Anda di halaman 1dari 147

Buku Ajar

Konsep, Metode, dan Contoh Penelitian


Pola Komunikasi

Oleh:

Akhmad Haryono
ETNOGRAFI KOMUNIKASI: Konsep,
Metode, dan Contoh Penelitian
Pola Komunikasi

Diterbitkan oleh
UPT Penerbitan UNEJ
Jl. Kalimantan 37 Jember 68121
Telp. 0331-330224, Psw. 0319, Fax. 0331-339029
E-mail: upt-penerbitan@unej.ac.id

Hak Cipta @ 2015

Cover/layout: Noerkoentjoro W.D.


Akbar Suyunus

Perpustakaan Nasional RI Katalog Dalam Terbitan

380.072
AK Akhmad Haryono
e Etnografi Komunikasi: Konsep, Metode, dan
Contoh Penelitian Pola Komunikasi/oleh
Akhmad Haryono.--Jember: Jember University
Press, 2015.
x, 136 hlm. ; 23 cm.

ISBN:

1. METODE KOMUNIKASI
I. Judul

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak tanpa


ijin tertulis dari penerbit, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,
baik cetak, photoprint, maupun microfilm.
PRAKATA

Etnografi Komunikasi sebagai salah satu cabang ilmu linguistik


yang masih relatif baru, merupakan ilmu interdisipliner yang
menggabungkan antara disiplin linguistik dan antropologi. Etnografi
komunikasi melengkapi kehadiran cabang-cabang linguistik yang lain
seperti, Pragmatik, semantik, sintaksis, morfologi, dan fonologi. Kini di
berbagai perguruan tinggi, khususnya pada jurursan-jurusan ilmu
humaiora, disiplin iilmu etnografi komunikasi mulai diminati bahkan
sudah menjadi mata kuliah yang ditawarkan kepada mahasiswa yang
mendalami ilmu linguistik dan juga ilmu komunikasi. Hal ini seiring
dengan situasi dan kondisi wilayah Indonesia yang multietnik. Oleh
karena itu, penelitian-penelitian yang berkaitan dengan etnik, bahasa, dan
budayanya tentu semakin menarik perhatian para ilmuwan. Kontribusi
penelitian etnografi komunikasi semakin nyata dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan / konflik-konflik intra- dan antaretnik di masyarakat
yang disebabkan kegagalan komunikasi. Selain itu, kajian Etnografi
Komunikasi dapat sebagai alternatif upaya pemertahanan bahasa-bahasa
etnik yang semakin hari terancam kepunahannya. Secara teoritis
penelitian etnografi komunikasi telah membantu memperkaya teori-teori
etnografi komunikasi, ilmu linguistik, dan ilmu komunikasi.
Buku ini disusun karena keprihatinan penulis terhadap keterbatasan
bahan ajar dan bacaan yang berkaitan dengan pernik-pernik bahasa dan
budaya yang merupakan bagian etnografi komunikasi. Buku ajar etnografi
komunikasi ini diharapkan memperkaya bahan ajar dan bacaan di
kalangan mahasiswa dan generasi muda dalam mengarungi cita-citanya.
Buku yang terdiri atas tujuh bab ini memuat konsep-konsep, metode
penelitian, dan contoh penelitian pola komunikasi. Semoga dapat
dipahami agar dapat menjadi pegangan baik dalam menunjang keilmuan,
maupun menyelesaikan persoalan-persoalan kebahasaan yang sering
terjadi di masyarakat.
Buku ini memiliki paling tidak dua tujuan pokok, yaitu: (1)
memberikan pengetahuan tentang dasar-dasar ilmu etnografi komunikasi
yang didasarkan pada hasil penelitian-penelitian dalam negeri dan teori-
teori yang dikemukakan oleh para ilmuwan dalam dan luar negeri; dan (2)
memberikan bekal pengetahun teoritis dan praktis bagi
pembelajar/mahasiswa untuk melakukan penelitian etnografi komunikasi,
khususnya para mahasiswa yang menekuni disiplin ilmu etnografi
komunikasi dan disiplin keilmuan lain yang berdekatan dan saling
menunjang seperti sosiolinguistik, prakmatik, dan ilmu komunikasi.

iii
Oleh karena itu, konsep-konsep etnografi komunikasi, prosedur dan
langkah-langkah penelitian disusun dan diskusikan secara berimbang.
Untuk mempermudah daya cerna pembelajar/mahasiswa terhadap teori-
teori dan aplikasinya, dalam buku ini juga disajikan contoh-contoh yang
relevan. Pertimbangan lain penambahan penekanan pada` kegiatan
praktek penelitian, juga sebagai jawaban adanya kenyataan bahwa
beberapa perguruan tinggi sudah mencanangkan dirinya sebagai
universitas riset, sementara kini mahasiswa masih dijejali materi kuliah
yang hanya berfokus pada teori dan masih kurang dibekali pengetahuan
praktis tentang langkah-langkah dan prosedur kegiatan penelitian. Buku
ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab 1 memaparkan
tentang pentingnya bahasa sebagai alat komunikasi, Karakteristik lokasi
penelitian beserta kontribusi buku ini; Bab 2 menjelaskan tentang konsep-
konsep dan teori serta sejarah singkat etnografi komunikasi; Bab 3
memaparkan prinsip kerjasama dan kesantunan, serta kode dan alih kode
bagian dari pola dan strategi komunikasi; Bab 4 memaparkan tentang
konteks tuturan mencakup masyarakat tutur, peristiwa tutur, dan tindak
tutur; Bab 5 menjelaskan tentang desain dan metode penelitian etnografi
komunikasi; Bab 6 menyajikan contoh penyajian dan analisis data dalam
penelitian etnografi komunikasi; Bab 7 menjelaskan tentang faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya pola komunikasi.
Buku ini diharapkan disajikan selama satu semester dengan jumlah
minimal 14 tatap muka aktif dengan beban 2-3 SKS. Dua tatap muka
dialokasikan untuk pelaksanaan ujian tengah dan akhir semester. Dengan
demikian, total tatap muka sebanyak 16 kali pertemuan. Perkuliahan
diharapkan menggunakan metode pembelajaran yang berpusat pada
mahasiswa (student centered learning). Pada setiap pembelajaran
diharapkan baik dosen maupun mahasiswa telah membaca materi yang
akan dibahas dan dianjurakan membaca referensi lain yang sesuai dengan
topik. Peserta kuliah juga dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil
dengan anggota 4 sampai 5 orang setiap kelompok. Sebaiknya, dosen
menyiapkan tayangan berbentuk pawer point untuk memberi gambaran
tentang topik yang akan dipelajarai kurang lebih 15-30 menit. Selanjutnya
waktu digunakan untuk diskusi dan mengerjakan tugas yang sudah
disiapkan oleh dosen dan akan lebih baik kalau sudah dikirim via e-
learning yang tentunya mengacu pada bab dan pokok bahasan terkait
secara berkelompok. Tugas-tugas dapat berupa soal berdasarkan
kompetensi dan pendalaman materi yang disediakan pada masing-masing
bab, informasi pada bacaan, komentar, topik untuk diskusi, perbandingan
bahasa dan buadaya antaretnik, ataupun dengan menggali dari sumber-
sumber lain seperti internet. Dalam pembelajaran ini, dosen diharapkan
benar-benar bisa menjadi fasilitator
iv
dan pendamping yang cakap dan konstruktif serta memiliki kemampuan
dalam bidang yang dipelajari. Evaluasi harian terhadap kerja kelompok
dengan mendasarkan pada salah dan benar secara kaku bisa dikurangi dan
dicari alternatifnya. Misalnya, hasil satu kelompok kurang sempurna dan
kelompok lain lebih sempurna agar setiap warga belajar dalam kelompok
masing-masing dapat bertambah pengetahuan dan keterampilannya serta
mengenal dan belajar tentang kelebihan dan kekurangannya tanpa merasa
dihakimi dihadapan peserta didik yang lain.
Puji syukur penulis panjatkan ke hadiat Allah Swt. Sebab, hanya
atas berkat dan rahmat-Nyalah penulisan buku ajar Etnografi Komunikasi
ini dapat diselesaikan. Penulisan buku ini tidak akan dapat terlaksana
tanpa bantuan dan fasilitas dari berbagai pihak. Untuk itu, pada
kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih yang
mendalam kepada Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo, Prof. Dr. I. Dewa
Putu Wijana, Prof. Dr. F.X. Nadar, Dr. Suhandono, Dr. Yos Inyo
Fernandes yang telah memberikan bimbingan dan ilham kepada penulis
selama menjadi mahasiswa S3 di FIB UGM. Rektor Universitas Jember
dan Ketua UPT Penerbitan Universitas Jember yang telah memberikan
bantuan berupa fasilitas dalam penulisan dan penerbitan buku ajar ini;
Dekan Fakultas Sastra dan Ketua Lemlit Universitas Jember yang telah
memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian dan penulisan buku ini;
Teman Sejawat dan para Guru prof. Dr. Akhmad Sofyan, Prof. Dr.
Samuji; Prof. Dr. Ayu Sutarto, Prof. Dr. Bambang Wibisono, M.Pd., dan
Dr. Agus Sariono, M.Hum. yang telah memberikan inspirasi, dorongan,
dan semangat penulis untuk menyiapkan dan menyelesaikan naskah ini.
Sahabat-sahabat seperjuangan di Fakultas Sastra yang karena
keterbatasan tidak bisa disebutkan satu persatu yang juga telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan buku ajar ini. Para Kiai,
budayawan, dan pemerhati bahasa dan budaya Madura serta ke-NU-an
yang senantiasa memberikan bantuan dalam pelaksanaan penelitian dan
memberikan dorongan moril kepada penulis untuk segera menyelesaikan
penulisan buku ini. Berbagai pihak yang telah banyak membantu
penulisan buku ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Teristimewa
kepada istriku tercinta yang dalam keadaan suka dan duka telah
menemani dan memberi semangat kepada penulis, terima kasih atas
pengertiannya dan telah membangkitkan semangatku untuk
menyelesaikan tulisan ini. Untuk anak-anakku tercinta Shabrina Izzata
Afiayati Akhmad, savinah Ilmi Frohlicha Akhmad, dan Nugraha Fahmi
Akhmad, yang terkurangi limapahan kasih sayangnya demi
menyelesaikan penulisan ini, tetapi percayalah bahwa semua ini
dilakukan demi menyongsong masa depan ananda semua.

v
Akhirnya, penulis menyadari bahwa naskah buku ini masih belum
sempurna. Oleh karena itu, dengan senang hati penulis akan menerima
kritik dan saran dari berbagai pihak untuk penyempurnaan naskah buku
ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jember, Nopember 2015

Penulis

vi
DAFTAR ISI

Halaman

Prakata .............................................................................................. iii


Daftar Isi ........................................................................................... vii
Daftar Tabel ...................................................................................... ix

BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................... 1


Kompetensi dan Pengantar ............................................................... 1
Bahasa Sebagai Alat Komunikasi .................................................... 1
Bagaimana memperlakukan Bahasa pada Status dan Kelas
Sosial Berbeda .................................................................................. 4
Kontribusi pada Bidang Ilmu ........................................................... 11
Pendalaman Materi ........................................................................... 12

BAB 2. MENGENAL KONSEP DAN TEORI


ETNOGRAFI KOMUNIKASI ...................................................... 13
Kompetensi dan Kajian Sebelumnya ................................................ 15
Konsep Etnografi Komunikasi ......................................................... 16
Pola Komunikasi .............................................................................. 18
Penggunaan Bahasa dalam Komunikasi............................................ 20
Fungsi-fungsi Komunkatif Bahasa ................................................... 22
Kompetensi Komunikatif ................................................................. 23
Bahasa dan Kebudayaan ................................................................... 26
Pendalaman Materi ........................................................................... 28

BAB 3. PRINSIP KERJASAMA DAN KESANTUNAN,


KODE DAN LAIH KODE SEBAGAI POLA DAN
STRATEGI KOMUNIKASI ......................................................... 29
Kompetensi dan Pengantar ............................................................... 29
Prinsip Kerjasama (PK) dan Prinsip Sopan Santun (PS)
dalam Berkomunikasi ....................................................................... 30
Penggunaan Tingkat Tutur (Speech Level)....................................... 32
Tingkat Tutur (speech level) dalam Bahasa Madura ......................... 33
Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa ................................................... 35
Pemahaman Lintas Budaya (Cross-cultural Understanding) .......... 36
Kode, Alih Kode, dan Campur Kode ............................................... 38
Pendalaman Materi ........................................................................... 42

vii
BAB 4. KONTEKS ....................................................................... 43
Kompetensi dan Pengantar ............................................................... 43
Masyarakat tutur (Speech Community) ............................................. 44
Peristiwa Tutur (Speech Event) ........................................................ 46
Tindak Tutur (Speech act) ................................................................ 49
Pendalaman Materi ........................................................................... 53

BAB 5. DESAIN DAN METODE PENELITIAN ETNOGRAFI


KOMUNIKASI ............................................................................... 55
Kompetensi dan Pengantar ............................................................... 55
Mendesain Latar Belakang Masalah ................................................. 55
Identifikasi, Pemilihan, dan Perumusan Masalah Penelitian ............ 57
Merumuskan Tujuan Penelitian ........................................................ 60
Manfaat Penelitian ............................................................................ 61
Tinjauan Pustaka .............................................................................. 61
Metode Penelitian Etnografi Komunikasi ........................................ 62
Pendalaman Materi ........................................................................... 71

BAB 6. CONTOH PENYAJIAN ANALISIS POLA


KOMUNIKASI ............................................................................... 73
Kompetensi dan Pengantar ............................................................... 73
Pola Komunikasi KP-UNUEM ........................................................ 74
Ringkasan ......................................................................................... 97
Pendalaman Materi ........................................................................... 99

BAB 7. MENGAPA TERJADI POLA KOMUNIKASI ........... 101


Kompetensi dan Pengantar ............................................................... 101
Faktor Komponen Tutur ................................................................... 103
Faktor Kompetensi Komunikatif ...................................................... 112
Pendalaman Materi ........................................................................... 114

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 115


GLOSARIUM ................................................................................. 123
INDEKS ........................................................................................... 133

viii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Tingkat Tutur BM ........................................................... 34


Tabel 3.2 Tingkat Tutur Bahasa Jawa ............................................ 36
Tabel 5.1 Quantitative and Qualitative Research : Alternative
Labels ............................................................................. 63
Tabel 6.1 Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Berpredikat
Guru-Santri ..................................................................... 79
Tabel 6.2 Pola Komunikasi KP-UNUEM yang berstatus
Sosial Tinggi .................................................................. 85
Tabel 6.3 Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Dipengaruhi
Tingkat Keeratan hubungan ........................................... 90
Tabel 6.4 Pola Komunikasi KP-UNUEM yang dipengaruhi
Umur ............................................................................... 96

ix
x
Bab 1
Pendahuluan

Kompetensi dan Pengantar


Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan memiliki
kompetensi sebagai berikut:
Memahami peran bahasa dalam komunikasi
Memahami dan bisa menempatkan bahasa pada status dan kelas sosial
yang berbeda
Mampu memahami kontribusi penelitian ini terhadap bidang Ilmu
Etnografi Komunikasi

Bahasa adalah suatu alat pada manusia untuk menyatakan


tanggapannya terhadap alam sekitar atau peristiwa-peristiwa yang dialami
secara individual atau secara bersama-sama. Dalam kehidupan manusia
bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga
menyertai proses berpikir manusia dalam usaha memahami dunia luar,
baik secara objektif maupun imajinatif. Oleh Sebab itu, bahasa selain
memiliki fungsi komunakatif, juga memiliki fungsi kognitif dan fungsi
emotif. Dengan kata lain, bahasa selain memiliki fungsi instrumental,
regulatori, interaksional, personal, dan informatif, juga mempunyai fungsi
hauristik dan imajinatif (Aminuddin, 2001: 136).
Bahasa tidak hanya dipakai sebagai alat untuk mengungkapkan
pikiran dan perasaan seseorang kepada orang lain atau mentransfer ide-ide
seseorang kepada orang lain, akan tetapi bahasa juga dapat digunakan
sebagai sarana untuk berpikir secara logis dan benar. Kebenenaran dan
kelogisan suatu bahasa tidak hanya dilihat dari struktur dan
ketatabahasaannya, tetapi keterkaitan dan hubungan makna antara kata,
frase, dan kalimat yang satu dengan yang lainnya serta hubungannya
dengan realitas yang ada di dunia ini serta konteks penggunaannya.

Bahasa Sebagai Alat Komunikasi


Hampir semua manusia membutuhkan hubungan sosial dengan
orang-orang di sekitarnya, dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran
pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia,
agar mereka tidak terisolasi antara satu dengan yang lainnya. Pesan-pesan
itu tercermin dalam perilaku manusia. Ketika seseorang sedang berbicara,
maka dia sebenarnya sedang berperilaku. Begitu juga ketika seseorang
melambaikan tangan, tersenyum, bermuka masam, manganggukkan
kepala, atau memberikan suatu isyarat, maka dia juga sedang berperilaku.
Perilaku-perilaku ini merupakan pesan-pesan yang digunakan untuk
mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain, dan perilaku-perilaku
tersebut dapat didefinisikan sebagai bentuk komunikasi apabila bermakna.
Bahasa merupakan suatu produk sosial dan budaya, bahkan
merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk
sosial dan budaya tentu bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan
dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi
yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Sudah barang tentu,
bahasa sebagai hasil budaya megandung nilai-nilai masyarakat penuturnya
(Sumarsono & Partana, 2002: 20-21). Oleh karena itu, bahasa sering
dipakai sebagai ciri etnik. Bahasa dikatakan sebagai alat identitas etnik:
Bahasa daerah sebagai alat identitas suku. Ada pula pandangan akan
adanya hubungan yang tetap dan pasti antara ciri-ciri fisik suatu etnik
dengan suatu bahasa atau variasi bahasa tertentu.
Bahasa sering dipakai untuk melaksanakan banyak fungsi
komunikasi, namun fungsi bahasa yang paling penting adalah
penyampaian informasi. Lyons (1972) dalam Brown dan Yule (1996)
mengemukakan bahwa suatu bangsa dapat berkomunikasi dengan
menggunakan perasaan, suasana hati, dan sikap, tetapi dia lebih
menyarankan bahwa komunikasi lebih pada penyampaian informasi
faktual atau proporsional yang disengaja. Jadi komunikasi terutama
merupakan usaha pembicara/penulis untuk memberitahukan sesuatu
kepada pendengar/pembaca atau menyuruhnya melakukan sesuatu.
Peran bahasa tidak sama dalam lingkungan masyarakat tertentu.
Bahasa bisa berperan sebagai identifikasi kategori sosial, pemeliharaan,
dan pengaturan hubungan dan jaringan sosial individu dengan yang
lainnya serta bisa juga digunakan untuk melakukan kontrol sosial.
Kategori sosial merupakan bagian dari sistem sosial yang juga menjadi
tambahan dalam sisitem bahasa yang dapat digunakan untuk menandai
kategori-kategori itu.
Dalam melaksanakan pembangunan bangsa, kita tidak dapat
mengabaikan keberadaan bahasa dan budaya sekelompok masyarakat
tertentu sebagai alat komunikasi. Sebab, keduanya mempunyai peranan
yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat pendukung bahasa dan
kebudayaan tersebut. Namun demikian, kita juga harus menyadari bahwa
bahasa dan budaya tidak selalu berdampak positif terhadap
keberlangsungan pembangunan bangsa. Bahasa dan budaya dapat
berdampak positif, jika masyarakat yang terlibat dalam pemakaian bahasa
tersebut tidak salah dalam memahami dan menggunakan bahasa dan

2
budaya suatu masyarakat dan kelompok tertentu. Akan tetapi, sebaliknya
jika pemakai bahasa dan pelaku budaya salah dalam memahami makna
bahasa dan budaya yang merupakan alat dan bagian komunikasi, maka
bahasa dan budaya akan menjadi sumber persoalan dan konflik di
masyarakat.
Bahasa dan budaya merupakan satu kesatuan yang tak dapat
dipisahkan, karena melalui pemahaman terhadap budaya masyarakat
tertentu dapat tercermin unsur-unsur komunikasi dalam pemakaian bahasa
yaitu, siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang
menyandi pesan, apa makna yang terkandung dalam pesan, dalam konteks
apa seseorang berpesan, dan bagaimana menafsirkan pesan. Kesalahan
dalam menempatkan unsur-unsur komunikasi dalam budaya masyarakat
tertentu dapat mengakibatkan hambatan/kegagalan komunikasi, bahkan
akan menyulut timbulnya konflik dan kekerasan antarkelompok penganut
budaya tersebut. Tidak jarang masalah-masalah kecil (sepele) telah
menjadi masalah besar seperti pembunuhan, karena disebabkan kegagalan
komunikasi.
Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk
menyalurkan kepercayaan, nilai, dan norma. Bahasa merupakan alat bagi
manusia untuk berinteraksi dengan manusia lainnya dan juga sebagai alat
untuk berpikir. Maka, bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk
berkomunikasi dan sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas
sosial. Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan, dan membentuk
pikiran.
Masalah utama yang sering terjadi dalam pemakaian bahasa suatu
etnik adalah kesalahan dalam persepsi sosial yang disebabkan oleh
perbedaan-perbedaan budaya yang mempengaruhi proses pemahaman
terhadap bentuk-bentuk pemakaian bahasa yang dilakukan orang lain.
Pemberian makna suatu pesan sangat dipengaruhi oleh budaya pengirim
maupun penerima pesan. Kesalahan-kesalahan fatal dalam memahami
makna dapat menyebabkan persepsi yang salah terhadap maksud dan
tujuan pemakaian bahasa. Kesalahan-kesalahan ini diakibatkan oleh orang-
orang yang berlatar belakang berbeda budaya sehingga tidak dapat
memahami bentuk-bentuk komunikasi satu dengan lainnya dengan akurat.
Pemahaman atas perbedaan-perbedaan budaya ini akan membantu
mengetahui sumber-sember masalah yang potensial dalam pemakaian
bahasa, sedangkan pemahaman seseorang atas persamaan-persamaannya
akan membantunya lebih mendekatkan kepada pihak lain yang berbeda
budaya dan pihak lainpun akan merasa lebih dekat kepadanya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa budaya mempengaruhi
pola-pola komunikasi. Budayalah yang menentukan waktu dan jadwal

3
peristiwa tutur antarperson, tempat untuk membicarakan topik-topik
tertentu, jarak fisik yang memisahkan antara seorang penutur dengan
petutur (partisipan tutur), nada suara yang sesuai untuk pembicaraan topik
dan partisipan tertentu. Budaya juga melukiskan kadar dan tipe kontak
fisik yang dituntut oleh tradisi masyarakat tertentu, dan intensitas emosi
yang menyertainya. Budaya meliputi hubungan antar apa yang dikatakan
dan apa yang dimaksudkan sesuai konteksnya, seperti kata silakan yang
maksudnya bisa perintah atau larangan.

Bagaimana memperlakukan Bahasa pada Status dan Kelas Sosial


Berbeda
Perbedaan status dan kelas sosial bisa menyebabkan orang-orang
yang berstatus berbeda sulit menyatakan opini secara bebas dan terus
terang dalam even diskusi dan perdebatan. Seseorang yang berstatus lebih
rendah (bawahan) harus menyatakan rasa hormat kepada orang yang
berstatus lebih tinggi (atasannya). Status dan kelas sosial juga menentukan
apakah suatu bisnis akan terjadi antara individu dan antara kelompok
(Whyte & Hall, Schrope,1974; Mulyana & Rakhmat, 2003). Oleh karena
itu, pola komunikasi masyarakat tertentu cenderung dipengaruhi
keseluruhan pola budaya termasuk pemberlakuan status dan kelas sosial
sebagai unsur yang mempengaruhi pola-pola komunikasi. Perubahan
utama dalam kategori-kategori struktur sosial biasanya juga membawa
perubahan pola-pola komunikasi.
Kaitannya dengan bagaimana memperlakukan bahasa pada status
dan kelas sosial yang berbeda kita bisa menimba pola komunikasi warga
Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki variasi sesuai status dan kelas sosial
yang ditentukan oleh peran dan jabatannya dalam masyarakat. Sebagai
organisasi sosial kemasyarakatan NU mampu mempertahankan jati dirinya
sebagai bangsa barbudaya melalui etika yang tercermin dalam perilaku
berbahasanya.
Warga NU yang jumlahnya cukup besar memiliki tradisi dan budaya
yang sangat unik, khususnya yang berada di Jember yang sebagian besar
berlatar belakang etnik Madura. Menurut pendapat Sutarto (2005) NU
dikenal sebagai kekuatan Islam yang sangat menghormati tradisi dan
budaya lokal, bahkan ada yang menyebut NU sebagai kelompok Islam
tradisional, Islam kultural, kelompok sarungan, dan entah apa lagi. Mereka
(warga NU) hidup di tengah perpaduan antara tradisi dan syariat Islam.
Warga NU sebagian besar dilahirkan dari embrio kehidupan
pesantren salaf dengan kultur paternalistik yang sudah mengakar. Yang
dimaksud pesantren salaf disini adalah pesantren yang memfokuskan
pengkajiannya hanya pada ilmuilmu keagamaan (diniah) yang dikelola
4
secara tradisional. Adapun kultur paternalistik adalah kepatuhan santri
kepada kiai yang sudah mengkristal dan sudah menjadi tarekat dalam
kebiasaan hidup sehari-hari yang diamalkan secara konsisten dan terus
menerus baik selama di pesantren maupun setelah kembali ke masyarakat.
Oleh karena itu, kehidupan taradisi dan budaya masyarakat NU cenderung
mengikuti pola-pola tradisi dan budaya pesantren.
Fenomena-fenomena di atas jika dikaitkan dengan hasil temuan di
lapangan mengindikasikan bahwa pola komunikasi yang terjadi dalam
masyarakat NU merupakan cerminan penggunaan variasi bahasa yang
didasarkan pada status dan kelas sosial yang berbeda. Hal tersebut
merupakan implikasi dari kultur paternalistik yang sudah mengakar di
kalangan NU, yang dapat dijelaskan sebagai berikut;
1. Stratifikasi sosial kiai di kalangan warga NU ditempatkan pada posisi
yang paling terhormat sehingga tercermin dalam pola-pola pemakaian
bahasanya. Dalam pandangan warga NU kiai diposisikan sebagai
kelompok yang sangat di-tadzim-kan (amat dihormati). Dalam struktur
sosial maupun politik kiai juga menempati posisi yang amat penting
dan paling terhormat, karena pengaruhnya di masyarakat berbasis NU
peran kiai sangat menentukan pola dan warna kehidupan di masyarakat.
Hal tersebut ditemukan dalam fakta kebahasaan sebagai berikut:
Konteks tuturan 1: Di rumah seorang kiyai pengasuh pesantren NU
pada jam 15.30. seorang wali santri (ummat NU)
memasrahkan anaknya kepada kiai selaku
pengasuh pesantren.

Wali santri: Cabis pamator, kadinto.

Maaf, apa bisa saya mengatakan sesuatu ?

Kiai : ngghi (ya) ya, silakan!

Wali santri: Abdina terro mangabdiya budu kadinto.

Hamba ingin mengabdikan anak di pesantren ini

Kiai : mandhr pernaa (semoga krasan)

Semoga anak ini kerasan di pesantren ini


(Haryono, 2011)

5
Frase cabis pamator yang memiliki pengertian mohon ijin
untuk menyampaikan sesuatu dihadapan kiai sebagai cerminan rasa
hormat yang amat tinggi ummat NU etnik Madura (UNUEM) kepada
kiai. Bahkan dibarengi dengan frase terro mangabdiy budhu yang
berarti ingin anaknya dijadikan abdi (pesuruh) kiai. Kata abdi (pesuruh)
dalam konteks warga NU di Jember juga berarti bahwa mereka
merendahkan diri dihadapan kiai yang sekaligus harus patuh selama
berada di pesantren. Begitu pula, kata budhu yang bisanya dalam
bahasa Madura (BM) digunakan untuk panggilan anak binatang sengaja
digunakan UNUEM untuk merendahkan diri sebagai abdi dihadapan
seorang kiai. Hal tersebut dilakukan karena UNUEM menganggap
bahwa kedudukan atau strata sosial kiai jauh lebih tinggi. Bagi
UNUEM pengabdian kepada seorang kiai lebih dari hanya sekadar
menimba ilmu karena menjadi abdi sekaligus memiliki pengertian
mempelajari ilmu agama maupun ilmu tngka (segala tindakan dan
perilaku yang dapat diterapkan kelak kalau santri sudah pulang ke
masyarakat).
Lebih lanjut (Haryono, 2011) mengemukakan bahwa tingginya
strata sosial kiai juga dapat dilihat dari perilaku berbahasa UNUEM
ketika berkomunikasi dengan kiai yang selalu menundukkan kepala
seraya merendahkan suaranya. Suara kiai biasanya cenderung lebih
tinggi dari UNUEM. Begitu pula dalam penggunaan tingkat tutur
(ondaghn bhsa/Speech level) UNUEM menggunakan tingkat tutur
yang paling tinggi yaitu ngghi bhunten, sedangkan kiai menggunakan
speech level madya (ngghi-enten) atau ngoko (enja-iy) seperti pada
konteks tuturan 1 di atas.
2. Ketaatan UNUEM kepada kiai yang sekaligus dianggap guru dan
pembimbing spiritual merupakan kewajiban nomor wahid dalam kultur
pesantren. Hal tersebut tercermin dalam komunikasi antara alumni yang
sudah lama pulang di masyarakat dengan Kiai (gurunya).
Konteks tuturan 2: komunikasi via telpon pada malam hari antara kiai
dengan seorang mantan santrinya.

Kiai : Ji, tada acara ? (Jih, dak ada acara ?)

Jih, apakah tidak ada acara ?

Santri : abdina pakon ngirng ummi pokol sanga, gella pokol


ptto s makon, tergantung ka padhna kadinto.

6
Hamba disuruh mengantarkan ummi pada jam sembilan, tadi
pada jam tujuh telah menyuruh saya, tapi hal ini semua saya
pasrahkan kepada kiai.

Kiai: mon dento ngrng umminah kada, mon mar nlpon ka


bul, pola ami gi ta jhalan.

Kalau begitu antarkan umminya saja dulu, kalau sudah


di rumah telpon saya, siapa tahu saya belum berangkat.
(Haryono, 2011)

Pada tuturan di atas alumni (santri) sebagai UNUEM yang


pernah mengabdi di pesantren merasa berat untuk menolak ajakan guru,
tetapi juga merasa berat untuk mengabaikan kewajiban kepada orang
tua. Santri berpandangan bahwa kedudukan orng seppo sami sareng
guru, orng seppo s ngalaraghi tor maraja, sedangkan guru sematao
sapa orng seppo Kedudukan guru itu sama dengan orang tua
orang tua yang melahirkan dan membesarkan, sedangkan guru orang
yang berjasa mengenalkan siapa orang tua. Orang tua yang telah
merawat dan mengasihi kita semenjak kecil, sedangkan guru telah
berjasa mentransfer ilmu, sehingga seseorang tahu bagaimana berbakti
kepada Allah, Rasul, dan kedua orang tuanya, bahkan bisa berguna bagi
lingkungannya.
Pandangan ini menyebabkan UNUEM begitu patuh kepada kiai
yang dianggap sebagai guru yang jasanya disamakan dengan orang tua.
Kepatuhan tersebut tercermin dalam tuturannya pada data (2) yang
menyatakan bahwa abdina pakon ngirng ummi Saya disuruh
menemani ummi. Tuturan tersebut sebenarnya sebagai bentuk
penolakan yang sangat halus dan tidak langsung kepada kiai, karena
dengan mengatakan disuruh orang tua, kiai akan menyuruh untuk
mendahulukan apa yang diinginkan orang tua seperti pada tuturan kiai
data (2) mon dento ngrng ummina kada Kalau begitu antarkan
ummi saja dulu. Dengan demikian, pola komunikasi yang merupakan
bagian dari strategi komunikasi yang disampaikan santri sebagai
partisipan tutur telah berhasil menyatakan penolakannya tanpa
menyinggung perasaan kiai sebagai guru. Figur kiai yang tentunya
menginginkan santrinya bisa birrul walidain berbuat baik kepada
orang tua juga tampak dalam tuturan tersebut. Untuk tidak
mengurangi rasa patuhnya kepada kiai, santri menyerahkan sepenuhnya
apa yang seharusnya dilakukannya berkaitan dengan dua fenomena
yang kedua-duanya amat penting dengan meneruskan tuturan

7
tergantung ka padhna kadinto tapi semua saya pasrahkan pada
paduka. Tuturan ini mengindikasikan bahwa kepatuhan UNUEM
kepada kiai yang dianggap sebagai guru amat tinggi.
3. Tidak adanya kiai sebagai seorang yang disegani, karena dianggap
memiliki status dan kelas sosial yang lebih tinggi dan ditadzimkan,
telah menyebabkan ditinggalkannya prinsip-prinsip kesantunan dalam
komunikasi. Fenomena ini dapat memicu terjadinya konflik dalam
komunikasi, seperti terlihat pada percakapan berikut:

Data 6: Percakapan di rumah salah satu pengurus tamir masjid.


HT:Cara jhul belli ghnika tak saya s bn H. Anak menurut
syara, karna ghi bermasalah. Tamir jh bn sarobn
mell. Kng ghul yakin Tamir masjid nka tak bhkal
sambhrngan.

Cara jual beli tanah dengan H. Anak itu tidak sah


menurut syara, karena masih bermasalah. Tamir jangan
tergesa-gesa membeli. Tapi saya yakin bahwa tamir
Masjid tidak akan sembarangan membeli tanah itu

HM:Saporanah, mungghu aghmah bn pamarnta ampon


syah. Kaangguy lebbi jelas sa adabu dibi sareng jhi
Hrus.

Maaf, menurut hukum agama dan pemerintah sudah sah,


untuk lebih jelasnya, sebaiknya bapak berbicara sendiri
dengan pak Haji Herus.

HT : Kabl ka tamir, soro jh terros aghi.

Sampaikan kepada tamir, jangan diteruskan

HH: Ghulh s lebbi onng persoalan nka.

saya yang lebih mengetahui permasalahan ini


(Haryono, 2011)

Pernyataan HT Cara jhul belli ghnika tak sya Cara jual


beli itu tidak sah telah membuat tamir masjid tersinggung, karena
pernyataan tidak sah pada tuturan tersebut diterima partisipan tutur
(pengurus tamir masjid) sebagai ejekan bahwa tamir masjid tidak

8
memahami secara mendalam hukum syari. Oleh karena itu, HM
kemudian menjawab dengan kelimat penegasan mungghu aghma bn
pamarnta ampon saya menurut hukum agama dan pemerintah sudah
sah. Pernyataan tersebut tidak lain sebagai kalimat bantahan bahwa
tamir juga paham ilmu agama secara mendalam dan transaksi jual beli
itu tidak salah. Kondisi yang sudah memanas semakin diperparah
dengan pernyataan HT Kabl ka tamir soro jh terros aghi
katakan kepada tamir jangan diteruskan. Tuturan ini telah
memperpanas suasana karena kalimat larangan jangan diteruskan
mempertegas pernyataan tidak sah pada tuturan sebelumnya. Yang
lebih membuat emosi pengurus tamir yang lain adalah keberadaan HT
yang masih baru telah berani melarang orang yang sudah lama di
ketamiran masjid tersebut. Oleh karena itu, pernyataan HH Ghulh
s lebbi onng persoalan nka saya yang lebih paham terhadap
permasalahan ini tak lain sebagai kalimat sanggahan bahwa orang
yang lama akan lebih tahu dan memahami persoalan yang terjadi dan
juga sekaligus sebagai penegasan bahwa orang baru tidak boleh merasa
lebih tahu dan otoriter.
4. Dalam sistuasi tidak formal komunikasi antara UNUEM biasanya
menggunakan referens para ulama yang dikagumi sebagai bagian
strategi komunikasi. Partisipan tutur akan lebih antusias mendengarkan
apa yang disampaikan petutur, jika di sela-sela percakapannya
menceritakan ulama yang dikagumi sebagai bumbu dari apa yang
menjadi tujuan tutur. Hal ini sebagaimana tercermin dalam tuturan
berikut:
Konteks tuturan: Percakapan anggota Forsa sebelum acara formal
dimulai pada sore hari

Syt :K Basyir merehap jembatan, itu masih dalam keadaan


totop, tapi sudah bisa dilalui, Cuma dalam beberapa bulan
ditutup. Ketika sopirnya mau berangkat jemput K Waris,
K Basyir telepon sopirnya dagghi lebt Lat (nama
dusun), Engghi. Ketika K Waris onggh ka kendaraan
bad dabu dari K Basyir pakon lbt Lat. Kan
jembatannya masih diperbaiki? Abdina namung tarma
dabu, sakadinto. Ketika K Waris dalam perjalanan
samp di Berpnang ternyata sudah dipersiapkan jembatan
itu untuk K Waris. Katika K Waris samp dekat dalem, K
Waris acabis dimn ka K Basyir. Dua hari kemudian K
Basyir acabis ka K waris. Lho nga nkah terharu,

9
sobung ponapah mon nga nkah, d napah, d
tokaran.

Kiai Basyir merehab jembatan. Jembatan itu masih dalam


keadaan ditutup walaupun sebenarnya sudah bisa dilalui,
namun dalam beberapa bulan jembatan itu ditutup. Ketika
sopir Kiai Waris akan berangkat jemput Kiai Waris, Kiai
Basyir telpon sopirnya nanti Kiai Waris dibawa lewat Lat
(nama dusun)! Saya pak Kiai. Ketika Kiai Waris menaiki
kendaraan sopirnya mengatakan kalau ada pesan dari Kiai
Basyir disuruh lewat Lat Kan jembatannya masih
diperbaiki? Saya hanya menyampaikan pesan seperti itu.
Ketika Kiai Waris sampai di Sumberpinang ternyata
jembatan itu sudah dipersiapkan untuk Kiai Waris. Ketika
Kiai waris sampai di dekat kediaman Kiai Basyir, Kiai
Waris bersalaman dulu ke Kiai Basyir. Dua hari kemudian
Kiai Basyir datang ke Kiai Waris. Melihat seperti itu saya
terharu. Keharmonisan hubungan akan terjaga kalau seperti
itu, tidak akan ada konflik.

Tuturan Syt pada data di atas tentang kerendahan hati seorang kiai
yang ingin ikram (memuliakan) sesama pengasuh pesantren sebagai upaya
memberikan pemahaman kepada partisipan tutur tentang akhlak seorang
kiai pengasuh pesantren yang saling memuliakan satu sama lain. Kiai
Basyir yang diceritakan sengaja tidak membuka jembatan yang
direhabnya, tidak lain hanya agar Kiai Waris melewati jembatan tersebut
pertama kali. Hal itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada Kiai
Waris. Kiai Waris juga begitu, setelah sampai di depan Kiai Basyir beliau
nyabis berjabatan tangan duluan kepada Kiai Basyir. Besok harinya Ki
Basyir nyabis datang kekediaman Kiai Waris. Perilaku ini
menunjukkan bahwa antara kiai pengasuh pesantren saling memuliakan
dan saling bersilaturrahim menyambung tali kasih sayang. Pada tuturan
tersebut syt menyatakan Lho nga nka terharu, sobung ponapa mon
nga nka, d napa, d tokaran. Melihat seperti itu saya terharu,
keharmonisan akan terjaga kalau seperti itu tidak akan ada konflik.
Perilaku kedua kiai tersebut mengharukan, karena akan menimbulkan
keharmonisan hubungan dan akan terjaga dari konflik. Strategi
komunikasi tersebut bertujuan agar apa yang dilakukan oleh kedua kiai
pengasuh pesantren tersebut dicontoh oleh para santrinya khususnya dan
ummat NU pada umumnya.

10
Contoh-contoh data tersebut menggambarkan adanya keunikan
dan kekhasan kultur dalam kelompok warga NU di Jember yang tercermin
dalam fakta-fakta kebahasaannya. Pola-pola komunikasi yang digunakan
warga NU di Jember tidak terlepas dari kategori dan fungsi bahasa yang
tercermin dalam tuturan, bahasa dan pilihan bahasa yang digunakan,
tingkat tutur (ondhghn bhsa/speech level), alih giliran tutur, serta
simbol-simbol yang ditampakkan melalui gerakan-gerakan tubuh (body
language), dan intonasi (tone) sebagai aspek pendukung pemahaman
terhadap tindak tutur.
Pola-pola komunikasi tersebut tercermin ketika seorang yang status
sosialnya lebih rendah kepada orang yang status sosialnya lebih tinggi dan
sebaliknya; orang yang tidak mempunyai peran kepada orang yang
memiliki peran dalam masyarakat dan sebaliknya; orang yang tidak
mempunyai jabatan kepada orang yang mempunyai jabatan baik dalam
instansi ataupun dalam masyarakat dan sebaliknya; bawahan kepada
atasannya dan sebaliknya; dan Guru/Kiai kepada murid/santri dan
sebaliknya, orang muda berbahasa kepada yang lebih tua dan sebaliknya;,
serta bagaimana warga NU berkomunikasi dengan kelompok sosial yang
lain.
Kesalahan dalam penggunaan pola-pola komunikasi tersebut dalam
konteks warga NU merupakan masalah yang dapat menyebabkan
interpretasi yang negatif terhadap pemakainya. Mereka telah dianggap
melanggar konvensi dalam pemakaian bahasa yang berlaku di lingkungan
masyarakat tersebut sehingga dapat menyebabkan seseorang terisolasi dari
pergaulan dan bahkan akan menuai cercaan dan cacian di masyarakat.
Oleh karena itu, topik ini menarik dan amat penting untuk
diskusikan sebagai upaya menggali lebih mendalam fenomena-fenomena
kebahasaan yang terjadi dalam kelompok warga NU di Jember yang
sekaligus dapat memahami pola-pola pemakaian bahasanya. Melalui
penjelasan ini juga diharapkan dapat memberikan tambahan khasanah baru
bagi kajian linguistik yang berhubungan dengan konteks sosial dan budaya
komunitas tertentu (etnografi komunikasi), khususnya komunitas warga
NU. Rekomendasi penelitian ini juga diharapkan menjadi referensi bagi
warga NU dan kelompok lainnya dalam berkomunikasi sehingga dapat
mencegah terjadinya kegagalan komunikasi yang dapat mengakibatkan
kesenjangan hubungan dan konflik.

Kontribusi pada Bidang Ilmu


Buku ini diharapkan dapat memberikan dua kontribusi positif, yakni
kontribusi teoritis dan kontribusi praktis.

