Anda di halaman 1dari 7

..

.
.
.

dakwatuna.com Al-Hamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadhirat Allah SWT atas
perkenan-Nyalah kita bisa berkumpul di tempat ini untuk menunaikan shalat Idul Fitri sembari
kita mengumandangkan Takbir, Tahmid dan Tahlil sebagai pengakuan kita akan kebesaran-Nya.
Idul Fitri adalah hari raya Islam yang disebut hari raya berbuka, setelah sebulan penuh kita
berpuasa, menahan lapar dan dahaga, kini tibalah saatnya hari berbuka.

Shalawat dan salam kita kirimkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, Nabi yang
telah mengajarkan kepada kita pentingnya menunjukkan kepedulian kepada sesama.
Keselamatan dan kesejahteraan semoga tercurah kepada beliau, keluarganya, sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya.

Sebagai muslim, kita wajib meyakini bahwa Allah SWT tidaklah menciptakan kita kecuali untuk
menyembah kepada-Nya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku. (QS. Az-Dzariyat: 56). Olehnya itu, jika ada manusia yang
menyombongkan diri tidak mau taat dan tunduk kepada Allah SWT, maka ia telah mengingkari
tujuan ia diciptakan. Akibat dari keingkaran tersebut, ia akan menghuni neraka dalam keadaan
dihinakan.

Ketika masih berada di alam rahim, Allah SWT telah mengambil perjanjian kesiapan dari
manusia untuk menyembah hanya kepada-Nya sebelum mereka lahir ke muka bumi ini. Allah
SWT menanyai ruh manusia tentang kesiapan mereka mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya
dengan semua konsekuensinya, lalu ruh tersebut menjawab dengan tegas bahwa mereka bersaksi
tiada Tuhan selain Allah yang berhak mereka imani dan mereka sembah. Allah bertanya kepada
ruh tersebut:

Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap (ketauhidan) ini (QS. Al-
Araf: 172)

Dalam menjaga komitmen kehambaan yang diikrarkan pada alam rahim tersebut, Allah SWT
memerintahkan manusia setelah ia lahir, agar menghadapkan wajahnya kepada agama yang lurus
sebagai fitrah kehambaannya, sebagaimana firman-Nya:



Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Ar-Rum: 30)

Fitrah adalah kesucian jiwa yang senantiasa tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Namun
keadaan manusia sekitarnya yang telah mempengaruhinya sehingga menodai kesucian fitrah
tersebut. Maka berubahlah ia dari ketauhidan menjadi kemusyrikan, dari keimanan menjadi
kekafiran. Rasulullah SAW bersabda:

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR. Bukhari)

Fitrah adalah suasana jiwa yang suci yang menjelma dalam pemeliharaan tauhid, ketundukan dan
penghambaan, serta pemeliharaan kesucian diri sebagai hamba Tuhan yang Maha Pengasih. Jika
di penghujung Ramadhan ini kaum muslimin merayakan hari Raya Idul Fitri, tentu maknanya
adalah kesiapan untuk menjadikan momentum Ramadhan ini sebagai proses pembersihan diri
dan kesadaran akan urgensi kembali kepada fitrah. Dan hakikat kembali fitrah itu diwujudkan
dalam bentuk mengokohkan ketauhidan, menguatkan komitmen ubudiyah, dan
memelihara karakteristik terpuji.

Wujud kembali kepada fitrah yang pertama adalah: Mengokohkan Ketauhidan

Ibadah Ramadhan telah kita sempurnakan, mulai dari puasa, shalat tarawih, tilawatil Quran,
membayar zakat fitrah dan zakat harta, Itikaf, membaca dzikir dan matsurat, hingga hari ini
kita tuntaskan dengan melaksanakan shalat Idul fitri. Semuanya itu kita yakini sebagai bentuk
aktualisasi keimanan kita kepada Allah SWT.

Sebagai hamba, kita menyadari begitu banyak kekurangan yang telah kita lakukan. Terkadang
kita sibuk berhari-hari, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun bekerja keras dan banting
tulang hanya untuk menyenangkan hati orang-orang yang kita cintai. Suami menghabiskan
hampir semua waktu siangnya untuk menyenangkan istrinya hingga berkali-kali ia meninggalkan
shalat Zhuhur dan Asharnya, dan istri menghabiskan hampir semua waktu malamnya untuk
menyenangkan suaminya hingga berkali-kali ketinggalan shalat Maghrib dan isyanya. Keadaan
itu tentu menjadikan kita seolah lemah keimanannya hingga boleh jadi sampai pada titik
keimanan yang sangat lemah. Jika suasana itu terus berlanjut, kita pasti akan semakin jauh dari
fitrah kita.

