Anda di halaman 1dari 41

TUGAS TAKE HOME

TOKSIKOLOGI PANGAN

MEKANISME RACUN MASUK DALAM TUBUH

OLEH :
YUNIARTI LISMAYASARI IMRAN (P3800215007)

PROGRAM MAGISTER ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
A. Racun

Pengertian racun
Menurut Taylor, racun adalah suatu zat yang dalam jumlah relatif kecil
(bukan minimal), yang jika masuk atau mengenai tubuh seseorang akan
menyebabkan timbulnya reaksi kimiawi (efek kimia) yang besar yang dapat
menyebabkan sakit, bahkan kematian.
Menurut Gradwohl racun adalah substansi yang tanpa kekuatan mekanis,
yang bila mengenai tubuh seorang (atau masuk), akan menyebabkan
gangguan fungsi tubuh, kerugian, bahkan kematian.
Sehingga jika dua definisi di atas digabungkan, racun adalah substansi
kimia, yang dalam jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk
atau mengenai tubuh, tanpa kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan
kekuatan daya kimianya, akan menimbulkan efek yang besar, yang dapat
menyebabkan sakit, bahkan kematian.

Jalan masuk
Racun dapat masuk ke dalam tubuh seseorang melalui beberapa cara:
1. Melalui mulut (peroral / ingesti).
2. Melalui saluran pernafasan (inhalasi)
3. Melalui suntikan (parenteral, injeksi)
4. Melalui kulit yang sehat / intak atau kulit yang sakit.
5. Melalui dubur atau vagina (perektal atau pervaginal) (Idris, 1985)

Klasifikasi racun
Racun dapat digolongkan sebagai berikut:
I. Pestisida
A. Insektisida
1. Organoklorin
a. Derivat Chlorinethane: DDT
b. Derivat Cyclodiene : Thiodane, Endrim, Dieldrine, Chlordan,
Aldrin, Heptachlor, toxapene.
c. Derivat Hexachlorcyclohexan : Lindan, myrex.
2. Organofosfat: DFP, TEPP, Parathion, Diazinon, Fenthoin, Malathion.
3. Carbamat: Carbaryl, Aldicarb, Propaxur, Mobam.
B. Herbisida
1. Chloropheoxy
2. Ikatan Dinitrophenal
3. Ikatan Karbonat: Prepham, Barbave
4. Ikatan Urea
5. Ikatan Triasine: Atrazine
6. Amide: Propanil
7. Bipyridye
C. Fungisida
1. Caplan
2. Felpet
3. Pentachlorphenal
4. Hexachlorphenal
D. Rodentisida
1. Warfarin
2. Red Squill
3. Norbomide
4. Sodium Fluoroacetate dan Fluoroacetamide
5. Aepha Naphthyl Thiourea
6. Strychnine
7. Pyriminil
8. Anorganik:
- Zinc Phosfat
- Thallium Sulfat
- Phosfor
- Barium Carbamat
- Al. Phosfat
- Arsen Trioxyde
II. Bahan Industri
III. Bahan untuk rumah tangga
IV. Bahan obat-obatan
V. Racun (tanaman dan hewan)
Berdasarkan sumber dan tempat dimana racun-racun tersebut mudah
didapat, maka racun dapat dibagi menjadi lima golongan, yaitu:
1. Racun-racun yang banyak terdapat dalam rumah tangga. Misalnya:
desinfektan, deterjen, insektisida, dan sebagainya.
2. Racun-racun yang banyak digunakan dalam lapangan pertanian,
perkebunan. Misalnya: pestisida, herbisida.
3. Racun-racun yang banyak dipakai dalam dunia
kedokteran/pengobatan. Misalnya: sedatif hipnotis, analgetika, obat
penenang, anti depresan, dsb.
4. Racun-racun yang banyak dipakai dalam industri/laboratorium.
Misalnya: asam dan basa kuat, logam berat, dsb.
5. Racun-racun yang terdapat di alam bebas. Misalnya: opium ganja,
racun singkong, racun jamur serta binatang.

Mekanisme kerja racun


1. Racun yang bekerja secara setempat (lokal)
Misalnya:
- Racun bersifat korosif: lisol, asam dan basa kuat.
- Racun bersifat iritan: arsen, HgCl2.
- Racun bersifat anastetik: kokain, asam karbol.
Racun-racun yang bekerja secara setempat ini, biasanya akan menimbulkan
sensasi nyeri yang hebat, disertai dengan peradangan, bahkan kematian
yang dapat disebabkan oleh syok akibat nyerinya tersebut atau karena
peradangan sebagai kelanjutan dari perforasi yang terjadi pada saluran
pencernaan.
2. Racun yang bekerja secara umum (sistemik)
Walaupun kerjanya secara sistemik, racun-racun dalam golongan ini
biasanya memiliki akibat / afinitas pada salah satu sistem atau organ tubuh
yang lebih besar bila dibandingkan dengan sistem atau organ tubuh lainnya.
Misalnya:
- Narkotik, barbiturate, dan alkohol terutama berpengaruh pada susunan
syaraf pusat.
- Digitalis, asam oksalat terutama berpengaruh terhadap jantung.
- Strychine terutama berpengaruh terhadap sumsum tulang belakang.
- CO, dan HCN terutama berpengaruh terhadap darah dan enzim
pernafasan.
- Cantharides dan HgCl2 terutama berpengaruh terhadap ginjal.
- Insektisida golongan hidrokarbon yang di-chlor-kan dan phosphorus
terutama berpengaruh terhadap hati.
3. Racun yang bekerja secara setempat dan secara umum
Misalnya:
- Asam oksalat
- Asam karbol
Selain menimbulkan rasa nyeri (efek lokal) juga akan menimbulkan
depresi pada susunan syaraf pusat (efek sistemik). Hal ini dimungkinkan
karena sebagian dari asam karbol tersebut akan diserap dan berpengaruh
terhadap otak (Nawawi, 1989).
- Arsen
- Garam Pb
Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja racun
1. Cara pemberian
Setiap racun baru akan menimbulkan efek yang maksimal pada tubuh
jika cara pemberiannya tepat. Misalnya jika racun-racun yang berbentuk gas
tentu akan memberikan efek maksimal bila masuknya ke dalam tubuh secara
inhalasi. Jika racun tersebut masuk ke dalam tubuh secara ingesti tentu tidak
akan menimbulkan akibat yang sama hebatnya walaupun dosis yang masuk
ke dalam tubuh sama besarnya.
Berdasarkan cara pemberian, maka umumnya racun akan paling cepat
bekerja pada tubuh jika masuk secara inhalasi, kemudian secara injeksi (i.v,
i.m, dan s.c), ingesti, absorbsi melalui mukosa, dan yang paling lambat jika
racun tersebut masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang sehat.
2. Keadaan tubuh
a. Umur
Pada umumnya anak-anak dan orang tua lebih sensitif terhadap racun
bila dibandingkan dengan orang dewasa. Tetapi pada beberapa jenis racun
seperti barbiturate dan belladonna, justru anak-anak akan lebih tahan.
b. Kesehatan
Pada orang-orang yang menderita penyakit hati atau penyakit ginjal,
biasanya akan lebih mudah keracunan bila dibandingkan dengan orang
sehat, walaupun racun yang masuk ke dalam tubuhnya belum
mencapai dosis toksis. Hal ini dapat dimengerti karena pada orang-orang
tersebut, proses detoksikasi tidak berjalan dengan baik, demikian pula halnya
dengan ekskresinya.
Pada mereka yang menderita penyakit yang disertai dengan
peningkatan suhu atau penyakit pada saluran pencernaan, maka penyerapan
racun pada umumnya jelek, sehingga jika pada penderita tersebut terjadi
kematian, kita tidak boleh terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa
kematian penderita disebabkan oleh racun.
Dan sebaliknya pula kita tidak boleh tergesa-gesa menentukan sebab
kematian seseorang karena penyakit tanpa melakukan penelitian yang teliti,
misalnya pada kasus keracunan arsen (tipe gastrointestinal) dimana disini
gejala keracunannya mirip dengan gejala gastroenteritis yang lumrah
dijumpai.
c. Kebiasaan
Faktor ini berpengaruh dalam hal besarnya dosis racun yang dapat
menimbulkan gejala-gejala keracunan atau kematian, yaitu karena terjadinya
toleransi. Tetapi perlu diingat bahwa toleransi itu tidak selamanya menetap.
Menurunnya toleransi sering terjadi misalnya pada pencandu narkotik, yang
dalam beberapa waktu tidak menggunakan narkotik lagi. Menurunnya
toleransi inilah yang dapat menerangkan mengapa pada para pencandu
tersebut bisa terjadi kematian, walaupun dosis yang digunakan sama
besarnya.
d. Hipersensitif (alergi idiosinkrasi)
Banyak preparat seperti vitamin B1, penisilin, streptomisin dan preparat-
preparat yang mengandung yodium menyebabkan kematian, karena sikorban
sangat rentan terhadap preparat-preparat tersebut. Dari segi ilmu kehakiman,
keadaan tersebut tidak boleh dilupakan, kita harus menentukan apakah
kematian korban memang benar disebabkan oleh karena hipersensitif dan
harus ditentukan pula apakah pemberian preparat-preparat mempunyai
indikasi. Ada tidaknya indikasi pemberi preparat tersebut dapat
mempengaruhi berat-ringannya hukuman yang akan dikenakan pada
pemberi preparat tersebut.
3. Racunnya sendiri
a. Dosis
Besar-kecilnya dosis racun akan menentukan berat-ringannya akibat
yang ditimbulkan. Dalam hal ini tidak boleh dilupakan akan adanya faktor
toleransi, dan intoleransi individual. Pada intoleransi, gejala keracunan akan
tampak walaupun racun yang masuk ke dalam tubuh belum mencapai level
toksik. Keadaan intoleransi tersebut dapat bersifat bawaan / kongenital atau
intoleransi yang didapat setelah seseorang menderita penyakit yang
mengakibatkan gangguan pada organ yang berfungsi melakukan
detoksifikasi dan ekskresi.
b. Konsentrasi
Untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh secara lokal misalnya
zat-zat korosif, konsentrasi lebih penting bila dibandingkan dengan dosis
total. Keadaan tersebut berbeda dengan racun yang bekerja secara sistemik,
dimana dalam hal ini dosislah yang berperan dalam menentukan berat-
ringannya akibat yang ditimbulkan oleh racun tersebut.
c. Bentuk dan kombinasi fisik
Racun yang berbentuk cair tentunya akan lebih cepat menimbulkan efek
bila dibandingkan dengan yang berbentuk padat. Seseorang yang menelan
racun dalam keadaan lambung kosong, tentu akan lebih cepat keracunan bila
dibandingkan dengan orang yang menelan racun dalam keadaan
lambungnya berisi makanan.
d. Adiksi dan sinergisme
Barbiturate, misalnya jika diberikan bersama-sama dengan alkohol,
morfin, atau CO, dapat menyebabkan kematian, walaupun dosis barbiturate
yang diberikan jauh di bawah dosis letal. Dari segi hukum kedokteran
kehakiman, kemungkinan-kemungkinan terjadinya hal seperti itu tidak boleh
dilupakan, terutama jika menghadapi kasus dimana kadar racun yang
ditemukan rendah sekali, dan dalam hal demikian harus dicari kemungkinan
adanya racun lain yang mempunyai sifat aditif (sinergitik dengan racun yang
ditemukan), sebelum kita tiba pada kesimpulan bahwa kematian korban
disebabkan karena reaksi anafilaksi yang fatal atau karena adanya
intoleransi.
e. Susunan kimia
Ada beberapa zat yang jika diberikan dalam susunan kimia tertentu
tidak akan menimbulkan gejala keracunan, tetapi bila diberikan secara
tersendiri terjadi hal yang sebaliknya.
f. Antagonisme
Kadang-kadang dijumpai kasus dimana seseorang memakan lebih dari
satu macam racun, tetapi tidak mengakibatkan apa-apa, oleh karena reaksi-
reaksi tersebut saling menetralisir satu sama lain. Dalam klinik adanya sifat
antagonis ini dimanfaatkan untuk pengobatan, misalnya nalorfin dan
kaloxone yang dipakai untuk mengatasi depresi pernafasan dan oedema
paru-paru yang terjadi pada keracunan akut obat-obatan golongan narkotik
(Idris, 1985).

Kriteria diagnosis kasus keracunan


1. Anamnesa yang menyatakan bahwa korban benar-benar kontak dengan
racun (secara injeksi, inhalasi, ingesti, absorbsi, melalui kulit atau
mukosa).
2. Pada umumnya anamnesa tidak dapat dijadikan pegangan sepenuhnya
sebagai kriteria diagnostik, misalnya pada kasus bunuh diri keluarga
korban tentunya tidak akan memberikan keterangan yang benar, bahkan
malah cenderung untuk menyembunyikannya, karena kejadian tersebut
merupakan aib bagi pihak keluarga korban.
3. Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan tanda / gejala keracunan
zat yang diduga.
4. Adanya tanda / gejala klinis biasanya hanya terdapat pada kasus yang
bersifat darurat dan pada prakteknya lebih sering kita terima kasus-kasus
tanpa disertai dengan data-data klinis tentang kemungkinan kematian
karena kematian sehingga harus dipikirkan terutama pada kasus yang
mati mendadak, non traumatik yang sebelumnya dalam keadaan sehat.
5. Secara analisa kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa
makanan / obat / zat yang masuk ke dalam tubuh korban.
6. Kita selamanya tidak boleh percaya bahwa sisa sewaktu zat yang
digunakan korban itu adalah racun (walaupun ada etiketnya) sebelum
dapat dibuktikan secara analisa kimia, kemungkinan-kemungkinan seperti
tertukar atau disembunyikannya barang bukti, atau si korban menelan
semua racun kriteria ini tentunya tidak dapat dipakai.
7. Ditemukannya kelainan-kelainan pada tubuh korban, baik secara
makroskopik atau mikroskopik yang sesuai dengan kelainan yang
diakibatkan oleh racun yang bersangkutan.
8. Bedah mayat (otopsi) mutlak harus dilakukan pada setiap kasus
keracunan, selain untuk menentukan jenis-jenis racun penyebab
kematian, juga penting untuk menyingkirkan kemungkinan lain sebagai
penyebab kematian. Otopsi menjadi lebih penting pada kasus yang telah
mendapat perawatan sebelumnya, dimana pada kasus-kasus seperti ini
kita tidak akan menemukan racun atau metabolitnya, tetapi yang dapat
ditemukan adalah kelainan-kelainan pada organ yang bersangkutan.
9. Secara analisa kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya di
dalam tubuh / jaringan / cairan tubuh korban secara sistemik.
10. Pemeriksaan toksikologi (analisa kimia) mutlak harus dilakukan. Tanpa
pemeriksaan tersebut, visum et repertum yang dibuat dapat dikatakan
tidak memiliki arti dalam hal penentuan sebab kematian. Sehubungan
dengan pemeriksaan toksikologis ini, kita tidak boleh terpaku pada dosis
letal sesuatu zat, mengingat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerja
racun. Penentuan ada tidaknya racun harus dibuktikan secara sistematik,
diagnosa kematian karena racun tidak dapat ditegakkan misalnya hanya
berdasar pada ditemukannya racun dalam lambung korban.
11. Dari kelima kriteria diagnostik dalam menentukan sebab kematian pada
kasus-kasus keracunan seperti tersebut di atas, maka kriteria keempat
dan kelima merupakan kriteria yang terpenting dan tidak boleh dilupakan.

Analitikal Toksikologi
Analitikal toksikologi merupakan pemeriksaan laboratorium yang
berfungsi untuk:
1. Analisa tentang adanya racun.
2. Analisa tentang adanya logam berat yang berbahaya.
3. Analisa tentang adanya asam sianida, fosfor dan arsen.
4. Analisa tentang adanya pestisida baik golongan organochlorin maupun
organophospat.
5. Analisa tentang adanya obat-obatan misalnya: transquilizer,
barbiturate, narkotika, ganja, dan lain sebagainya.
Analitikal toksikologi meliputi isolasi, deteksi, dan penentuan jumlah zat
yang bukan merupakan komponen normal dalam material biologis yang
didapatkan dalam otopsi. Guna toksikologi adalah menolong menentukan
sebab kematian.
Kadang-kadang material didapatkan dari pasien yang masih hidup,
misalnya darah, rambut, potongan kuku atau jaringan hasil biopsi. Hasil
toksikologi disini membantu dalam menentukan kasus-kasus yang diduga
keracunan.
Pada pengiriman material untuk analitikal toksikologi, diharapkan dokter
mengirimkan material sebanyak mungkin, dengan demikian akan
memudahkan pemeriksaan dan hasilnya akan lebih sempurna.
Jaringan tubuh masing-masing memiliki afinitas yang berbeda terhadap
racun-racun tertentu, misalnya:
Jaringan otak adalah material yang paling baik untuk pemeriksaan
racun-racun organis, baik yang mudah menguap maupun yang tidak
mudah menguap.
Hepar dan ginjal adalah material yang paling baik untuk menentukan
keracunan logam berat yang akut.
Darah dan urin adalah material yang paling baik untuk analisa zat
organik non volatile, misalnya obat sulfa, barbiturate, salisilat dan
morfin.
Darah, tulang, kuku, dan rambut merupakan material yang baik untuk
pemeriksaan keracunan logam yang bersifat kronis.
Untuk racun yang efeknya sistemik, harus dapat ditemukan dalam darah
atau organ parenkim ataupun urin. Bila hanya ditemukan dalam lambung saja
maka belum cukup untuk menentukan keracunan zat tersebut. Penemuan
racun-racun yang efeknya sistemik dalam lambung hanyalah merupakan
penuntun bagi seorang analis toksikologi untuk memeriksa darah, organ, dan
urin ke arah racun yang dijumpai dalam lambung tadi. Untuk racun-racun
yang efeknya lokal, maka penentuan dalam lambung sudah cukup untuk
dapat dibuat diagnosa.

FARMAKOKINETIKA
Absorbsi
Senyawa-senyawa arsen yang larut dalam air diabsorbsi dari semua
selaput lendir dan secara pemberian parenteral. Absorbsi senyawa arsen
yang sukar larut dalam air misalnya As2O3 yang sangat tergantung pada
kehalusan dari bagian-bagiannya (fineness of subdivision).
Dalam obat pembasmian tanaman pengganggu (herbicides),
terutama As2O3 terbagi dengan agak kasar. Walaupun senyawa arsen yang
pentavalen lebih banyak mengalami imitasi daripada senyawa yang trivalent,
namun senyawa arsen in organik yang pentavalen diabsorbsi lebih baik
daripada yang trivalent, namun karena mereka kurang bereaksi dengan isi
usus dan mukosa senyawa arsen organik yang trivalent adalah juga sedikit
diarbsorpsi dari saluran gastro intestinal, kecuali melarsopral.
Bagaimanapun juga zat-zat tersebut dihancurkan di dalam usus dan
darinya dihasilkan senyawa arsen in organik yang siap diabsorbsi senyawa
arsen yang pentavalen diabsorbsi dengan variasi yang luas carbarsone dan
melarsopral absorbsinya cukup pada pemberian peroral dalam pengobatan
penyakit infeksi yang sesuai.
Carbarsone cukup banyak yang tidak diabsorbsi sehingga efektif
untuk melawan parasit dalam usus. Triparsamide sedikit diabsorbsi dari
saluran pencernaan. Absorbsi melalui kulit merupakan fungsi dari pelarut
lipid. Secara umum senyawa arsen trivalent diabsorbsi lebih baik dari pada
yang pentavalen.
Di Amerika Serikat, masukan harian untuk senyawa arsen sangat
bervariasi, tapi rata-ratanya 1 mg perhari dan beban untuk tubuh orang
dewasa normal biasanya 14-21 mg (II-927). Pembicaraan di atas kiranya
akan menjadi lengkap bila dikaitkan dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Absorbsi melalui saluran pencernaan biasanya terjadi pada usaha bunuh diri.
Pembunuhan dan keracunan anak-anak dapat terjadi karena mereka tertarik
akan warna atau rasa enak suatu obat, sehingga menyebabkan keracunan
karena overdosis. Saluran pencernaan masih merupakan lingkungan luar
(milious externa), sehingga adanya zat-zat beracun di dalam saluran
pencernaan tidak akan mengakibatkan keracunan hanya racun-racun yang
bersifat kanotik atau korosif yang dapat merusak selaput lendir usus, yang
selanjutnya bisa terjadi perforasi, peritonitis, yang akhirnya dapat
menyebabkan kematian.
Pada umumnya zat beracun lebih mudah menyebabkan keracunan
jika diberikan pada perut kosong karena lebih cepat diabsorbsi. Juga pada
umumnya bentuk non ion akan lebih mudah diabsorbsi daripada bentuk ion,
serta ph dapat mempengaruhi difusi zat beracun melalui membran epitel
usus. Selain ph, konstante dinosiasi (p Ka) berpengaruh atas bentuk non ion
dan bentuk ion, menurut persamaan Handecson Hasselbach:
- Untuk asam: P Ka ph = log (bentuk non ion)
bentuk ion
- Untuk basa : P Ka ph = log (bentuk ion)
(bentuk non ion)
2. Absorbsi melalui kulit dipengaruhi oleh beberapa hal:
- Stratum corneum merupakan therato limiting basic sehingga bila lapisan
ini rusak atau jika integritas kulit terganggu, maka absorbsi akan
dipermudah.
- Spesies pada hewan.
- Beberapa zat kimia dapat merubah kulit sehingga lebih permeabel
terhadap zat kimia lain.
- Sifat-sifat psikokimia.
- Zat-zat yang larut dalam lipid kurang mudah diabsorbsi kulit jika
dibandingkan dengan zat-zat yang larut dalam air.
- Zat-zat kimia yang berbentuk non ion lebih mudah diabsorbsi daripada
yang berbentuk ion.
- Ph, ukuran molekul, temperatur dan vaskularisasi juga ikut menentukan.
3. Sebagian dari zat-zat beracun yang masuk melalui pernafasan terabsorbsi
melalui selaput lendir di bagian tracheo-bronchial, non pharynx dan
oropharynx serta sebagian dari zat-zat tadi tertelan dan masuk ke dalam
alat pencernaan. Partikel-partikel sebesar 5 mikrometer atau lebih tetap
berada di dalam nasopharynx (bernafas melalui mulut), dan yang
berukuran 2-5 mikron bisa sampai ke dalam bagian tracheo-bronchial,
yang kemudian oleh lendir dan silia dapat dibersihkan dengan atau tanpa
perantaraan batuk. Partikel-partikel sebesar 1 mikrometer atau kurang
dapat masuk ke alveoli dimana partikel-partikel itu dapat diabsorbsi masuk
ke dalam darah.

Distribusi
Setelah zat beracun memasuki plasma darah, baik dengan
perantaraan absorbsi maupun langsung melalui intravena, maka zat tersebut
dapat terdistribusi ke seluruh bagian tubuh. Kecepatan distribusi ditentukan
oleh banyaknya vaskularisasi, mudahnya zat itu memasuki pembuluh kapiler
dan menembus membran sel jaringan, serta adanya afinitas jaringan
terhadap zat tersebut.
Konsentrasi zat beracun ini di dalam darah setelah beberapa waktu
tertentu maka dari sini tergantung pada volume distribusinya (Vd); makin
besar Vd-nya, makin kecil konsentrasi zat beracun tersebut berada di dalam
darah (X).
Penimbunan senyawa arsen terutama di dalam hepar, ren, dinding
saluran pencernaan, limpa dan paru-paru. Dalam jumlah kecil terdapat pada
otot dan jaringan syaraf. Dan selain itu juga terdapat dalam rambut dan kuku,
dimana disini mulai terdapat 2 minggu sesudah pemberian dan dapat tinggal
sampai 1 tahun. Pada keratin banyak terdapat gugus salf hydril, demikian
juga pada jaringan tulang yang dapat menetap untuk selama-lamanya (II).

Biotransformasi (II)
Biotransformasi dari senyawa arsen hanya sedikit sekali diketahui.
Dari studi pada hewan percobaan nampak kemungkinan senyawa arsen
yang trivalent sedikit demi sedikit diubah kearah bentuk pentavalen, dan
keduanya sebagian-sebagian diubah ke arah methyl arsenator.