11
Dari segi teoritis buku ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
pengembangan teori dalam bidang sosiolinguistik khususnya dalam kajian
etnografi komunikasi yang berkaitan dengan pola komunikasi yang
digunakan oleh komunitas tertentu. Keunikan dan kekhasan penggunaan
kode-kode bahasa yang merupakan refleksi dari kultur pada kelompok
masyarakat tertentu telah membentuk keunikan dan kekhasan bahasa yang
digunakan. Hal ini perlu dideskripsikan agar dapat memperkaya teori-teori
dalam kajian etnografi komunikasi.
Dari segi praktis buku hasil penelitian ini diharapkan dapat
memperakaya bahan ajar etnografi komunikasi yang kini masih langka.
Selain itu rekomendasi hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi pihak
terkait dengan organisasi Nahdlatul Ulama untuk mengidentifikasi akar
masalah yang berkaitan dengan kegagalan komunikasi yang mungkin bisa
terjadi baik antarwarga NU sendiri, maupun antarwarga NU dengan mitra
tutur yang lain (di luar warga NU) yang berbeda kultur.

Pendalaman Materi
1. Dengan menggunakan media ICT, carilah informasi lebih detail tentang
fungsi dan peran bahasa sebagai alat komunikasi.
2. Berilah contoh-contoh data lain berikut penjelasannya tentang bahasa
yang digunakan oleh orang-orang berstatus sosial berbeda.
3. Mengapa orang-orang yang memiliki status dan kelas sosial berbeda
cenderung menggunakan variasi bahasa berbda ? Apakah itu bagian
dari strategi komunikasi ?
4. Jika anda seorang pimpinan suatu perusahaan, secara kebetulan di
perusahaan tersebut paman mertua anda menjadi bawahan. Bagaimana
anda seharusnya berbahasa dengan orang yang dihormati, sementara
anda menjadi atasan. Berilah contoh percakapan dengan menggunakan
bahasa etnik yang anda ketahui.

12
Bab 2
Mengenal Konsep dan Teori
Etnografi Komunikasi

Kompetensi dan Kajian Sebelumnya


Setelah belajar bab ini denagan baik, mahasiswa diharapkan
memiliki kompetensi sebagai berikut:
Memahami konsep etnografi komunikasi
Memahami pengertian pola komunikasi
Memahami penggunaan bahasa dalam komunikasi
Memahami fungsi-fungsi komunikatif bahasa
Memahami unsur-unsur yang mendukung kompetensi komunikatif
Memahami keterkaitan bahasa dan kebudayaan

Keunikan kultur komunitas masyarakat EM di Jember menjadi


salah satu alasan banyaknya para ahli tertarik untuk meneliti dan menulis
tantang warga masyarakat tersebut dengan kajian masalah dan sudut
pandang yang berbeda-beda. Namun demikian, penelitian yang objeknya
melibatkan warga NU dan menekankan pada kajian etnografi komunikasi
atau kajian yang menelaah penggunaan bahasa yang dihubungkan dengan
konteks sosial dan budaya, sepengetahuan penulis belum banyak
dilakukan. Adapun penelitian-penelitian dengan topik yang memiliki
kemiripan dalam hal objek atau kajiannya dengan topik penelitian dalam
buku ini adalah sebagai berikut:
Wahyuningsih dkk. (2004) meneliti dengan judul Sistem
Komunikasi di Pesantren Salaf Tempurejo. Penelitian ini menekankan
pada sistem komunikasi yang digunakan di dalam pesantren yang berlatar
belakang etnik Madura (EM), berbasis warga NU, dan tata cara
pengamalan keagamaannya menganut paradigma yang diberlakukan oleh
organisasi NU. Komunitas pesantren tersebut berasal dari EM, sehingga
bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi baik dalam situasi formal
maupun informal adalah bahasa Madura (BM). Penelitian tersebut
menghasilkan temuan bahwa sistem komunikasi yang digunakan di
lingkungan pesantren merupakan refleksi dari sistem komunikasi yang
berlaku di kalangan NU.
Wibisono (2005) penelitian desertasi berjudul Perilaku Berbahasa
Warga Kelompok Etnis Madura di Jember dalam Obrolan dengan Mitra
Tutur Sesama dan Lain Etnis. Penelitian tersebut menghasilkan temuan
penggunaan tingkat tutur (speech level) ketika EM berbahasa dengan
sesama etnis, dan lain etnis. Penelitian tersebut juga mencari faktor-faktor
yang menyebabkan penggunaan kode dan ragam bahasanya, baik dalam
berbahasa dengan sesama etnis maupun lain etnis. Namun, penelitian
tersebut tidak dihubungkan dengan kultur dalam organisasi keagamaan
khususnya NU, sehingga belum menyentuh karakteristik NU dan warga
NU secara khusus.
Setyowati (2005), kajiannya tentang pola komunikasi berjudul
Perkembangan Emosi Anak (Studi Kasus Penerapan Pola Komunikasi
Keluarga dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Emosi Anak pada
Keluarga Jawa). Kajian tersebut menghasilkan temuan penerapan pola
komunikasi keluarga sebagai bentuk interaksi antara orang tua dengan
anak maupun antaranggota keluarga memiliki implikasi terhadap proses
perkembangan emosi anak. Pola komunikasi yang demokratis dan
interaktif secara kultural pada akhirnya akan menentukan keberhasilan
proses sosialisasi pada anak. Proses sosialisasi menjadi penting karena
dalam proses tersebut akan terjadi transmisi sistem nilai yang positif
kepada anak. Sistem nilai dalam budaya Jawa yang disosialiasikan kepada
anak, banyak memberikan pengaruh positif terhadap pembentukan dan
perkembangan emosi anak.
Haryono (2006) penelitian tesisnya berjudul Pola Komunikasi di
Pesantren Salaf A di Jember. Penelitian ini menghasilkan temuan model
komunikasi yang diperagakan oleh komunitas salah satu pesantren salaf di
Jember. Namun, model-model komunikasi di pesantren salaf tersebut
hanya merupakan bagian kecil dari tradisi dan budaya NU yang ada di
masyarakat.
Sariono (2006) penelitiannya berjudul Pemilihan Bahasa dalam
Masyarakat Using: Studi Kasus pada Masyarakat Using di Kelurahan
Singotrunan, Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi.
Penelitian dengan kajian etnografi tersebut menghasilkan temuan pilihan
bahasa yang berupa alih kode dan campur kode, serta faktor-faktor penentu
pilihan kode dan alih kode yang digunakan oleh masyarakat tutur Using
Kelurahan Singotrunan.
Wibisono dan Haryono (2009) meneliti dengan judul Pola-Pola
Komunikasi Etnis Madura Pelaku Perkawinan Usia Dini (Kajian Etnografi
Komunikasi). Penelitian kajian etnografi komunikasi tersebut
menghasilkan temuan penjelasan ilmiah/akademis tentang pola-pola
komunikasi, faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan komunikasi, dan
penggunaan tingkat tutur EM pelaku perkawinan usia dini di Jember.
Budhiono (2010) kajiaannya (dalam artikel ilmiah Saweri Gading)
berjudul Orang Kaso: Sekelebat Tinjauan Etnografi Komunikasi

14
Terhadap Sebuah Komunitas Tutur. Kajian Etnografi tersebut
menyimpulkan bahwa orang Kaso merupakan sebuah komunitas unik yang
mempunyai paradigma tersendiri mengenahi bahasa, ujaran, dan makna
yang terkandung di dalamnya. Mereka berpendapat bahwa ujaran adalah
apa yang terdengar saja tanpa memperhitungkan anasir lain di
belakangnya.
Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian dan kajian lain
sebelumnya ada tiga hal yakni:
Pertama, penelitian dengan kajian etnografi komunikasi yang
dilakukan Sariono (2006) lebih menekankan pada pilihan bahasa, kode dan
alih kode pada masyarakat Using di Keluarahan Singotrunan Banyuwangi;
Budhiono (2010) menekankan pada bahasa ujaran dan maknanya yang
berlaku di masyarakat tutur orang Kaso. Kedua penelitian tersebut
objeknya bahasa etnik lain dan belum menyentuh pola komunikasi secara
komprehensif yang meliputi penggunaan tingkat tutur, kode dan alih kode
sebagai bentuk pilihan bahasa, tone (nada suara), body language, dan alih
giliran tutur yang merupakan perpaduan perilaku budaya warga etnik
Madura dan kultur pesantren berhaluan NU;
Kedua, kajian etnografi komunikasi Wibisono (2005) hanya
berobjek EM secara umum, artinya EM dari berbagai latar belakang, baik
dari segi tingkatan strata sosial, umur, maupun pendidikan, namun belum
menyentuh warga EM yang berlatar belakang warga NU. Begitu pula
kajian etnografi Wibisono dan Haryono (2009) hanya berobjek bahasa
komunitas EM pelaku perkawinan usia dini. Adapun penelitian ini lebih
menekankan pada bahasa kelompok WNUEM di Jember;
Ketiga, Pola Komunikasi yang diteliti Haryono (2006) dan sistem
komunikasi yang diteliti Wahyuningsih dkk. (2004) hanya menekankan
pada komunitas pesantren sementara kajian pola komunikasi yang ditulis
setyowati (2005) menekankan pada kajian ilmu komunikasi dengan objek
penelitian etnik Jawa. Adapun pada penelitian ini lebih menekankan pada
pola-pola yang tercermin dalam bahasa dan budaya WNUEM yang
merupakan akulturasi kultur pesantren yang berhaluan NU dan EM yang
hidup di masyarakat.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikemukakan bahwa sampai
saat ini belum ada penelitian dengan kajian etnografi komunikasi yang
secara khusus menelaah tentang pola komunikasi yang digunakan
WNUEM di Jember. Inilah yang menjadi alasan, penelitian ini menarik
dan perlu dilakukan.

15
Konsep Etnografi Komunikasi
Konsep dapat dijadikan sebagai dasar acuan awal dalam proses
suatu penelitian. Menurut KBBI konsep adalah rancangan dasar, ide,
pengertian, dan gambaran awal dari objek yang diabstrakkan dari peristiwa
konkret dan digunakan untuk memahami hal-hal lain dalam suatu
penelitian. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kridalaksana (2008:
117) bahwa konsep adalah gambaran awal dari objek penelitian yang
digunakan untuk memahami hal-hal lain dalam suatu penelitian. Paparan
konsep-konsep bisa bersumber dari pendapat para ahli, pengalaman
peneliti, dokumentasi, dan nalar yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti.
Untuk memahami konsep etnografi komunikasi, baik sebagai dasar
teori (ilmu) maupun sebagai studi riset, sebaiknya diawali dengan
pemahaman tentang aspek-aspek dasar yang mempengaruhi lahirnya
cabang ilmu linguistik tersebut. Aspek-aspek tersebut adalah bahasa,
komunikasi, dan kebudayaan, karena ketiga aspek tersebut yang tergambar
dalam kajian etnografi komunikasi.
Studi etnografi komunikasi tidak lain merupakan salah satu bentuk
penelitian kualitatif (paradigma interpretatif dan alamiah), yang
mengkhususkan pada penemuan berbagai pola komunikasi yang digunakan
manusia dalam suatu masyarakat tutur (Saville-Troike, 2003: 2-3). Tentu
saja penemuan berbagai pola komunkasi tersebut didasarkan pada analisis
komponen tutur yang dipengaruhi tiga aspek penting yang mendasari
pemolaan komunikasi yaitu: linguistik, interaksi sosial, dan kebudayaan.
Memahami pola komunikasi yang hidup dalam suatu masyarakat
tutur, atau masyarakat yang memiliki kaidah yang sama untuk
berkomunikasi, akan memberikan gambaran umum regularitas dari
perilaku komunikasi masyarakat tersebut. Dari pola tersebut juga dapat
diketahui bagaimana unit-unit komunikatif dari suatu masyarakat tutur
diorganisasikan, dipandang secara luas sebagai cara-cara berbicara, dan
bersama dengan makna, menurunkan makna dari aspek-aspek kebudayaan
yang lain.
Ketika seseorang sedang berkomunikasi dengan rekan kerjanya akan
spontan mengubah gaya komunikasinya lantaran seorang atasannya
menghampirinya. Kita sering tidak menyadari, suara (tone), lafal maupun
gerak-gerik telah berubah-ubah, ketika menghadapi bayi, anak kecil, orang
sebaya, orang tua, dan bahkan kekasih kita. Seseorang tentu tidak
menggunakan kalimat perintah, ketika yang dihadapi orang lebih tua dan
dihormati. Misalnya, Ibu sudah punya buku ini? Seraya menunjukkan buku
yang diharapkan dibelinya. Kalimat tersebut bentuknya kalimat tanya,
namun fungsinya kalimat perintah atau permintaan agar ibu tersebut
16
membeli buku itu. Hubungan bentuk dan fungsi komunikasi inilah yang
dalam kajian etnografi komunikasi disebut sebagai contoh pemolaan
komunikasi (communication patterning).
Studi etnografi komunikasi adalah pengembangan dari antropologi
linguistik yang dipahami dalam konteks komunikasi. Studi ini
diperkenalkan pertama kali oleh Hymes pada tahun 1964, sebagai kritik
terhadap ilmu linguistik yang terlalu menfokuskan diri pada fisik bahasa
saja (Kuswarno, 2008: 11).
Etnografi komunikasi juga dikenal sebagai salah satu cabang ilmu
antropologi, khususnya turunan dari etnografi berbahasa (ethnography of
speaking). Disebut etnografi komunikasi karena Hymes (1964a: 1-2)
beranggapan bahwa yang menjadi kerangka acuan untuk memberikan
tempat bahasa dalam suatu kebudayaan haruslah difokuskan pada
penggunaan bahasa dalam komunikasi, bukan hanya pada internal bahasa
itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan, bahasa bisa hidup dalam
komunikasi, bahasa tidak akan bermakna jika tidak digunakan dalam
komunikasi.
Hymes (1964a: 4) mendefinisikan ethnography of speaking sebagai
gabungan dari etnologi dan linguistik, suatu kajian yang menyangkut
situasi, penggunaan, pola, dan fungsi berbicara sebagai suatu aktivitas
tersendiri. Pada perkembangannya, Hymes mengubah istilah
pendekatannya itu dari ethnography of speaking menjadi ethnography of
communication. Semenjak itu pendekatan Hymes ini semakin dikenal luas
dan diakui sebagai suatu kajian yang penting dalam memandang perilaku
komunikasi manusia yang berhubungan erat dengan kebudayaan
(Kuswarno, 2008: 13).
Secara singkat dapat dikatakan, etnografi komunikasi merupakan
pendekatan terhadap sosiolinguistik bahasa, yaitu melihat penggunaan
bahasa secara umum dihubungkan dengan nilai-nilai sosial dan kultural.
Dengan demikian, tujuan deskripsi etnografi adalah untuk memberikan
pemahaman global mengenai pandangan dan nilai-nilai suatu masyarakat
sebagai cara untuk menjelaskan sikap dan perilaku anggota-anggotanya.
Dengan kata lain etnografi komunikasi menggabungkan sosiologi (analisis
interaksional dan identitas peran) dengan antropologi (kebiasaan pengguna
bahasa dan filosofi yang melatarbelakanginya) dalam konteks komunikasi,
atau ketika bahasa itu dipertukarkan.
Hymes (1964a); Saville-Troike (2003: 1-3) mengemukakan bahwa
ruang lingkup kajian etnografi komunikasi adalah sebagai berikut: (1) Pola
dan fungsi komunikasi (Patterns and function of communication); (2)
Hakikat dan definisi masyarakat tutur (nature and definition of speech
community); (3) Cara-cara berkomunikasi (means of communication); (4)

17
Komponen-komponen kompetensi komunikatif (components of
communicative competence); (5) Hubungan bahasa dengan pandangan
dunia dan organisasi sosial (relationship of language to world view and
social organization); dan (6) Semesta dan ketidaksamaan linguistik dan
sosial (linguistic and social universals and inqualities) (periksa juga
Kuswarno, 2008: 14).

Pola Komunikasi
Telah diakui bahwa perilaku linguistik ditentukan oleh kaidah
(rules) yaitu, mengikuti pola-pola dan kaidah-kaidah yang diformulasikan
secara deskriptif sebagai aturan (Sapir, 1994; Savielle-Troike, 2003: 10).
Dengan demikian, bunyi-bunyi (sounds) harus dihasilkan dalam bahasa
yang spesifik (language specific), tetapi urutan kaidah jika
diinterpretasikan sebagai kehendak penutur; pesan dan bentuk kata yang
mungkin dalam suatu kalimat ditentukan oleh kaidah grammatika; dan
bahkan definisi wacana yang tersusun dengan baik (well-constructed
discourse) ditentukan oleh kaidah retorika budaya yang spesifik (culture-
sopesific rules of rhetoric) (Hymes, 2000: 314; Saville-Troike, 2003: 10).
Didasarkan pada pendapat di atas, konsep pola komunikasi dapat
didefinisikan sebagai model-model interaksi penggunaan kode bahasa
yang didasarkan pada hubungan-hubungan yang khas dan berulang
antarkomponen tutur yang dipengaruhi oleh aspek-aspek linguistik,
interaksi sosial, dan kultural. Pola komunikasi tersebut dapat berupa
kategori dan fungsi bahasa yang tercermin dalam tuturan, penggunaan
tingkat tutur (ondhghn bhsa/speech level), pilihan bahasa dan ragam
bahasa sebagai wujud alih kode dan campur kode, intonasi (tone), dan
simbol-simbol yang ditampakkan melalui gerakan-gerakan tubuh (body
language) sebagai aspek pendukung pemahaman terhadap tindak tutur
yang terjadi dalam bahasa verbal, serta alih giliran tutur.
Hubungan bentuk dan fungsi merupakan contoh pemolaan
komunikatif (communicative patterning) dalam dimensi yang berbeda-
beda. Misalnya, bertanya kepada seseorang apakah seseorang mempunyai
rokok segera disadari sebagai permintaan daripada sekedar pertanyaan
yang memerlukan informasi. Begitu pula, ketika seseorang bertanya:
Punya uang? yang disampaikan dengan nada landai dan santun, maka
segera direspon oleh partisipan tutur dengan jawaban butuh berapa? atau
untuk beli apa? ini berarti bahwa seseorang akan pinjam atau meminta
uang. Dalam kelompok masyarakat NU di Jember pemakaian dan fungsi
bahasa, penggunaan tingkat tutur, alih giliran berbicara, intonasi (tone),
bentuk-bentuk pilihan bahasa serta penggunaan gaya bahasa dalam
konteks tuturan tertentu merupakan bentuk pola komunikasi.
18
Pemolaan (Patterning) terjadi pada semua tingkat komunikasi:
masyarakat, kelompok, dan individu (periksa, Hymes, 1961: 59). Pada
tingkat masyarakat, komunikasi biasanya berpola dalam bentuk-bentuk
fungsi, kategori ujaran (categories of talk), sikap, serta konsepsi tentang
bahasa dan penutur. Komunikasi juga berpola menurut peran dan
kelompok tertentu dalam suatu masyarakat seperti, jenis kelamin, usia,
status sosial, dan jabatan: misalnya, seorang guru memiliki cara-cara
berbicara yang berbeda dengan ahli hukum, dokter, atau salesmen
asuransi. Cara berbicara juga berpola menurut tingkat pendidikan, tempat
tinggal perkotaan atau pedesaan, wilayah geografis, dan ciri-ciri kelompok,
serta organisasi sosial yang lain (Saville-Troike, 2003: 11).
Berikutnya yang terakhir, komunikasi berpola pada tingkat individu,
pada tingkat ekspresi dan interpretasi kepribadian. Pada tataran faktor-
faktor emosional seperti kegemetaran memiliki dampak fisiologis pada
mekanisme vokal, faktor-faktor emosional ini tidak dipandang sebagai
bagian dari komunikasi, tetapi banyak simbol konvensional yang
merupakan bagian dari komunikasi terpola.
Persepsi individu sebagai lancar bicara atau grogi (voluble or
taciturn) juga berada dalam terminologi norma kebudayaan, dan bahkan
ekspresi rasa sakit dan tertekan biasanya juga terpola secara kultural
(Saville-Troike, 2003: 12). Seperti, ketika seorang santri menghadap kiai
yang terjadi adalah kegrogian yang disebabkan status sosial berbeda, rasa
hormat, dan patuh yang amat mendalam kepada seorang guru, tetapi
hubungan sesama santri menjadi lancar berbicara lantaran mereka
memiliki status sosial yang sama dan penuh keakraban dalam hubungan
personal.
Kalau kita cermati secara seksama pada tingkat masyarakat,
kelompok, dan individu memiliki pola sendiri-sendiri dalam
berkomunikasi. Namun demikian, terdapat benang merah keterkaitan
hubungan yang tidak dapat dipisah antara tingkat-tingkat itu, dan juga
antarsemua pola kebudayaan. Sebaiknya ada topik umum yang
menghubungkan pandangan dunia (world view) yang hadir dalam berbagai
aspek kebudayaan, seperti hal ini, akan dimanifestasikan pada cara
berbicara sebagaimana terdapat dalam kepercayaan dan sistem nilai.
Konsep hirarki kontrol tampaknya bersifat menyebar dalam beberapa
kebudayaan dan haruslah paling awal dipahami untuk menjelaskan
batasan-batasan dalam bahasa tertentu seperti kepercayaan agama dan
organisasi sosial (Saville-Troike, 2003: 12).
Perhatian terhadap pola merupakan dasar antropologi dengan
interpretasi makna dasar yang tergantung pada temuan dan diskripsi
struktur serta desain normatif. Penekanan yang lebih pada proses interaksi

19
dalam menghasilkan pola-pola perilaku memperluas perhatian kajian
etnografi komunikasi sampai pada penjelasan dan diskripsi linguistik,
aspek-aspek sosial, dan norma-norma kebudayaan.

Penggunaan Bahasa dalam Komunikasi


Para ahli tata bahasa formal, ahli sejarah linguistik, dan bahkan para
ahli sosiolinguistik seringkali menginterpretasikan "penggunaan bahasa"
dalam pemahaman yang sempit, seperti tindakan yang sebenarnya
merupakan refleksi dari pengujaran-pengujaran tertentukata-kata
ataupun suara yang dilakukan oleh penutur tertentu pada waktu dan
tempat tertentu (Lyons, 1972). Oleh karena itu, tujuan para ahli
sosiolinguistik untuk barasumsi bahwa pola-pola variasi berdasarkan
contoh yang sistematis dari "penggunaan" yang lebih atau kurang
terkontrol (atau actes de parole), merupakan pengaruh dari pemahaman
yang sempit (periksa Duranti, 1998: 212).
Maksud penggunaan bahasa ini secara tegas dikaitkan dengan sudut
pandang sosiolinguistik yang hanya sebagai suatu metodologi yang
berbedasuatu cara yang berbeda dalam memperoleh data daripada yang
biasa dilakukan oleh para ahli tata bahasa formal (Labov, 1972: 259).
Dalam pandangan ini, ahli sosiolinguistik digambarkan sebagai seseorang
yang menolak untuk menerima atau menguji intuisi-intuisi linguistik dan
mereka lebih menyukai tape-recorder sebagai alat untuk mengumpulkan
data daripada tuturan yang sebenarnya. Walaupun para ahli tata bahasa
formal telah menerima signifikansi sosial dari penelitian sosiolinguistik,
namun banyak di antara mereka yang belum mampu melihat
signifikansinya dari sudut pandang teori gramatikal (Chomsky, 1977: 55).
Apa yang tidak tampak di sini adalah realisasi oleh para ahli tata bahasa,
dan kemampuan para ahli tata-sosiolinguistik untuk meyakinkan bahwa
deskripsi struktural dari bentuk-bentuk linguistik hanya berguna dan
menarik tetapi secara konsisten kurang ada beberapa segi yang sangat
penting, yaitu tentang apa yang membuat bahasa itu begitu berharga bagi
manusia, yaitu kemampuan bahasa untuk memfungsikan "dalam konteks"
sebagai alat refleksi dan aksi atas dunia. Apa yang disebut "model-model
kognitif" terletak pada asumsi bahwa mungkindan kenyataannya
dianjurkan agar memiliki sebuah teori untuk menjelaskan tingkah laku
manusia melalui aturan-aturan konteks-independen. Akan tetapi, sekarang
kita akan tahu bahwa segi-segi yang dikontekstualisasikan menemukan
objek-objek dan memberikan analisis-analisis yang secara kualitatif
berbeda dengan yang dilakukan oleh pelaku-pelaku sosial. Penggunaan
intuisi-intuisi dalam linguistik serta dalam tingkah laku metalinguistik

20
dapat dipandang sebagai kemampuan individu untuk merekonstruksi
informasi kontekstual (Duranti, 1998: 213).
Jadi, bagi ahli Ethnografi Komunikasi (EK), serta para peneliti lain
dalam bidang ilmu pengetahuan sosial pada umumnya, penggunaan bahasa
harus diinterpretasikan sebagai penggunaan kode-kode (symbol) linguistik
dalam tingkah laku kehidupan sosial. EK adalah penyatuan "suatu bahasa",
yang merupakan sebuah ilusidan seseorang harus lebih melihat pada
konteks khusus dari penggunaan bahasa, agar dapat menerangkan
bagaimana simbol-simbol linguistik dapat berfungsi sebagaimana
mestinya. Melihat begitu pentingnya interaksi antara kemampuan bertutur
dan tindakan sosial, sehingga metodologi dan cara menulis yang
dikembangkan untuk mempelajari penggunaan referensial (atau denotasi)
dari kemampuan berbicara belum mencakup aspek fungsi sosialnya
(Silverstein, 1977). Istilah pertuturan diperkenalkan oleh Hymes (1961)
untuk menekankan aspek yang berorientasi pada praktis (kebiasaan yang
dapat diterima) dari kode linguistik. Oleh karena itu, pertuturan harus
dianggap sebagai suatu bentuk tugas manusia yang secara filogenitis dan
ontogenitis merupakan bentuk yang paling kuat dari tingkah laku
kooperatif (Duranti, 1998: 213).
Oleh karena itu, kepedulian terhadap penggunaan bahasa tidak
hanya berupa komitmen metodologi dalam mendapatkan apa yang
sebenarnya dikatakan oleh penutur dalam berbagai macam konteks, akan
tetapi juga konsekuensi ketertarikan terhadap sesuatu yang dilakukan oleh
penutur dengan bahasa tersebut, baik dengan suka maupun tidak suka,
sadar maupun tidak sadar, langsung maupun tidak langsung. Pada
khususnya, para ahli EK peduli dengan karya yang dilakukan oleh dan
melalui bahasa dalam (1) membentuk, menentang, dan menciptakan
kembali identitas sosial dan hubungan sosial; (2) menjelaskan pada yang
lainnya termasuk kita sendiri mengapa dunia seperti ini dan apa yang dapat
dan seharusnya dilakukan untuk mengubahnya; (3) memberikan kerangka
bagi peristiwa-peristiwa pada tingkat sosial maupun individual; dan (4)
membuka penghalang-penghalang fisik, politik, dan budaya. Di antara
beberapa bidang penelitian ini juga diteliti dalam pragmatik (Levinson,
1983: 1-4).
Yang biasanya membedakan pendekatan etnografi komunikasi
dengan analisis pragmatik sebagai dua pendekatan yang berusaha
menelaah bahasa yang digunakan dalam konteks tertentu adalah Etnografi
komunikasi memiliki kepedulian yang lebih kuat terhadap konteks sosial-
budaya penggunaan bahasa, dengan hubungan khusus antara bahasa dan
sistem-sistem lokal ilmu pengetahuan dan tatanan sosial (antropologi), dan
kurangnya komitmen terhadap relevansi cara penulisannya terhadap

21
penggunaan kemampuan bertutur yang strategis dalam interaksi sosial dan
digunakannya analisis komponen tutur yang diformulasikan dalam
SPEAKING-gird. Adapun Pragmatik lebih menekankan pada studi tentang
makna yang dikehendaki oleh penutur dan yang diterima (diinterpretasi)
oleh petutur (partisipan tutur, lawan tutur, mitra tutur) dengan
memperhatikan hubungan dengan situasi ujar (speech situations) dan
menggunakan perangkat analisis PK ( Grice, 1975: 45-46) yang dirinci ke
dalam 4 maksim (Quality, Quantity, Relation/Relevance, Manner) dan PS
(Prinsip kesantunan dalam berbahasa) sehingga dalam kajian pragmatik
fokus pengkajian sering mengaitkan implikatur, presupposisi, dan
inferensi.
Namun demikian, kita tidak perlu terlalu jauh mempersoalkan
perbedaan kedua pendekatan tersebut, karena keduanya saling mendukung
dan mimilki keterkaitan satu sama lain sebagai pendekatan yang mengkaji
pemakaian bahasa dalam konteks sosial budaya masyarakat tutur tertentu.

Fungsi-fungsi Komunkatif Bahasa


Pada tingkat masyarakat, bahasa banyak memerankan banyak
fungsi. Fungsi bahasa yang paling utama di antaranya adalah
mencipatakan batasan, menyatukan para penuturnya sebagai anggota
sebuah masyarakat tutur, dan mengesampingkan outsider dari komunikasi
intrakelompok. Banyak bahasa juga berfungsi sebagai identifikasi sosial di
dalam suatu masyarakat dengan memberikan indikator-indikator linguistik
yang bisa digunakan untuk mendorong adanya stratifikasi sosial (Ibrahim
1994: 15).
Pada tingkat individu dan kelompok yang berinteraksi dengan pihak
lain, fungsi-fungsi komunikasi secara langsung berkaitan dengan tujuan
dan kebutuhan partisipan (Hymes; 1972). Hal ini menyangkut kategori
fungsi ekspresif (menyampaikan perasaan atau emosi), fungsi direktif
(memohon atau memerintah), referensi (isi proposisi benar atau salah),
poetik (estetika), fatik (empati dan solidaritas), dan metalinguistik
(referensi pada bahasa itu sendiri) (periksa Ibrahim, 1994: 15).
Kategori fungsi tersebut sama dengan kelas illocutionary act Searly
(1985: 54) (representatif, direktif, komisif, ekspresif, deklarasi), tetapi
terdapat perbedaan dalam perspektif dan skop yang memisahkan bidang
etnografi komunikasi (ethnography of communication) dengan teori tindak
tutur (speech act theory) dalam pragmatikdiantaranya adalah berfokus
pada bentuk, dengan tindak tutur hampir selalu bersifat koterminus dengan
kalimat-kalimat dalam analisis. Bagi etnografer, perspektif fungsional
memiliki prioritas dalam deskripsi, sementara fungsi bisa bertepatan
(coincide) dengan urutan gramatikal tunggal, atau sebuah kalimat dapat
22
memerankan beberapa fungsi secara simultan. Lebih lanjut, kalau para
teoris tindak tutur dan para pragmatisi secara umum menyisihkan
penggunaan bahasa metaforis dan fatik sebagai pertimbangan dasar, hal ini
menjadi fokus utama deskripsi etnografi. Komunikasi fatik menyampaikan
pesan, tetapi tidak menyampaikan makna (Saville-Troike, 2003: 13)
Perbedaan antara maksud fungsional penutur dan pengaruh aktual
yang dimiliki para pendengar merupakan bagian konsep relativitas
fungsional (fungtional relativity) (Hymes 1972b: 271). Keduanya relevan
untuk deskripsi dan analisis peristiwa komunikasi. Sementara banyak
fungsi bahasa bersifat universal, cara bagamana komunikasi beroperasi
dalam satu masyarakat untuk memerankan fungsi-fungsi yang bersifat
spesifik bahasa. Status relatif penutur bisa dipandang melalui pilihan
bentuk pronominal dalam satu bahasa; dalam bahasa yang lain dengan
jarak mereka berdiri atau posisi tubuh mereka pada saat berbicara; dan
antara bilingual, bahkan dengan pilihan bahasa mana yang akan digunakan
dalam menyapa satu sama lain (Ibrahim 1994: 17).
Fungsi-fungsi bahasa memberikan dimensi primer untuk
mengkarakterisasi dan mengorganisasikan proses komunikatif dan produk
dalam masyarakattanpa memahami penggunaan bahasa dalam
masyarakat sebagaimana mestinya, dan konsekuensi-konsekuensi dari
penggunaan bahasa itu, sulit kiranya untuk dapat memahami maknanya
dalam konteks interaksi sosial.

Kompetensi Komunikatif
Kompetensi Komunikatif (KK) merupakan istilah Hymes (1972b:
276) bahwa penutur yang bisa menghasilkan kalimat gramatikal suatu
bahasa yang didasarkan pada definisi kompetensi linguistik Chomsky
(1965) akan terinstitusionalisasi apabila mereka mencoba melakukannya
(periksa Duranti, 2000: 215).
Kompetensi komunikatif melibatkan pengetahuan tidak saja
mengenahi kode bahasa, tetapi juga apa yang akan dikatakan kepada siapa,
dan bagaimana mengatakannya secara benar dalam situasi tertentu.
Kompetensi komunikatif berkenaan dengan pengetahuan sosial dan
kebudayaan yang dimiliki penutur untuk membantu mereka menggunakan
dan menginterpretasikan bentuk-bentuk linguistik.
Kenyataan bahwa seorang anak yang normal belajar tentang susunan
kalimat, tidak hanya tata bahasanya, tetapi juga belajar tentang kesesuaian
pemakaiannya dalam konteks tertentu. Dia belajar kompetensi tentang
kapan dia berbicara dan kapan tidak berbicara, dan apa yang dibicarakan,
dengan siapa, kapan, dimana, dan bagaimana caranya. Pendek kata,
seorang anak dengan kemampuan bertuturnya menjadi mampu
23
mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain, menirukan lagu-lagu,
bermain peran (roleplay) dengan menirukan seseorang yang berperan
sebagai dokter dan pasien, pembeli dan penjual, dan sebagainya.
Di samping itu, KK merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dengan sikap, nilai, dan motivasi yang berkenaan dengan bahasa, sisi-sisi,
dan penggunaannya, serta tidak dapat dipisahkan dengan kompetensi untuk
menentukan sikap terhadap interrelasi bahasa dengan kode-kode dan
simbol-simbol lain dari tindakan komunikatif (Hymes, 1972b: 277-278).
Pembahasan tentang kompetensi komunikatif dan kompetensi
linguistik (gramatikal) biasanya berkisar di antara dua pokok persoalan,
yaitu: (1) perlunya menyertakan deskripsi gramatikal dengan kondisi-
kondisi yang sesuai, (2) perimbangan antara kode gramatikal (atau
linguistik) dengan aspek-aspek lain seperti gerakan tubuh, tatapan mata,
dan sebagainya (Duranti, 2000: 215).
Kompetensi komunikatif meliputi baik pengetahuan dan harapan
tentang siapa yang bisa atau tidak bisa berbicara dalam setting tertentu,
kapan mengatakannya dan bilamana harus tetap diam, siapa yang diajak
bicara, bagaimana seseorang berbicara kepada orang yang status perannya
berbeda, perilaku non verbal apakah yang sesuai untuk berbagai konteks,
rutin apakah yang terjadi untuk alih giliran dalam percakapan, bagaimana
menawarkan bantuan dan kerjasama, bagaimana meminta dan memberi
informasi, bagaimana menegakkan disiplin dan sebagainya (Saville-
Troike, 2003: 18)
Ternyata, perbedaan utama antara pemikiran Chomsky dan Hymes
tentang kompetensi adalah: Chomsky mengandalkan asumsi yang
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dapat dipelajari secara terpisah
dengan tindakan, yang diartikan sebagai implementasi dari ilmu
pengetahuan tersebut dalam penggunaan bahasa, sedangkan bagi Hymes,
partisipasi, penampilan, dan ilmu pengetahuan intersubjektif secara
keseluruhan merupakan segi-segi yang sangat penting sebagai
kemampuan untuk "mengetahui sebuah bahasa" (Saville-Troike, 2003: 18).
Kita semua tahu bahwa sebagian besar dari hasil karya yang
dilakukan oleh Chomsky dan murid-muridnya didasarkan pada
kemampuannya untuk menemukan (yaitu membayangkan) konteks yang
sesuai dalam mengujarkan jenis-jenis ujaran tertentu. Walaupun ada
asumsi teoritis tentang aspek-aspek tertentu dalam tata bahasa yang
dianggap sebagai kognitif murni, akan tetapi definisi yang sebenarnya dari
aspek-aspek semacam itu terletak pada kemungkinan dalam memadukan
kalimat-kalimat dengan dunia yang sebenarnya, yang pada gilirannya
disusun berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh para ahli bahasa
tentang dunia di mana mereka tinggal (Duranti, 1998: 216).

24
KK mengacu pada pengetahuan dan ketrampilan untuk penggunaan
dan interpretasi bahasa yang tepat secara kontekstual dalam suatu
masyarakat. Oleh karena itu, KK mengacu pada pengetahuan dan
ketrampilan komunikatif yang sama-sama dimiliki oleh kelompok tertentu
(seperti aspek-aspek lain dalam suatu kebudayaan), meskipun hal ini
sangat bervariasi dalam anggota-anggota kelompok yang melibatkan
individu-individu yang berbeda. Hakekat kompetensi individu itu
merefleksikan hakekat bahasa itu sendiri. (Saville-Troike, 2003: 14)
Perbedaan lintas budaya bisa dan memang menghasilkan konflik-
konflik atau menyebabkan kegagalan komunikasi. Misalnya, masalah-
masalah seperti tingkat bunyi bisa berbeda secara lintas budaya, dan
maksud penutur bisa dipahami secara salah karena perbedaan pola harapan
dan interpretasi.
Oleh karena itu, KK seharusnya dimasukkan dalam konsep
kompetensi kebudayaan (cultural competence), atau keseluruhan
pengetahuan dan keterampilan yang dibawa dalam suatu situasi.
Pandangan ini konsisten dengan pendekatan semiotik yang mendefinisikan
kebudayaan sebagai makna, dan memandang semua etnografer
berhubungan dengan simbol (periksa Geertz, 1973;). Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa sistem kebudayaan merupakan pola simbol, dan
bahasa merupakan salah satu sistem simbol dalam kerangka ini.
Interpretasi makna linguistik menghendaki pengetahuan makna di mana
perilaku linguistik itu ditempatkan (periksa juga Ibrahim, 1994: 28).
Outline berikut ini meringkas rentang pengetahuan yang harus
dimiliki penutur untuk bisa berkomunikasi secara tepat. Dari perspektif
etnografer, ini juga menunjukkan rentang fenomena linguistik,
interaksional, dan kultural yang harus diberi perhatian dalam suatu
deskripsi dan penjelasan komunikasi yang memadai. Berikut ini
merupakan komponen-komponen kompetensi komunikasi:
1. Pengetahuan Linguistik (linguistik knowledge)
a. Elemen-elemen verbal;
b. Elemen-elemen nonverbal;
c. Pola elemen-elemen dalam peristiwa tutur tertentu;
d. Rentang varian yang mungkin (dalam semua elemen dan
pengorganisasian elemen-elemen itu)
e. Makna varian-varian dalam situasi tertentu.
2. Keterampilan interaksi (interaction skills)
a. Persepsi ciri-ciri penting dalam situasi komunikatif;
b. Seleksi dan interpretasi bentuk-bentuk yang tepat untuk situasi,
peran dan hubungan tertentu (kaidah untuk penguna ujaran);
c. Norma-norma interaksi dan interpretasi;
25
d. Strategi untuk mencapai tujuan.
3. Pengetahuan kebudayaan (cultural knowledge)
a. Struktur sosial
b. Nilai dan sikap;
c. Peta/skema kognitif
d. Proses enkulturasi (transmisi pengetahuan dan keterampilan)
(Saville-Troike, 2003: 20)

Dari Outline di atas, dapat disarikan bahwa kompetensi


komunikatif mengacu pada pengetahuan dan keterampilan untuk
penggunaan dan interpretasi bahasa yang tepat secara kontekstual dalam
suatu masyarakat, maka kompetensi komunikatif mengacu pada
pengetahuan dan keterampilan komunikatif yang sama-sama dimiliki oleh
kelompok-kelompok tertentu, meskipun hal ini bervariasi dalam anggota-
anggotanya secara individual.

