjukkan dalam
berkomunikasi juga menunjukkan kesetaraan, yakni kedua belah
pihak saling menatap dalam situasi komunikasi.
Dengan pejabat kiai menggunakan pola komunikasi seperti pada
data berikut ini.
Data 25: Percakapan KP-Umat yang berlatar belakang pejabat
(A) P1: Sa pak Hasan?
82
Bagaimana kabar pak Hasan?
(B) P2: Alhamdulillah pak kiai.
Alhamdulillah kabar baik, pak kiai
(C)P1: Saya tidak bisa membantu apa-apa, hanya bisa
mendoakan, semoga diberi kekuatan dalam
mengemban amanah.
Saya tidak bisa membantu apa-apa, hanya bisa
mendoakan, semoga diberi kekuatan dalam
mengemban amanah
(D) P2: Alhamdulillah terima ksih, itu sudah cukup kiai.
Alhadulillah terima kasih, itu sudah cukup kiai.
Kata sa baik yang diungkapkan dengan nada tutur tanya dalam
tuturan 25(A) di atas, berfungsi untuk menanyakan baik atau tidaknya
kabar seseorang. Dalam tuturan tersebut disamping menanyakan kabar,
juga sebagai pembuka percakapan. Sementara kata alhamdulillah segala
puji bagi Allah yang merupakan jawaban P2 dalam tuturan 25(B) sebagai
bentuk pernyataan rasa syukur kepada Allah yang sekaligus sebagai
jawaban kepada lawan tutur, bahwa keadaannya baik-baik atas karunia
Allah semata. Tuturan 25(C) sebagai refleksi dukungan kiai atas
kepemimpinan P2 yang sekaligus memberi spirit dengan doa, agar selalu
diberi kekuatan dalam mengemban tugas-tugas sebagai pejabat. Oleh
karena itu, P2 menyatakan ungkapan terima kasihnya, atas spirit dan
dukungan dari kiai yang diekpresikan pada tuturan 25(C).
Analisis Komponen Tutur:
Situasi tempat dan suasana tutur:
Konteks tuturan berlangsung di Masjid dalam acara ramah
tamah, setelah pelaksanaan acara akad nikah.
Peserta tutur:
P1: KP
P2:Pejabat dari kalangan umat.
P3: Para kiai, ulama, dan para pejabat
Tujuan tutur:
Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah
menyampaikan dukungan dan spirit atas terpilihnya pak Hsn
sebagai rektor yang merupakan putra NU.
Bentuk pesan:
Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai
penuh keakraban antarpartisipan tutur karena masing-masing
partisipan tutur dengan kedudukan dan perannya memiliki status
sosial yang hampir sama. Namun demikian, situasi saling
83
memuliakan antarpartisipan tutur tampak dalam acara ramah
tamah tersebut.
Urutan tindak:
P1 mendekati tempat duduk P2 yang sudah lebih dulu duduk
bersama partisipan yang lain.
P2 menebarkan senyum kepada P1 yang baru duduk di hadapan
P2
P1 memulai percakapan
P3 mendegarkan pembicaraan
Jenis tuturan:
Termasuk kategori bahasa lisan tidak formal dan terjadi dalam
suasana santai penuh keakraban.
Norma interaksi dan interpretasi:
Dalam percakapan pada data 25, P1 mengunakan BM level -B
dan beralih kode ke BI. Hal tersebut dilihat dari kosakode yang
digunakan pada tuturan 25(A) yakni sa baik yang merupakan
kosakata BM dalam tingkat tutur -B. Penggunaan BI sebagai
alih kode karena lawan tutur menyebut kiai dengan sebutan yai
pada 25(B). Kata yai biasa digunakan oleh etnik Jawa. Di
samping itu, partisipan tutur yang lain juga kelihatan terpelajar
dan melibatkan etnik lainbahkan keluarga manten laki-laki
berasal dari luar Jawa. P2 sebagai pejabat menggunakan BI
dalam percakapan tersebut. Hal ini juga menunjukkan adanya
kesetaraan status sosial antara kiai dengan umat yang berlatar
belakang pendidikan tinggi yang sekaligus pejabat dalam
berkomunikasi. Kesetaraan hubungan tersebut juga terindikasi
dari tidak adanya penggunaan cabis pamator mohon ijin
berbicara yang biasanya digunakan umat untuk memulai
pembicaraan. Bahasa tubuh yang ditunjukkan dalam
berkomunikasi juga menunjukkan kesetaraan, yakni kedua belah
pihak saling menatap dalam situasi komunikasi. Namun
demikian, iktikad saling ikram (hormat) tampak atarpartisipan
tutur.
Berdasarkan penjelasan dan analisis data tersebut, dapat disarikan
bahwa pola komunikasi kiai pesantren dengan umat yang bersatus sosial
tinggi adalah pada tabel berikut:
84
Tabel 6.2: Pola Komunikasi KP-UNUEM yang berstatus Sosial
Tinggi
Kode Tutur yang Digunakan
Alih
Peserta Tingkat Pilihan Tone Body
Giliran
Tutur Tutur Bahasa (Nada Language Tutur
Suara)
Kepada
(A) dan BM
KP
(B) -B BI
Tergantung
Pandangan
UNUEM BM, keperluan
kepada
terpelajar - B BI, dan dan tujuan Bebas
mitra tutur
(A) BMlj tutur
Umat NU
terpelajar BM dan
-B
& pejabat BI
(B)
86
bisa hadir. Tuturan tersebut dipertegas dengan Ngrng ajunan saos,
kadinto. Pasrah ke kiai saja hari dan tanggal pelaksanaannya. Akhirnya
kiai menentukan tanggal 29 Rajab yang dianggap kosong dan UNUEM
menyatakan persetujuannya dengan tuturan ngghi, sa Baik, kiai.
Analisis Komponen Tutur:
Situasi tempat dan suasana tutur:
Konteks tuturan berlangsung di ruang tamu di dhlem kiai.
Peserta tutur:
P1: KP
P2: UNUEM
P3: Wali santri (dari kalangan UNUEM)
P4: Santri
Tujuan tutur:
Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah mengundang
kiai untuk berceramah pada acara isra miraj.
Bentuk pesan:
Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai,
tetapi serius karena membicarakan topik yang penting.
Urutan tindak:
P4 mempersilakan para tamu masuk ruang tamu yang disedikan
P2 dan P3 masuk ruangan
P4 menyuguhkan mamiri
P1 datang di ruang tamu
P2 sebagai perwakilan para tamu memberi salam
P1 dan semua partisipan tutur menjawab salam
P1 memulai percakapan
Jenis tuturan:
Termasuk kategori bahasa lisan formal dan serius. UNUEM
berusaha menggunakan nada tutur tone lebih rendah dari nada
tutur kiai.
Norma interaksi dan interpretasi:
Setiap pertemuan warga NU selalu diawali dengan ucapan salam
dengan BA, seperti data 26 (A) dan (B) sebagai penciri khas salam
yang biasa disampaikan umat Islam pada umumnya. Dalam tuturan
tersebut P1 menggunakan BM level -B dan sering beralih kode
ke BM level Eg-E. Hal tersebut terlihat dari kosakode yang
digunakan P1 kadhiponapa, kadinto, bilpon pada data 26(D),
(F), dan (H), yang merupakan kosakode BM level -B. Adapun
kosakode gh pada data 26(L) adalah kosakata BM level Eg-E.
Penggunaan alih kode tersebut disebabkan P2 belum dikenal
secara baik oleh P1. Sementara P2 menggunakan BAl dan BM
87
level -B. Posisi tempat duduk P1 menghadap kepada semua
partisipan tutur dengan pandangan tertuju kepada lawan tutur,
sementara P2 dan P3 menundukkan kepala. UNUEM pada
umumnya berusaha merendahkan suaranya di bawah suara kiai.
