Anda di halaman 1dari 12

KOMITMEN INTERNASIONAL TERHADAP LINGKUNGAN

Kesadaran global dimana perlunya kebersamaan masyarakat dunia untuk bersatu padu
menyelamatkan planet bumi dan makhluk hidup yang berada di dalamnya semakin menguat dan
kongkrit dalam implementasinya. Karena pemanasan global telah memicu terjadinya perubahan
iklim (climate change) yang akan berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Namun, kerusakan
bumi juga disebabkan oleh kecerobohan dan tidak arifnya manusia di bumi dalam merencanakan
dan mengendalikan pemanfaatan lingkungan hidup dan SDA nya bagi kepentingan yang
mengatasnamakan pengembangan wilayah dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Berkurangnya cakupan hutan, diverifikasi penggunaan lahan, meningkatnya hujan asam,
penggunaan CFC, meningkatnya ladar CO2, penipisan ozon di lapisan atmosfer, sering terjadi
erosi dan banjir yang merugikan, pemanasan global, kemiskinan yang makin naik, muncul
berbagai epidemi penyakit dan merupakan jalinan yang saling kait-mengkaitkan yang ujung-
ujungnya menyebabkan bencana hingga menyengsarakan manusia di planet bumi.
Conference of the Parties (COP) atau Konferensi Para Pihak adalah otoritas tertinggi dalam
kerangka kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention
on Climate Change / UNFCCC), yang merupakan asosiasi para pihak dalam meratifikasi konvensi
yang bertanggung jawab menjaga konsistensi upaya international dalam mencapai tujuan utama
konvensi yang mulai ditanda tangani pada bulan Juni 1992 di Rio De Jeneiro Brazil dalam KTT
Bumi.
Tujuan yang paling utama dari pembentukan konvensi perubahan iklim tersebut adalah
mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sehingga konsentrasi gas-gas tersebut tidak melampaui
batas aman dan tidak membahayakan iklim dunia. Dalam konvensi tersebut disepakati juga untuk
membagi negara-negara yang meratifikasi menjadi dua kelompok, yaitu negara-negara Annex I
(negara-negara maju) dan negara-negara non-Annex I (negara-negara berkembang).
Konferensi Para Pihak diselenggarakan satu tahun sekali atau pada saat dibutuhkan (dalam
kondisi tertentu, ketika para pihak menghendaki). Penentuan tempat penyelnggaraan COP
didasarkan atas tawaran yang disampaikan Negara calon tuan rumah UNFCCC. Jika tidak ada
penawaran, secara otomatis COP akan diselenggarakan di Sekretariat UNFCCC di Bonn Jerman.
Selain itu, UNFCCC juga membentuk dua badan tambahan yang diberi nama SBSTA (Subsidiary
Body for Scientific and Technological Advice) dan SBI (Subsidiary Body for Implementation)
yang secara rutin mengadakan pertemuan sebanyak dua kali dalam setahun atau ketika dibutuhkan.
Sesi pertemuan COP pada umumnya berjalan selama dua minggu dan dilakukan paralel dengan
sesi SBSTA dan SBI yang dihadiri ribuan peserta termasuk delegasi pemerintah dan peneliti.
REVIEW SESI PERTEMUAN COP Ke-1 HINGGA COP Ke-12
1. COP Ke-1 di Berlin Jerman Tahun 1995
COP ke-1 menyepakati MANDAT BERLIN (Berlin Mandate) yang antara lain berisi
persetujuan para pihak untuk memulai proses yang memungkinkan untuk mengambil tindakan
pada masa setelah tahun 2000, termasuk menguatkan komitmen negara-negara maju melalui
adopsi suatu protokol atau instrumen legal lainnya.
2. COP Ke-2 di Jenewa Swiss Tahun 1996
Hasil dari COP ke-2 adalah DEKLARASI JENEWA (Geneve Declaration) yang berisi 10 butir
deklarasi antara lain berisi ajakan kepada semua pihak untuk mendukung pengembangan
protokol dan instrumen legal lainnya yang didasarkan atas temuan ilmiah.
3. COP Ke-3 di Kyoto Jepang Tahun 1997
Hasil COP ke-3 adalah PROTOKOL KYOTO (Kyoto Protocol) yang menegaskan bahwa :
Negara-negara Annex I (pada umumnya negara maju/industri) yang dianggap bertanggung
jawab terhadap akan mengurangi emisi dari enam gas rumah kaca : karbondioksida,
metana, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC secara kolektif sebesar 5,2 %
dibandingkan dengan laporan tahun 1990 untuk diterapkan pada periode 2008-2012.
Untuk mencapai target yang ditetapkan, Protokol Kyoto dilengkapi dengan mekanisme
perdagangan emisi (emission trading,ET), penerapan bersama (joint implementation,JI)
dan mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism).
Perdagangan emisi (ET) merupakan mekanisme untuk menjual dan membeli izin untuk
melakukan pencemaran (emission permit) atau melakukan perdagangan karbon, yang
dapat dilakukan misalnya di bursa karbon dunia yang diharapkan berkembang.
Penerapan bersama (JI) mewadahi mekanisme untuk melakukan investasi proyek
pengurangan emisi di suatu negara Annex-I oleh suatu negara Annex-I lainnya. Kredit
pengurangan emisi yang diperoleh dari pelaksanaan proyek tersebut akan diberikan kepada
negara yang melakukan investasi. Selanjutnya, mekanisme yang melibatkan negara
berkembang (bukan negara Annex-I) adalah yang dikenal sebagai mekanisme
pembangunan bersih (CDM).
CDM merupakan mekanisme Protokol Kyoto yang memungkinkan negara Annex-I dan
negara berkembang bekerja -sama untuk melakukan pembangunan bersih. Dengan
fasilitas CDM, negara Annex-I dapat memenuhi kewajiban pengurangan emisinya dengan
melakukan proyek pengurangan emisi di suatu negara berkembang dan sang negara
berkembang mendapatkan kompensasi finansial dan teknologi dari kerja-sama tersebut.
Tujuan CDM sebagaimana ditegaskan oleh Protokol Kyoto (Pasal 12) adalah membantu
negara berkembang melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
dan turut menyumbang bagi pencapaian tujuan pengurangan emisi global, serta untuk
membantu negara Annex-I mencapai target pengurangan emisi mereka. Investasi negara
Annex-I di negara berkembang yang menghasilkan penurunan emisi akan disertifikasi dan
kredit dari pengurangan emisi yang disertifikasi (certified emission reduction, CER)
tersebut akan diberikan kepada negara Annex-I.
4. COP Ke-4 di Buenos Aires Argentina Tahun 1998
Hasil dari COP ke-4 adalah Rancangan Aksi Buenos Aires (Buenos Aires Plan of Action
BAPA). Merupakan COP pertama yang dilangsungkan di negara berkembang. Bertujuan
merancang tindak lanjut implementasi Protokol Kyoto berikut tenggat waktunya, terutama
yang berhubungan dengan alih teknologi dan mekanisme keuangan khususnya bagi negara-
negara berkembang. Dalam BAPA, para pihak mengalokasikan tenggat waktu dua tahun untuk
memperkuat komitmen terhadap konvensi dan penyusunan rencana serta pelaksanaan Protokol
Kyoto.
5. COP Ke-5 di Bonn Jerman Tahun 1999
Hasil dari COP ke-5 adalah merumuskan periode implementasi BAPA yang berisi pertemuan
pertemuan teknis yang relatif tidak menghasilkan kesimpulan-kesimpulan besar.
6. COP Ke-6 di Den Haag Belanda Tahun 2000
COP ke-6 disebut sebagai malapetaka negosiasi dalam sejarah penyelenggaraan COP karena
tidak satupun implementasi BAPA yang berkaitan dengan pengoperasian Protokol Kyoto,
yang merupakan agenda utama COP ini dapat disepakati. Hasilnya adalah penundaan
(suspend) COP ke-6 dan dilanjutkan (resumed) pada COP ke-6 bagian II yang diselenggarakan
di Bonn Jerman.
