Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

SLE merupakan penyakit yang berhubungan dengan sistem kekebalan manusia.


SLE bermanifestasi pada rongga mulut, lesi pada rongga mulut ini menjadi tanda awal
dalam menegakkan diagnosis SLE. Jenis lesi yang umum ditemukan alam rongga mulut
adalah inflamasi lichenoid yang terbentuk dari lesi merah putih. Penyakit ini sangat
berhubungan dengan lesi pada rongga mulut.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi SLE

SLE adalah penyakit kolagen autoimun yang ditandai oleh pembentukan antibodi anti-
nuklear dan anti-DNA yang ikut berperan dalam cedera jaringan yang terjadi secara imunologik
(Langlais dan Craig, 2000). Sistemik lupus erythematous mempunyai dua bentuk utama,
sistemik dan cutaneus (discoid) (Cawson dan Odell, 2002).

Sistemik lupus erythematous merupakan gangguan autoimun yang menyerang


multisistem dengan spektrum luas meliputi hampir semua organ dan jaringan . Pada penderita
SLE sistem kekebalan yang seharusnya berfungsi sebagai pelindung tubuh mengalami
kelainan, yaitu tidak dapat membedakan antara benda asing yang harus dimusnahkan dengan
jaringan/ sel tubuh sendiri (Lelyana, 2015).

Lesi oral yang ditemukan pada lebih dari 40% penderita SLE dapat membantu
penegakkan diagnosis awal penyakit ini. Jenis lesi oral yang paling umum terjadi adalah
lichenoid inflamation dengan adanya daerah eritem, ulserasi dan striae putih(Lelyana, 2015).
Lesi dapat terbentuk dari lesi merah dan putih. Mungkin juga berbentuk small slit-seperti ulser
kecil pada gingiva margin (Cawson dan Odell, 2002).

1
2.2 Gejala dan Gambaran Klinis SLE

Gejala

SLE dapat terjadi tiba-tiba dengan disertai demam tinggi, kelelahan, penurunan berat
badan, dan nyeri sendi. Mungkin juga jinak dengan arthralgia minimal dan imun abnormal.
Seringkali diikuti limfadenopati generalisata tanpa nyeri. Juga dapat dijumpai hepatomegali,
splenomegali, neuropati perifer dan kelainan-kelainan hematologic (Bricker et al, 2002). Perlu
benar-benar menghindari pajanan sinar matahari karena panas sinar matahari dapat
membeangkitkan reaksi-reaksi akut. Keterlibatan ginjal dan jantung adalah kejadian umum dan
terbukti dapat berakibat fatal. Lesi kulit dan oral dapat menyertai SLE, tetapi hanya sedikit
kemungkinan terjadi perubahan lupus discoid ke sistemik. Penderita SLE seringkali juga
menderita penyakit-penyakit autoimun kolagen-vaskuler yang lain, seperti sindrom Sjogren dan
arthritis rheumatoid (Langlais dan Craig, 2000).

Gambaran klinis:

Sekitar 75% pasien dengan SLE mengalami letusan cutanous seperti lupus diskoid.
Perubahan warna bersisik terjadi pada daerah fotosensitif dari wajah dan kulit kepala dan
berpotensi meninggalkan jaringan parut. Nonspesifik ditemukan seperti urtikaria, purpura di
tangan dan kaki, dan alopecia terjadi dengan berbagai frekuensi. Perubahan vaskular seperti
fenomena Raynauds, eritema periungual dan telangiectasias juga dapat dilihat. Lupus
eritematous dapat melibatkan kelenjar salivar mayor dan minor karena Sjogrens syndrome
(Bricker et al, 2002).
Pada lupus eritematous ruam kupu-kupu yang paling sering mendahului keterlibatan
oral. Lesi bibir tampak merah gelap dengan putih atau abu-abu, bersisik, dan batasnya
keratotik. Matahari mengenai bibir bawah di perbatasan vermillion, sedangkan bibir atas kurang
sering terlibat, biasanya sebagai akibat dari perluasan langsung dari lesi kulit. Lesi kulit mungkin
multiple dan menyerupai lichen planus, namun keterlibatan telinga bersamaan sering
merupakan tanda-tanda diagnosis lupus (Bricker et al, 2002).
Sekitar 20-40% pasien dengan lupus eritematous memiliki lesi di rongga mulut. Lesi
intraoral biasanya difuse dan eritematous dengan ulser dan komponen putih. Lesi ulseratif
kebanyakan asimptomatik. Pemeriksaan mendalam pada lesi ini mengungkapkan adanya garis
merah dan putih paralel dalam susunan radial pada tepi. Kadang-kadang pada lesi intraoral

2
muncul plak putih terisolasi. Mukosa bukal adalah situs intraoral yang paling sering, diikuti oleh
gingiva yang melekat, lidah, dan langit-langit mulut (Bricker et al, 2002).
Lesi oral klinis muncul sekitar 20 % kasus lupus sistemik dan jarang dapat menjadi
tanda presentasi. lesi khas berwarna putih, sering striate, daerah dengan daerah atrofi tidak
teratur atau erosi dangkal, tetapi pola , terutama yang striate yang biasanya jauh lebih tajam
didefinisikan daripada di lichen planus . mereka sering dan unilateral dan mungkin di lemari besi
dari langit-langit yang lichen planus biasanya muncul (Cawson and Odell, 2002).

