Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Laporan keuangan untuk tujuan umum adalah laporan keuangan yang ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan bersama sebagian besar pengguna laporan tersebut.Laporan
keuangan untuk tujuan umum termasuk laporan keuangan yang disajikan terpisah atau
yang disajikan dalam dokumen publik lainnya seperti laporan tahunan atau
prospectus.Tujuan laporan keuangan untuk tujuan umum adalah memberikan informasi
tentang posisi keuangan, kinerja dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian
besar kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan-keputusan ekonomi
serta menunjukkan pertanggungjawaban (stewardship) manajemen atas penggunaan
sumber-sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, suatu laporan keuangan biasanya
menyajikan informasi mengenai perusahaan yang meliputi aktiva, kewajiban, ekuitas,
pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian serta arus kas. Informasi tersebut
beserta informasi lainnya yang terdapat dalam catatan atas laporan keuangan membantu
pengguna laporan dalam memprediksi arus kas pada masa depan khusunya dalam hal
waktu dan kepastian yang diperoleh kas dan setara kas.
Agar hal tersebut dapat dicapai maka diperlukan suatu pengungkapan yang jelas
mengenai data akuntansi dan informasi lainnya yang relevan. Misalnya kepada siapa
informasi keuangan disajikan, apa yang perlu diungkapkan, tujuan pengungkapan dan
bagaimana informasi tersebut diungkapkan merupakan bagian penting dalam pelaporan
keuangan.
Dalam kerangka dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan yang
dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) disebutkan bahwa pemakai laporan
keuangan meliputi investor, karyawan, pemerintah serta lembaga keuangan, dan
masyarakat. Kemudian dalam pengambilan keputusan ekonomi dipengaruhi banyak faktor,
misalnya keadaan perekonomian, politik dan prospek industri.
Adapun kualitas dalam pengambilan keputusan itu dipengaruhi oleh kualitas
pengungkapan perusahaan yang diberikan melalui laporan tahunan (Annual Report) agar
informasi yang disajikan dalam laporan keuangan dapat dipahami dan tidak menimbulkan
salah interpretasi, maka penyajian laporan keuangan harus disertai dengan pengungkapan
yang cukup (Adequate disclosure).
Catatan atas laporan keuangan merupakan media untuk pengungkapan yang
diharuskan dalam standar akuntansi dan yang tidak dapat disajikan dalam neraca, laporan
laba rugi atau laporan arus kas.Sehingga keberadaan dari disclosure atau pengungkapan
dalam perusahaan sangat penting karena pada kondisi ketidakpastian pasar, nilai informasi
yang relevan dan realiable tercermin di dalamnya.
Sedangkan dalam mekanisme pasar modal, pengungkapan badan usaha merupakan
suatu cara untuk menyalurkan pertanggung jawaban perusahaan kepada para investor
untuk memudahkan alokasi sumber daya yang menunjukkan laporan tahunan (Annual
Report) berupa media yang sangat penting untuk menyampaikan Corporate Disclosure
(pengungkapan pada laporan tahunan).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan pengungkapan?
2. Bagaimana pengungkapan dalam laporan keuangan?
3. Apa yang dimaksud dengan transparansi?
4. Bagaimana transparansi pada laporan keuangan?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengungkapan
2.1.1 Pengertian Pengungkapan
Pengungkapan laporan keuangan dalam arti luas berarti penyampaian (release)
informasi.Sedangkan menurut para akuntansi memberi pengertian secara terbatas yaitu
penyampaian informasi keunagan tentang suatu perusahaan di dalam laporan keuangan
biasanya laporan tahunan.
Laporan tahunan (Annual Report) media utama penyampaian informasi oleh
manajemen kepada pihak-pihak di luar perusahaan. Laporan tahunan mengkomunikasikan
kondisi keuangan dan informasi lainnya kepada pemegang saham, kreditor, dan
stakeholders llainnya.Laporan tahunan merupakan mencakup hal-hal seperti pembahasan
dan analisis manajemen, catatan kaki dan laporan pelengkap.
Pengungkapan adalah informasi yang diberikan oleh perusahaan kepada pihak-
pihak yang berkepentingan mengenai keadaan perusahaan.Pengungkapan semua informasi
didalamnya harus diungkapkan termasuk informasi kuantitatif (seperti komponen
persediaan dalam nilai mata uang), dan komponen kualitatif (seperti tuntutan hukum).
Menurut Securities and Exchange Commission (SEC), setiap kejadian yang terjadi dengan
tiba-tiba yang dapat mempengaruhi posisi keuangan harus diungkapkan secara khusus
(GAAP,1998:42) untuk membantu para pengguna laporan tahunan.
Definisi pengungkapan (disclosure) menurut Siegel dan Shim (1994:147) adalah
pengungkapan atas informasi yang diberikan sebagai lampiran pada laporan keuangan
sebagai catatan kaki atau tambahan.Informasi ini menyediakan penjelasan yang lebih
lengkap mengenai posisi keuangan, hasil operasi, dan kebijakan perusahaan.Informasi
penjelasan mengenai kesehatan keuangan dapat juga diberikan dalam laporan
pemeriksaan.Semua materi harus disingkapkan termasuk informasi kuantitatif maupun
kualitatif yang sangat membantu pengguna laporan.
Prinsip pengungkapan penuh (full disclosure principle) atau prinsip keterbukaan
adalah menyajikan semua informasi dalam laporan keuangan yang dapat memengaruhi
pemahaman pembaca.Penafsiran atas prinsip ini sangat subyektif dan berpotensi
menyebabkan terlalu banyak informasi yang disajikan.Oleh karena itu, prinsip materialitas
digunakan agar hanya mengungkapkan informasi tentang peristiwa yang mungkin
berdampak material terhadap posisi atau hasil keuangan entitas.
Kata disclosure memiliki arti tidak menutupi atau tidak menyembunyikan (Ghozali
dan Chariri, 2007). Bila dikaitkan dengan pengungkapan informasi, disclosure
mengandung pengertian bahwa pengungkapan informasi tersebut harus memberikan
penjelasan yang cukup dan bisa mewakili keadaan yang sebenarnya dalam perusahaan.
Dengan demikian, informasi harus lengkap, jelas, akurat, dan dapat dipercaya dengan
mencitrakan kondisi yang sedang dialami perusahaan, baik informasi keuangan maupun
non-keuangan, sehingga tidak ada pihak yang akan dirugikan.
Pengungkapan dapat mencakup hal-hal yang belum dapat dihitung secara tepat,
seperti sengketa pajak dengan Pemerintah atau litigasi dengan pihak lain. Pengungkapan
penuh juga berarti bahwa kita harus selalu melaporkan kebijakan akuntansi yang ada, serta
perubahan atas kebijakan tersebut (misalnya, perubahan metode penilaian aset atau metode
depresiasi), transaksi non-moneter yang terjadi, hubungan dengan pihak afiliasi bisnis yang
memiliki volume transaksi signifikan, jumlah aset diagunkan, jumlah kerugian material
yang disebabkan oleh biaya yang lebih rendah dari nilai pasar, uraian tentang kewajiban
penghentian pengoperasian aset, fakta dan keadaan yang menyebabkan penurunan
goodwill, dan lain-lain.
2.1.2 Ruang Lingkup Pengungkapan
Berdasarkan PP Nomor 71 tahun 2010, pengungkapan laporan keuangan yang
disusun pemerintah di Indonesia menggunakan prinsip pengungkapan lengkap, dimana
laporan keuangan harus menyajikan secara lengkap informasi yang dibutuhkan oleh
pengguna laporan keuangan. Informasi yang dibutuhkan oleh pengguna laporan keuangan
tersebut dapat ditempatkan pada lembar muka (on the face) laporan keuangan atau pada
Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK).
Ada dua jenis pengungkapan dalam hubungannya dengan persyaratan yang
ditetapkan oleh standar dan regulasi, yaitu :
1) Pengungkapan wajib (mandatory disclosure)
Menurut Murni (2004:193), pengungkapan wajib (mandatory disclosure) adalah
pengungkapan yang diharuskan dalam laporan tahunan menurut peraturan Bapepam.