Ekskresi
Sebagian dari suatu dosis senyawa arsen trivalent yang diabsorbsi
akan diekskresikan secara lambat melalui urin setelah pemberian secara
parenteral yang dimulai dalam waku 2-8 jam. Namun hal ini dapat bertahan
sampai 10 hari untuk eliminasi dari arsen secara komplit setelah pemberian
dosis tunggal dan dapat sampai 20 hari pada pemberian berulang.
Ekskresi yang lambat ini merupakan dasar untuk terjadinya keracunan
arsen yang kumulatif. Arsenate dan bentuk pentavalen yang lain pada tubuh
manusia sangat cepat diekskresi, dan oleh sebab itu maka sangat kecil
kemungkinannya untuk menjadi keracunan yang bersifat kumulatif, kecuali
pemberian dengan dosis yang sangat tinggi dalam periode waktu tertentu.
Lisella dkk. (1972), telah mengkalkulasi bahwa pada pemberian arsen
pentavalen secara terus-menerus pada dosis maksimal yang diperkenankan
di dalam makanan, udara, dan air, maka akan memerlukan waktu 30 tahun
untuk terjadinya penimbunan beban toksis bagi badan.
Sejalan dengan kenyataan bahwa senyawa arsen trivalent adalah
mungkin untuk diekskresikan di dalam jaringan dan bentuk pentavalen cepat
diekskresi, maka arsenate diabsorbsi pada bagian proksimal dari tubulus
kontortus renir dan diekskresikan sebagai arsenite (Ginsbing, 1965). (II)
Senyawa arsenite dapat menembus placental barcick dan telah
ditemukan pada janin yang meninggal (sugoctal, 1969). Kira-kira 45 % dari
senyawa arsen yang dihisap ketika merokok diekskresikan melalui urin dan
kurang lebih 2,5 % melalui feses (Holland et all, 1959). Pada pemberian BAL
(dimecarpol), maka ekskresi melalui urin sangat jelas menanjak tanpa adanya
kerusakan pada alat ekskresi. Bila pemberian BAL tepat, maka akan dapat
menekan sebagian besar tanda dan gejala keracunan akut (Woody and
Kometani, 1948).
Mekanisme keracunan
Mekanisme kerja toksik yang utama dari senyawa arsen ialah dengan
menghambat kerja enzim sulfihidril. Senyawa arsen organik yang trivalent
misalnya phenyl arsen oxide lebih poten dalam hal menghambat kerja enzim
sulfihidril daripada arsenites in organik. Arsenoxide sebagai senyawa antara
yang aktif (active intermurate) tidak dapat bereaksi dengan kelompok-
kelompok kimia yang lain, kecuali sulfihidril. Consparasid arsen arsen
misalnya aesphenamine dan senyawa arsen yang pentavalen harus
dikonversi menjadi arsenoxide atau arsenit terlebih dahulu sebelum dapat
bereaksi, kecuali dikloroarsen yang dapat bereaksi langsung.
Sistem oksidasi piruvat dan sejumlah besar enzim lain adalah rawan
terhadap senyawa arsen. Peranan dari interaksi antara senyawa arsen
dengan thiocic (x liporc) acid, suatu bagian esensial dari reaksi dekarboksilasi
piruvat menjadi perhatian utama, lebih dari reaksi dengan sulfihidril dari dua
molekul yang berbeda seperti dilukiskan pada formula di atas senyawa arsen
yang dapat bereaksi dengan kedua gugus sulfihidril dari thiocic acid untuk
membentuk cincin bersegi enam, yaitu suatu cincin yang lebih stabil daripada
monocyclic thio arsenites.
Pembentukan cincin menunjukkan kemanjuran dimercaprol dalam
pengobatan keracunan arsen. Arsine (AsH3) bergabung dengan hemoglobin
dan dioksidasi menjadi campuran (compound) hemolitik dan tidak
menunjukkan aksi dengan menghambat enzim sulfihidril.

Efek lokal
Senyawa arsen baik organik maupun in organik dapat menembus epitel
dan menyebabkan nekrosis dan pengelupasan. Campuran yang larut dalam
air, daya toksis lokalnya sangat lemah; triparsamide dan senyawa organik
pentavalen yang pada umumnya diberikan secara intramuskular tidak
menyebabkan iritasi lokal. Zat ini larut dalam air dan cepat diabsorbsi.
Dermatitis kontak dan konjungtivitis yang non alergika sering terjadi di antara
para perkerja yang terpapar terhadap debu yang mengandung senyawa
arsen. Menghisap udara yang mengandung arsen secara terus-menerus
dapat menyebabkan perforasi septum nasi.

Efek sistemik
Efek pada peredaran darah
Senyawa arsen dosis kecil in organik menyebabkan vasodilatasi
ringan. Dosis besar menimbulkan efek pada sistem sirkulasi. Perlukaan dapat
terjadi pada semua anyaman kapiler, tapi yang sering terjadi di daerah
splanchnicus. Sebagai hasilnya adalah transudasi dari plasma dan
penurunan darah yang tajam, selanjutnya terjadi kerusakan arteri dan
myocard serta tekanan darah turun sampai terjadi syok.
Gambaran EKG yang abnormal tetap terjadi sampai satu bulan
sesudah penyembuhan dari intoksikasi akuta. Senyawa arsen organ trivalent
terutama mengenai kapiler, tekanan pembuluh darah (resistant vessels), dan
tentang jantung, pengaruhnya sama dengan arsen in organik.
Pada dosis terapeutik obat, efek pada sirkulasi bervariasi dengan
jarang terjadi reaksi seperti syok angioneurotik yang segera mengikuti
pemberian tryparsamide. Hal ini terjadi mengikuti pemberian senyawa arsenic
sejenis dengan sifat simpatomimetik yang secara efektif meninggikan
tekanan darah selama suatu krisis; dimana hal tersebut tidak terjadi selama
syok oleh karena senyawa arsen in organik. Krisis ini terjadi disebabkan oleh
karena flocylasi plasma protein.
Arteriosclerosis perifer (clackfoot disease0 dapat disebabkan oleh
pemasukan senyawa arsen in organic secara kronis (Heydoen, 1970).

Tractus gastrointestinal
Dosis kecil senyawa arsen in organik terutama yang trivalent
menyebabkan splanchnic hyperemia. Transudasi plasma pada kapiler
sebagai akibat pada dosis besar membentuk vesikula di bawah mukosa
gastrointestinal. Vesikula tadi akhirnya pecah, fragmen epitel terlepas, lalu
plasma tercurah ke dalam lumen, yang kemudian akan membeku.
Jaringan yang rusak dan aksi cathartic dari meningkatnya cairan
dalam lumen menyebabkan naiknya peristaltik dan keluarnya tinja yang
karateristiknya seperti air beras. Protiforens epitel yang normal ditekan, yang
menyebabkan kerusakan lebih lanjut. Segera sesudah itu feses menjadi
berdarah, muntah seringkali terjadi, dan muntahan mungkin mengandung
darah. Stomatitis mungkin juga terjadi, serangan gastrointestinal mungkin
terjadi dengan sedikit demi sedikit sehingga kemungkinan cara cuman
arsenic mungkin diabaikan.
Sindrom nausea, vomiting, diare, sakit kepala dan malaise merupakan
tipe reaksi yang sering terjadi sebagai akibat pemberian injeksi senyawa
arsen organik. Reaksi ini tidak segera terjadi, tetapi terjadi dalam waktu 4-12
jam sesudah injeksi dan berlangsung selama beberapa jam sampai hitungan
hari. Hal ini disebabkan oleh intoksikasi oleh bagian senyawa arsenic yang
aktif dari obat tersebut.
Insidensi tertinggi terjadi setelah pemberian senyawa arsen trivalent
dan paling rendah setelah pemberian senyawa arsen pentavalen; misalnya
tryparsamide. Over dosis yang sangat besar dari senyawa arsen organik
efeknya sama dengan pemberian senyawa arsen in organik.

Tractus urinarius
Aksi dari senyawa arsen pada kapiler ginjal, tubuler dan glomeruli
dapat menyebabkan kerusakan ren yang hebat. Efek pertama pada
glomeruli, pembuluh darah mengalami dilatasi sehingga memungkinkan
hilangnya protein dan kemudian terjadi pembengkakan untuk mengisi
glomerulair. Variasi tingkatan dari nekrosis tubuler dan degenerasi terjadi,
urin berkurang dan berisi protein, eritrosis dan carts.
Sejumlah carts, albuminuria ringan dan darah pada urin sedikit
meninggi, sering terjadi setelah pemberian senyawa arsen organik dengan
dosis terapeutik namun efek ini hanya bersifat sementara.
Kerusakan ginjal akut yang jarang terjadi akibat arsen organik adalah
idiosyncrasi.

Kulit
Pemberian senyawa arsen in organik dengan dosis rendah dan secara
kronis akan menyebabkan vasodilatasi kulit dan milk and corce complexion.
Penggunaan senyawa arsenic yang berkepanjangan juga menyebabkan
hiperkeratosis dan hiperpigmentasi, yag akhirnya aksi ini menuju ke arah
atrofi dan degenerasi serta mungkin juga ke arah kanker. Erupsi pada kulit
umumnya terjadi setelah pengobatan dengan senyawa arsen in organik.
Senyawa arsen trivalent yang sistemik mengganggu dengan respon
peradangan pada kulit dan dapat menyebabkan terjadinya pyoderma. Hal
tersebut juga mengganggu penyembuhan luka pada kulit dan jaringan lain.
Insidensi dermatitis pada penggunaan senyawa arsen organik
pentavalen adalah rendah dan reaksinya biasanya ringan. Luka bisa lokal
atau menyeluruh dalam distribusinya.

Sistem syaraf pusat (SSP)


Pada penggunaan secara kronis atau terpapar dengan senyawa arsen
in organik (namun jarang pada senyawa arsen organik) dapat menyebabkan
neuritis periferal. Pada kasus yang berat, sumsum tulang belakang bisa
terkena juga. Pada pemberian senyawa arsen in organik dengan dosis toksis
secara akuta, hampir 5 % akan menunjukkan depresi sentral tanpa gejala-
gejala gastrointestinal.
Dari arsen yang masih digunakan oleh manusia, tryparsamide tapi
bukan carborsone atau glico biarzol menyebabkan insidensi yang tinggi
dalah hal efek pada SSP, bila digunakan dengan dosis terapeutik. Efek ini
biasanya visual. Ensefalopati dapat ditimbulkan pada penggunaan:
- Senyawa arsen organik trivalent misalnya: melarsoprol (paling umum
sebagai rekasi toksik).
- Senyawa arsen organik pentavalen, glico biorsal pada dosis klinis (tapi
jarang).
- Overdosis carbarsone.
Gejalanya termasuk sakit kepala yang berat, konvulsi dan koma.
Gejala-gejala sebelumnya terlihat pada cairan serebro spinal jumlah sel dan
protein bertambah. Kerusakan pada otak terutama yang berasal dari
vasculair dan terjadi pada massa putih dan abu-abu, gejalanya berupa
perdarahan nekrosis dengan focus yang multipel dan simetris.
Perlu ditambahkan pada pemberian dimecaprol ialah pengobatan
sedatif, anti konvulsan dan tindakan untuk mengurangi oedem otak, yang
mana antara lain dapat dengan memberi mannitol hipertonik atau larutan
ureum.

Darah
Senyawa arsen in organik mengganggu sum-sum tulang dan
mengubah komposisi sel-sel darah. Vaskularisasi pada sumsum tulang
bertambah. Pada dosis sedang menyebabkan pengurangan eritrosit dan
pada dosis besar menyebabkan perubahan morfologis sel-sel darah dengan
tampak adanya megalocytes dan microscytes. Senyawa arsen in organik
juga menekan produksi leukosit. Beberapa efek kronis pada adarah dapat
disebabkan oleh karena terganggunya absorbsi asam folat.
Arsenite juga mengganggu syntore parpyrine (Van Togeran et all,
1965). Gangguan pada darah dan sumsum tulang yang ditimbulkan oleh
senyawa arsen in organic merupakan masalah yang benar-benar serius, tapi
untungnya jarang terjadi. Sejumlah kasus agranulasitosis disebabkan oleh
glico biornd yang mana telah dilaporkan pernah terjadi.

Hati
Senyawa arsen in organik dan sejumlah yang organik, terutama toksis
terhadap lever dan menimbulkan infiltrasi lemak, nekrosis sentralis dan
chirossis triparsamide yang dapat merusak kapur pada dosis terapeutik.
Kerusakan bisa sedang atau berat; menyebabkan acute yellow
athrophybahkan kematian. Kerusakan pada umumnya mengenai parenkim
hepar, tetapi pada beberapa kasus memberikan gambaran klinis yang
menyerupai aclusi saluran empedu secara umum yang disebabkan oleh
pericholangitis dan thrombus empron pada cabang saluran empedu yang
paling halus.

Metabolisme
Aksi toksis yang mula-mula dari senyawa arsen organik menimbulkan
oedema tersembunyi disebabkan oleh kerusakan kapiler. Pada kerusakan
arsen eliminasi nitrogen bertambah oleh karena degenerasi jaringan yang
terjadi pada banyak organ.
Percobaan untuk mendemonstrasikan aksi tonik dari senyawa arsen
pada hewan percobaan menunjukkan bahwa elemen ini tidak berguna pada
pertumbuhan dan perkembangan.