Bahasa dan Kebudayaan


Keunikan tradisi dan budaya masyarakat suatu etnik berakibat
terbentuknya keunikan bahasa yang dipakai dalam berkomunikasi. Ini
menunjukkan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan.
Menurut Kramsch (2009: 3) ada tiga hal mengapa bahasa dan budaya tidak
dapat dipisahkan satu sama lain: pertama, language expreses cultural
reality (bahasa mengekspresikan realitas budaya); kedua, language
embodies cultural reality (bahasa sebagai penjelmaan realitas budaya); dan
Ketiga, language Symbolizes cultural reality (bahasa sebagai simbol
realitas budaya).
Sebagai ekspresi realitas budaya para penuturnya, bahasa
seseorang diucapkan mengacu pada pengalaman yang pernah mereka lalui.
Mereka menyatakan fakta, gagasan, atau peristiwa yang dapat
disampaikan, sebab mereka mengacu pada pengetahuan tentang dunia
(world view) yang orang lain juga memahami. Kata-kata juga
mencerminkan kepercayaan dan sikap mereka, sisi pandangan mereka.
Pandangan ini dipertegas pernyataan Wijana (2004) yang menyatakan
bahwa setiap bahasa merupakan medium ekspresi kolektif yang unik dan
khas. Sejumlah elemennya yang terlihat khas merefleksikan budaya
masyarakat penuturnya.
Berkaitan dengan budaya sebagai penjelmaan realitas budaya para
penuturnya menunjukkan bahwa jarang sekali anggota masyarakat atau
kelompok sosial tidak menyatakan pengalamannyamereka juga
menuliskan dan mengungkapkan pengalamannya melalui media bahasa.
Mereka menyatakan maksud dan tujuannya melalui medium itu, yang
26
mereka pilih untuk berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Hal ini
dipertegas dengan pernyataan Hofstede (1994) bahwa setiap orang dalam
dirinya membawa pola pikir, perasaan, dan perilaku yang dipelajari
sepanjang hidup mereka.
Bahasa itu menyimbolkan kenyataan budaya. Ini menunjukkan
bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda, yang didalamnya terdapat nilai-
nilai budaya. Para pembicara mengidentifikasi diri mereka dan orang lain
dengan menggunakan bahasa merekamereka memandang bahasa
mereka sebagai sebuah simbol identitas sosial mereka.
Hubungan intrinsik bahasa dan kebudayaan (language & culture)
sudah diketahui secara mendalam. Hal tersebut dilihat dari pemolaan
perilaku komunikatif dan sistem kebudayaan yang merupakan hubungan
yang amat penting dalam pengembangan teori umum komunikasi, dan
deskripsi serta analisis komunikasi di dalam masyarakat tutur yang
spesifik. Konsep evolusi kebudayaan tergantung pada kemampuan
manusia dalam menggunakan bahasa untuk tujuan pengorganisasian
kerjasama sosial (Saville-Troike, 2003: 27-28).
Terdapat korelasi antara bentuk dan isi bahasa dengan
kepercayaan, nilai, dan kebutuhan saat ini dalam kebudayaan para
penuturnya. Kosa kata bahasa memberi kita suatu katalog mengenahi hal-
hal yang penting bagi masyarakat, yang merupakan suatu indeks bagi para
penutur untuk mengkategorikan pengalaman-pengalaman yang pernah
mereka laluidan seringkali merupakan catatan yang berhubungan
dengan masa lalu dan kebudayaan yang dimiliki. Gramatika bisa
menunjukkan bagaimana waktu disegmentasikan dan diorganisasikan
menurut kepercayaan tentang kekuatan makhluk hidup dan kategori-
kategori sosial yang penting dalam kebudayaan (culture) (Saville-Troike,
2003: 28)
Hymes (1966b: 116) mengemukakan bahwa tipe kedua relativitas
linguistik yang memandang bukti garammatika tidak saja merupakan
kategori sosial yang statis, tetapi juga asumsi sosial para penutur
mengenahi dinamika hubungan peran, dan mengenahi hak-hak dan
tanggung jawab yang dipersepsi dalam masyarakat. Sementara tipe-tipe
relativitas linguistik pertama mengklaim bahwa realitas kebudayaan
sebagian merupakan hasil dari faktor-faktor linguistik. Lebih lanjut Hymes
mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki pengalaman kebudayaan
yang berbeda cenderung akan melakukakan sistem dan pola komunikasi
yang berbeda, karena nilai-nilai kebudayaan dan kepercayaan merupakan
bagian dari relativitas linguistik.
Keterkaitan pola dalam berbagai aspek kebudayaan terlalu luas
untuk bisa disebut tema (themes), atau prinsip-prinsip organisasi sentral

27
yang mengontrol perilaku. mencontohkan konsep ini dengan tema
Apache mengenahi superioritas pria, yang juga direalisasikan dalam pola
komunikasi maupun domain religius dan politik. Dalam pertemuan-
pertemuan suku, misalnya hanya beberapa wanita tua saja yang
diperkenankan berbicara sebelum kesemua pria terdengar suaranya, dan
merupakan hal yang tidak biasa bagi wanita untuk berdoa keras di muka
umum (Saville-Troike, 2003: 28).
Jika directness dan indirectness (langsung atau tidak langsung)
merupakan tema kebudayaantema-tema itu selalu berhubungan dengan
bahasa. Sebagaimana didefiniskan dalam teori tindak tutur, tindak
langsung merupakan tindak yang mencerminkan bentuk lahir cocok
dengan fungsi interaksi, seperti diam yang digunakan sebagai perintah
atau larangan, versus yang tidak langsung kok makin gaduh ya disini
atau sampai saya tidak bisa mendengarkan pikiran saya. Padahal dalam
konteks tersebut seseorang meminta orang lain diam atau tidak ramai.
Penggunaan metafor dan peribahasa merupakan strategi komunikatif yang
umum untuk mendepersonalisasi apa yang dikatakan dan memberikan
ketidaklangsungan.
Meskipun bahasa tidak dipertanyakan lagi merupakan bagian
integral dari kebudayaan, mengasumsikan pengalaman kebudayaan yang
spesifik dan kaidah-kaidah perilaku sebagai koordinat keterampilan
linguistik spesifik, merupakan penyederhanaan yang naif terhadap
hubungan bahasa dan kebudayaan.

Pendalaman Materi
1. Dengan memanfaatkan media ICT, carilah perbandingan tentang
pengertian, definisi, dan sejarah kajian etnografi komunikasi!
2. Jelaskan pengertian pola komunikasi, dan pada tingkatan apa pola
komunikasi terjadi?
3. Berilah penjelasan tentang fungsi-fungsi komunikatif bahasa
4. Sebutkan unsur-unsur yang mendukung kompetensi komunikatif
beserta penjelasannya!
5. Mengapa bahasa dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan satu sama lain,
jelaskan!

28
Bab 3
Prinsip Kerjasama dan Kesantunan,
Kode dan Alih Kode
Sebagai Pola dan Strategi Komunikasi

Kompetensi dan Pengantar


Setelah mempelajari bab ini dengan seksama, pembelajar
diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut:
Memahami strategi komunikasi sebagai pola komunikasi
Memahami prinsip kerjasama dan prinsip sopan santun dalam
berkomunikasi
Memahami penggunaan tingkat tutur dalam berkomunikasi
Memahami pragmatik lintas budaya dalam berkomunikasi
Memahami kode dan alih kode dalam berkomunikasis

Strategi komunikasi dalam buku ini adalah cara atau metode yang
digunakan oleh penutur agar tujuan tutur dapat diterima dengan baik oleh
mitra tutur tanpa adanya kesalahpahaman yang dapat menimbulkan
kegagalan komunikasi (Haryono 2014). Strategi komunikasi meliputi
prinsip kerja sama (PK) berserta maksim-maksimnya dan prinsip
kesantunan (PS). Adapun pola komunikasi menurut Haryono (2013:22)
dapat didefinisikan sebagai model-model interaksi penggunaan kode
bahasa yang didasarkan pada hubungan-hubungan yang khas dan berulang
antarkomponen tutur yang dipengaruhi oleh aspek-aspek linguistik,
interaksi sosial, dan kultural.
Pola komunikasi tersebut dapat berupa kategori dan fungsi bahasa
yang tercermin dalam tuturan, penggunaan tingkat tutur (ondhghn
bhsa/speech level), pilihan bahasa dan ragam bahasa sebagai wujud alih
kode dan campur kode, intonasi (tone), dan simbol-simbol yang
ditampakkan melalui gerakan-gerakan tubuh (body language) sebagai
aspek pendukung pemahaman terhadap tindak tutur yang terjadi dalam
bahasa verbal, serta alih giliran tutur. (Haryono, 2011).
Oleh karena itu, dalam kajian etnografi komunikasi juga diperlukan
teori-teori kebahasaan yang relevan seperti teori-teori pragmatik dan
sosiolinguistik yang dibutuhkan untuk memperkuat analisis komponen
tutur dan analisis percakapan sebagaimana disajikan berikut ini.
Prinsip Kerjasama (PK) dan Prinsip Sopan Santun (PS) dalam
Berkomunikasi
Prinsip Kerjasama (PK) (Cooperative Principle) dalam suatu
percakapan adalah suatu pedoman yang perlu diperhatikan dan ditaati oleh
partisipan tutur dalam peristiwa tutur agar komunikasi berjalan dengan
lancar dan efektif, serta tidak terjadi kesalahpahaman. Grice (1975: 47);
Yule (1996: 36-37); Nadar (2008: 24-25) menjelaskan bahwa PK itu
mempunyai pengertian sebagai berikut: Buatlah sumbangan percakapan
anda sedemikian rupa sesuai yang dikehendaki, sesuai dengan
perkembangan konteks atau situasi terjadinya percakapan, dan sesuai
dengan maksud atau arah yang disepakati dalam percakapan yang anda
ikuti. Kita membutuhkan PK untuk lebih mudah menjelaskan hubungan
antara makna dan dayapenjelasan yang demikian sangat memadai,
khususnya untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam
semantik yang memakai pendekatan kebenaran (truth-based approch).
Grice lebih lanjut merinci prinsip kerjasama ke dalam 4 maksim
(maxims / guidelines)sbb:
a. Kualitas (Quality):Buatlah sumbangan percakapan dan merupakan
sumbangan percakapan yang benar, khususnya: Jangan mengatakan
apa yang dianggap anda salah; Jangan mengatakan sesuatu yang tidak
didukung bukti yang cukup.
b. Kuantitas (Quantity): Buatlah sumbangan percakapan anda
seinformatif mungkin sesuai yang diperlukan oleh percakapan
itujangan memberikan sumbangan lebih informatif dari pada yang
diperlukan .
c. Hubungan/relevansi (Relation / Relevance): Buatlah percakapan anda
relevan.
d. Cara (Manner): Bicaralah dengan jelas, dan khususnya: 1) Hindari
kekaburan; 2) Hindari ketaksaan; 4) Bicaralah singkat; 4) Bicaralah
secara teratur.
Keempat maksim tersebut menjelaskan apa yang harus dilakukan
peserta percakapan agar dia dapat berbicara secara efisien, rasional, dan
dilandasi kerjasama, artinya pembicara harus bekerja dengan jujur,
relevan, dan jelas dengan memberikan informasi secukupnya. Untuk lebih
jelasnya kita perhatikan percakapan berikut.
Ada seorang wanita yang sedang duduk pada suatu kursi panjang
dipertamanan, dan seekor anjing terbaring di tanah di depan kursi panjang
itu. Seorang lelaki datang mendekati dan duduk pada kursi tersebut.

Man : Does your dog bite ?


Women : No
30
(Orang lelaki itu membungkuk untuk mengelus-elus anjing
tersebut. Anjing itu menggigit tangan lelaki tersebut)
Man : Ouch! Hey! You said your dog doesnt bite.
Women : He doesnt. But thats not my dog.
(Yule, 1996: 36)
Permasalahan dalam percakapan ini bukanlah permasalahan
praanggapan (presupposition) karena asumsi your dog (the women has a
dog) adalah benar. Wanita tersebut memang mempunyai anjing. Yang
menjadi masalah adalah anggapan bahwa pertanyaannya Does your dog
bite ? dan jawaban wanita itu No dimaksudkan tidak berlaku untuk
anjing yang terbaring di depannya. Dipandang dari perspektif lelaki
tersebut, jawaban wanita itu tidak memberi informasi yang lengkap
sebagaimana yang diharapkan. Dengan kata lain, dia (wanita itu)
diharapkan memberi jawaban atau informasi seperti dinyatakan dalam
kalimat terakhir. Dia tidak memberikan informasi yang lengkap. Hal ini
melanggar maksim kuantitas. Dia semestinya tidak hanya berkata No
terhadap pertanyaan lelaki itu. Akan tetapi, yang terjadi bahwa wanita itu
sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa dia tidak ingin bercakap-cakap
dengan orang asing (orang yang belum dia kenal) sehingga dia tidak
menunjukkan cooperative interaction. Oleh karena tidak ditaatinya PK
dalam konteks di atas, kurang lengkap informasi/kurang infonmatif
(melanggar maksim kuantitas) maka terjadilah salah inferensi dan
digigitlah tangan laki-laki tersebut oleh anjing itu. PK memang selalu
mendasari setiap percakapan, jika percakapan diharapkan berjalan lancar.
Namun demikian, tidak semua maksim berlaku untuk semua situasiada
kalanya maksim-maksim dalam PK dilanggar untuk memenuhi kebutuhan
sosial yang lebih penting.
Berkaitan dengan PK, (Leech, 1993: 120-121; Nadar, 2008: 28-29)
mengemukakan bahwa ada masyarakat yang dalam situasi tertentu lebih
mementingkan atau mendahulukan prinsip sopan santun (PS) (Politeness
Priciple) dari pada PK. Lebih-lebih dalam masyarakat yang beradab, PS
tidak dapat dikesampingkan, tidak dapat dianggap sebagai tambahan
terhadap PK. Selanjutnya Leech (1993: 121-122) memberikan contoh
sebagai berikut:
A: Well all miss Bill and Agatha, wont we?
(Kita semua akan merindukan Bill dan Agatha bukan ?)
B: Well, well all miss Bill
(Ya, kita semua akan merindukan Bill)
Dalam percakapan tersebut di atas, B dengan jelas melanggar
maksim kuantitas: Ketika A menginginkan B mengiakan pendapat A, B
hanya mengiakan sebagaian saja, dan tidak menghiraukan bagian terakhir

31
pendapat A. Dari sini kita memperoleh: Penutur berpendapat bahwa tidak
semua orang merindukan agatha. Bahwa B sengaja tidak menyatakan
pendapat ini, melanggar maksim kuantitas atau maksim
kejelasan/kelengkapan informasi, dan maksim hubungan atau relevansi. B
lebih mentaati PS dari pada PK karena dia tidak ingin bertindak tidak
sopan terhadap pihak ketiga (Agatha).

Penggunaan Tingkat Tutur (Speech Level)


Pada umumnya di dalam suatu bahasa terdapat cara-cara tertentu
untuk menentukan perbedaan sikap hubungan antara penutur dengan mitra
tutur dalam bertutur. Sikap itu biasanya sangat bervariasi dan sangat
ditentukan oleh anggapan tentang tingkatan sosial para peserta tutur itu.
Misalnya, ketika seorang penutur bertutur dengan seorang yang perlu
dihormati, maka pastilah penutur itu akan menggunakan kode tutur yang
memiliki makna hormat. Demikian pula manakala si penutur berbicara
dengan seorang yang tidak perlu dihormati, maka penutur sudah barang
tentu akan menggunakan kode tutur yang tidak dihormati pula (Rahardi,
2001: 53).
Fenomena tersebut terjadi karena di dalam masyarakat tutur
terdapat anggota-anggota golongan tertentu yang sangat perlu untuk
dihormati dalam bertutur, tetapi ada juga dalam golongan masyarakat
tertentu yang tidak perlu mendapatkan penghormatan yang khusus. Oleh
karena itu, sebenarnya bentuk tingkat tutur itu secara garis besar dapat
dibedakan menjadi dua, yakni bentuk hormat dan bentuk biasa.
Faktor-faktor yang menyebabkan adanya dua macam bentuk
tingkat tutur itu ternyata bermacam-macam dan berbeda antara masyarakat
yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Masyarakat akan dihormati
atau barangkali tidak dihormati karena bentuk dan kondisi tubuhnya,
kekuatan ekonomi, status sosial, kekuatan, dan pengaruh politiknya, alur
kekerabatan, usia, jenis kelamin, kondisi psikis, dan lain sebagainya.
Di dalam kebanyakan tingkat tutur pemakaian bentuk-bentuk
pronomina atau kata ganti banyak yang digunakan untuk menunjukkan
perbedaan rasa hormat penutur kepada sang mitra tutur. Simbol-simbol
tersebut seringkali dipakai dalam bertutur untuk menunjukkan rasa hormat.
Dalam bahasa Indonesia terdapat pula kata-kata tertentu seperti istana,
putera, bersabda, menganugerahi, dan sebagainya untuk menunjukkan rasa
hormat. Dalam bahasa Madura cara-cara seperti yang ada dalam bahasa
Indonesia juga ada dengan pronomina orang pertama terdapat kata
sengko, kaul, abdhina; dengan pronomina orang kedua yaitu, bna,
sampyan, dhika, panjenengan, ajunan, padhna. Bentuk-bentuk dengan
kata benda dalam bahasa Madura yang menunjukkan perbedaan rasa
32
hormat itu misalnya bengko, compo, dhlem, yang kesemuanya bermakna
rumah. Pada kata kerja misalnya terdapat tdung, sarn, klem, yang
maknanya adalah tidur. Pada kata sifat misalnya terdapat sak, brng,
songkan, yang maknanya sakit. Dalam bahasa Jerman juga terdapat
variasi pronomina orang pertama ich, wir saya, kami/kita walaupun tidak
menunjukkan untuk menyatakan rasa hormat, sedangkan pronomina orang
kedua Sie tuan/bapak dan du kamu dapat membedakan rasa hormat dan
tidak hormat atau akrab dan tidak akrab. Sie yang disebut Sie gro
digunakan untuk berbahasa dengan orang yang dihormati atau belum
akrab, sedangkan du digunakan untuk berbahasa dengan orang sebaya atau
orang yang sudah dianggap akrab. Dalam bahasa Jawa cara-cara yang ada
pada bahasa Indonesia, bahasa Madura, Bahasa Jerman itu juga ada,
misalnya dengan pronomina orang pertama terdapat kata aku, kula, dalem,
kawula, dengan pronomina orang kedua terdapat kosa kata kuwe,
sampyan, panjenengan, paduka dan dengan pronomina orang ketiga
digunakan kata dwk, kiyambak, piyambakipun, dan panjenenganipun.
Bentuk-bentuk kata benda dalam bahasa Jawa yang menunjukkan
perbedaan rasa hormat itu misalnya omah, griya, dalm, yang kesemuanya
bermakna rumah. Dengan kata kerja misalnya terdapat turu, tilem, sar
yang maknanya adalah tidur. Dengan kata sifat misalnya terdapat lara,
sakit, gerah yang maknanya sakit.
Berdasarkan penjelasan dan contohs-contoh tersebut dapat dikatakan
bahwa dalam bahasa apapun terdapat kosa kata dan kalimat yang dapat
digunakan untuk menyatakan rasa hormat dan biasa (akrab), khususnya
dalam bahasa-bahasa daerah yang secara terinci diatur dalam penggunaan
tingkat tutur (speech level).

Tingkat Tutur (speech level) dalam Bahasa Madura


Dilihat dari sudut pemakaiannya, bahasa Madura (BM) memiliki
variasi dialektis dan variasi tingkat tutur (ondhghn bhsa). Variasi
dialektis BM ada empat macam, yaitu: (1) dialek Sumenep, (2) dialek
pamekasan, (3) dialek Bangkalan, dan (4) dialek Kangean. Dialek
sumenep digunakan di wilayah Kabupaten Sumenep, kecuali beberapa
Kecamatan yang berbatasan dengan Kabupaten Pamekasan; dialek
Pamekasan digunakan di wilayah Kabupaten Sumenep bagian barat dan
Kabupaten Pamekasan; dialek Bangkalan digunakan di wilayah Kabupaten
Sampang dan kabupaten Bangkalan; sedangkan dialek Kangean digunakan
di Pulau Kangean dan wilayah Kabupaten Sumenep (Sofyan, 2009: 43-44).
Menurut pendapat Sofyan (2009: 45), di samping ketiga tingkat
tutur tersebut, dalam BM juga terdapat satu variasi tingkat tutur yang
jarang sekali digunakan, yakni yang disebut bhsa alos (BA) atau bhsa
33
karaton bahasa keraton dan dua buah variasi tingkat tutur yang sangat
sering digunakan, yakni (1) ragam kota atau sering disebut bhsa Malaju
(BMlj) bahasa Melayu dan (2) tingkat tutur enggh-enten (Eg-E). BM
ragam kota disebut sebagai bhsa Malaju karena bahasa yang digunakan
lebih mirip dengan bahasa Melayu, dengan penggunaan kata-kata: saya
saya, situ kamu, enda tidak,(i)ya ya, kamanaa akan kemana,
dri mana dari mana, tidak pernah menggunakan ella jangan tetapi
menggunakan jhya. Ragam bahasa ini biasa digunakan dalam
pergaulan di perkotaan, baik oleh para remaja maupun orang dewasa.
Etnik Arab dan Cinayang merupakan etnik yang jumlahnya cukup
banyak di Madurabiasanya menggunakan BM ragam ini.
Tingkat tutur Eg-E adalah tingkat tutur yang biasa dituturkan oleh
penutur yang memiliki status sosial lebih tinggi daripada lawan tutur;
dengan hubungan antarpenutur agak akrab atau sudah lama saling kenal.
Ciri dari BM ragam ini adalah penggunaan kata-kata: bul saya, dhika
kamu, anda, maddh mari, empon jangan, mar sudah, enten
tidak, enggh ya, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, tingkat tutur BM dan penggunaannya
dalam interaksi sosial masyarakat Madura dapat digambarkan seperti tabel
berikut:

Tabel 3.1: Tingkat Tutur BM


Tingkat Contoh Pemakaian Kata
Hubungan
No Tutur/ Penggunaan saya Engkau ya
Partisipan
Ragam
1. enj- sebaya atau dengan sngko bna iy
iy penutur teman akrab;
(E-I) berumur orang tua
lebih tinggi; kepada anak
sangat
akrab
2. engghi- penutur sesama kaul sampyan engghi
enten berumur dewasa yg
(E-E) lebih baru kenal,
rendah dg kpd orang
jarak status tua
sosial tidak
terlalu jauh

34
3. ngghi- penutur kpd atasan, bhdhn panjhn- ngghi
bhunten berumur kpd mertua kaul nengngan
(-B) lebih
rendah dg
jarak status
sosial
cukup jauh;
sering
berinteraksi
+4. bhsa penutur dg kpd kiai; kpd dlm/ Ajunan, dhlm
alos jarak status pejabat abdhina padhna
(BAl) sosial tinggi
sangat jauh;
jarang
berinteraksi
+5. enggh- penutur mertua kpd bul Dhika engghe
enten berumur menantu,
(Eg-E) lebih tua; tetangga yg
sering lebih muda
berinteraksi
+6. bhsa agak akrab, teman saya Situ iya
Malaju tidak ada sekolah atau
(ragam hubungan kantor, etnik
kota) keluarga lain
(BMlj)
Dikutip dari Sofyan, (2009: 47) sebagian dikembangkan sendiri oleh
penulis sesuai topik penelitian

Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa


Di dalam bahasa Jawa juga terdapat bentuk-bentuk khusus dalam
sistem tingkat tuturnya. Ada tingkat tutur halus yang berfungsi
menyatakan kesopanan yang tinggi (krama), ada tingkat tutur menengah
yang menyatakan rasa kesopanan yang sedang-sedang saja (madya), dan
ada pula tingkat tutur biasa yang berfungsi menyatakan rasa kesopanan
rendah (ngoko). Dengan demikian, dalam bahasa Jawa terdapat tiga tingkat
tutur yaitu ngoko, madya, dan krama (Rahardi, 2001).
Tingkat tutur ngoko, madya, dan krama tidak sama dengan kata
ngoko, madya, dan krama. Tingkat tutur menunjukkan kepada suatu sistem
kode penyampaian rasa kesopanan yang di dalamnya terdapat unsur kosa
kata tertentu, aturan morfologi dan fonologi yang juga tertentu. Adapun
kosa kata ngoko, madya, dan krama hanya semata-mata inventarisasi kata-
35
kata dimana masing-masing kata itu di dalamnya terdapat persamaan arti
kesopanan yang sama (periksa Poedjosudarmo, 1979).

Tabel 3.2: Tingkat Tutur Bahasa Jawa


Tingkat Bahasa Jawa Bahasa Indonesia
tutur
Krama Panjnngan Bad tindak Tuan mau pergi ke
pundi ? mana ?
Madya Sampan arp lungo nang Anda mau pergi ke
ndi ? mana ?
Ngoko Kue kate mttu nang ndi ? Kamu mau pergi ke
mana ?

Bandingkan dengan contoh berikut:


Manapa nandalem mundhut sekul semanten? 3a High
Manapa panjenengan mendhet sekul semanten? 3
Napa sampeyan mendhet sekul semonten? 2
Napa sampeyan nyupuk sega semonten? 1a
Apa sliramu mundhut sega semono? 1b
Apa kuwe njupuk sega semono?1 Low
Quistion You take rice that much
(Holmes, 1995: 273)

Kaliamat dalam bahasa Jawa di atas diurut dari gaya level yang
paling formal High(level 3a disebut krama inggil), kepada gaya yang
paling tidak formal Low(level 1 disebut ngoko).

Pemahaman Lintas Budaya (Cross-cultural Understanding)


Penguasaan terhadap suatu bahasa tidak menjamin mulusnya
hubungan komunikasi antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
Kenyataan menunjukkan bahwa walaupun bahasanya sudah dikuasai
masih sering terjadi kegagalan komunikasi (communication break-down)
(Suparmin, 2000: 57).
Perbedaan lintas budaya bisa dan memang sering memicu terjadinya
konflik sebagai akibat kegagalan komunikasi. Misalnya, masalah-masalah
seperti tingkat bunyi bisa berbeda secara lintas budaya, dan maksud
penutur bisa dipahami secara salah karena perbedaan pola harapan
interpretasi.

36
Konflik etnik juga bisa terjadi karena kegagalan komunikasi yang
disebabkan etnik yang satu tidak mengenal budaya etnik yang lain
sehingga terjadi kesalah pahaman dalam komunikasi. Begitu juga
seringnya kekerasan yang menimpa para TKI asal Indonesia di luar negeri,
mungkin juga karena minimnya pengetahuan lintas budaya negara tujuan,
sehingga terjadi kesalah pahaman dalam berkomunikasi. Bahkan menurut
Suparmin (2000: 57-58) pernah terjadi seorang mahasiswa Indonesia (MI)
yang mendapat tugas belajar di Amerika pernah harus menanggung malu
besar bukan karena masalah penguasaan bahasa, tetapi karena ketidak
tahuannya akan kebiasaan pragmatik lintas budaya setempat. Suatu hari
waktu istirahat makan siang di kampus, dia diajak seorang teman
mahasiswa asal Amerika (MA) makan siang di kafe.
MA : Do you like to come with me to cafee ?
MI : Yes, okay
Tentu saja tanpa berbasa-basi dan menanyakan apakah dia akan ditraktir.
Dia malah merasa senang sekali karena saat itu kebetulan dia tidak
membawa uang sama sekali karena lupakebetulan sekali ada yang mau
mentraktirbegitulah inferens yang dia tangkap. Merasa akan ditraktir dia
managmbil makanan agak lebih dari bisanya. Pada saat membayar
temannya tadi ternyata membayar hanya untuk makanan yang dia ambil
saja, sedangkan makanan yang diambil si MI tidak dibayarnyatentu saja
dia terkejut sekalisudah terlanjur mengambil makanan, tetapi tidak
membawa uang. Pada hal sudah berada di depan kasir yang siap menerima
pembayaran dan dibelakangnya banyak yang antri akan membayar.
Akhirnya, dengan menahan rasa malu dia terpaksa pinjam dulu kepada
teman yang masih belum lama dikenalnya tersebut. Rupanya kebiasaan di
sana tidak seperti di Indonesia, mengajak makan bersama bukan berarti
mentraktir, kecuali kalau secara jelas (eksplisit) yang mengajak
menyatakan bahwa nanti dia akan membayar.
Mereka yang pernah tinggal di luar negeri atau di luar daerah di
mana ia dibesarkan, pasti pernah menanggung malu, mendapat marah atau
sikap yang kurang bersahabat dan sebagainya, bukan karena penguasaan
bahasa, tetapi karena ketidakpahaman terhadap budaya setempat sehingga
menimbulkan inferensi yang salah.
Kesalah pahaman seperti di atas, sering terjadi tidak saja dalam
komunikasi verbal (dengan menggunakan kata-kata), tetapi juga dalam
komunikasi non verbal, yaitu komunikasi dengan menggunakan gerakan-
gerakan tubuh atau bahasa tubuh (body language). Bahasa tubuh ini bisa
berupa ekspresi wajah, gerak mata, kepala, bahu, tangan, kaki, dan
sebagainya yang sering digunakan bersamaan dengan bahasa lisan (oral
language). Banyak contoh kejadian kesalah pahaman dalam komunikasi

37
non-verbal, seperti halnya dalam komunikasi verbal mengakibatkan rasa
malu, dimarahi, dan sebaginyabahkan pernah terjadi di Kairo (Mesir)
seorang profesor Inggris didemo mahasiswanya dan dituntut supaya diusir
kembali ke negaranya gara-gara body language ini. Asal mulanya adalah
pada waktu berada dalam kelas sehari sebelumnya si profesor, mungkin
karena santainya, duduk di kursi dengan kakinya di julurkan ke depan
(selonjor) sehingga alas sepatunya terlihat atau menghadap ke arah
mahasiswanya. Rupanya dia tidak memahami bahwa di Mesir hal itu
merupakan suatu bentuk penghinaan yang luar biasa. Salah paham ini
terjadi karena adanya perbedaan penafsiran terhadap gerak tubuh dalam
budaya yang berbeda. Misalnya, membuat lingkaran kecil dengan ibu jari
dan telunjuk, kalau di Amerika artinya sama dengan okay, di Jepang
artinya uang di Perancis artinya sesuatu yang tidak ada nilainya bahkan
di Yunani gerak itu ditafsirkan sebagai gerakan tidak senonoh (porno)
(Suparmin, 2000: 58).
Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapat dipahami bahwa budaya
bersifat group-specificartinya, tiap kelompok masyarakat mempunyai
ciri budaya sendiri-sendiri, atau dengan perkataan lain kelompok yang
berbeda mempunyai budaya yang berbeda pula, sehingga di dunia ini dapat
dijumpai berbagai budaya yang berbeda satu sama lain. Murdock (1961)
mengemukakan bahwa pola tingkah laku budaya memiliki tujuh ciri yang
bersifat universal, yaitu dapat dijumapai dalam budaya manapun juga.
Ciri-ciri tersebut ialah bahwa pola tingkah laku budaya tadi: (1) Berasal
dari alam pikiran manusia; (2) Mempermudah interaksi manusia dengan
lingkungannya; (3) Memenuhi kebutuhan dasar manusia; (4) Bersifat
komulatif dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam
kondisi eksternal dan internal; (5) Cenderung membentuk struktur yang
konsisten; (6) Dipelajari dan dimiliki bersama oleh seluruh anggota
masyarakat; dan (7) Diteruskan kepada generasi baru. Begitu pula
kesopanan merupakan konsep yang universal (That Pliteness is
conceptually universal) yaitu, kesopanan dapat dijumpai dimanapun dalam
bahasa dan budaya manapun juga.

Kode, Alih Kode, dan Campur Kode


Kode ialah suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya
memiliki ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur
dengan lawan bicara, hadirnya orang ketiga, dan situasi tuturan. Jadi,
dalam kode ini terdapatlah unsur-unsur bahasa seperti kalimat-kalimat,
kata-kata, morfem, dan fonem. Lebih lanjut Poedjosoedarmo (1978:5)
menyatakan kode biasanya berbentuk varian-varian bahasa yang secara
nyata dipakai berkomunikasi anggota-anggota suatu masyarakat tutur.
38
Suwito 1983 yang dikutip (Rahardi, 2001: 22) juga menyatakan kode
adalah salah satu varian di dalam hirarki kebahasaan yang dipakai dalam
berkomunikasi. Dengan demikian, dalam suatu bahasa dapat terkandung
beberapa kode yang merupakan varian dari bahasa itu. Pendapat-pendapat
para ahli tersebut memberikan batasan bahwa kode merupakan varian
bahasa.
Kenyataan bahwa bangsa Indonesia memiliki bahasa Indonesia dan
beragam bahasa daerah bahkan kini bahasa-bahasa asing (Bahasa Inggris,
Madarin, Jerman, Jepang, Perancis, Belanda, dsb.) sudah diajarkan di
sekolah-sekolah. Di sekolah-sekolah berbasis agama Islam dan pesantren
bahasa Arab menjadi kurikulum inti. Oleh karena itu, di negara Indonesia
tidak jarang ditemui orang-orang yang dapat berbahasa lebih dari satu
bahasa. Kesanggupan mereka dapat menggunakan lebih dari satu bahasa
tersebut disebabkan oleh keinginannya untuk saling berkomunikasi antara
manusia yang satu dengan manusia yang lain, baik intraetnik maupun
antaretnik.
Penggunaan alih kode dan campur kode dapat terjadi pada setiap
penutur bahasa. Kegiatan alih kode yang terjadi pada penutur
ekabahasawan, misalnya beralihnya seseorang dari ragam bahasa yang satu
ke ragam bahasa yang lain dalam bahasa yang sama. Kegiatan alih kode
yang terjadi pada penutur dwibahasawan, misalnya beralihnya seseorang
dari bahasa yang satu kepada bahasa yang lain dalam suatu peristiwa tutur.
Alih kode adalah pemakaian secara bergantian dua atau lebih
bahasa, versi-versi dari bahasa yang sama atau bahkan gaya-gaya
bahasanya dalam satu situasi tuturan oleh seseorang penutur atau
partisipan tutur (Saville-Troike, 2003: 48).
Kontak antara dua bahasa atau lebih yang terjadi terus-menerus di
dalam situasi masyarakat tutur yang bilingual cenderung mengakibatkan
gejala kebahasaan yang disebut alih kode. Alih kode merupakan salah satu
aspek ketergantungan bahasa di dalam masyarakat dwibahaswanartinya,
di dalam masyarakat dwibahasawan hampir tidak mungkin seorang
penutur menggunakan satu bahasa secara mutlak tanpa sedikit pun beralih
kode ke bahasa yang lain.
Alih kode dapat didefinisikan juga sebagai peristiwa peralihan dari
kode yang satu ke kode yang lain, jadi apabila seorang penutur mula-mula
menggunakan tingkat tutur level -B (krama inggil) dan kemudian beralih
menggunakan tingkat tutur E-E (krama madya), maka peralihan
penggunaan bahasa seperti inilah yang bisa disebut sebagai alih kode
Konsep alih kode meliputi tidak saja peristiwa peralihan bahasa,
tetapi juga peristiwa peralihan ragam bahasa atau dialek. Contoh: Ketika A
dan B berjumpa dalam acara arisan, pada umumnya mereka mengawali

39
pembicaraannya dengan topik santai, berkisar masalah anak, kenaikan
harga sembako, dan lain sebagainya. Dalam topik seperti ini, pada
umumnya dipergunakan bahasa ragam santai. Namun, ketika komunikasi
beralih ke topik yang lain, seperti masalah pendidikan, bahasa yang
dipergunakan biasanya bukan ragam santai, melainkan ragam formal.
Peristiwa pergantian ragam informal ke ragam formal atau sebaliknya
dikatakan sebagai alih kode.
Chaer dan Agustina, (1995: 141) mendefinisikan alih kode sebagai
gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Misalnya:
Ali dan Ibrahim, keduanya berasal dari Pesantren, dua puluh menit
sebelum kuliah dimulai sudah hadir di ruang kuliah. Keduanya terlibat
dalam percakapan yang topiknya tidak menentu dengan menggunakan
bahasa Arab. Ketika mereka sedang asyik bercakap-cakap masuklah Anto,
teman kuliahnya yang bukan dari pesantren, yang tentu saja tidak dapat
berbahasa Arab. Anto menyapa mereka dalam bahasa Indonesia. Lalu
mereka segera terlibat percakapan dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Peristiwa peralihan penggunaan bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang
dilakukan Ali dan Ibrahim kerena berubahnya situasi yang dipengaruhi
datangnya orang ketiga, yakni situasi kearaban berubah menjadi situasi
keindonesiaan yang dipengaruhi oleh datangnya Anto sebagai partisipan
tutur baru yang memulai dengan tuturan bahasa Indonesia.
Hymes (1972a: 103); Rahardi (2001: 20) menyatakan bahwa alih
kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan
pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa, atau
bahkan beberapa gaya dari suatu ragam bahasa.
Seseorang yang melakukan pembicaraan sebenarnya mengirimkan
kode-kode kepada lawan bicaranya. Pengkodean itu melalui suatu proses
yang terjadi pada pembicara, hampa suara, dan pada lawan bicara. Kode-
kode itu harus dimengerti oleh kedua belah pihakkalau pihak yang satu
memahami apa yang dimaksud oleh lawan bicaranya, maka ia akan
mengambil kesimpulan dan bertindak sesuai dengan apa yang seharusnya
dilakukan. Tindakan itu, misalnya diam, memutuskan pembicaraan, atau
mengulangi lagi pertanyaan sebagai bentuk kode yang digunakan untuk
mengajak lawan tutur mencurahkan perhatiannya. Seseorang berkode
bahasa dengan berbagai variasi sesuai suasana emosional penutur yang
dapat diimplementasikan dengan nada suara lembut, keras, cepat, lambat,
dan sebagainya, misalnya kalau marah tentu dengan nada cepat dan keras,
sebaliknya kalau merayu tentu dengan nada pelan dan lembut. Berdasarkan
penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kode
meliputi bahasa dengan segala unsur-unsurnya (seperti kalimat, kata,
morem, maupun fonem), variasi-variasi bahasa, dan gaya-gaya bahasa.

40
Alih kode adalah pertukaran dari satu bahasa ke bahasa lain, atau
pertukaran dari satu varian bahasa ke bahasa varian bahasa lain dalam
bahasa yang sama, ataupun pertukaran dari satu gaya bahasa yang satu ke
gaya bahasa yang lain dalam bahasa yang sama. Alih kode terjadi untuk
menyesuaikan diri dengan peran, atau adannya tujuan tertentu seorang
penuturkadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena
suatu tujuan. Misalnya, untuk mengubah situasi dari formal menjadi tidak
formal atau sebaliknya untuk menetralisasi situasi dan menghormati
kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih
kodeapalagi jika latar belakang kebahasaan mereka berbeda.
Kegiatan alih kode antarbahasa, antarvariasi bahasa, dan antargaya
bahasa dapat dilihat pada situasi berikut :
Alih kode antarbahasa, misalnya: Ketika dua orang sedang
bercakap-cakap dengan bahasa Inggris, karena kebetulan keduanya
mahasiswa Jurusan Sastra Inggris. Di tengan-tengah perbincangan
tersebut, tiba-tiba datang orang ketiga temannya yang kini sebagai
mahasiswa pada Jurusan Sastra Indonesia yang kurang memahami bahasa
Inggris. Selanjutnya, percakapan beralih dari bahasa Inggris ke bahasa
Indonesia agar orang ketiga tersebut dapat ikut dalam peristiwa tutur.
Alih kode antarvarian bahasa, misalnya: Seseorang beralih dari
varian bahasa Madura kasar enj-iyh kepada varian bahasa Madura level
ngghi-bhunten atau bhsa alos, karena diantara partisipan tutur yang
datang kemudian ternyata ada orang yang amat dihormati.
Alih kode antargaya bahasa, misalnya ketika sedang meminta
sesuatu dari orang lain, tentu dengan nada suara yang lembut. Berbeda
ketika seseorang sedang marah tentu beralih kode dengan nada suara yang
kasar dan keras.
Campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke
bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Yang
termasuk di dalamnya adalah pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dsb.
Campur kode adalah proses yang samayang digunakan untuk membuat
bahasa pidgin, tetapi perbedaannya adalah bahasa pidgin diciptakan di
dalam kelompok-kelompok yang tidak menggunakan satu bahasa yang
sama, sedangkan campur kode terjadi ketika para penutur multilingual
menggunakan satu bahasa yang sama atau lebih (Kridalaksana, 2008)
Campur kode terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu
bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur
bahasa lainnya. Campur kode dapat terjadi tanpa adanya sesuatu dalam
situasi berbahasa yang menuntut adanya pencampuran bahasa, tetapi dapat
juga disebabkan faktor kesantaian, kebiasaan, atau tidak adanya padanan
yang tepat untuk mengungkap suatu fenomena. Misalnya, untuk

41
membangkitkan rasa humor, seorang kiai yang sedang berceramah dengan
BI di depan mayoritas UNUEM, bercampur kode ke kosa kode BM yang
dapat membangkitkan tawauntuk mengungkapkan kosa kata BA yang
kurang pas di terjemahkan ke BI, segera bercampur kode ke BAdan
untuk menunjukkan keakraban, WNUEM sering bercampur kode ke BMlj
dan BA. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti
latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri
menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi,
karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada
padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa
lainwalaupun hanya mendukung satu fungsi.
Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic
convergence). Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Campur kode
ke dalam (innercode-mixing): Campur kode yang bersumber dari bahasa
asli dengan segala variasinya; dan (2) Campur kode ke luar (outer code-
mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing. Latar belakang
terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: (1) sikap
(attitudinal type) latar belakang sikap penutur; dan (2) kebahasaan
(linguistik type) latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan
identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan
atau menafsirkan. Dengan demikian, campur kode terjadi karena adanya
hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi
bahasa. Beberapa wujud campur kode: (a) penyisipan kata, (b) menyisipan
frasa (c) penyisipan klausa, (d) penyisipan ungkapan atau idiom, dan (e).
penyisipan bentuk blaster (gabungan pembentukan asli dan asing).

Pendalaman Materi
1. Mengapa dalam berbahasa seseorang menggunakan strategi
komunikasi?
2. Jelaskan prinsip kerjasama dan prinsip sopan santun dalam berbahasa
yang dikemukakan Griece!
3. Mengapa tingkat tutur digunakan dalam berbahasa? jelaskan, dan
berilah contoh penggunaan tingkat tutur yang digunakan dalam
percakapan dari orang yang memiliki kelas dan status sosial berbeda.
4. Berilah contoh kesalahpahaman dalam komunikasi akibat
ketidakpahaman budaya penutur suatu bahasa (pragmatik lintas
budaya).
5. Jelaskan apa yang dimaksud kode, alih kode, dan Campur kode dalam
peristiwa komunikasi?
6. Kapan dan mengapa sesorang menggunakan kode, alih kode, dan
campur kode?
42
Bab 4
Konteks

Kompetensi dan Pengantar


Setelah mempelajari bab ini dengan baik, pembelajar diharapkan
memiliki kompetensi sebagai berikut:
Memahami peran konteks dalam penggunaan bahasa
Memahami masyarakat tutur sebagai konteks tempat terjadi tuturan
Memahami peristiwa tutur sebagai bagian dari konteks
Memahami berbagai macam tindak tutur sebagai bagian dari konteks

Dalam analisis linguistik formal, konteks biasanya terjadi ketika


kesulitan atau keraguan muncul berkenaan dengan interpretasi atau
akseptabilitas pengungkapan linguistik tertentu, walaupun kenyataannya
konteks merupakan hal yang sangat penting dalam membayangkan
interpretasi alternatif yang mungkin terjadi dari kalimat yang bermakna
ganda, akan tetapi penggunaan dan perannya secara resmi tidak dikenal
dalam model-model kompetensi linguistik formal. Di sisi lain, pekerjaan
ahli etnografi sangat bergantung pada kemampuan yang baik dan eksplisit
untuk menghubungkan bentuk-bentuk tingkah laku, termasuk kemampuan
berbicara, dengan konteks sosio-budaya mereka yang lebih luas.
Malinowski, bapak ernografi moderen, yang pertama kali
menekankan perlunya menginterpretasikan kemampuan berbicara dalam
konteks situasi (context of situation) suatu ungkapan, yang pada sisi lain
mengindikasikan bahwa konsepsi konteks harus diperluas dan pada sisi
yang lain situasi, di mana kata-kata diujarkan tidak pernah dapat
melampaui sesuatu yang tidak relevan dengan ungkapan linguistik
(Duranti, 1988).
Walaupun sebenarnya Malinowski mengira bahwa perlunya terus
menjaga kemampuan berbicara dan konteks untuk terus dikaitkan antara
yang satu dengan yang lainnya dibatasi pada penelitian "masyarakat
primitif", di mana bagi mereka bahasa merupakan cara bertindak dan
bukannya alat refleksi, namun dia kemudian memformulasikan
pandangannya untuk memasukkan perlunya konteks dalam interpretasi
semua bahasa, semua jenis penggunaan, termasuk masalah keberaksaraan
(Duranti, 1988).
Definisi tentang makna, memaksa kita pada jenis observasi yang
baru dan lebih luas, agar dapat menunjukkan makna kata-kata. Kita tidak
hanya harus memberikan suara ujaran dan persamaan signifikansi. Yang
terpenting, kita harus memberikan konteks pragmatik di mana kata-kata
tersebut diucapkan, korelasi suara dengan konteks, dengan tindakan dan
dengan peralatan; dan sambil lalu, dalam deskripsi linguistik yang lengkap
akan menjadi penting juga untuk menunjukkan jenis-jenis latihan atau
pengkondisian atau pembelajaran dimana kata-kata memerlukan
interpretasi makna.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya konteks
di mana suatu kata, ujaran, kalimat dan bahkan wacana itu berlangsung.
Dengan kata lain konteks dapat menentukan makna kata, makna ujaran,
makna kalimat dilihat dari konteks pragmatiknya dan topik suatu wacana.
Dalam dua puluh tahun terakhir atau lebih, istilah konteks
didefinisikan kembali ke dalam bermacam-macam versi untuk
memasukkan cakupan penggunaan bahasa yang potensial dan sebenarnya,
yaitu dimensi ruang dan waktu dari interaksi tersebut serta tujuan
partisipan. Tiga gagasan yang telah diadopsi dan dibahas dalam etnografi
komunikasi, yaitu: masyarakat tutur (speech community), peristiwa tutur
(speech event), dan tindak tutur (speech act).