7. COP Ke-6 Bagian II di Bonn Jerman Tahun 2001
COP ke-6 Bagian II menghasilkan Kesepakatan Bonn (Bonn Agreement) dalam rangka
implementasi BAPA. Berisi, antara lain, mekanisme pendanaan di bawah protokol dengan
referensi beberapa pasal Protokol Kyoto, membentuk dana baru di luar ketentuan konvensi
bagi negara berkembang, dan membentuk dana adaptasi dari Clean Development Mechanism
(CDM). Untuk dampak negatif perubahan iklim, pendanaannya akan ditangani melalui Global
Environmental Facility (GEF) dan point tentang pembangunan dan alih teknologi dengan
membentuk kelompok ahli teknologi yang beranggotakan 20 orang dengan distribusi geografis
merata.
8. COP Ke-7 di Marrakesh Maroko Tahun 2001
COP ke-7 menghasilkan Persetujuan Marrakesh (Marrakesh Accord). Tujuan utama COP ke-
7 adalah menyelesaikan persetujuan mengenai rencana terinci tentang cara-cara penurunan
emisi menurut Protokol Kyoto dan untuk mencapai kesepakatan mengenai tindakan yang
memperkuat implementasi Konvensi Perubahan Iklim. Tonggak pentingnya adalah
disepakatinya implementasi BAPA yang sudah dibicarakan dalam tiga tahun terakhir, sehingga
melancarkan jalan bagi efektifnya operasional Protokol Kyoto. Selain itu, delapan konsep
keputusan yang berkaitan dengan keuangan dan pendanaan sebagaimana telah disepakati
dalam COP ke-6 bagian II di Bonn segera diajukan dan diadopsi sebagai keputusan.
9. COP Ke-8 di New Delhi India Tahun 2002
COP ke-8 menghasilkan Deklarasi New Delhi (New Delhi Declaration). Terdiri dari 13 butir
sebagai upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim dan mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan. Butir-butir tersebut antara lain : protokol Kyoto perlu segera diratifikasi oleh
pihak yang belum melakukannya dan upaya antisipasi perubahan iklim harus diintegrasikan ke
dalam program pembangunan nasional. Dalam deklarasi tersebut juga ditegaskan bahwa
negara-negara industri yang tergabung dalam Annex 1 diingatkan untuk
mengimplementasikan komitmennya terhadap UNFCCC, sedangkan negara-negara Annex II
diminta mewujudkan dukungan mereka terhadap upaya alih teknologi dan pengembangan
kapasitas.
10. COP Ke-9 di Milan Italia Tahun 2003
Ada beberapa isu yang dibahas dalam COP ke-9 antara lain aturan mengenai mekanisme
pembangunan bersih di sector kehutanan. Hasilnya berupa kesepakatan untuk mengadopsi
keputusan kegiatan aforestasi dan reforestasi di bawah skema Clean Development
Mechanisme. Juga dibahas isu-isu lain yang berkaitan dengan bukti ilmiah perubahan iklim,
mekanisme pendanaan dan seruan untuk meratifikasi Protokol Kyoto.
11. COP Ke-10 di Buenos Aires Argentina Tahun 2004
Membahas adaptasi perubahan iklim dan menghasilkan BUENOS AIRES PROGRAMME OF
WORK ON ADAPTATION AND RESPONSE MEASURES. Tujuan dari COP ini adalah
mendorong Negara maju mengalokasikan sebagian sumber dayanya untuk Negara
berkembang yang telah merasakan dampak buruk perubahan iklim. Amerika Serikat
menyatakan kembali bersedia membicarakan isu perubahan iklim dimana sebelumnya AS
selalu tidak percaya kepada Protokol Kyoto dan hanya bersedia berpartisipasi dalam
pertukaran informasi.