Simptomatologi
Keracunan akut:
1. Gejala biasanya timbul - 1 jam sesudah masuknya obat, tapi
mungkin terlambat sampai beberapa jam, terutama bila arsen masuk
bersama makanan.
2. Rasa manis metalik, bau bawang putih pada nafas dan feses.
3. Penyempitan pada tenggorokan dan kesukaran menelan. Rasa seperti
terbakar dan sakit kolik pada aerophagus ventriculus dan usus.
4. Muntah dan diare dan ekskretanya air beras seperti pada kolera dan
kemudian feses berdarah.
5. Dehidrasi dengan rasa haus yang sangat dan kram otot.
6. Sianosis, pols lemah, dan anggota badan menjadi dingin.
7. Vertigo, sakit kepala bagian depan.
Pada beberapa kasus (tipe serebral) vertigo stupor, delirium dan mania dapat
terjadi tanpa gejala gastro intestinal yang menonjol.
8. Syncope, koma, kadang-kadang konvulsi, paralisis umum dan
kematian.
9. Bila fase akut bisa sembuh, maka neuritis perifer yang termasuk syaraf
sensoris dan motoris tidak jarang terserang.
10. Berbagai erupsi pada kulit, lebih sering terjadi pada keracunan kronis.
11. Pada saat penyembuhan, kelemahan dan diare akan tetap ada sampai
beberapa minggu dan kadang-kadang sindrom sukar dibedakan
dengan keracunan kronis.

Keracunan kronis
Terdapat manifestasi sebagai berikut, mulai dari anoreksia, gangguan
pencernaan yang ringan, sedikit demam, pucat, lemah, peradangan catarrhal
pada hidung, tenggorokan, konjungtiva dan laring seperti pada infeksi coryza;
stomatitis dan salivasi juga sering terjadi.
Gangguan kulit dapat berupa eritrema, eczema, pigmentasi (arsenic
melanosis), keratosis (terutama pada telapak tangan dan kaki), bersisik dan
desquamasi, kuku rapuh, rambut dan kuku rontok dan oedema subkutan
yang lokal.
Gejala kerusakan ginjal timbul, pembesaran hepar dengan ikterus dan
kadang-kadang dengan pruritus dan dapat menjadi sirosis dan asites.
Komplikasi jantung (fibrilasi ventrikular dan kardiak akut) pernah
dilaporkan walau jarang. Kadang-kadang ada reaksi kehilangan protein pada
diskrasia darah enteropathy yang hebat, akibat dari deposit semua elemen
seluler dari sum-sum tulang. Kejadian ini mungkin berhubungan dengan
metabolisme folic acid. Pada keracunan yang lanjut, maka gejala syaraf
menonjol yaitu encephalopaties dan neuritis perifer lebih umum terjadi. Mula-
mula yang terkena syaraf sensorius hingga timbul parestesia, hipertesia dan
sakit, namun kemudian muncul paralisa, atrofi otot, biasanya pada kaki.
Kemungkinan akan menonjol distribusi kehilangan perasaan yang disebut
Glove and Stocking.

Dalam hal simptomatologi ini, lebih khas pada keracunan arsen in organik,
yaitu ada empat tipe dan gejala keracunan yang terjadi:
1. Bentuk paralisis akut
Akibat pemberian arsen in organik dalam jumlah besar dan cepat
masuk ke dalam sirkulasi.
Manifestasi dari bentuk ini ialah kolaps sirkulatori dengan tekanan
darah rendah, nadi yang cepat dan lemah, pernafasan sukar dan dangkal,
sesak nafas, semicommatore atau stupor dan kadang-kadang konvulsi.
Pasien tidak menunjukkan gejala gastrointestinal (kalaupun ada berupa
muntah-berak, nyeri perut).
Gejalanya timbul mendadak. Penderita dapat meninggal sebelum 24
jam. Gejala di atas disebabkan oleh penekanan syaraf pusat oleh senyawa
arsen dosis tinggi terutama pada medulla oblongata.
2. Tipe gastro intestinal
Tipe ini lebih umum terjadi dan gejala-gejala yang khas ditimbulkan
oleh karena perlukaan / lesi pada ventrikulus, usus, dan organ-organ yang
parenkimateous. Segera setelah masuknya senyawa arsen, terjadi muntah
yang berlangsung selama 1 atau 2 jam kemudian diikuti dengan diare.
Perbedaan gejala-gejala klinik yang menonjol, bervariasi pada tiap-tiap
kasus. Pada beberapa kasus diare berat adalah gejala yang paling menonjol,
sedangkan pada pasien lain adalah mual, muntah, rasa panas dan terbakar,
sakit dan kram pada abdomen yang menjadi keluhan utama. Pada pasien
yang lain lagi dapat menderita gatal / serak pada tenggorokan, sensasi haus
yang sangat, mulut terasa kering. Kombinasi dari gejala-gejala tersebut bisa
terjadi.
Muntah bisa terjadi terus-menerus dan muntahannya nampak seperti
air beras dan terkadang berisi lendir darah dan cairan empedu. Diare
mungkin hebat dan feses mungkin berdarah atau seperti air beras sama
dengan feses pada cholera asiatica. Pada kasus yang lebih jelas terdapat
muka yang livid, sianosis, merasa gelisah, kulit dingin lembab, kram pada
lengan, betis, delirium, albuminuri, urin yang berkurang dan dehidrasi oleh
karena muntah yang terus-menerus dan diare.
Hal ini bermakna pada kasus muntah dapat terjadi setelah makan
arsen bebas, dan ini menimbulkan keragu-raguan berhubung dengan adanya
arsen sesudah diabsorbsi yang telah dikeluarkan kembali ke dalam lambung.
Kematian terjadi dalam beberapa jam atau hitungan hari. Bila pasien dapat
bertahan terhadap serangan maka akan terjadi pemulihan.
Penanganan pada keracunan akut adalah dengan mengeluarkan
lambung dengan tube dan mencuci dengan air hangat dan susu. Emetic
mustart 1 bagian dan garam 6 bagian, pada air dengan jumlah banyak lebih
berarti.
Antidotum spesifik - 1 ons tincture dari ferri chloride dengan air dan
ditambahkan magnesium Castor oil dapat diberikan untuk membersihkan
usus. Kantor farmasi dan kimia di Asosiasi Kesehatan Amerika (American
Medical Ascociation) menganjurkan pemberian BAL (British Anti Lewisite 2,3
dimercaptopropanol) secepatnya. Ini akan mengambil arsen dari jaringan dan
menyebabkannya cepat diekskresi. BAL diberikan intramuskuler pada 10 %
larut minyak tiap 4 jam dengan dosis 5 mg/kg BB sampai gejala keracunan
hilang.
Hasil Otopsi
Lesi yang berupa nekrosa mempunyai tingkatan yang sangat
bervariasi. Pada kematian yang terjadi dalam beberapa jam karena
kolapsnya sirkulasi, membran mukosa lambung dan usus dapat tidak
memperlihatkan perubahan yang bermakna. Lambung dapat kosong atau
berisi lendir, atau sejumlah cairan kemerahan. Kadang-kadang pada lipatan
membran mukosa lambung terdapat kristal oktahedral dari As trioxide atau
bercak Paris Green, atau deposit kekuningan dari As sulfide yang terbentuk
oleh kombinasi kimiawi antara arsen dengan hydrogen sulfat dalam lambung.
Pada kasus lain, mukosa lambung merah kongesti dan edema,
sementara itu tampak garis gelap karena korosi pada lipatan, berbentuk karet
atau bentuk pemanggang besi pada tempat korosi oleh racun. Lambung
dapat berisi lendir warna gelap yang bercampur darah. Pada tahap awal usus
tidak menunjukkan perubahan yang berarti, meskipun arsen diperkirakan
sudah sampai jaringan.
Selanjutnya pada tahapan menyerang tubuh lebih lanjut, lesi meluas.
Dinding lambung dan usus dapat bengkak dan kelihatan edema dan kongesti
pada lapisan sub-mukosa, dan biasanya berwarna merah kecoklatan dengan
perdarahan bagian dalam sub-mukosa dengan berbagai ukuran di sana-sini.
Pada suatu kasus, terdapat pseudomembran warna abu-abu kekuningan
pada jejunum bagian atas. Pada beberapa bagian usus dapat berwarna
kuning akibat penimbunan arsenic sulfide. Usus dapat berisi sejumlah besar
cairan mirip cucian beras, atau dapat kosong dan berisi lender darah.
Perluasan lesi sangat bervariasi., kadang lamban, dan sebagian usus
mengalami inflamasi, bahkan kadang seluruh gastrointestinal terlibat.
Mulut, faring dan esophagus kadang memperlihatkan proses yang
sama, hanya intensitasnya lebih rendah. Pada kulit kadang terbentuk bulla
pada bagian yang terkena racun, edema pada muka dan sekitar mata pernah
dilaporkan bahkan sampai terjadi perdarahan atau purulen.
Inflamasi lambung dan usus sebagian besar akibat ekskresi As melalui
membran mukosa dan efek lambung secara langsung mengenai pembuluh
darah sub-mukosa, dan yang lebih jarang korosif langsung pada dinding
usus.
Pada beberapa kasus, pemberian arsen in organik pada ulkus kulit
atau pada kulit yang utuh, akan diikuti dengan gejala gastrointestinal,
meskipun pemberian tidak melalui mulut.
Pemeriksaan mikroskopik pada lesi yang meliputi mulut dan usus pada
keracunan arsen, memperlihatkan perdarahan pembuluh darah kecil sub-
mukosa yang berisi sel darah merah dan sel leukosit plimorfonuklear, disertai
bengkak dan membesarnya endothelium, jaringan ekstravaskuler (pada sub-
mukosa) edema dan juga mengandung sel darah merah dan leukosit
polimorfonuklear.
Pada korban yang mampu bertahan hidup selama beberapa hari,
terjadi perubahan pada parenkim dan degenerasi lemak pada jantung, hepar,
dan ginjal dengan warna suram, abu-abu kemerahan, abu-abu kekuningan.
Obat akan ditimbun dalam hepar, parenkim sel akan menjadi bengkak dan
ikterik, dan jaringan tubuh akan memperlihatkan berbagai tingkatan dari
ikterik hepatogenous.
Sesudah racun menjadi subakut atau kronik, akan terjadi komplikasi
atrofi kuning akut. Perdarahan atau purpura dengan ukuran yang berbeda-
beda dapat terjadi pada jaringan subserosa atau pada jaringan longgar
seperti mesenterium, jaringan retroperitoneal, epikardium, preaortae, dan
lain-lain.
Jaringan subendokardial, khususnya pada permukaan septum
ventrikel kiri dapat terlihat bercak kecil menyala seperti perdarahan atau
perdarahan yang luas. Lesi ini dapat berubah menjadi perlemakan atau
terjadi perubahan degenerasi lain pada endothelium kapiler dan dengan
mikroskopik dapat terlihat infiltrasi polimorfonuklear yang jelas pada daerah
perdarahan. Pada suatu kasus keracunan arsen akut, pemeriksaan kelenjar
adrenal pada bagian korteks mengalami nekrosis disertai dengan infiltrasi
leukosit.
Jika arsen diberikan dalam bentuk padat dan kematian terjadi pada
stadium awal, sebagian besar arsen diketemukan dalam lambung. Jika
perjalanan penyakitnya lebih panjang, jumlah arsen dalam lambung
berkurang. Seseudah diserap, racun disebar ke organ-organ dan terbanyak
ditimbun di hepar, lien, ren, dan jaringan lain dalam beberapa minggu, secara
bertahap dikeluarkan lewat urin dan feses. Hepar biasanya mengandung
lebih banyak ketimbang organ lainnya, akan tetapi jumlahnya sangat
bervariasi sehingga sukar untuk menentukan jumlah minimal dalam jaringan
yang menyebabkan kematian.
Adanya sejumlah besar arsen dalam organ akan memungkinkan
lambatnya pembusukan mayat. Bukti yang nyata perihal jumlah arsen dalam
organ akan tergantung pada jenis kasusnya. Meskipun demikian, riwayat
penyakit dan penemuan pada otopsi sangat mengarahkan keracunan karena
obat ini, memperhitungkan jumlah tiap menitnya harus hati-hati, banyak
jumlah arsen yang ada dalam tubuh merupakan akibat pengobatan. Jika
analisa kimia hanya terbatas pada luar tubuh atau hanya ada arsen dalam
lambung, usus, tetapi organ lain seperti hati, ginjal, dan otak tidak, maka
kesimpulan sebab kematian tidak bisa dibuat.
Pada penanganan lain jika terasa sejumlah arsen ditemukan pada
jaringan-jaringan dan organ lain dalam tubuh, khususnya pada hubungannya
dengan bentuk tanda klinis dan lesi patologis, hasilnya akan signifikan
adanya aksi absorbsi dan toksis antemortem.
Pada kasus akut organ, yang paling baik untuk pemeriksaan adalah
lambung dan isinya, hati, ginjal, dan otak. Pada beberapa kasus ini, isi usus
dan urin dapat berharga.
Pada otopsi bongkar jenazah, tanah di sekitarnya, cairan di sekitar peti
dan sebagian dari peti seharusnya diambil untuk di tes adanya arsen untuk
membatasi kontaminasi yang mungkin terjadi.
3. Tipe subakut
Tipe ini terjadi pada pemberian senyawa arsen dalam dosis kecil,
berulang-ulang, dan dalam interval tertentu. Atau pada pemberian dosis
tunggal yang besar yang tidak menyebabkan kematian dalam waktu cepat
namun tinggal di dalam tubuh dan menyebabkan kerusakan selama waktu
ekskresinya yang lambat.
Korban tetap hidup selama beberapa minggu atau sampai beberapa
bulan. Beberapa dapat berkembang menjadi keracunan hepar yang
degeneratif, yang melanjut menjadi acute / subacute yellow atrophy dan
diikuti oleh icterus toxic yang berat.
Perdarahan multipel dapat terjadi pada lapisan subserosa atau pada
jaringan longgar di daerah areola. Tractus intro intestinal mungkin mengalami
radang kronis dengan diare yang terus-menerus, kram dan dehidrasi.
Ginjal dapat menunjukkan inflamasi, nefrosis dengan albuminuria dan
urin berdarah. Erupsi pada kulit, daerah yang eczematous dan keratosis
timbul di beberapa tempat.
Pasien kehilangan berat badan, menjadi kurus dan lemah, sakit yang
serius, dan akhirnya meninggal.
4. Tipe kronis
Dapat terjadi akibat perkembangan pada sejumlah kasus, sesudah
gejala akut menghilang dan ini dapat menunjukkan sejumlah manifestasi
yang berbeda-beda.
Pada suatu tipe neuritis kronis dapat timbul dengan degenerasi
serabut syaraf yang dimulai dari daerah perifer berlanjut ke arah pusat. Lesi
ini ditandai dengan paralise otot tangan dan kaki, anastesia gangguan
pertumbuhan seperti atrofi otot, rambut dan kuku rontok. Pada beberapa
kasus gastritis kronis dapat diamati dengan anoreksia, nausea dan diare.
Kelemahan yang progresif, coryza, keratosis pada telapak tangan dan kaki,
kelopak mata yang oedematous, mata yang menonjol, kehilangan berat
badan, anemia, pucat, penurunan daya tahan tubuh secara umum dan sakit-
sakitan dapat terjadi.
Sindrom ini dapat ditimbulkan intoksikasi dari senyawa volatil yang
dihasilkan oleh jamur padawall papers yang mengandung senyawa arsen
atau dengan paparan terhadap asap industri, atau dengan menelan secara
terus-menerus dalam jumlah kecil di dalam makanan, atau absorbsi oleh kulit
secara terus-menerus dari cat / pewarnaan baju.
Bentuk keracunan akut dapat tidak didahului gejala akut. Tipe kronis
dari keracunan ini tidak didahului oleh gejala akut dan nampak kronis.
Di India, Sirian dan Austria biasa diberikan sebagai obat-obatan, - 2
gram arsenic trioxide tiap minggu. Dan ada beberapa kasus dengan
pemberian dosis besar tidak menimbulkan efek toksis. Hal ini dapat
diterangkan dengan teori peningkatan eliminasi atau penurunan absorbsi.
Sedang laporan lain melaporkan terjadinya efek toksis pada pemberian
arsen.
Pemeriksaan toksikologi pada kasus subakut atau kronik dapat
diperlihatkan hanya sedikit jumlah arsen yang di dapat dalam tubuh.
Meskipun jarang, pemeriksaan toksikologi postmortem didapatkan hasil
negatif. Misalnya pada keracunan kronis dengan komplikasi jaundice berat
dan beberapa lesi perdarahan dengan pemeriksaan toksikologi ketika masih
hidup pada urin dapat ditemukan adanya arsen, tapi pada saat otopsi tak bisa
dideteksi pada organ-organ yang rusak. Pada kasus yang berlanjut,
keracunan logam dapat ditimbun pada tulang, kulit, dan rambut yang terjadi
lambat, dan sebagian dari rambut, kulit dan tulang tadi dapat dipergunakan
untuk pemeriksaaan kimiawi sebaik organ yang dimaksud.
Arsine (Hidrogen Arsine, arsiniuretted hydrogen AsH3), merupakan gas
tak berwarna, yang berbau sangat busuk. Contoh ekstrim keracunan tersebut
jika hidrogen bersenyawa dengan arsen trivalent pada tes Marsh. Kasus
keracunan bisa terjadi di laboratorium kimia, industri pabrik, dimana logam
mencair dan terbentuk asam dan hidrogen dalam jumlah besar. Sejumlah
logam dan bahan kimia yang mengandung As dari proses tersebut
menghasilkan arseniuretted hydrogen. Beberapa penulis menyebutkan
timbulnya gas ini dalam kapal selam yang berasal dari lapisan baterai.
Gejala keracunan dapat terjadi sangat cepat sesudah menghisap gas,
atau dapat timbul setelah beberapa jam berlalu. Korban menjadi sakit atau
tak berdaya dan mengeluh lemas, pusing, sakit kepala, sakit perut, mual, dan
muntah. Arsen dapat menyerang syaraf pusat dan mengakibatkan nekrose
dan kelumpuhan.
Akibat penting dari gas ini adalah menyebabkan hemolise darah
merah, hemoglobinuria, dan jaundice. Umumnya muncul kurang lebih 4 jam
sesudah menghisap gas. Kerusakan eritrosit dapat menginduksi anemia
berat. Kematian terjadi pada 36 % kasus karena kolaps jantung yang
diperberat edema paru atau seperti typoid disertai delirium.
Keracunan arsine kronis terjadi karena menghirup secara berulang-
ulang. Gejalanya terutama multipel neuritis. Penanganan awal dengan
memindahkan korban dari daerah beracun dan pemberian O2. Transfusi
dapat diberikan untuk menangani anemianya. Istirahat merupakan
pengobatan simptomatis.
Hasil otopsi:
Pada otopsi ditemukan semua jaringan kekuningan, perubahan
degeneratif pada hati yang meluas ke lien, dengan deposit pada parenkim,
toksik pada ginjal dan pada paru.
Pemeriksaan toksikologi dari arsine pada tubuh sama dengan
campuran arsenic trioxide yang teroksidasi dalam jaringan. Pada keracunan
akut, paru dan otak sangat baik untuk bahan analisa.