Masyarakat Tutur (Speech Community)


Masyarakat tutur (Speech Community) didefinisikan sebagai
sekelompok masyarakat yang menggunakan aturan yang sama dalam
menginterpretasi dan menggunakan paling tidak satu bahasa (Gumperz,
1972: 16) atau variasi linguistik (Hymes 1972a: 54). Salah satu alasan
untuk menggunakan speech community sebagai titik awal dalam penelitian
linguistik adalah untuk menghindari asumsi bahwa pemakaian secara
bersama-sama terhadap "bahasa" yang sama menunjukkan adanya
pemahaman yang sama atas penggunaan dan maknanya dalam konteks
yang berbeda-beda (Hymes, 1972 a,b).
Para linguis secara umum menyetujui bahwa masyarakat tutur tidak
bisa disamakan secara persis dengan sekelompok orang yang berbicara
bahasa yang sama, karena para penutur bahasa Spanyol di Texas dan
Argentina merupakan anggota masyarakat tutur yang berbeda meskipun
mereka memiliki kode bahasa yang sama. Apakah fokus kita dalam
mendefinisikan masyarakat sebagai kajian harus berada dalam bentuk dan
penggunaan bahasa yang sama, atau pada batas-batas geografis dan politis
umum, ciri-ciri kebudayaan, dan bahkan mungkin karakteristik fisik. Oleh
karena itu, penggunaan dan interpretasi bahasa, kaidah berbicara, dan
sikap mengenahi bahasa merupakan bagian dari produk penelitian
etnografi. Dengan demikian semakin jelaslah untuk mendefinisikan
kelompok yang akan diteliti (speech community).
44
Dalam mendifinisikan masyarakat tutur seharusnya diarahkan pada
perbedaan ruang lingkup yang dimiliki masyarakat menurut kriteria yang
berbeda:
1. Merupakan kelompok manapun dalam masyarakat yang memiliki
sesuatu yang signifikan secara umum (termasuk agama, etnik, ras, usia,
tuli tidaknya, orientasi jenis kelamin, atau jabatan, tetapi bukan warna
mata atau tinggi badan).
2. Merupakan unit batasan fisik manusia yang memiliki kesempatan peran
sepenuhnya (suku atau bangsa yang terorganisir secara politis, tetapi
bukan satu jenis kelamin, satu usia, atau satu kelas saja seperti rumah
jompo atau kelompok sejenisnya).
3. Merupakan kumpulan etnisitas yang berada pada tempat yang sama
yang memiliki sesuatu yang bersifat umum (seperti dunia barat, negara-
negara berkembang, pasar umum Eropa, atau PBB) (Ibrahim, 1994: 21)
Pengertian speech community seharusnya tidak sekedar disamakan
dengan homogenitas linguistik dari sekelompok masyarakat tutur tertentu
(Hudson, 1980: 20). Dalam masyarakat Norwegia yang diteliti oleh Bloom
dan Gumperz (1972), misalnya, pemakai bahasa yang secara individu
dilahirkan dan dibesarkan dalam suatu masyarakat tutur menunjukkan
adanya perbedaan-perbedaan dalam bentuk penggunaan pengalihan kode,
interpretasi, dan nilainya. Salah satu cara untuk menerangkan perbedaan
semacam itu adalah dengan menegaskan bahwa hal tersebut merupakan
karakteristik penggunaan linguistik dalam kehidupan sosial: Ketika
menyelidiki segala seluk-beluknya secara rinci dengan metode lapangan
yang dirancang untuk memperoleh kemampuan berbicara dalam konteks
yang sesuai, maka semua masyarakat pengguna bahasa secara linguistik
berbeda dan hal ini dapat ditunjukkan bahwa perbedaan ini memberikan
fungsi komunikatif yang penting dalam menandai sikap-sikap
antarpengguna bahasa dan dalam memberikan informasi tentang identitas
sosial pengguna bahasa tersebut (Gumperz 1972: 13).
Cara lain dalam menghadapi berbagai perbedaan yang kebenarannya
dibuktikan oleh Gumperz (1968) adalah dengan cara berasumsi bahwa
pada hakikatnya masyarakat pengguna bahasa tidak ada kecuali sebagai
"prototipe" yang ada dalam pikiran manusia (Hudson, 1980: 30). Untuk
menguji asumsi tersebut, menjadi penting untuk dikemukakan bahwa ada
realitas psikologis dari segi penggunaan bahasa yang "deal" atau
prototipikal dalam kelompok masyarakat tertentu.
Beberapa temuan Labov's (1972) terhadap keseragaman jenis
tingkah laku evaluatif yang sangat jelas dapat digunakan dalam argumen
seperti itu. Pada saat yang sama, hasil kerjanya yang rinci terhadap pola-
pola variasi dalam ranah fonologis dan leksikal menunjukkan adanya

45
hipotesis yang berbeda, atau sebaliknya, yaitu gagasan bahwa "jenis" atau
keteraturan yang ditemukan tidak ada dalam pikiran seseorang melainkan
berada nun jauh di luar sana, yaitu di dalam dunia nyata (periksa Duranti,
1998: 219)
Oleh karena itu, segala gagasan tentang masyarakat bahasa (dan hal
ini juga akan menjadi benar dalam mendefinisikan "dialek" atau "logat
asli") akan bergantung pada dua fenomena: (1) pola-pola variasi dalam
kelompok pengguna bahasa juga dapat ditetapkan di tempat tertentu, di
luar homogenitas linguistik dan (2) aspek-aspek yang dicapai secara
kooperatif dalam tingkah laku manusia sebagai strategi untuk membentuk
keanggotaan dalam tingkah laku kehidupan sosial. Kemampuan
menerangkan (1) pada akhirnya bergantung pada keberhasilan kita dalam
memahami (2).
Bahasa sering berfungsi mempertahankan pemisahan identitas
masyarakat tutur di dalam masyarakat yang lebih besar, yang anggota
masyarakat tutur itu juga merupakan anggota dari masyarakat yang lebih
besar tersebut. Dalam kasus-kasus di mana individu dan kelompok
menjadi milik lebih dari satu masyarakat tutur, berguna sekali untuk
membedakan keanggotaan primer dan sekunder.
Dengan demikian, individu, khususnya dalam masyarakat yang
kompleks, bisa berpartisipasi dalam sejumlah masyarakat tutur yang diskrit
(terpisah) maupun yang overlap, seperti halnya mereka berpartisipasi
dalam setting sosial yang bervariasi yang dipilih oleh seseorang sebagai
orientasi dirinya sendiri pada saat tertentu dengan mengatur kaidah yang
digunakanmerupakan bagian dari strategi komunikasi.

Peristiwa Tutur (Speech Event)


Asumsi dasar tentang analisis speech event penggunaan bahasa
adalah bahwa suatu pemahaman tentang bentuk dan isi percakapan sehari-
hari dalam manifestasinya yang beraneka ragam menunjukkan adanya
suatu pemahaman tentang kegiatan sosial, di mana percakapan tersebut
terjadi (Duranti, 1988: 220). Namun demikian, aktivitas seperti itu tidak
hanya dibarengi oleh interaksi verbal, akan tetapi juga harus dibentuk
berbagai cara untuk untuk mendorong kemampuan berbicara yang
memiliki peran dalam konstitusi kegiatan sosial. Barangkali kasus yang
paling jelas adalah percakapan melalui telepon, yang tidak akan terjadi jika
tidak ada tukar-menukar percakapan. Bahkan kegiatan yang sangat
mengandalkan fisik seperti kegiatan olah raga atau ekspedisi perburuan,
sangat bergantung pada komunikasi verbal.
Bagaimanakah seseorang harus menghadapi tugas berat dalam
mengisolasi dan menggambarkan unit-unit peristiwa? Hymes (1972b: 56)
46
mengemukakan beberapa komponen peristiwa komunikatif dengan
akronim SPEAKING yang dirinci menjadi: (1) S: Situation/Setting
(situasi) 'tempat dan suasana tuturan'); (2) P: Partisipan (peserta tutur)
'pembicara, yang dituju, pendengar / penerima'; (3) E: Ends (akhir) 'hasil,
tujuan tutur'; (4) A: act sequence (urutan bertindak) 'bentuk pesan dan isi
pesan'; (5) K: key (kunci): 'Nada tutur'; (6) I: instrumentalities 'sarana
tutur'; (7) N: norms (norma-norma) 'norma interaksi dan interpretasi'; (8)G:
genres ' jenis tuturan'. (periksa juga Saville- Troike, 2003: 110).
Seiring dengan pendapat Hymes di atas, Poedjosoedarmo (1978)
mengembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat tutur di
Indonesia, khususnya masyarakat tutur Jawa. Komponen tutur dalam
versinya menjadi lebih rinci dan luas dari versi Hymes yang dijadikan
dasar. Menurut versi Poedjosoedarmo terdapat sedikitnya tiga belas
komponen tutur yang dapat mempengaruhi peristiwa tutur. Ketiga belas
komponen tutur tersebut adalah sebagai berikut: (1) Pribadi si penutur atau
orang pertama, (2) anggapan penutur terhadap kedudukan sosial dan
relasinya dengan orang yang diajak bicara, (3) kehadiran orang ketiga, (4)
maksud dan kehendak si penutur, (5) warna emosi si penutur, (6) nada
suasana bicara, (7) pokok pembicaraan, (8) urutan bicara, (9) bentuk
wacana, (10) sarana tutur, (11) adegan tutur, (12) lingkungan tutur, (13)
norma kebahasaan lainnya (periksa Rahardi, 2001: 35-50). Didasarkan
pada kaidah-kaidah kebahasaan dan penggunaanya, bahasa Jawa memiliki
kesamaan dengan bahasa Madura, sehingga komponen turtur menurut
versinya juga dapat dijadikan pembanding dan referansi dalam analisis
komponen tutur Hymes tersebut
Dalam sepuluh tahun terakhir atau lebih, unit speech-event dengan
analisis komponen tutur telah menjadi alat yang berguna untuk
menganalisis penggunaan bahasa di dalam dan antarmasyarakat.
Banyaknya sumbangan terhadap pemahaman peran pertuturan (speaking)
dalam arena politik, cara membesarkan anak, kegiatan membaca, dan
penyuluhan, baik eksplisit maupun tidak, telah membuat peran speech
event sangat berguna (Duranti 1988: 221; Scollon & Scollon 1981; Heath
1983; Brennies & Myers 1984;).
Speech event masih merepresentasikan tingkat analisis yang dapat
memiliki keunggulan dalam mempertahankan informasi tentang sistem
sosial secara keseluruhan. Sementara itu, pada saat yang sama
memungkinkan peneliti melihat secara mendalam seluk-beluk tindakan
orang per orang.
Model pertuturan juga merepresentasikan perbedaan yang mendasar
antara EK dan cabang linguistik lain dalam bermacam-macam versi.
Cabang tersebut telah selalu mempertahankan status etic (phonetic)

47
tertentu dan tanpa dibarengi dengan teori (umum) yang berkaitan dengan
komponen yang beraneka ragam.
Dalam program Hymes (1972a), pembahasan teori seperti itu
tampaknya hanya memungkinkan pada level lokal (yaitu berkenaan
dengan masyarakat tertentu) dan bukan dalam kerangka yang lebih global
dan komparatif. Dalam EK hal ini diperlukan, di mana tidak pernah ada
usaha dalam memformulasikan fonemik umum dari peristiwa komunikasi.
Hubungan antara komponen-komponen model tersebut terbukti sangat
berarti dalam masyarakat tertentu, akan tetapi tidak perlu menunjukkan
prinsip yang universal dari hubungan antara kemampuan bertutur dan
konteks dalam masyarakat pada umumnya. Sedikit usaha, seperti yang
dilakukan Irvine (1979), terbukti merupakan pembahasan tentang
bagaimana seseorang seharusnya tidak berkesimpulan tentang segi
universal dari kelompok masyarakat tertentu; yaitu apa yang dianggap
"formal" dalam satu konteks tidak harus formal dalam konteks yang lain.
(Beberapa perkecualian di sini berlaku pada beberapa usaha dalam
menjelaskan bentuk areal secara umum, di mana ada studi lokal yang dapat
mencakup kemungkinan tersebut, misalnya yang dilakukan oleh Roberts &
Forman, 1972; Abrahams, 1983).
Jika beberapa jenis tuntutan universal diterima oleh EK, maka hal
ini akan menjadi sama dengan apa yang disebut Merlau-Ponty sebagai
lateral universal, yaitu universalitas usaha intersubjektif ketimbang
struktur. Untuk memahaminya, kita harus merefleksikan kembali tujuan-
tujuan yang ingin dicapai EK. Berbeda dengan pendekatan-pendekatan lain
dalam linguistik, EK sangat peduli dengan penggunaan bahasa sebagai
perekat dan alat dalam kehidupan sosial. Ini berarti bahwa ahli etnografi
objektif dan intersubjektif (yaitu, intuisi, audio-recording, transkripsi,
wawancara, partisipasi dalam kehidupan "subjek") terlibat dalam
mempelajari "objek" yang lebih kompleks dan lebih multi bentuk daripada
yang diteliti dalam cabang linguistik lain. Salah satu tujuan EK adalah
untuk mempertahankan kompleksitas languange as praxis daripada
menguranginya menjadi pokok-pokok yang abstrak dan independen
(Duranti, 1988: 223).
Kritik yang memungkinkan terhadap kelemahan analisis speech
event adalah bahwa ia cenderung menyeleksi bidang-bidang interaksi yang
dilabeli oleh suatu budaya, akan tetapi ia dapat mengabaikan interaksi-
interaksi yang tidak dikenal oleh anggota-anggotanya sebagai bagian-
bagian. Hal yang perlu dijelaskan di sini bahwa walaupun keberadaan
istilah leksikal bagi "bidang interaksi" hanya merupakan pendukung dari
pengorganisasian pengalaman lapangan, akan tetapi istilah tersebut
merupakan kata kunci yang menarik bagi pekerja lapangan.

48
Tindak Tutur (Speech act)
Bahasa memiliki banyak fungsi untuk memenuhi kebutuhan para
penggunanya. Fungsi utama bahasa adalah alat untuk menyampaikan
pesan atau maksud dari penutur kepada petutur (mitra tutur). Maksud yang
terkandung dalam komunikasi tersebut diungkapkan dengan kalimat.
Kailmat-kalimat yang komunikatif terbagi menjadi dua kategori
berdasarkan maknanya, yakni (1) kalimat perlakuan (performative) dan (2)
kalimat pernyataan (constative). Tujuan speech act menurut Austin, (1962:
98-99) adalah menekankan pada fungsi pragmatik dari kemampuan
berbicara, yang tidak hanya menggambarkan pandangan dunia, akan tetapi
juga mengubahnya sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di
masyarakat pada umumnya.
Penerimaan tujuan speech act tidak perlu disampaikan secara tidak
langsung akan diterimanya landasan epistimologi atau ideologi yang
mendasari teori tindakan komunikasi (Pratt, 1981). Secara khusus, teori
seperti itu dikatakan telah banyak memberi keunggulan bagi perhatian
pengguna bahasa sebagai definisi makna pengucapan. Akhir-akhir ini
sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa peran yang diberikan atas
perhatian pengguna bahasa dalam menginterpretasi cara berbicara
sebenarnya berbeda antarbudaya dan konteksnya (Streeck, 1980; Duranti,
1988: 225).
Kalimat-kalimat perlakuan relatif tidak begitu banyak jumlahnya
dalam suatu bahasa; yang jauh lebih banyak adalah kalimat pernyataan.
Austin (1962) mengatakan bahwa makna atau juga disebut nilai kalimat
adalah tindakan membuat janji itu. Jadi mengucapkan kalimat adalah
perlakuan berjanji dan kalimat itu disebut kalimat perlakuan. Di sini
tidak dipermasalahkan benar atau tidak benar, baik apa yang dikatakan
dalam kalimat saya datang besok, maupun kalimat induknya saya
berjanji. Dengan kata lain berjanji itu adalah pengucapan kalimat: saya
berjanji datang besok pagi. Selanjutnya, teori sebagai hasil pengkajian
kalimat-kalimat sebagai ungkapan disebut teori tindak tutur (speech act
theory).
Menurut Searle (1985: 16), dalam komunikasi bahasa terdapat
tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bahasa bukan sekadar
lambang, kata, atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk
atau hasil dari lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku tindak
tutur. Lebih tegasnya, tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu
kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari
komunikasi bahasa. Sebagaimana komunikasi bahasa yang dapat berwujud
pernyataan, petanyaan, dan perintah (Yule, 1996).

49
Wijana (2010: 92-94) mengemukakan, tindak tutur (speech act)
adalah berbagai bentuk tindakan yang dapat dilakukan oleh penutur
(termasuk juga penulis) dalam menggunakan bahasanya. Menurutnya,
sekurang-kurangnya ada 7 jenis tindak tutur yang mungkin dilakukan oleh
penutur. Ketujuh jenis tindak tutur itu adalah tindak tutur asertif,
performatif, verdikatif, ekspresif, direktif, komisif, dan fatis. Pembagian
tersebut didasarkan pada fungsi-fungsi yang dimainkan dalam setiap
tuturan pada peristiwa komunikasi. Sudut pandang fungsional dalam hal
ini harus dibedakan dengan sudut pandang formal yang selama ini
digunakan oleh ilmu tata bahasa di dalam menggolong-golongkan kalimat.
Penggolongan kalimat menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya
(introgatif), dan kalimat perintah (imperatif) didasrakan atas kriteria yang
bersifat formal, yakni lagu akhir (terminal counter) masing-masing kalimat
itu. Selanjutnya Wijana memmberi contoh sebagai barikut:
(1) Udaranya dingin sekali.
(2) Apakah pohon-pohon yang sudah susah payah kita tanam ini harus
ditebang?
(3) Pergi lagi sana!
Ketiga kalimat tersebut dari sudut pandang struktural masing-
masing adalah: (1) kalimat berita, (2) kalimat tanya, dan (3) kalimat
perintah. Namun dari sudut pandang fungsional, ketiga kalimat di atas
dapat memerankan fungsi-fungsi yang mungkin saja sama atau berbeda
bergantung pada konteks tuturannya yang berkaitkan dengan siapa yang
berbicara, kepada siapa, dimana, dan untuk apa pembicaraan itu. Misalnya,
dalam konteks tuturan (1) bukan kalimat berita, tetapi perintah tidak
langsung kepada seseorang untuk menutup pintu atau mematikan AC.
Demikian juga tuturan (2) bukanlah pertanyaan yang sebenarnya, boleh
jadi merupakan strategi tidak langsung untuk mempengaruhi lawan tutur
agar mendukung usulan penutur untuk tidak menebang pohon. Adapun
tuturan (3) mungkin juga merupakan larangan yang diutarakan secara tidak
literal agar lawan bicara tidak pergi. Dengan demikian, kalimat yang
secara formal sudah memiliki bentuk yang relatif tetap, ternyata
memungkinkan memiliki fungsi yang berbeda-beda, sehingga
dimungkinkan lawan tutur dapat menangkap sesuatu yang diungkapkan
secara langsung atau tidak langsung, secara literal atau tidak literal, dan
berbagai maksud yang lain adalah karena penutur dan lawan tutur
memiliki asumsi dan penfsiran yang sama terhadap kaidah-kaidah
pertuturan beserta berbagai prinsip yang mengatur berlangsungnya
pertuturan yang wajar, termasuk berbagai macam penyimpangannya.
Dalam pertuturan yang wajar, penutur lazimnya ingin mengemukakan

50
sesuatu dan berharap lawan tutur dapat menagkap atau memahami apa
yang diungkapkannya secara rasional.
Tindak tutur dalam ujaran suatu kalimat merupakan penentu makna
kalimat itu. Namun makna kalimat tidak ditentukan hanya oleh tindak tutur
seperti dalam kalimat yang sedang diujarkan itu, tetapi selalu dalam
prinsip adanya kemungkinan untuk menyatakan secara tepat apa yang
dimaksud oleh penuturnya. Oleh sebab itu, mungkin juga dalam setiap
tindak tutur, penutur menuturkan kalimat yang unik karena dia berusaha
menyesuaikan ujaran dengan konteksnya. Dalam pegertian seperti itu,
studi tentang makna kalimat dan studi tentang tindak tutur bukanlah dua
studi yang terpisah, melainkan satu studi dengan dua paradigma yang
berbeda. Dengan demikian, teori tindak tutur adalah teori yang lebih
cenderung meneliti tentang makna kalimat dan bukannya teori yang lebih
cenderung berusaha menganalisis struktur kalimat (Rani, 2004: 159)
Oleh karenanya, tuturan yang sama dapat digunakan pada tujuan
yang berbeda, berdasarkan pada pemahaman yang berbeda tentang
peristiwa sosial dimana konteks percakapan tersebut berlangsung. Tugas
penganalisis adalah menerangkan hubungan antara realitas subjektif
pengguna bahasa, bentuk linguistik yang dipilih dan respon dari audien:
"Level tindakan komunikasi segera menjembatani antara tingkat tata
bahasa biasa dan situasi, sehingga ia mengimplikasikan bentuk linguistik
dan norma-norma sosial" (Hymes, 1972 a: 7).
Apabila seseorang ingin mengemukakan sesuatu kepada orang lain,
maka apa yang ingin dikemukakannya itu adalah makna atau maksud suatu
kalimat. Untuk menyampaikan makna atau maksud tersebut, penutur harus
menuangkan dalam wujud tindak tutur. Tindak tutur yang akan
disampaikannya tergantung kepada beberapa faktor, antara lain: dengan
media bahasa apa dia harus bertutur, kepada siapa dia akan menyampaikan
ujarannya, dalam situasi bagaimana ujaran itu disampaikan, dan
kemungkinan-kemungkinan struktur manakah yang ada dalam bahasa yang
dipergunakannya. Dengan demikian, untuk satu maksud, perlu
dipertimbangkan berbagai kemungkinan tindak tutur sesuai dengan posisi
penutur, situasi tutur, dan kemungkinan struktur yang ada dalam bahasa
itu.
Posisi penutur dan situasi ujaran yang berbeda akan menyebabkan
perbedaan tindak tuturnya. Tindak tutur untuk menyampaikan maksud
seperti itu dalam suatu bahasa tertentu akan berbeda lagi apabila yang
dipergunakan bahasa yang lain. Bahasa Madura misalnya, akan segera
nampak perbedaan tindak tuturnya jika dibandingkan dengan bahasa
Indonesia. Kemungkinan memilih tidak tutur sangat ditentukan oleh
bahasa itu untuk menyampaikan ujarannya (Hymes, 1972a: 8)

51
Yule (1996: 48-49) menyatakan bahwa secara analitis dapat
dipisahkan tiga macam tindak tutur yang terjadi secara serentak yaitu: (1)
tindak lokusi (locutinary act) (2) tindak ilokusi (illocutionary act) (3)
tindak perlokusi (perlocutionary act). Tindak lokusi menurut Searle
disebut tindak proposisi (propotional act) mengacu pada aktivitas bertutur
kalimat tanpa disertai tanggung jawab penuturnya untuk melakukan suatu
tindakan tertentu. Dalam tindak lokusi seorang penutur mengatakan
sesuatu secara pasti. Gaya bahasa si penutur langsung dihubungkan dengan
sesuatu yang diutamakan dalam isi ujarannya. Dengan demikian, sesuatu
yang diutamakan dalam tindak lokusi adalah isi ujaran yang diungkapkan
oleh penutur. Lyons (1977) menjelaskan bahwa tindak lokusi itu adalah
suatu tindak berkata, yaitu menghasilkan ujaran dengan makna dan
referensi tertentu. Selanjutnya Austin menyatakan: Tindak tutur itu
merupakan dasar bagi dilakukannya tindak tutur lain, lebih-lebih terhadap
tindak ilokusi (periksa Rani, 2004: 160).
Tindak ilokusi adalah suatu tindak yang dilakukan dalam
mengatakan sesuatu seperti membuat janji, membuat pernyataan,
mengeluarkan perintah atau permintaan, menasbihkan nama sebuah kapal,
dan lain-lain (Lyons, 1977: 730). Kaitannya dengan tindak ilokusi, Austin
mengatakan bahwa tindak mengatakan sesuatu (of saying) berbeda dengan
tindak dalam mengatakan sesuatu (in saying). Tindak mengatakan sesuatu
hanyalah bersifat mengungkapkan sesuatu, sedangkan tindak dalam
mengatakan sesuatu mengandung tanggung jawab si penutur untuk
melaksanakan sesuatu sehubungan dengan isi ujarannya. Tindak dalam
mengatakan sesuatu inilah yang oleh Austin disebut tindak ilokusi,
sedangkan tindak mengatakan sesuatu lebih dekat hubungannya dengan
tindak lokusi. Dalam tindak ilokusi didapatkan suatu daya atau kekuatan
(force) yang mewajibkan si penutur untuk melaksanakan sesuatu tindak
tertentu (Rani, 2004: 161).
Secara khusus, searle mendeskripsikan tindak ilokusi ke dalam lima
jenis tindak tutur, yaitu: (1) Asertif atau representatif ialah tindak tutur
yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu adanya, misalnya
pemberian pernyataan, pemberian saran, pelaporan, pengeluhan, dan
sebagainya; (2) Komisif adalah tindak tutur yang mendorong penutur
melakukan sesuatu, misalnya bersumpah, berjanji, mengusulkan; (3)
Direkstif adalah tindak tutur yang berfungsi mendorong pendengar
melakukan sesuatu, misalnya menyuruh, meminta, menasehati; (4)
Ekspresif, yaitu tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap,
misalnya berupa tindakan meminta maaf, berterima kasih, menyampaikan
ucapan selamat, memuji, menyatakan bela sungkawa, mengkritik.
Tindakan ini berfungsi untuk mengekspresikan dan mengungkapkan sikap

52
psikologis penutur terhadap mitra tutur; dan (5) Deklarasi, yakni tindak
tutur yang menghubungkan isi proposisi dengan realitas yang sebenarnya,
misalnya membaptis, menghukum, menetapkan, memecat, memberi nama,
dan sebagainya (Rani, 2004: 162).
Kategori yang terakhir (5) itu menurut Searle, merupakan kategori
tindak ilokusi yang sangat spesifik. Tindak deklarasi dilaksanakan oleh
seseorang yang mempunyai tugas khusus untuk melakukannya dalam
kerangka kerja institusional. Misalnya, seorang hakim, yang bertugas
menjatuhkan hukuman, seorang wali yang menikahkan anaknya, dan
seorang pejabat yang meresmikan dimulainya sebuah acara seminar.
Sebagai tindak institusional, kata-kata tersebut jarang diucapkan secara
spontan. Sebagai contoh, pernyataan seorang hakim dalam menjatuhkan
hukuman kepada terdakwa pada umumnya berbentuk klise, tidak berubah
dari satu terdakwa ke terdakwa lainnya dan dinyatakan dengan tegas
(periksa Leech, 1993: 316-317).
Jika kita cermati, dalam tindak ilokusi terlihat bahwa isi ujaran lebih
ditujukan pada diri si penuturnya. Dalam tindak perlokusi, isi ujaran itu
lebih ditujukan pada diri si pendengar. Austin mengemukakan bahwa
mengatakan sesuatu sering menimbulkan pengaruh pasti. Implikasi tindak
lokusi terhadap pendengar inilah yang disebut tindak perlokusi, yaitu
tindak tutur yang dilakukan untuk mempengaruhi orang lain, misalnya:
menjadikan orang marah, dan membuat seseorang tertawa. Dengan kata
lain untuk membuat orang lain bereaksi. Tujuan tertentu yang dirancang
oleh si penutur dalam isi ujarannya merupakan ciri khas tindak tutur
perlokusi (Leech, 1993: 316-317).
Dalam ilmu bahasa dapat disamakan tindak lokusi dengan
predikasi tindak ilokusi dengan maksud kalimat dan tindak perlokusi
dengan akibat suatu ungkapan (Rani, 2004: 163). Dengan demikian dapat
dikatakan pula bahwa lokusi adalah makna dasar atau referensi kalimat,
ilokusi sebagai daya yang ditimbulkan oleh pemakainya sebagai perintah,
permintaan, ejekan, keluhan, pujian, dan lain sebagainya; dan perlokusi
adalah hasil dari ucapan tersebut terhadap pendengarnya.

Pendalaman Materi
1. Jelaskan peran konteks dalam penggunaan bahasa!
2. Jelaskan pengertian masyarakat tutur sebagai konteks tempat terjadi
tuturan!
3. Mengapa peristiwa tutur dikatakan sebagai bagian dari konteks?
4. Sebutkan macam-macam tindak tutur dan berilah contoh-contoh dari
masing-tindak tutur!

53
5. Dengan menggunakan media ICT carilah pengetahuan lebih luas
tentang konteks, dan buatlah rangkuman!

54
Bab 5
Desain dan Metode Penelitian
Etnografi Komunikasi

Kompetensi dan Pengantar


Setelah mempelajari bab ini dengan baik, pembelajar diharapkan
memiliki kompetensi sebagai berikut:
Memahami prosedur penelitian etnografi komunikasi terutama yang
terkait dengan pola komunikasi;
Dapat merumuskan permasalahan penelitian paradigma penelitin
etnografi komunikasi;
Memahami dan mampu menyusun landasan teori yang relevan dengan
kajian etnografi komunikasi;
Memahami konsep metode penelitian etnografi komunikasi dan mampu
mendesain metode penelitan terkait pola komunikasi;
Memahami prosedur penelitian dan langkah-langkah penelitian
etnografi komunikasi;
Memahami tahapan-tahapan dalam penelitian etnografi komunikasi;
Memahami teknik pengumpulan data dalam penelitian etnografi
komunikasi;
Memahami analisis data komponen tutur;
Memahami dan Mampu menyajikan hasil analisis data dalam bentuk
laporan penelitian;
Memahami cara penyajian hasil penelitian etnografi komunikasi.

Bab ini akan memaparkan bagaimana mendesain paradigma


metode penelitian kualitatif khsusnya fokus kajian etnografi komunikasi
yang disertai dengan contoh topik penelitian pola komunikasi warga NU
etnik Madura yang merupakan bagian hasil penelitian disertasi penulis.
Namun demikian, desain dan metode penelitian ini juga bisa diadopsi
untuk penelitian-penelitian paradigama kualitatif lainnya pada ilmu yang
sejenis dan berdekatan dalam skim keilmuan sosial humaniora.
Mendesain Latar Belakang Masalah
Bagian Latar belakang memuat alur pemikiran tentang pemilihan
topik dan area penelitian yang mencakup latar belakang masalah, ruang
lingkup, dan batas-batas penelitian. Dalam bagian ini dikemukakan data
dan fakta yang mendorong timbulnya masalah dan pentingnya masalah
yang akan digali dan dibahas melalui penelitian. Di samping itu,
dikemukakan pula bahwa masalah itu merupakan gagasan asli, yang
berbeda dengan penelitian atau tulisan sebelumnya. Temuan penelitian
terdahulu dari berbagai sumber informasi dan beberapa asumsi dapat
dimuat dalam latar belakang atau bisa pada tinjauan pustaka. Dalam
paparan tersebut hendaknya ditunjukkan bahwa penelitian yang sudah
dilakukan belum sempurna atau topik dan aspeknya berbeda dengan
penelitian yang akan dilaksanakan. Penelitian yang sudah dilakukan
berbeda dengan penelitian yang akan dilaksanakan (jika perlu uraikan
perbedaan tersebut).

Contoh Latar Belakang Masalah Berkaitan Pola Komunikasi


Bahasa merupakan suatu produk sosial dan budaya, bahkan
merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk
sosial dan budaya tentu bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan
dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi
yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Sudah barang tentu,
bahasa sebagai hasil budaya megandung nilai-nilai masyarakat penuturnya
(Sumarsono, 2002: 20-21).
Masalah utama dalam pemakaian bahasa suatu etnik adalah
kesalahan dalam persepsi sosial yang disebabkan oleh perbedaan-
perbedaan budaya yang mempengaruhi proses pemahaman terhadap
bentuk-bentuk pemakaian bahasa yang dilakukan orang lain. Pemberian
makna suatu pesan sangat dipengaruhi oleh budaya pengirim maupun
penerima pesan. Kesalahan-kesalahan fatal dalam memahami makna dapat
menyebabkan persepsi yang salah terhadap maksud dan tujuan pemakaian
bahasa.
Warga NU yang jumlahnya cukup besar memilki tradisi dan budaya
yang sangat unik, khususnya yang berlatar belakang etnik Madura.
Menurut pendapat Sutarto (2005) NU dikenal sebagai kekuatan Islam yang
sangat menghormati tradisi dan budaya lokal, bahkan ada yang menyebut
NU sebagai kelompok Islam tradisional, Islam kultural, kelompok
sarungan, kolot dan entah apa lagi. Mereka (warga NU) hidup di tengah
perpaduan antara tradisi dan syariat Islam.
Pola-pola komunikasi yang digunakan warga NU etnik Madura
tidak terlepas dari kategori dan fungsi bahasa yang tercermin dalam
komponen tutur, bahasa dan pilihan bahasa yang digunakan, alih giliran
tutur, tingkat tutur (ondhghn bhsa / speech level), serta simbol-simbol
yang ditampakkan melalui gerakan-gerakan tubuh (body language), dan
intonasi (tone) sebagai aspek pendukung pemahaman terhadap tindak tutur
dalam bahasa verbal.
56
Pola-pola tersebut tercermin ketika orang muda berbahasa kepada
yang lebih tua dan sebaliknya; orang yang status sosialnya lebih rendah
kepada orang yang status sosialnya lebih tinggi dan sebaliknya; orang yang
tidak mempunyai peran kepada orang yang mempunyai peran dalam
masyarakat dan sebaliknya; orang yang tidak mempunyai jabatan kepada
orang yang mempunyai jabatan baik dalam instansi ataupun dalam
masyarakat dan sebaliknya; bawahan kepada atasannya dan sebaliknya;
dan Guru/Kiai kepada murid/santri dan sebaliknya, serta bagaimana warga
NU etnik Madura berkomunikasi dengan kelomopok sosial yang lain.
Kesalahan dalam penggunaan pola-pola komunikasi tersebut dalam
konteks warga NU etnik Madura merupakan masalah yang dapat
menyebabkan interpretasi yang negatif terhadap pemakainnya. Mereka
telah dianggap melanggar konvensi dalam pemakaian bahasa yang berlaku
di lingkungan masyarakat tersebut sehingga dapat menyebabkan seseorang
terisolir dari pergaulan dan bahkan akan menuai cercaan dan cacian di
masyarakat.
Makna ilmiah penelitian ini adalah memberikan perspektif baru
terhadap kajian linguistik yang berhubungan dengan konteks sosial dan
budaya komunitas tertentu (etnografi komunikasi), khususnya komunitas
warga NU etnik Madura. Rekomendasi penelitian ini diharapkan menjadi
acuan dalam mencari solusi pemecahan terjadinya masalah konflik dan
kesenjangan hubungan yang terjadi akibat kegagalan komunikasi baik
antarakomunitas warga NU etnik Madura, maupun dengan komunitas lain
di luar NU.

Identifikasi, Pemilihan, dan Perumusan Masalah Penelitian


Munculnya masalah atau permasalahan itu, karena adanya
kesenjangan (gap) das Sollen dan das Sein ada perbedaan antara apa
yang seharusnya ada dan apa yang ada dalam kenyataan, antara apa yang
diperlukan dan apa yang tersedia, antara harapan dan kenyataan, dan lain
sebagainya yang sejenis dengan itu. Penelitian diharapkan dapat
memecahkan masalah-masalah itu.

Identifikasi Masalah Penelitian


Identifikasi masalah dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya:
(1) Melalui bacaan terutama bacaan yang berisi hasil laporan hasil
penelitian tentang kajian etnografi komunikasi;
(2) Melalui even-even yang mendiskusikan tentang poblematika yang
terjadi di masyarakat tutur, seperti: seminar, diskusi, dan lain-lain
pertemuan ilmiah;

57
(3) Pernyataan pemegang otoritas atau pengambil kebijakan tentang
permasalahan-permaslahan yang terjadi di masyarakat tutur;
(4) Pengamatan sepintas (observasi awal), observasi awal dilakukan
setelah kita membaca, melihat, atau merasakan fenomena-fenomana
yang tidak selazimnya terjadi di masyarakat tutur suatu etnik;
(5) Pengalaman pribadi, identifikasi masalah dapat bersumber pada
pengalaman pribadi yang kurang menyenagkan dalam peristiwa
komunikasi;
(6) Perasaan intuitif terkait pola komunikasi masyarakat tutur suatu etnik.

Pemilihan Masalah Penelitian


Agar dalam pelaksanaan penelitian etnografi komunikasi yang pada
umumnya penelitian lapang berjalan sesuai yang dinginkan, dalam
memilih masalah penelitian, peneliti perlu mempertimbangkan aspek
terkait dengan kegunaan capaian hasil penelitian dan aspek penunjang
pelaksanaan penelitian. Aspek-aspek tersebut dapat dijabarkan sebagai
berikut:

(1) Pertimbangan dari Sisi Arah Masalahnya


(a) Dalam rangka pengembangan teori dalam bidang ilmu etnografi
komunikasi dengan dasar teoritis penelitiannya, dan
(b) Pemecahan masalah-masalah praktis berkaitan kajian etnografi
komunikasi.
(2) Pertimbangan Dari Arah Calon Peneliti
Mengingat penelitian etnografi komunikasi memiliki ciri observasi
partisipasi di lapangan yang memerlukan cukup waktu, maka perlu
dipertimbangkan hal-hal berikut.
(a) Biaya yang tersedia untuk pelaksanaan penelitian,
(b) waktu yang tersedia,
(c) alat-alat dan perlengkapan yang tersedia,
(d) bekal kemampuan teoretis, dan
(e) Penguasaan metode yang diperlukan.

Merumuskan Masalah Penelitian


Kecermatan dalam merumuskan masalah penelitian amat penting
dalam mendisain penelitian etnografi komunikasi karena rumusan masalah
akan mengarahkan peneliti untuk memilih data yang tepat sebagai jawaban
terhadap fenomena-fenomana yang terjadi di masyarakat tutur. Oleh
karena itu, dalam merumuskan masalah perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:

58
(1) Rumusan masalah berisi uraian tentang masalah-masalah yang akan
dipecahkan dalam penelitian pendekatan etnografi komunikasi;
(2) Perumusan masalah merupakan pernyataan akumulatif dari berbagai
hal yang ada dalam latar belakang masalah yang terjadi di masyarakat
tutur;
(3) Agar pemecahan masalah yang diajukan dapat dituntaskan dan tidak
salah arah, ruang lingkup masalah bisa dibatasi dan dinyatakan atau
dirumuskan dengan jelas;
(4) Perumusan masalah yang dinyatakan dalam kalimat tanya akan lebih
jelas daripada jika dinyatakan dalam kalimat berita;
(5) Perumusan masalah dapat dirangkum dalam satu permasalahan pokok
dan dapat pula dirinci menjadi lebih dari satu permasalahan.

Contoh Rumusan Masalah


Berdasarkan pada latar belakang tersebut, dapat dirumuskan
permasalahan penelitian ini sebagai berikut: Bagaimana pola komunikasi
Warga Nahdlatul Ulama Etnik Madura (WNUEM) di Jember?
Rumusan masalah tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Bagaimana pola komunikasi antarkiai?
2. Bagaimana pola komunikasi kiai-UNUEM?
3. Bagaimana pola komunikasi UNUEM?
4. Bagaimana bentuk pola dan strategi penyampaian pesan WNUEM yang
efektif untuk mencapai tujuan tutur?
5. Mengapa terjadi pola komunikasi WNUEM di Jember?

Contoh Pembatasan Masalah


Penelitian tentang pola komunikasi dengan objek penelitian bahasa warga
NU memiliki cakupan yang sangat luas. Oleh karena itu, agar penelitian ini
lebih spesifik sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian,
peneliti perlu melakukan pembatasan-pembatasan berkaitan dengan
subaktivitas penelitian, objek penelitian, dan peristiwa tutur, sebagai
berikut:
1. Berkaitan dengan pola komunikasi, penelitian ini berkonsentrasi pada
subaktivitas penggunaan kode tutur yang meliputi: penggunaan tingkat
tutur (speech level), pilihan bahasa sebagai bentuk alih kode dan
campur kode, nada suara (tone), bahasa tubuh (body language), dan alih
giliran tutur.
2. Berkaitan dengan objek penelitan yakni bahasa warga NU yang terdiri
dari barbagai etnik di Jember, penelitian ini hanya berfokus bahasa
yang digunakan warga NU etnik Madura (WNUEM) karena WNUEM

59
merupakan etnik terbesar di Jember yang memiliki kekhasan dan
keunikan kultur yang tecermin dalam pola komunikasinya. Adapun
bahasa yang paling dominan digunakan oleh WNUEM adalah BM. BI
dan BA juga digunakan sebagai alih kode dan campur kode.
3. Berkaitan dengan peristiwa tutur, penelitian ini mencakup situasi
formal dan informal. Dalam situasi formal, hanya berfokus pada setting
pertemuan-pertemuan yang bersifat rutin, pengajian, acara perkawinan,
dan hari-hari besar Islam. Adapun situasi informal hanya berfokus
pada obrolan sehari-hari dan pertemuan yang sifatnya santai seperti di
masjid, mushalla/langgar NU, rumah WNUEM, dan termasuk dalam
ranah keluarga. Peristiwa tutur dalam pertemuan-pertemuan formal dan
informal yang bekaitan dengan politik, jual beli seperti di toko dan di
pasar, tidak tercakup dalam penelitian ini karena merupakan
permasalahan yang pembahasannya sangat luas dan juga membutuhkan
energi yang besar sehingga perlu diteliti secara khusus pada even-even
penelitian yang lain.