Ramadhan adalah momentum yang sangat efektif untuk mengokohkan keimanan kita dan
mengembalikan kita kepada fitrah. Ramadhan merupakan bulan yang disiapkan Allah SWT
untuk mendidik jiwa-jiwa yang menjauhi-Nya untuk kembali kepada-Nya, mendidik jiwa-jiwa
yang berlumur dosa untuk datang memohon ampunan kepada-Nya, mendidik jiwa-jiwa yang
lalai dari ibadahnya untuk bersimpuh bersujud dan mengikhlaskan pengabdiannya. Semoga
Ramadhan ini mampu kita buktikan sebagai bulan mengokohkan iman dan ihtisab (mengharap
pahala) kita kepada-Nya, sehingga kita semua mendapatkan ampunan Allah SWT. Rasulullah
SAW bersabda:

Barang siapa berpuasa dengan iman dan ihtisab (mengharap pahala hanya dari Allah), akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Bukhari)

Melalui momentum Idul fitri ini, marilah kita mengokohkan keimanan dan tauhid kita, yang
dengannya kita akan senantiasa terjaga pada fitrah kehambaan kita yang lurus, kita akan
dijauhkan dari sikap menghinakan diri kepada makhluk. Dengan kekuatan tauhid, orang yang
kaya akan menjaga fitrah dirinya sehingga tidak sombong dan angkuh, dengannya pula orang
miskin akan tegar mengarungi ujian hidupnya dan tidak berputus asa.

Wujud kembali kepada fitrah yang kedua adalah: Menguatkan Komitmen Ubudiyah

Fitrah kehambaan menuntut setiap muslim untuk membuktikan komitmen ibadahnya. Dia
dituntut tidak hanya bersungguh-sungguh menunaikan semua ibadah-ibadah fardhu, tapi juga
ibadah-ibadah sunnah. Dengan pembuktian komitmen tersebut, setiap muslim akan mampu
mengantarkan dirinya kepada ketakwaan. Al-Quran menegaskan bahwa dibalik perintah ibadah
puasa tersebut Allah SWT menghendaki agar setiap hamba yang melaksanakannya dapat
mengantarkan dirinya ke derajat takwa.

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS. Al-Baqarah: 183)

Perintah takwa adalah perintah agama yang harus dilanggengkan dalam kehidupan setiap
muslim, ia wajib memeliharanya hingga ia berhadapan dengan kematiannya. Apabila seseorang
memelihara ibadahnya secara benar dan konsisten, akan terangkat derajat ketaqwaannya, suatu
derajat istimewa yang menjadikannya lebih mulia dari hamba-hamba yang lain. Allah SWT
berfirman: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kalian
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)

Jika seorang muslim ingin membuktikan kesungguhannya untuk kembali kepada fitrahnya, salah
satu bentuknya adalah dengan membuktikan komitmen ibadahnya. Ia memelihara shalat yang
difardhukan kepadanya dan melengkapinya dengan shalat-shalat sunnah. Ia berpuasa wajib dan
melengkapinya dengan puasa-puasa sunnah. Mengeluarkan zakat dan menyempurnakannya
dengan infak dan sedekah. Ia melaksanakan haji ke Baitullah dan menyempurnakannya dengan
umrah.
Ibadah itu mempunyai tujuan asasi dan tujuan-tujuan lain yang menyertainya, di mana tujuan-
tujuan yang menyertai ibadah tersebut merupakan keshalihan jiwa dan meraih keutamaan dalam
setiap ibadah. Imam As-Syathibi mengatakan bahwa asal mula disyariatkannya ibadah shalat
adalah ketundukan kepada Allah SWT dengan mengikhlaskan penghadapan diri kepada-Nya,
bersimpuh di atas kaki kehinaan di hadapan-Nya dan mengingatkan jiwa agar senantiasa ingat
kepada-Nya. Allah SWT berfirman Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (QS. Thaha:
14) Dan firman-Nya, Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (dalam shalat) lebih besar keutamaannya. (QS.
Al-Ankabut: 45).

Dengan menjaga konsistensi ibadah dan menegakkannya secara sempurna, seorang muslim akan
terpelihara fitrah kesuciannya.

Wujud kembali kepada fitrah yang ketiga adalah: Memelihara Karakteristik Terpuji

Cara lain memaknai pemeliharaan fitrah kita adalah dengan menjaga karakteristik kehambaan
kita. Karakteristik yang dimaksud adalah karakter amanah, jujur, sabar dan syukur. Apabila
seseorang memiliki sifat-sifat tersebut, maka ia akan merasakan ketenangan dalam hidupnya. Ia
tidak perlu merasa khawatir sebagaimana khawatirnya orang yang suka berkhianat, karena takut
terbongkar pengkhianatan-nya, atau seperti pendusta yang takut terbongkar kebohongannya. Ia
juga akan terhindar dari bahaya pertengkaran dan perselisihan yang besar, karena sifat sabar
yang dimilikinya. Bahkan ia akan dicintai orang sekitarnya, karena tidak menunjukkan sifat
tamak dan rakus, disebabkan kuatnya sifat syukur dalam dirinya.

Orang yang amanah, jujur, sabar dan syukur adalah orang yang akan disenangi dan dirindukan
semua orang. Ia adalah bukti nyata orang yang bersungguh-sungguh memelihara fitrah
kehambaanya. Semua karakter terpuji itu tentu tidak lahir begitu saja, tapi melalui proses
penempaan dan pelatihan. Dan salah satu sarana pelatihan itu adalah puasa. Dengan berpuasa,
seseorang akan terdidik untuk bersifat amanah, karena dalam berpuasa ia sudah melatih dirinya
agar amanah memelihara puasanya dari segala hal yang membatalkannya, meski pun orang lain
tidak melihatnya. Ia memelihara amalan puasanya semata-semata karena Allah SWT. Ia
mungkin bisa berbohong kalau ia makan dan minum secara sembunyi, tapi ia tidak bisa
membohongi dirinya sendiri yang sedang terkondisi untuk mendekat kepada Allah SWT.

Puasa juga membentuk karakter sabar. Rasulullah SAW bersabda: Puasa adalah setengah dari
kesabaran. Dengan menguatnya sifat sabar pada diri seorang muslim, ia akan bisa menjaga diri
untuk tidak terlibat dalam konflik, pertentangan, apalagi permusuhan sekecil apa pun lingkup
dan kadarnya. Dan kalau pun harus terlibat dalam sebuah perbedaan pendapat, maka ia akan bisa
menyikapinya dengan sikap-sikap yang bijaksana. Ia tidak mau perbedaan pendapat itu
mengundang malapetaka yang besar, yaitu munculnya rasa gentar dan hilang kekuatannya dalam
menghadapi musuh-musuhnya. Ia merenungkan firman Allah SWT tentang hal tersebut:





Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. al-Anfal: 46)

Marilah kita kokohkan persaudaraan kita sesama muslim di atas rasa cinta dan itsar
(mengutamakan saudara). Janganlah perbedaan-perbedaan seperti menetapkan masuknya 1
Syawal menjadikan kita saling berbantah-bantahan dan saling membenci. Sikap itu hanya akan
memuaskan setan dan hawa nafsu yang selalu menyuruh kepada keburukan. Kita juga akan
dihinggapi rasa lemah dan gentar sehingga kita tidak akan pernah menjadi umat yang kuat. Hati
kita pun akan kehilangan karakteristiknya yang terpuji, berganti dengan karakter pemarah, egois,
dan merasa paling benar. Akhirnya kita tidak kembali kepada fitrah, padahal kita berkumpul
menaikkan shalat Idul fitri hari adalah agar kita kembali kepada fitrah kita.

Untuk mengakhiri khutbah ini, marilah kita tundukkan kepala kita, melupakan kebesaran diri kita
di hadapan manusia, mengakui betapa kecil dan lemahnya kita di hadapan Allah Penggenggam
langit dan bumi.

Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan
orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan
Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Ya Allah Ya Rabb, kami berlindung pada-Mu dari hawa nafsu yang penuh ambisi, yang selalu
mau menang sendiri dan tidak mau peduli dengan penderitaan sesama. Jadikanlah kami hamba-
hamba yang tahu mensyukuri nikmat dan karunia-Mu. Tanamkanlah dalam hati kami kepekaan
rasa, yang membuat kami mampu meraba penderitaan saudara-saudara kami dan mau
membantunya.

Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih
dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang

Ya Allah, ampunilah dosa kaum muslimin dan muslimat, muminin dan muminat, baik yang
masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar,
Dekat dan Mengabulkan doa.
Ya Allah yang Maha Kuat! berikanlah kami kekuatan agar kami mampu memikul beban yang
dititipkan di pundak kami, Ya Allah yang maha Maha Kaya lepaskanlah kami dari lilitan utang
dan kesulitan ekonomi kami, Ya Allah yang Maha Penyayang buanglah rasa benci dan dendam
yang bersemayam di dalam dada kami, Ya Allah yang Maha Pengasih tanamkanlah dalam dada
kami rasa kasih kepada orang tua kami, anak-anak kami, dan saudara-saudara kami. Ya Allah
yang Maha Mendengar lagi Maha Penerima Taubat dengarlah permohonan kami dan terimalah
taubat kami. Innaka Antas Samiud Dua wa Innaka Antat Tawwabur Rahim.

Ya Allah Ya Rabb, anugerahkan rasa syukur kepada kami agar kami dapat mengerti arti jasa ibu
bapak kami, terkhusus ibu kami, yang bersedia dengan tulus menampung kami selama berbulan-
bulan di dalam rahimnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah, yang rela bersakit-sakit
bersimbah darah ketika melahirkan kami, yang bersedia mempertaruhkan nyawanya demi agar
kami dapat menghirup udara kehidupan, yang bersedia terganggu tidurnya setiap malam demi
agar kami dapat tertidur lelap, yang bersedia menahan rasa lapar dan dahaganya demi agar kami
dapat merasakan kenyang.

Ya Allah Ya Rabb, kami tahu keridhaan-Mu terdapat pada keridhaannya dan kemurkaan-Mu
terdapat pada kemurkaannya, maafkan kami jika selama ini khilaf telah melukai hatinya atau
membuatnya tidak ridha kepada sikap dan tingkah laku kami. Maafkan kami ya Allah jika kami
tidak mampu membalas kebaikannya. Kami tahu bahwa yang ia butuhkan dari kami bukanlah
materi dan harta tapi cinta dan kasih sayang kami seperti ia menyayangi kami di waktu kecil.
Maafkan kami jika ia sakit kami tak menjenguknya. Jika ia butuh, kami tak di sampingnya. Jika
ia merindukan kami, kami tak datang menyapanya. Ya Allah ya Rabb Jadikanlah kami hamba-
hamba yang siap mengistimewakannya di dalam hati kami, lalu mau membalas jasa-jasanya,
meski kami sadar tidak akan mampu membalasnya.

Ya Allah Ya Rabb. Kabulkanlah permohonan orang-orang kecil bangsa kami yang merindukan
ketenangan, kestabilan dan kemakmuran. Jangan Engkau timpakan azab kepada kami hanya
karena kedurhakaan segelintir orang di antara kami. Jadikanlah kami mulia dengan
kesederhanaan kami dan janganlah Engkau hinakan kami dengan curahan rezki yang melimpah
ruah.

Bimbinglah ya Allah derap langkah kami dan pemimpin kami yang dengan tulus ikhlas hendak
mengeluarkan kami dari keterpurukan dan kesulitan hidup, dengan kemurahan dan kasih sayang-
Mu. Agar kami dapat mengantarkan bangsa kami ini menuju negeri yang lebih baik yaitu
Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur.

Ya Allah jika begitu lama kami melalaikan perintah-Mu. Jika bertahun-tahun kami
terpedaya oleh hawa nafsu kami sehingga lalai dari jalan-Mu, jika dengan sengaja atau tidak
sengaja, dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi kami telah berbuat durhaka kepada-
Mu dan telah menganiaya diri kami sendiri. Maka maafkanlah kami dan ampunilah dosa-dosa
kami. Innaka Afuwwun Tuhibbul Afwa Fafu Anna.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/08/07/37711/khutbah-idul-fitri-1434-h-hakikat-
kembali-kepada-fitrah/#ixzz3g52i3cTm
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Anda mungkin juga menyukai