Laboratorium
Prosedur pemeriksaan toksikologi
a. Reinsch Test
Reinsch tes merupakan suatu cara untuk memancing logam-logam dari
campuran dengan mempergunakan:
- Logam Cu untuk memancing logam As dan Hg.
- Logam Fe untuk memancing logam Cu.

Cara Kerja:
- Mempersiapkan logam Cu yang akan dipakai.
Logam Cu sebelum dipakai dibersihkan terlebih dahulu dengan jalan
membakar logam Cu tersebut dengan api benzene sampai membara,
kemudian dimasukkan dalam HNO3 pekat lebih kurang 10 menit, lalu
dimasukkan ke dalam HCl 10 % lebih kurang 10 menit, kemudian dicuci
dengan air mengalir lalu dikeringkan dengan kertas saring, masukkan ke
dalam alkohol selama 10 menit kemudian dimasukkan ke dalam eter untuk
membebaskannya dari lemak-lemak, dan logam Cu siap dipakai.
- Memancing logam dari sampel
Dengan mempergunakan logam Cu yang telah kita persiapkan. Sampel
sebanyak 10 gram dikeringkan dengan waterbath, lalu dihaluskan. Masukkan
bubuk sampel tadi ke dalam tabung Erlenmeyer 125 cc, kemudian
tambahkan 5 cc HCl pekat lalu ditambah aquadest sebanyak 10 cc. Langkah
selanjutnya, masukkan logam Cu (ikat dulu dengan benang supaya nanti
mengambilnya mudah, tapi benangnya jangan ikut tercelup) lalu dipanaskan
selama 1 jam. Sesudah itu logam diambil dan dicuci dengan air mengalir,
kemudian keringkan.
Periksa pada logam CU tersebut apakah terdapat noda-noda atau perubahan
warna yang menunjukkan adanya logam yang berhasil dipancing, yaitu As
atau Hg.
Berikut ini cara kerja yang lebih sistematis:
1. Membuat spiral kawat tembaga dengan diameter 0,88 mm (BWG 20),
dengan melingkarkan pada sebatang pensil sebanyak 14 kali, dengan
menyisakan bagian yang lurus sepanjang 10 cm, sebagai pegangan.
2. Organ dengan berat 10 gram, misalnya isi lambung, masukkan ke dalam
water bath, sampai kering, gerus sampai lumat.
3. Tepung BB dimasukkan dalam labu ehrlenmeyer 125 cc, tambahkan 5 cc
HCl pekat, lalu tambahkan aquadest 10 cc.
4. Spiral Cu tadi dicuci dengan asam nitrat pekat, lalu bersihkan dengan air
yang mengalir, kemudian dengan alkohol, lalu dengan eter.
5. Masukkan kawat spiral tadi ke dalam campuran.
6. Panasi labu erlenmeyer tadi dengan waterbath selama 1 jam.
7. Spiral diangkat; bersihkan dengan air mengalir untuk menghilangkan
material BB yang melekat. Telitilah kalau masih ada sisa material BB yang
melekat pada spiral tersebut. Dengan warna abu-abu dari Cu5As2, selain
arsen; maka Sb, Bi, Ag, Hg, Se, Te, dan sulfiden akan membentuk deposit
(kerak) pada spiral Cu tersebut.
Spiral Cu tadi dimasukkan dalam tabung sublimasi, dipanasi, kemudian
arsennya akan bereaksi dengan udara membentuk As 2O3 dan membentuk
kristal oktahedral dan tetrahedral pada bagian yang dingin. Dapat
ditambahkan bahwa pada waktu disublimasikan, yang menguap ada 3
macam logam, yaitu: As, Sb dan Hg.
8. Sensitivitas: 250 mikrogram As dalam 50 cc cairan.
9. Reaksi ini dapat diteruskan dengan reaksi lain, seperti tersebut di bawah
ini.
b. Marsh Test
Sifat: Spesifik untuk arsen. Harus dilakukan di almari asam.
Dasar: Senyawa arsen diredusir oleh H naccent senyawa
AsH3 dipanaskan dipanaskan As + gas hidrogen.
Reaksinya:
- As2O3 + 12 Zn + 12 H2SO4 4 AsH3 + 12 ZnSO4+ 4 H2O
H3AsO4 + 4 Zn + 4 H2SO4 AsH3 + 4 ZnSO4 + H2O
- AsH3 -------------------------- As4 + 6 H2