Merumuskan Tujuan Penelitian


Dalam merumuskan tujuan penelitian, peneliti seharusnya
memparhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Tujuan Penelitian berisi tentang tujuan penelitian secara spesifik yang
ingin dicapai dari penelitian yang hendak dilakukan. Namun demikian,
tujuan penelitian bisa didesain menjadi tujuan umum dan tujuan
khusus;
2) Tujuan penelitian bekaitan erat dengan permasalahan dan merupakan
arahan jawaban terhadap hipotesis/asumsi penelitian;
3) Tujuan penelitian memuat hasil-hasil yang hendak dicapai dan tidak
boleh menyimpang dari permasalahan yang telah dikemukakan.

Contoh Rumusan Tujuan Penelitian


a. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menggali dan
mendeskripsikan pola komunikasi WNUEM di Jember.
b. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan pola komunikasi antarkiai.
2. Mendeskripsikan pola komunikasi kiai-UNUEM.
3. Mendeskripsikan pola komunikasi UNUEM.
4. Mendekripsikan bentuk pola dan strategi penyampaian pesan
WNUEM yang efektif untuk mencapai tujuan tutur.
60
5. Menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pola
komunikasi WNUEM di Jember .

Manfaat Penelitian
Manfaat atau kontribusi penelitian memaparkan kegunaan hasil
penelitian yang akan dicapai, baik untuk kepentingan ilmu (pengembangan
teori), kebijakan pemerintah, maupun menyelesaikan permasalahan yang
terjadi di masyarakat luas. Manfaat penelitian dapat juga dirumuskan
dalam bentuk kontribusi teoritis dan kontribusi praktis.

Contoh Rumusan Kontribusi Penelitian


Penelitian ini akan memberikan dua kontribusi positif, yakni
kontribusi teoritis dan kontribusi praktis.
Dari segi teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
pengembangan teori dalam bidang sosiolinguistik khususnya dalam kajian
etnografi komunikasi yang berkaitan dengan pola komunikasi yang
digunakan oleh komunitas tertentu. Karena keunikan dan kekhasan
penggunaan kode-kode bahasa yang merupakan refleksi dari kultur pada
WNUEM telah membentuk keunikan dan kekhasan bahasa yang
digunakan sehingga deskripsi ini diharapkan dapat memperkaya teori-teori
dalam kajian etnografi komunikasi.
Dari segi praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
acuan bagi warga NU dalam berkomunikasi. Selain itu, rekomendasi hasil
penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi pihak terkait dan organisasi
Nahdlatul Ulama untuk mengidentifikasi akar masalah yang berkaitan
dengan kegagalan komunikasi yang sering terjadi baik antar-WNUEM
sendiri, maupun antara WNUEM dengan mitra tutur yang lain (di luar
warga NU) yang berbeda kultur.

Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka memuat uraian sistematis tentang hasil-hasil
penelitian terdahulu yang ada hubungannya dengan penelitian yang
dilakukan. Jelaskan persamaan dan perbedaan dengan permasalahan yang
sedang diteliti, sehingga mengarah mengapa penelitian itu dilakukan (lihat
Bab 2).
Adapun landasan teori dijabarkan dari berbagai literatur yang gayut
dengan permasalahan yang akan diteliti sebagai landasan dalam
memecahkan masalah dan juga untuk merumuskan hipotesis atau asumsi-
asumsi dasar.

61
Landasan Teori bisa dirujuk dari konsep-konsep dan teori-teori pada
bab sebelumnya dan buku-buku lain atau berkala ilmiah yang relevan
dengan topik penelitian (lihat Bab 2).
Landasan teori dapat dilakukan dengan tahapan berikut:
1. Mengumpulkan pendapat atau teori berkaitan etnografi komunikasi
yang telah ada yang berkaitan dengan masalah yang akan dipecahkan;
2. Membandingkan dan memilih teori etnografi komunikasi yang paling
relevan dengan masalah yang dibahas;
3. Mengadakan penilaian kelemahan dan keunggulan teori-teori yang
telah dikumpulkan;
4. Menentukan teori-teori yang akan digunakan sesuai permasalahan
penelitian.

Contoh: Landasan teori terkait dengan penelitian pola komunikasi dapat


diambil dari Bab 2 dan Bab selanjutnya yang relevan atau dari
literatur-litaur yang lain.

Metode Penelitian Etnografi Komunikasi


Metode yang dimaksud dalam penelitian adalah cara atau prosedur
dan langkah-langkah serta tahapan-tahapan yang dilakukan untuk
mencapai tujuan penelitian. Cara, tahapan dan langkah-langkah yang
dilakukan dalam penelitian etnografi komunikasi bisa meliputi: (1)
Pendekatan Penelitian; (2) Teknik Memasuki Lokasi Penelitian; (3) Peran
peneliti; (4) Lokasi Penelitian, Sumber Data, dan Setting Penelitian; (5)
Teknik Pengumpulan Data; (6) Transkripsi Data; (7) Teknik Analisis Data;
(8) Penyajian Hasil Analisis Data.

Pendekatan Penelitian
Dalam setiap kegiatan penelitian sejak awal sudah harus ditentukan
dengan jelas pendekatan/desain penelitian apa yang akan diterapkan. Hal
ini dimaksudkan agar penelitian tersebut dapat benar-benar mempunyai
landasan yang kokoh dilihat dari sudut metodologi penelitian, disamping
pemahaman hasil penelitian yang akan lebih proporsional apabila
pembaca mengetahui pendekatan yang diterapkan.
Obyek dan masalah penelitian memang mempengaruhi
pertimbangan-pertimbangan mengenai pendekatan, desain ataupun metode
penelitian yang akan diterapkan. Tidak semua obyek dan masalah
penelitian bisa didekati dengan pendekatan tunggal, sehingga diperlukan
pemahaman pendekatan lain yang berbeda agar begitu obyek dan masalah
yang akan diteliti tidak pas atau kurang sempurna dengan satu pendekatan

62
maka pendekatan lain dapat digunakan sebagai pendukung misalnya,
ketika obyek dan masalah yang akan kita teliti lebih relevan untuk
menggunakan pendekatan kualitatif, maka diperbolehkan sebagai data
pendukung adalah data-data kuantitatif dan sebaliknya pendakatan
kuantitatif juga dapat didukung dengan data-data kualitatif.
Secara umum pendekatan penelitian atau sering juga disebut
paradigma penelitian yang cukup dominan adalah paradigma penelitian
kuantitatif dan penelitian kualitatif. Dari segi peristilahan para ahli
nampak menggunakan istilah atau penamaan yang berbeda-beda meskipun
mengacu pada hal yang sama, untuk itu guna menghindari kekaburan
dalam memahami kedua pendekatan ini, berikut akan dikemukakan
penamaan yang dipakai para ahli dalam penyebutan kedua istilah
tersebut seperti terlihat dalam tabel 1 berikut ini

Tabel 5.1: Quantitative and Qualitative Research : Alternative Labels


Quantitative Qualitative Authors
Rasionallistic Naturalistic Guba &Lincoln (1982)
Inquiry from the Inquiry from the inside Evered & Louis
Outside (1981)
Functionalist Interpretative Burrel & Morgan
(1979)
Positivist Constructivist Guba (1990)
Positivist Naturalistic-
Hoshmand (1989)
ethnographic
Sumber : Brannen (Ed): (1992: 58)

Pendekatan yang akan digunakan dalam suatu penelitian, peneliti


dapat mengemukakannya sebagai berikut:
Pendekatan yang digunakan dalam peneletian ini adalah pendekatan
kualitatif dengan fokus kajian etnografi komunikasi. Studi etnografi
komunikasi menurut Kuswarno (2008: 86) suatu kajian yang dapat
menggambarkan, menjelaskan, dan membangun hubungan dari kategori-
kategori data yang ditemukan. Hal ini sesuai dengan tujuan dari etnografi
komunikasi untuk menganalisis, menggambarkan, dan menjelaskan
perilaku berbahasa dari suatu kelompok sosial.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, penelitian pola komunikasi
warga NU dalam perspektif etnografi komunikasi dapat memberikan
gambaran dan pemahaman secara komprehensif mengenahi perilaku
berbahasa warga NU dalam konteks sosial dan budaya yang unik dan
sekaligus memberikan gambaran bagaimana aspek sosiokultural tersebut
berpengaruh terhadap perilaku berbahasa warga NU.
63
Metode Memasuki Lokasi Penelitian
Metode yang digunakan oleh peneliti dalam memasuki lokasi
penelitian dapat bersifat formal dan nonformal. Metode formal
digunakan untuk menggali data yang berkaitan dengan konteks pemakaian
bahasa pada situasi formal, sedangkan metode informal digunakan untuk
menggali data pada konteks obrolan sehari-hari (situasi tidak formal).
Digunakannya metode informal untuk menjaga kekhawatirkan warga NU
akan merubah pola komunikasi dari yang sebenarnya dan mereka akan
berbahasa/memberikan informasi yang tidak sesuai dengan kebiasaan
sehari-hari. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga keaslian data yang
didapat dari para informan maupun dari pengamatan secara langsung
dalam observasi partisipasi dan nonpartisipasi di lapangan.

Peran peneliti
Peran peneliti dalam penelitian bisa tertutup dan bisa terbuka. Di
dalam situasi komunikasi yang tidak formal bisa peran peneliti tertutup,
tetapi dalam setting penelitian formal peneliti bisa terbuka. Dikatakan
tertutup karena peneliti merahasiakan identitas sebagai peneliti - dalam hal
ini peneliti berperan sebagai inteligent. Hal ini dilakukan juga untuk
menjaga validitas keaslian data.

Lokasi Penelitian, Sumber Data, dan Setting Penelitian


Lokasi penelitian, sumber data, dan setting penelitian merupakan
aspek yang amat penting dalam penelitian etnografi komunikasi kerena
ketiganya berkaitan langsung dengan konteks penelitian yang menentukan
kapan dan bagaimana bahasa itu digunakan dalam masyarakat tutur.

Lokasi Penelitian
Lokasi yang dijadikan tempat untuk menggali dan memperoleh data
dalam pelaksanaan penelitian mutlak harus disebut dengan alasan-alasan
rasional berkaitan dengan karakteristik penelitian. Alasan pemilihan lokasi
penelitian tidak tepat jika yang digunakan sebagai argumentasi adalah
bersifat pribadi, misalnya karena peneliti berdomisili di lokasi penelitian
atau berdekatan, terbatasnnya waktu peneliti, kemudahan transportasi, dsb.
Alasan pemilihan lokasi penelitian bisa seperti contoh berikut ini:
Lokasi yang dijadikan tempat untuk menggali dan memperoleh
data dalam pelaksanaan penelitian ini berada dalam ruang lingkup
Kabupaten Jember. Dipilihnya Kabupaten Jember sebagai lokasi
penelitian karena di daerah tersebut merupakan basis WNUEM yang

64
masih memiliki keunikan dan kekhasan kultural. Hasil penelitian ini nanti
akan menjadi cerminan pola komunikasi WNUEM di daerah tapal kuda
lainnya (Pasuruan, Lumajang, situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi)
yang memiliki karakter kultur daerah yang hampir sama.

Sumber Data
Data dapat diperoleh dari berbagai sumber yakni sumber data primer
dan sekunder misalnya, Data akan diperoleh dari tiga sumber: sumber
pertama (primer) digali dari pengamatan secara langsung proses
komunikasi komunitas WNUEM melalui observasi partisipasi; sumber
primer kedua akan digali dari para informan dari kalangan warga NU
yakni kiai, pengurus NU, umat NU dari kalangan santri dan terpelajar;
sedangkan sumber sekunder, akan digali dari para ilmuwan dan akademisi
yang terdiri dari kalangan guru dan dosen yang menekuni kajian tentang
NU dan kajian Madura.

Setting Penelitian
Setting penelitian bisa formal dan non formal seperti: Adapun yang
dijadikan setting untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah situsi
formal dan informal, ketika proses komunikasi tersebut berlangsung.
Situasi formal seperti dalam rapat-rapat, pengajian, rapat-rapat pengurus
NU dan sebagainya. Adapun situasi informal, yaitu komunikasi yang
terjadi dalam pembicaraan obrolan (santai) antarwarga NU di luar situasi
formal.

Teknik Pengumpulan Data


Penelitian etnografi komunikasi secara umum merupakan penelitian
yang menyeluruh atau holistik, karena apa yang diteliti di dalamnya
mencakup semua aspek, paling tidak sesuai yang disarankan Hymes ada
delapan komponen tutur yang kemudian dirinci lebih detail oleh
Poedjosoedarmo menjadi empat belas komponen tutur yang harus dianalis
dan tentunya komponen tutur itu diperoleh melalui hasil pengumpulan
data.
Oleh karena itu, pengumpulan data merupakan kegiatan mutlak
harus dilakukan penelitian etnografi komunikasi yang kegiatan
pengumpulan datanya cenderung di lapangan (feld research). Saville-
Troike (2003) mengemukakan tujuh teknik yaitu, Observasi partisipasi &
non partisipasi, wawancara, telaah dokumen, hermeneutik,
etnometodologi, etnosemantik, dan introspeksi. Namun, karena yang
65
diperlukan adalah pemahan terhadap keseluruhan konteks petuturan
(masyarakat tutur, peristiwa komunikasi, dan tindak tutur), maka yang
paling penting dalam kajian etnografi komunikasi adalah observasi
partisipasi, introspeksi, dan wawancara.
Sebenarnya ketika peneliti melakukan observasi partisipasi, sudah
mencakup teknik pengumpulan data yang lain, seperti wawancara,
introspeksi, telaah dokumen dan sebagainya. Akan tetapi, karena sebagai
penciri penelitian kualitatif, maka akan dijelaskan beberapa metode yang
lazim digunakan pada penelitian kualitatif.
Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh data yang berupa bahasa
verbal (oral) dan nonverbal (body language) dari hasil
percakapan/komunikasi dari dua orang atau lebih serta informasi dari para
informan di lapangan untuk menjawab permasalahan penelitian. Untuk
memperoleh data dan informasi yang sesuai dengan permasalahan
penelitian, akan digunakan metode sebagai berikut:

Observasi Partisipasi
Dalam penelitian etnografi komunikasi, metode pengumpulan data
yang paling umum dan relevan di dalam domain kebudayaan adalah
observasi partisipasi dan non partisipasi. Kegiatan ini dilaksanakan untuk
memperoleh data peristiwa komunikasi dengan cara mengamati, mencatat,
dan merekam secara langsung data penelitian. Dalam observasi partisipasi,
peneliti bisa berpartisipasi dengan mitra tutur berada di tengah-tengah
komunitas warga NU dan sesekali juga terlibat langsung dalam proses
komunikasi, yang hal itu hanya bisa dilakukan dalam setting situasi
informal. Adapun obeservasi non partisipasi, peneliti hanya menyimak
langsung pemakaian bahasa dalam komunikasi tanpa terlibat dalam
komunikasi. Hal itu dilakukan pada setting situasi formal. Metode
observasi partisipasi menggunakan teknik dasar berupa teknik sadap dan
teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap, rekam, dan catat,
sedangkan metode observasi nonpartisipasi hanya menggunakan teknik
sadap, dengan teknik lanjutan berupa simak, rekam, dan catatpeneliti
tidak terlibat dan melibatkan diri dalam komunikasi.

Introspeksi
Metode introspeksi biasa digunakan jika peneliti meneliti bahasa
dan budayanya sendiri dan masih hidup di tengah-tengah masyarakat tutur
yang sedang diteliti atau paling tidak masih eksis menggunakan bahasa
dan budaya yang sedang menjadi objek penelitian. Itulah sebabnya teknik
atau metode ini dsebut metode introsepksi atau

66
mengoreksi/menginterpretsi bahasa dan budayanya diri sendiri. Dengan
menggunakan introspeksi, peneliti mencoba mengeksplisitkan kaidah-
kaidah dan nilai-nilai yang diserap secara sadar maupun tidak sadar ketika
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat tutur atau bahkan sejak nenek
moyang telah menggunakan bahasa dan budaya nmasyarakat tutur
tersebut.
Introspeksi juga berarti cara menganalisis nilai-nilai dan perilakunya
sendiri dan orang-orang yang berada di masyarakatnya. Hal ini memang
tidak mudah dilakukan karena orang bergerak dalam kebudayaannya
sendiri secara otomatis berada di bawah level kesadaran. Selain itu, akan
sangat tidak nyaman sebagai seorang peneliti mengeksplisitkan dan
menginterpretasi kaidah-kaidah yang secara implisit sudah diketahui.
Sebagai peneliti yang handal dan menghindari validitas data dari
banyaknya pengaruh yang datang dari diri peneliti, seharusnya akan lebih
baik kalau sebagai peneliti meneliti bahasa dan budaya kelompok etnik
lain atau masyarakat tutur di luar masyarakat tutur peneliti. Oleh karena
itu, ketika para peneliti yang mereka mengetahui dan sudah terlibat
langsung dalam pola-pola penggunaan bahasa dalam masyarakat tutur
mereka sendiri, penting kiranya untuk mengkonfirmasi ulang asumsi-
asumsi yang diperoleh melalui hasil introspeksi dengan perspektif pihak
lain.
Namun demikian, metode ini tetap berguna untuk menemukan
kaidah-kaidah yang selama ini tersembunyi dalam diri peneliti, yang pada
akhirnya akan menjadi pisau analisis sekaligus pembanding dalam kajian
etnografi komunikasi. Selama peneliti secara objektif tetap mengakumulasi
pandangan dan masukan dari pihak-pihak lain yang ada dalam masyarakat
tutur.

Wawancara
Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang
perilaku komunikasi/tindak tutur yang dipergunakan oleh komunitas
warga NU dalam setting komunikasi yang sesungguhnya sehingga
diperoleh data untuk mengetahui sebab-sebab yang dapat mempengaruhi
pola komunikasi. Kegiatan wawancara tersebut dilakukan dengan dua cara
yaitu: (1) Wawancara terarah (terstruktur), yakni wawancara yang
dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah
dipersiapkan, sedangkan wawancara tidak terarah (tidak terstruktur) adalah
wawancara yang bersifat bebas dan santai. Digunakannya wawancara tidak
terarah bertujuan agar informan memberikan keterangan seluas-luasnya,
yang tidak dapat terungkap dengan metode wawancara terarah.

67
Perekaman
Kegiatan ini menggunakan alat rekam dan atau audio visual untuk
merekam proses komunikasi dan wawancara baik dalam situasi formal
maupun informal untuk mengatasi keterbatasan peneliti dalam mencatat
secara langsung proses komunikasi dalam observasi partisipasi mapun
wawancara.

Pencatatan
Selain perekaman juga dilakuklan pencatatan sekemampuan
peneliti. Kegiatan ini dilakukan untuk mencatat data-data yang diperoleh
dari lapangan secara langsung, dalam artian semua data dan informasi
yang didapat di lapangan dicatat secara cermat pada hari yang sama.
Kegiatan ini dilakukan dengan maksud untuk menghindari kemungkinan
terlupakan atau tumpang tindih data dan informasi yang diperoleh, baik
melalui observasi partisipasi maupun dari informan penelitian.

Transkripsi Data
Data yang berhasil dikumpulkan melalui observasi partisipasi
dengan alat rekam, ditarnsikripsikan ke dalam data tertulis secara fonologi.
Secara fonologi artinya kata-kata dalam data tersebut ditranskripsi apa
adanya sesuai ucapan yang dikemukakan oleh subjek penelitian dan aturan
ejaan yang diberlakukan dalam bahasa tersebut, agar ciri-ciri fonologis
bahasa yang ada dalam data fonetis dapat ditampakkan dalam data tulis
yang telah tertranskripsi.

Metode Analisis Data


Data yang diperoleh melalui observasi partisipasi dan non partisipasi
dalam penelitian ini dipilah-pilah dengan menaruh pada bab dan subbab
yang sesuai dengan pertanyaan penelitian. Selanjutnya, setelah data
dikelompokkan akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan
metode etnografi komunikasi, analisis percakapan, dan konsep pragmatik.
Metode etnografi komunikasi digunakan dengan cara mengadakan
analisis komponen tutur yang digunakan warga NU dalam berkomunikasi
dengan mitra tutur. Adapun komponen tutur tersebut dalam teori etnografi
komunikasi yang dikemukakan Hymes (1964a: 13); Schiffrin (1994: 141-
42); periksa juga Duranti (1998: 221) yang dikenal dengan SPEAKING
grid meliputi: (1) S: Situation/Setting (situasi) tempat dan suasana; (2)
P: Partisipan (peserta tutur) pembicara, yang dituju,
pendengar/penerima); (3) E: Ends (akhir) hasil, tujuan tutur; (4) A: act

68
sequence (urutan bertindak) termasuk alih giliran tutur; (5) K: key
(kunci) nada tutur; (6) I: instrumentalities sarana tutur; (7) N: norms
(norma-norma) norma interaksi dan interpretasi; (8) G: genres 'jenis
tuturan'. Dalam analisis komponen tutur tersebut juga digunakan metode
analisis interaksi. Metode analisis interaksi digunakan untuk menganalisis
model-model dan norma-norma interaksi yang digunakan warga NU di
Jember dalam berkomunikasi.
Metode analisis conversation digunakan untuk menganalisis
percakapan yang digunakan warga NU misalnya, ketika seseorang
bertanya: Mengapa Anda tidak datang ke pengajian? Kemudian
dijawab, Tetangga kedatangan besan. Antara kalimat pertanyaan dan
jawaban secara struktural tidak berhubungan. Tetapi kalimat jawaban
Tetangga kedatangan besan dilihat dari konteks percakapan dapat saja
diinferensi berbeda-beda oleh pertisipan tutur yang mengarah terhadap
jawaban dari pertanyaan Mengapa Anda tidak datang ke pengajian?
Metode analisis wacana dengan bantuan konsep pragmatik (lihat
Brown & Yule, 1996: 1-2) dipergunakan untuk menganalisis faktor-faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya hambatan atau kegagalan komunikasi,
dengan cara menganalisis secara mendalam prinsip kerjasama (PK) dan
prinsip sopan santun (PS) Grice (1975: 45-6); Leech (1993: 11). Prisnsip
PK meliputi empat maksim, yaitu: Kualitas (Quality): tingkat kualitas
(kebenaran) percakapan yang sedang berlangsung, Kuantitas (Quantity):
Buatlah sumbangan percakapan anda seinformatif mungkin sesuai yang
diperlukan oleh percakapan itu. Jangan memberikan sumbangan lebih
informatif dari pada yang diperlukan. Hubungan/relevansi (Relation /
Relevance): Buatlah percakapan anda relevan dengan topik. Cara
(Manner): Bicaralah dengan jelas, dan khususnya: 1) hindari kekaburan; 2)
hindari ketaksaan (makna ganda); 4) bicaralah singkat; 5) bicaralah secara
teratur.
Data yang diperoleh melalui wawancara akan dianalisis dengan
metode eksplanasi untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi pola komunikasi yang digunakan warga NU pada situasi
formal dan informal, dengan cara menganalisis secara mendalam perilaku
dalam berkomunikasi dan tradisi-tradisi serta budaya yang mempengaruhi
pola komunikasi.

Penyajian Hasil Analisis Data


Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini, yakni berupa
deskripsi dan penjelasan tentang jawaban terhadap rumusan masalah yang
diajukan. Sebagaimana telah disinggung pada penggunaan pendekatan
dalam penelitian ini, bahwa pendekatan kualitatif selain memiliki karakter
69
alamiah, juga menghasilkan data deskriptif. Deskripsi dan penjelasan
tersebut didasarkan pada analisis komponen tutur dibantu dengan analisis
percakapan dan analisis wacana dengan konsep pragmatik. Dalam
penyajian data tersebut, juga digunakan simbol-simbol, lambang-lambang
kebahasaan, singkatan-singkatan, dan transliterasi Arab-Indonesia yang
secara rinci cara penulisan dan pemaknaannya dijelaskan pada daftar
fonetis dan ortografis, pedoman transliterasi Arab-Indonesia, daftar
lambang dan singkatan, dan glosarium.

Sistematika Penulisan
Sistematika punulisan laporan penelitian ini (disertasi, Thesis, atau
skripsi) disajikan dalam sembilan bab, tidak termasuk bagian awal dan
bagian akhir. Bagian awal mencakup halaman judul, lembar identitas dan
pengesahan, halaman pernyataan, kata pengantar, intisari, abstract, daftar
isi, daftar tabel, daftar lambang fonetis dan ortografis, pedoman
transliterasi Arab-Indonesia, daftar lambang, singkatan, dan glosarium,
serta daftar lampiran.
Bab pertama, merupakan pendahuluan, yang berisi latar belakang
masalah, rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, dan tujuan yang
dijawab pada bab-bab berikutnya. Adapaun tinjauan pustaka sebegai
referensi untuk melihat perbedaan dengan penelitian sejenis
sebelumnyalandasan teori yang gayut dengan topik penelitian dan
langkah-langkah metodologis digunakan sebagai pisau bedah untuk
menjawab permasalahan penelitian. Bab kedua, membahas tentang NU,
pesantren, dan kultur paternalistik sebagai langkah awal untuk memahami
konteks dan objek penelitian. Bab ketiga, membahas tentang situasi
kependudukan dan kebahasaan di Jember yang meliputi situasi
kependudukan dan situasi kebahasaan di Jember serta, penggunaan BM
oleh warga NU di Jember. Bab keempat, menjelaskan pola komunikasi
antarkiai yang diklasifikasi menjadi pola komunikasi kiai yang memiliki
hubungan guru-santri, pola komunikasi kiai yang sederajat, dan pola
komunikasi dalam kelurga kiai. Bab kelima, membahas pola komunikasi
kiai dengan UNUEM yang meliputi pola komunikasi kiai pesantren-
UNUEM dan pola komunikasi kiai langghrn-UNUEM. Bab keenam,
membahas pola komunikasi UNUEM, yang meliputi pola komuniksi yang
melibatkan tokoh NU, pola komunikasi yang melibatkan UNUEM
terpelajar, pola komunikasi UNUEM yang dipengaruhi perbedaan umur,
pola komunikasi yang dipengaruhi keeratan hubungan, dan pola
komunikasi dalam keluarga umat. Bab ketujuh, menjelaskan kisah ulama
sebagai pola dan strategi komunikasi. Pada bab ini dipaparkan beberapa
kisah ulama/kiai yang mencerminkan perilaku luhur sebagai contoh
70
penggunaan pola dan strategi komunikasi yang efektif untuk mencapai
tujuan tutur. Bab kedelapan, menjelaskan tentang faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya pola komunikasi WNUEM dan impilkasi temuan
terhadap pemertahanan BM. Faktor-faktor tersebut meliputi: faktor kultur
paternalistik, faktor komponen tutur, dan faktor kompetensi komunikatif.
Bab kesembilan, yang merupakan bab penutup berisi simpulan bab-bab
sebelumnya dan rekomendasi kepada berbagai pihak berkaitan dengan
temuan penelitian. Pada bab-bab analisis (bab IV-VIII) yang dianggap
sangat rumit dan terlalu panjang untuk disarikan dalam bab simpulan,
penulis mengakhiri dengan ringkasan sebagai upaya penyederhanaan untuk
memudahkan para pembaca memahaminya.
Bagian akhir dari laporan penelitian berisi daftar pustaka dan
lampiran-lampiran (daftar informan, daftar pertanyaan untuk menjaring
data berupa informasi, riwayat hidup penulis, peta Kabupaten Jember, dan
surat keterangan penelitian).

Pendalaman Materi
Jelaskan secara singkat prosedur pelaksanaan penelitian etnografi
komunikasi terutama yang terkait dengan pola komunikasi!
Rumuskan permasalahan, tujuan, dan manfaat penelitian terkait
penelitian etnografi komunikasi!
Tuliskan tinjauan pustaka terkait penelitian yang akan dilakukan dari
berbagai sumber yang relevan!
Susunlah landasan teori yang relevean dengan permasalahan yang akan
diteliti terkait kajian Etnografi komunikasi!
Susunlan Metode penelitan terkait dengan permasalahan yang anda
rumuskan!
Sebutkan dan jelaskan teknik-teknik pengumpulan data dalam
penelitian etnografi komunikasi!
Carilah contoh data sesuai dengan permasalahan yang anda rumuskan
dan cobalah dianalisis dengan menggunakan teori komponen tutur;
Berilah contoh analisis data komponen tutur;
Berilah gambaran tentang penyajian hasil analaisis data dan penulisan
laporan penelitian etnografi yang anda rencanakan!
Dengan menggunakan media ICT, anda dapat mengenal lebih
mendalam apa dan bagaimana penelitian etnogfari komunikasi.

71
72
Bab 6
Contoh Penyajian Analisis
Pola Komunikasi

Kompetensi dan Pengantar


Setelah mempelajari bab ini dengan baik, pembelajar diharapkan
memiliki kompetensi sebagai berikut:
Memahami dan mampu menyajikan data dengan analisis komponen
tutur;
Mempu mendeskripsikan hasil penelitian berdasarkan analisis
komponen tutur;
Memahami dan Mampu menyajikan hasil analisis data dalam bentuk
laporan penelitian;
Memahami cara penyajian hasil penelitian etnografi komunikasi.

Pola komunkikasi kiai-umat juga dipengaruhi oleh berbagai


komponen tutur. Dari delapan komponen tutur yang dikemukakan oleh
Hymes dan tiga belas komponen tutur yang dikemukakan Poedjosoedarmo
(1978), yang paling menonjol mempengaruhi pola komunikasi kiai-umat
adalah komponen partisipan tutur yang meliputi siapa penutur dan siapa
lawan tutur, siapa pendengar, hadirnya orang ketiga.....dsb. Berkaitan
dengan partisipan tutur, status sosial (peran, jabatan, nasabiyah,
pendidikan), umur, keeratan hubungan, dan jenis kelamin juga menentukan
terjadinya variasi tutur.
Fakator-faktor penentu dan raut pembeda antara variasi-variasi
yang dikemukakan Poedjosoedarmo (1979), pada prinsipnya memperkuat
teori yang dikemukakan (Hymes, 1972) yang disebut komponen tutur.
Dengan cara menghubungkan masing-masing variasi tutur dengan
komponen tuturannya, klasifikasi variasi tutur itu dapat kelihatan jelas dan
lebih sederhana. Setiap kali ditemui istilah variasi tutur yang baru, seketika
itu pula dapat dilihat komponen tutur mana yang kiranya mempengaruhi
terbentuknya variasi itu. Dengan demikian, komponen tutur itu dapat
dijadikan acuan untuk menentukan faktor penentu adanya variasi yang
berbeda-beda tersebut. Dengan kata lain, keberadaan dan wujud suatu
variasi tutur berbeda dengan wujud variasi yang lain karena variasi itu
terpengaruh salah satu komponen tutur tertentu. Komponen tutur ini
menjadi konteks dan sekaligus penentu terbentuknya berbagai variasi
tuturan, yang dalam penelitian ini disebut pola komunikasi.
Pola komunikasi kiai-umat dapat dikelompokkan sebagai berikut:
(1) pola komunikasi kiai pesantren (KP)- Ummat Nahdlatul Ulama Etnik
Madura (UNUEM) dan (2) pola komunikasi kiai langghrn (KL)-
UNUEM. Dalam bab ini yang akan dijadikan contoh adalah pola
komunikasi KP-UNUEM.

Pola Komunikasi KP-UNUEM


Yang dimaksud kiai pesantren (KP) dalam sub bab ini adalah kiai
yang memiliki peran dan jabatan sebagai pengasuh pesantren. Kiai
pesantren sebagaimana telah disinggung pada paparan sebelumnya,
merupakan sosok yang dianggap sangat berpengaruh dan berstatus sosial
paling tinggi dan di-tadzim-kan (sangat dihormati) karena disamping
kedudukannya sebagai pengasuh pesantren, dia juga berperan sebagai
tokoh, guru, dan pemuka agama di masyarakat. Oleh karena itu, kiai
kategori ini di kalangan UNUEM amat di-tadzim-kan dan ditaati.
Pola komunikasi memang selalu dipengaruhi oleh berbagai
komponen tutur yang paling tidak, ada delapan yang oleh Hymes (1964a;
1972) pada bagian terdahulu disingkat dengan SPEAKING-gird, kemudian
Poedjosoedarmo (1978) mengembangkannya yang disesuaikan dengan
kultur yang melekat pada bahasa Jawa menjadi tiga belas komponen tutur.
Namun demikian, ada komponen tutur yang paling dominan yang
mempengaruhi pola komunikasi KP-UNUEM, yakni partisipan tutur.
Sebagaimana dinyatakan Kunjana (2011), aspek konteks yang berupa
partisipan tutur (penutur dan mitra tutur) speaker dan hearer atau ada
yang menyebutnya speaker dan interlocutorsangat berdekatan dengan
dimensi peran, jabatan, usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, latar
belakang kultur, latar belakang sosial, latar belakang ekonomi, dan juga
latar belakang fisik, psikis, atau mentalnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, pola komunikasi KP-UNUEM,
dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) pola komunikasi KP-UNUEM
yang berpredikat guru-santri (2) pola komunikasi KP-UNUEM yang
berstatus sosial tinggi, (3) ) pola komunikasi KP-UNUEM yang
dipengaruhi keeratan hubungan, (4) pola komunikasi KP-UNUEM yang
berbeda umur, dan (5) pola komunikasi KP-UNUEM dalam situasi formal.

Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Berpredikat Guru-Santri


Menurut pendapat Poedjosoedarmo (1979: 16) bahwa, ada dua hal
yang mempengaruhi penggunaan tingkat tutur: pertama, tingkat formalitas
hubungan seseorang, dan yang kedua ialah status sosial yang dimiliki
orang kedua (O2). Ikatan guru-santri adalah termasuk kategori hubungan

74
formal. Yang dimaksud ikatan guru-santri adalah kiai dan umat yang
pernah terlibat langsung maupun tidak langsung dalam ikatan sebagai
pengasuh dan santri dalam suatu pesantren. Pola komunikasi KP-UNUEM
yang berlatar belakang guru-santri juga dipengaruhi oleh perbedaan umur.
Kepada umat mantan santrinya yang berumur lebih tua, kiai juga ber-
bhsa dengan tingkat tutur Eg-E, seperti terlihat pada data berikut:
Data 22: Percakapan KP-UNUEM
(A) P1: Dika din?
Kamu din?
(B) P2: ngghi, kadinto.
Ya, saya
(C)P2: Dri compo?
Dari rumah saja
(D) P2: ngghi, cabis pamator, kadinto
Ya, mohon ijin bicara
(E) P1: Engghi, nap din?
Ya, ada apa din?
(F) P2: Nyoona dhi sareng barokah dua! Bdi
matowaa Azizah, kadinto.
Mohon ijin dan doa restunya! Rencana akan
menikahkan Azizah
(G) P1: Bil, din?
Kapan rencananya, din?
(H) P2: Insya Allah buln Rebb tanggal salkor, soona
rabuna sadhj.
Insya Allah bulan Syaban tanggal dua puluh satu, kami
mohon kehadiran kiai beserta keluarga besar

(I) P1: Insya Allah din, bul mandr tada alangan bn


dhika palancarra.
Insya Allah din, semoga kami tidak ada halangan dan
urusanmu diberi kelancaran.
(J) P2: Amien.......
Amien.....
Tuturan Dika din? Kamu din pada data 21(A) sebagai bentuk
sapaan kepada lawan tutur yang sudah dikenal akrab. Jawaban Nadin
ngghi, kadinto Ya, saya sebagai penegasan bahwa yang berada
dihadapan kiai adalah benar din yang dimaksud kiai. Adapun kadinto
dalam kalimat 21(B) hanya sebagai penanda fatis untuk menghaluskan
tuturan. Adapun tuturan Dri compo? Dari rumah saja 21(C) merupakan
bentuk pertanyaan yang secara implisit menanyakan maksud dan tujuan

75
kedatangannya ke dhlem. Oleh karena itu, P2 langsung menjawabnya
dengan ngghi, cabis pamator, kadinto. Ya, mohon ijin bicara yang
berfungsi sebagai pembuka tujuan tutur yang pada umumnya diucapkan
UNUEMketika akan menyampaikan tujuan tutur tertentu kepada kiai.
Pertanyaan kiai pada data 21(E) Engghi, nap din? Ya, apa din? yang
merupakan kalimat tanya, berfungsi mempersilakan Nadin untuk
mengemukakan tujuan tutur yang akan disampaikan. Tuturan 21(F)
sebagai bentuk kalimat yang menegaskan bahwa semua urusan masyarakat
selalu memohon ijin dan doa restu dari kiai sebagai orang yang
ditokohkan. Kata matowaa membuat seseorang menjadi tua pada data
21(F) bermakna menikahkan seseorang, yang merupakan suatu proses
pendewasaan seseorang atau hilangnya masa remaja menuju kepada
generasi yang lebih dewasa. Pernyataan hari dan tanggal pada tuturan
21(H) yang diikuti dengan soona rabuna sadhj. dimohon
kehadirannya semua merupakan undangan kepada kiai beserta
keluarganya. Kata insya Allah jika Allah mengijinkan pada data 21 (H)
dan (I) digunakan untuk menyatakan bahwa suatu hal akan terjadi atas izin
Allah. Kata tersebut biasa digunakan, ketika seseorang akan berjanji untuk
menentukan suatu acara, dan even-even lain. Namun seringkali, justru
kata insya Allah sebagai simbol tidak akan ditepatinya janji. Kalimat
mandhr mogh sobung alangan bn dhika palancarra. semoga engkau
diberi kelancaran sebagai bentuk doa dari kiai, agar dapat hadir dan
pelaksanaan acara pernikahan berjalan dengan lancar.
Analisis komponen tutur:
Situasi tempat dan suasana tutur:
Konteks tuturan berlangsung di ruang belakang dhlem kiai.
Keangkeran situasi tempat dan suasana tutur berdampak pada
terbentuknya tuturan yang seirus.
Peserta tutur:
P1: KP
P2: UNUEM
P3: Nyai (istri kiai)
P4: Santri perempuan
Tujuan tutur:
Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah memohon doa
restu dan mengundang kiai untuk acara pernikahan santri.
Bentuk pesan:
Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai,
tetapi serius karena membicarakan topik yang penting.

76
Urutan tindak:
P3 mempersilahkan para tamu masuk ke ruang tamu yang
disedikan
P2 masuk ruangan belakang
P4 menyuguhkan mamiri
P1 datang di ruang belakang
P2 memberi salam
P1 dan semua partisipan tutur menjawab salam
P1 memulai percakapan
Jenis tuturan:
Termasuk kategori bahasa lisan serius. Dalam tuturan ini, nadin
sebagai umat berusaha menggunakan nada tutur (tone) lebih
rendah dari nada tutur kiai.
Norma interaksi dan interpretasi:
Setiap perjumpaan antarwarga NU dengan kiai biasa diawali
dengan ucapan salam. Dalam tuturan tersebut P1 menggunakan
BM level Eg-E. Hal tersebut terlihat dari kosakode yang
digunakan P1 dhika 21 (A), compo 21(C), nap 21 (E) dan
seterusnya yang merupakan kosakode BM level Eg-E. Pemilihan
tingkat tutur tersebut disebabkan P2 sudah dikenal secara baik oleh
P1, bahkan dia mantan santrinya yang umurnya juga lebih muda.
Sementara itu, P2 menggunakan BAl dan BM level -B. Posisi
tempat duduk P1 bersebelahan dengan P3 menghadap kepada P2
sebagai lawan tutur. Sementara P2 seringkali menundukkan
kepala, sesekali saja mangangkat pandangannya. UNUEM pada
umumnya berusaha merendahkan suaranya di bawah suara kiai
dan nyai. Alih giliran tutur, pada umumnya dimulai dari kiai,
kecuali jika umat minta izin dengan frasa cabis pamator mohon
izin bicara. Untuk melaksanakan acara-acara yang berkaitan
dengan agama dan akan melibatkan warga NU, seperti
pernikahanUNUEM biasa memohon izin dan doa restu kepada
kiai yang dianggap sebagai guru dan tokoh agama di masyarakat.
Kehadiran kiai pada acara-acara yang diselenggarakan umat NU
merupakan berkah dan menjadi kebahagiaan yang luar biasa bagi
umat NU.
Kepada umat mantan santrinya yang lebih muda, kiai tidak ber-
bhsa, yakni mengunakan BM level E-I, seperti data berikut:
Data 23: Percakapan KAN (Kiai pesantren) dengan Msd dan Ismail (umat)
(A) P1: Aroa Mail, olok cong soro d na!
Itu Mail, Panggilkan nak suruh ke sini!

77
(B) P2: langsung memanggil mail, tanpa komentar apapun.

(C)P1: Il-mail, ngalaaghi rekomendasi talangan telloan


cong, bi amploppa!
Il-mail, ambilkan format rekomendasi dana talangan tiga
nak, sekalian dengan amplopnya!

(D)P3: Langsung mengambil formulir dan amplop, tanpa


berkomentar apapun.

Aroa Mail itu Mail pada data 23(A) sebagai bentuk kalimat
penunjuk orang yang sudah kelihatan mata. Kata aroa untuk menunjuk
sesuatu yang jauh. Adapun Mail merupakan nama penunjuk panggilan
orang, yang dalam BM bisa menggunakan suku kata paling belakang,
seperti Ibrahim him, Dafir Fir, Mashuri Ri, dsb. Untuk memanggil
langsung orang kedua biasanya digunakan reduplikasi seperti data 20(C)
Il-mail, dan contoh yang lain Dun-Madun, Ki-Rifki, Man-Firman dsb.
Panggilan cong nak dalam BM sebagai bentuk sapaan rasa dekat dan
sayang orang tua kepada anak atau siapa saja yang sudah dianggap sebagai
anak. Begitu pula kiai kepada santri yang berperan sebagai pengasuh di
pesantren, sudah menganggap santri sebagai anak sendiri. Dalam
percakapan tersebut P2 dan P3 tidak berkata-kata sepatahpun, namun
langsung dengan tindakan (bilhal) melaksanakan apa yang menjadi
perintah kiai.
Analisis Komponen Tutur:
Situasi tempat dan suasana tutur:
Konteks tuturan berlangsung di dua tempat yang berbeda. Kiai
berada di Ruang terima tamu (mperan dhalem kiai), sementara
itu, santri berada di halaman depan dhlem.
Peserta tutur:
P1: Kiai pengasuh pesantren.
P2 dan P3 : UNUEM yang berlatar belakang santri dengan umur
lebih muda
P4: UNUEM yang terdiri dari wali santri dan para tamu umum
Tujuan tutur:
Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah meminta santri
untuk megambilkan rekomendasi.
Bentuk pesan:
Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan serius yang
berbentuk perintah.