12. COP Ke-11 di Montreal Kanada Tahun 2005
Hasilnya adalah Rancangan Aksi Montreal (MONTREAL ACTION PLAN) yaitu para pihak
yang telah meratifikasi Protocol Kyoto akan bertemu dalam Conference of Parties Serving as
Meeting of Parties to the Kyoto Protokol (COP/MOP), sedangkan para pihak yang tidak
meratifikasi Protokol Kyoto dapat hadir sebagai observer dalam COP/MOP tapi tidak memiliki
hak suara dalam pengambilan keputusan. Juga dihasilkan keputusan bahwa para pihak
mempertimbangkan komitmen lanjutan Annex I untuk periode setelah tahun 2012. Isu lain
yang dibicarakan adalah menyelesaikan rincian tentang bagaimana melaksanakan Protokol
Kyoto, menggalang kesepakatan diantara penanda tangan Protokol Kyoto tentang rencana
memperbesar pemotongan emisi gas rumah kaca setelah tahun 2012.
13. COP Ke-12 di Nairobi Kenya Tahun 2006
Tema yang dibicarakan adalah seputar pelaksanaan waktu dan besar target emisi komitmen
periode II setelah tahun 2012 dan kemungkinan adanya skema lain selain CDM dalam Protokol
Kyoto. Ditetapkan Five Year Programme of Work on Impacts, Vulnerability and Adaptation
to Climate Change, yang ditujukan membantu semua pihak untuk meningkatkan pengertian
dan pengkajian dampak, kerentanan dan adaptasi, serta untuk membuat agar keputusan
mengenai aksi dan tindakan adaptasi yang praktis mendapatkan informasi yang memadai guna
menanggapi perubahan iklim.
CONFERENCE ON PARTIES KE-13 DI BALI
COP ke-13 diselenggarakan pada tanggal 3 14 Desember 2007 di Bali, dengan jumlah
peserta 10.000 orang dari 189 negara yang merupakan delegasi resmi dari badan-badan PBB,
utusan resmi pemerintah, lembaga international dan organisasi nasional. Isu utama yang dibahas
adalah reduksi emisi gas rumah kaca dan empat isu penting perubahan iklim, yakni mitigasi,
adaptasi, alih tehnologi, dan pendanaan. Konferensi ini sangat berarti bagi Indonesia mengingat
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan panjang pantai sekitar 81 ribu kilometer yang
sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Komitmen Indonesia menjadi tuan rumah
penyelenggaraan UNFCCC menjadi kontribusi penting bagi keselamatan dunia, dan tentunya
Indonesia Delegasi RI ini terdiri dari berbagai kalangan, campuran antara pemerintah dengan
lembaga akademis, pakar, dan juga LSM/NGO. Sejumlah NGO masuk dalam delegasi RI, seperti
dari Kehati Foundation, CIFOR, ICEL, WWF, Pelangi, Cerindo, IESR.
Indonesia sebagai pemimpin negosiasi dihadapkan pada posisi yang sulit. Di satu sisi
Indonesia adalah negara berkembang yang sering diharapkan berposisi vis a vis dengan negara
maju dalam masalah lingkungan. Di sisi lain, Indonesia bertanggung jawab agar sidang mencapai
hasil signifikan dan tidak deadlock. Beberapa persiapan Indonesia dalam rangka menghadapi
COP-13 diantaranya :

1. Memunculkan wacana permasalahan pertama yang paling urgen adalah tuntutan dari negara
berkembang agar negara-negara maju (sebagai negara Annex I) lebih berkomitmen
menjalankan Protokol Kyoto, yaitu mengurangi emisi GRK secara kolektif sebesar 5,2 persen
pada periode 2008-2012 dibandingkan dengan tahun 1990. Nyatanya, meski sampai saat ini
telah 141 negara meratifikasi protokol itu (termasuk Indonesia), masih ada negara maju yang
belum meratifikasinya. Kedua, negosiasi tentang adaptation fund. Negara berkembang yang
tergabung dalam G-77 mempunyai keinginan untuk mewujudkan bantuan melalui mekanisme
keuangan yang lebih konkret, seperti bantuan dalam bentuk kegiatan atau program adaptasi,
daripada hanya technical assistance. Ketiga, negara-negara maju ingin agar negara
berkembang yang pertumbuhan industrinya pesat, seperti Cina, India, dan Brasil dimasukkan
sebagai negara Annex I karena selama ini mereka juga menjadi penyumbang kenaikan GRK.
Keempat, isu clean development mechanism (CDM) adalah hal yang penting segera
dituntaskan agar mekanisme implementasi proyek lingkungan lebih jelas, transparan, dan
bertanggung jawab.
2. Pertemuan para menteri keuangan dari 30 negara dan 9 pimpinan lembaga keuangan
multilateral dengan tujuan sebagai bentuk inisiatif untuk melanjutkan proses pembahasan isue
perubahan iklim di antara Menteri-menteri Keuangan. Ada tiga topik utama yang telah dibahas,
yaitu: pertama, menumbuhkan kepedulian akan besarnya tantangan pembangunan. Kedua,
pembahasan tentang instrument kebijakan yang dapat digunakanuntuk mempromosikan
kegiatan mitigasi maupun adaptasi. Ketiga, mendorong pembahasan tentang tindakan kolektif
atau instrument yang dapat membantu Menteri-menteri Keuangan dalam merespon tantangan
global.
3. Departemen Kehutanan menempuh 3 (tiga) tahapan penanganan isu pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation in
Indonesia /REDDI). Pengurangan emisi dari REDDI merupakan terjemahan initiatif
internasional ke dalam konteks nasional. Oleh karenanya REDDI tidak didesain eksklusif
terhadap kebijakan kehutanan, tetapi untuk mendukung tercapainya tujuan kebijakan dan
upaya upaya yang dilakukan dalam menuju pembangunan kehutanan yang berkelanjutan.
Ketiga tahapan penanganan REDDI adalah sebagai berikut :
a. Fase Persiapan. pada fase ini kegiatan difokuskan pada penyiapan basis negosiasi di COP-
13 dan penyiapan desain serta kriteria pemilihan lokasi sebagai pilot sites. Studi
komprehensif yang mencakup aspek metodologi dan strategi serta kajian aspek pasar dan
insentif, dilakukan selama bulan Juli-November 2007. Pembiayaan didukung oleh World
Bank, UK-DFID, Jerman, dan Australia. Hasil studi akan dipresentasikan pada side events
di COP. Diharapkan pada COP-13 sudah dapat diumumkan lokasi potensial untuk pilot
activities berdasarkan kriteria yang dibangun dalam studi di atas, serta calon lokasi pilot
activities yang telah mendapat komitmen dukungan pendanaannya.
b. Fase transisi, pada tahap transisi, pelaksanaan pilot activities, dimaksudkan sebagai sarana
learning by doing process, termasuk di dalamnya testing metodologi dan strategi yang
dihasilkan dari studi sebelumnya, termasuk mekanisme insentif. Pilot activities dapat
berupa pengurangan emisi dari deforestasi, pengurangan emisi dari degradasi, dan
konservasi.
c. Fase implementasi, mulai tahun 2012 atau lebih awal tergantung perkembangan dalam
negosiasi COP, yang merupakan pelaksanaan mekanisme REDDI dengan modalities, rules,
dan prosedur sesuai keputusan COP
4. Mengadakan Pertemuan informal di Bogor yang dihadiri 36 negara. Dari pertemuan itu
disepakati akan diusulkannya Bali Roadmap sebagai arah menuju perundingan pasca 2012.
Bali Roadmap memuat empat blok penyusun penting bagi kerja sama jangka panjang di bidang
mitigasi, adaptasi, teknologi, investasi dan pendanaan. Pihak NGO menghendaki adanya
mandate yang lebih tegas dan mengikat, dengan target pemotongan emisi sampai 50 % dan
perspektif keadilan, bukan perdagangan.

