Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau penyakit refluks
gastroesophageal (PRGE) merupakan gejala dan atau kerusakan mukosa esofagus
(esofagitis) akibat refluks abnormal isi lambung ke dalam esofagus. Refluks dapat
terjadi dalam keadaan normal yang biasanya berhubungan dengan kondisi
tertentu, seperti posisi berbaring setelah makan, pada saat muntah. Bila terjadi
refluks, esofagus akan segera berkontraksi untuk membersihkan lumen dari
refluksat tersebut sehingga tidak terjadi suatu kontak yang lama antara refluksat
dan mukosa esofagus.1,2
Penyakit ini frekuensinya cukup tinggi di negara maju. Di Indonesia
sendiri kasus GERD ini belum ada data epidemiologinya, namun kasus Penyakit
ini seringkali tidak terdiagnosis sebelum menimbulkan keluhan yang berat. 3,4
Penyebab GERD pada populasi ras kulit putih lebih tinggi dibanding
dengan ras yang lainnya dan dari segi geografis dijumpai bervariasi antar negara
dan benua, di benua Afrika dan Asia prevalensinya sangat rendah sedangkan di
Amerika utara dan Eropa rasionya tinggi. Peluang pada pria dan wanita yaitu
dengan rasio laki-laki dan wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:15,6
Di Amerika serikat, dijumpai simptom heart burn pada individu dewasa
muda terjadi 14% setiap minggunya, sedangkan di Jepang dan Philipina adalah
7,2% dan 7,1%. Di negara barat sekitar 20-40% setiap individu pernah mengalami
simptom heart burn yang berkembang menjadi: esofagitis 25-25%, 12% jadi
Barrets esofagus dan 46% adenokarsinoma. Sedangkan laporan kekerapan di
Indonesia sampai saat ini masih rendah, hal ini diduga karena kurangnya perhatian
kita terhadap penyakit ini pada tahap awal proses diagnosis.5,6

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Gastroesofageal refluks disease (GERD ) adalah suatu keadaan patologis
sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan
berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan
saluran nafas.4,7
Refluks gastroesofageal adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada
setiap orang sewaktu-waktu, pada orang normal refluks ini terjadi pada posisi
tegak sewaktu habis makan, karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh
adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang mengalir ke esofagus
segera kembali ke lambung, refluks sejenak ini tidak merusak mukosa
esofagus dan tidak menimbulkan keluhan. Keadaan ini dikatakan patologis
bila refluks terjadi berulang-ulang dan dalam waktu yang lama. 8
2.2. Epidemiologi
Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negaranegara barat,
namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara Asia - Afrika. Di
amerika di laporkan satu dari lima orang dewasa mengalami gejala heartburn
atau regurgutasi sekali dalam seminggu serta lebih dari 40 % mengalaminya
sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di amerika sekitar 7%, sementara
negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di
Korea). Sementara di Indonesia belum ada data epidemiologinya mengenai
penyakit ini, namun di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus
esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan
endoskopi atas indikasi dyspepsia.4
GERD dapat diderita oleh laki-laki dan perempuan. Rasio laki-laki dan
wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:1(4). GERD pada negara
berkembang sangat dipengaruhi oleh usia, usia dewasa antara 60-70 tahun
merupakan usia yang seringkali mengalami GERD. 4,9

2
2.3. Anatomi dan Fisiologi
2.3.1 Faring
Faring atau pharynx berasal dari bahasa yunani yang berarti
tenggorok. Faring digunakan sebagai saluran alat pernafasan. Pada
manusia faring juga digunakan sebagai alat artikulasi bunyi. Berdasarkan
letaknya faring dibagi menjadi Nasofaring, Orofaring dan Laringofaring.
Fungsi faring yang utama adalah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara dan artikulasi. Dan yang bagian faring yang digunakan
saat menelan adalah orofaring dan laringofaring.

Gambar 2.1. Anatomi Faring13


2.3.2 Esophagus
Esofagus atau kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada
vertebrata yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke
dalam lambung. Makanan berjalan melalui esofagus dengan menggunakan
proses peristaltik.
Esofagus bertemu dengan faring yang menghubungkan esofagus
dengan rongga mulut pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi,
esofagus dibagi menjadi tiga bagian: bagian superior (sebagian besar
adalah otot rangka), bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus),
serta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).

3
Esofagus merupakan suatu organ berongga dengan panajang
sekitar 25 cm dan diameter 2 cm. Terbentang dari hipofaring atao
laringofaring hingga bagian kardia dari lambung. Esofagus terletak
posterior dari trakea dan jantung, anterior terhadap vertebrae. Esofagus
terutama befungsi menghantarkan bahan makanan dari faring ke lambung.

Gambar 2.2. Anatomi Esofagus


Pada Esofagus terdapat beberapa tempat penyempitan yang dapat
dilihat pada saat dilakukan esofagoskopi. Penyempitan di bagian
proksimal disebabkan oleh otot krikofaring dan kartilago krikoid.
Diameter transversal 23 milimeter dan antero-posterior 17 milimeter.3
Penyempitan kedua adalah pada sebelah kiri setinggi arkus aorta
yang mentilang esofagus. Didaerah ini dapat terlihat pulsasi aorta saat di
lakukan esofagoskopi. Penyempitan ketiga adalah pada dinding anterior
kiri yang disebabkan oleh penekanan bronkus kiri. Dan penyempitan
keempat adalah pada saat esofagus menembus diafragma.3

4
Pada kedua ujung esofagus terdapat sfingter. Dalam keadaan
normal berada dalam keadaan tonik atau kontraksi kecuali pada saat
menelan. SEB (Sfingter esofagus bawah) berfungsi sebagai sawar terhadap
refluks isi lambung ke esofagus. Dalam keadaan normal SEB menutup
kecuali bila makanan masuk ke dalam lambung atau waktu bersendawa
atau muntah.
Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan, mukosa, submukosa,
muskularis dan lapisan luar. Mukosa esofagus terbentuk dari epitel
berlapis gepeng bertingkat yang berlanjut ke faring, epitel ini mengalami
perubahan pada perbatasan esofagus dan lambung dan menjadi epitel
selapis toraks. Mukosa esofagus dalam keadaan normal bersifat alkalis dan
tidak tahan terhadap isi lambung yang asam. Lapisan submukosa
mengandung sel sekretorius yang mengandung mukus. Mukus ini
mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan dan melindungi
mukosa dari cedera kimia.
Lapisan otot luar tersusun longitudinal dan lapisan dalam tersusun
sirkular. Otot pada 5 % bagian atas esofagus merupakan otot rangka
sedangkan pada separuh bagian bawahnya merupakan otot polos. Dan
diantaranya campuran otot polos dan otot rangka. Bagian luar esofagus
tidak memiliki lapisan serosa, melainkan terdiri dari lapisan jaringan ikat
jarang yang menghubungkan esofagus dengan struktur yang berdekatan.
Tidak adanya serosa menyebabkan penyebaran sel tumor lebih cepat.
Persyarafan esofagus dilakukan oleh saraf simpatis dan
parasimpatis. Serabut simpatis dibawa oleh n.vagus yang merupakan saraf
motorik esofagus. Fungsi serabut simpatis kurang diketahui. Selain
persarafn ekstrinsik tersebut, terdapat serabut saraf intramural intrinsik
diantara lapisan otot sirkular dan otot longitudinal (pleksus auerbach) yang
berfungsi sebagai mengatur peristaltik normal esofagus.
Bagian atas esofagus diperdarahi oleh cabang A. tiroidea inferior
dan A. subklavia. Bagian tengah dipendarahai oleh cabang segmental aorta
dan A. Bronchiale, sedangkan bagian subdiafragma disuplai oleh A.

5
Gastrica sinistra. Vena esofagus daerah leher mengalirkan darah ke v.
azygos dan hemiazygos dan dibawah diafragma V. esofagika ke dalam V.
gastrika sinistra.
2.3.3 Menelan
Terdapat tiga fase dalam menelan yaitu fase oral, fase faringeal,
dan fase esofageal. Pada fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke
faring. Gerakan disini disengaja atau volunter. Fase faringeal yaitu pada
waktu transport bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak
disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltik di
esofagus menuju lambung atau fase esofageal.

Gambar 2.3. Proses Menelan13


Fase Oral
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan
bercampur dengan yang telah dikunyah membentuk bolus makanan. Bolus

6
ini bergerak dari rongga mulut melalui dorsum lidah, terletak di tengah
lidah akibat kontraksi otot intrinsik lidah.7
Kontraksi dari m.levator veli palatini mengakibatkan rongga pada
lekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole terangkat dan bagian atas
dinding posterior faring ternagkat pula. Bolus terdorong ke posterior
karena lidah terangkat keatas. Berasamaan dengan ini terjadi
penutupannasofaring sebagai akibat dari kontraksi m.levator veli palatini.
Selanjutnya terjadi kontraksi m.palatofaring, sehingga bolus makanan
tidak akan berbalik ke rongga mulut.
Fase Faringeal
Fase ini terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpidahan
bolus makanan dari faring ke esofagus.
Faring dan laring bergerak keatas oleh kontraksi m.stilofaring,
m.salfingofaring, m.tirohioid, dan m.palatofaring. Aditus laring tertutup
oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika,
plika ventrikularis dan pika vokalis tertutup karena kontraksi dari
m.ariepiglotika dan m.aritenoid obliquus. Bersamaan dengan ini terjadi
juga penghentian udara ke laring karena refleks yang menghambat
pernapasan, sehingga bolus makanan tidak akan sampai masuk ke dalam
saluran nafas. Selanjutnya bolus makanan akan meluncur ke arah eofagus,
karena valekula dan sinus piriformis sudah dalam keadaan lurus.7
Fase Esofageal
Dalam keadaan istirahat introitus esofagus tertutup, namun dengan
adanya rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi
relaksasi m.krikofaring, sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus
makanan bisa masuk.7
Setelah bolus lewat, maka SEA akan berkontraksi lebih kuat
melebihi tonus introitus esofagus saat istirtahat, sehingga makanan tidak
akan kembali ke faring. Dengan demikian refluks dapat dihindari.7
Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhi
oleh kontraksi m.konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal.

