Anda di halaman 1dari 9

EPISTEMOLOGI KEILMUAN DALAM PEMIKIRAN ISLAM

(PARADIGMA BAYANI)

Filsafat merupakan pengetahuan yang berkaitan dengan bentuk-bentuk


kehidupan.1 Hal ini mengindikasikan bahwa filsafat secara umum, dan salah satu
cabangnya yaitu epistemologi (theory of knowledge) dalam perkembangannya
senantiasa mengalami perubahan dan pergeseran baik di tinjau dari sisi teoritis
maupun dari sisi praktis, yang tentunya juga tidak bisa dilepaskan dari peran
manusia yang kodratnya sebagai pencari pengetahuan atau sebagai penafsir suatu
realitas dalam kehidupannya.

Sejarah telah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat ilmu
pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 sampai abad ke-15. Setelah itu masa
keemasan itu mulai surut bahkan mundur hingga abad ke-21 ini.2

Hal itu terjadi karena islam dalam kajian pemikirannya paling tidak
menggunakan beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan
(epistemology). Setidaknya ada tiga model system berfikir dalam islam yaitu:
bayani, burhani, dan irfani yang masing-masing mempunyai pandangan yang
berbeda tentang pengetahuan. Ketiga system tersebut dikenal juga tiga aliran
pemikiran epistemology barat dengan bahasa yang berbeda yaitu empirisme,
rasionalisme, dan intuitisme.

Selain sebagai instrument untuk mencari kebenaran ketiga epistemology


tersebut juga bisa digunakan sebagai sarana identifikasi cara berfikir seseorang.
Pemahaman paling sederhana pada ketiga epistemology ini adalah jawaban dari
pertanyaan dengan apakah manusia memperoleh kebenaran?

1
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama,2004), hlm.1
2
Syamsul Maarif, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm 18
Seorang filosof yang bercorak burhani akan menjawab bahwa sumber
kebenaran itu berasal dari akal atau panca indera. Dengan kedua sarana ini
manusia memunculkan dua dikotomi antara apa yang disebut rasional dan
irasional. Rasional adalah sebuah kebenaran begitu juga sebaliknya dengan yang
dimaksud irasional adalah kesalahan.

Selanjutnya orang yang memiliki corak berfikir bayani akan menjawab


bahwa sumber kebenaran itu berasal dari teks, rasio tidak memiliki tempat dalam
pembacaan mereka terhadap kebenaran. Sedangkan orang yang memiliki corak
berfikir irfani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari wahyu, ilham,
atau sejenisnya. Pola berfikir yang demikian akan membangun sebuah struktur
masyarakat yang memiliki hirarki atas bawah.

EPISTEMOLOGI BAYANI

1. PENGERTIAN BAYANI
Secara etimologi bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Menurut Al-Jabiri,
ada lima pengertian yang paling tepat untuk arti Bayan, yaitu : al-washal
(sambungan, pertalian), al-fashal (pemisah), azh-zhuhur wa al-wuduh (jelas,
nyata), al-fashahah wa al-qudrah ala at-tabligh wa al-iqna (kefasihan dan
kemampuan dalam menyampaikan pemahaman kepada orang lain) , dan al-
insan hayawan mubin (manusia adalah hewan yang bisa menjelaskan). 3
Sementara itu secara terminology bayan mempunyai dua arti yaitu:
(1) Sebagai aturan penafsiran wacana
(2) Sebagai syarat-syarat memproduksi wacana
Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal peradaban
Islam, makna etimologis ini lahir belakangan yakni pada masa kodifikasi

3
Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS,
2000), hlm. 60
(tadwin). Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan
otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung
artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti
memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan
penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas
menentukan makna dan maksudnya tetapi tetap harus bersandar pada teks.
Wahyu disini tidak hanya pengertiannya dipahami secara sempit dan
tertulis, akan tetapi apa saja yang sifatnya membimbing manusia kearah positif
semuanya tergolong wahyu. Oleh karena itu manusia tanpa bimbingan wahyu
tidak mungkin hidup sejahtera didunia ini.4
Sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa. (Q.S. Al- Baqarah:2)

2. PERKEMBANGAN BAYANI
Pada masa Syafii (767-820 M), Dari segi metodologi SyafiI membagi
bayan dalam lima bagian atau tingkatan, yaitu: 1) Bayan yang tidak butuh
penjelasan lanjut berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan
dalam al-Quran sebagai ketentuan bagi makhlukNya, 2) Bayan yang beberapa
bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah, 3) Bayan yang
keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah, 4) Bayan
sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat di al-Quran, 5) Bayan
Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat pada al-
Quran maupun sunnah. SyafiI menyatakan dari lima derajat bayan tersebut

4
Azman Ismail, Al-Quran, Bahasa dan Pembinaan Masyarakat, (Yogyakarta: AK Group bekerja
sama dengan Ar-Raniry Press Darussalam Banda Aceh, 2006), hlm, 2.
bahwa yang pokok ada tiga hal yaitu: Quran, sunnah dan qiyas, kemudian
ditambah ijma.5
Al-Jahiz (868 M), mengkritik konsep Syafii menurutnya yang dilakukan
oleh SyafiI baru pada tahap bagaimana memahami teks, belum pada tahap
bagaimana memberikan pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang
diperoleh. Jahiz menetapkan lima syarat bagi bayani yaitu: 1) kefasihan
ucapan, 2) seleksi huruf dan lafadz, 3) adanya keterbukaan makna, 4) adanya
kesesuaian antara kata dan makna, 5) adanya kekuatan kalimat untuk
memaksa lawan kebenaran yang disampaikan dan mengakui kelemahan serta
kesalahan konsepnya sendiri.
Sampai disini bayani telah berkembang jauh. Akan tetapi, apa yang
ditetapkan Jahiz pada masa berikutnya masih dianggap kurang tepat dan
sistematis. Menurut Ibnu Wahab, Bayani bukan diarahkan untuk mendidik
pendengar tetapi sebuah metode untuk membangun ashul furu caranya
dengan menggunakan paduan pola yang dipakai ulama fiqih dan kalam.
Menurutnya apa yang perlu penjelasan tidak hanya teks suci tetapi mencakup
empat hal yaitu: 1) wujud materi yang mengandung aksiden dan subtansi, 2)
rahasia hati yang memberi keputusan bahwa sesuatu itu benar-salah dan
subhat saat terjadi proses perenungan, 3) Teks suci dan ucapan yang
mengandung banyak dimensi, 4) teks-teks yang merupakan representasi
pemikiran dan konsep. Dari empat macam obyek ini Ibnu Wahab menawarkan
empat macam bayani yaitu: 1) Bayan al-Itibar, 2) Bayan al-Itiqod, 3) Bayan
al-Ibaroh, 4) Bayan al-Kitab.
Pada periode terakhir muncul Al Syatibi (1388 M) menurutnya sampai
saat ini bayan belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti (qothi) tetapi
baru dugaan (dhzon) sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan secara

5
A. Khudori Soleh, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 182
rasional. Dua teori utama dalam bayani yaitu istinbat dan qiyas hanya berpijak
pada sesuatu yang masih bersifat dugaan. Oleh karena itu Al Syatibi
menawarkan tiga teori yaitu: 1) al-Istintaj, 2) al-Istiqro, 3) al- Maqosid
asyari.
Jika dibuat skema dari epistemology bayani ini adalah sebagai berikut:

NO EPISTEMOLOGY BAYANI KETERANGAN


1. Origin Teks / Nash
2. Tool of Analysis - Asl - Far
- Lafz - Mana
- Jawhr - Ard
- Khabr Qiyas
3. Pendekatan Lughawiyah
4. Metode - Qiyas
- Istinbat
- Tajwiz
- Adah
5. Peran akal Justifikasi
6. Tipe argument Jadaliyah
7. Validitas Kedekatan teks dan realitas
8. Prinsip Dasar - Infisaal (Atomistik)
- Tajwiiz
9 Pendukung Keilmuan - Fuqaha
- Usulliyuun
- Mutakallimuun
10. Hubungan Subjek dan Objek Subjektif
3. SUMBER PENGETAHUAN BAYANI
Meskipun menggunakan metode rasional filsafat seperti digagas Syathibi
epistemoligi Bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam ushul al-fiqh yang
dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah al-Quran dan as-
Sunnah. Ini berbeda dengan pengetahuan burhani yang mendasarkan diri pada
rasio dan irfani yang mendasarkan diri pada intuisi. Karena itu, epistemology
bayani menaruh perhatian besar dan teliti pada proses tranmisi teks dari
generasi ke generasi. Ini penting bagi bayani, karena sebagai sumber
pengetahuan, di dalam bayani, benar tidaknya tranmisi teks menentukan benar
salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika tranmisi teks bisa
dipertanggungjawabkan, berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar
hukum. Sebaliknya, jika tranmisi teks diragukan, maka kebenaran teks tidak
bisa dipertanggungjawabkan, dan berarti ia tidak bisa dijadikan landasan
hukum. Karena itu pula mengapa pada masa kodifikasi, khususnya kodifikasi
hadits, para ilmuwan begitu ketat dalam menyeleksi teks yang diterima.

4. METODE BAYANI
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemology bayani menempuh dua
jalan. Pertama berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah
bahasa Arab. Kedua, metode menggunakan qiyas (analog) dan inilah prinsip
utama epistemology bayani. Dalam kajian ushul fiqh, qiyas diartikan
memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang
telah ada hukumnya dalam nash, karena adanya kesamaan dalam illah. Ada
beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas: 1) adanya al-Ashl
yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran, 2) al-far
yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash, 3) hukm al-ashl yakni
ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl, 4) illah yakni keadaan tertentu
yang dipakai sebagai dasar ketetapan hukumAshl.6

6
A. Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 188-
189.
Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari
kurma disebut far (cabang) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash
dan ia akan di qiyaskan dalam khamr. Khamr adalah Ashl atau pokok sebab
terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya haram, alasannya (illah) karena
memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada persamaan antara arak
dan khamr, yakni sama-sama memabukkan.
Menurut jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan
dalam epistemologi bayani digunakan dalam 3 aspek yaitu : 1) qiyas jali ,
dimana far mempunyai persoalan hukum yang kuat di banding ashl , 2) qiyas
fi makna an nash dimana ashl dan far mempunyai derajat hukum yang sama,
qiyas al-kahfi dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut
perkiraan mujtahid. Menurut Abd al jabar, seorang pemikir teologi
muktazilah, metode qiyas bayani diatas tidak hanya untuk menggali
pengetahuan dari teks tetapi juga bisa dikembangkan dan digunakan untuk
mengungkapkan persoalan non fisik ( ghoib).7

5. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN DARI PARADIGMA BAYANI


Pada prisipnya, islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif
sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga
kecenderungan epistemologi yang ada, dalam perkembangannya lebih
didominasi oleh corak berfikir bayani yang sangat tekstual dan corak berfikir
irfani yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu
memperhatikan pada penggunaan rasio secara optimal.
Keunggulan bayani terletak pada kebenaran teks (al-Quran dan Hadits)
sebagai sumver utama hukum islam yang bersifat universal sehingga menjadi
pedoman dan patokan. Dikarenakan bayani menempatkan akal menjadi
sumber sekunder, sehingga kurang adanya keseimbangan , saling mengisi, dan
saling melengkapi antara teks dan akal.

7
Ibid
6. KESIMPULAN
Epistemologi bayani adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks dan
bersumber pada teks, yakni teks nash (al-Quran dan as-Sunnah), teks non
nash berupa karya para ulama.
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas
teks (nash), secara langsung atau tidak langsung Secara langsung artinya
memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan
tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai
pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal
ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan
maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
DAFTAR PUSTAKA

Budi Hardiman, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama, 2004).

Syamsul Maarif, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007).


Al Jabiri, Muhammad Abid, Post Tradisionalisme Islam, Terj, Ahmad Baso,
(Yogyakarta: LKiS, 2000).

Soleh, A. Khudori, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003.)

Soleh, A. Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar,2004)
Azman Ismail, Al-Quran, Bahasa dan Pembinaan Masyarakat, (Yogyakarta: AK
Group bekerja sama dengan Ar-Raniry Press Darussalam Banda Aceh, 2006).

Anda mungkin juga menyukai