Pengungkapan Wajib merupakan pengungkapan minimum yang disyaratkan oleh
peraturan yang berlaku.Peraturan tentang standar pengungkapan informasi bagi
perusahaan yang telah melakukan penawaran umum dan perusahaan publik yaitu
Peraturan No.VIII.G.7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan dan Peraturan
No.VIII.G.2 tentang Laporan Tahunan.Peraturan tersebut diperkuat dengan Keputusan
Ketua Bapepam No.Kep-17/PM/1995, yang selanjutnya diubah melalui Keputusan
Ketua Bapepem No.Kep-38/PM/1996 yang berlaku bagi semua perusahaan yang telah
melakukan penawaran umum dan perusahaan publik.Peraturan tersebut diperbaharui
dengan Surat Edaran Ketua Bapepam No.SE-02/PM/2002 yang mengatur tentang
penyajian dan pengungkapan laporan keuangan emiten atau perusahaan publik untuk
setiap jenis industri.
2) Pengungkapan sukarela (voluntary disclosure)
Pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) adalah pengungkapan yang tidak
diwajibkan oleh Bapepam, dengan kata lain pengungkapan yang melebihi dari yang
diwajibkan.Menurut Alan Levinsohn (2001), pengungkapan sukarela (voluntary
disclosure) dibagi mejadi 5 kategori, yaitu :
a. Data bisnis, meliputi operasi operasi dan pengukuran kinerja level atas.
b. Analisis manajemen mengenai data bisnis, meliputi alasan-alasan perubahan pada
operasi perubahan serta mencantumkan data yang terkait serta dampak trend bisnis
pada perusahaan.
c. Forward looking information, meliputi peluang, resiko dan termasuk rencana-
rencana manajemen.
d. Informasi mengenai manajemen dan shareholders, meliputi informasi mengenai
direktur, manajemen, dan pemegang saham.
e. Latar belakang perusahaan, meliputi tujuan perusahaan dan ruang lingkup
perusahaan.
Salah satu cara meningkatkan kredibilitas perusahaan adalah melalui
pengungkapan sukarela secara lebih luas untuk membantu investor dalam memahami
strategi bisnis manajemen. Pengungkapan Sukarela merupakan pengungkapan butir-
butir yang dilakukan secara sukarela oleh perusahaan tanpa diharuskan oleh peraturan
yang berlaku.Sedangkan dari sumber PSAK dapat disimpulkan bahwa informasi lain
atau informasi tambahan (telaahan keuangan yang menjelaskan karakteristik utama
yang mempengaruhi kinerja perusahaan, posisi keuangan perusahaan, kondisi
ketidakpastian, laporan mengenai lingkungan hidup, laporan nilai tambah) adalah
merupakan pengungkapan yang dianjurkan (tidak diharuskan) dan diperlukan dalam
rangka memberikan penyajian yang wajar dan relevan dengan kebutuhan pemakai.

Luas pengungkapan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, dipengaruhi


oleh perkembangan ekonomi, sosial budaya suatu negara, teknologi informasi,
kepemilikan perusahaan dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga yang
berwenang. Ada tiga konsep pengungkapan yang umumnya diusulkan, yaitu:
1) Adequate disclosure (pengungkapan cukup), yaitu pengungkapan yang disyaratkan oleh
peraturan yang berlaku, dimana angka angka yang disajikan dapat diinterpretasikan
dengan benar oleh investor.
2) Fair disclosure (pengungkapan wajar), pengungkapan wajar secara tidak langsung
merupakan tujuan etisagar memberikan perlakuan yang sama kepada semua pemakai
laporandengan menyediakan informasi yang layak terhadap pembaca potensial.
3) Full disclosure (pengungkapan penuh), pengungkapan penuh menyangkut kelengkapan
penyajian informasiyang digunakan secara relevan.Pengungkapan penuh memiliki
kesanpenyajian informasi secara melimpah sehingga beberapa pihakmenganggapnya
tidak baik.
Menurut PSAK nomor 1 Ayat 74, informasi mengenai manajemen dan
shareholders yang meliputi susunan nama anggota direksi dan komisaris merupakan
mandatory disclosure (pengungakapan wajib). Begitu pula halnya dengan latar belakang
perusahaan yang meliputi tujuan perusahaan dan bidang usaha utama perusahaan (ruang
lingkup) merupakan mandatory disclosure (pengungkapan wajib).