Gb 1. Bercak kupu-kupu lupus eritematosus Gb 2. Lesi bibir bersisik dan merah dari
lupus discoid kronis eritematosus doskoid kronis

Gb 3. Garis-garis merah dan putih radial yang Gb 4. Plak melengkung merah dan putih;
berganti-ganti; lupus eritematosus discoid kronis lupus eritematosus discoid kronis

Gb 5. Lepuh seperti lupus akibat obat setelah Gb 6. Lepuh seperti lupus akibat obat yang
pemakaian amitriptyline berulserasi di mukosa pipi

3
Gb 7. Plak-plak putih dan striae dari lepuh Gb 8. Menghentikan pemakaian lurosemide
lichenoid akibat obat setelah terapi furosemide mengakibatkan sembuh tuntasnya lepuh

lichenoid akibat obat

2.3 Diagnosis SLE

Bukti serologis tentang autoantibodi sangat penting untuk diagnosis SLE. Beberapa
metode digunakan, tetapi yang paling sering adalah dengan imunofluoresensi tidak langsung.
Pemeriksaan histologis oral menunjukkan kerusakan sel basal, penebalan membran dasar, dan
infiltrat limpositik pada jaringan ikat superfisial dan distribusi perivaskuler. Pemeriksaan
imunofluoresensi langsung menunjukkan deposit imun granular, IgG, dan IgM tipikal,
disepanjang membran dasar (uji pita lupus) (Lewis dan Jordan, 2012). Diagnosis SLE bisa juga
dengan metode biopsi.

2.4 Patogenesis SLE

Lupus eritematosus sistemik adalah gangguan ikat yang dapat mempengaruhi beberapa
sistem organ. Perkembangan lesi jaringan lupus eritematosus tampaknya berhubungan dengan
kelainan genetik ditentukan dalam peraturan kekebalan tubuh. Beberapa autoantibodi
diproduksi terhadap resiko antigen jaringan normal diakui sebagai asing. Antigen - antibodi
(kekebalan tubuh) kompleks yang disimpan dalam jaringan dan melengkapi sistem yang aktif,
yang memicu vaskulitis.

Fitur yang menonjol dari vaskulitis adalah erupsi kulit, arthritis, manifestasi neurologis
dan mengganggu sistem glomerulonefritis. meskipun penyebabnya tidak diketahui, genetik,
hormonal dan faktor lingkungan yang penting dalam perkembangan penyakit. Fitur serologi dari
lupus eritematosus sistemik seperti antibodi antinuclear (ANA) sering terdeteksi tanpa gejala

4
pada saudara kandung dan prevalensinya meningkat pada orang kembar identik. Kehadiran
orang lain autoimun kolagen - penyakit pembuluh darah sindrom dan arthritis seperti penderita
Sjogren arthritis umumnya terkait dengan lupus. Peningkatan insiden penyakit ini selama
periode stres (yaitu, infeksi, kehamilan, paparan sinar matahari dan operasi) sangat baik untuk
diperhatikan. Inseden terjadinya lupus eritematosus hanya terjadi pada 1: 80.000 orang. Lebih
sering menyerang wanita (85% pada kasus) dan rentan usianya sekitar 20 - 45 tahun (Cawson
dan Odell, 2002; Bricker et al, 2002).

2.5 Penatalaksanaan SLE

Terapi dilakukan setelah diagnosis dan pemeriksaan terhadap SLE telah dilakukan.
Tujuan awal dari pengobatan adalah mengedukasi pasien tentang informasi penyakit dan untuk
menghindari paparan sinar matahari secara langsung. Pasien juga diminta untuk nenperhatikan
tanda awal dari eksaserbasi, sehingga dapat dilakukan terapi awal untuk meningkatkan
keberhasilan terapi dan menghindari komplikasi. Istirahat yang cukup juga cukup untuk
membantu mengontrol penyakit.