BALI ROADMAP SEBAGAI HASIL DARI COP KE-13

Setelah tertunda sekitar 28 jam, konferensi United Nations Framework Convention on


Climate Change (UNFCCC) PBB di Bali akhirnya selesai pada tanggal 15 Desember 2007.
Deadlock dipicu perbedaan pendapat negara-negara berkembang dengan Amerika didukung
Jepang dan Canada. Walaupun negara-negara berkembang dan Uni Eropa telah sepakat, Amerika
dan dua sekutu bertahan menolak draft Bali Roadmap. Ketiga negara tersebut tidak setuju jika
pada dokumen hasil UNFCCC Bali dicantumkan target negara maju (Annex 1) menurunkan emisi
karbon sebesar 25-40 persen di bawah level 1999 pada 2020. Sidang akhirnya menyepakati Bali
Roadmap atau Peta Jalan Bali yang berisi sebagai berikut :

1. Adaptasi
Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk membiayai proyek adaptasi di negara-
negara berkembang melalui metode clean development mechanism (CDM). CDM ialah salah
satu dari ketiga metode pengurangan emisi CO2 yang ditetapkan dalam Kyoto Protocol.
Proyek ini dilaksanakan oleh Global Environment Facility (GEF). Kesepakatan ini
memastikan adanya dana adaptasi pada tahap awal periode komitmen pertama Kyoto Protocol
(2008-2012). Dana yang tersedia berjumlah sekitar 37 juta euro dan mengingat banyaknya
jumlah proyek CDM, angka ini akan bertambah menjadi sekitar US$ 80-300 juta dalam
periode 2008-2012. Beberapa negara peserta konferensi belum menyepakati pelaksanaan
proyek adaptasi ini dikarenakan sulitnya regulasi dan penyatuan kebijakan nasional. Isu
tersebut akan diagendakan untuk dibahas selanjutnya di Bonn (Jerman) pada tahun 2008.
2. Teknologi
Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk memulai program strategis untuk
memfasilitasi teknologi mitigasi dan adaptasi yang dibutuhkan negara-negara berkembang.
Tujuan program ini adalah untuk memberikan contoh proyek yang konkrit, menciptakan
lingkungan investasi yang menarik, dan juga termasuk memberikan insentif untuk sektor
swasta untuk melakukan alih teknologi. Global Environment Facility (GEF) akan menyusun
program ini bersama dengan lembaga keuangan internasional dan perwakilan-perwakilan dari
sektor keuangan swasta. Negara-negara peserta konferensi juga bersepakat untuk
memperpanjang mandat Expert Group on Technology Transfer selama 5 tahun. Grup ini
diminta memberikan perhatian khusus pada kesenjangan dan hambatan pada penggunaan dan
pengaksesan lembaga-lembaga keuangan.
3. Reducing emissions from deforestation in developing countries (REDD)
Emisi karbon yang disebabkan karena deforestasi hutan merupakan isu utama di Bali. Negara-
negara peserta konferensi bersepakat untuk menyusun sebuah program REDD dan
menurunkan hingga tahapan metodologi. REDD akan memfokuskan diri kepada penilaian
perubahan cakupan hutan dan kaitannya dengan emisi gas rumah kaca, metode pengurangan
emisi dari deforestasi, dan perkiraan jumlah pengurangan emisi dari deforestasi. Deforestasi
dianggap sebagai komponen penting dalam perubahan iklim sampai 2012.
4. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk mengakui Fourth Assessment Report of
the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sebagai assessment yang paling
komprehensif dan otoritatif.
5. Clean Development Mechanisms (CDM)
Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk menggandakan batas ukuran proyek
penghutanan kembali menjadi 16 kiloton CO2 per tahun. Peningkatan ini akan
mengembangkan angka dan jangkauan wilayah negara CDM ke negara yang sebelumnya tak
bisa ikut mengimplementasikan mekanisme pengurangan emisi CO2 ini.
6. Negara Miskin
Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk memperpanjang mandat Least Developed
Countries (LDCs) Expert Group. Grup ini akan menyediakan saran kritis bagi negara miskin
dalam menentukan kebutuhan adaptasi. Hal tersebut didasari fakta bahwa negara-negara
miskin memiliki kapasitas adaptasi yang rendah.
PEMBAHASAN
Bali Roadmap atau Peta Jalan Bali adalah sebuah langkah awal menuju perundingan
selanjutnya, yang akan dilaksanakan di Copenhagen, Norwegia tahun 2009. Karena,
pendeklarasian Bali Roadmap adalah sebuah langkah maksimal dan penting dalam upaya untuk
menghasilkan kesepakatan baru pasca berakhirnya Protokol Kyoto pada tahun 2012. Menurut
Kompas (15 Desember 2007), Bali Roadap mengandung pilar sebagai berikut :

1. Respons atas temuan keempat Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) bahwa
keterlambatan pengurangan emisi akan menghambat peluang mencapai tingkat stabilisasi
emisi yang rendah, serta meningkatkan resiko lebih sering terjadinya dampak buruk perubahan
iklim.
2. Pengakuan bahwa pengurangan emisi yang lebih besar secara global diharuskan untuk
mencapai tujuan utama.
3. Keputusan untuk meluncurkan proses yang menyeluruh, yang memungkinkan
dilaksanakannya keputusan Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim
(UNFCCC) secara efektif dan berkelanjutan.
4. Penegasan kewajiban negara-negara maju melaksanakan komitmen dalam hal mitigasi secara
terukur, dilaporkan dan bisa diverifikasi, termasuk pengurangan emisi yang terkuantifikasi.
5. Penegasan kesediaan sukarela negara berkembang mengurangi emisi secara terukur,
dilaporkan, dan bisa diverifikasi, dalam konteks pembangunan berkelanjutan, didukung
teknologi, dana, dan peningkatan kapasitas.
6. Penguatan kerja sama di bidang adaptasi atas perubahan iklim, pengembangan dan alih
teknologi untuk mendukung mitigasi dan adaptasi.
7. Memperkuat sumber-sumber dana dan investasi untuk mendukung tindakan mitigasi, adaptasi
dan alih teknologi terkait perubahan iklim
Hasil Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang dirangkum dalam Peta
Jalan Bali (Bali Roadmap) tidak memuaskan kalangan ilmuwan dan aktifis lingkungan pada
beberapa hal seperti :
1. Peta Jalan Bali atau Bali Road Map yang disepakati disesalkan sejumlah kalangan. Penyesalan
mereka didasarkan atas tak tercantumnya target pengurangan emisi sebesar 25 % - 40 % hingga
2020, padahal menurut para ilmuwan dan aktifis lingkungan, persoalan itu justru yang paling
esensial untuk mengurangi pemanasan global karena untuk menjaga kenaikan suhu bumi tetap
berada di bawah 2 derajat celcius maka harus mereduksi emisi sebesar 25 % - 40 % hingga
2020. Komprominya, Bali Roadmap hanya menegaskan kewajiban negara-negara maju
melaksanakan komitmen dalam hal mitigasi secara terukur, dilaporkan dan bisa diverifikasi;
termasuk pengurangan emisi yang terkuantifikasi.
2. Departemen Kehutanan RI meluncurkan Reducing Emission from Deforestation and Forest
Degradation (REDD). REDD diharapkan merupakan sebuah skema reduksi emisi karbon dari
penggundulan dan kerusakan hutan di negara berkembang. Proposal ini terganjal oleh sikap
AS dan negara maju yang mendesakkan agar insentif dalam REDD dimasukkan dalam konteks
penggunaan lahan (land use) (Republika, 13/12). Menurut Walhi, konsep REDD lebih terkesan
sebagai upaya mengalihkan inti masalah perubahan iklim menjadi konsesi bagi negara-negara
maju tetap menghasilkan emisi yang masif. Negara maju berpopulasi 15% dari total populasi
global, tetapi emisi karbon yang mereka timbulkan adalah 70% dan menimbulkan apa yang
sekarang disebut dengan perubahan iklim. (Okezone, 6/12/2007).