7
Selanjutnya bolus makanan akan didorong ke distal oleh peristaltik
esofagus.7
Dalam keadaan istirahat sfingter esofagus bagian bawah selalu
tertutup dengan tekanan rata2 8 mmHg lebih dri tekanan dalam lambung
sehingga tidak akan terjadi regurgitasi. Pada akhir fase esofageal, SEB ini
akan terbuka secara refleks ketika dimulainya peristaltik esofagus servikal
untuk mendorong makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus makanan
lewat, maka sfingter ini akan menutup kembali.7
2.4. Etiologi
Refluks gastroesofageal terjadi sebagai konsekuensi berbagai kelainan
fisiologi dan anatomi yang berperan dalam mekanisme antirefluks di lambung
dan esofagus. Mekanisme patofisiologis meliputi relaksasi transien dan tonus
Lower Esophageal Sphincter (LES) yang menurun, gangguan clearance
esofagus, resistensi mukosa yang menurun dan jenis reluksat dari lambung
dan duodenum, baik asam lambung maupun bahan-bahan agresif lain seperti
pepsin, tripsin, dan cairan empedu serta faktor-faktor pengosongan lambung.
Asam lambung merupakan salah satu faktor utama etiologi penyakit refluks
esofageal, kontak asam lambung yang lama dapat mengakibatkan kematian
sel, nekrosis, dan kerusakan mukosa pada pasien GERD.
Ada 4 faktor penting yang memegang peran untuk terjadinya GERD 5:
1. Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier)
Kontraksi tonus Lower Esofageal Sphincter (LES) memegang
peranan penting untuk mencegah terjadinya GERD, tekanan LES < 6
mmHg hampir selalu disertai GERD yang cukup berarti, namun refluks
bisa saja terjadi pada tekanan LES yang normal, ini dinamakan
inappropriate atau transient sphincter relaxation, yaitu pengendoran
sfingter yang terjadi di luar proses menelan. Akhir-akhir ini dikemukakan
bahwa radang kardia oleh infeksi kuman Helicobacter pylori
mempengaruhi faal LES denagn akibat memperberat keadaan.Faktor
hormonal, makanan berlemak, juga menyebabkan turunnya tonus LES.5

8
2. Mekanisme pembersihan esofagus
Pada keadaan normal bersih diri esofagus terdiri dari 4 macam
mekanisme, yaitu gaya gravitasi, peristaltik, salivasi dan pembentukan
bikarbonat intrinsik oleh esofagus. Proses membersihkan esofagus dari
asam (esophageal acid clearance) ini sesungguhnya berlangsung dalam 2
tahap. Mula-mula peristaltik esofagus primer yang timbul pada waktu
menelan dengan cepat mengosongkan isi esofagus, kemudian air liur yang
alkalis dan dibentuk sebanyak 0,5 mL/menit serta bikarbonat yang
dibentuk oleh mukosa esofagus sendiri, menetralisasi asam yang masih
tersisa. Sebagian besar asam yang masuk esofagus akan turun kembali ke
lambung oleh karena gaya gravitasi dan peristaltik. Refluks yang terjadi
pada malam hari waktu tidur paling merugikan oleh karena dalam posisi
tidur gaya gravitasi tidak membantu, salivasi dan proses menelan boleh
dikatakan terhenti dan oleh karena itu peristaltik primer dan saliva tidak
berfungsi untuk proses pembersihan asam di esofagus. Selanjutnya
kehadiran hernia hiatal juga menggangu proses pembersihan tersebut.5
3. Daya perusak bahan refluks
Asam pepsin dan mungkin juga empedu yang ada dalam cairan
refluks mempunyai daya perusak terhadap mukosa esofagus. Beberapa
jenis makanan tertentu seperti air jeruk nipis, tomat dan kopi menambah
keluhan pada pasien GERD.5
4. Isi lambung dan pengosongannya
Reluks gastroesofagus lebih sering terjadi sewaktu habis makan
dari pada keadaan puasa, oleh karena isi lambung merupakan faktor
penentu terjadinya refluks. Lebih banyak isi lambung lebih sering terjadi
refluks. Selanjutnya pengosongan lambung yang lamban akan menambah
kemungkinan refluks tadi.5

9
Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis
dapat terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila1:
1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat
dengan mukosa esofagus
2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun
waktu kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak lama.
2.5. Patofisiologi
Penyakit GERD bersifat multifactorial.3,4 GERD dapat merupakan
gangguan fungsional (90%) dan gangguan struktural (10%).7 Gangguan
fungsional lebih pada disfungsi SEB dan gangguan struktural pada kerusakan
mukosa esophagus.7 Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari GERD apabila
terjadi kontak yang cukup lama dengan bahan yang refluksat dengan mukosa
esofagus. Selain itu juga akibat dari resistensi yang menurun pada jaringan
mukosa esofagus walaupun kontak dengan refluksat tidak terlalu lama.4 Selain
itu penurunan tekanan otot sfingter esofagus bawah oleh karena coklat, obat-
obatan, kehamilan dan alkohol juga ditengarai sebagai penyebab terjadinya
refluks.3
Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang
dihasilkan oleh kontraksi Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal,
pemisah ini akan dipertahankan, kecuali pada saat terjadinya aliran antergrard
(menelan) atau retrogard (muntah atau sendawa).4
Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau
atoni sfingter esofagus bawah.3,4 Beberapa keadaan seperti obesitas dan
pengosongan lambung yang terlambat dapat menyebabkan hipotoni pada
sfingter esofagus bawah.3 Tonus SEB dikatakan rendah bila berada pada < 3
mmHg.4 Sedangkan pada orang normal 25-35 mmHg.7
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya,
dan hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter
esofagus bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan
tekanan intraabdominal atau sebab lainnya sehingga terbentuk rongga diantara
esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam

10
esofagus. Jika isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter
esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus
dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter
esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi
lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring.3
Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme.4
1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,
2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah
menelan,
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks
menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor
ofensif dari bahan refluksat.4 Yang termasuk faktor defensif dari refluks
adalah:
Pemisah antirefluks.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari SEB.
Meurunnya tonus SEB dapat menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada
saat terjadi peningkatan tekanan intraabdomen.4
Sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki tonus SEB yang
normal. Yang dapat menurunkan tonus SEB antara lain :3,4
1. Adanya hiatus hernia
2. Panjang SEB. Semakin pendek semakin rendah tonusnya.
3. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan
lain-lain.
4. Kehamilan. Karena terjadi peningkatan progesteron yang dapat
menurunkan tonus SEB
5. Makanan berlemak dan alkohol.
Dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak
bahwa pada kasus GERD dengan tonus normal pada SEB lebih banyak
disebabkan oleh terjadinya transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi
SEB yang bersifat spontan dan berlangsung kurang lebih 5 detik tanpa

11
didahului proses menelan. Belum jelas diketahui bagaimana mekanisme
terjadinya TLESR. Tetapi pada beberapa individu diketahui adanya kaitan
dengan keterlambatan pengosongan lambung dan dilatasi lambung.3,4

Gambar 2.4. Hiatus hernia


Peranan Hiatus hernia pada patogenesis GERD masih kontroversi,
karena banyak pasien GERD yang pada endoskopik didapatkan hiatus hernia
tidak menampakan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat
memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus
serta menurunkan tonus SEB.4
Bersihan asam dari lumen esofagus
Faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah
gravitasi, peristaltik, eksresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks,
sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan
peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir
oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus4
Mekanisme bersihan asam ini sangat penting sebab, semakin lama
waktu bersihan maka semakin lama kontak mukosa lambung dengan refluksat,
dan makin besar pula kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian
pasien GERD memiliki waktu transit refluksat yang normal, sehingga
penyebab terjadinya refluks adalah peristaltik esofagus yang minimal4

12
Refluks pada malam hari lebih berpotensi meimbulkan kerusakan pada
esofagus, karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus
tidak aktif4
Ketahanan Epitelial Esofagus.
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan
mukus untuk melindungi mukosa esofagus4
Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari4 :
1. Membran sel
2. Intraseluler junction yang membatasi difusi H+ ke jaringan esofagus.
3. Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat,
serta mengeluarkan ion H+ dan CO2
4. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+
dan Cl- intrasel dengan Na+ dan bikarbonat ekstrasel.
Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui epitel
esofagus. Sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel
terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya
rusak refluksat. Kandungan lambung yang juga ikut berpengaruh dalam
kerusakan mukosa gaster (menambah daya rusak refluksat) antar lain HCl,
pepsin, garam empedu, enzim pancreas.4
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang
dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada Ph
< 2, atau adanya pepsin dan garam empedu. Namun efek asam menjadi yang
paling memiliki daya rusak tinggi.4
Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah
kelainan lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain
: dialatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan lambatnya pengosongan
lambung. Sedangkan peranan Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD
relatif kecil dan tidak banyak didukung oleh data yang. 4
Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi penyebab
GERD. Pada kondisi pengosongan lambung yang lambat, maka isi dari
lambungpun juga banyak. Hal ini berakibat meningkatnya tekanan intragaster.

13
Tekanan intragaster yang meningkat ini akan berlawanan dengan kerja dari
SEB. Pada keadaan ini, biasanya SEB akan kalah oleh tekanan intragaster dan
terjadilah refluks.9

Gambar 2.5. Epitel Esofagus pada keadaan GERD


Peran Sfingter Atas Esofagus
SEA merupakan pertahanan akhir untuk mencegah refluksat masuk ke
larinofaring. Studi menyatakan bahwa tonus SEA yang meninggi sebagai
reaksi terhadap refluksat menimbulkan distensi pada esofagus. Relaksasi pada
SEA menyebabkan terjadinya pajanan asam ke faring atau laring.10
Patofisiologi Refluks Ekstraesofagus(7)
Dua mekanisme dianggap sebagai penyebab Refluks ekstraesofagus.
Mekanisme tersebut antara lain.
1. Kontak langsung refluksat (asam lambung dan pepsin) ke esofagus
proximal dan SEA yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring,
laring dan paru.

14
2. Pajanan esofagus distal akan merangsang vagal refleks yang
menyebabakan spasme bonkus, batuk, sering meludah dan
menyebabkan inflamasi pada faring dan laring.
2.6. Manifestasi Klinik
Heart burn merupakan gejala khas dari GERD yang paling sering
dikeluhkan oleh penderita 5,11 Heart burn adalah sensasi nyeri esofagus yang
sifatnya panas membakar atau mengiris dan umumnya timbul dibelakang
bawah ujung sternum. Penjalarannya umunya keatas hingga kerahang bawah
dan ke epigastrium, punggung belakang bahkan kelengan kiri yang
menyerupai pada angina pektoris. Timbulnya keluhan ini akibat ransangan
kemoreseptor pada mukosa. Rasa terbakar tersebut disertai dengan sendawa,
mulut terasa masam dan pahit dan merasa cepat kenyang. Keluhan heart burn
dapat diperburuk oleh posisi membungkuk kedepan berbaring terlentang dan
berbaring setelah makan. Keadaan ini dapat ditanggulangi terutama dengan
pemberian antasida.7
Refluks yang sangat kuat dapat memunculkan regurgitasi yang berupa
bahan yang terkandung dari esofagus dan lambung yang sampai kerongga
mulut. Bahan regurgitasi yang terasa asam atau sengit dimulut merupakan
gambaran sudah terjadinya GERD yang berat dan dihubungkan dengan
inkompetensi sfingter bagian atas dan LES. Regurgitasi dapat mengakibatkan
aspirasi laringeal, batuk yang terus-menerus, keadaan tercekik waktu bangun
dari tidur dan aspirasi pneumoni. Peningkatan tekanan intraabdomal yang
timbul karena posisi membungkuk, cekukan dan bergerak cepat dapat
memprovokasi terjadinya regurgitasi.7
Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala-gejala berupa
serangan tercekik, batuk kering, mengi, suara serak,mulut rasa bauk pada pagi
hari, sesak nafas, karies gigi dan aspirasi hidung. Beberapa pasien mengeluh
sering terbangun dari tidur karena rasa tercekik, batuk yang kuat tapi jarang
menghasilkan sputum.6
Disfagia (kesulitan dalam menelan) yaitu suatu gangguan transport aktip
bahan yang dimakan, merupakan keluhan utama yang dijumpai pada penyakit

15
faring dan esofagus. Disfagia dapat terjadi pada gangguan non esofagus yang
merupakan akibat dari penyakit otot dan neurologis. Disfagia esofagus
mungkin dapat bersifat obstruktif atau motorik. Obstruksi disebabkan oleh
striktur esofagus, tumor intrinsik atau ekstrinsik esofagus yang mengakibatkan
penyempitan lumen. Penyebab gangguan motorik pada disfagia berupa
gangguan motilitas dari esofagus atau akibat disfungsi sfingter bagian atas dan
bawah. Gangguan motorik yang sering menimbulkan disfagia adalah akalasia,
skleroderma dan spasme esofagus yang difus.5,6
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik
seperti laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma3.
Manifestasi non esofagus pada GERD dapat disimpulkan antara lain gangguan
pada Paru (Astma, pneumonia aspirasi), Suara (Laringitis), Telinga (Otitis
media), Gigi (Enamel decay).6 Di lain pihak, penyakit paru juga dapat memicu
timbulnya GERD oleh karena penatalaksanaan berupa obat yang dapat
menurunkan tonus SEB. Misalnya theofilin.
2.7. Diagnosis
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa
pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
GERD, yaitu :
Endoskopi saluran cerna bagian atas
Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD
dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).
Dengan endoskopik dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa
esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat
menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan muscosal break pada pasien
GERD dengan gejala yang khas, keadaan ini disebut non erosive reflux
disease (NERD).7
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang
dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi, dapat mengonfirmasi bahwa
gejala heartburn atau regurgutasi memang karena GERD.

16
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barretts
esophagus, displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung
perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsi pada NERD.4
Ada beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan
endoskopi pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan Savary-
Miller.
a. Klasifikasi Los Angeles4
Derajat kerusakan Endoskopi
A Erosi kecil pada mukosa esofagus dengan diameter <5
mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter
>5mm tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai atau
mengelilingi seuruh lumen
D Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial/
mengelilingi seluruh lumen esofagus.

b. Klasifikasi Savary-Miller12
GRADE Deskripsi endoskopi
I Erosi sebagian dari satu lipatan mukosa esofagus
II Erosi sebagian dari beberapa lipatan mukosa esofagus.
Erosi dapat bergabung
III Erosi meluas pada sirkumferesnsia esofageal
IV Ulkus, striktura dan pemendekan esofagus
V Barretts ephitelium

Esofagografi dengan Barium


Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan
seringkali tidak menunjukan kelainan terutama pada kasus esofagitis ringan.
Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan
dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau penyempitan lumen. Pada beberapa

17
kasus, pemeriksaan memiliki nilai lebih dari endoskopi, misal pada stenosis
esofagus dan hiatus henia.2,4
Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus
distal dapat memastika ada tidaknya refluks gastroesofageal. ph dibawah 4
pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk refluks
gastroesofageal.3,4
Tes Bernstein
Tes ini ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang
transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M
dalam waktu kurang dari satu jam. Tes ini bersifat pelengkap dari pemantauan
ph 24 jam pada pasien dengan gejala yang tidka khas. Tes ini dianggap positif
bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada pada pasien, sedangkan larutan
NaCl tidak menimbulkan nyeri. Hasil negatif tidak menutup kemungkinan
adanya gangguan pada esofagus4.
Pemeriksaan manometri
Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan gejala
nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium
dan endoskopi yang normal.3,4
Scintigrafi Gastroesofageal
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan
menggunakan cairan atau makanan yang dilabel dengan radioisotop (biasanya
technetium) dan bersifat non invasif. Selanjutnya sebuah penghitung gamma
eksternal akan memonitor transit dari cairan atau makanan yang dilabel
tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan.3,4
Tes supresi asam
Pada dasarnya tes ini merupakan terapi empiris untuk menilai gejala dari
GERD. Dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil
melihat respon yang terjadi. Tes ini terutama dilakukan jika modalitas lainya

18
seperti endoskopi dan ph metri tidak tersedia. Tes ini dianggap positif jika
terdapat perbaikan dari 50&-75% gejala yang terjadi. Dewasa ini tes ini
merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana
GERD Pada pelayanan kesehatan lini pertama pada pasien yang tidak
memiliki alarm symptom (BB turun, anemia, hematemesis, melena, disfagia,
odinofagia, riwayat keluarga dengan keganasan esofagus atau lambung dan
umur diatas 40 tahun.4
Diagnosis Refluks Ekstraesofagus
Diagnosis REE dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis terarah mengenai
riwayat penyakit GERD, pemeriksaan fisik, pemeriksaan hipofaring, laring
dan tes diagnosis. Memonitor ph 24 jam dengan double/trople probe pada
esofagus bagian atas (minimal 1 probe). Pemeriksaan laringoskopi fleksible
fiberoptik, videolaringoskopi, video stroboskopi dan laringoskopi kaku
merupakan pemeriksaan yang sensitif terhadap refluks ekstraesofagus.4
2.8.Diagnosis Banding
Achalasia
Akalasia (Kardiospasme, Esophageal aperistaltis, Megaesofagus)
adalah suatu kelainan yang berhubungan dengan saraf, yang tidak
diketahui penyebabnya.
Gastritis (radang lapisan lambung)
Gastritis adalah peradangan pada lapisan lambung.
Kanker esophagus
Pada kanker kerongkongan adalah squamous sel carcinoma dan
adenocarcinoma, yang terjadi di dalam sel yang melewati dinding pada
kerongkongan. Kanker ini bisa terjadi dimana saja di dalam kerongkongan
dan bisa terlihat sebagai penyempitan pada kerongkongan (penyempitan),
sebuah pembengkakan, daerah flat yang tidak normal (plaque), atau
jaringan yang tidak normal (fistula).
Ulkus Peptikum
Ulkus Peptikum adalah luka berbentuk bulat atau oval yang terjadi
karena lapisan lambung atau usus dua belas jari (duodenum) telah

19
termakan oleh asam lambung dan getah pencernaan. Ulkus yang dangkal
disebut erosi.
Esophagitis
Esophagitis terutama disebabkan oleh GERD. Tetapi dapat pula
disebabkan oleh infeksi, efek obat, terapi radiasi, penyakit sistemik, dan
trauma
2.9.Komplikasi
Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat terjadi
pada GERD. Komplikasi yang kerap terjadi pada GERD antara lain
Esofagitis, Striktura esofagus dan esofagus Barret7,9.
Esofagitis
Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih
dari 50% pasien GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah
perbatasan antara lambung dan esophagus.9
Striktura Esofagus
Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat
refluks.9 Hal ini ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada
gastroesophageal junction. Striktur timbul pada 10-15% pasien esofagitis
yang bermanifestasi sulit menelan atau disfagia pada makanan padat.
Seringkali keluhan heartburn berkurang oleh karena striktura berperan
sebagai barier refluks. Biasanya striktur terjadi dengan diameter kurang
dari 13 mm. Komplikasi ini dapat diatasi dengan dilakukan dilatasi
bougie, bila gagal dapat dilakukan operasi.7
Barretts Esophagus
Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti
menjadi epitel kolumnar metaplastik.9 Keadaan ini merupakan prekursor
Adenokarsinoma esophagus.11 Esofagus Barrett ini terjadi pada 10%
pasien GERD dan adenokarsinoma timbul pada 10% pasien dengan
esofagus Barrett.

20
Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD yaitu heartburn dan
regurgutasi. Pada 1/3 kasus, gejala GERD tidak tampak atau minimal, hal
ini diduga karena sensitivitas epitel Barrett terhadap asam yang menurun.
Pada endoskopi kelainan ini dapat dikenaldengan mudah dengan
tampaknya segmen yang panjang dari epitel kolumnar yang berwarna
kemerahan meluas ke proksimal melampaui gastroesophageal junction
dan tampak kontras sekali dengan epitel skuamosa yang pucat dan
mengkilat dari esofagus. Penyakit ini dapat ditatalaksana dengan
medikamentosa.7
2.10. Tatalaksana
Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu terapi
modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan serta
akhir-akhir ini mulai dipekenalkan terapi endoskopik.3,4,5
Target penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi
esofagus, menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan, memperbaiki
kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.4,5.
Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu penatalaksanaan
GERD,namun demikian bukan merupakan pengobatan primer(3). Usaha ini
bertujuan untuk mengurangi refluks serta mencegah kekambuhan.4,5
Hal yang perlu dilakukann dalam modifikasi gaya hidup antara
lain3,4,5:
1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur dan menghindari makan
sebelum tidur, dengan tujuan meningkatkan bersihan asam lambung
selama tidur serta mencegah refluks asam lambung ke esofagus.
2. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol karena berpengaruh pada
tonus SEB.
3. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di
makan karena dapat menimbulkan distensi lambung.
4. Menurunkan berat badan dan menghindari memakai pakaian ketat
untuk mengurangi tekanan intrabdomen.

21
5. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, tehm kopi dan
minuman soda karena dapat merangsang aam lambung.
6. Jika memugkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat meningkatkan
menurunkan tonus SEB, antara lain antikolinergik, tefilin, diazepam,
antagonis kalsium, progesteron.
Modifikasi gaya hidup merupakan penatalaksanaan lini pertama bagi
wanita hamil dengan GERD.5
Terapi Medikamentosa
Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step
down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat yang kurang
kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan
prokinetik. Bila gagal baru diberikan yang lebih kuat menekan sekresi asam
dengan masa terapi lebih lama yaitu penghambat pompa proton. Sedangkan
untuk pendekatan step down diberikan tatalaksana berupa PPI terlebih dahulu,
setelah terjadi perbaikan,baru diberi obat dengan kerja yang kurang kuat
dalam menekan sekresi asam lambung, yaitu antagonis H2 atau prokinetik
atau bahkan antasid.
Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa pendekatan step down lebih
ekonomis dibandingkan dengan step up. Menurut Genval statement ((1999)
dan konsensus asia pasifik tahun 2003 tentang tatalaksana GERD, disepakati
bahwa terapi dengan PPI sebagai terapi lini pertama dan digunakan
pendekatan step down. 3,4,5
Antasid
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun
1971, dan masih dinilai efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan
esofagitis3,4,5. Selain sebagai penekan asam lambung, obat ini dapat
memperkuat tekanan SEB.4,5
Kelemahan obat golongan ini adalah. Rasanya kurang enak. Dapat
menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi
terutama antasid yang mengandung aluminium, Selain itu penggunaannya

22
sangat terbatas untuk pasien dengan ganghuan fungsi ginjal. Dosis sehari 4x1
sendok makan.
Antagonis Reseptor H2
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. Yang termasuk obat
golongan ini adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai
penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit
refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk
terapi ulkus(2,3). Pengguanaan obat ini dinilai efektif bagi keadaan yang berat,
misalnya dengan barretts esophagus.5
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan
sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg.4
Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan
GERD karena penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan
motilitas. Namun praktiknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada
penekanan sekresi asam.4 Obat ini berfungsi untuk memperkuat tonus SEB
dan mempercepat pengosongan gaster.
1. Metoklopramid4
a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak
berperan dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali
dikombinasikan dengan antagonis reseptor H2 atau PPI.
b. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek
terhadap saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor,
dan diskinesia
c. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur.3

2. Domperidon4
a. Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan
metoklopramid) hanya saja obat ini tidak melewati sawar darah
otak, sehingga efek sampingnya lebih jarang.

23
b. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat
ini diketahui dapat menigkatkan tonus SEB dan percepat
pengosongan lambung.
c. Dosis 3x10-20 mg sehari
3. Cisapride4
a. Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini
dapat memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan
lambung.
b. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan
lesi lebih bagus dari domperidon.
c. Dosis 3x10 mg
Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam lambung,
melainkan berefek pada meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai
buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam
empedu. Golongan obat ini cukup aman karen bersifat topikal. Dosis 4x1
gram.3,4
Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)
Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga
dijadikan drug of choice(3,4,5). Golongan ini bekerja langsung pada pompa
proton sel parietal dengan memperngaruhi enzim H, K ATP ase yang
dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung. Pengobatan
ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi
esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat yang refrakter dengan
antagonis reseptor H2.
Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu :
- Omeprazole : 2x20 mg
- Lansoprazole: 2x30 mg
- Pantoprazole: 2x40 mg
- Rabeprazole : 2x10 mg
- Esomeprazole: 2x40 mg

24
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial)
berikutnya dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 4 bulan , tergantung
esofagitisnya. Efektivitas obat ini semakin bertambah jika dikombinasi
golongan prokinetik.
Skema 1. Algoritma tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini
pertama.

Gejala khas GERD


Umur <40 tahun
Umur >40 tahun

PPI tes/ terapi


empiris

Gejala Respon baik


menetap/berulang

Endoskopi Terapi minimal


4minggu

kekambuhan Terapi on demand

25
Skema 2. Algoritma tatalaksana GERD pada pusat pelayanan yang memiliki
fasilitas diagnostik memadai.

Terduga kasus
GERD

Tidak Diselidiki
diselidiki
Keluhan menetap

Terapi Terapi awal


empiris/Tes PPI

PPI test 1-2 minggu Esofagitis sedang dan


dosis ganda berat Gejala berulang
(sensitivitas 60-80%) Esofagitis ringan
NERD
Terapi Bedah

On demand Terapi
therapy Maintenance

Beberapa keadaan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan terapi


medikamentosa pada pasien GERD, antara lain : Diagnosa yang tidak benar,
pasien GERD sering disertai gejala lain seperti rasa kembung, cepet kenyang
dan mual-mual yang lebih lama menyembuhkan esofagitisnya. Pada kasus
Barretts esofagus kadang tidak memberikan respon terhadap terapi PPI,
begitu pula dengan adenokarsinoma dan bila terjadi striktura. Pada disfungsi
SEB juga memiliki hasil yang tidak memuaskan dengan PPI.4
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi
modifikasi gaya hidup dan medikmentosa tidak berhasil. Umumnya
pembedahan yang dilakukan adalah fundoplikasi,3,4,5