Alih giliran tutur, pada umumnya juga dimulai dari kiai, kecuali
uacapan salam yang bisa didahului oleh siapa saja. Memberi
salam lebih dahulu menurut pandangan syariat Islam mendapat
pahala lebih besar dibanding yang menjawab salamdalam tradisi
NU, umat boleh memberi salam lebih dahulu kepada kiai, dan
bahkan hal tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada orang
lain.
Pola komunikasi dengan umat yang sudah dikenal, dapat
dicermati pada data berikut:
Data 27: Percakapan Kiai Pesantren-UNUEM yang sudah dikenal
(A) P1: Sabels taon samangkn, manabi orng seppo,
ponapa bad prioritas?
Sekarang daftar tunggu sudah sebelas tahun, kalau
orang tua apakah ada prioritas?
(B)P2: Prioritas bd, Jawa Timur tiga puluh tiga ribu, pada
saat tiga pulu tiga ribu ada yang mengundurkan diri,
baru mondutaghi s seppo, tap sanaossa s
seppo, s urut jhughn nomerra, palng seluruh
Indonesia sabu, mon, kadinto.
Prioritas memang ada, seperti Jawa Timur yang
koutanya tiga puluh tiga ribu, pada saat tiga pulu tiga
ribu itu ada yang mengundurkan diri, maka baru
diambilkan umur yang tua, tapi walaupun umurnya tua,
tentu dipilih juga yang nomornya urut, paling seluruh
Indonesia seribu, kalau ada
88
orng seppo orang tua orang yang telah berumur enam puluh tahun labih,
ketika mendaftar. Kata prioritas diutamakan merujuk kepada orang yang
usianya lebih dari 60 tahun. Kadhiponapa s sa, ponapa paumroh?
Bagamina jalan keluarnya, apa diumrohkan saja? pada tuturan 27(C)
sebagai bentuk permohonan pertimbangan kepada kiai tentang kondisi ibu
dari umat yang sudah berumur lebih 60 tahun. Jawaban P2 Kan adaftar
kadinto, kan ampon aniyat, memang katentona sakadinto Bukankah
mendaftar itu sudah termasuk berniat karena ketentuannya memang sudah
seperti itu 27(D) sebagai bentuk jawaban persuasif bahwa orang yang
sudah mendaftar haji tidak perlu bingung yang penting sudah berupaya
mendaftar, maka kewajiban dengan sendirinya telah gugur karena memang
ketentuannya tidak mungkin berangkat dalam waktu dekat. Jadi semua
dipasrahkan saja kepada Allah Swt.
89
ragam populer. Penggunaan tingkat tutur itu terlihat dari kosakode
yang digunakan P1 mondutaghi, seppo, sanaossa, jhughn pada
data 27 (B) dan kadinto, ampon, sakadinto 27(D), yang
merupakan kosakata BM level -B. Sementara prioritas, Jawa
Timur tiga puluh tiga ribu, pada saat tiga pulu tiga ribu ada yang
mengundurkan diri, baru pada data 27(B) adalah kalimat yang
terdiri dari kosakata BI. Penggunaan alih kode ke BI tersebut
disebabkan P2 sudah dikenal secara baik oleh P1 sebagai orang
yang berpendidikan tinggi dan di kalangan para intelektual
kosakata pada kalimat 27(B) lebih mudah diucapkan dan diterima
oleh mitra tutur. P2 menggunakan BM level -B dan BI. Hal
tersebut dapat dilihat dalam penggunaan kosakata pada data 27(A)
dan (C) samangkn, manabi, seppo, ponapa, kadhiponapa, sa,
yang merupakan kosakode dalam BM level -B dan prioritas
adalah kosakode BI ragam ilmiah populer. Penggunaan kosakode
BI ragam ilmiah popular oleh P2 karena diketahu bahwa lawan
tutur adalah kiai yang berpendidikan tinggi. Semua peserta tutur
duduk lesehan di karpet yang dalam hal ini juga menjadi tradisi di
sebagaian besar dhlem kiai NU. Posisi tempat duduk P1
menghadap kepada semua partisipan tutur dengan pandangan
tertuju kepada lawan tutur, sebaliknya P3 dan P4 menundukkan
kepalaP2 bertutur dengan arah pandangan tertuju kepada P1,
tetapi sesekali menundukkan kepala. Umat pada umumnya
berusaha merendahkan suaranya di bawah suara kiai. Alih giliran
tutur pada percakapan ini dimulai dari umat karena adanya
keeratan hubungan antara penutur dan lawan tutur.
Berdasarkan penjelasan dan analisis data tersebut dapat disarikan
pada tabel berikut bahwa pola komunikasi KP-UNUEM yang
dipengaruhi oleh tingkat keertan hubungan adalah sebagai berikut:
90
Menundukkan
kepala dan,
UNUEM Lebih Setelah
pandangan ke
yang BAl & rendah dari kiai atau
BM bawah
belum - B nada tutur mohon ijin
sesekali
kenal kiai bicara
memandang
lawan tutur
UNUEM Menundukkan
Tergantung
yang kepala, arah Tergantung
- B & BM tujuan tutur
sudah pandangan tujuan
E-E BI dan situasi
kenal kepada lawan tutur.
tuturan
akrab tutur.
91
(F) P2: Anyoona barokah dhua, bhdi amula Mushalla.
Mohon bantuan doanya, rencana akan memulai
pembangunan mushalla
92
Ya, Semoga diberi kelancaran, mari berdoa bersama-sama. tor amin
pada tuturan 28(I) tersebut sebagai bentuk ajakan kiai untuk mengamini
doanya.
Analisis Komponen Tutur:
Situasi tempat dan suasana tutur:
Konteks tuturan berlangsung di ruang tamu dhlem kiai.
Peserta tutur:
P1: KP
P2: UNUEM umur lebih sepuh dan kenal akrab
P3: Santri laki-laki
Tujuan tutur:
Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah memohon ijin
dan doa restu untuk memulai pembangunan mushalla.
Bentuk pesan:
Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai,
tetapi serius karena membicarakan topik yang penting.
Urutan tindak:
P3 mempersilahkan para tamu masuk ke ruang tamu
P2 masuk ruang tamu
P3 menyuguhkan mamiri
P1 datang di ruang tamu
P2 memberi salam
P1 dan semua partisipan tutur menjawab salam
P1 memulai percakapan
Jenis tuturan:
Termasuk kategori bahasa lisan formal dan serius. Dalam tuturan
ini, Pak Maryadi sebagai umat berusaha menggunakan nada tutur
(tone) lebih rendah dari nada tutur kiai.
Norma interaksi dan interpretasi:
Setiap pertemuan antarwarga nachdiyyin selalu diawali dengan
ucapan salam. Dalam tuturan tersebut P1 menggunakan BM level
-B dengan beralih kode ke level E-E. Penggunaan ondhghan
bhsa tersebut terlihat dari kosakode yang digunakan P1
Panjenengan 28 (A), kadhiponapa, sa, sadhj, 28(C), ponapa
28(E) yang merupakan kosakata BM level -B. Adapun engghi,
tor 28(I) kosakode BM level E-E. Pemilihan tingkat tutur
tersebut disebabkan P2 berumur lebih tua, walaupun sudah dikenal
baik oleh P1 karena mantan santri orang tua P1. Sementara P2
menggunakan BAl dan BM level -B. Penggunaan BAl dapat
dilihat dari frasa Cabis pamator yang biasa digunakan sebagai
kosakode BAl. Adapun kosakata kadinto, anyoona merupakan
93
kosakode BM level -B. Posisi tempat duduk P1 berhadapan
dengan P2 sebagai lawan tutur. P2 seringkali menundukkan
kepala, sesekali saja mangangkat pandangannya, selalu berusaha
merendahkan suaranya di bawah suara KP. Alih giliran tutur pada
umumnya dimulai dari kiai, kecuali jika umat minta ijin dengan
frasa cabis pamator mohon ijin bicara. Pemakaian kode, alih
kode, dan alih giliran tutur tersebut sebagai bentuk politness
mantan santri kepada gurunya. Untuk memulai dan melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan agama dan akan
melibatkan warga nachdiyyin, seperti pembangunan masjid,
mushalla UNUEM biasa mohon ijin dan doa restu kepada kiai
yang dianggap sebagai guru dan tokoh agama di masyarakat, agar
diberi kelancaran dan mendapat dukungan dari masyarkat. Restu
dan doa kiai merupakan modal spirit bagi umat NU.
94
karena sedang melaksanakan KKN. Frasa tersebut dipertegas dengan
tako kaposang khawatir dicari yang bermakna ketidakhadiran Syai
untuk sementara waktu agar diketahui oleh kiai. Sebagai bentuk perhatian,
kiai menanyakan kaemma di mana yang bermaksud menanyakan tempat
KKN itu dilaksanakan.
95
upaya menghilangkan rasa cangkolang umat kepada kiai. Dalam
tuturan tersebut, P1 menggunakan BM level E-E. Penggunaan
ondhghan bhsa tersebut terlihat dari kosakode yang digunakan
P1 napa? apa? 29 (B), ekaemma di mana 29 (C), yang
merupakan kosakode BM level E-E. Pemilihan tingkat tutur
tersebut disebabkan P2 berumur setara dengan P1. P2
menggunakan BM level -B dan BAl. Penggunaan BAl dapat
dilihat dari frasa Cabis pamator yang biasa digunakan sebagai
kosakode BAlpenggunaan kosakata kadinto merupakan
kosakode BM level -B. Posisi tempat duduk P1 berhadapan
dengan P2 dan P3 sebagai partisipan tutur. P2 dan P3 seringkali
menundukkan kepala, sesekali saja mangangkat pandangannya
sebagai bentuk perhatian ketika P1 berbicara. Nada suara P2 dan
P3 selalu lebih rendah dari nada suara P1. Alih giliran tutur, pada
umumnya dimulai dari kiai, kecuali jika umat minta ijin dengan
frasa cabis pamator mohon ijin bicara. Pemakaian kode, alih
kode, dan alih giliran tutur tersebut sebagai bentuk politness umat
kepada kiai. Dalam permohonan ijin tersebut, tersirat maksud agar
kiai memberi barokah doa kepada anaknya yang sedang
melaksanakan KKN. Dalam pandangan WNUEM doa kiai yang
dianggap lebih dekat dengan sang pencipta dapat menjadi wasilah
untuk meraih kesuksesan. Oleh karena itu, semua hal yang
berkaitan dengan kehidupan selalu memohon doa restu dan
barokah dari kiai.
Berdasarkan uraian dan analisis data 28 dan 29 tersebut dapat
disarikan bahwa pola komunikasi kiai dengan uma, yang dipengaruhi
perbedaan umur pada tabel berikut.
Ringkasan
Pola Komunikasi KP-UNUEM dapat dikelompokkan menjadi: a)
Pola komunikasi KP-UNUEM yang dingaruhi ikatan guru-santri; b) Pola
komunikasi KP-UNUEM yang berstatus sosial tinggi; c) Pola komunikasi
KP-UNUEM yang dipengaruhi keeratan hubungan; dan d) Pola
komunikasi KP-UNUEM yang dipengaruhi perbedan umur.
a) Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Memiliki Ikatan Guru-Santri
Tingkat tutur yang digunakan KP kepada UNUEM mantan santrinya
adalah BM level Eg-E atau E-I, sebaliknya UNUEM menggunakan BM
level -B dan BAl. BM konsisten digunakan untuk mempertahankan
rasa hormat kepada guru. KP bersuara lebih tinggi dari tekanan suara
UNUEM. Arah pandangan KP tertuju kepada UNUEM sebagai lawan
tutur, sementara UNUEM menundukkan kepala dan pandangan ke
bawahdalam posisi berdiri UNUEM menyilangkan tangannya di
depan bawah pusar. Body language tersebut juga sebagai refleksi rasa
hormat santri kepada gurunya. Alih giliran tutur dimulai dari KP baru
kemudian UNUEM. Kecuali UNUEM memohon ijin bicara dengan
uacapan cabis pamator.
b) Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Berstatus Sosial Tinggi
Tingkat tutur yang digunakan KP-UNUEM terpelajar dan pejabat
speech level BM level -B. KP mengunakan BM dan BI sebagai
pilihan bahasa untuk beralih kode dan bercampur kode, UNUEM
terpeajar menggunakan BM, BI, dan BMljUNUEM pejabat
menggunakan BM dan BI sebagai pilihan bahasa. Alih kode dan
campur kode ke BI dan BMlj tersebut, untuk mengurangi tingkat
formalitas hubungan dalam situasi komunikasi informal karena masing-
97
masing partisipan tutur menganggap lawan tuturnya memiliki status
sosial yang tinggi. Kesamaan status sosial itu, juga terimplementasi
pada penggunaan nada suara (tone) yang menunjukkan kesetaraan
tekanan. Begitu pula body language yang ditunjukkan dengan
pandangan sama-sama mengarah kepada lawan tutur. Alih giliran tutur
juga bebas sesuai keperluan dan tujuan tutur.
c) Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Dipengaruhi Keeratan
Hubungan
Kepada UNUEM yang sudah kenal maupun belum, KP menggunakan
tingkat tutur BM -B dan E-E, UNUEM yang belum kenal
menggunakan tingkat tutur BM level -B dan BAl. Sementara
UNUEM yang sudah kenal akrab dengan KP menggunakan BM level
-B dan E-E. Pilihan bahasa yang digunakan KP dan UNUEM yang
belum dikenal adalah BM. Sebaliknya KP dan UNUEM yang sudah
kenal akrab menggunakan pilihan bahasa BM dan BI. Alih kode dan
campur kode dari BM ke BI sebagai bentuk keakraban, yang sekaligus
mengurangi tingkat formalitas antarpartisipan tutur. Nada tutur yang
digunakan KP pada umumnya lebih tinggi dari tone UNUEM yang
belum dikenal, sedangkan nada tutur KP dan UNUEM yang sudah
dikenal akrab adalah sama. UNUEM yang belum kenal menundukkan
kepala dan pandangan di hadapan kiai. Sementara yang sudah kenal
akrab menundukkan kepala, tetapi pandangan kepada kiaiadapun kiai
pandangan selalu ke arah lawan tutur. Alih giliran tutur KP biasanya
dominan pada giliran pertama, UNUEM yang belum kenal pada giliran
keduaadapun UNUEM yang sudah kenal tergantung keperluan dan
tujuan tutur.
d) Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Berbeda Umur
Tingkat tutur yang digunakan KP kepada UNUEM yang lebih tua
adalah BM level -B dan E-E, kepada UNUEM yang sederajat atau
lebih muda, KP menggunakan speech level BM level E-E. KP dan
UNUEM yang lebih tua maupun yang lebih muda selalu konsisten
menggunakan BM sebagai tanda adanya formalitas hubungan dan
upaya mempertahankan politeness antarpartisipan tutur. Tone KP selalu
lebih tinggi dari nada tutur UNUEM karena UNUEM selalu
merendahkan suaranya di bawah nada suara kiai. Begitu pula arah
pandangan KP yang merupakan bagian body languageselalu tertuju
ke arah lawan tutur. Sementara UNUEM selaku lawan tutur selalu
menundukkan kepala dan pandangannya. Alih giliran tutur KP pada
giliran pertama.