Cara kerja:
- Alat Marsh disiapkan, lengkap dengan butir-butir Zn dan H2SO4 yang
bebas dari As. Ujung tabung pemanas yang bebas disambung dengan pipa
karet, sedangkan ujung yang lain dimasukkan ke dalam larutan AgNO 3 3 %.
Gunanya untuk:
1. Menghilangkan udara dalam labu Erlenmeyer agar tidak terjadi letusan.
2. Mengetahui bahwa alat Marsh itu termasuknya reagennya bebas As. Bila
ada As, akan terjadi endapan hitam pada larutan AgNO3:
6 AgNO3 + 3 H2O + AsH3 H3AsO3 + 6 HNO2 (reaksi Hofmann)
- Biarkan alat ini selama jam, kalaupun terjadi endapan pada larutan
AgNO3, harus diulangi lagi dengan alat-alat yang lebih bersih.
- Jika larutan AgNO3 tetap jernih, setelah jam, pipa karet dilepas, zat
yang akan diperiksa dimasukkan dalam alat Marsh, lewat corong pengisi dan
pada bagian pipa yang menjepit dari pipa Marsh, dibalut dengan kasa
tembaga. Dan dipanasi dengan Bunsen brander sampai memijar.
- Jika zat yang diperiksa mengandung As, akan terjadi cermin pada bagian
pipa setelah pemanasan.
Kepekaan: 1/50 mg. Bila untuk membuat hidrogen digunakan elektrolise, dengan
kepekaan 1/200 mg (4 gamma). Kepekaan yang lebih kecil lagi tidak perlu,
sebab As pada jumlah yang kecil tidak toksis.
Membedakan As dan Sb:
Sb, bila diperiksa dengan alat Marsh, juga akan membentuk cermin, yang
mudah dibedakan dengan As.
1. Cermin As terjadi di pipa Marsh sesudah pemanasan. Cermin Sb
terjadi sesudah dan sebelum pemanasan (lihat gambar).
2. Bila tabung Marsh diambil dan dialiri udara sambil dipanasi sedikit,
maka cermin As akan menjadi As2O3 yang menguap dan dibawa aliran
udara dan menyublim di bagian ujung sepit dari pipa Marsh, kemudian
membentuk kristal yang tetra atau oktahedrat, sedang Sb membentuk
sublimasi yang amorph dan dapat dilihat dengan mikroskop.
3. Bila cermin tadi adalah As, maka dapat larut dalam NaClO, sedang Sb
tidak larut. Reaksinya: 2 As + NaClO + 3 H2O 1 H3AsO3 + NaCl.
4. Bila dalam tabung Marsh dialirkan gas H2S, maka baik As maupun Sb-
nya akan membentuk sulfidenya. Sulfide arsen yang berwarna kuning
mudah menguap, dan akan menyublim di tabung yang dingin,
sedangkan sulfide Sb-nya pada pemanasan tidak menguap, namun
tetap tinggal di tempatnya dan berwarna kemerahan.
5. Bila dialiri gas HCl, sulfide Asnya tetap saja, sedang sulfide Sb akan
berubah menjadi chloride yang larut dalam air.

c. Metoda Gutzeit
Indikator: AgNO3 kristal
Larutan AgNO3 1 %
Prinsip : Senyawa As direduksi oleh H2 (hasil reaksi Zn dengan H2SO4 4N) menjadi
AsH3 yang berbentuk gas.
Kegunaan Pb asetat untuk mengikat gas H2S yang terjadi.
Sedangkan AgNO3 berfungsi sebagai indikator, bila ada As maka akan terjadi
senyawa AsH3 yang bila bereaksi dengan AgNO3 akan berwarna kuning
dalam keadaan panas dan berwarna hitam dalam keadaan dingin.
Reaksi:
Zn + H2SO4 ------- ZnSO4 + H2
As + H2 ------- AsH3
AsH3 + 6 AgNO3 ------- AsAg3.3 AgNO3 + 3 HNO3
(berwarna kuning bila panas)
Dalam keadaan dingin akan berubah menjadi hitam karena dalam udara
ada H2O
AsAg3.3 AgNO3 + 3 H2O ------- H3AsO + 6 Ag (hitam) + 3 HNO3
c. Sanger Black Test (modifikasi Gutzeit)
Prinsip: As diubah dahulu menjadi AsH3, seperti pada percobaan Marsh.
Indikator: inilah letak perbedaan reaksi Gutzeit dengan Sanger Black, dimana
disini dipakai HgCl2 atau HgBr2.
Percobaan ini dapat dipakai untuk menentukan As secara semikuantitatif.
Percobaan ini kurang spesifik, namun cukup mudah dilakukan dan
ketidakspesifikannya mudah diatasi.
Cara kerja:
- Gunakan alat Sanger Black atau alat Gutzeit yang dimodifikasi.
- Sampel yang akan diperiksa mula-mula harus ditimbang atau diukur
volumenya (ini untuk kuantitatif).
- Untuk mengetes kemurnian reagens dan kebersihan alatnya, dilakukan
testing dahulu, jadi dilakukan percobaan tanpa sampel.
- Dalam labu Erlenmeyer, masukkan butiran Zn yang telah direndam dalam
larutan CuSO4 5% selama 5 menit. Lalu tambahkan H2SO4 4 N sebanyak 20
cc atau lebih.
- Pasanglah prop (gabus penutup) yang terbuat dari karet yang sudah
dipasangi cerobongnya yang berisi kertas saring / kapas yang telah diinfiltrir
dengan Pb asetat, yang gunanya untuk menangkap H 2S yang timbul yang
dapat mengganggu jalannya pemeriksaan.
- Pada ujung cerobong dipasangi pipa kaca yang diisi dengan kertas saring
ukuran lebar 1 mm dan telah diinfiltrir dengan sublimate.
- Biarkan alat ini demikian selama 30 menit.
- Jika kertas sublimate tetap putih, berarti reagensia dan alatnya bebas dari
As, maka sediaan sampel tadi dapat dimasukkan.
- Ditunggu sampai terjadi perubahan warna pada kertas sublimate dan
lamanya menunggu sampai perubahan warna tadi konstan (tidak bertambah
panjang lagi).
- Bila warna yang terjadi sudah tidak bertambah panjang lagi, berarti As
dalam labu sudah habis.
- Penentuan jumlah As yang ada ialah dengan cara dibandingkan dengan
panjangnya bagian yang berubah warnanya itu dengan standart yang telah
dibuat terlebih dahulu dengan berbagai macam kadar. Cara membuat
standard sama saja, hanya jumlah As-nya sudah diketahui lebih dahulu.
Inilah sebabnya disebut semikuantitatif karena hanya membandingkan
dengan standart.
Reaksi yang terjadi (pada kertas sublimate):
AsH3 + 3 HgCl2 ------- 3 HCl + As(HgCl)3 ----- kuning
2 As(HgCl)3 + AsH3 ------- 3AsH(HgCl)2 ----- oranye
AsH(HgCl)2 + AsH3 ------- 6 HCl + As2Hg3 ----- coklat
Warna-warna yang terjadi:
Kertas sublimate yang mula-mula putih bila terkena gas AsH3 akan berubah
menjadi kuning terlebih dahulu, lalu di bawahnya timbul warna oranye, coklat,
dan akhirnya hitam. Jadi bagian yang paling banyak terkena gas AsH 3akan
berwarna hitam, yang paling sedikit akan berwarna kuning.

Bahan-bahan untuk pemeriksaan:


- Kertas sublimate; adalah kertas saring yang telah direndam dalam larutan
sublimate 5 % dalam alkohol selama 5 menit, dan dikeringkan pada
temperatur kamar, setelah itu tepinya dibuang lalu dipotong dengan ukuran 1
x 80 mm.
- Kertas / kapas Pb asetat; adalah kertas saring atau kapas yang telah
direndam dalam larutan Pb asetat 5 % selama 5 menit, lalu dikeringkan pada
temperatur kamar.
- Jika dalam sampel, As-nya terlalu banyak, kertas sublimate yang
panjangnya 8 cm tersebut seluruhnya akan berubah warna menjadi hitam,
maka percobaan ini harus diulangi lagi dengan sampel yang baru dengan
cara mengencerkan sampelnya menjadi separuhnya, misalnya dengan hanya
memasukkan separuh dari sampel yang ada.
Yang menganggu pemeriksaan: Sb dan P.
Jika sampelnya diperkirakan tercampur dengan Sb atau fosfor, maka
sebelum dilakukan percobaan modifikasi Gutzeit, terlebih dahulu dilakukan
percobaan Reinch, lalu kawat tembaga yang telah dipakai tadi diperiksa
secara modifikasi Gutzeit. Yang ikut terpancing pada kawat Cu adalah As
dan Sb, sedang P-nya tidak ikut terpancing. Dan setelah percobaan
modifikasi gutzeit ini selesai, maka kertas sublimate diuji dengan HCl,
sehingga bila ada Sb-nya, warna hitam yang ditimbulkan oleh adanya Sb tadi
akan hilang oleh uap HCl.
Material untuk keperluan analisisl:
1. Isi lambung. Air bekas pembilas lambung (gastric lavage), ~ 100 ml/cc.
2. Urin, ~ 100 ml/cc.
3. Rambut, dibagi menjadi 3: ujung, tengah, pangkal; yang dipisahkan
dalam 3 botol dan masing-masing diberi label
4. Kuku
5. Tulang
6. Kulit
7. Hepar, liver functietest untuk mengetahui kerusakan hepar.
8. Darah, untuk keperluan pemeriksaan albumin, pemeriksaan hematuri,
dan analisis kadar arsen, juga Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis
(differential count), terutama perubahan eosinofil.
Jumlah sampel adalah sebanyak mungkin yang dapat diambil, sebab lebih
baik bersisa dan dapat dikembalikan daripada kurang. Pemeriksaan
toksikologi untuk arsen harus dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif;
pemeriksaan kualitatif saja tidak berarti sebab dapat pula ditemukan arsen
dalam jaringan pada orang yang suka minum tonikum yang mengandung As
(misalnya Arseen triferol) dan orang tersebut malah sehat.

Hasil pemeriksaan:
1. Pada keracunan akut
- Air seni : terdapat darah dan protein.
- Darah : terutama pada kasus-kasus yang fatal; konsentrasi arsen 0,1 1,5 mg/100
gr.
2. Pada keracunan kronis
- Rambut, kuku, air seni, dan feses: terdapat zat arsen
: anemia dengan neutrophilic leucophenia.

Pengobatan
1. Bilas lambung / gastric lavage dengan 2 3 liter air dan diikuti dengan
pemberian 1 gelas susu atau colodial ferric hydroxide (persediaan
yang masih baru) atau berikan 1% larutan sodium thiosulfat atau
larutan B.A.L. (dimercaprol).
2. Salino cathartic (obat pencahar) dengan 15-30 gram sodium sulfat
dilarutkan dalam air.
3. Pemberian BAL (dimercaprol) dalam bentuk larutan 10 % dosis
menurut kebutuhan yang diperlukan, intermuskuler sedini mungkin.
Pada keracunan berat dapat diberikan dosis tunggal 5 mg/kg berat
badan dengan interval 4 jam selama 24 jam. Sesudah itu dosis dapat
diturunkan dan intervalnya diperpanjang. Karena pengobatan dengan
dimercoprol relatif tidak berbahaya (meski begitu tetap harus
diperhatikan gejala-gejala keracunan oleh B.A.L.), maka pengobatan
jangka pendek (6 dosis: 2,5 mg/kg BB dengan interval 4 jam) dapat
diberikan pada penderita yang dicurigai keracunan arsen.
4. Untuk menghilangkan dehidrasi, berikan cairan intravenous (suntikan /
infuse) untuk menjaga keseimbangan cairan-cairan elektrolit dalam
darah.
5. Hcl morfin mungkin diperlukan untuk mengontrol rasa sakit pada perut.
6. Pada keadaan syok yang serius, selain memberikan cairan elektrolit,
transfuse darah dan pemberian oksigen diperlukan.
Pertolongan / pengobatan dengan pembilasan lambung, salin cathartic
(pencahar) hanya dilakukan terhadap keracunan akut yang pada umumnya
keracunan melalui saluran pencernaan.
Pada keracunan kronik, baik oleh karena senyawa arsen yang organik
maupun yang in organik, pemberian dimercoprol pada umumnya efektif.
Perbaikan gejala kronis terjadi 1-3 hari dan masa pemulihan antara 1-3
minggu tergantung dari organ atau sistem yang mengalami kerusakan.
Bagaimanapun juga bila kerusakan darah sudah bersifat ireversibel
seperti anemia aplastik, ensefalopati yang lanjut dan kebanyakan kasus
dengan ikterus, maka penyingkiran arsen dari sistem ini adalah sedikit dapat
membantu. Keracunan kronis harus diobati dengan dimercoprol jangka
panjang. Eksaserbasi yang timbul sesudah terapi kenalan diperlukan
pengobatan ulangan. Glukokortikoid diperlukan bila timbul dermatitis ataupun
konjungtivitis.

Pencegahan
1. Menghilangkan sumber bahaya yaitu dengan mensubstitusi dengan
bahan-bahan lain yang tidak beracun bila memungkinkan.
2. Mengasingkan sumber bahaya, yaitu dengan melokalisasi pekerjaan-
pekerjaan yang menggunakan bahan arsen.
3. Hindarkan pengisapan debu yang mengandung senyawaan arsen, uap
AsH3, atau dengan mengurangi kadarnya, misalnya dengan menekan
jumlah debu arsen di udara sehingga menjadi 0,2 mg permeter kutub
udara atau di atasnya.
4. Hindarkan dari makanan yang terkontaminasi oleh debu-debu
senyawaan arsenic.
5. Hindarkan kontak dengan bahan-bahan As dengan jalan
mengusahakan alat bantu perlindungan personal, misalnya masker,
sarung tangan dan sebagainya.
6. menjaga kebersihan pribadi, mandi setelah jam kerja di tempat yang
berhubungan dengan bahan-bahan As, mencuci tangan sebelum
makan.
7. Pencegahan selanjutnya ditujukan kepada keadaan lingkungan kerja
(persyaratan keselematan dan kesehatan kerja yang diwajibkan) misalnya
dengan jalan memberi pendidikan / penyuluhan kesehatan dengan tujuan
agar karyawan / ti mengerti akan bahaya keracunan arsen dan tahu cara
pencegahannya serta sadar untuk menjalankannya.

BAB III
KASUS DAN PEMBAHASAN

A. Kasus
Seorang ayah berumur 27 tahun mengeluh tenggorokannya membengkak,
mulut kering, dan salivanya bercampur darah. Setelah pemeriksaan fisik, dan
dilakukan kultur dari tenggorok, dia didiagnosa menderita infeksi viral
pernafasan atas. Dua hari kemudian, pria ini kembali ke Rumah Sakit
mengeluh mengalami pernafasan pendek. Kemudian, selama dilakukan
evaluasi, pasien ini mengalami syok, henti nafas, dan kejang-kejang.
Terdapat penurunan jumlah hematokrit dan peningkatan angka leukosit.
Pasien meninggal. Semua anggota keluarga pasien yang lainnya lalu
diperiksa setelah mengeluh gejala-gejala masalah gastrointestinal. Dokter
keluarga yang menangani kemudian menyarankan untuk melakukan tes
pemeriksaan tanah dan air dari lingkungan sekitar tempat tinggal keluarga
tersebut. Ternyata 8 dari 9 anggota keluarga tersebut diketahui menderita
intoksikasi arsenic. Perubahan status mental dan kejang-kejang dijumpai
pada 4 orang anggota keluarga. Muntah, diare, anemia, dan epistaksis dapat
terlihat. 3 anggota keluarga kemudian mengalami koma. Terdapat
Leukopenia, eosinophilia, pyuria, proteinuria, dan peningkatan kreatinin
serum. Jumlah air yang dikonsumsi oleh keluarga tersebut berhubungan
secara langsung dengan jumlah arsenic yang ditemukan pada urin mereka.
Sampel-sampel air mengandung 108 ppm (part permillion / bagian perjuta)
arsenic. Sampel tanah mengandung 781 sampai 5070 ppm arsenic pada
area sekitar sumur. Kontaminasi dari pestisida dicurigai sebagai penyebab
namun tidak dikonfirmasikan lebih lanjut. Para penyusun tulisan ini
berpendapat bahwa lingkungan selayaknya ditenggarai sebagai sumber
penyakit ketika diagnosis penyakit adalah tidak jelas.
Sumber: Diterjemahkan dari contoh kasus nyata tulisan jurnal berbahasa asing
(Inggris) dengan judul Outbreak of Fatal Arsenic Poisoning Caused by
Contaminated Drinking Water, dengan sumber tulisan: Archives of
Environmental Health, Vol. 39, No. 4, pages 276-279, 13, references,
19841984 (lihat lampiran).

B. Pembahasan dan kesimpulan


- Pasien pertama dari anggota keluarga penderita tersebut adalah si ayah, usia
27 tahun. Yang mendorongnya pertama kali untuk memeriksakan diri ke
rumah sakit adalah keluhan pembengkakan tenggorokan, mulutnya kering,
dan salivanya bercampur dengan darah.
- Pasien tersebut pertama kali didiagnosa menderita infeksi viral saluran
pernafasan atas. Pasien pulang, dan kembali lagi ke rumah sakit dengan
keluhan yang lebih berat; mengeluh mengalami pernafasan pendek. Setelah
dievaluasi, pasien syok, terjadi henti nafas, dan kejang-kejang. Terdapat
penurunan jumlah hematokrit dan peningkatan angka leukosit. Pasien
akhirnya meninggal. Sampai sejauh ini belum diketahui penyebab pasti
semua gangguan kesehatan pasien tersebut sampai pada akhirnya ia
meninggal.
- Baru didapatkan titik terang setelah 9 anggota keluarga yang lain datang ke
rumah sakit mengeluhkan terjadi gangguan gastrointestinal.
- Setelah dilakukan pemeriksaan; dari sampel tanah didapatkan kandungan
arsen 108 ppm dan dari sampel air didapatkan kandungan arsen sebanyak
781 sampai 5070 ppm.
- Dari kasus di atas dapat diketahui bahwa para pasien dari keluarga tersebut
menderita keracunan arsen di lingkungan tempat tinggal mereka (disekitar
sumur sebagai sumber air keluarga tersebut).
- Gejala-gejala keracunan arsen yang terlihat dari para pasien tersebut antara
lain:
* Pernafasan: pernafasan pendek, henti nafas.
* Peredarah darah: epistaksis, syok.
* Susunan syaraf pusat: perubahan status mental, kejang-kejang, koma.
* Saluran pencernaan: pembengkakan tenggorokan, mulut kering, saliva
bercampur darah, muntah, diare.
* Darah: penurunan jumlah hematokrit, peningkatan angka leukosit, anemia,
leukopenia, eosinophilia, pyuria, proteinuria, dan peningkatan kreatinin
serum.
- Diduga penyebab kematian pasien pertama adalah racun arsennya telah
menyerang susunan syaraf pusat, sehingga terjadi kematian.
- Cara masuknya racun kemungkinan besar lewat mulut (peroral) dari
konsumsi air minum yang bersumber dari sumur yang tercemar arsen.
- Para pasien diduga menderita keracunan arsen yang bersifat kronis, dimana
dapat dilihat dari gejala-gejala kronis utama; anemia dan leucopenia. Hal ini
diperkuat dengan dugaan bahwa arsen berasal dari lingkungan sekitar
tempat tinggal, dimana kontaminasi lingkungan biasanya faktor kronis telah
berlangsung lama.
- Perbedaan berat-ringannya gejala yang tampak pada pasien tergantung oleh
banyak faktor yang mempengaruhinya; keadaan tubuh (umur, status
kesehatan pasien pengaruh penyakit lain, kebiasaan, hipersensitif alergi
idiosinkrasi), dosis berhubungan dengan jumlah air yang dikonsumsi
perorangan, konsentrasi, kombinasi fisik, sinergisme dan antagonisme dari
racun tersebut, dan lain sebagainya.
- Keracunan arsen tersebut kemungkinan besar berasal dari kontaminasi
pestisida. Namun hal ini tidak dikonfirmasi lebih lanjut.
- Tidak diketahui pasti jenis pestisidanya sebagai sumber arsen, apakah dari
jenis golongan arsen organik atau in organik.
- Kasus keracunan arsen pada keluarga ini adalah murni karena pencemaran
lingkungan, tidak disengaja ataupun terdapat indikasi kriminal.
- Lingkungan selayaknya ditenggarai sebagai sumber penyakit ketika diagnosis
penyakit adalah tidak jelas.

DAFTAR PUSTAKA

Adiwisastra, A. Keracunan, Sumber, Bahaya serta Penanggulangannya.

Andarwendah, Sumardi, 1982, Keracunan Arsen, Program Pendidikan Pasca


Sarjana Hyperkes, FK-UGM.

Bagian Farmakologi FKUI, 1980, Farmakologi dan Terapi, PT


Intermasa, Jakarta
Elkins, Hervey B. Ph.D., The Chemistry of Industrial Toxicology, 1960, John
Wiley B. Sous Inc., New York, Chapenan & Hall, Lanbon, USA.

Gonzales, Vance, Helper, 1979, Legal Medicine Pathology and Toxicology,


second edition.

Gonzales, Thomas A. et all, 1954, Legal Medicine Pathology and Toxicology,


Appleton, Century Crafts Inc., New York.

Goodman & Gilman, 1975, The Pharmacological Basis of Therapeutics,


second edition, Mac Millan Publice King Co. inc USA.

Hadikusumo, Nawawi, dr. , 1997, DSPF, Ilmu Kedokteran Forensik, IKF III,
FK UGM UMY.

Hunter, Donald, 1978, The Disease of Occupational, edisi VI, Hodder and
Stoughton, London, Sydney, Auckland, Toronto.

Idries, A.M., et all, 1985, Ilmu Kedokteran Kehakiman, PT. Gunung


Agung, Jakarta.

Lexicon Publication, 1977, Encyclopedia International, Lexicon Publication


Inc.

Nawawi, R. HSC Gen83, Peranan Pemeriksaan Kimia / Toksikologi dalam


Pengadaan Visum et Repertum.

Kamdari, Siti HSC Gen83, Analytical Toxicology.

Robert & Gasselin. M.D. Ph.D, et all, 1979, Clinical Toxicology of Commercial
Products Acute Poisoning, The Williams & Wilkins Co., Baltimore.

Simpson, Keith, 1979, Forensic Medicine, eight edition, The English


Language Book Society and Edward Arnold (Publishers) LTD.

Sutrisno, Bram, dr, Hand Out Toxicology Industry, 1982,Yogyakarta.

Tedeschy, Cokert, Tedeschi. Forensic Medicine, A Study in Trauma and


Enviromental hazards, Volume II.
Thienes, Clinton H. M.D. Ph.D, Thomas Y. Haley Ph.D, 1972, Clinical
Toxicology, Heurg kimpton Publishers London, Great Britain.

World Health Organization, 1979, The International Pharmacopoeis, third


edition, Geneva.

Yudono, dr, Hand Out Toxicology Industry, 1982,Yogyakarta.

Pengertian Toksin
Toksin adalah zat racun yang dihasilkan oleh beerapa spesies bakteri.
Menurut penggolongan toksin, toksin bakteri dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Endotoksin
2. Eksotoksin
B. Eksotoksin
Adalah toksin yang dikeluarkan dari tubuh sel.
Kuman-Kuman yang dapat menghailkan eksotokin misalnya:
1) Corynebacterium diphteriae
2) Shigella dysentriae
3) Clostridium tetani
4) Clotridium botolium
5) Clotorium elcbii
6) Vibrio chlorea
7) Beberapa stain Escherichia coli
Pada infeki bakteri-bakteri tersebut,eksotoksin yang dikeluarkannya
menyebar melalui aliran darah ke seluruh tubuh,keadaan ini dinamakan
taksoemia. Eksotoksin mudah dipisahkan dari sel bakteri dengan jalan
penyaringan. Contoh eksotoksin yang mengganggu kesehatan manusia
dihasilkan oleh Corynebacterim diphtheri, Clostridium tetani dan Clostridium
botulinum. Toksin botulinum tipe A adalah eksotoksin yang pertama kali
dapat dihablurkan.Toksin ini kedapatan pada makanan yang basi.Orang akan
mati,jika termakan olehnya 0,0024 miligram toksin ini.
Kebanyakan eksotoksin mudah terurai dengan perebusan atau penyinaran
yang kuat. Eksotoksin tidak begitu berbahaya jika tertelan, akan tetapi akan
membawa maut jika masuk dalam peredaran darah. Pengalaman
menunjukkan bahwa, penyuntikan binatang dengan sedikit eksotoksin
menyebabkan timbulnya zat antitoksin dalam tubuh binatang tersebut.
Antitoksin ini tidak membunuh bakteri, akan tetapi hanya sekadar menawar
toksinnya saja. Inilah prinsip pengobatan dengan serum/ serum therapy.
Menurut Ehrilich,eksotoksin mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
i) mudah dilarutkan dalam air
ii) termasuk golongan protein, meskipun tidak memberikan semua putih
telur dan dengan larutan sulfas magnesikus yang pekat membuat endapan.
iii) bila disuntikkan kepada jasad hidup yang peka, jasad ini akan menjadi
sakit sesudah masa inkubasi tertentu dan menunjukkan gejala dan mengenai
alat-alat tertentu
iv) kekuatan toksin untuk memberi dampak sakit dapat hilang jika
dipanaskan pada 56o c (bersifat termolabil). Akan hilang juga kekuatannya
apabila disimpan dalam waktu yang lama dalam suhu kamar atau dicampur
dengan bahan kimia.
v) bila toksin disuntikkan kepada jasad hidup, maka jasad ini di dalam
badannya akan membuat bahan-bahan penentang (antitoksin).
C. Endotoksin
Adalah toksin yang tidak dikeluarkan dari tubuh sel namun tetap diproduksi
dan tersimpan didalam tubuh sel. Banyak juga bakteri yang tidak
menghasilkan eksotoksin, meskipun sifatnya sangat panas. Dalam hal ini
dianggap bahwa bakteri itu menyebabkan sakit, apabila bahan-bahan toksin
keluar setelah bakteri itu mati atau hancur, toksin tersebut dinamakan
endotoksin, dengan sifat umumnya ialah :
1) Tahan terhadap panas (termostabil), juga terhadap temperatur yang
tinggi ysng lazim dipergunakkan di dalam otoklaf.
2) Menyebabkan sakit dengan gejala-gejala yang sama sehingga tidak
spesifik.
3) Ada perioda inkubasi pada jasad yang disuntikan racun.
Endotoksin sukar sekali penyelidikannya dan hingga beberapa tahun lalu
belum ditemukan jalan untuk memisahkannya dari bakteri. Kalau kita
lewatkan suatu suspensi bakteri melalui saringan halus, maka cairan yang
lewat itu tidak mengandung toksin,akan tetapi jika kita ambil bakteri yang
sudah mati,nyatalah adanya toksin. Dari kejadian ini dapatlah kita tarik
kesimpulan,bahwa toksin itu semula kedapatan terkurung di dalam sel
bakteri.Akhir-akhir ini orang telah berhasil memecahkan sel-sel bakteri secara
mekanis dengan demikian terlepaslah isinya dari sel dan endotoksin muncul
dalam keadaan lepas dari sel.
Contoh :
(a) Endotoksin dari Salmonella typhi dapat diekstrak dengan asam
trichlorasetat atau dengan dietilen glikol dan ternyata berbentuk polisakarida
lipoid.
(b) Endotoksin dari Vibrio chlorea yang diekstrak denagn asam trichlorasetat
berbentuk gabungan dari polisakarida-lipoid.
D. Tabel Perbedaan Endotoksin dan Eksotoksin
Eksotoksin Endotoksin
Tempat produksi Dikeluarkan oleh kuman Sebagai bagian intergral da
hidup,konsentrasinya dalam medium dinding sel kuman gram neg
cair sangant tinggi
Struktur kimia Polipeptida Kompleks lipopolisakarida
Sifat fisik Relatif tidak stabil,dengan pemanasan Relatif stabil,aktivitas toksin
aktivitas toksin menurun menetap walaupun dipanas
Sifat imonologis Sangat antigenik,menghasilkan Tidak meninduksi terbentukn
antitoksin dalam jumlah banyak antitoksin sehingga tidak da
sehingga dapat dibuat toksoid dibuat toksoid
Toksisitas Sangat toksik,menimbulkan kematian Kurang toksik,dalam dosis b
meskipun dalam dosis kecil menimbulkan kematian
Reaksi badan Badan tidak memberi reaksi panas Ada reaksi demam

E. Uji Kekuatan Toksin


Kekuatan toksin untuk menyebabkan sakit dan mematikan jasad hidup
sangat besar. Lebih besar dari racun alkaloid atau 650kali lebih kuat dari
atropin dan 150 atau 200 kali dari strihnin. Cara mengukur kekuatan toksin
seperti mengukur virulensi dari suatu bakteri, yaitu dengan mencari Dosis
Lethalis Minimal (DLM).
Bila toksin disimpan lama dalam suhu kamar atau dipanasi setengah jam
pada temperatur 56o C, maka kekuatannya akan turun atau hilang sama
sekali, dan bahan ini dinamakan toksoid. Untuk menghilangkan kekuatan
toksin, dapat dilakukan dengan mencampurkan toksin dengan larutan
formalin dan campuran ini disebut anatoksin. Bila toksoid atau anatoksin
disuntikkan beberapa kali pada marmud dengan dosis yang meningkat, maka
marmud itu menjadi kebal terhadap suntikan toksin yang kekuatannya belum
hilang.
Dengan percobaan ini diketahui bahwa molekul toksin mempunyai 2 bagian,
yaitu :
a. Bagian yang mempunyai sifat sebagai penyebab sakit atau kematian
hewan percobaan (bagian toksofora), yang sifatnya termolabil dan menjadi
hilang kekuatannya bila disimpan lama.
b. bagian yang mempunyai kasiat untuk membuat kebal terhadap hewan
percobaan (bagian haptofora), yang sifatnya termostabil, yaitu tidak hilang
kekuatannya jika dipanasi sampai temperatur 56o C selama setengah jam.
F. Macam macam Toksin pada Mikroorganisme ;
1. Botulinin
Senyawa beracun ini diproduksi oleh Clostridium botulinum. Keracunan yang
ditimbulkan akibat mengkonsumsi makanan yang mengandung botulinin ini
disebut botulisme. Botulinin merupakan neurotoksin yang sangat berbahaya
bagi manusia dan sering kali akut dan menyebabkan kematian.
Bakteri Clostridium botulinum umum terdapat pada makanan kaleng dengan
pH lebih dari 4,6. Kerusakan makanan kaleng dipengaruhi oleh jenis
makanan dan jenis mikroba yang terdapat didalamnya. Toksin botulinum tipe
A adalah eksotoksin yang pertama kali dapat dihablurkan. Toksin ini
didapatkan pada makanan yang basi. Orang akan mati jika meelan 0,0024
mg toksin ini.
Kerusakan bahan pangan termasuk makanan dalam kaleng dapat dideteksi
dengan beberapa cara, yaitu:
1. Uji organoleptik dengan melihat tanda-tanda kerusakan seperti
perubahan tekstur atau kekenyalan, kekentalan, warna bau, pembentukkan
lendir, dan lain-lain.
2. Uji fisik untuk melihat perubahan-perubahan fisik yang terjadi karena
kerusakan oleh mikroba maupun oleh reaksi kimia, misalnya perubahan pH,
kekentalan, tekstur, indeks refraktif, dan lain-lain.
3. Uji kimia untuk menganalisa senyawa-senyawa kimia sebagai hasil
pemecahan komponen pangan oleh mikroba atau hasil dari reaksi kimia.
4. Uji mikrobiologis, yang dapat dilakukan dengan metode hitungan
cawan, MPN, dan mikroskopis.
Tanda-tanda kerusakan pada makanan kaleng yang disebabkan oleh
Clostridium botulinum diantaranya adalah:
a. produk mengalami fermentasi
b. bau asam
c. bau keju atau bau butirat
d. pH sedikit di atas normal dengan tekstur rusak
Penampakan pada kaleng memperlihatkan bahwa kaleng menggembung.
Jika dibiarkan terus menerus mungkin bisa meledak. Beberapa pencegahan
yang bisa dilakukan oleh konsumen diantaranya adalah selalu
memperhatikan batas kadaluarsa makanan kaleng serta selalu
memperhatikan tekstur kaleng. Apabila batas kadaluarsa habis atau tekstur
kaleng mengalami penggembungan jangan sekali-kali mencoba untuk
membelinya. Uji bau dapat dilakukan dengan cara mencium bau makanan
tersebut, jika baunya sudah menglami perubahan lebih baik tidak
mengkonsumsi makanan kaleng tersebut.
2. Toksoflavin dan Asam Bongkrek
Kedua senyawa beracun ini diproduksi oleh Pseudomonas Cocovenenans,
dalam jenis makanan yang disebut tempe bongkrek, yaitu tempe yangdibuat
dengan bahan utama ampas kelapa. Pseudomonas Cocovenenans ini
tumbuh pada tempe bongkrek yang gagal dan rapuh. Pseudomonas
Cocovenenans memerlukan substrat minyak kelapa, dengan enzim yang
diproduksinya mampu menghidrolisis lemak menjadi gliserol dan asam lemak
. Gliserol kemudian diubah menjadi toksoflavin (C7H7N5O2), dan asam
lemaknya terutama asam oleat diubah menjadi asam bongkrek ( C28H38O7 )
Asam bongkrek ini dapat mengganggu metabolisme glikogen dengan
memobilisasi glikogen dari hati sehingga terjadi hiperglikemia yang kemudian
berubah menjadi hipoglikemia dan lalu menyebabkan kematian Pertumbuhan
Pseudomonas Cocovenenans dapat dicegah bila pH substrat diturunkan di
bawah 5,5 atau dengan penambahan garam NaCl pada substrat dengan
konsentrasi2,75 3 % .
3. Enterotoksin
Enterotoksin diproduksi oleh berbagai macam bakteri, termasuk organisme
penyebab keracunan makanan seperti Staphylococcus aureus, Bacillus
cereus, Salmonella enteriditis , dan Vibrio cholerae. Disebut enterotoksin
karena menyebabkan gastroenteritis.
Enterotoksin adalah eksotoksin yang aktivitasnya mempengaruhi usus halus,
umumnya menyebabkan sekresi cairan secara berlebihan ke dalam rongga
usus, menyebabkan diare dan muntah-muntah. Enterotoksin yang dihasilkan
oleh Vibrio cholerae adalah penyebab kolera. Toksin tersebut akan
mengaktifkan enzim siklik adenilase yang mengubah ATP menjadi cAMP
sehingga cAMP menjadi berlebihan dan menyebabkan ion klorida serta
bikarbonat dikeluarkan dalam jumlah besar dari sel mukosa ke dalam rongga
usus. Hal tersebut menyebabkan dehidrasi pada penderia kolera.
4. Bakteriosin
Bakteriosin adalah peptida antimikroba yang disintesis secara ribosomal yang
dihasilkan sejumlah bakteri dan mempunyai pengaruh bakterisidal dan
bakteriostatik terhadap bakteri yang mempunyai hubungan yang dekat
dengan bakteri penghasilnya.
Bakteriosin dihasilkan baik oleh bakteri grampositif maupun bakteri
gramnegatif. Bakteriosin grampositif mengandung 30 sampai 60 asam
amino dengan aktifitas yang bervariasi dari spektrum sempit sampai luas
dalam melawan bakteri grampositif lain bahkan ada yang beraksi terhadap
bakteri gramnegatif. Penamaan bakteriosin umumnya disesuaikan dengan
bakteri penghasilnya seperti Lactococcin A, Lactococcin G, lactococcin 972
dihasilkan oleh bakteri Lactococcus lactis, Enterococcin (Enterococcus
faecalis), Carnobactericin (Carnobacterium piscicola), Aurecin
(Staphylococcus aureus), Bacillocin (Bacillus licheniformis), Acidolin,
Acidophilin, Lactacin (Lactobacillus acidophilus), Lactocin, Helveticin (L.
helveticus), Plantaricin, Planticin (L. plantarum) dan lain sebagainya.
Bakteriosin pertama kali terdeteksi pada tahun 1925 oleh Andre Gratia yang
mengamati pertumbuhan beberapa strain E. coli yang pertumbuhannya
dihambat oleh senyawa antimikroba yaitu colicin. Bakteriosin selain berperan
dalam menjaga kesehatan ternak dan manusia melalui penyeimbangan
ekosistem pencernaan, bakteriosin yang dihasilkan bakteri asam laktat juga
berperan sebagai pengawet alami dalam penyimpanan dan pengolahan
bahan pangan.
Penggunaan istilah bakteriosin sering dikacaukan dengan istilah antibiotik
dan antimikroba. Antibiotik adalah zat kimia yang dihasilkan oleh berbagai
mikroorganisme. Bakteriosin adalah zat kimia berupa peptida atau protein
yang dihasilkan oleh bakteri sedangkan antimikroba disamping zat kimia
yang dihasilkan oleh berbagai mikroorganisme (antibiotik, bakteriosin) juga
substansi yang diperoleh secara sintetik. Bakteriosin secara umum berbeda
dengan antibiotik dalam hal sintesis, mekanisme kerja, spektrum dan tujuan
pemakaian
BAB IIIPENUTUP
A. Kesimpulan
Endotoksin dan eksotoksin memiliki tingkat bahaya yang sama apabila
terdapat dalam aliran darah dan bisa menyebabkan sakit hingga kematian.
Meskipun begitu, perkembangan dalam teknologi kesehatan membuat
keberadaan toksin yang dihasilkan oleh bakteri menjadi obat bagi penyakit itu
sendiri maupun yang disebakan oleh bakteri lain. Maka dari itu dengan
pengetahuan yang cukup kita bisa menyikapi dengan benar kebradaan
bakteri dan toksin yang hidup diantara kita.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof dr. D. Dwijseputro. Dasar- dasar mikrobiologi.1994. Jakarta :
Penerbit Djambatan
2. Arthur G Johnson Ph.D. (mikrobiologi dan imunologi) alih bahasaDr,
Yulius E.S. 1994 jakarta binarupa aksara
3. http://ilmupangan.blogspot.com/
2008/04/perbedaan-endotoksin-dan eksotoksin.html diakses pada hari
selasa 11 desember 2012 jam 20.48
4. Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan
RI.1989.Bakteriologi Umum.Jakarta.hal55-57
5. Staf Pengajar Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia,1994:Buku
ajar Mikrobiologi Kedoktera

Anda mungkin juga menyukai