26
Fundoplikasi Nissen

Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana


penyakit GERD bila tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan medikamentosa
tidak berhasil. Pada Hiatus hernia, Fundoplikasi Nissen justru menjadi terapi
lini pertama. Teknik operasi ini dilakukan dengan laparoskopi. Tujuan dari
teknik ini adalah memperkuat esofagus bagian bawah untuk mencegah
terjadinya refluks dengan cara membungkus bagian bawah esofagus dengan
bagian lambung atas.12
Indikasi Fundoplikasi
1. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang
tidak sepenuhnya responsif terhadap terapi medis atau pada pasien
dengan terapi medis jangka panjang yang tidak menguntungkan.
2. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI,
Pada pasien ini dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada
pasien dengan penyakit yang tekontrol dengan baik juga dapat
dilakukan pertimbangan pembedahan.
3. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam
lambung meningkatkan terjadinya barrett esofagus berkembang kearah
keganasan, tetapi kebanyakan ahli menyarankan tindakan mensupresi

27
asam lambung secara lengkap untuk pencegahan pada pasien yang
terbukti secara histologis menderita esofagus barret.
Terapi Endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam penelitian, akhir-
akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD,
yaitu, penggunaan energi radiofrekuensi, plikasi gastrik endoluminal,
implantasi endoskopik dengan menyuntikan zat implan di bawah mukosa
esofagus bagian distal sehingga lumennya menjadi lebih kecil.4
Endoskopi bukan merupakan pemeriksaan rutin sebagai pemeriksaan awal
pasien suspek PRGE dengan manifestasi otolaringologi dan bukan prasyarat
untuk terapi medic.10
2.11. Pencegahan
Beberapa peralatan kemungkinan digunakan untuk meringankan
gastroesophageal reflux. Mengangkat kepala pada tempat tidur kira-kira 6 inci
mencegah asam mengalir dari kerongkongan sebagaimana seseorang tidur.
Makanan dan obat-obatan yang menjadi penyebab harus dihindari, sama
seperti merokok. Pemberian obat bethanechol atau metoclopramide juga biasa
digunakan untuk membuat sphincter bagian bawah lebih ketat. Makanan dan
minuman yang secara kuat merangsang perut untuk menghasilkan asam atau
yang menghambat pengosongan perut harus dihindari sebaiknya.
2.12. Prognosis
Sebagian besar pasien dengan GERD akan mebaik dengan pengobatan,
walaupun relaps mungkin akan muncul setelah terapi dan memerlukan terapi
medis yang lebih lama.
Apabila kasus GERD ini disertai komplikasi (seperti striktur, aspirasi,
penyakit saluran nafas, Barrett esophagus), biasanya memerlukan terapi
pembedahan. Prognosis untuk pembedahan biasanya baik. Meskipun begitu,
mortaliti dan morbiditi adalah tinggi pada pasien pembedahan dengan masalah
medis yang kompleks.

28
BAB III
KESIMPULAN

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau yang dikenal dengan


Penyakit Refluks Gastroesofageal (PRGE) merupakan suatu keadaan dimana
terjadi gerakan retrogard atau naiknya isi lambung sampai pada esofagus secara
patologis. Keadaan berakibat kandungan lambung yang asam dapat mengiritasi
mukosa esofagus. Manifestasi klinis dari PRGE adalah rasa nyeri dada
retrosternal atau rasa panas (heartburn) di dada, regurgutasi, disfagia, mual
bahkan sampai suara serak karena mengiritasi laring, menyebabkan laringitis.
Penatalaksanaan pada kasus PRGE ini terdapat beberapa jenis yang dilakukan
bertahap yaitu modifikasi gaya hidup, medikamentosa dan terapi bedah. Pada
sebagian besar kasus PRGE pasien sembuh dengan terapi medikamentosa.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. EGC. : Jakarta


2. Susanto A, Sawitri N, Wiyono W, Yunus F, Prasetyo S. Gambaran klinis
dan endoskopi penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) pada pasien asma
persisten sedang di RS Persahabatan, Jakarta. Jurnal Respirologi. 2005
3. Asroel H. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Cited March 8 2016.
Available : http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary.pdf
4. Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Sudoyo A,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 1, Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
5. Patti, Marco G. 2010. Gastroesophageal reflux disease: From
pathophysiology to treatment. World J Gastroenterol 2010 August 14;
16(30): 3745-3749.
6. Ndraha, Suzanna. 2014. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Vol. 27, No. 1
April 2014
7. Sudoyo AW, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata M, Setiati S,
editor, Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid I, ed. IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia. h.
1803;2007
8. Lelosutan HSAR, editor, Kapita Selekta Gastroentero-Hepatologi Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : JC Institute h.1-7, 2009
9. Patti M, Kantz J,editor. Gastroesophageal Reflux Disease Treatment &
Management. June 8 2011 [cited March 7 2016]. Available:
http://emedicine.medscape.com/article/176595-treatment#aw2aab6b6b4aa
10. Iskandar N, Soepadrdi E, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Edisi keenam.
Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2007
11. Syam AF, Aulia C, Renaldi K, Simadibrata M, Abdullah M,
Tedjasaputra.2013. Revisi konsensus nasional penatalaksanaan penyakit

30
refluks gastroesofageal (Gastro-esophageal Reflux Disease/ GERD) di
Indonesia 2013. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia.
12. Gastroesophageal reflux disease : Savary Miller classification. Cited
March 7 2016. Available : http://www.gastrolab.net/pa-113.htm
13. Tortora, Gerard J Derrickson,Bryan H. (eds). Principles of Anatomy and
Physiology. 12th edition. New York: John Wiley & Sons, Inc, 2010

31

Anda mungkin juga menyukai