98
e) Bentuk dan Fungsi Tuturan sebagai Pola Komunikasi Kiai-
UNUEM
Pola komunikasi Kiai-UNUEM juga termasuk dalam kategori bentuk
yang berbeda dengan fungsinya, seperti kalimat informasi dapat
berfungsi sebagai permohonan, kalimat pertanyaan berfungsi sebagai
persetujuan, kalimat harapan berfungsi sebagai kalimat
perintahbahkan dalam konteks yang lain kalimat pertanyaan dapat
berfungsi sebagai permintaan, ejekan, dsb.
Untuk mendukung bentuk dan fungsi tersebut, tidak terlepas dari
penggunaan kode tutur yang sesuai, agar tuturan dapat berfungsi dengan
baik dan diterima sesuai tujuan tutur. Tingkat tutur yang digunakan
UNUEM kepada kiai adalah BM level -B dan BAl. Sementara kiai
menggunakan tingkat tutur BM level -B dan E-E. Tone yang digunakan
UNUEM lebih rendah dari tone kiai. Begtu pula body language UNUEM
yang merupakan cerminan politeness kepada kiai, selalu menundukkan
kepala dan arah pandangan tidak kepada lawan tutur (kiai). Sebaliknya kiai
mengarahkan pandangannya kepada UNUEM. Kiai lumrahnya mendapat
giliran tutur dominan pertama, namun untuk tujuan tutur tertentu UNUEM
boleh memohon ijin, untuk bertutur mendahului kiai dengan frasa cabis
pamatoruntuk mengatakan hal yang tidak pantas, UNUEM terlebih
dahulu mengatakan cangkolang pamator.
Pendalaman Materi
1. Carilah data dengan alat rekam melalui observasi partisipasi peristiwa
komunikasi, kemudian transkrip ke dalam data tertulis!
2. Sebagai pendukung analisis data carilah informan untuk memperdalam
konteks budaya dalam peristiwa komunikasi tersebut!
3. Sajikan data dan analisis dengan komponen tutur!
4. Buatlah rangkuman dari hasil analisis data tersebut tentang pola
komuniasi masyarakat tutur yang anda dsekripsikan!
99
100
Bab 7
Mengapa Terjadi Pola Komunikasi
102
kode-kode linguistik tersebut dapat ditafsirkan secara benar oleh mitra
tutur. Kesalahan dalam menempatkan simbol-simbol dan kode-kode
sebagai unsur-unsur komunikasi dalam budaya masyarakat NUEM, dapat
mengakibatkan hambatan/kegagalan komunikasibahkan akan menyulut
timbulnya konflik dan kekerasan antarkelompok penganut budaya
tersebut.WNU di Jember yang mayoritas pendukungnya EM, ditemukan
memiliki keunikan tradisi dan budaya yang tercermin dalam pola-pola
komunikasinya sebagai berikut.
Pertama, kedudukan dan status sosial kiai di kalangan warga NU
ditempatkan pada posisi yang paling terhormat sehingga berimplikasi
terhadap pola pemakaian bahasanya. Dalam pandangan WNUEM, kiai
diposisikan sebagai kelompok yang sangat di-tadzim-kan. Dalam struktur
sosial maupun politik, kiai juga menempati posisi yang amat penting dan
paling terhormat. Pada masyarakat berbasis NU, peran kiai sangat
menentukan pola dan warna kehidupan di masyarakat.
Kedua, ketaatan WNUEM kepada kiai yang dianggap guru dalam
segala hal sebagai cerminan kultur paternalistik, yang sudah mengakar`di
kalangan WNUsejak mereka di tempa di pesantren. Di dalam dunia
pesantren yang berhaluan NU otoritas kiai bersifat mutlak. Tunduk dan
patuh kepada kiai sebagai guru dan pembimbing spiritual merupakan
kewajiban nomor wahid dalam kultur pesantren.
Ketiga, kehadiran ulama/kiai dalam peristiwa tutur dapat
mengantisipasi terjadinya tuturan yang dapat menimbulkan konflik di
kalangan umat karena dengan hadirnya sosok kiai yang di-tadzim-kan dan
ditaati, peristiwa tutur yang memperhatikan politeness principle akan
terjaga seperti telihat pada data (70). Akan tetapi sebaliknya, jika dalam
suatu peristiwa komunikasi antar-UNUEM tidak melibatkan kiai/ulama,
sering terjadi adu argumentasi yang dapat memicu terjadi konflik
antarpartisipan tutur.
Keempat, sebagai strategi komunikasi di kalangan WNUEM,
penceritaan kiai yang dikagumi dalam peritiwa tutur sebagai bentuk pola
komunikasi. Sebagai gaya retorik tidak langsung cerita kiai yang dikagumi
dalam peristiwa komunikasi dapat membangkitkan perhatian partisipan
tutur untuk menyimak secara seksama topik dan tujuan tutur yang
disampaikan penutur.
104
perbedaan umur, tingkat keeratan hubungan, dan jenis kelamin; variabel
psikologis yang menentukan pola komunikasi antara lain: perasaan enak
dan kurang enak, yang juga disertai perasaan takut. Adapun variabel kultur
yang mempengaruhi pola komunikasi adalah perasaan ingin bertawaduk
dan ber-tadzim kepada guru yang merupakan faktor tradisi dan budaya
yang sudah lama menjadi konvensi di kalangan WNUEM. Dilihat dari
perbedaan status sosial antara penutur dan mitra tutur, penelitian ini
menemukan bahwa pola komunikasi WNUEM dalam berkomunikasi
secara konsisten dipengaruhi oleh siapa penutur dan siapa pihak kedua
yang menjadi mitra tutur serta kehadiran orang ketiga baik sebagai
partisipan tutur aktif maupun pasif (hearer). Status sosial penutur dan
mitra yang disebabkan adanya ikatan guru-santri merupakan faktor
dominan yang mempengaruhi terbentuknya pola komunikasi. Pola
komunikasi yang digunakan antarkiai, kiai-umat, yang berlatar belakang
guru-santri, berbeda dengan pola komunikasi yang tanpa adanya hubungan
guru-santri. WNUEM yang berasal dari kalangan santri (umat) kepada kiai
selalu menggunakan pola komunikasi yang cenderung mempertahankan
rasa tawaduk dan tadzim kepada guru, yakni dengan menggunakan BAl
dan BM tingkat tutur level yang paling tinggi yakni -Bnada suara
(tone) yang lebih rendah dari nada tutur kiai, alih giliran tutur yang tidak
mendahului kiai, menundukkan pandangannya, dan jarak tertentu yang
sudah menjadi norma dalam masyarakat WNUEM.
Dari variabel psikologi ditemukan bahwa umat sebagai santri
kadang-kadang merasa enak dan kurang enak, perasaan takut yang
berlebihan dalam berkomunikasisehingga menimbulkan pola
komunikasi yang cenderung lebih berhati-hati, agar tujuan tutur yang akan
disampaikan tidak menimbulkan rasa cangkolang kepada kiai sebagai
orang yang dipatuhi dan di-tadzim-kan. Dengan pola komunikasi yang
mencermati kedudukan dan status sosial para partispan tuturpenolakan,
permintaan, dan bahkan suatu perintah bisa menjadi lumrah dilakukan,
tanpa membuat perasaan tidak enak bagi partisipan tutur. Dilihat dari sisi
kiai sebagai orang yang dimuliakan, juga lebih berhati-hati agar santri
yang sudah lama mendapat pembelajaran ilmu tngka di pesantren tidak
dikotori dengan kesalahpahaman dalam berkomunikasi.
Penelitian ini juga menemukan bahwa variabel kultur yang dapat
mempengaruhi pola komunikasi adalah faktor tradisi yang sudah lama
dipertahankan di dalam organisasi NU yang kental dengan kehidupan
pesantren. Di kalangan NU masih mempertahankan kultur paternalistik
yang dapat mengikat WNUEM selalu menjunjung tinggi kepatahun umat
kepada kiai selaku guru yang dicerminkan dengan rasa tawaduk dan
tadzim. Sebagai implimentasi rasa tawaduk dan tadzim tersebut,
105
UNUEM selalu bersuara dengan tone lebih rendah, dan menundukkan
pandangannya, ketika berkomunikasi dengan kiai sedangkan kiai lebih
santai dalam situasi petuturan dengan menggunakan nada suara yang lebih
tinggi ketimbang suara umat dan pandangan kepada lawan tutur.
106
jenis kelamin. Ini juga berarti bahwa komponen tutur act sequnce memiliki
keterkaitan dengan komponen tutur yang lain.
107
tersebut berkaitan erat dengan komponen partisipan tutur, tujuan tutur,
suasana dan tempat tuturan, nada tutur, jenis tuturan, dan norma-norma
tutur. WNUEM akan menggunakan tuturan dengan bahasa verbal
Ngrng yator! mari dipersilakan! seraya menunjuk dengan ibu jari
kepada sesuatu yang dipersilakan untuk para tamu yang menjadi partisipan
tutur. Seorang ustad akan menggunakan suara yang lebih keras dalam
ceramah yang melibatkan orang banyak seraya mengacung-acungkan
tangannya. Bahkan dengan massa yang tergolong besar seperti pengajian
akbar pengeras suara dibutuhkan untuk membantu menyampaikan
informasi pada saluran verbal dan LCD digunakan untuk membantu dalam
mengekspresikan bahasa nonverbal. Tujuan tutur juga berpengaruh
terhadap pemakaian sarana tutur, misalnya ketika orang akan melakukan
janji, maka sarana tutur lisan dan sms melalui HP sering menjadi pilihan
yang lebih praktis.
111
yang dikemukakan oleh Hymes (1975); dengan penambahan story
penceritaan kisah orang yang dikagumi oleh masyarakat tutur masih
relevan untuk mengkaji peristiwa tutur yang terjadi atas dasar komponen-
komponen tutur yang membangun sebuah tuturan.
Kaitannya dengan komponen tutur hadirnya orang ketiga yang
dikemukakan Poedjosoedarmo (1978); Rahardi (2001) ditemukan bahwa
kehadiran seorang kiai dalam tuturan menentukan pilihan bahasa yang
digunakan, penggunaan kode dan alih kode, penentuan alih giliran tutur,
pengaturan nada tutur, dan penggunaan bahasa tubuh termasuk jarak antara
kiai dengan partsipan tutur yang lain. Bahkan, keterlibatan kiai dalam
peristiwa tutur sangat penting sebagai persuasi dan antisipasi terjadinya
konflik antarpartisipan tutur. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
hadirnya orang ketiga (kiai) dapat berpengaruh besar terbentuknya pola
komunikasi.
112
saja diperoleh melalui proses alami karena tuntutan kultur. Namun, hal
tersebut cukup memberikan kepuasan bagi partisipan tutur.
Pengetahuan linguistik yang tercermin dalam elemen-elemen verbal
dan nonverbal dapat membantu memberikan interpretasi yang benar bagi
partisipan tutur. Tekanan suara kiai yang lebih tinggi dari nada tutur
UNUEM, dapat menimbulkan beban psikologi bagi partisipan tutur
sehingga presupposisi yang muncul dalam peristiwa tutur sering tidak bisa
diinferensi secara baik oleh UNUEMkiai sering tidak dapat memahami
tujuan tutur WNUEM karena suaranya seringkali sulit didengar secara
sempurna. Berkaitaan dengan elemen-elemen nonverbal seperti gerakan
tubuh sering diabaikan oleh para santri karena kultur NU lebih
menekankan rasa tawaduk kepada guru dengan implimentasi salah satunya
yang tercermin dalam proses komunikasi adalah menundukkan kepala dan
bersuara lebih rendah di depan guru. Kaitannya dengan makna varian-
varian yang terbentuk dalam pola komunikasi, sering juga menimbulkan
inferensi yang salah bagi partisipan tutur. Hal tersebut lebih disebabkan
sulitnya partisipan tutur dalam mencerna implikatur-implikatur (implied
meaning) yang terdapat dalam tuturan.
Temuan tersebut memperkuat pendapat Hymes (1982b); periksa
juga Duranti (1998: 215), yang menyatakan bahwa pembahasan tentang
kompetensi komunikatif dan kompetensi linguistik (gramatikal) biasanya
berkisar di antara dua pokok persoalan, yaitu: (1) perlunya menyertakan
deskripsi grammatikal dengan kondisi-kondisi yang sesuai, (2)
perimbangan antara kode gramatikal (atau linguistik) dengan aspek-aspek
lain seperti gerakan tubuh, tatapan mata, dan sebagainya.
Mengenai keterampilan dalam berinteraksi kaitannya dengan situasi
komunikasi, peran, serta norma-norma interaksi dan interpretasi
ditemukan bahwa situasi komunikasi dan partisipan tutur menentukan
varian-varian bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Hal tersebut
dapat dilihat dari kode bahasa yang digunakan oleh WNUEM dalam
berkomunikasi yang ditempatkan sesuai dengan peran masing-masing
partisipan tutur sebagaimana telah disinggung di atas. Penempatan kode
sesuai dengan perannya telah menempatkan norma-norma interaksi dan
interpretasi sebagai strategi untuk mencapai tujuan tutur.
Fenomena temuan tersebut sesuai dengan pernyataan Ibrahim
(1994: 26) yang mengemukakan bahwa kompetensi komunikatif meliputi
baik pengetahuan dan harapan tentang siapa yang bisa atau tidak bisa
berbicara dalam setting tertentu, kapan mengatakannya, dan bilamana
harus tetap diam, siapa yang diajak bicara, bagaimana seseorang berbicara
kepada orang yang status perannya berbeda, perilaku nonverbal apakah
yang sesuai untuk berbagai konteks, rutin apakah yang terjadi untuk alih
giliran dalam percakapan, bagaimana menawarkan bantuan dan
kerjasama, bagaimana meminta dan memberi informasi, bagaimana
menegakkan disiplin dan sebagainya.
113
Selanjutnya Saville-Troike (2003: 18) menyatakan bahwa
kompetensi komunikatif mengacu pada pengetahuan dan ketrampilan
untuk penggunaan dan interpretasi bahasa yang tepat secara kontekstual
dalam suatu masyarakat, maka kompetensi komunikatif mengacu pada
pengetahuan dan ketrampilan komunikatif yang sama-sama dimiliki oleh
kelompok, meskipun hal ini (seperti aspek-aspek lain suatu kebudayaan)
bervariasi dalam anggota-anggota secara individual. Hakikat kompetensi
individu itu merefleksikan hakekat bahasa itu sendiri.
Dari aspek pengetahuan budaya kaitannya dengan struktur sosial,
nilai, dan sikap ditemukan bahwa struktur sosial di dalam kelompok
WNUEM memperhatikan status sosial yang didasarkan pada kedudukan
sebagai guru- santri, tingkat formalitas hubungan, perbedaan umur, tingkat
keeratan, dan gender partisipan tutur. Hal tersebut dibatasi dengan nilai-
nilai religius pesantren dan kultur paternalistik yang sudah menjadi
kebiasaan di lingkungan WNUEM. Fenomena tersebut menentukan sikap
partisipan tutur dalam berkomunikasi sebagaimana telah disinggung juga
di atas yang tercermin dalam pemakaian simbol dengan ragam bahasa
tertentu yang digunakan oleh komunitas pesantren dalam berkomunikasi.
Perbedaan lintas budaya bisa dan memang menghasilkan konflik-
konflik yang ditimbulkan kegagalan komunikasi. Sebagai contoh, masalah-
masalah seperti tingkat bunyi bisa berbeda secara lintas budaya, dan
maksud penutur bisa dipahami secara salah karena perbedaan pola harapan
interpretasi. Oleh karena itu, Geertz, (1973); Doglas (1970) menyatakan
bahwa kompetensi komunikatif haruslah ditambahkan dalam konsep
kompetensi kebudayaan (cultural competence), atau keseluruhan
pengetahuan dan keterampilan yang dibawa dalam suatu situasi.
Pandangan ini konsisten dengan pendekatan semiotik yang mendefinisikan
kebudayaan sebagai makna dan memandang semua etnografer
berhubungan dengan simbol. Sistem kebudayaan merupakan pola simbol
dan bahasa merupakan salah satu sistem simbol dalam kerangka ini.
Interpretasi makna linguistik menghendaki pengetahuan makna ketika
perilaku linguistik itu ditempatkan.
Pendalaman Materi
1. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor penyebab terjadinya pola
komunikasi!
2. Sejauhmana peran budaya dalam membentuk pola komunikasi?
Sebutkan alasan-alasannya!
3. Bagaimana hubungan antarkomponen tutur sebagai penyebab
terjadinya pola komunikasi?
4. Sejauhmana peran dan pentingnya kompetensi komunikatif dalam
membentuk pola komunikasi?
114
Daftar Pustaka
Abrahams, R.D. 1983. The Man-of-Words in the West Indies: Peformance and
the Emergence of Creole Culture. Baltimore: John Hopkins University
Press.
Austin, J.L. 1962. How To Do Things With Words. Oxford: Oxford University
Press.
Fetterman, D.M. 1989. Ethnography: Step by Step. Newbury Park CA: Sage.
Grice, H.P. 1975. Logic and Conversation, dalam Cole dan Morgen.
Radical Pragmatics. New York: Akademic Press, hal. 41-58.
116
Bahasa,, Volume 23, No.2, Juni 2011. hal. 175-184. Yogyakarta: FIB
UGM.
118
Malinowsky, B. 1935. Coral Garden and Their Magic, 2 Vols. New York:
American Book Company. (Republished 1961 by Dover Publications.
New York.
Nurmulia, P. R., 2012. 719 Bahasa Daerah Terancam Punah dalam Batam.
Tribunnews.com newscom 13-12-2012. Diunduh tanggal 29 Desember
2012.
Pratt, M.L. 1981. The Ideology of Speech-Act Theory. Centrum New Series
1: 5-18.
Scollon, R. & Scollon, S.K. 1981. Narative, Literacy, and Face in Interethnic
Communication. Norwood: Ablex
120
Sumarsono, P., P. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA bekerja sama
dengan Pustaka Pelajar.
Sutarto, A., 2002. Pesantren, Budaya Lokal, dan Prahara Informasi dalam
Menjinakkan Globalisasi: Tentang Peran Strategis Produk-Produk
Budaya Lokal. Jember: Kompyawisda & Universitas Jember.
121
Yule, G. 1996. Pragmatics. Hongkong: Oxford University Press.
http://m.kompas.com/news/read/2011/07/26/03535664/10 4http://haluan
kepri. com/news/tanjungpinang/20607-700-bahasa-daerah-terancam-
punah. html " (diunduh 29 September 2011)
122
GLOSARIUM
124
Fieldwork : Penelitian lapangan.
Fonetik : Proses menghasilkan sebuah ujaran.
Fonologi : Sistem bunyi dalam ujaran.
Fungsi komunikasi : Kegunaan yang secara langsung berkaitan
dengan tujuan dan kebutuhan partisipasi seperti
menyampaikan perasaan, memerintah, empati
dsb.
Gaya Bahasa : Susunan kata dan kalimat dari bahasa tertentu
yang menunjukkan ciri khas dari masyarakat atau
orang yang menggunakan bahasa tersebut.
Gaya Komunikasi : Cara khas yang dipergunakan oleh seseorang
ketika berkomunikasi dalam situasi tertenttu.
Gerakan tubuh : Gerakan yang memperlihatkan simbol-simbol
tertentu dalam berbahasa.
Gramatika : Tata bahasa.
Hepotesis : Jawaban sementara terhadap permasalahan
penelitian atau pernyataan yang belum teruji
yang menjelaskan suatu fakta, yang didasarkan
pada telaah konsep-konsep teoritis yang perlu
diuji secara empiris.
Hubungan antarkomponen
Tutur : Adanya saling keterkaitaan antara komponen
tutur yang satu dengan yang lainnya, sehingga
merupakan satu kesatuan yang dapat
mempengaruhi pola komunikasi.
Hubungan etnik : Hubungan yang bersifat kebudayaan, atau
menggunakan dasar-dasar dan asumsi-asumsi
kebudayaan daerah tertentu.
Idiom : satuan-satuan bahasa (dapat berupa kata, frase,
maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat
diramalkan dari makna leksikal maupun makna
gramatikal satuan-satuan yang membentuknya.
Ilmu komunikasi : Ilmu yang mempelajari dan meneliti tentang
pengoperan lambang-lambang bermakna yang
dilakukan seseorang kepada orang lain.
Ilmu lnguistik : Ilmu yang mempelajari bahasa.
Informan : Seseorang yang memberikan informasi kepada
orang lain yang belum mengetahuinya.
Informan penelitian : Informan yang merupakan sumber data
penelitian yang utama yang meberikan informasi
125
dan gambaran mengenahi pola perilaku dari
kelompok masyarakat yang diteliti.
Informasi : Suatu pesan yang disampaikan kepada seseorang
atau sejumlah orang yang baginya merupakan hal
yang baru diketahuinya atau sekumpulan fakta
dalam format yang bermanfaat dan sesuai dengan
keperluan untuk mengambil keputusan.
Interaksi sosial : Kegiatan pengaruh mempengaruhi antara
individu dengan individu, antara individu dengan
kelompok, dan antara kelompok dengan
kelompok dalam suatu masyarakat.
Interpretasi : Pemaknaan terhadap data.
Intonasi : Tinggi rendahnya nada suara /.vokal.
Introspeksi : Kegiatan peneliti menganalisis nilai-nilai, dan
perilakunya sendiri dan orang-orang yang berada
dalam masyarakat.
Isi pesan : Maksud/pokok pikiran yang akan disampaikan
kepada lawan tutur
Isi tuturan : Isi pembicaraan.
Judul : Kepala karangan, yang dapat menggambarkan isi
karya tulis.
Kaidah interaksi : Kaidah-kaidah penggunaan bahasa yang biasa
diterapkan dalam peristiwa komunikasi.
Kategori ujaran : Pengelompokan peristiwa dan tindak tutur ke
dalam setting tertentu.
Kebudayaan : Cara berpikir dan berperilaku yang telah menjadi
ciri khas suatu bangsa/etnik/masyarakat tertentu.
Keterampilan berbahasa : Pengetahuan dalam penggunaan dan interpretasi
bahasa dalam suatu masyarakat.
Keterampilan budaya : Pengetahuan dalam menggunakan dan
menginterperetasikan kebudayaan dalam suatu
masyarakat.
Keterampilan interaksi : Pengetahuan mengenahi cara-cara berinteraksi
dalam suatu masyarakat.
Kiai : Guru Muslim, diposisikan sebagai
kelompok/orang yang sangat di-tadzim-kan
(amat dihormati). Dalam struktur sosial maupun
politik kiai juga menempati posisi yang amat
penting dan paling terhormat, karena
pengaruhnya di masyarakat berbasis NU peran
126
kiai sangat menentukan pola dan warna
kehidupan di masyarakat.