Meskipun SLE tidak dapat diobati, analgesik seperti aspirin dan NSAID dapat mengatasi
demam, nyeri sendi dan rasa sakit. Obat-obat tersebut bekerja dengan menghambat sintesa
prostaglandin dan menghambat produksi faktor rheumatoid. Efek sampingnya seperti intolerasi
gastrointestinal, hepatotoksik, gangguan sentral nervus sitem dan gangguan ginjal. Ketika
NSAID sudah tidak efektif, hydroxychloroquine (obat anti malaria) dapat digunakan secara oral
untuk mengatasi nyeri mukoskeletal. Penggunaan obat tersebut dapat menyebabkan masalah
serius terhadap retina, sehingga pasien harus dimonitor oleh dokter mata.

Glomerulonephritis dan masalah kardiovaskular dari SLE adalah masalah paling sering
yang diatasi dengan penggunaan kortikosteroid. Methylprednisolone diberikan pada dosis besar
untuk beberapa waktu atau sampai respon klinis terlihat. Dosis steroid kemudian diturunkan
secara bertahap. Terapi pemeliharaan jangka panjang mungkin dapat menyebabkan banyak
efek samping. Antimetabolic alkylating agents (contoh: Methoprexate) sering digunakan pada
pasien yang tidak memberikan respon terhadap kortikosteroid atau dengan kombinasi steroid
sehingga dosis dari kortikosteroid dapat diturunkan. Topikal steroid sering digunakan untuk
masalah mukokutaneous. Tingkat keberhasilan secara manajemen farmakologi selama 10
tahun mencapai 85%.

5
Obat Dosis Aksi Efek Samping

Kortikosteroid 5 40 mg / hari Menghambat Supresi adrenal;


(Prednisone) edema; deposisi infeksi oportunistik,
fibrin, dilatasi osteoporosis,
kapiler, migrasi jerawat, hirsutism,
leukosit, deposisi katarak, hipertensi,
kolagen, penyembuhan luka
pembentukan yang lama
jaringan parut

Methotrexate 2.5 mg/ 2x sehari, Menghambat Bone marrow


3x / 1 minggu dihydrofolate supresi,
reductase gastrointestinal
toxicity,
hepatotoxicity,
dermal rash,
alopecia

Azathioprine 1 2.5 mg/kg / hari Imunosupresif Nausea, muntah-


(Imuran) muntah, rash,
alopecia, bone
marrow
suppression,
stomatitis

Dental manajemen

Terapi jangka panjang steroid dapat menyebabkan supresi adrenal, atau dapat
menyebabkan osteoporosis, katarak, hipertensi, jerawat, hirsutis, hiperglikemia, penyembuhan
luka yang lama, dan infeksi. Dokter gigi harus berhati-hati terhadap efek samping tersebut.
Antimetabolik seperti azathioprine dan alkylating agents (contoh: cyclophosphamide) dapat
menyebabkan nausea, muntah-muntah, rash, alopecia, bone marrow suppresion, stomatitis.
Ketika pasien memiliki riwayat perikarditis atau non infective endocarditis, penggunaan
antibiotik diperlukan. Konsultasi dengan dokter diperlukan untuk mendapat antibiotik profilaksis.
Pengukuran hemostatic termasuk preoperative prothrombin time, activated partial
thromboplastin time, dan bleeding time direkomendasikan untuk pasien yang mengkonsumsi
antikoagulan yang hendak melakukan hemorrhagic dental procedures (Bricker et al., 2002 ).

6
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

SLE merupakan suatu penyakit autoimun yang berkembang ketika sistem kekebalan
tubuh menyerang sel-sel tubuhnya sendiri dan jaringan, mengakibatkan peradangan dan
kerusakan jaringan. Penyakit ini bermanifestasi pada rongga mulut dan menyebabkan lesi
lichenoid. Penyakit ini tidak dapat diobati, namun dengan penggunaan analgesik, antimalaria,
dan obat-obat steroid dapat membantu meringankan rasa sakit yang dialami penderita lupus
eritematosus.

7
DAFTAR PUSTAKA

1. Bricker SL, Langlais RP, Miller CS. 2002. Oral Diagnosis, Oral Medicine and Treatment
Planning, 2nd ed. US: PMPH USA.

2. Cawson RA, Odell EW. 2002. Cawsons Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine, 8th
ed. Churchill Livingstone: Elsevier.

3. Langlais RP, Miller CS. 2000. Atlas Berwarna: Kelainan Rongga Mulut yang Lazim. Jakarta:
EGC
4. Lelyana S. 2015. Manifestasi Oral Lupus Eritematosus Sistemik. Bagian IPM FKG
Universitas Kristen Maranatha. Sonde, vol 1 no 1.
5. Lewis MAO, Jordan RCK. 2012. Oral Medicine: A Colour Handbook, 2nd ed. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai