Anda di halaman 1dari 7

Al-Kindi

Abdul Yusuf Yaqub bin Ishaq bin Ash-Shabah bin Imran bin Ismail bin
Muhammad bin al-Asyats bin Qais al-Kindi atau lebih dikenal dengan Al-Kindi dilahirkan
di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M) dari keluarga kaya dan terhormat. Al-Kindi menganut
paham Mutazilah dan kemudian belajar filsafat. Selain belajar filsafat ia juga menekuni
dan ahli dalam bidang ilmu astronomi, ilmu ukur, ilmu alam astrologi, ilmu pasti, ilmu seni
musik, meteorologi, optika, kedokteran, politik dan matematika. Penguasaanya terhadap
filasafat dan disiplin ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang
berkebangsaan Arab dalam jajaran para filosof terkemuka. Menurut sejarah dibeberapa
buku, seperti; Al-Tarikh Al-Islami, Tarikh Falasifah Al-Islam, Tarikh Al-Fikr Al-Arabi,
dan Lainnya menyatakan bahwa al-Kindi adalah seorang filosof Islam yang pertama dari
bangsa Arab yang berusaha memadukan antara ajaran filsafat Yunani dengan ajaran Islam.
Karena itu pula dinilai pantas dalam menyadang gelar Failasuf al-Arab (filosof
berkebangsaan Arab). Atas perpaduan antara ajaran filsafat yunani dengan Ajaran Islam,
maka ini terbukti bahwa mempelajari filsafat tidaklah memusnahkan keyakinan agama
yang dimiliki umat Islam selama umat Islam tersebut sudah kokoh berpegang pada dasar-
dasar Islam. Selama eksisnya dalam mempelajari filsafat, al-Kindi memberikan definisi-
definisi singkat dari filsafat itu sendiri.
Al-Kindi mengarang buku-buku dan menurut keterangan ibn al-Nadim buku-buku
yang ditulisnya berjumlah 241 dalam filsafat, logika, matematika, musik, ilmu jiwa dan
lain sebagainya. Corak filsafat al-Kindi tidak banyak yang diketahuinya karena buku-buku
tentang filsafat banyak yang hilang. Baru pada zaman belakangan ini orang menemukan
kurang lebih 20 lebih risalah al-Kindi dalam tulisan tangan. Beberapa karya tulis al-Kindi
antara lain: Fi al-Falsafah al-Ula; kitab al-Hassi ala Taallum al-Falsafah; Riasalat ila al-
Mamun fi al-illat wa Malul; risalat fi Talif al-Adad; kitab al-Filsafat al-Dakhilat wa al-
Masail al-Mantaiqiyyat wa al-Mutashah wa ma Fauqa al-Thabiyyat; Kammiyat Kutub
Aristoteles; Fi al-Nafs.
Al-Kindi mengemukakan pokok-pokok pemikiran filsafat dalam berbagai aspek
antara lain:
1. Pemaduan Filsafat dan Agama
Al-Kindi orang Islam yang pertama meretas jalan mengupayakan pemaduan
antara filasafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Menurutnya antara keduanya
tidak bertentangan karena masing-masing keduanya adalah ilmu tentang kebenaran.
Sedangkan kebenaran itu satu tidak banyak. Ilmu filasafat meliputi ketuhanan, keesan-
Nya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu lain yang mengajarkan bagaimana jalan
memperoleh apa-apa yang bermanfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mudarat. Hal
seperti ini juga dibawa oleh para rasul Allah dan juga mereka menetapkan keesaan
Allah dan memastikan keutamaan yang diridhai-Nya.
Agaknya untuk memuskan semua pihak, terutama orang-orang Islam yang tidak
senang dengan filsafat, dalam usaha pemanduannya ini, al-Kindi juga membawakan
ayat-ayat Al-Quran. Menurutnya menerima dam mempelajari filsafat sejalan dengan
anjuran Al-Quran yang memerintahkan pemeluknya untuk meneliti dan membahas
segala fenomena di alam semesta ini. Di antara ayat-ayatnya yang hanya terjemahan
adalah sebagai berikut.
a. Surat Al-Nasyr [59]: 2
Maka ambillah untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai
pandangan.
b. Surat Al-Araf [7]: 185
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala
sesuatu yang dicipitakan Allah.
c. Surat Al-Ghasiyat [88]: 17-20
Maka apakah tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan. Dan langit,
bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaiamana ia ditegakkan. Dan
bumi, bagaimana ia dihamparkan.
d. Surat Al-Baqarah [2]: 164
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan
siang, kapal yang berlayar di laut membawa apa yang mereka berguna bagi
manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu
Dia hidupkan bumi yang sudah mati dan Dia sebarkan di bumi segala jenis hewan,
dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi,
sungguh terdapat tanda-tanda keesaan dan kebenaran bagi kaum yang
memikirkan.
Pemaduan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan berikut: ilmu agama
merupakan bagian dari filsafat; wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat
saling bersesuaian; menuntut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama.

2. Filsafat Ketuhanan
Tuhan dalam filsafat al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah dan
mahiah. Tidak aniah karena tidak termasuk yang ada dalam alam, bahkan Ia adalah
Pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk. Tuhan juga tidak mahiah karena
Tuhan tidak merupakan genus dan spesies. Tuhan adalah Yang Benar Pertama (Al-Haqqul
Awwal) dan Yang Benar Tunggal (Al-Haqqul Wahid).
Sesuai dengan faham yang ada dalam Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah Pencipta
dan bukan Penggerak Pertama sebagai pendapat Aristoteles. Alam bagi al-Kindi bukan
kekal di zaman lampau tetapi punya permulaan. Karena itulah ia lebih dekat dalam hal ini
pada filsafat Plotinus yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari alam
ini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini adalah emanasi dari Yang Maha Satu.

3. Filsafat Jiwa dan Akal


Para filosof muslim menamakan jiwa (al-nafs) seperti yang diistilahkan dalam al-Quran yaitu,
al-ruh. Kemudian kata ruh ini di indonesiakan menjadi tiga bentuk, pertama nafsu yaitu
dorongan untuk melakukan perbuatan yang diingini, jika keinginan ini berbentuk negatif maka
nafsu ini mendekati dengan hawa, jadi kalau digabungkan menjadi hawa nafsu (keinginan yang
jelek). Kedua nafas yaitu suatu alat pencernaan udara sebagai tanda kehidupan seseorang.
Ketiga roh atau jiwa yaitu suatu zat yang tidak bisa dirangkaikan bentuknya. Karena al-Quran
telah menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui akan hakikat roh, roh adalah
urusan Allah bukan urusan manusia. Allah menyatakan akan hakikat roh dalam Q.S. Al-Isra
17 : 85.

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-
ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

Sedangkan akal merupakan sebuah potensi berupa alat untuk berpikir yang hanya dimiliki oleh
manusia. Setiap manusia yang terlahir ia akan membawa potensi masing-masing dari akal yang
dimilikinya, semakin banyak ia berpikir semakin banyak pula ia akan mendapatkan
pengetahuan, maka akan nampak sebuah perbedaan seorang yang banyak berpikir dengan
akalnya untu menemukan sebuah ide-ide baru dari pada seorang yang hanya menerima hasil
dari ide orang lain. Muncullah sebuah perbedaan antara seorang yang berpengetahuan dengan
yang tidak berpengetahuan seperti dikatakan al-Quran pada Surat az-Zumar ayat 9:

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di
waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan
mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran.
Selanjutnya, Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa manusia
sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk. Materi adalah badan
dan bentuk adalah jiwa manusia. Hubungan dengan badan sama dengan hubungan bentuk
dengan materi. Bentuk atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan dan
begitu pula sebaliknya materi atau badan tidak pula bisa berwujud tanpa bentuk atau jiwa.
Pendapat ini mengandung arti bahwa jiwa adalah baharu karena jiwa adalah form bagi badan.
Form tidak bisa terwujud tanpa materi, keduanya membentuk satu kesatuan yang bersifat
esensial, dan kemusnahan badan membawa kemusnahan jiwa. Dalam hal ini al-Kindi
sependapat dengan Plato yang mengatakan bahwa kesatuan jiwa dan badan adalah kesatuan
Acciden, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa. Namun, ia tidak menerima
pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide.

Menurut al-Kindi roh tidak tersusun (basiithah, simple, sederhana) tetapi mempunyai arti
penting, sempurna dan mulia. Substansinya (jawahara) berasal dari substansi Tuhan.
Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Hanya roh yang
sudah suci di dunia ini yang dapat pergi ke alam kebenaran itu. Roh yang masih kotor dan
beluim bersih, pergi dahulu ke bulan. Setelah berhasil membersihkan diri di sana, baru pindah
ke Merkuri, dan demikianlah naik setingkat demi setingkat hingga akhirnya, setelah benar-
benar bersih, sampai ke alam akal, dalam lingkungan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan.[20]

Mengenai akal, al-Kindi juga berbeda pendapat dengan Aristoteles. Aristoteles membedakan
akal menjadi dua macam, yaitu akal mungkin dan akal agen. Akal mungkin menerima pikiran,
sedangkan akal agen menghasilkan objek-objek pemikiran. Akal agen ini dilukiskan oleh
Aristoteles sebagai tersendiri, tak bercampur, selalu aktual, kekal, dan takkan rusak. Berbeda
halnya dengan al-Kindi yang membagi akal dalam empat macam; pertama: akal yang selalu
bertindak, kedua: akal yang secara potensial berada di dalam roh, ketiga: akal yang telah
berubah, di dalam roh, dari daya menjadi aktual, keempat; akal yang kita sebut akal kedua.
Yang dimaksudkan dengan akal kedua yaitu tingkat kedua aktualitas; antara yang hanya
memiliki pengetahuan dan yang mempraktekkannya.[21]

Dinyatakan lagi oleh al-Kindi bahwa; akal yang bersifat potensial tak bisa mempunyai sifat
aktuil jika tidak ada kekurangan yasng menggerakkannya dari luar. Dan oleh karena itu bagi
al-Kindi ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia, dan bermakna:
akal yang selamanya dalam aktualitas (alaqlu ladzi bil fail abadan). Akal ini, karena
selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal yang bersifat potensial dalam roh
manusia menjadi aktuil. Bagi al-Kindi manusia disebut menjadi akil (akal) jika ia telah
mengetahui universal, yaitu jika ia telah memperoleh akal yang di luar itu (idza uktisab hadzal
aklul kharaji). Akal yang selalu bertindak (akal pertama) bagi al-Kindi, mengandung arti
banyak, karena dia adalah universals (al-kuliyat mutakatsarah). Dalam limpahan dari Yang
Maha Satu, akal inilah yang pertama-tama merupakan yang banyak (awwalu muktatsar).[22]

https://zentadacon.wordpress.com/makulzen/filsafat-islampokok-pemikiran-al-kindi/
https://syafieh.blogspot.com/2013/03/filsafat-al-kindi.html
Al Ghazali
Nama lengkap Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu
Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450 H
(1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di pasar-
pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat
kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau
mengasuh al-Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani
untuk biaya hidup dan belajar Imam Ghazali. Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat
kelahirannya pada tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun.

Sebagai seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam, tentunya ia sangat tekun untuk
menulis kitab. Jumlah kitab yang ditulis al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati secara
definitif oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy, penelitian paling akhir tentang
berapa jumlah buku yang dikarang oleh al-Ghazali seperti halnya yang dilakukan oleh
Abdurrahman Al-Badawi, yang hasilnya dikumpulkan dalan satu buku yang berjudul Muallafat
Al-Ghazali.Dala buku tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-kitab yang ada
hubungannya dengan karya al-Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang
dapat dipastikan sebagai karya al-Ghazali yang terdiri atas 72 buah kitab. Kedua, kelompok
kitab yang diragukan sebagai karyanya yang asli terdiri atas 22 kitab. Ketiga, kelompok kitab
yang dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31 buah kitab.

Mengenai kitab-kitab yang ditulis oleh al-Ghazali meliputi bidang ilmu yang populer
pada zamannya, di antaranya tentang tafsir al-Quran, ilmu kalam, ushul fiqh, fiqih, tasawuf,
mantiq, falsafat, dan lainnya.

https://syafieh.blogspot.com/2013/04/filsafat-islam-al-ghazali-dan-pemikiran.html

Seorang guru baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami benar
filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode,
guru dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas
bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melaliu pendidikan ada dua, pertama: tercapainya
kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT, kedua,
kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, beliau
bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran yang merupakan tujuan
akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral, tanpa
mengabaikan masalah duniawi.
Tujuan pendidikan yang dirumuskan Al-Ghazali, meliputi:

1. Aspek keilmuan, yang mengantarkan manusia agar senang bepikir, menggalakkan


penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan menjadi manusia yang cerdas
dan terampil.
2. Aspek kerohanian, yang mengantarkan manusia agar berakhlak mulia, berbudi
pekerti luhur dan berkepribadian kuat.
3. Aspek ketuhanan, yang mengantarkan manusia beragama agar dapat mencapai
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

http://konseppemikiranal-ghazali.blogspot.co.id/

Pemikiran Al Ghazali:

1. Metafisika

Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama


karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan
bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti
mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.

Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai
ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof)
karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka
tetapkan sendiri dalam ilmu logika.

Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan
akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat
secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf.
Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf
tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat
sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabiiyat) yang
berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan
kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika
yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof
dinyatakan kafir.

2. Iradat Tuhan

Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat
(kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang
diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan
undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak.
Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan
dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.

Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu
seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam
pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi
kemauan iradatNya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala
kejadian.[6]

Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat
(hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asyari berpendapat bahwa suatu
peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap berkuasa mutlak untuk menyimpangkan dari
kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh
api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan
suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah
semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api.
Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar
dari api itu atau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar
oleh api.[7]

3. Etika

Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya
dalam buku Ihya Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori
tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan
tasawuf yang terkenal Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf
Bi Shifat al-Rahman Ala Thaqah al-Basyariyah. Maksudnya adalah agar manusia sejauh
kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-
sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.

Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif
berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam.
Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai
kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia,
dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.

Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana,
juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan
berlebihan.

Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syariat, hal ini
nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihyanya yang merupakan perpaduan
harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah
dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan
penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.[8]

Anda mungkin juga menyukai