78
Urutan tindak:
P1 menyuruh P2 untuk memanggil P3
P2 menyampaikan ke P3 bahwa di panggil P1
P3 menghadap P1
P1 memerintah P3 mengambil rekomendasi
P3 mengambilkan rekomendasi dan menyerahkan kepada P1
Jenis tuturan:
Termasuk kategori bahasa lisan tidak formal, tapi serius. Dalam
tuturan ini, Msd dan Ismail tidak berkata apa-apa, kecuali
melaksanakan apa yang diperintahkan kiai.
Norma interaksi dan interpretasi:
Dalam tuturan tersebut P1 tidak ber-bhsa yakni menggunakan
BM level E-I. Hal tersebut terlihat dari kosakode yang digunakan
P1 Aroah itu, olok panggil soro suruh d na ke sini pada
data 21(A), dan ngalaaghi ambilkan bi dengan 21(C), yang
merupakan kosakata BM level E-I. Pemilihan tingkat tutur E-I
(ngoko) tersebut disebabkan P2 dan P3 merupakan umat yang
umurnya setara dengan putra-putri kiai. Sementara P2 dan P3
langsung melaksanakan perintah dengan bilhal (dengan perbuatan)
yakni langsung melaksanakan perintah P1. Melaksanakan perintah
dengan perbuatan sebagai jawaban terhadap perintah lawan tutur,
sebagai bentuk kepatuhan dan rasa tadzim santri kepada guru
yang lebih afdal dalam pandangan NUEM daripada hanya sekedar
menjawab tapi tidak langsung dilaksanakan. Hal tersebut juga
sebagai cerminan kultur paternalistik. Pada tuturan tersebut P2
dan P3 dalam posisi berdiri di halaman dhlem kiai dengan
menundukkan kepala dan menyilangkan tangannya di depan bawa
pusar. Body language ini, juga sebagai bentuk rasa tadzim santri
kepada gurunya.
Berdasarkan paparan analisis data (22) dan (23) tersebut, dapat
disarikan bahwa pola komunikasi KP-UNUEM yang berlatar belakang
guru-santri dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6.1: Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Berpredikat Guru-


Santri
Kode Tutur yang Digunakan
Alih
Peserta Tingkat Pilihan Tone Body Giliran
Tutur Tutur Bahasa (Nada Language
Tutur
Suara)
Kiai Eg-E Nada Pandangan Dimulai
BM
Pengasuh E-I suara kiai kepada dari kiai,
79
Pesantren lebih Partisipan tutur baru
tinggi kemudian
Menundukkan UNUEM,
kepala dan kecuali
Nada
pandangan ke mohon ijin
UNUEM -B tutur
BM bawah. dalam dengan
mantan dan UNUEM
posisi berdiri cabis
santri BAl lebih
menyilangkan pamator
rendah
tangannya di
bawah perut.

Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Bertatus Sosial Tinggi


Status sosial umat sebagai lawan tutur dapat mempengaruhi pola
komunikasi KP-UNUEM. Sebagaimana dikkemukakan Poedjosoedarmo
sebelumnya, bahwa status sosial O2 amat penting harus diingat ketika akan
menentukan tingkat tutur yang akan dipakai. Hal ini juga berlaku dalam
masyarakat tutur NUEM bahwa pola komunikasi juga ditentukan oleh
status sosial penutur dan lawan tutur, seperti terlihat pada data percakapan
berikut:
Data 24: Percakapan KP-UNUEM terpelajar
(A) P1: Anyoona rekomendasi, kadinto
Mohon rekomendasi
(B) P2: Rekomendasi ponapa?
Rekomendasi untuk apa?
(C) P1: Kaanguy pesen kors, kadinto.
Untuk pesan porsi haji
(D) P2: Pesan kedudukan.
Pesan kedudukan.
(E) P1: Berarti kadinto benya rekomnedasi.
Berarti banyak rekomendasi yang bisa diminta disini
(F) P2: Kemarin Pak Bupati merekomendasi dua puluh tujuh calon
jamaah Haji, minta diberangkatkan cepat, semua
ditolak.
Kemarin Bapak Bupati meminta rekomendasi untuk dua
puluh tujuh calon jamaah Haji, agar diberangkatkan cepat,
semua saya tolak.
(G)P1: Bagaimana kalau yang memberi rekomendasi K. Abd.
Ghani?
Bagaimana kalau yang memberi rekomendasi KH Abd.
Gahni?
(G) P2: Langsung..
Langsung diterima

80
Anyoona mohon pada tuturan 24(A) digunakan untuk meminta
sesuatu kepada orang yang dihormati. Adapun kadinto ini, di sini
sebagai penanda fatis yang dipakai untuk menunjukkan rasa hormat
kepada lawan tutur. Rekomendasi ponapa? Rekomendasi apa?24(B)
sebagai pertanyaan kepada lawan tutur tentang rekemendasi yang
dimaksud karena ternayata terdapat berbagai rekomendasi yang bisa
dikeluarkan oleh KP. Kaanguy pesen kors, kadinto Untuk pesan porsi
haji yang berarti untuk memesan porsi tahun keberangkatan haji. Pesan
kors yang diidentikkan dengan Pesan kedudukan 24(D), juga sebagai
bentuk kelakar KP yang dalam BM pesen ketojun pesan kursi/porsi.
Adapun kedudukan identik dengan pangkat dan jabatan. Sebagai bentuk
kelakar umat bertanya pada tuturan 24(E) Berarti kadinto benya
rekomnedasi. Berarti di sini banyak rekomendasi. Jawaban kiai pada
tuturan 24(F) Kemarin bapak Bupati meminta rekomendasi untuk dua
puluh tujuh calon jamaah haji, agar diberangkatkan cepat, semua saya
tolak. Sebagai bentuk informasi bahwa rekomendasi yang bisa didapatkan
dari P2 sebagai ketua KBIH Al-Ghazali adalah rekomendasi yang
berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji maupun umroh, termasuk
mempercepat pemberangkatan. Begitu pula umat bisa bergurau dengan
pertanyaan Bagaimana kalau yang memberi rekomendasi KH Abd.
Gahni?. Pada hal K. Abd. Ghani hanya sebagai kiai langghrn yang
tidak memiliki power apa-apa dibandingkan dengan bupati. Jawaban kiai
langsung diterima sambil tertawa kecil pada tuturan 24(G), sebagai
bentuk kelakar juga, yang sebanarnya mengandung arti siapapun yang
memberi rekomendasi tentang keberangkatan, kiai lebih memperhatikan
faktor kebutuhan dan keadilan.

Analisis Komponen Tutur:


Situasi tempat dan suasana tutur:
Konteks tuturan berlangsung di ruang terima tamu (mperan
dhalem kiai) dengan tempat duduk bersila di karpet (lesehan).
Peserta tutur:
P1: KP.
P2 : UNUEM terpelajar (berpendidikan tinggi)
P3: UNUEM yang terdiri dari wali santri dan para tamu umum
P4: Mantan santri (kabul) berada di luar pintu
Tujuan tutur:
Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah memohon
rekomendasi untuk memesan porsi haji.

81
Bentuk pesan:
Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai
penuh kelakar antarpartisipan tutur.
Urutan tindak:
P1 mempersilahkan para tamu meminum air kemasan yang
disediakan
P2 memohon rekomendasi kepada P1
P1 bertanya kepada P2, dan memberikan rekomendasi kepada P2
P3 dan P4 mendengarkan percakapan P1 dan P2
Jenis tuturan:
Termasuk kategori bahasa lisan tidak formal sehingga terjadi
kelakar antara P1 dan P2.
Norma interaksi dan interpretasi:
Dalam percakapan pada data 24, P1 mengunakan BM level -B
sering beralih kode ke BI. Hal tersebut dilihat dari kosakode yang
digunakan pada tuturan 24(B) yakni ponapa apa yang merupakan
kosakata BM dalam tingkat tutur -B. Adapaun penggunaan BI
dapat dilihat pada 24 (G), dan (I). Pada tuturan tersebut P1 juga
sering berkelakar dengan menggunakan BM yang
diinterferensikan ke dalam bahasa Indonesia seperti terlihat pada
tuturan 24 (D). Alih kode ke BI dan kelakar tersebut sebagai
upaya P1 untuk menghindari percakapan yang terlalu formal. Ini
berarti pula bahwa dengan umat yang terpelajar, dan berstatus
sosial tinggi, P2 berusaha menghilangkan sekad yang terlalu jauh
dalam berkomunkasi. P2 dalam percakapan tersebut juga
menggunakan BM level -B dan berbahasa Indonesia. Hal tersebut
terlihat dari kosakata yang digunakan anyoona mohon
kadinto ini 24(A) dan kadinto 24(E) yang merupakan BM
level -B. Adapun penggunaan BI bisa dilihat pada tuturan 24(A)
dan (F). Hal ini menunjukkan adanya kesetaraan antara UNUEM
yang berlatar belakang pendidikan tinggi dan terpelajar dengan
kiai dalam berkomunikasi. Kesetaraan hubungan tersebut juga
terindikasi dari tidak adanya penggunaan cabis pamator mohon
ijin berbicara yang biasanya digunakan UNUEM untuk memulai
pembicaraan. Bahasa tubuh yang ditunjukkan dalam
berkomunikasi juga menunjukkan kesetaraan, yakni kedua belah
pihak saling menatap dalam situasi komunikasi.
Dengan pejabat kiai menggunakan pola komunikasi seperti pada
data berikut ini.
Data 25: Percakapan KP-Umat yang berlatar belakang pejabat
(A) P1: Sa pak Hasan?

82
Bagaimana kabar pak Hasan?
(B) P2: Alhamdulillah pak kiai.
Alhamdulillah kabar baik, pak kiai
(C)P1: Saya tidak bisa membantu apa-apa, hanya bisa
mendoakan, semoga diberi kekuatan dalam
mengemban amanah.
Saya tidak bisa membantu apa-apa, hanya bisa
mendoakan, semoga diberi kekuatan dalam
mengemban amanah
(D) P2: Alhamdulillah terima ksih, itu sudah cukup kiai.
Alhadulillah terima kasih, itu sudah cukup kiai.
Kata sa baik yang diungkapkan dengan nada tutur tanya dalam
tuturan 25(A) di atas, berfungsi untuk menanyakan baik atau tidaknya
kabar seseorang. Dalam tuturan tersebut disamping menanyakan kabar,
juga sebagai pembuka percakapan. Sementara kata alhamdulillah segala
puji bagi Allah yang merupakan jawaban P2 dalam tuturan 25(B) sebagai
bentuk pernyataan rasa syukur kepada Allah yang sekaligus sebagai
jawaban kepada lawan tutur, bahwa keadaannya baik-baik atas karunia
Allah semata. Tuturan 25(C) sebagai refleksi dukungan kiai atas
kepemimpinan P2 yang sekaligus memberi spirit dengan doa, agar selalu
diberi kekuatan dalam mengemban tugas-tugas sebagai pejabat. Oleh
karena itu, P2 menyatakan ungkapan terima kasihnya, atas spirit dan
dukungan dari kiai yang diekpresikan pada tuturan 25(C).
Analisis Komponen Tutur:
Situasi tempat dan suasana tutur:
Konteks tuturan berlangsung di Masjid dalam acara ramah
tamah, setelah pelaksanaan acara akad nikah.
Peserta tutur:
P1: KP
P2:Pejabat dari kalangan umat.
P3: Para kiai, ulama, dan para pejabat
Tujuan tutur:
Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah
menyampaikan dukungan dan spirit atas terpilihnya pak Hsn
sebagai rektor yang merupakan putra NU.
Bentuk pesan:
Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai
penuh keakraban antarpartisipan tutur karena masing-masing
partisipan tutur dengan kedudukan dan perannya memiliki status
sosial yang hampir sama. Namun demikian, situasi saling

83
memuliakan antarpartisipan tutur tampak dalam acara ramah
tamah tersebut.
Urutan tindak:
P1 mendekati tempat duduk P2 yang sudah lebih dulu duduk
bersama partisipan yang lain.
P2 menebarkan senyum kepada P1 yang baru duduk di hadapan
P2
P1 memulai percakapan
P3 mendegarkan pembicaraan

Jenis tuturan:
Termasuk kategori bahasa lisan tidak formal dan terjadi dalam
suasana santai penuh keakraban.
Norma interaksi dan interpretasi:
Dalam percakapan pada data 25, P1 mengunakan BM level -B
dan beralih kode ke BI. Hal tersebut dilihat dari kosakode yang
digunakan pada tuturan 25(A) yakni sa baik yang merupakan
kosakata BM dalam tingkat tutur -B. Penggunaan BI sebagai
alih kode karena lawan tutur menyebut kiai dengan sebutan yai
pada 25(B). Kata yai biasa digunakan oleh etnik Jawa. Di
samping itu, partisipan tutur yang lain juga kelihatan terpelajar
dan melibatkan etnik lainbahkan keluarga manten laki-laki
berasal dari luar Jawa. P2 sebagai pejabat menggunakan BI
dalam percakapan tersebut. Hal ini juga menunjukkan adanya
kesetaraan status sosial antara kiai dengan umat yang berlatar
belakang pendidikan tinggi yang sekaligus pejabat dalam
berkomunikasi. Kesetaraan hubungan tersebut juga terindikasi
dari tidak adanya penggunaan cabis pamator mohon ijin
berbicara yang biasanya digunakan umat untuk memulai
pembicaraan. Bahasa tubuh yang ditunjukkan dalam
berkomunikasi juga menunjukkan kesetaraan, yakni kedua belah
pihak saling menatap dalam situasi komunikasi. Namun
demikian, iktikad saling ikram (hormat) tampak atarpartisipan
tutur.
Berdasarkan penjelasan dan analisis data tersebut, dapat disarikan
bahwa pola komunikasi kiai pesantren dengan umat yang bersatus sosial
tinggi adalah pada tabel berikut:

84
Tabel 6.2: Pola Komunikasi KP-UNUEM yang berstatus Sosial
Tinggi
Kode Tutur yang Digunakan
Alih
Peserta Tingkat Pilihan Tone Body
Giliran
Tutur Tutur Bahasa (Nada Language Tutur
Suara)
Kepada
(A) dan BM
KP
(B) -B BI
Tergantung
Pandangan
UNUEM BM, keperluan
kepada
terpelajar - B BI, dan dan tujuan Bebas
mitra tutur
(A) BMlj tutur
Umat NU
terpelajar BM dan
-B
& pejabat BI
(B)

Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Dipengaruhi Keeratan Hubungan


Pola komunikasi KP-UNUEM yang tidak memiliki ikatan guru-
santri, bisa ditentukan oleh tingkat keeratan hubungan. Yang dimaksud
tingkat keratan hubungan dalam pembahasan ini adalah kenal atau
tidaknya kiai dan umat, seperti tercermin dalam data berikut:
Data 26: Percakapan KP-UNUEM yang belum kenal
(A) P2 : Assalaamualaikum
(B) P1 :Waalaikum salaam warahmatullaahi
wabarakaatuh, dri kadimma?
Waalaikum salaam warahmatullaahi
wabarakaatuh, dari mana?
(C) P2: Dri Mayang, kadinto.
Dari Mayang.
(D) P1: Kadhinapa, sa?
Bagaimana, keadaan baik-baik?
(E) P2: Alhamdulillah, Cabis pamator, kadinto.
Alhamdulillah, mohon ijin berbicara
(F) P1: Ponapa?
Apa
(G)P2 : Bhdi mabd pengajin isra miraj,
kadinto.
Rencana akan mengadakan pengajian isra miraj
85
(H) P1 : Bilpon?
Kapan?
(I) P2 : Manabi pangaterro tangghl ptolkor rejeb.
Keinginan masyarakat tanggal dua puluh tujuh
rajab.
(J) P1: Tagghl kadinto, ampon bd.
Pada tanggal ini, sudah ada yang mengundang
(K) P2: Ngrng ajunan saos, kadinto.
Pasrah ke kiai saja
(L) P1: Tangghl sangalkorra, gh?
Bagaimana, kalau tanggal dua puluh sembilan saja
ya?
(M) 2 : ngghi, sa
Baik, kiai

Assalaamualaikum pada tuturan tersebut, digunakan sebagai


salam pembuka pertemuan antarpartisipan tutur, yang kemudian dijawab
dengan lengkap oleh semua partisipan tutur dengan ucapan Waalaikum
salaam warahmatullaahi wabarakaatuh,. Frasa dri kadimma? Dari
mana? sebagai pembuka percakapan untuk mengidentifikasiapakah
lawan tutur sudah dikenal dengan baik. Sebab, biasanya kiai sulit
mengenal satu persatu umat NU yang begitu banyak. Jawaban Dri
Mayang Dari Mayang merupakan penegasan bahwa memang umat
tersebut belum dikenal erat dengan kiai. Sebagai bentuk perhatian kepada
tamu, kiai menanyakan dengan kalimat Kadhinapa, sa? Bagaimana
keadaan, baik-baik. Pertanyaan tersebut tidak hanya menyangkut lawan
tutur, tetapi juga menanyakan perihal situasi dan kondisi umat yang berada
di daerah Mayang. Untuk menyampaikan tujuan tutur UNUEM
menggunakan frasa Cabis pamator, kadinto Mohon ijin berbicara yang
kamudian kiai menjawab dengan ponapa apa. Kata ponapa? yang
merupakan kalimat tanya berfungsi sebagai persetujuan/mempersilahkan
lawan tutur untuk menyampaikan maksud dan tujuannya. Bhdi mabd
pengajin isra miraj, kadinto. Rencana akan mengadakan pengajian
isra miraj. Tuturan ini berbentuk kalimat informatif yang berfungsi
sebagai bentuk undangan kepada kiai untuk memberi ceramah pada acara
pengajian tersebut. Kiai kemudian bertanya Bilpon? Kapan? Kalimat
yang menanyakan hari dan tanggal pelakasaan tersebut sebagai bentuk
respon kiai terhadap tujuan tutur yang disampaikan UNUEM. Manabi
pangaterro tangghl ptolkor rejeb. Keinginan masyarakat tanggal dua
puluh tujuh rajab. sebagai bentuk harapan umat dan opsi yang diberikan
kepada kiai, yang intinya menyerahkan sepenuhnya pelaksanaan agar kiai

86
bisa hadir. Tuturan tersebut dipertegas dengan Ngrng ajunan saos,
kadinto. Pasrah ke kiai saja hari dan tanggal pelaksanaannya. Akhirnya
kiai menentukan tanggal 29 Rajab yang dianggap kosong dan UNUEM
menyatakan persetujuannya dengan tuturan ngghi, sa Baik, kiai.
Analisis Komponen Tutur:
Situasi tempat dan suasana tutur:
Konteks tuturan berlangsung di ruang tamu di dhlem kiai.
Peserta tutur:
P1: KP
P2: UNUEM
P3: Wali santri (dari kalangan UNUEM)
P4: Santri
Tujuan tutur:
Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah mengundang
kiai untuk berceramah pada acara isra miraj.
Bentuk pesan:
Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai,
tetapi serius karena membicarakan topik yang penting.
Urutan tindak:
P4 mempersilakan para tamu masuk ruang tamu yang disedikan
P2 dan P3 masuk ruangan
P4 menyuguhkan mamiri
P1 datang di ruang tamu
P2 sebagai perwakilan para tamu memberi salam
P1 dan semua partisipan tutur menjawab salam
P1 memulai percakapan
Jenis tuturan:
Termasuk kategori bahasa lisan formal dan serius. UNUEM
berusaha menggunakan nada tutur tone lebih rendah dari nada
tutur kiai.
Norma interaksi dan interpretasi:
Setiap pertemuan warga NU selalu diawali dengan ucapan salam
dengan BA, seperti data 26 (A) dan (B) sebagai penciri khas salam
yang biasa disampaikan umat Islam pada umumnya. Dalam tuturan
tersebut P1 menggunakan BM level -B dan sering beralih kode
ke BM level Eg-E. Hal tersebut terlihat dari kosakode yang
digunakan P1 kadhiponapa, kadinto, bilpon pada data 26(D),
(F), dan (H), yang merupakan kosakode BM level -B. Adapun
kosakode gh pada data 26(L) adalah kosakata BM level Eg-E.
Penggunaan alih kode tersebut disebabkan P2 belum dikenal
secara baik oleh P1. Sementara P2 menggunakan BAl dan BM

87
level -B. Posisi tempat duduk P1 menghadap kepada semua
partisipan tutur dengan pandangan tertuju kepada lawan tutur,
sementara P2 dan P3 menundukkan kepala. UNUEM pada
umumnya berusaha merendahkan suaranya di bawah suara kiai.
Alih giliran tutur, pada umumnya juga dimulai dari kiai, kecuali
uacapan salam yang bisa didahului oleh siapa saja. Memberi
salam lebih dahulu menurut pandangan syariat Islam mendapat
pahala lebih besar dibanding yang menjawab salamdalam tradisi
NU, umat boleh memberi salam lebih dahulu kepada kiai, dan
bahkan hal tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada orang
lain.
Pola komunikasi dengan umat yang sudah dikenal, dapat
dicermati pada data berikut:
Data 27: Percakapan Kiai Pesantren-UNUEM yang sudah dikenal
(A) P1: Sabels taon samangkn, manabi orng seppo,
ponapa bad prioritas?
Sekarang daftar tunggu sudah sebelas tahun, kalau
orang tua apakah ada prioritas?

(B)P2: Prioritas bd, Jawa Timur tiga puluh tiga ribu, pada
saat tiga pulu tiga ribu ada yang mengundurkan diri,
baru mondutaghi s seppo, tap sanaossa s
seppo, s urut jhughn nomerra, palng seluruh
Indonesia sabu, mon, kadinto.
Prioritas memang ada, seperti Jawa Timur yang
koutanya tiga puluh tiga ribu, pada saat tiga pulu tiga
ribu itu ada yang mengundurkan diri, maka baru
diambilkan umur yang tua, tapi walaupun umurnya tua,
tentu dipilih juga yang nomornya urut, paling seluruh
Indonesia seribu, kalau ada

(C) P1: Kadhiponapa s sa, ponapa paumroh?


Bagamina jalan keluarnya, apa diumrohkan saja?

(D)P2: Kan adaftar kadinto, ampon aniyat, memang


katentona sakadinto.
Bukankah mendaftar itu sudah termasuk berniat
karena ketentuannya memang sudah seperti itu
Sabels taon samangkn Sekarang daftar tunggu sudah sebelas
tahun 27(A) dalam konteks tuturan tersebut adalah porsi haji daftar
tunggunya sejak mendaftar sudah mencapai sebelas tahun. Sebaliknya

88
orng seppo orang tua orang yang telah berumur enam puluh tahun labih,
ketika mendaftar. Kata prioritas diutamakan merujuk kepada orang yang
usianya lebih dari 60 tahun. Kadhiponapa s sa, ponapa paumroh?
Bagamina jalan keluarnya, apa diumrohkan saja? pada tuturan 27(C)
sebagai bentuk permohonan pertimbangan kepada kiai tentang kondisi ibu
dari umat yang sudah berumur lebih 60 tahun. Jawaban P2 Kan adaftar
kadinto, kan ampon aniyat, memang katentona sakadinto Bukankah
mendaftar itu sudah termasuk berniat karena ketentuannya memang sudah
seperti itu 27(D) sebagai bentuk jawaban persuasif bahwa orang yang
sudah mendaftar haji tidak perlu bingung yang penting sudah berupaya
mendaftar, maka kewajiban dengan sendirinya telah gugur karena memang
ketentuannya tidak mungkin berangkat dalam waktu dekat. Jadi semua
dipasrahkan saja kepada Allah Swt.

Analisis Komponen Tutur:


Situasi tempat dan suasana tutur:
Konteks tuturan berlangsung di ruang tamu di dhlem kiai.
Peserta tutur:
P1: KP
P2: UNUEM yang sudah kenal akrab
P3: Wali santri (UNUEM)
P4: Santri
Tujuan tutur:
Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah memperjelas
tentang daftar tunggu pemberangkatan haji.
Bentuk pesan:
Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai, tapi
serius karena topik yang menjadi pembicaraan menyangkut hal
yang penting yakni berkaitan dengan masalah haji.
Urutan tindak:
P2 menanyakan kepada P4 ada tidaknya kiai
P4 mempersilahkan P2 masuk ruang tamu yang disedikan
P2 memulai percakapan
P1 menjawab setiap pertanyaan P2
P3 menyimak percakapan
Jenis tuturan:
Termasuk kategori bahasa lisan santai, tapi serius. Nada tutur
sesuai dengan tujuan tutur.
Norma interaksi dan interpretasi:
Dalam percakapan tersebut, P1 menggunakan BM level -B dan
sering beralih kode dan bercampur kode ke BI dan bahkan bahasa

89
ragam populer. Penggunaan tingkat tutur itu terlihat dari kosakode
yang digunakan P1 mondutaghi, seppo, sanaossa, jhughn pada
data 27 (B) dan kadinto, ampon, sakadinto 27(D), yang
merupakan kosakata BM level -B. Sementara prioritas, Jawa
Timur tiga puluh tiga ribu, pada saat tiga pulu tiga ribu ada yang
mengundurkan diri, baru pada data 27(B) adalah kalimat yang
terdiri dari kosakata BI. Penggunaan alih kode ke BI tersebut
disebabkan P2 sudah dikenal secara baik oleh P1 sebagai orang
yang berpendidikan tinggi dan di kalangan para intelektual
kosakata pada kalimat 27(B) lebih mudah diucapkan dan diterima
oleh mitra tutur. P2 menggunakan BM level -B dan BI. Hal
tersebut dapat dilihat dalam penggunaan kosakata pada data 27(A)
dan (C) samangkn, manabi, seppo, ponapa, kadhiponapa, sa,
yang merupakan kosakode dalam BM level -B dan prioritas
adalah kosakode BI ragam ilmiah populer. Penggunaan kosakode
BI ragam ilmiah popular oleh P2 karena diketahu bahwa lawan
tutur adalah kiai yang berpendidikan tinggi. Semua peserta tutur
duduk lesehan di karpet yang dalam hal ini juga menjadi tradisi di
sebagaian besar dhlem kiai NU. Posisi tempat duduk P1
menghadap kepada semua partisipan tutur dengan pandangan
tertuju kepada lawan tutur, sebaliknya P3 dan P4 menundukkan
kepalaP2 bertutur dengan arah pandangan tertuju kepada P1,
tetapi sesekali menundukkan kepala. Umat pada umumnya
berusaha merendahkan suaranya di bawah suara kiai. Alih giliran
tutur pada percakapan ini dimulai dari umat karena adanya
keeratan hubungan antara penutur dan lawan tutur.
Berdasarkan penjelasan dan analisis data tersebut dapat disarikan
pada tabel berikut bahwa pola komunikasi KP-UNUEM yang
dipengaruhi oleh tingkat keertan hubungan adalah sebagai berikut:

Tabel 6.3: Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Dipengaruhi Tingkat


Keeratan hubungan
Kode Tutur yang Digunakan
Alih
Peserta Tingkat Pilihan Tone Body Giliran
Tutur Tutur Bahasa (Nada Language Tutur
Suara)
Lebih Pandangan Dominan
KP - B BM tinggi dari kepada pada
E-E BI nada tutur partisipan giliran
umat tutur pertama

90
Menundukkan
kepala dan,
UNUEM Lebih Setelah
pandangan ke
yang BAl & rendah dari kiai atau
BM bawah
belum - B nada tutur mohon ijin
sesekali
kenal kiai bicara
memandang
lawan tutur
UNUEM Menundukkan
Tergantung
yang kepala, arah Tergantung
- B & BM tujuan tutur
sudah pandangan tujuan
E-E BI dan situasi
kenal kepada lawan tutur.
tuturan
akrab tutur.

Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Dipengaruhi Umur


Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa banyak
sedikitnya umur partisipan tutur (penutur dan mitra tutur) dapat
mempengaruhi pilihan kode tutur yang digunakan dalam peristiwa
komunikasi. Orang pertama (O1) yang lebih muda tentu akan menaruh
rasa hormat kepada orang kedua (O2) yang lebih tua. Rasa hormat tersebut
paling mudah dilihat dari perilaku berbahasa seseorang atau pola
komunikasinyatidak terkecuali pola komunikasi KP-UNUEM.
Dengan umat yang umurnya lebih tua, KP menggunakan pola
komunikasi seperti data berikut:

Data 28: Percakapan KP-UNUEM yang umurnya lebih tua


(A) P1: Panjenengan, pak Maryadi?
Pak Maryadi ya?

(B) P2: ngghi, kadinto.


Ya, saya

(C) P1: Kadhiponapa, sa sadhj?


Bagaimana kabar, baik-baik semua?

(D) P2: Alhamdulillah, Cabis pamator, kadinto.


Alhamdulillah, mohon ijin bicara

(E) P1: Ponapa pak Maryadi?


Ada apa Pak Maryadi?

91
(F) P2: Anyoona barokah dhua, bhdi amula Mushalla.
Mohon bantuan doanya, rencana akan memulai
pembangunan mushalla

(G) P1: Raj rencanana?


Rencananya besar bangunannya?

(H) P2: Sia, bhunten, namung okoran lma kal enem


yach, tidak, hanya berukuran lima kali enam.

(I) P1: Engghi mandhr palancara, tor amin!


Ya, semoga diberi kelancaran, Mari berdoa
bersama-sama

Kalimat Panjenengan, pak Maryadi? Pak maryadi ya? pada data


28(A) digunakan untuk menyapa orang yang sudah dikenal dan umur lebih
tua. Sebenarnya dengan menggunakan panjenengan? Sebagai kata sapaan
sudah bermakna, akan tetapi belum menunjukkan bahwa lawan tutur itu
sudah dikenal baik. Begitu pula frasa pak Maryadi, bisa berdiri sendiri
sebagai kata sapaan, tapi dalam BM belum sempurna tanpa kata
panjenengan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua.
Semrntara ngghi, kadinto ya, saya tidak hanya sebagai jawaban
terhadap pertanyaan kiai pada tuturan 28(A), tapi juga berfungsi sebagai
sinyal bahwa pak Maryadi sudah siap menjadi mitra tutur. Oleh karena itu,
kiai langsung menanyakan Kadhiponapa, sa sadhj? Bagaimana
kabar, baik-baik semua?sebagai bentuk perhatian terhadap orang yang
sudah dikenal akrab, namun pertanyaan tersebut sangat jarang
dipertanyakan UNUEM kepada kiai sebagai bentuk perhatian. Tuturan
Cabis pamator, kadinto? mohon ijin bicara28(D), selain digunakan
untuk mengalihkan pembicaraan ke pokok tujuan tutur, juga digunakan
sebagai bentuk rasa hormat kepada kiai untuk menyatakan sesuatu. Pada
tuturan 22(E) pertanyaan kiai Ponapa pak Maryadi? Apa pak Maryadi
berfungsi sebagai pemberian ijin pak Maryadi berbicara untuk menyatakan
pokok tuturan yang akan disampaikan. Oleh karena itu, Pak Maryadi
langsung mengemukakan pokok tuturannya Anyoona barokah dhua,
bhdi amula Mushalla. Mohon bantua doanya, rencana akan memulai
membangun mushalla. Tuturan 28(F) tersebut sebagai bentuk
pemberitahuan dan sekaligus mohon doa restu kepada kiai untuk memulai
pembangunan mushalla. Sebagai jawaban dan implementasi terhadap
tujuan tutur tersebut, kiai langsung menyatakan dukungannya dan
mendoakan dengan pernyataan Engghi mandhr palancarra, tor amin!

92
Ya, Semoga diberi kelancaran, mari berdoa bersama-sama. tor amin
pada tuturan 28(I) tersebut sebagai bentuk ajakan kiai untuk mengamini
doanya.
Analisis Komponen Tutur:
Situasi tempat dan suasana tutur:
Konteks tuturan berlangsung di ruang tamu dhlem kiai.
Peserta tutur:
P1: KP
P2: UNUEM umur lebih sepuh dan kenal akrab
P3: Santri laki-laki
Tujuan tutur:
Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah memohon ijin
dan doa restu untuk memulai pembangunan mushalla.
Bentuk pesan:
Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan santai,
tetapi serius karena membicarakan topik yang penting.
Urutan tindak:
P3 mempersilahkan para tamu masuk ke ruang tamu
P2 masuk ruang tamu
P3 menyuguhkan mamiri
P1 datang di ruang tamu
P2 memberi salam
P1 dan semua partisipan tutur menjawab salam
P1 memulai percakapan
Jenis tuturan:
Termasuk kategori bahasa lisan formal dan serius. Dalam tuturan
ini, Pak Maryadi sebagai umat berusaha menggunakan nada tutur
(tone) lebih rendah dari nada tutur kiai.
Norma interaksi dan interpretasi:
Setiap pertemuan antarwarga nachdiyyin selalu diawali dengan
ucapan salam. Dalam tuturan tersebut P1 menggunakan BM level
-B dengan beralih kode ke level E-E. Penggunaan ondhghan
bhsa tersebut terlihat dari kosakode yang digunakan P1
Panjenengan 28 (A), kadhiponapa, sa, sadhj, 28(C), ponapa
28(E) yang merupakan kosakata BM level -B. Adapun engghi,
tor 28(I) kosakode BM level E-E. Pemilihan tingkat tutur
tersebut disebabkan P2 berumur lebih tua, walaupun sudah dikenal
baik oleh P1 karena mantan santri orang tua P1. Sementara P2
menggunakan BAl dan BM level -B. Penggunaan BAl dapat
dilihat dari frasa Cabis pamator yang biasa digunakan sebagai
kosakode BAl. Adapun kosakata kadinto, anyoona merupakan

93
kosakode BM level -B. Posisi tempat duduk P1 berhadapan
dengan P2 sebagai lawan tutur. P2 seringkali menundukkan
kepala, sesekali saja mangangkat pandangannya, selalu berusaha
merendahkan suaranya di bawah suara KP. Alih giliran tutur pada
umumnya dimulai dari kiai, kecuali jika umat minta ijin dengan
frasa cabis pamator mohon ijin bicara. Pemakaian kode, alih
kode, dan alih giliran tutur tersebut sebagai bentuk politness
mantan santri kepada gurunya. Untuk memulai dan melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan agama dan akan
melibatkan warga nachdiyyin, seperti pembangunan masjid,
mushalla UNUEM biasa mohon ijin dan doa restu kepada kiai
yang dianggap sebagai guru dan tokoh agama di masyarakat, agar
diberi kelancaran dan mendapat dukungan dari masyarkat. Restu
dan doa kiai merupakan modal spirit bagi umat NU.

Pola Komunikasi KP-UNUEM yang umurnya sederajat dapat


dilihat pada data berikut ini.
Data 29: Percakapan KP-UNUEM yang berumur sederajat
(A) P1: Cabis pamator, kadinto.
Mohon ijin berbicara

(B) P2: Napa?


silahkan

(C) P1: Syai KKN kadinto, tako kaposang


Syai sedang melaksanakan KKN, Khwatir dicari

(D) P2: Engghi, kaemma?


Ya, KKN dimana?

(E) P1: Ka kalisat.


Ke Kalisat.

Kalimat Cabis pamator, kadinto mohon ijin berbicara pada


tuturan 29(A), sebagai pembuka pembicaraan untuk mengalihkan
perbincangan dari topik dan partisipan tutur yang lain. Hal tersebut juga
sebagai bentuk ungkapan rasa cangkolang kepada kiai. Jawaban P2 Napa?
apa? 29(B) merupakan kata tanya, yang fungsinya mempersilahkan
lawan tutur untuk berbicara. Syai KKN kadinto Syai sedang
melaksanakan KKN 29(C) adalah kalimat informsi yang fungsinya
memohon ijin untuk sementara tidak mengajar di sekolah yang diasuh kiai

94
karena sedang melaksanakan KKN. Frasa tersebut dipertegas dengan
tako kaposang khawatir dicari yang bermakna ketidakhadiran Syai
untuk sementara waktu agar diketahui oleh kiai. Sebagai bentuk perhatian,
kiai menanyakan kaemma di mana yang bermaksud menanyakan tempat
KKN itu dilaksanakan.

Analisis Komponen Tutur:


Situasi tempat dan suasana tutur:
Konteks tuturan berlangsung di ruang tamu dhlem kiai duduk
lesehan di lantai.
Peserta tutur:
P1: KP
P2: UNUEM berumur sederajat KP
P3: Tamu UNUEM yang lain
P4: santri laki-laki
Tujuan tutur:
Tujuan tutur dalam konteks tuturan tersebut adalah memohonkan
ijin anaknya yang sementara melaksanakan KKN agar mendapat
ijin untuk tidak mengajar sementara.
Bentuk pesan:
Bentuk pesan dalam komunikasi ini adalah percakapan
santai,tetapi serius. P2 (UNUEM) berusaha merendahkan
suaranya.
Urutan tindak:
P4 mempersilahkan para tamu masuk ruang tamu
P2 masuk ruangan tamu
P2 mohon ijin berbicara untuk mengalihkan pembicaraan dari
topik dan partisipan tutur yang lain
P1 mempersilahkan P2 berbicara dan menanyakan hal-hal yang
tidak diketahui
P3 dan P4 mendengarkan, tanpa berkomentar apapun
Jenis tuturan:
Termasuk kategori bahasa tidak formal, tetapi serius. Dalam
tuturan ini, Pak Syai sebagai umat berusaha menggunakan nada
tutur (tone) lebih rendah dari nada tutur kiai.
Norma interaksi dan interpretasi:
Dalam tuturan 29(A) ini, frasa cabis pamator mohon ijin
berbicara digunakan umat untuk memohon ijin kepada kiai
memulai tuturan, mengalihkan dari partsipan yang lain, dan
mengalihkan dari topik yang sedang menjadi perbincangan ke
topik yang baru. Permohonan ijin berbicara tersebut juga sebagai

95
upaya menghilangkan rasa cangkolang umat kepada kiai. Dalam
tuturan tersebut, P1 menggunakan BM level E-E. Penggunaan
ondhghan bhsa tersebut terlihat dari kosakode yang digunakan
P1 napa? apa? 29 (B), ekaemma di mana 29 (C), yang
merupakan kosakode BM level E-E. Pemilihan tingkat tutur
tersebut disebabkan P2 berumur setara dengan P1. P2
menggunakan BM level -B dan BAl. Penggunaan BAl dapat
dilihat dari frasa Cabis pamator yang biasa digunakan sebagai
kosakode BAlpenggunaan kosakata kadinto merupakan
kosakode BM level -B. Posisi tempat duduk P1 berhadapan
dengan P2 dan P3 sebagai partisipan tutur. P2 dan P3 seringkali
menundukkan kepala, sesekali saja mangangkat pandangannya
sebagai bentuk perhatian ketika P1 berbicara. Nada suara P2 dan
P3 selalu lebih rendah dari nada suara P1. Alih giliran tutur, pada
umumnya dimulai dari kiai, kecuali jika umat minta ijin dengan
frasa cabis pamator mohon ijin bicara. Pemakaian kode, alih
kode, dan alih giliran tutur tersebut sebagai bentuk politness umat
kepada kiai. Dalam permohonan ijin tersebut, tersirat maksud agar
kiai memberi barokah doa kepada anaknya yang sedang
melaksanakan KKN. Dalam pandangan WNUEM doa kiai yang
dianggap lebih dekat dengan sang pencipta dapat menjadi wasilah
untuk meraih kesuksesan. Oleh karena itu, semua hal yang
berkaitan dengan kehidupan selalu memohon doa restu dan
barokah dari kiai.
Berdasarkan uraian dan analisis data 28 dan 29 tersebut dapat
disarikan bahwa pola komunikasi kiai dengan uma, yang dipengaruhi
perbedaan umur pada tabel berikut.

Tabel 6.4: Pola Komunikasi KP-UNUEM yang dipengaruhi Umur


Kode Tutur yang Digunakan
Alih
Peserta Tutur Tingkat Pilihan Tone Body Giliran
Tutur Bahasa (Nada Language Tutur
Suara)
Kepada Lebih
(A) - tinggi
B, dari Pandangan Dominan
E- E BM nada kepada pada
KP
Kepada tutur partisipan giliran
(B) UNUEM tutur pertama
E-E (A) dan
(B)
96
Menundukkan Diawali
Lebih kepala dan, dari kiai
UNUEM rendah pandangan ke atau
BAl &
umur lebih BM dari bawah umat
- B
tua (A) nada sesekali mohon
tutur KP memandang ijin
lawan tutur bicara
Menundukkan Diawali
Lebih kepala dan, dari kiai
UNUEM
rendah pandangan ke atau
yang umurnya BAl &
BM dari bawah umat
sederajat/lebih - B
nada sesekali mohon
muda (B)
tutur KP memandang ijin
lawan tutur bicara

Ringkasan
Pola Komunikasi KP-UNUEM dapat dikelompokkan menjadi: a)
Pola komunikasi KP-UNUEM yang dingaruhi ikatan guru-santri; b) Pola
komunikasi KP-UNUEM yang berstatus sosial tinggi; c) Pola komunikasi
KP-UNUEM yang dipengaruhi keeratan hubungan; dan d) Pola
komunikasi KP-UNUEM yang dipengaruhi perbedan umur.
a) Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Memiliki Ikatan Guru-Santri
Tingkat tutur yang digunakan KP kepada UNUEM mantan santrinya
adalah BM level Eg-E atau E-I, sebaliknya UNUEM menggunakan BM
level -B dan BAl. BM konsisten digunakan untuk mempertahankan
rasa hormat kepada guru. KP bersuara lebih tinggi dari tekanan suara
UNUEM. Arah pandangan KP tertuju kepada UNUEM sebagai lawan
tutur, sementara UNUEM menundukkan kepala dan pandangan ke
bawahdalam posisi berdiri UNUEM menyilangkan tangannya di
depan bawah pusar. Body language tersebut juga sebagai refleksi rasa
hormat santri kepada gurunya. Alih giliran tutur dimulai dari KP baru
kemudian UNUEM. Kecuali UNUEM memohon ijin bicara dengan
uacapan cabis pamator.
b) Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Berstatus Sosial Tinggi
Tingkat tutur yang digunakan KP-UNUEM terpelajar dan pejabat
speech level BM level -B. KP mengunakan BM dan BI sebagai
pilihan bahasa untuk beralih kode dan bercampur kode, UNUEM
terpeajar menggunakan BM, BI, dan BMljUNUEM pejabat
menggunakan BM dan BI sebagai pilihan bahasa. Alih kode dan
campur kode ke BI dan BMlj tersebut, untuk mengurangi tingkat
formalitas hubungan dalam situasi komunikasi informal karena masing-
97
masing partisipan tutur menganggap lawan tuturnya memiliki status
sosial yang tinggi. Kesamaan status sosial itu, juga terimplementasi
pada penggunaan nada suara (tone) yang menunjukkan kesetaraan
tekanan. Begitu pula body language yang ditunjukkan dengan
pandangan sama-sama mengarah kepada lawan tutur. Alih giliran tutur
juga bebas sesuai keperluan dan tujuan tutur.
c) Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Dipengaruhi Keeratan
Hubungan
Kepada UNUEM yang sudah kenal maupun belum, KP menggunakan
tingkat tutur BM -B dan E-E, UNUEM yang belum kenal
menggunakan tingkat tutur BM level -B dan BAl. Sementara
UNUEM yang sudah kenal akrab dengan KP menggunakan BM level
-B dan E-E. Pilihan bahasa yang digunakan KP dan UNUEM yang
belum dikenal adalah BM. Sebaliknya KP dan UNUEM yang sudah
kenal akrab menggunakan pilihan bahasa BM dan BI. Alih kode dan
campur kode dari BM ke BI sebagai bentuk keakraban, yang sekaligus
mengurangi tingkat formalitas antarpartisipan tutur. Nada tutur yang
digunakan KP pada umumnya lebih tinggi dari tone UNUEM yang
belum dikenal, sedangkan nada tutur KP dan UNUEM yang sudah
dikenal akrab adalah sama. UNUEM yang belum kenal menundukkan
kepala dan pandangan di hadapan kiai. Sementara yang sudah kenal
akrab menundukkan kepala, tetapi pandangan kepada kiaiadapun kiai
pandangan selalu ke arah lawan tutur. Alih giliran tutur KP biasanya
dominan pada giliran pertama, UNUEM yang belum kenal pada giliran
keduaadapun UNUEM yang sudah kenal tergantung keperluan dan
tujuan tutur.
d) Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Berbeda Umur
Tingkat tutur yang digunakan KP kepada UNUEM yang lebih tua
adalah BM level -B dan E-E, kepada UNUEM yang sederajat atau
lebih muda, KP menggunakan speech level BM level E-E. KP dan
UNUEM yang lebih tua maupun yang lebih muda selalu konsisten
menggunakan BM sebagai tanda adanya formalitas hubungan dan
upaya mempertahankan politeness antarpartisipan tutur. Tone KP selalu
lebih tinggi dari nada tutur UNUEM karena UNUEM selalu
merendahkan suaranya di bawah nada suara kiai. Begitu pula arah
pandangan KP yang merupakan bagian body languageselalu tertuju
ke arah lawan tutur. Sementara UNUEM selaku lawan tutur selalu
menundukkan kepala dan pandangannya. Alih giliran tutur KP pada
giliran pertama.

98
e) Bentuk dan Fungsi Tuturan sebagai Pola Komunikasi Kiai-
UNUEM
Pola komunikasi Kiai-UNUEM juga termasuk dalam kategori bentuk
yang berbeda dengan fungsinya, seperti kalimat informasi dapat
berfungsi sebagai permohonan, kalimat pertanyaan berfungsi sebagai
persetujuan, kalimat harapan berfungsi sebagai kalimat
perintahbahkan dalam konteks yang lain kalimat pertanyaan dapat
berfungsi sebagai permintaan, ejekan, dsb.
Untuk mendukung bentuk dan fungsi tersebut, tidak terlepas dari
penggunaan kode tutur yang sesuai, agar tuturan dapat berfungsi dengan
baik dan diterima sesuai tujuan tutur. Tingkat tutur yang digunakan
UNUEM kepada kiai adalah BM level -B dan BAl. Sementara kiai
menggunakan tingkat tutur BM level -B dan E-E. Tone yang digunakan
UNUEM lebih rendah dari tone kiai. Begtu pula body language UNUEM
yang merupakan cerminan politeness kepada kiai, selalu menundukkan
kepala dan arah pandangan tidak kepada lawan tutur (kiai). Sebaliknya kiai
mengarahkan pandangannya kepada UNUEM. Kiai lumrahnya mendapat
giliran tutur dominan pertama, namun untuk tujuan tutur tertentu UNUEM
boleh memohon ijin, untuk bertutur mendahului kiai dengan frasa cabis
pamatoruntuk mengatakan hal yang tidak pantas, UNUEM terlebih
dahulu mengatakan cangkolang pamator.

Pendalaman Materi
1. Carilah data dengan alat rekam melalui observasi partisipasi peristiwa
komunikasi, kemudian transkrip ke dalam data tertulis!
2. Sebagai pendukung analisis data carilah informan untuk memperdalam
konteks budaya dalam peristiwa komunikasi tersebut!
3. Sajikan data dan analisis dengan komponen tutur!
4. Buatlah rangkuman dari hasil analisis data tersebut tentang pola
komuniasi masyarakat tutur yang anda dsekripsikan!

99
100
Bab 7
Mengapa Terjadi Pola Komunikasi

Kompetensi dan Pengantar


Setelah mempelajari bab ini dengan baik, pembelajar diharapkan
memiliki kompetensi sebagai berikut:
Memahami faktor-faktor penyebab terjadinya pola komunikasi;
Memahami peran budaya dalam membentuk pola komunikasi;
Memahami adanya hubungan antarkomponen tutur sebagai penyebab
terjadinya pola komunikasi;
Memahami peran dan pentingnya kompetensi komunikatif dalam
membentuk pola komunikasi.
Pola komunikasi WNUEM di Jember terjadi karena dipengaruhi
oleh kultur paternalistik, elemen-elemen komponen tutur, dan kompetensi
komunikatif, yang saling berkaitan dan mempengaruhi antara satu dengan
yang lainnya. Ketiga hal tersebut sudah tentu tidak bisa terlepas dari aspek
sosiokultural yang terjadi dalam masyarakat tutur sehingga mempengaruhi
pola komunikasinya. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih detail
tentang hubungan ketiganya pada bab ini akan dibahas hal-hal sebagai
berikut: (1) faktor kultur paternalistik, (2) faktor komponen tutur, dan (3)
faktor kompetensi komunikatif.

Faktor Kultur Paternalistik


Keunikan tradisi dan kultur WNUEM di Jember berpengaruh
signifikan pada terbentuknya keunikan bahasa yang digunakan dalam
berkomunikasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa bahasa tidak dapat
dipisahkan dari kebudayaan. Temuan ini berarti memperkuat pernyataan
Kramsch (2009: 3), bahwa ada tiga hal yang menyebabkan bahasa dan
budaya tidak dapat dipisahkan satu sama lain: pertama, language expreses
cultural reality (bahasa mengekspresikan realitas budaya); kedua,
language embodies cultural reality (bahasa sebagai penjelmaan realitas
budaya); dan ketiga, language Symbolizes cultural reality (bahasa sebagai
symbol realitas budaya).
Sebagai ekspresi realitas budaya para penuturnya, bahasa
WNUEM merupakan refleksi dari kultur paternalistik yang didasarkan
pada pengalamannya selama berada di pesantren maupun lingkungan
masyarakat yang sudah lama menganut kultur pesantren. Kultur tersebut
merupakan perpaduan antara nilai-nilai syariat Islam dan tradisi EM
sehingga bahasanya juga mencerminkan kepercayaan dan sikap mereka
baik ditinjau dari sisi agama maupun kultur EM. Pandangan ini dipertegas
pernyataan Wijana (2004) yang menyatakan bahwa setiap bahasa
merupakan medium ekspresi kolektif yang unik dan khas. Sejumlah
elemennya yang terlihat khas merefleksikan budaya masyarakat
penuturnya.
Budaya sebagai penjelmaan realitas budaya para penuturnya
menunjukkan bahwa jarang sekali anggota masyarakat atau kelompok
sosial seperti WNUEM tidak menyatakan pengalamannya. Mereka juga
menuliskan dan mengungkapkan pengalamannya melalui media bahasa.
Mereka menyatakan maksud dan tujuannya melalui medium tersebut yang
dipilih untuk berkomunikasi satu dengan yang lainnya, seperti, ketika
mereka mengekspresikan kisah perilaku para masyayikh yang mereka
kagumi sebagai pola dan strategi komunikasi. Selama di pesantren
maupun di masyarakat mereka mengamati perilaku-perilaku yang
dicontohkan oleh para ulama yang menjadi pola anutan WNUEM. Hal ini
dipertegas dengan pernyataan Hofstede (1994) bahwa setiap orang dalam
dirinya membawa pola pikir, perasaan, dan perilaku yang dipelajari
sepanjang hidup mereka.
Bahasa itu menyimbolkan kenyataan budaya. Ini menunjukkan
bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda, yang didalamnya terdapat nilai-
nilai budaya. Para pembicara mengidentifikasi diri mereka dan orang lain
dengan menggunakan bahasa mereka. Mereka memandang bahasa mereka
sebagai sebuah simbol identitas sosialnya. Simbol-simbol bahasa yang
diperlihatkan oleh WNUEM merupakan cerminan kultur paternalistik,
yakni suatu bentuk kultural yang mencerminkan kepatuhan dan tadzim
seorang santri kepada gurunya.
Di dalam peristiwa komunikasi terdapat simbol-simbol yang dapat
dicerna sebagai sesuatu yang dapat sebagai pengganti unsur komunikasi
yang lain. Sebagaimana dikemukakan Larsen (1994) bahwa, Tanda
adalah suatu objek yang lainnya. Makna adalah representasi dari suatu
objek di dalam atau objek lainnya. Tanda atau objek yang mewakili itu,
dapat mewakili manifestasinya yang material sepanjang tanda yang
bersangkutan dapat berisi fungsi representasional, seperti siapa berbicara
dengan siapa dengan pola komunikasi tertentu, tentang apa yang akan
disampaikan kepada mitra tutur dengan kode-kode tertentu, dan bagaimana
orang menyandi pesan melalui gerakan, isyarat (body language) yang
sudah menjadi konvensi pada kelompok tertentu. Hal ini menyebabkan
makna yang terkandung dalam pesan dapat diinferensi dengan baik oleh
mitra tutur. Konteks tuturan juga menentukan simbol-simbol dan kode-
kode linguistik mana yang lazim digunakan sehingga simbol-simbol dan

102
kode-kode linguistik tersebut dapat ditafsirkan secara benar oleh mitra
tutur. Kesalahan dalam menempatkan simbol-simbol dan kode-kode
sebagai unsur-unsur komunikasi dalam budaya masyarakat NUEM, dapat
mengakibatkan hambatan/kegagalan komunikasibahkan akan menyulut
timbulnya konflik dan kekerasan antarkelompok penganut budaya
tersebut.WNU di Jember yang mayoritas pendukungnya EM, ditemukan
memiliki keunikan tradisi dan budaya yang tercermin dalam pola-pola
komunikasinya sebagai berikut.
Pertama, kedudukan dan status sosial kiai di kalangan warga NU
ditempatkan pada posisi yang paling terhormat sehingga berimplikasi
terhadap pola pemakaian bahasanya. Dalam pandangan WNUEM, kiai
diposisikan sebagai kelompok yang sangat di-tadzim-kan. Dalam struktur
sosial maupun politik, kiai juga menempati posisi yang amat penting dan
paling terhormat. Pada masyarakat berbasis NU, peran kiai sangat
menentukan pola dan warna kehidupan di masyarakat.
Kedua, ketaatan WNUEM kepada kiai yang dianggap guru dalam
segala hal sebagai cerminan kultur paternalistik, yang sudah mengakar`di
kalangan WNUsejak mereka di tempa di pesantren. Di dalam dunia
pesantren yang berhaluan NU otoritas kiai bersifat mutlak. Tunduk dan
patuh kepada kiai sebagai guru dan pembimbing spiritual merupakan
kewajiban nomor wahid dalam kultur pesantren.
Ketiga, kehadiran ulama/kiai dalam peristiwa tutur dapat
mengantisipasi terjadinya tuturan yang dapat menimbulkan konflik di
kalangan umat karena dengan hadirnya sosok kiai yang di-tadzim-kan dan
ditaati, peristiwa tutur yang memperhatikan politeness principle akan
terjaga seperti telihat pada data (70). Akan tetapi sebaliknya, jika dalam
suatu peristiwa komunikasi antar-UNUEM tidak melibatkan kiai/ulama,
sering terjadi adu argumentasi yang dapat memicu terjadi konflik
antarpartisipan tutur.
Keempat, sebagai strategi komunikasi di kalangan WNUEM,
penceritaan kiai yang dikagumi dalam peritiwa tutur sebagai bentuk pola
komunikasi. Sebagai gaya retorik tidak langsung cerita kiai yang dikagumi
dalam peristiwa komunikasi dapat membangkitkan perhatian partisipan
tutur untuk menyimak secara seksama topik dan tujuan tutur yang
disampaikan penutur.

Faktor Komponen Tutur


Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa pola
komunikasi yang terbentuk di kalangan WNUEM di Jember dipengaruhi
oleh sejumlah komponen tutur baik yang dikemukakan Hymes (1964a,
1972); Saville & Troika (2003) dan Poedjosoedarmo (1978). Komponen-
103
komponen tutur tersebut saling terkait antara satu dengan yang lainnya.
Untuk mengetahui lebih mendalam bagaimana komponen tutur tersebut
mempengaruhi pola komunikasi dan memiliki keterkaitan antara yang satu
dengan yang lainnya dapat dideskripsikan sebagai berikut.

Setting (Situasi ) tempat dan suasana tutur


Situasi tuturan, tempat, suasana, dan waktu tuturan terjadi berkaitan
erat dengan konteks tuturan. Konteks sangat berpengaruh terhadap
terjadinya peristiwa tutur. Tuturan yang terjadi di tempat-tempat formal
seperti di dhlem kiai, langgar, dan masjid berbeda dengan konteks
tuturan yang terjadi di pasar, di jalan, dsb. Tuturan yang terjadi di tempat-
tempat formal akan memungkinkan terjadinya tuturan serius, sebaliknya
tuturan yang terjadi di tempat-tempat santai akan memungkinkan
terjadinya obrolan santai. Menurut Rahardi (2001: 29-30) suasana tutur
berkaitan erat dengan faktor psikologis sebuah tuturan. Suasana tutur dapat
juga digunakan untuk menunjuk batasan kultural dari tempat terjadinya
tuturan tersebut. Dengan demikian, jelaslah bahwa tempat tutur (setting)
berbeda dengan suasana tutur (scenes) karena yang pertama (setting)
merujuk kepada kondisi fisik tuturan, sedangkan yang kedua (scenes)
merujuk pada kondisi psikologis dan batasan kultural sebuah tuturan.
Dimungkinkan pula, bagi seorang penutur untuk beralih dari kode yang
satu ke kode yang lain dalam suasana tertentu di tempat (setting) yang
sama. Dalam petuturan yang terjadi di masjid, misalnya, seseorag akan
beralih kode dan bercampur kode dari BM ke kosa kata BI dan BA, ketika
segera diketahui bahwa ternyata partsipan tutur yang ada di tempat itu
adalah sesama umat NU lulusan pesantren dan kalangan terpelajar. Dengan
demikian dapat dikatakan tempat, suasana, dan waktu terjadinya tuturan
masih tergantung pada komponen tutur yang lain seperti partisipan tutur,
topik tuturan, jenis tuturan, dan tujuan tutur.

Participant Peserta Tutur


Peserta tutur dalam komunikasi yang melibatkan WNUEM,
kedudukan dan peran partisipan tutur amat penting diketahui. Kaitannya
dengan komponen partisipan tutur, ada beberapa variabel yang dapat
mempengaruhi pola komunikasi yang digunakan oleh WNUEM, antara
lain: (1) variabel sosial; (2) psikologis; dan (3) kultur pesantren yang
merupakan embrio WNUEM. Variabel sosial yang mempengaruhi pola
komunikasi di kalangan komunitas WNUEM di Jember dalam
berkomunikasi adalah: perbedaan status sosial yang dipengaruhi
kedudukan dan peran sebagai guru-santri, tingkat formalitas hubungan,

104
perbedaan umur, tingkat keeratan hubungan, dan jenis kelamin; variabel
psikologis yang menentukan pola komunikasi antara lain: perasaan enak
dan kurang enak, yang juga disertai perasaan takut. Adapun variabel kultur
yang mempengaruhi pola komunikasi adalah perasaan ingin bertawaduk
dan ber-tadzim kepada guru yang merupakan faktor tradisi dan budaya
yang sudah lama menjadi konvensi di kalangan WNUEM. Dilihat dari
perbedaan status sosial antara penutur dan mitra tutur, penelitian ini
menemukan bahwa pola komunikasi WNUEM dalam berkomunikasi
secara konsisten dipengaruhi oleh siapa penutur dan siapa pihak kedua
yang menjadi mitra tutur serta kehadiran orang ketiga baik sebagai
partisipan tutur aktif maupun pasif (hearer). Status sosial penutur dan
mitra yang disebabkan adanya ikatan guru-santri merupakan faktor
dominan yang mempengaruhi terbentuknya pola komunikasi. Pola
komunikasi yang digunakan antarkiai, kiai-umat, yang berlatar belakang
guru-santri, berbeda dengan pola komunikasi yang tanpa adanya hubungan
guru-santri. WNUEM yang berasal dari kalangan santri (umat) kepada kiai
selalu menggunakan pola komunikasi yang cenderung mempertahankan
rasa tawaduk dan tadzim kepada guru, yakni dengan menggunakan BAl
dan BM tingkat tutur level yang paling tinggi yakni -Bnada suara
(tone) yang lebih rendah dari nada tutur kiai, alih giliran tutur yang tidak
mendahului kiai, menundukkan pandangannya, dan jarak tertentu yang
sudah menjadi norma dalam masyarakat WNUEM.
Dari variabel psikologi ditemukan bahwa umat sebagai santri
kadang-kadang merasa enak dan kurang enak, perasaan takut yang
berlebihan dalam berkomunikasisehingga menimbulkan pola
komunikasi yang cenderung lebih berhati-hati, agar tujuan tutur yang akan
disampaikan tidak menimbulkan rasa cangkolang kepada kiai sebagai
orang yang dipatuhi dan di-tadzim-kan. Dengan pola komunikasi yang
mencermati kedudukan dan status sosial para partispan tuturpenolakan,
permintaan, dan bahkan suatu perintah bisa menjadi lumrah dilakukan,
tanpa membuat perasaan tidak enak bagi partisipan tutur. Dilihat dari sisi
kiai sebagai orang yang dimuliakan, juga lebih berhati-hati agar santri
yang sudah lama mendapat pembelajaran ilmu tngka di pesantren tidak
dikotori dengan kesalahpahaman dalam berkomunikasi.
Penelitian ini juga menemukan bahwa variabel kultur yang dapat
mempengaruhi pola komunikasi adalah faktor tradisi yang sudah lama
dipertahankan di dalam organisasi NU yang kental dengan kehidupan
pesantren. Di kalangan NU masih mempertahankan kultur paternalistik
yang dapat mengikat WNUEM selalu menjunjung tinggi kepatahun umat
kepada kiai selaku guru yang dicerminkan dengan rasa tawaduk dan
tadzim. Sebagai implimentasi rasa tawaduk dan tadzim tersebut,

105
UNUEM selalu bersuara dengan tone lebih rendah, dan menundukkan
pandangannya, ketika berkomunikasi dengan kiai sedangkan kiai lebih
santai dalam situasi petuturan dengan menggunakan nada suara yang lebih
tinggi ketimbang suara umat dan pandangan kepada lawan tutur.

End/function/purpose Tujuan Tutur


Tujuan tutur selalu berbeda-beda dalam peristiwa tutur. Dalam
peristiwa tutur yang melibatkan WNUEM, tujuan tutur juga berbeda-beda
yaitu, bertanya, menyampaikan informasi, meminta penjelasan tentang
suatu hal, meminta sesuatu, mengajak, merayu, marah, dsb. Dalam
menyampaikan tujuan tutur ini, di samping melihat pada tujuan di atas,
tentu penutur harus melihat komponen yang lainsiapa partisipan
tuturnya, nada tutur yang pantas untuk tujuan tertentu, jenis tuturannya
apa, bagaimana alih giliran tuturnya (act sequence), sarana yang digunkan
apa, dan bagaimana norma-norma yang dipakai. Sebagai contoh ketika
sesorang umat akan memasrahkan anaknya kepada kiai untuk menjadi abdi
di pesantren, maka untuk memulai percakapan, akan mengatakan sesuatu,
mengalihkan topik pembicaraan, atau mendahului giliran tutur kepada kiai
didahului dengan frasa cabis pamator atau cangkolang pamator dengan
nada tutur yang lebih rendah dari nada kiai, dan menundukkan kepala
sebagai sebagai bentuk rasa tadzim yang ditunjukkan dengan bahasa
nonverbal. Perilaku berbahasa tersebut sebagai bentuk implementasi
norma interaksi dan interpretasi yang telah menjadi konvensi dalam
masyarakat NUEM. Ini menunjukkan bahwa komponen tujuan tutur end
tidak bisa terlepas dari komponen tutur yang lain.

Act sequence Urutan Tindak


Urutan tindak dalam masyarakat NUEM menjadi norma yang amat
penting, khususnya yang terkait dengan alih giliran tutur. Alih giliran tutur
dalam masyarakat NUEM didasarkan pada urutan partisipan tutur
menyangkut status sosial (kedudukan, peran, jabatan, dan tingkat
kealiman), tingkat formalitas hubungan, umur, dan jenis kelamin. Urutan-
urutan tersebut dapat dilanggar, jika diantara partisipan tutur memiliki
tujuan tutur yang amat penting untuk disampaikan dengan menggunakan
kode tutur cangkolang pamator. Dengan nada tutur yang rendah yang
disertai dengan gaya nonverbal menundukkan kepala, frasa cangkolang
pamator juga dapat mengubah setting dan suasana tuturan menjadi
harmonistidak terkesan melangkahi partisipan tutur lain, ditinjau dari
faktor status sosial, tingkat formalitas hubungan, perbedaan umur, dan

106
jenis kelamin. Ini juga berarti bahwa komponen tutur act sequnce memiliki
keterkaitan dengan komponen tutur yang lain.

Key (kunci) nada tutur


Nada tutur juga ditentukan oleh komponen tutur yang lain, yaitu
tujuan tutur, jenis tuturan, sarana tutur, tempat dan suasana, norma, serta
partisipan tutur. Komponen-komponen tersebut dapat mempengaruhi
tuturan yang dapat menunjuk kepada nada serius (formal), santai, tegang,
marah, lembut, dan sebagainya. Sebagai contoh, UNUEM yang sedang
bertutur dengan kiai akan selalu dengan nada tutur yang rendah, seirus,
dan bisa tegang; begitu pula, ketika seseorang menginkan sesuatu dari
orang lain pasti dengan jenis dan tujuan tuturan rayuan, yang demikian ini
tentu dengan nada yang lambut. Seorang kiai dalam berceramah yang
mengisahkan kepemimpinan Khalifah Umar, dapat dipastikan dengan nada
suara keras dan berapi-api. Namun, ketika menceritakan Khalifah Abu
Bakar tentunya lebih tepat dengan suaru yang lemah lembut. Manurut
pendapat Rahardi (2001), nada tutur dapat dibedakan menjadi nada tutur
yang sifatnya verbal dan nonverbal. Nada tutur verbal dapat berupa nada,
cara, dan motivasi yang menunjuk pada situasi dan kondisi serius, santai,
formal, lembut, kasar, marah, seperti yang telah dipaparkan di atas.
Adapun nada tutur nonverbal dapat berupa tindakan yang bersifat
paralinguistik yang diperlihatkan dengan berbagai macam bahasa tubuh
(body language), kial (gesture), dan juga jarak antarpenutur dan lawan
tutur. Bahasa nonverbal ini sangat penting perannya dalam mendukung
nada tutur yang bersifat verbal. Bahkan dalam masyarakat tutur Madura,
bahasa nonverbal ini dipakai sebagai salah satu parameter tatakrama dari
seseorang. Orang yang sedang bertutur menunjuk dengan tangan kiri
kepada mitra tutur diindikasikan sebagai orang yang tidak memiliki sopan
santun. Demikian pula seseorang yang bertutur dengan mitra tutur yang
bersatus sosial lebih tinggi seperti umat kepada kiai, santri kepada guru,
menantu kepada mertua dengan memandang kepada selara (wajah), dapat
juga dikatakan sebagai orang yang tidak memiliki rasa tadzim.

Instrumentalis sarana tutur


Sarana tutur merupakan alat utama yang digunakan penutur dalam
mengekspresikan tuturannya. Sarana tersebut dapat berupa saluran verbal
dan nonverbal. Dalam masyarakat tutur NUEM saluran verbal dan
nonverbal hampir merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Dalam komunikasi yang melibatkan WNUEM kedua saluran tersebut
sering diperagakan secara bersama-sama. Penggunaan saluran tutur

107
tersebut berkaitan erat dengan komponen partisipan tutur, tujuan tutur,
suasana dan tempat tuturan, nada tutur, jenis tuturan, dan norma-norma
tutur. WNUEM akan menggunakan tuturan dengan bahasa verbal
Ngrng yator! mari dipersilakan! seraya menunjuk dengan ibu jari
kepada sesuatu yang dipersilakan untuk para tamu yang menjadi partisipan
tutur. Seorang ustad akan menggunakan suara yang lebih keras dalam
ceramah yang melibatkan orang banyak seraya mengacung-acungkan
tangannya. Bahkan dengan massa yang tergolong besar seperti pengajian
akbar pengeras suara dibutuhkan untuk membantu menyampaikan
informasi pada saluran verbal dan LCD digunakan untuk membantu dalam
mengekspresikan bahasa nonverbal. Tujuan tutur juga berpengaruh
terhadap pemakaian sarana tutur, misalnya ketika orang akan melakukan
janji, maka sarana tutur lisan dan sms melalui HP sering menjadi pilihan
yang lebih praktis.

Norm of Interactionand and Interpretation Norma Interaksi dan


Interpretasi
Dalam masyarakat tutur WNUEM, norma interaksi dan norma
interpretasi sangat menjadi perhatiandan bahkan menjadi suatu
keharusan untuk dilakukankan dalam suatu tuturan. Pelanggaran terhadap
norma-norma tutur akan menjadi cercaan sebagai orang yang tidak tahu
bertatakrama/bersopan santun. Perhatian terhadap norma-norama ini,
didasarkan kepada komponen tutur yang lain yaitu, partisipan tutur, tujuan
tutur, tempat dan suasana tuturan, jenis tuturan, sarana tutur, dan
sebagainya. Sebagai contoh, UNUEM tidak boleh mendahului kiai dalam
bertutur; dalam situasi formal menggunakan tingkat tutur BM level -B;
tuturan yang bersifat permohonan bisanya dilakukan dengan nada tutur
yang rendah dan lemah lembut; dalam menyampaikan khutbah seorang
kiai selalu menggunakan sarana lisan yang dibantu dengan pengeras suara
dan bahasa tubuh (body language). Menurut Rahardi (2001: 23-24), norma
interaksi merujuk kepada hal-hal yang dapat atau tidak dapat dilakukan
oleh seseorang dalam bertutur dengan mitra tutur. Sebagai contoh dalam
masyarakat NUEM, alih giliran tutur ditentukan oleh kedudukan dan status
sosial, umur, dan jenis kelamin. Umat tidak wajar jika berbicara
mendahului kiai tanpa diminta. Seorang umat berbicara mendahului kiai
dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma. Di dalam masyarakat tutur
WNUEM juga tidak lumrah nada suara umat lebih tinggi dari nada suara
kiai atau nada suara anak lebih tinggi dari nada suara orang tuajika
dilakukan, hal itu juga dianggap melanggar norma. Lebih lanjut menurut
Rahardi (2001: 33-34), norma interpretasi masih memungkinkan adanya
pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi untuk memberikan
108
interpretasi yang berbeda terhadap mitra tutur, khususnya manakala ada
yang terlibat dalam tuturan tersebut adalah komunitas tutur yang berbeda
(outsider). Selanjutnya Rahardi (2001: 34) mengemukakan contoh dari
Graves yang dikemukakan Gumperz (1968) bahwa para mahasiswa
Amerika berbeda dengan para mahasiswa Arab dalam hal norma
interpretasi. Para mahasiswa Arab lebih sering melakukan pertentangan
dan pertengkaran yang dilakukan dengan berhadapan muka. Namun
demikian, mereka juga lebih sering duduk berdampingan antara yang satu
dengan yang lainnya. Para mahasiswa Arab juga cenderung berbicara
dengan suara yang lebih keras dari pada mahasiswa Amerika. Dalam
tradisi NU mencium tangan kiai merupakan hal yang biasa dan bahkan
sudah menjadi tradisi sebagai bentuk tadzim (politeness) santri kepada
guru. Bagi organisasi sosial keagamaan yang lain, seperti Muhammadiyah
tidak biasa dilakukan, bahkan bisa dianggap sebagai pengkultusan.
Akhirnya, dapat pula dikatakan bahwa norma interaksi dan interpretasi
memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan sistem kepercayaan dan nilai
masyarakat tutur. UNUEM percaya bahwa kiai merupakan sumber ilmu
yang dapat disamakan kedudukannya dengan gurubankan karena fungsi
sebagai penerus risalah para nabi, maka para ulama disebut Al-ulamaa
waratsatul anbiyaa (Ulama itu penerus para nabi). Oleh karena itu, para
kiai cenderung dihargai dan di-tadzim-kan dalam berkomunikasi. Bertutur
kepada lawan tutur sesama umat dengan pola komunikasi yang sama
seperti kepada kiai, dapat diinterpretasikan yang berbedadapat dianggap
sebagai guyonan atau bahkan ejekan. Hal demikian, dapatlah digunakan
sebagai indikator bahwa norma interaksi dan interpretasi dalam suatu
masyarakat tutur, pastilah tidak dapat dipisahkan dari sistem kepercayaan,
nilai, dan adat istiadat yang terdapat dan berlaku dalam masyarakat tutur
tersebut.

Genres/message form Jenis Tuturan


Jenis tutur menurut Hymes (1964a); Saville-Troike (2003)
merupakan jenis kategori kebahasaan yang sedang dituturkan, yakni
menyangkut kategori wacana seperti percakapan, cerita, pidato, dan
sebagainya. Jenis tutur yang berbeda akan berbeda pula kode yang dipakai
dalam bertutur itu. Orang becerita tentu akan menggunakan kode yang
berbeda dengan kode orang yang sedang berpidato. Kode yang digunakan
dalam percakapan akan berbeda dengan kode tutur yang digunakan dalam
pidato dan bercerita. Dalam masyarakat NUEM cerita tentang orang yang
dikagumi seperti kiai, para wali, sering digunakan sebagai strategi
komunikasi dalam percakapan maupun cermah (pidato). Jenis tutur yang
terjadi dalam peristiwa tutur juga tidak dapat terlepas dari komponen tutur
109
yang lain, yaitu setting dan suasana tutur, partisipan tutur, tujuan tutur,
nada tutur, alih giliran tutur, dan norma-norma yang telah menjadi
konvensi di dalam masyarakat tutur, misalnya seseorang yang bertutur
dalam setting dan suasana yang tidak formal tidak bisa menggunakan jenis
tuturan pidato. Bagitu pula, dalam memberi wasiat kepada partisipan yang
sangat banyak jumlahnya dan situasinya formal tidak bisa menggunakan
model tuturan percakapan. Hal tersebut juga dapat berpengaruh terhadap
nada tutur yang digunakan, urutan tindak, topik, sarana tutur yang
digunakan, dan norma-norma dalam masyarakat tutur tersebut. Hal
demikian, dapat digunakan sebagai bukti bahwa komponen tutur genre
jenis tutur juga saling terkait dengan komponen tutur yang lain.

Story Cerita/Kisah yang dikagumi


Penelitian Haryono (2013) menemukan temuan baru, bahwa dalam
peristiwa tutur dengan partisipan tutur WNUEM, sering menceritakan
kisah ulama yang dikagumi seperti kiai, imam arba, (Maliki, Hambali,
Hanafi, Syafii), dan para wali sebagai pola dan strategi komunikasi untuk
mencapai tujuan tutur. Dengan demikian, hadirnya orang ketiga sebagai
bahan cerita dalam peristiwa tutur dapat dimasukkan dalam salah satu
komponen tutur karena sangat berkaitan erat dengan komponen tutur yang
lain, seperti: partisipan tutur, tujuan tutur, jenis tuturan, nada tutur, dst.
Seseorang tidak akan menggunakan cerita orang ketiga yang dikagumi,
jika partisipan tuturnya bukan termasuk orang yang berada dalam
masyarakat tutur tersebut; Setiap tujuan tutur dapat menggunakan cerita
orang ketiga yang dikagumi sesuai topik tuturan; bercerita termasuk jenis
tuturan yang termasuk genre dongeng sehingga pilihan nada tutur
disesuaikan tone dongeng. Penjelasan terebut sebagai bukti bahwa
penceritaan kisah orang yang dikagumi sebagai komponen tutur yang bisa
ditambahkan pada komponen tutur yang lain. Dengan demikian komopnen
tutur Hymes yang dikenal dengan SPEAKING-grid ditambah S story
menjadi SPEAKINGS-grid.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa pola-pola
komunikasi yang digunakan oleh komunitas WNUEM di Jember, secara
umum dipengaruhi komponen tutur yang terkait dengan (1) variabel sosial;
(2) psikologis; dan (3) kultur paternalistik. Jika temuan ini dikaitkan
dengan Teori Komponen Tutur yang dkemukakan oleh Hymes (1975) dan
pengikut-pengikutnya, relevansi temuan penelitian dengan teori komponen
tutur dapat dijelaskan sebagai berikut.
Hymes (1975); Wibisono (2005: 295) mengemukakan bahwa
penggunaan varian bahasa ditentukan oleh komponen tutur. Komponen
tutur yang yang mengikat penggunaan bahasa antara lain komponen
110
partisipan tutur (siapa penutur dan siapa mitra tutur) yang berperan dalam
menentukan pilihan kode bahasa yang digunakan karena kebanyakan
lingkungan masyarakat tutur (speech community) menurut Hymes
membedakan tipe-tipe dan jenis-jenis kode yang tepat digunakan dalam
hubungan peran tertentu. Adapun status sosial, umur, tingkat formalitas
hubungan, dan jenis kelamin penutur dengan mitra tutur mempengaruhi
serta berperan dalam menentukan pola komunikasi yang berdasarkan hasil
penelitian Haryono (2011 & 2013) meliputi kode dan alih kode, pilihan
bahasa yang digunakan, penggunaan ondghan bhsa (speech level), alih
giliran tutur, penggunaan nada tutur, dan bahasa nonverbal (body
language). Teori tersebut relevan dengan fenomena yang ditemukan dalam
penelitian tersebut.
Dikaitkan dengan pernyataan Holmes (1997), Wibisono (2005: 296)
yang menyebutkan bahwa pola komunikasi antara lain terikat dengan
partisipan tutur. Pernyataan tersebut benar adanya. Demkian pula
pernyataan Ervin-Tripp (1972) sebagaimana dikutip Wibisono (2005: 296)
yang menyebutkan bahwa penyebab pilihan bahasa seseorang adalah
partisipan tutur. Pendapat tersebut relevan dengan fakta yang ditemukan
dalam penelitian ini. Demikian pula penyataan Groesjen (1982) yang
mengemukakan bahwa pilihan bahasa terikat oleh partisipan tutur,
terdukung oleh temuan penelitian ini (periksa juga Wibisono, 2005: 296).
Temuan penelitian ini juga mempertegas pernyataan bahwa pola
komunikasi seseorang terkait dan ditentukan oleh komponen tutur,
terutama komponen partisipan tutur yaitu penutur dan mitra tutur. Dimensi
sosial manusia yang terlibat dalam komunikasi, baik dimensi horisontal
(solidarity), yaitu menyangkut hubungan penutur dan mitra tutur, maupun
dimensi vertikal (power), yakni berkaitan dengan masalah umur, status
sosial, tingkat formalitas hubungan, tingkat keeratan dan semacamnya
menentukan pola komunikasi.
Di samping ditentukan oleh partisipan tutur, dalam penelitian
tersebut juga ditemukan bahwa komponen topik dan situasi tutur juga
mempengaruhi kode bahasa yang digunakan karena topik dan situasi yang
mengacu kepada pengertian berkomunikasi tentang apa dan dalam situasi
bagaimana, berperan dalam menentukan pilihan kode bahasa. Oleh karena
itu, terjadilah pola komunikasi.
Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dalam penelitian
disimpulkan bahwa di samping komponen partisipan tutur, situasi tutur,
tujuan tutur, topik tutur, dan lainnya yang tertera dalam SPEAKINGS
grid juga berperan dalam menentukan terbentuknya pola komunkasi.
Temuan tersebut relevan dengan teori komponen tutur. Dengan demikian,
temuan penelitian ini meperkuat pendapat bahwa teori komponen tutur

111
yang dikemukakan oleh Hymes (1975); dengan penambahan story
penceritaan kisah orang yang dikagumi oleh masyarakat tutur masih
relevan untuk mengkaji peristiwa tutur yang terjadi atas dasar komponen-
komponen tutur yang membangun sebuah tuturan.
Kaitannya dengan komponen tutur hadirnya orang ketiga yang
dikemukakan Poedjosoedarmo (1978); Rahardi (2001) ditemukan bahwa
kehadiran seorang kiai dalam tuturan menentukan pilihan bahasa yang
digunakan, penggunaan kode dan alih kode, penentuan alih giliran tutur,
pengaturan nada tutur, dan penggunaan bahasa tubuh termasuk jarak antara
kiai dengan partsipan tutur yang lain. Bahkan, keterlibatan kiai dalam
peristiwa tutur sangat penting sebagai persuasi dan antisipasi terjadinya
konflik antarpartisipan tutur. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
hadirnya orang ketiga (kiai) dapat berpengaruh besar terbentuknya pola
komunikasi.

Faktor Kompetensi Komunikatif


Penelitian ini menemukan bahwa pada situasi formal WNUEM
berkomunikasi dengan ragam BM level -B (Jawa: Krama Inggil) dan
BAl (bahasa keraton). Sementara itu pada situasi tidak formal terdapat
beberapa ragam bahasa yang digunakan oleh WNUEM yaitu: (1) Dalam
berkomunikasi yang melibatkan partisipan tutur sesama kiai yang tidak
memiliki kaitan guru-santri menggunakan ragam bahasa -B. Sesama kiai
yang berlatar belakang gura- santriguru menggunakan ragam bahasa -
B dan santri menggunakan BAl dan -B. Di dalam keluarga kiai, pola
komunikasi juga ditentukan oleh ikatan guru- santri, tingkat kealiman, dan
perbedaan umur; (2) Ketika berkomunikasi dengan sesama kiai yang
berlatar belakang keluarga pesantren, partisipan tutur menggunakan BM
level -B; (3) Ragam bahasa yang digunakan kiai dengan UNUEM yang
berlatar belakang sama-sama menjadi pengasuh pesantren dan berperan
sebagai tokoh masyarakat adalah BM level -B bercampur kode dengan
ragam BM level E-E; dan (4) dengan UNUEM kiai menggunakan ragam
BM level E-E dan -B. Para pengurus NU, asaatidz, dan UNUEM kepada
kiai pada situasi apapun selalu menggunakan ragam BAl dan BM level -
B.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa penggunaan komponen-
komponen kompetensi komunikatif yang dikemukakan oleh Saville-Troike
(2003: 203) yang meliputi pengetahuan linguistik (linguistic knowledge),
keterampilan interaksi (interaction skills), dan pengetahuan kebudayaan
(cultural knowledge) sudah diterapkan oleh WNUEMwalaupun
kemampuan mengimplementasikan kompetensi komunikatif tersebut bisa

112
saja diperoleh melalui proses alami karena tuntutan kultur. Namun, hal
tersebut cukup memberikan kepuasan bagi partisipan tutur.
Pengetahuan linguistik yang tercermin dalam elemen-elemen verbal
dan nonverbal dapat membantu memberikan interpretasi yang benar bagi
partisipan tutur. Tekanan suara kiai yang lebih tinggi dari nada tutur
UNUEM, dapat menimbulkan beban psikologi bagi partisipan tutur
sehingga presupposisi yang muncul dalam peristiwa tutur sering tidak bisa
diinferensi secara baik oleh UNUEMkiai sering tidak dapat memahami
tujuan tutur WNUEM karena suaranya seringkali sulit didengar secara
sempurna. Berkaitaan dengan elemen-elemen nonverbal seperti gerakan
tubuh sering diabaikan oleh para santri karena kultur NU lebih
menekankan rasa tawaduk kepada guru dengan implimentasi salah satunya
yang tercermin dalam proses komunikasi adalah menundukkan kepala dan
bersuara lebih rendah di depan guru. Kaitannya dengan makna varian-
varian yang terbentuk dalam pola komunikasi, sering juga menimbulkan
inferensi yang salah bagi partisipan tutur. Hal tersebut lebih disebabkan
sulitnya partisipan tutur dalam mencerna implikatur-implikatur (implied
meaning) yang terdapat dalam tuturan.
Temuan tersebut memperkuat pendapat Hymes (1982b); periksa
juga Duranti (1998: 215), yang menyatakan bahwa pembahasan tentang
kompetensi komunikatif dan kompetensi linguistik (gramatikal) biasanya
berkisar di antara dua pokok persoalan, yaitu: (1) perlunya menyertakan
deskripsi grammatikal dengan kondisi-kondisi yang sesuai, (2)
perimbangan antara kode gramatikal (atau linguistik) dengan aspek-aspek
lain seperti gerakan tubuh, tatapan mata, dan sebagainya.
Mengenai keterampilan dalam berinteraksi kaitannya dengan situasi
komunikasi, peran, serta norma-norma interaksi dan interpretasi
ditemukan bahwa situasi komunikasi dan partisipan tutur menentukan
varian-varian bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Hal tersebut
dapat dilihat dari kode bahasa yang digunakan oleh WNUEM dalam
berkomunikasi yang ditempatkan sesuai dengan peran masing-masing
partisipan tutur sebagaimana telah disinggung di atas. Penempatan kode
sesuai dengan perannya telah menempatkan norma-norma interaksi dan
interpretasi sebagai strategi untuk mencapai tujuan tutur.
Fenomena temuan tersebut sesuai dengan pernyataan Ibrahim
(1994: 26) yang mengemukakan bahwa kompetensi komunikatif meliputi
baik pengetahuan dan harapan tentang siapa yang bisa atau tidak bisa
berbicara dalam setting tertentu, kapan mengatakannya, dan bilamana
harus tetap diam, siapa yang diajak bicara, bagaimana seseorang berbicara
kepada orang yang status perannya berbeda, perilaku nonverbal apakah
yang sesuai untuk berbagai konteks, rutin apakah yang terjadi untuk alih
giliran dalam percakapan, bagaimana menawarkan bantuan dan
kerjasama, bagaimana meminta dan memberi informasi, bagaimana
menegakkan disiplin dan sebagainya.
113
Selanjutnya Saville-Troike (2003: 18) menyatakan bahwa
kompetensi komunikatif mengacu pada pengetahuan dan ketrampilan
untuk penggunaan dan interpretasi bahasa yang tepat secara kontekstual
dalam suatu masyarakat, maka kompetensi komunikatif mengacu pada
pengetahuan dan ketrampilan komunikatif yang sama-sama dimiliki oleh
kelompok, meskipun hal ini (seperti aspek-aspek lain suatu kebudayaan)
bervariasi dalam anggota-anggota secara individual. Hakikat kompetensi
individu itu merefleksikan hakekat bahasa itu sendiri.
Dari aspek pengetahuan budaya kaitannya dengan struktur sosial,
nilai, dan sikap ditemukan bahwa struktur sosial di dalam kelompok
WNUEM memperhatikan status sosial yang didasarkan pada kedudukan
sebagai guru- santri, tingkat formalitas hubungan, perbedaan umur, tingkat
keeratan, dan gender partisipan tutur. Hal tersebut dibatasi dengan nilai-
nilai religius pesantren dan kultur paternalistik yang sudah menjadi
kebiasaan di lingkungan WNUEM. Fenomena tersebut menentukan sikap
partisipan tutur dalam berkomunikasi sebagaimana telah disinggung juga
di atas yang tercermin dalam pemakaian simbol dengan ragam bahasa
tertentu yang digunakan oleh komunitas pesantren dalam berkomunikasi.
Perbedaan lintas budaya bisa dan memang menghasilkan konflik-
konflik yang ditimbulkan kegagalan komunikasi. Sebagai contoh, masalah-
masalah seperti tingkat bunyi bisa berbeda secara lintas budaya, dan
maksud penutur bisa dipahami secara salah karena perbedaan pola harapan
interpretasi. Oleh karena itu, Geertz, (1973); Doglas (1970) menyatakan
bahwa kompetensi komunikatif haruslah ditambahkan dalam konsep
kompetensi kebudayaan (cultural competence), atau keseluruhan
pengetahuan dan keterampilan yang dibawa dalam suatu situasi.
Pandangan ini konsisten dengan pendekatan semiotik yang mendefinisikan
kebudayaan sebagai makna dan memandang semua etnografer
berhubungan dengan simbol. Sistem kebudayaan merupakan pola simbol
dan bahasa merupakan salah satu sistem simbol dalam kerangka ini.
Interpretasi makna linguistik menghendaki pengetahuan makna ketika
perilaku linguistik itu ditempatkan.