3. Adanya program Clean Development Mechanism (CDM) yang digagas pada UNFCCC
Montreal, Desember 2005. Dengan mekanisme CDM ini, industri di negara berkembang dapat
menjual upaya pengurangan emisinya kepada negara maju. Artinya, negara-negara maju bisa
berlepas tangan tatkala sudah memberikan bantuan sejumlah dana kepada negara-negara
berkembang dalam mempertahankan dan memperbaiki hutannya untuk menjaga
keseimbangan lingkungan dan penyerap dari emisi karbon. Yang kemudian menjadi
kekhawatiran sejumlah kalangan bahwa CDM melegalkan perdagangan karbon. Termasuk
menurut Ketua ICOP-13, Rahmat Witular : Saya sangat menyadari, perubahan iklim telah
berbelok menjadi persoalan bisnis, (Republika, 3/12/2007).
4. Pendanaan adaptasi diserahkan kepada lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia
dan ADB dalam membiayai proyek yang terkait dengan penurunan emisi di negara
berkembang, baik yang terkait dengan CDM atau kehutanan. Sebagaimana diketahui Amerika
Serikat (AS) adalah pemegang saham mayoritas di Bank Dunia, sementara Jepang adalah
pemegang saham yang mayoritas di ADB. Maka indikasinya adalah bahwa hasil UNFCCC ini
akan tersandera oleh kepentingan negara maju.
5. Transfer teknologi dan REDD yang jika tidak dikawal dengan kebijaksanaan nasional akan
menindas hak masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan.
KEUNTUNGAN BALI ROADMAP BAGI INDONESIA
Konferensi Bali memang tidak menegosiasikan sasaran-sasaran bilateral. Karena,
bagaimanapun dari Bali Roadmap, ada sebuah kerangka untuk melakukan pembangunan
berkelanjutan, untuk terus mengurangi kemiskinan, pengangguran, kelestarian hutan, dan lain-lain.
Masalah REDD atau pengurangan emisi dari penggundulan dan kerusakan hutan, mendapat tempat
yang bagus. Norwegia telah memberikan komitmen bantuan kepada Indonesia dalam kerangka
REDD ini. Dalam kerangka REDD ini, Inggris siap membantu Indonesia mengucurkan dana
sekitar 30 juta dolar AS melalui Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). Inggris telah
memberikan 500 ribu dolar AS unuk mendukung Indonesia Forest Climate Alliance. Capaian lain,
Australia menyatakan komitmennya melakukan kerjasama reboisasi dengan Indonesia. Indonesia
selaku pemilik 40 persen cadangan panas bumi dunia juga melakukan penandatanganan kerjasama
program pengembangan panas bumi (geothermal).

PENUTUP
United Nations Climate Change Conference 2007 yang dilaksanakan di Denpasar pada
tanggal 3-14 Desember 2007 lalu. Konferensi yang berlangsung selama dua minggu ini menandai
langkah maju untuk memperlambat pemanasan global yang disebabkan karena perilaku manusia,
terutama penggunaan bahan bakar minyak yang berasal dari fosil. Konferensi tersebut telah
menghasilkan sejumlah keputusan dan yang paling utama di antaranya adalah Bali Roadmap yang
merupakan peta jalan menuju kerangka pengaturan baru perubahan iklim pasca Protokol Kyoto,
dimana ditujukan untuk pembicaraan lebih lanjut guna menghasilkan kesepakatan baru, yang akan
digelar di Copenhagen pada tahun 2009. "Bali Roadmap adalah sebuah jalan untuk semua negara
yang telah menyepakati untuk dapat menjalankan tugasnya dalam penyelamatan planet bumi ini,
dengan langkah-langkah mengurangi emisi CO2," kata Presiden COP-13 ; Rachmat Witoelar
(Antara News, 16/12/07).

Anda mungkin juga menyukai