Apabila sebuah perusahaan memberikan pengungkapan wajib (mandatory
disclosure) dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) secara sekaligus, berarti
perusahaan tersebut memberikan pengungkapan secara penuh (full disclosure).
Pengungkapan penuh (full disclosure) harus mengungkapkan:
1) Prinsip pengungkapan penuh, yaitu peningkatan persyaratan pelaporan dan
pengungkapan diferensial.
2) Catatan atas laporan keuangan, mengenai kebijakan akuntansi dan catatan- catatan
umum.
3) Masalah pengungkapan, yang terdiri dari pengungkapan transaksi atau peristiwa khusus,
peristiwa selain tanggal neraca, perusahaan yang terdiversifikasi, dan laporan intern.
4) Laporan auditor dan manajemen.
5) Masalah pelaporan masa berjalan, yaitu pelaporan tentang penjualan dan proyeksi,
pelaporan keuangan melalui internet untuk pilihan akuntansi dan pelaporan.
Special commite on financial reporting (AICPA), mengindikasikan bahwa para
pemakai mempunyai kebutuhan informasi yang berbeda, dan tidak semua perusahaan
harus melaporkan seluruh unsur informasi. Untuk itu untuk memenuhi kebutuhan pemakai
yang berubah-ubah, pelaporan harus:
1) Menyediakan informasi yang lebih mengacu kemasa depan tentang perencanaan,
peluang atau kesempatan, resiko dan ketidakpastian.
2) Memusatkan perhatian pada factor -faktor yang menciptakan nilai yang bersifat jangka
panjang, termasuk ukuran nonkeuangan yang menunjukkan bagaimana proses bisnis
kunci berjalan.
3) Menyesuaikan dengan lebih baik antara informasi yang dilaporkan untuk pihak
eksternal dengan informasi yang dilaporkan secara internal.

2.2 Transparansi
2.2.1 Pengertian Transparansi
Krina (2003:13) mendefinisikan transparansi sebagai prinsip yang menjamin akses
atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan
pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaanya
serta hasil-hasil yang dicapai. Transparansi adalah adanya kebijakan terbuka bagi
pengawasan.Sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah informasi mengenai
setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau publik.
Prinsip ini memiliki 2 aspek, yaitu komunikasi publik oleh pemerintah, dan hak
masyarakat terhadap akses informasi. Keduanya akan sangat sulit dilakukan jika
pemerintah tidak menangani dengan baik kinerjanya. Manajemen kinerja yang baik adalah
titik awal dari transparansi.Komunikasi publik menuntut usaha afirmatif dari pemerintah
untuk membuka dan mendiseminasi informasi maupun aktivitasnya yang relevan.
Transparansi harus seimbang, juga, dengan kebutuhan akan kerahasiaan lembaga maupun
informasi-informasi yang mempengaruhi hak privasi individu. Karena pemerintahan
menghasilkan data dalam jumlah besar, maka dibutuhkan petugas informasi professional,
bukan untuk membuat dalih atas keputusan pemerintah, tetapi untuk menyebarluaskan
keputusan keputusan yang penting kepada masyarakat serta menjelaskan alasan dari
setiap kebijakan tersebut.
Peran media juga sangat penting bagi transparansi pemerintah, baik sebagai sebuah
kesempatan untuk berkomunikasi pada publik maupun menjelaskan berbagai informasi
yang relevan juga sebagai watchdog atas berbagai aksi pemerintah dan perilaku
menyimpang dari para aparat birokrasi. Jelas, media tidak akan dapat melakukan tugas ini
tanpa adanya kebebasan pers, bebas dari intervensi pemerintah maupun pengaruh
kepentingan bisnis. Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan persaingan
politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat berdasarkan preferensi publik.
Menurut Mardiasmo (2004:30), transparansi berarti keterbukaan (opennsess)
pemerintah dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan
seumber daya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi. Menurut Hari
Sabarno (2007:38) transparansi merupakan salah satu aspek mendasar bagi terwujudnya
penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Perwujudan tata pemerintahan yang baik
mensyaratkan adanya keterbukaan, keterlibatan, dan kemudahan akses bagi masyarakat
terhadap proses penyelenggaraan pemerintah. Keterbukaan dan kemudahan informasi
penyelenggaran pemerintahan memberikan pengaruh untuk mewujudkan berbagai
indikator lainnya.
Makna dari transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dilihat
dalam dua hal yaitu Salah satu wujud pertanggung jawaban pemerintah kepada rakyat, dan
Upaya peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik
dan mengurangi kesempatan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Agus Dwiyanto (2006:80) mendefinisikan transparansi sebagai penyediaan
informasi tentang pemerintahan bagi publik dan dijaminnya kemudahan di dalam
memperoleh informasi-informasi yang akurat dan memadai.Dari pengertian tersebut
dijelaskan bahwa transparansi tidak hanya sekedar menyediakan informasi tentang
penyelenggaraan pemerintahan, namun harus disertai dengan kemudahan bagi masyarakat
untuk memperoleh informasi tersebut.
Agus Dwiyanto mengungkapkan tiga indikator yang dapat digunakan untuk
mengukur tingkat transparansi penyelenggaraan pemerintahan.
a. Pertama, mengukur tingkat keterbukaan proses penyelenggaraan pelayanan publik.
Persyaratan, biaya, waktu dan prosedur yang ditempuh harus dipublikasikan secara
terbuka dan mudah diketahui oleh yang membutuhkan serta berusaha menjelaskan
alasannya.
b. Indikator kedua merujuk pada seberapa mudah peraturan dan prosedur pelayanan dapat
dipahami oleh pengguna dan stakeholders yang lain. Aturan dan prosedur tersebut
bersifat simple, straightforward and easy to apply (sederhana, langsung dan mudah
diterapkan) untuk mengurangi perbedaan dalam interpretasi.
c. Indikator ketiga merupakan kemudahan memperoleh informasi mengenai berbagai
aspek penyelenggaraan pelayanan publik.Informasi tersebut bebas didapat dan siap
tersedia (freely dan readily available).
Dengan melihat uraian di atas, prinsip transparansi pada pemerintahan paling tidak
dapat diukur melalui sejumlah indikator sebagai berikut:
1) Adanya sistem keterbukaan dan standarisasi yang jelas dan mudah dipahami dari semua
proses-proses penyelenggaraan pemerintahan.
2) Adanya mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang proses-
proses dalam penyelenggaraan pemerintahan.
3) Adanya mekanisme pelaporan maupun penyebaran informasi penyimpangan tindakan
aparat publik di dalam kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.
4) Keterbukaan pemerintah atas berbagai aspek pelayanan publik, pada akhirnya akan
membuat pemerintah menjadi bertanggung gugat kepada semua stakeholders yang
berkepentingan dengan proses maupun kegiatan dalam sektor publik.
2.3 Kasus Insider Trading yang Pernah dialami PT Gas Negara Tbk
2.3.1 Profil Perusahaan
PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN) merupakan sebuah perusahaan yang
menjadi penyedia utama gas bumi dan memiliki dua bidang usaha yaitu distribusi atau penjualan
gas bumi dan transmisi atau transportasi gas bumi yang melalui jaringan pipa yang tersebar di
seluruh wilayah usaha. Usaha distribusi meliputi pembelian gas bumi dari pemasok dan penjualan
gas bumi melalui jaringan pipa pipa distribusi ke pelanggan rumah tangga, dan komersial.
Sedangkan usaha transmisi merupakan kegiatan pengangkutan (transportasi) gas bumi melalui
pipa transmisi dari sumber-sumber gas ke pengguna industri. Perusahaan ini dirintis sejak 1859
ketika masih bernama Firma LJN Enthoven & Co. Kemudian perusahaan tersebut diberi nama NZ
Overzeese Gasen Electriciteit Maatschapij (NZ OGEM) oleh pemerintah Belanda pada tahun
1950. Pada tahun 1958, pemerintah Indonesia mengambil alih kepemilikan perusahaan dan
mengubah namanya menjadi Penguasa Perusahaan Peralihan Listrik dan Gas (P3LG). Seiring
dengan perkembangan pemerintahan Indonesia, pada tahun 1961 status perusahaan berubah
menjadi BPU-PLN. Pada tanggal 13 Mei 1965, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19/1965,
perusahaan ditetapkan sebagai perusahaan negara dan dikenal sebagai Perusahaan Gas Negara
(PGN). Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1984, perseroan tersebut
berubah status hukumnya dari Perusahaan Negara (PN) menjadi Perusahaan Umum (Perum).
Setelah itu, status perusahaan berubah dari Perum menjadi Perseroan Terbatas yang dimiliki oleh
negara beradasarkan Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1994 dan Akta pendirian perusahaan
No. 486 tanggal 30 Mei 1996. Seiring dengan perubahan status perserosn yang berubah menjadi
perusahaan terbuka, anggaran dasar perusahaan diubah dengan Akta Notaris No. 5 tanggan 13
November 2003, yang antara lain berisi tentang perubahan struktur permodalan. Pada tanggal 5
Desember 2003, Perseroan memperoleh pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal
untuk melakukan penawaran umum saham perdana kepada masyarakat sebanyak 1.296.296.000
saham, yang terdiri dari 475.309.000 dari divestasi saham Pemerintah Republik Indonesia,
pemegang saham perseroan dan 820.987.000 saham baru. Sejak saat itu, nama resmi perseroan
diganti menjadi PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. Saham perusahaan telah tercatat di
Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya pada tanggal 15 Desember 2003 dengan kode
transaksi perdagangan PGAS.
2.3.2 Kronologi Kasus
Kasus yang dialami oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk yang berindikasi bermula pada
jatuhnya dalam penjualan saham dibursa efek. Terjadinya pada periode 12 september 2006 sampai
dengan 11 januari 2007. Terdapat indikasi terjadinya pelangaran terhadap peraturan undang-
undang pasar modal pada transaksi penjualan saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk. Semuanya
terjadi bermula dari penurunan secara signifikan harga saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk di
Bursa Efek Jakarta, yaitu dari Rp 9.650,00 (harga penutupan pada tanggal 11 januari 2006)
menjadi Rp 7.400,00 per lembar saham pada tanggal 12 januari 2007.
Dugaan adanya insider trading sangat terasa pada saat harga saham PGN anjlok pada harga
Rp 7.400,00. Jatuhnya harga saham tersebut dilihat tidak wajar, karena merujuk pada harga
sebelumnya Rp 9.650,00 berarti telah jatuh sebanyak 23,36%. Melihat dengan jatuhnya harga
saham dalam penjualan dibursa efek, patut diduga bahwa adanya kesalahan atau pun kesengajaan
dalam hal transaksi yang dilakukan oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk.
Kala itu, saham PGN merosot hingga 23,32% atau Rp 2.250 menjadi Rp 7.400
dibandingkan posisi sebelumnya di Rp 9.650. sebanyak 186,2 juta saham ditransaksikan. Dan
katagori orang dalam kasus PGN sebagaimana dimaksud di Undang-undang Pasar Modal adalah
Kementrian BUMN, sebagai pemegang saham, manajemen emiten, serta Danareksa Sekuritas,
Bahana Securitas dan Credit Suisse sebagai konsultan.
Pada masa periode 12 September 2006 sampai dengan 11 Januari 2007, yang dimana telah
terjadi penurunan dalam penjualan saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk diduga dikarenakan
adanya tindakan Insider trading yang dilakukan. Namun, pembuktian terhadap dugaan insider
trading tidaklah gampang, membutuhkan waktu yang cukup lama, karena keterbatasan teknologi
yang tertinggal kemajuannya dibandingkan pada perkembangan pasar.
Ada dugaan bahwa beberapa pelaku pasar telah mengetahui informasi penting mengenai
penundaan komersialisasi gas tersebut sebelum diumumkan secara resmi oleh manajemen PT
Perusahaan Gas Negara Tbk. Dalam arti lain, tidak semua pelaku pasar mengetahui informasi
penting tersebut. Sehingga bagi mereka yang mengetahui informasi penting tersebut, langsung
mengambil langkah yang dapat menguntungkan mereka sendiri, dengan menjual saham PGN lebih
dulu dibanding investor lainnya. Puncaknya pada tanggal 12 Januari 2007, para investor lainnya
ikut-ikutan menjual saham PGN secara besar-besaran, yang mengakibatkan jatuhnya harga saham
PGN 23,32% dari harga Rp 9.650,00 menjadi Rp 7.400,00.
Dari melihat dan memahami posisi kasus diatas, terdapat beberapa fakta-fakta hukum yang
dapat dijadikan sebagai bahan penelitian lebih lanjut, antara lain sebagai berikut :
1. Penurunan atau jatuhnya harga saham PT Perushaan Gas Negara Tbk pada saat penjualan
dibursa efek Indonesia. Pada harga Rp 9.650 (harga penutupan pada tanggal 11 januari 2006)
23,36% anjlok pada harga Rp 7.400 perlembar saham pada tanggal 12 januari 2007.
2. Adanya bukti-bukti yang menunjuk pada praktek transaksi saham perusahaan yang dilakukan
oleh pihak orang dalam perusahaan, yang terjadi pada periode 12 september 2006 sampai
dengan 11 januari 2007.
3. Adanya informasi yang tergolong sebagai informasi material dan dapat mempengaruhi harga
saham. Antaranya :
a. Penurunan harga saham PT Perusahaan Gas Negara sangat erat dengan siaran pers yang
dilakukan manajemn perusahan sehari sebelumnya tertanggal 11 jaunari 2007.
b. Pernyataan bahwa ditundanya proyek komersialisasi pemipaan gas PT Perusahaan Gas
Negara Tbk yang semula akan dilakukan pada akhir Desember 2006 tertunda menjadi Maret
2007.
c. Informasi tentang penurunan volume gas telah diketahui para pihak perusahaan sejak
tertanggal 12 September 2006 dan informasi tentang tertundanya gas in sejak tanggal 18
Desember 2006, para pihak perusahaan baru menjelaskan pada tanggal 11 januari 2007.
2.3.3 Kesimpulan
Dalam kasus ini, ada 3 hal yang dihadapi oleh PT. PGN mulai dari pelanggaran prinsip
keterbukaan hingga insider trading. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Pelanggaran prinsip disclosure terhadap keterlambatan penyampaian laporan kepada Bapepam
dan masyarakat tentang peristiwa material.
Dalam Pasal 86 ayat (2) UU No. 5 tahun 1995 tentang Pasar Modal disebutkan bahwa
perusahaan publik menyampaikan laporan kepada Bapepam dan mengumumkan kepada
masyarakat tentang peristiwa material yang dapat mempengaruhi harga efek selambat-
lambatnya pada akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah terjadinya peristiwa tersebut.
Pada kenyataannya PT. Gas Negara terlambat melaporkan fakta atas penundaan proyek
pipanisasi yang dilakukan oleh PT PGN. Dalam hal ini keterlambatan pelaporan keterbukaan
informasi sebanyak 35 hari. Mengenai informasi penurunan volume gas dan informasi
tertundanya gas ini Dikategorikan sebagai fakta material dalam Peraturan Nomor X.K.1.
Sehingga telah jelas, bahwa PT. Gas Negara melanggar pasal 86 ayat (2) UU No. 5/1995.
Peraturan Nomor X.K.1. dengan pelanggaran ini PT. PGN dikenai sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp. 35 juta .
2. Pelanggaran prinsip disclosure terhadap pemberian keterangan yang secara material tidak
benar.
Ada beberapa hal yang seringkali dilarang dalam hal keterbukaan informasi, di
antaranya sebagai berikut :
a. Memberikan informasi yang salah sama sekali.
b. Memberikan informasi yang setengah benar.
c. Memberikan informasi yang tidak lengkap.
d. Sama sekali diam terhadap fakta/informasi material.
Keempat hal ini dilarang karena oleh hukum dianggap dapat menimbulkan misleading
bagi investor dalam memberikan judgementnya untuk membeli atau tidak suatu efek. Ketentuan
ini juga diadopsi dalam pasal 93 UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal, yang menyebutkan
bahwa tiap pihak dilarang, dengan cara apa pun, memberikan keterangan yang secara material
tidak benar atau menyesatkan sehingga mempengaruhi harga Efek di Bursa Efek.
Dalam kasus ini PT. PGN yakni memberikan keterangan material tidak benar tentang
rencana volume gas yang dapat dialirkan melalui proyek SSWJ (South Sumatera-West Java) .
Fakta itu sudah diketahui atau sewajarnya diketahui oleh direksi, yang kemudian seharusnya
keterangan itu disampaikan kepada publik, namun tidak disampaikan. Sehingga jelas terjadi
bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 93 UU No. 8/1995 dan diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 15 milyar . Oleh karena itu, sudah
sepatutnya dan sewajarnya Bapepam-LK menjatuhkan sanksi administratif berupa denda
sebesar Rp. 5 miliar kepada Direksi PT PGN yang menjabat pada periode bulan Juli 2006 s.d.
Maret 2007 yaitu Sutikno, Adil Abas, Djoko Pramono, WMP Simanjuntak dan Nursubagjo
Prijono.
3. Keterlibatan fiduciary position dalam kasus insider trading transaksi efek PGAS
Dalam pasal 95 UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal menerangkan bahwa orang dalam
dari perusahaan publik yang mempunyai informasi orang dalam dilarang melakukan transaksi
atas Efek Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud.
Penjelasan pasal 95 memberi arti kepada orang dalam sebagai pihak-pihak yang
tergolong dalam:
a. Komisaris, Direktur, atau pengawas perusahaan terbuka
b. Pemegang saham utama perusahan terbuka
c. Orang yang karena kedudukannya, profesinya atau karena hubungan usahanya dengan
perusahaan terbuka memungkinkan memperoleh informasi orang dalam. Dengan kedudukan
disini dimaksudkan sebagai lembaga, institusi atau badan pemerintahan. Sementara yang
merupakan hubungan usaha adalah hubungan kerja atau kemitraan dalam kegiatan
usahanya, seperti, nasabah, pemasok, kontraktor, pelanggan, kreditur, dan lain-lain.

BAB III
KESIMPULAN
Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap
setiap informasi terkait seperti berbagai peraturan dan perundang-undangan, serta kebijakan
pemerintah dengan biaya yang minimal. Informasi sosial, ekonomi, dan politik yang andal
(reliable) dan berkala haruslah tersedia dan dapat diakses oleh publik (biasanya melalui filter
media massa yang bertanggung jawab). Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan
arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan dapat dipantau. Transparansi jelas
mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi
kebijakan publik. Sebab, penyebarluasan berbagai informasi yang selama ini aksesnya hanya
dimiliki pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada berbagai komponen masyarakat untuk
turut mengambil keputusan. Oleh karenanya, perlu dicatat bahwa informasi ini bukan sekedar
tersedia, tapi juga relevan dan bisa dipahami publik. Selain itu, transparansi ini dapat membantu
untuk mempersempit peluang korupsi di kalangan para pejabat publik dengan terlihatnya segala
proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, Vita. 2007. Pengaruh Tingkat Disclosure dan Nilai Pasar Ekuitas Terhadap Biaya
Ekuitas. Skripsi. Universitas Kristen Petra. Surabaya.

Kieso, Donald. E., Weygant, J.2005. Akuntansi Intermediate Edisi Sebelas Jilid III. Jakarta:
Erlangga.

Murni, Siti Aisah. 2004. Pengaruh Luas Pengungkapan Sukarela dan Asimetri Informasi Terhadap
Cost of Capital Pada Perusahaan Publik di Indonesia. Jurnal Riset Akuntansi di Indonesia, 7 (2).

Parnomosidi, Bambang. 2006. Praktik Pengungkapan Modal Intelektual Pada Perusahaan Publik
di BEJ. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, 9 (1).

Suwardjono, 2005.Teori Akuntansi: Pengungkapan Pelaporan Keuangan Edisi III. Yogyakarta:


BPFE.

https://bocahpinggiran.wordpress.com/2008/12/20/pelanggaran-prinsip-disclosure-dalam-insider-
trading-kasus-pt-gas-negara/

Anda mungkin juga menyukai