Pendalaman Materi
1. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor penyebab terjadinya pola
komunikasi!
2. Sejauhmana peran budaya dalam membentuk pola komunikasi?
Sebutkan alasan-alasannya!
3. Bagaimana hubungan antarkomponen tutur sebagai penyebab
terjadinya pola komunikasi?
4. Sejauhmana peran dan pentingnya kompetensi komunikatif dalam
membentuk pola komunikasi?

114
Daftar Pustaka

Abrahams, R.D. 1983. The Man-of-Words in the West Indies: Peformance and
the Emergence of Creole Culture. Baltimore: John Hopkins University
Press.

Anam, Ch. 1985. Pertumbuhan dan Perkembangan NU. Solo: Penerbit


Jatayu.

Austin, J.L. 1962. How To Do Things With Words. Oxford: Oxford University
Press.

Blom, J-P. and Gumperz, J. 1972. Social Meaning in Linguistics Structure:


Code-Switching in Norway. In Gumperz and Hymes. 1972: 407-434.

Bogdan R. & Taylor I. S. 1975. Introduction to Qualitative Research to the


Social Sciences. New York: John & Sons, Inc.

Brannen, J. 1992. Mixing methods: Qualitative and quantitative research,


London: Avebury (Reprinted)
__________. 2005. Mixing Methods: The Entry Of Qualitative And
Quantitative Approaches Into The Research Process. in International
Journal Of Social Research Methodology. Vol. 8, Issue 3, 2005, p. 173-
184
Brennies & Myers, 1984. F. (eds.).1984. Dangerous Words: language and
politics in the pacific. New York: New York University Press.

Brown, G. & Yule, G. (1996). Analisis Wacana. Diindonesiakan oleh I.


Soetikno, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Budhiono, H., R. 2010. Orang Kaso: Sekelebat Tinjauan Etnografi


Komunikasi terhadap Sebuah Komunitas Tutur. Dalam Jurnal
Sawerigading, Jurnal Bahasa dan Sastra terakreditasi, Volume 16,
Nomor 3, Desember 2010. ISSN 0854-4220, hal. 334-342.

Chaer, A. dan Agustina L. 1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta:


Rineka Cipta.

Chomsky, N. 1977.Language and Responsibity. Based on conversation with


Mitsou Ronat. Trans. By J. Viertel. New York: Panthcon.
Dharwis, K.H., E. 2010. Gus DurNU dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta:
LkiS.

Duranti, A. 1988. Ethnography of Speaking. dalam Newmeyer, Frederick J.


Language: The Socio-cultural Context Volume IV. Linguistics: The
Cambridge Survey. Cambridge: Cambridge University Press, PP. 210-
228.

_________. 2000. Linguistic Anthropologi. Cambridge: Cambridge


University Press.

Eco, U. 2009. TEORI SEMIOTIKA Signifikansi Komunikasi, Teori Kode,


serta Teori produksiTanda diterjemahkan Inyiak Ridwan Munzir.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Ervin-Tripp, Susan, M. 1972. An Analysis of the Interaction of Language,


Topic, and listener dalam Fishman Readings in the Sociology of
Language, Paris: Maouton.

Fetterman, D.M. 1989. Ethnography: Step by Step. Newbury Park CA: Sage.

Geertz, C. 1973. The Interpretation of Cultures. Hammersmith, London:


Fontana Press.

Grice, H.P. 1975. Logic and Conversation, dalam Cole dan Morgen.
Radical Pragmatics. New York: Akademic Press, hal. 41-58.

Grosjean, I. 1982. Life with Two Languages. Cambridge: Harvard University


Press.

Gumperz, J. 1968. The Speech Community dalam Giglioli (ed.). 1990.

Gumperz, J. dan Hymes D. 1972. Direction in Sociolinguistics. New York:


Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Halim, A. (Ed.).1976. Politik Bahasa Nasional I. Jakarta: Pusat Pembinaan


dan Pangembangan Bahasa.

Haryono, A. 2006. Pola Komunikasi di Pesantren Salaf A di Jember,


Tesis S2: Universitas Negeri Surabaya.

____________2011. Pola Komunikasi Warga NU Etnis Madura Sebagai


Refleksi Budaya Paternalistik Humaniora: Jurnal Budaya, sastra, dan

116
Bahasa,, Volume 23, No.2, Juni 2011. hal. 175-184. Yogyakarta: FIB
UGM.

__________ 2013. Pola Komunikasi Warga Nahdlatul Ulama Etnik Madura


di Jember, Disertasi: Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

__________ 2014. Penceritaan Kisah Ulama/Kiai Dalam Tuturan Sebagai


Pola dan Strategi Penyampaian Pesan Warga Nahdlatul Ulama Etnik
adura, Humaniora: Jurnal Budaya, sastra, dan Bahasa, Volume 26
No. 3 Oktober 2014, Halaman 123-136, Yogyakarta: FIB UGM.

Heath, S. 1983. Ways with Words: Language,Life, and Work in Communities


and Classrooms. Cambridge: Cambridge University Press.

Hofstede, G. 1994. Cultures and Organisation: Software of the Mind.


London: Mc-Graw Hill Book Company.

Holmes, J. 1995. An Introduction to Sociolinguistic. London and New York:


Longman.

Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University


Press.

Hymes. D. 1961. Function of Speech: an Evolutionary Approach, dalam


Fridrich C. Gruber, ed. Anthropology and Education, PP. 55-83.
Philadephia: University of Pennsylvania Press.

________. 1964a. Introduction: Toward Ethnographies of Communication.


In American Anthropoligiest 66. Special Publication: J.J. Gumperz &
D. Hymes. (eds.) The Ethnography of Communication, PP. 1-34 (Part
2)

________. 1964b. Language in Culture and Society: a Reader in linguistics


and Anthropology. New York: Harper and Row.

________. 1966a. On Communicative Competence. Paper presented at the


Research Planning Conference on Language Development among
Disadventeged Children, Yeshiva University.

________. 1966b. Two Types of Linguistic Relativity. In William Bright, ad.,


Sociolinguistics. The Hague: Mouton.

________. 1972a. Models of the Interaction of Language and Social Life in


Gumperz and. Paris: Mouton. Hymes (eds.). 1972.
117
________. 1972b. On Cmmuninicative Competence. In J.B. Pride & J.
Holmes (eds.) Socolinguistics. Harmondswort: Penguin, PP. 269-293
(Part 2).

________. 1982. Postface. in Hymes. 1982a. Vers la Competence de


Communicatin. Trans. by F. Mugler. Paris: Hatir Credif.

________. 2000. The Emergency of Sociolinguistic: a Response to


Samarin. Journal of Sociolinguistics 4 (2): 312-315.

Ibrahim, A. S. 1994. Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya:


Usaha Nasional.

Irvine, J.T. 1979. Formality and Nonformality in Communicative Events.


American Anthropologist 81: 773-90.

Jung, J.-Y.. 2008. Discourse Markers in Cross-Cultural Conversation. In


the Forum Teachers College, Columbia University, Working Papers in
TESOL & Applied Linguistics, 2008, Vol. 8, No. 2

Kramsch, C. 2009. Language and Culture. New York: Oxford University


Press.

Kridalaksana, H. (2008). Kamus Linguistik (edisi ke-Edisi Keempat). Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

Kuswarno, E. 2008. Etnografi Komunikasi: Suatu Pengantar dan Contoh


Penelitiannya. Bandung: Widya Padjadjaran.

Labov. W. 1972. Sosiolinguistic Pattern. Philadelpia: University of


Pennsylvania Press.

Larsen, S.E. 1994. Semiotik. Diterjemahkan oleh Sudaryanto. Klaten:


Universitas Widya Dharma.

Leech, G. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjem. dari The Princiiple of


Pragmatics. Penterj.: Oka. Jakarta:UI Press

Levinson, S. C. 1991. Pragmatics. Great Britain: Cambridge University Press.

Lyon, J. 1972. Human Language. In R.A. Hinde (ed.) Non Verbal


Communication. Cambridge: Cambridge University Press, PP. 49-85

118
Malinowsky, B. 1935. Coral Garden and Their Magic, 2 Vols. New York:
American Book Company. (Republished 1961 by Dover Publications.
New York.

Moleong, J. L. 1993. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya.

Mulyana, D. dan Rakhmat, J. (Ed.). 2003. Komunikasi Antarbudaya Panduan


Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung:
Remaja Rosdakarya.

Murdock, G. P. 1961. The Cross-cultural Survey. Dalam Frank.W. Moore


(ed). Reading in Cross Cultures. New Haven: HRAF Press, PP. 361-
370

Muzadi, A. M. 2003. Apa dan Bagaimana Nahdlatul Ulama. Jember:


Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Jember.

Nadar, F.X. 2009. Pragmatik & Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha


Ilmu

Nurmulia, P. R., 2012. 719 Bahasa Daerah Terancam Punah dalam Batam.
Tribunnews.com newscom 13-12-2012. Diunduh tanggal 29 Desember
2012.

Nwagbara, U. 2010. When Language Means Power: A Sociolinguistic study


of Bill Clintons between Hope and History. In the Lumina e-Journal,
vol. 21, No. 2, October 2010, ISSN 2094-1188 Holy Name University,
PP. 1-19.

Poedjosoedarmo, S. 1978. Kode dan Alih Kode di dalam Widyaparwa 15,


Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.

_______________. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: DEPDIKBUD.

Pratt, M.L. 1981. The Ideology of Speech-Act Theory. Centrum New Series
1: 5-18.

Premsrirat, S. 2002. Appropriateness in Khmu Culture. Mon-Khmer Studies


Ethnolinguistic Journal 32: Institute of Language and Culture for Rural
Development. Mahidol University Thailand, Selaya, Nakhon Pathom
73170, PP. 117 129.

Rachmad, J. 1992. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.


119
Rahardi, K. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset

Rani, A. 2004. Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam pemakaian.


Malang: Bayumedia Publishing.

Saville-Troike, M. 2003. Ethnography of Communication: an Introduction.


New York: Blackwell Publishing Ltd.

Schiffrin, D. 1994. Aproaches to Discourse. Cambridge, Massachusetts 02142


USA: 108 Cowley Road Oxford OX4 1Jf UK

Scollon, R. & Scollon, S.K. 1981. Narative, Literacy, and Face in Interethnic
Communication. Norwood: Ablex

Searly, J. 1985. Speech Act. Cambridge: Cambridge University Press.

Setyowati, Y. 2005. Perkembangan Emosi Anak (Studi Kasus Penerapan


Pola Komunikasi Keluarga dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan
Emosi Anak pada Keluarga Jawa) dalam Jurnal Ilmu Komunikasi Vol.
2, Nomor 1,Juni 2005: 67-78. Yogyakarta: STPMD APMD

Silverstein. M.1977. Cultural Prerequisites to Grammatical Analysis. In M.


Saville-Troike (ed) Linguistic and Anthropology. Washington:
Georgetown University Press, PP.139-152

Sofyan, A. 2009. "Morfologi Bahasa Madura Dialek Sumenep. Disertasi:


Universitas Gadjah Mada.

Streeck, J. 1980. Speech Acts in Interaction: a Critique of Searle. Discourse


Prosesses 3: 133-54

Suparmin. (2000). Pemahaman Budaya sebagai Penunjang Keberhasilan


Komunikasi dan Implikasinya dalam Pengajaran Bahasa Asing dalam
Jurnal Ilmu-ilmu Humaniora Vol I/No.2/juli 2000, hal. 57-71. Jember:
Jember: Fakultas Sastra Universitas Jember.

Suwito.1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik, Teori dan Problema. Surakarta:


Henary Offset.

Suadi. 2012. Bahasa-Etnis, dalam www.suarapembaruan.com/home/169.


diunduh tanggal 29 Pebruari 2012..

120
Sumarsono, P., P. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA bekerja sama
dengan Pustaka Pelajar.

Sutarto, A., 2002. Pesantren, Budaya Lokal, dan Prahara Informasi dalam
Menjinakkan Globalisasi: Tentang Peran Strategis Produk-Produk
Budaya Lokal. Jember: Kompyawisda & Universitas Jember.

_________, 2004. Pesantren dan Politik Tinjauan Kultural-Historis dalam


Menguak Pergumulan antara Seni, Politik, Islam, dan Indonesia.
Jember: Kompyawisda & Universitas Jember.

__________, 2005. Menjadi NU menjadi Indonesia. Jember: Kompyawisda


Jatim.

Wahyuningsih, I. 2004. Sistem Komunikasi di Pesantren Salaf Tempurejo:


Studi Kasus Kebekuan Hubungan Sosiolinguistik antara Kyai dan
Santri. Laporan Penelitian. Jember: Lembaga Penelitian Universitas
Jember.

Wibisono, B. (2005). Perilaku Berbahasa Warga Kelompok Etnis Madura di


Jember dalam Obrolan Dengan Mitra Tutur Sesama dan Lain Etnis ".
Disertasi: Universitas Negeri Malang.

Wibisono, B. & Haryono A. (2009). Pola-Pola Komuniaksi Etnis Madura


Pelaku Perkawinan Usia Dini (Kajian Etnografi Komunikasi) .
Laporan Penelitian. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember.

Wijana, I. D. P. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi.

___________. 2004. Relasi Bahasa dan Budaya serta Berbagai


Permasalahannya, dalam Jurnal Semiotika. Volume 5. No. 2, Juli
2004. Jember: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Satra Universitas
Jember. hal.106-131.

____________. 2010. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Yogyakarta:


Program Studi S2 UGM bekerja sama dengan Pustaka Pelajar.

Wiyata, A., L. 1990. Perubahan-Perubahan Sosial yang Mungkin Terjadi


pada Masyarakat Madura dalam Era Industrialisasi, Makalah
Simposisum Madura Menuju Industrialisasi, Pamekasan, 23-24 Juni.

______________.2000. Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang


Madura. Yogyakarkarta: LkiS.

121
Yule, G. 1996. Pragmatics. Hongkong: Oxford University Press.

Zamroni, M. 2009. Filsafat Komunikasi (Pengantar Ontologi, Epistimologi,


Aksiologi). Yogyakarta 55511: Graha Ilmu.

"http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama"(diunduh 28 Februari 2007)

http://m.kompas.com/news/read/2011/07/26/03535664/10 4http://haluan
kepri. com/news/tanjungpinang/20607-700-bahasa-daerah-terancam-
punah. html " (diunduh 29 September 2011)

122
GLOSARIUM

Abstrak : Garis besar, suatu ringkasan yang secara


lengkap, komprehensif, dan jelas memaparkan
keseluruhan isi tulisan, umumnya disajikan
dalam satu paragraf dan satu spasi..
Alamiah : Tanpa dideasain atau adanya perlakuan
sebelumnya.
Andhp Asor : (tatakrama atau sopan santun) adalah perilaku
menghargai orang lain yang didasarkan pada
perbedaan umur, kedudukan, peran, dan jabatan
seseorang.
Antropologi : Salah satu ilmu sosial yang mencoba mencari ciri
khas yang dimiliki oleh suatu bangsa tertentu.
Antropolgi Linguistik : Cabang antropologi yang mempelajari tentang
bahasa-bahasa manusia
Arbiterer : Manasuka, kadang kala tidak ada kaitan logis
Asumsi : Pendapat yang belum diuji secara ilmiah
Bahasa : adalah suatu sistem tanda, yang didalamnya
terdapat nilai-nilai budaya
Bahasa Daerah : Bahasa suku, atau suatu daerah dan tidak
digunakan secara nasional (bersifat lokal). Hanya
digunakan oleh mesyarakat penuturnya saja.
Bahasa Isyarat : Bahasa yang dinyatakan dengan gerak-gerik atau
iyarat-isyarat tertentu yang sudah menjadi
konvensi di masyarakat. Bahasa ini menekankan
kepekaan penggunanya pada indra penglihatan.
Bahasa Lisan : Bahasa yang diungkapkan melalui penggunaan
kata-kata atau ujaran, dengan menekankan pada
indera pendengaran
Bahasa verbal : lihat juga bahasa lisan.
Bibliografi : Cara pendokumentasian sumber bacaan dalam
bentuk daftar yang memuat semua karya yang
menurut pendapat penulis secara langsung atau
tidak langsung berkaitan dengan isi naskah, baik
yang diacu maupun tidak diacu dalam teks
Deskripsi : Penjelasan, elaborasi, merupakan ciri penelitian
kualitatif
Ekpresi tubuh : Pengungkapan gagasan, pikiran dan perasaan
melalui gerakan anggota tubuh. Seringkali tidak
disadari atau direncanakan
Elemen bahasa isyarat : Komponen-komponen gerakan yang
menunjukkan simbol-simbol atau isyarat
tertentu.
Elemen non verbal : Komponen-komponen gerakan, isyarat, termasuk
di dalamnya kinesik, karakteristik tubuh, gerakan
tubuh, suasana komunikasi, paralinguistik, jarak,
artifak, kepekaan kulit dsb.
Etika berbahasa : Aturan-aturan dalam berbahasa, dalam kaitannya
dengan kebudayaan, termasuk norma interaksi
dalam masyarakat.
Etnik : Sekelompok orang yang tinggal di daerah/pulau
yang memiliki ciri-ciri khas tertentu, termasuk
bahasa dan budaya tersendiri.
Etnografer : Oraang yang melakukan penelitian etnografi,
atau orang yang ahli etnografi.
Etnografi komunikasi : Merupakan salah satu cabang ilmu yang
menggabungkan disiplin ilmu antropologi dan
linguistik atau pengembangan dari etnografi
berbahasa yang mula-mula dikaji oleh Dell
Hymes pada tahun 1962. Merupakan studi yang
mengkaji perilaku berbahasa komunitas/etnik
tertentu yaitu cara-cara bagaimana bahasa
dipergunakan dalam masyarakat yang berbeda
kebudayaan.
Etnografi of speaking : Merupakan gabungan antara etnologi dan
linguistik yang menyangkut situasi, penggunaan,
pola, dan fungsi dari berbicara sebagai suatu
aktivitas tersendiri dalam suatu masyarakat
tertentu.
Fenomena : Fakta yang benar atau yang umumnya dinilai
benar, gejala yang terjadi di masyarakat.
Fenomenologi : Merupakan pendekatan yang yang beranggapan
bahwa fenomena bukanlah realitas yang berdiri
sendiri. Jadi fenomena yang tampak merupakan
objek yang penuh dengan makna yang
transedenteal. Untuk mendapatkan nilai
kebenaran yang sesungguhnya, maka harus
menerobos melalui fenomena yang tampak itu.

124
Fieldwork : Penelitian lapangan.
Fonetik : Proses menghasilkan sebuah ujaran.
Fonologi : Sistem bunyi dalam ujaran.
Fungsi komunikasi : Kegunaan yang secara langsung berkaitan
dengan tujuan dan kebutuhan partisipasi seperti
menyampaikan perasaan, memerintah, empati
dsb.
Gaya Bahasa : Susunan kata dan kalimat dari bahasa tertentu
yang menunjukkan ciri khas dari masyarakat atau
orang yang menggunakan bahasa tersebut.
Gaya Komunikasi : Cara khas yang dipergunakan oleh seseorang
ketika berkomunikasi dalam situasi tertenttu.
Gerakan tubuh : Gerakan yang memperlihatkan simbol-simbol
tertentu dalam berbahasa.
Gramatika : Tata bahasa.
Hepotesis : Jawaban sementara terhadap permasalahan
penelitian atau pernyataan yang belum teruji
yang menjelaskan suatu fakta, yang didasarkan
pada telaah konsep-konsep teoritis yang perlu
diuji secara empiris.
Hubungan antarkomponen
Tutur : Adanya saling keterkaitaan antara komponen
tutur yang satu dengan yang lainnya, sehingga
merupakan satu kesatuan yang dapat
mempengaruhi pola komunikasi.
Hubungan etnik : Hubungan yang bersifat kebudayaan, atau
menggunakan dasar-dasar dan asumsi-asumsi
kebudayaan daerah tertentu.
Idiom : satuan-satuan bahasa (dapat berupa kata, frase,
maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat
diramalkan dari makna leksikal maupun makna
gramatikal satuan-satuan yang membentuknya.
Ilmu komunikasi : Ilmu yang mempelajari dan meneliti tentang
pengoperan lambang-lambang bermakna yang
dilakukan seseorang kepada orang lain.
Ilmu lnguistik : Ilmu yang mempelajari bahasa.
Informan : Seseorang yang memberikan informasi kepada
orang lain yang belum mengetahuinya.
Informan penelitian : Informan yang merupakan sumber data
penelitian yang utama yang meberikan informasi

125
dan gambaran mengenahi pola perilaku dari
kelompok masyarakat yang diteliti.
Informasi : Suatu pesan yang disampaikan kepada seseorang
atau sejumlah orang yang baginya merupakan hal
yang baru diketahuinya atau sekumpulan fakta
dalam format yang bermanfaat dan sesuai dengan
keperluan untuk mengambil keputusan.
Interaksi sosial : Kegiatan pengaruh mempengaruhi antara
individu dengan individu, antara individu dengan
kelompok, dan antara kelompok dengan
kelompok dalam suatu masyarakat.
Interpretasi : Pemaknaan terhadap data.
Intonasi : Tinggi rendahnya nada suara /.vokal.
Introspeksi : Kegiatan peneliti menganalisis nilai-nilai, dan
perilakunya sendiri dan orang-orang yang berada
dalam masyarakat.
Isi pesan : Maksud/pokok pikiran yang akan disampaikan
kepada lawan tutur
Isi tuturan : Isi pembicaraan.
Judul : Kepala karangan, yang dapat menggambarkan isi
karya tulis.
Kaidah interaksi : Kaidah-kaidah penggunaan bahasa yang biasa
diterapkan dalam peristiwa komunikasi.
Kategori ujaran : Pengelompokan peristiwa dan tindak tutur ke
dalam setting tertentu.
Kebudayaan : Cara berpikir dan berperilaku yang telah menjadi
ciri khas suatu bangsa/etnik/masyarakat tertentu.
Keterampilan berbahasa : Pengetahuan dalam penggunaan dan interpretasi
bahasa dalam suatu masyarakat.
Keterampilan budaya : Pengetahuan dalam menggunakan dan
menginterperetasikan kebudayaan dalam suatu
masyarakat.
Keterampilan interaksi : Pengetahuan mengenahi cara-cara berinteraksi
dalam suatu masyarakat.
Kiai : Guru Muslim, diposisikan sebagai
kelompok/orang yang sangat di-tadzim-kan
(amat dihormati). Dalam struktur sosial maupun
politik kiai juga menempati posisi yang amat
penting dan paling terhormat, karena
pengaruhnya di masyarakat berbasis NU peran

126
kiai sangat menentukan pola dan warna
kehidupan di masyarakat.
Kode linguistik : Simbol-simbol yang mempunyai arti khusus.
Komunikasi : Proses menyampaikan suatu pesan dalam bentuk
lambang bermakna sebagai paduan pikiran dan
perasaan yang dilakukan seseorang kepada orang
lain.
Kaidah komunikasi : Aturan-aturan yang disepakati bersama dalam
suatu masyarakat untuk melakukan kegiatan
komunikasi.
Kompetensi komunikatif : Pengetahuan ssosial dan kebudayaan yang
dimiliki penutur/peserta komunikasi untuk
membentu mereka menggunakan dan
menginterpretasikan bentuk-bentuk linguistik.
Komponen tutur : Unit-unit tuturan yang menunjang terjadinya
suatu peristiwa tutur.
Komunikator : Orang yang menyampaikan pesan komunikasi.
Komunikan : Orang yang berpartisipasi dalam peristiwa
komunikasi (terdiri dari komunikator dan
komunikasi).
Komunikasi lisan : Komunikasi dalam bentuk
percakapan/ujaran/vokal.
Konteks tuturan : Lingkungan fisik psikis, dan sosial dimana suatu
proses tuturan berlangsung.
Konsep : gagasan mengenahi sesuatu yang disusun secara
sistematis dan logis dengan memadukan segala
fakta dan ciri yang terkait; suatu abstraksi
dengan menggeneralisasikan hal-hal yang khusus
atau konkrit; abstaraksi yang yang terbentuk
melalui generalisasi dari pengamatan fenomena-
fenomena yang meimiliki kesamaan
karakteristik.
Kultur : Lihat juga kebudayaan.
Kultur patternalistik : kepatuhan santri kepada kiai yang sudah
mengkristal dan sudah menjadi tarekat dalam
kebiasaan hidup sehari-hari yang diamalkan
secara konsisten dan terus menerus baik selama
di pesantren maupun setelah kembali ke
masyarakat.

127
Makna varian : Makna yang terdapat pada varian kata atau
bahasa, dimana antara satu varian dengan varian
yang lain memiliki makna yang berbeda.
Masyarakat tutur : Masyarakat yang memiliki kaidah yang sama
untuk berkomunikasi.
Metodologi penelitian : Pengetahuan yang mengkaji ketentuan atau suatu
aturan mengenahi metode penelitian.
Norma interaksi : Lihat juga kaidah interaksi.
Norma interpretasi : Semua informasi mengenahi masyarakat tutur
dan kebudayaan yang diperlukan untuk
memahami peristiwa tutur.
NU (Nahdlatul Ulama) : Sebuah oraganisasi sosial kemasyarakatan
terbesar anggotanya di Indonesia, merupakan
embrio pesantren, dan memiliki kultur yang
sama dengan kehidupan pesantren (kultur
patternalistik).
Oral : Lisan/vokal/ujaran.
Outsider : Peran peneliti sebagai orang yang berada di luar
lingkungan yang diteliti.
Overlap : Tindakan komunikasi yang tidak
berurutan/saling tumpang tindih/terjadi dalam
waktu yang bersamaan.
Partisipan tutur : Individu-individu yang terlibat dalam suatu
proses dan peristiwa tutur.
Observasi Partisipasi : Teknik observasi yang dilakukan oleh peneliti
dengan cara melibatkan diri atau menjadi bagian
dari lingkungan sosial yang diamati.
Penafsiran : Proses pemberian makna.
Penanda fatis : Satuan kebahasaan yang digunakan untuk
memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan
komunikasi antara penutur dengan mitra tutur.
Penanda fatis dapat digunakan pada setiap jenis
kalimat; baik pada kalimat imperatif, interogatif,
maupun deklaratif.
Penelitian kualitatif : Jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-
penemuan yang tidak dapat dicapai dengan
menggunakan prosedur statistik atau cara
kuantifikasi lainnya.
Pengetahuan linguistic : Pengetahuan dan keterampilan dalam
menggunakan bahasa dalam suatu masyarakat.

128
Penutur : Orang yang berkomunikasi atau menggunakan
bahasa.
Perilaku komunikasi : Perilaku yang lahir dari integrasi tiga
keterampilan yang dimiliki setiap individu
sebagai makhluk sosial. Ketiga keterampilan ini
terdiri dari keterampilan linguistik, keterampilan
interaksi, dan keterampilan budaya.
Perilaku non verbal : Perilaku yang mengandalkan bahasa non verbal
sebagai saluran keluaran yang utama.
Peristiwa tutur : Keseluruhan perangkat komponen yang utuh,
yang dimulai dengan tujuan utama tuturan, topik
umum yang sama, dan melibatkan partisipan
yang sama, yang secara umum menggunakan
varietas bahasa yang sama, mempertahankan
tone yang sama dan kaidah-kaidah ynag sama
untuk berinteraksi, dan dalam setting yang sama.
Sebuah peristiwa berakhir bila ada perubahan
dalam batas-batasnya, misalnya ketika terdapat
keheningan, atau perubahan posisi tubuh
partisipan tutur.
Persepsi : Penerapan atau pengamatan yang dilakukan
seseorang secara iderawi terhadap sesuatu yang
ada di luar dirinya.
Perspektif : Pandangan seseorang secara mental mengenahi
suatu fakta, gagasan, dan lain-lain beserta
kepautannya.
Pesantren : Tempat pemondokan santri yang sedang
menuntut ilmu agama Islam, dan diasuh oleh
seorang kiai.
Pola kalimat : Hubungan kata-kata yang membentuk suatu
kalimat yang bermakna.
Pola komunikasi : Hubungan bentuk dan fungsi. Komunikasi yang
selalu mengikuti aturan atau kaidah tertantu.
Proses komunikasi : Berlangsungnya penyampaian ide, informasi,
opini, kepercayaan, perasaan, dan sebagainya
oleh seseorang kepada orang lain dengan
menggunakan lambang, misalnya bahasa, kial,
gambar, warna, dan lain-lain yang merupakan
isyarat.
Santri : Seseorang yang secara konsisten dan teratur
melaksanakan pokok-pokok peribadatan yang

129
telah diatur dalam agama Islam, mereka pada
umumnya mondok di pesantren.
Sein : Istilah lain ada dalam Logika Scientifika
Semantik : Makna kata/kalimat.
Setting komunikasi : Aspek fisik dari sebuah situsi komunikasi,
seperti lokasi, waktu, musim, besar ruangan, tata
letak perabot dsb.
Simbol : Sesuatu yang digunakan atau dianggap mewakili
sesuatu yang lain.
Sistem komunikasi : Tata cara komunikasi dalam panduan seluruh
unsur dan faktor yang terlibat guna mencapai
suatu tujuan tertentu.
Sistematik : Teratur menurut sistem.
Situasi tuturan : Konteks terjadinya tuturan.
Sosialisasi : Proses pemasyarakatan disebabkan terjadinya
komunikasi diantara para penghuni suatu
wilayah atau dalam kebudayaan tertentu.
Sosiokultural : Bersifat sosial dan budaya.
Sosiolinguistik : Ilmu yang mempelajari penggunaan bahasa
dalam interaksi sosial karena mereka percaya
bahwa bahasa merupakan inti dari interaksi
sosial. Bagi sosiolinguistik, interaksi sosial
adalah proses tiada akhir yang melibatkan
komunikasi di dalamnya, dan sebagian besar
komunikasi antar manusia terjadi dengan
menggunakan bahasa.
Speech : Ujaran/vokal/berbicara.
Speech community : Lihat juga masyarakat tutur.
Struktur Bahasa : Aturan dalam suatu susunan komponen-
komponen bahasa.
Suara : Bunyi atau sistem bunyi yang dapat ditangkap
oleh indera pendengaran.
Tindak tutur : Tindakan atau kegiatan berbicara.
Tingkat tutur
(speech level) : atau tingkatan bahasa, yang dalam BM disebut
ondhghn bhsa adalah tingkatan bahasa
berhubungan dengan tinggi-rendahnya bahasa
yang digunakan dalam berbicara; yang harus
memperhatikan status orang yang diajak
berbicara, apakah sama, lebih rendah, atau lebih
tinggi.

130
Tipe peristiwa
Komunikasi : Jenis peristiwa komunikasi, misalnya lelucon,
ceramah, salam, percakapan, dsb.
Tone tuturan : Nada atau tinggi rendah sebuah aktivitas tutur.
Topik tuturan : Yang menjadi pokok makna dari simbol-simbol
yang dipertukarkan.
Tujuan tutur : Tujuan interaksi partisipan tutur secara
individual.
Ujaran : Vokal/lisan.
Unit-unit tuturan : Komponen-komponen yang membentuk suatu
peristiwa komunikasi.
Urutan tindakan : Urutan tindak dalam suatu peristiwa tutur,
termasuk alih giliran atau fenomina overlap
percakapan.
varietas Bahasa : Semua jenis bahasa atau kata yang mempunyai
makna yang sama, tetapi digunakan dalam situasi
tuturan yang berbeda.
Wawancara mendalam : Wawancara yang dilakukan seorang peneliti
untuk memperoleh informasi dari seseorang
mengenahi suatu hal secara rinci dan
menyeluruh.
World view : Pandangan dunia.

131
132
INDEKS

A
abstrak, 49
alamiah, 17, 71
antropologi, 17, 18, 21, 23
artikel ilmiah, 15
asumsi, 22, 26, 29, 31, 44, 46, 51, 56, 61, 62, 69

B
bahasa daerah, 33, 39
bahasa lisan, 38, 77, 79, 83, 85, 88, 91, 95
bahasa verbal, 19, 29, 57, 67, 108
bahasa, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 12, 13, 14, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26,
27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45,
46, 47, 48, 49, 50, 52, 54, 56, 57, 60, 62, 65, 67, 68, 70, 74, 77, 79,
83, 85, 88, 91, 95, 97, 99, 100, 101, 102, 107, 108, 109, 111, 112,
113, 114, 115, 116

E
etnik, 2, 3, 5, 6, 13, 14, 15, 16, 28, 34, 36, 37, 45, 55, 56, 57, 58, 60, 68, 85
etnografer, 24, 27, 116
etnografi komunikasi, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 21, 23, 24, 30, 44, 55, 57, 58, 59,
62, 63, 64, 65, 67, 69, 70, 73

F
fenomena, 5, 9, 12, 27, 42, 46, 58, 59, 112
fonologi, 36, 70
fungsi komunikasi, 2, 17, 18, 24

G
gaya bahasa, 20, 40, 41, 42
gaya komunikasi, 17
gramatika, 21, 24, 25, 114

H
hubungan antarkomponen tutur, 101, 116
I
idiom, 42, 43
ilmu komunikasi, 16
informan penelitian, 70
informasi, 2, 13, 19, 22, 26, 31, 32, 46, 48, 56, 65, 67, 69, 73, 82, 101, 106,
108, 115
interaksi sosial, 17, 19, 23, 25, 29, 34
interpretasi, 12, 20, 21, 26, 27, 28, 37, 43, 44, 45, 47, 57, 70, 77, 79, 83, 85,
88, 91, 95, 97, 107, 109, 114, 115
intonasi, 12, 19, 20, 29, 57
introspeksi, 67, 68, 69
isi pesan, 47

K
kata kunci, 49
kategori ujaran, 20
kebudayaan, 2, 3, 13, 16, 17, 18, 20, 21, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 45, 56, 68,
101, 114, 115, 116
kiai, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 20, 35, 42, 60, 61, 66, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80,
82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100,
101, 103, 104, 105, 106, 107, 109, 110, 111, 113, 114
kode linguistik, 22, 103
kompetensi komunikatif, 13, 19, 25, 28, 31, 73, 101, 114, 115, 116
komponen tutur, 17, 23, 30, 47, 48, 55, 57, 67, 70, 71, 73, 74, 76, 101, 101,
104, 105, 107, 109, 110, 111, 112, 113
komunikasi, 1, 2, 3, 4, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 23, 24, 27,
29, 30, 31, 37, 38, 40, 43, 46, 47, 48, 49, 50, 52, 57, 58, 62, 64, 65,
66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 77, 79, 81, 82, 83, 84, 85, 86,
88, 89, 90, 93, 95, 97, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 108,
109, 110, 111, 112, 114, 115
konsep, 13, 16, 19, 24, 27, 30, 39, 55, 63, 70, 71, 116
konteks tuturan, 7, 20, 51, 77, 79, 82, 84, 88, 90, 94, 97, 104
kultur, 5, 7, 12, 13, 14, 15, 16, 60, 62, 66, 72, 74, 80, 101, 102, 103, 105, 106,
111, 114, 115

M
makna varian, 114
masyarakat tutur, 15, 17, 18, 23, 29, 32, 39, 40, 43, 44, 45, 46, 47, 54, 58, 59,
65, 67, 68, 69, 81, 101, 108, 109, 110, 111, 112, 113
masyarakat tutur
metodologi penelitian, 63

134
N
norma interaksi, 27, 47, 70, 107, 109, 114
norma interpretasi, 109
outsider, 24, 109

P
partisipan tutur, 4, 8, 10, 11, 19, 23, 30, 40, 41, 42, 73, 74, 77, 84, 85, 87, 88,
89, 91, 92, 95, 96, 97, 98, 100, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110,
111, 112, 113, 114, 115
penafsiran, 38
penanda fatis, 76, 81
penelitian kualitatif, 17, 55, 64, 67
perilaku komunikasi, 17, 18, 69
perilaku non verbal, 26
peristiwa tutur, 4, 27, 30, 40, 42, 43, 44, 47, 54, 60, 103, 104, 106, 110, 111,
113, 114
persepsi, 3, 56
perspektif, 24, 27, 31, 57, 65, 69
pesantren, 5, 6, 7, 8, 11, 13, 14, 15, 16, 39, 41, 72, 74, 75, 78, 79, 85, 102,
103, 105, 106, 107, 113, 115
pola komunikasi, 4, 5, 8, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 29, 30, 31, 55, 57, 58,
60, 61, 62, 63, 66, 68, 69, 71, 72, 73, 74, 80, 81, 83, 85, 92, 93, 98,
101, 103, 104, 105, 106, 110, 111, 112, 113, 114, 116
proses komunikasi, 66, 68, 69

S
santri, 5, 6, 7, 8, 12, 20, 57, 66, 72, 74, 75, 77, 78, 79, 80, 82, 86, 88, 90, 95,
97, 99, 102, 105, 106, 108, 110, 113, 114, 115
semantik, 30
setting komunikasi, 69
simbol, 12, 19, 20, 22, 25, 27, 28, 29, 33, 57, 71, 76, 102, 115, 116
situasi tuturan, 39, 40, 92
sosialisasi, 14
sosiokultural, 65, 101
sosiolinguistik, 13, 18, 21, 30, 62
speech, 7, 12, 18, 19, 23, 24, 29, 34, 44, 45, 47, 48, 49, 50, 57, 99, 100, 112

T
tindak tutur, 12, 19, 24, , 29, 30, 43, 44, 50, 51, 52, 53, 54, 57, 67, 69
tingkat tutur (speech level), 14, 33, 60
tujuan tutur, 10, 61, 72, 91, 92, 100, 101, 105, 111, 115

135
U
ujaran, 15, 26, 27, 44, 51, 52, 54

W
wahid, 7, 103
world view, 19, 21, 28

136
Tentang Penulis

Dr. Akhmad Haryono, M.Pd. Lahir di Jember 03


Oktober 1967. Setelah Lulus dari MAN Jember 1,
dia melanjutakan kuliah S1 bahasa Jerman di
Universitas Pattimura lulus tahun 1993, kemudian
memperdalam Ilmu Sosiolinguistik (kajian
Etnografi Komunikasi) pada program Pasca
sarjana Universitas Negeri Surabaya lulus tahun
2006. Pada tahun 2013 dia meraih gelar Dr. Ilmu-
Ilmu Humaniora di FIB UGM dengan Fokus kajian etnografi
Komunikasi. Dia adalah Staf pengajar Fakultas Sastra Universitas
Jember Sejak tahun 1998-sampai sekarang pngampu mata kuliah
Bahasa Jerman, Compataive Linguistic, & Public Relation pada
Jurusan Sastra Inggris dan pengampu mata kuliah Etnografi
Komunikasi dan Komunikasi Lintas Budaya pada Program Magister
Linguistik Fakultas Sastra Universitas Jember. Dia juga peneliti bidang
sosial humaniora khususnya kajian bahasa dan budaya etnik (Madura
dan Using). Dia juga aktif sebagai pemerhati budaya pesantren. Hasil-
hasil penelitiannya dikontribusikan dalam bentuk artikel di berbagai
jurnal ilmiah terkemuka dan terakreditasi. Dia juga aktif dalam
seminar-seminar nasional dan internasional berkaitan dengan topik-
topik bahasa dan budaya etnik serta pembelajaran bahasa.

Anda mungkin juga menyukai