Kode linguistik : Simbol-simbol yang mempunyai arti khusus.
Komunikasi : Proses menyampaikan suatu pesan dalam bentuk
lambang bermakna sebagai paduan pikiran dan
perasaan yang dilakukan seseorang kepada orang
lain.
Kaidah komunikasi : Aturan-aturan yang disepakati bersama dalam
suatu masyarakat untuk melakukan kegiatan
komunikasi.
Kompetensi komunikatif : Pengetahuan ssosial dan kebudayaan yang
dimiliki penutur/peserta komunikasi untuk
membentu mereka menggunakan dan
menginterpretasikan bentuk-bentuk linguistik.
Komponen tutur : Unit-unit tuturan yang menunjang terjadinya
suatu peristiwa tutur.
Komunikator : Orang yang menyampaikan pesan komunikasi.
Komunikan : Orang yang berpartisipasi dalam peristiwa
komunikasi (terdiri dari komunikator dan
komunikasi).
Komunikasi lisan : Komunikasi dalam bentuk
percakapan/ujaran/vokal.
Konteks tuturan : Lingkungan fisik psikis, dan sosial dimana suatu
proses tuturan berlangsung.
Konsep : gagasan mengenahi sesuatu yang disusun secara
sistematis dan logis dengan memadukan segala
fakta dan ciri yang terkait; suatu abstraksi
dengan menggeneralisasikan hal-hal yang khusus
atau konkrit; abstaraksi yang yang terbentuk
melalui generalisasi dari pengamatan fenomena-
fenomena yang meimiliki kesamaan
karakteristik.
Kultur : Lihat juga kebudayaan.
Kultur patternalistik : kepatuhan santri kepada kiai yang sudah
mengkristal dan sudah menjadi tarekat dalam
kebiasaan hidup sehari-hari yang diamalkan
secara konsisten dan terus menerus baik selama
di pesantren maupun setelah kembali ke
masyarakat.
127
Makna varian : Makna yang terdapat pada varian kata atau
bahasa, dimana antara satu varian dengan varian
yang lain memiliki makna yang berbeda.
Masyarakat tutur : Masyarakat yang memiliki kaidah yang sama
untuk berkomunikasi.
Metodologi penelitian : Pengetahuan yang mengkaji ketentuan atau suatu
aturan mengenahi metode penelitian.
Norma interaksi : Lihat juga kaidah interaksi.
Norma interpretasi : Semua informasi mengenahi masyarakat tutur
dan kebudayaan yang diperlukan untuk
memahami peristiwa tutur.
NU (Nahdlatul Ulama) : Sebuah oraganisasi sosial kemasyarakatan
terbesar anggotanya di Indonesia, merupakan
embrio pesantren, dan memiliki kultur yang
sama dengan kehidupan pesantren (kultur
patternalistik).
Oral : Lisan/vokal/ujaran.
Outsider : Peran peneliti sebagai orang yang berada di luar
lingkungan yang diteliti.
Overlap : Tindakan komunikasi yang tidak
berurutan/saling tumpang tindih/terjadi dalam
waktu yang bersamaan.
Partisipan tutur : Individu-individu yang terlibat dalam suatu
proses dan peristiwa tutur.
Observasi Partisipasi : Teknik observasi yang dilakukan oleh peneliti
dengan cara melibatkan diri atau menjadi bagian
dari lingkungan sosial yang diamati.
Penafsiran : Proses pemberian makna.
Penanda fatis : Satuan kebahasaan yang digunakan untuk
memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan
komunikasi antara penutur dengan mitra tutur.
Penanda fatis dapat digunakan pada setiap jenis
kalimat; baik pada kalimat imperatif, interogatif,
maupun deklaratif.
Penelitian kualitatif : Jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-
penemuan yang tidak dapat dicapai dengan
menggunakan prosedur statistik atau cara
kuantifikasi lainnya.
Pengetahuan linguistic : Pengetahuan dan keterampilan dalam
menggunakan bahasa dalam suatu masyarakat.
128
Penutur : Orang yang berkomunikasi atau menggunakan
bahasa.
Perilaku komunikasi : Perilaku yang lahir dari integrasi tiga
keterampilan yang dimiliki setiap individu
sebagai makhluk sosial. Ketiga keterampilan ini
terdiri dari keterampilan linguistik, keterampilan
interaksi, dan keterampilan budaya.
Perilaku non verbal : Perilaku yang mengandalkan bahasa non verbal
sebagai saluran keluaran yang utama.
Peristiwa tutur : Keseluruhan perangkat komponen yang utuh,
yang dimulai dengan tujuan utama tuturan, topik
umum yang sama, dan melibatkan partisipan
yang sama, yang secara umum menggunakan
varietas bahasa yang sama, mempertahankan
tone yang sama dan kaidah-kaidah ynag sama
untuk berinteraksi, dan dalam setting yang sama.
Sebuah peristiwa berakhir bila ada perubahan
dalam batas-batasnya, misalnya ketika terdapat
keheningan, atau perubahan posisi tubuh
partisipan tutur.
Persepsi : Penerapan atau pengamatan yang dilakukan
seseorang secara iderawi terhadap sesuatu yang
ada di luar dirinya.
Perspektif : Pandangan seseorang secara mental mengenahi
suatu fakta, gagasan, dan lain-lain beserta
kepautannya.
Pesantren : Tempat pemondokan santri yang sedang
menuntut ilmu agama Islam, dan diasuh oleh
seorang kiai.
Pola kalimat : Hubungan kata-kata yang membentuk suatu
kalimat yang bermakna.
Pola komunikasi : Hubungan bentuk dan fungsi. Komunikasi yang
selalu mengikuti aturan atau kaidah tertantu.
Proses komunikasi : Berlangsungnya penyampaian ide, informasi,
opini, kepercayaan, perasaan, dan sebagainya
oleh seseorang kepada orang lain dengan
menggunakan lambang, misalnya bahasa, kial,
gambar, warna, dan lain-lain yang merupakan
isyarat.
Santri : Seseorang yang secara konsisten dan teratur
melaksanakan pokok-pokok peribadatan yang
129
telah diatur dalam agama Islam, mereka pada
umumnya mondok di pesantren.
Sein : Istilah lain ada dalam Logika Scientifika
Semantik : Makna kata/kalimat.
Setting komunikasi : Aspek fisik dari sebuah situsi komunikasi,
seperti lokasi, waktu, musim, besar ruangan, tata
letak perabot dsb.
Simbol : Sesuatu yang digunakan atau dianggap mewakili
sesuatu yang lain.
Sistem komunikasi : Tata cara komunikasi dalam panduan seluruh
unsur dan faktor yang terlibat guna mencapai
suatu tujuan tertentu.
Sistematik : Teratur menurut sistem.
Situasi tuturan : Konteks terjadinya tuturan.
Sosialisasi : Proses pemasyarakatan disebabkan terjadinya
komunikasi diantara para penghuni suatu
wilayah atau dalam kebudayaan tertentu.
Sosiokultural : Bersifat sosial dan budaya.
Sosiolinguistik : Ilmu yang mempelajari penggunaan bahasa
dalam interaksi sosial karena mereka percaya
bahwa bahasa merupakan inti dari interaksi
sosial. Bagi sosiolinguistik, interaksi sosial
adalah proses tiada akhir yang melibatkan
komunikasi di dalamnya, dan sebagian besar
komunikasi antar manusia terjadi dengan
menggunakan bahasa.
Speech : Ujaran/vokal/berbicara.
Speech community : Lihat juga masyarakat tutur.
Struktur Bahasa : Aturan dalam suatu susunan komponen-
komponen bahasa.
Suara : Bunyi atau sistem bunyi yang dapat ditangkap
oleh indera pendengaran.
Tindak tutur : Tindakan atau kegiatan berbicara.
Tingkat tutur
(speech level) : atau tingkatan bahasa, yang dalam BM disebut
ondhghn bhsa adalah tingkatan bahasa
berhubungan dengan tinggi-rendahnya bahasa
yang digunakan dalam berbicara; yang harus
memperhatikan status orang yang diajak
berbicara, apakah sama, lebih rendah, atau lebih
tinggi.
130
Tipe peristiwa
Komunikasi : Jenis peristiwa komunikasi, misalnya lelucon,
ceramah, salam, percakapan, dsb.
Tone tuturan : Nada atau tinggi rendah sebuah aktivitas tutur.
Topik tuturan : Yang menjadi pokok makna dari simbol-simbol
yang dipertukarkan.
Tujuan tutur : Tujuan interaksi partisipan tutur secara
individual.
Ujaran : Vokal/lisan.
Unit-unit tuturan : Komponen-komponen yang membentuk suatu
peristiwa komunikasi.
Urutan tindakan : Urutan tindak dalam suatu peristiwa tutur,
termasuk alih giliran atau fenomina overlap
percakapan.
varietas Bahasa : Semua jenis bahasa atau kata yang mempunyai
makna yang sama, tetapi digunakan dalam situasi
tuturan yang berbeda.
Wawancara mendalam : Wawancara yang dilakukan seorang peneliti
untuk memperoleh informasi dari seseorang
mengenahi suatu hal secara rinci dan
menyeluruh.
World view : Pandangan dunia.
131
132
INDEKS
A
abstrak, 49
alamiah, 17, 71
antropologi, 17, 18, 21, 23
artikel ilmiah, 15
asumsi, 22, 26, 29, 31, 44, 46, 51, 56, 61, 62, 69
B
bahasa daerah, 33, 39
bahasa lisan, 38, 77, 79, 83, 85, 88, 91, 95
bahasa verbal, 19, 29, 57, 67, 108
bahasa, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 12, 13, 14, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26,
27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45,
46, 47, 48, 49, 50, 52, 54, 56, 57, 60, 62, 65, 67, 68, 70, 74, 77, 79,
83, 85, 88, 91, 95, 97, 99, 100, 101, 102, 107, 108, 109, 111, 112,
113, 114, 115, 116
E
etnik, 2, 3, 5, 6, 13, 14, 15, 16, 28, 34, 36, 37, 45, 55, 56, 57, 58, 60, 68, 85
etnografer, 24, 27, 116
etnografi komunikasi, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 21, 23, 24, 30, 44, 55, 57, 58, 59,
62, 63, 64, 65, 67, 69, 70, 73
F
fenomena, 5, 9, 12, 27, 42, 46, 58, 59, 112
fonologi, 36, 70
fungsi komunikasi, 2, 17, 18, 24
G
gaya bahasa, 20, 40, 41, 42
gaya komunikasi, 17
gramatika, 21, 24, 25, 114
H
hubungan antarkomponen tutur, 101, 116
I
idiom, 42, 43
ilmu komunikasi, 16
informan penelitian, 70
informasi, 2, 13, 19, 22, 26, 31, 32, 46, 48, 56, 65, 67, 69, 73, 82, 101, 106,
108, 115
interaksi sosial, 17, 19, 23, 25, 29, 34
interpretasi, 12, 20, 21, 26, 27, 28, 37, 43, 44, 45, 47, 57, 70, 77, 79, 83, 85,
88, 91, 95, 97, 107, 109, 114, 115
intonasi, 12, 19, 20, 29, 57
introspeksi, 67, 68, 69
isi pesan, 47
K
kata kunci, 49
kategori ujaran, 20
kebudayaan, 2, 3, 13, 16, 17, 18, 20, 21, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 45, 56, 68,
101, 114, 115, 116
kiai, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 20, 35, 42, 60, 61, 66, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80,
82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100,
101, 103, 104, 105, 106, 107, 109, 110, 111, 113, 114
kode linguistik, 22, 103
kompetensi komunikatif, 13, 19, 25, 28, 31, 73, 101, 114, 115, 116
komponen tutur, 17, 23, 30, 47, 48, 55, 57, 67, 70, 71, 73, 74, 76, 101, 101,
104, 105, 107, 109, 110, 111, 112, 113
komunikasi, 1, 2, 3, 4, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 23, 24, 27,
29, 30, 31, 37, 38, 40, 43, 46, 47, 48, 49, 50, 52, 57, 58, 62, 64, 65,
66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 77, 79, 81, 82, 83, 84, 85, 86,
88, 89, 90, 93, 95, 97, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 108,
109, 110, 111, 112, 114, 115
konsep, 13, 16, 19, 24, 27, 30, 39, 55, 63, 70, 71, 116
konteks tuturan, 7, 20, 51, 77, 79, 82, 84, 88, 90, 94, 97, 104
kultur, 5, 7, 12, 13, 14, 15, 16, 60, 62, 66, 72, 74, 80, 101, 102, 103, 105, 106,
111, 114, 115
M
makna varian, 114
masyarakat tutur, 15, 17, 18, 23, 29, 32, 39, 40, 43, 44, 45, 46, 47, 54, 58, 59,
65, 67, 68, 69, 81, 101, 108, 109, 110, 111, 112, 113
masyarakat tutur
metodologi penelitian, 63
134
N
norma interaksi, 27, 47, 70, 107, 109, 114
norma interpretasi, 109
outsider, 24, 109
P
partisipan tutur, 4, 8, 10, 11, 19, 23, 30, 40, 41, 42, 73, 74, 77, 84, 85, 87, 88,
89, 91, 92, 95, 96, 97, 98, 100, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110,
111, 112, 113, 114, 115
penafsiran, 38
penanda fatis, 76, 81
penelitian kualitatif, 17, 55, 64, 67
perilaku komunikasi, 17, 18, 69
perilaku non verbal, 26
peristiwa tutur, 4, 27, 30, 40, 42, 43, 44, 47, 54, 60, 103, 104, 106, 110, 111,
113, 114
persepsi, 3, 56
perspektif, 24, 27, 31, 57, 65, 69
pesantren, 5, 6, 7, 8, 11, 13, 14, 15, 16, 39, 41, 72, 74, 75, 78, 79, 85, 102,
103, 105, 106, 107, 113, 115
pola komunikasi, 4, 5, 8, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 29, 30, 31, 55, 57, 58,
60, 61, 62, 63, 66, 68, 69, 71, 72, 73, 74, 80, 81, 83, 85, 92, 93, 98,
101, 103, 104, 105, 106, 110, 111, 112, 113, 114, 116
proses komunikasi, 66, 68, 69
S
santri, 5, 6, 7, 8, 12, 20, 57, 66, 72, 74, 75, 77, 78, 79, 80, 82, 86, 88, 90, 95,
97, 99, 102, 105, 106, 108, 110, 113, 114, 115
semantik, 30
setting komunikasi, 69
simbol, 12, 19, 20, 22, 25, 27, 28, 29, 33, 57, 71, 76, 102, 115, 116
situasi tuturan, 39, 40, 92
sosialisasi, 14
sosiokultural, 65, 101
sosiolinguistik, 13, 18, 21, 30, 62
speech, 7, 12, 18, 19, 23, 24, 29, 34, 44, 45, 47, 48, 49, 50, 57, 99, 100, 112
T
tindak tutur, 12, 19, 24, , 29, 30, 43, 44, 50, 51, 52, 53, 54, 57, 67, 69
tingkat tutur (speech level), 14, 33, 60
tujuan tutur, 10, 61, 72, 91, 92, 100, 101, 105, 111, 115
135
U
ujaran, 15, 26, 27, 44, 51, 52, 54
W
wahid, 7, 103
world view, 19, 21, 28
136
Tentang Penulis