Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi jamur, masih memiliki prevalensi yang cukup tinggi di


Indonesia, mengingat negara kita beriklim tropis yang mempunyai kelembaban
tinggi. Jamur bisa hidup dan tumbuh di mana saja, baik di udara, tanah, air, pakaian,
bahkan di tubuh manusia. Jamur bisa menyebabkan penyakit yang cukup berat bagi
manusia. Penyakit tersebut antara lain mikosis yang menyerang langsung pada kulit,
mikotoksitosis akibat mengonsumsi toksin jamur yang ada dalam produk makanan,
dan misetismus yang disebabkan oleh konsumsi jamur beracun.1
Dermatomikosis atau kelainan kulit akibat jamur secara umum digolongkan
menjadi 2 kelompok, yakni mikosis superfisialis dan mikosis subkutan. Mikosis
superfisialis adalah infeksi jamur yang mengenai jaringan mati pada kulit, kuku, dan
rambut. Dalam beberapa buku, infeksi jamur ini dibedakan lagi menjadi mikosis
superfisialis dan mikosis kutan berdasarkan reaksi jaringan. Pada mikosis
superfisialis tidak terjadi reksi inflamasi atau terjadi inflamasi ringan atau disebut
juga sebagai kelompok nondermatofitosis. pada mikosis kutan, meskipun yang
diserang bukan jaringan hidup, terjadi reaksi inflamasi yang diakibatkan metabolit
jamur, yakni pada kelompok dermatofitosis. Mikosis superfisialis banyak ditemukan
di dunia, terutama di daerah tropis, termasuk Indonesia.2
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk,
misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan
golongan jamur dermatofita. Jamur ini dapat menginvasi seluruh lapisan stratum
korneum dan menghasilkan gejala melalui aktivasi respon imun penjamu. Golongan
tersebut seperti Microsporum, Trichophyton dan epidermophyton. Dermatofita ini
juga dapat memproduksi enzim seperti enzim keratinase, yang dapat memecah
keratin.3Salah satu bentuk dermatofitosis yang dikenal dalam ilmu kesehatan adalah
tinea korporis. Tinea korporis adalah salah satu golongan dermatofitosis pada kulit
tubuh tidak berambut (glabrous skin).2,3

1
Tinea korporis dapat tertular langsung dari manusia yang terinfeksi tinea
maupun dari hewan, lewat muntah, atau bisa juga terjadi secara autoinokulasi dari
reservoir maupun koloni dermatofita di kaki.4
Meskipun semua jenis dermatofita bisa menyebabkan terjadinya tinea
korporis, tetapi yang tersering yaitu T.rubrum. epidermophyton floccosum,
T.interdigitale, M.canis, dan T.tonsuran juga merupakan patogen yang bisa
menyebabkan tinea korporis. Tinea imbrikata disebabkan oleh T.concentricum,
dibatasi hanya pada area Pasifik Selatan, Amerika Selatan, dan Tengah.4

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Infeksi dermatofita superfisial yang disertai maupun tidak disertai lesi
inflamasi, pada kulit tubuh yang tidak berambut (glabrous skin), kecuali pada telapak
tangan, telapak kaki, dan lipatan paha.5

B. Epidemiologi 6
Tinea korporis bisa ditularkan langsung dari manusia atau hewan yang
terinfeksi, melalui muntah, atau mungkin terjadi melalui autoinokulasi dari
reservoir maupun koloni dermatofita di kaki.
Anak-anak lebih cenderung untuk kontak dengan pathogen zoofilik, terutama
M.canis, dari anjing atau kucing.
Pakaian yang tertutup dan iklim yang lembab berhubungan dengan erupsi
berulang dan berat.
Menggunakan pakaian tertutup, seringnya kontak langsung kulit, dan trauma
kecil akan menjadi lingkungan yang baik bagi pertumbuhan dermatofita.

C. Etiologi
Meskipun semua jenis dermatofita bisa menyebabkan terjadinya tinea
korporis, tetapi yang tersering yaitu T.rubrum. Epidermophyton floccosum,
T.interdigitale, M.canis, dan T.tonsuran juga merupakan patogen yang bisa
menyebabkan tinea korporis. Tinea imbrikata disebabkan oleh T.concentricum,
dibatasi hanya pada area Pasifik Selatan, Amerika Selatan, dan Tengah.4

D. Patogenesis
Infeksi Dermatofita diawali dengan perlekatan jamur atau elemen jamur yang
dapat tumbuh dan berkembang pada stratum korneum. Pada saat perlekatan, jamur

3
dermatofita harus tahan terhadap rintangan seperti sinar ultraviolet, variasi temperatur
dan kelembaban, kompetensi dengan flora normal, spingosin dan asam lemak.
Kerusakan stratum korneum, tempat yang tertutup dan maserasi memudahkan
masuknya jamur ke epidermis.4
Masuknya dermatofita ke epidermis menyebabkan aktivasi respon imun
pejamu baik respon imun nonspesifik maupun respon imun spesifik. Respon imun
nonspesifik merupakan pertahanan lini pertama melawan infeksi jamur. Mekanisme
ini dapat dipengaruhi faktor umum, seperti gizi, keadaan hormonal, usia, dan faktor
khusus seperti penghalang mekanik dari kulit dan mukosa, sekresi permukaan dan
respon radang. Respons radang merupakan mekanisme pertahanan nonspesifik
terpenting yang dirangsang oleh penetrasi elemen jamur. Terdapat 2 unsur reaksi
radang, yaitu pertama produksi sejumlah komponen kimia yang larut dan bersifat
toksik terhadap invasi organisme. Komponen kimia ini antara lain ialah
lisozim,sitokin,interferon,komplemen, dan protein fase akut. Unsur kedua merupakan
elemen seluler,seperti netrofil, dan makrofag, dengan fungsi utama fagositosis,
mencerna, dan merusak partikel asing. Makrofag juga terlibat dalam respons imun
yang spesifik. Sel-sel lain yang termasuk respons radang nonspesifik ialah basophil,
sel mast, eosinophil, trombosit dan sel NK (natural killer). Neutrofil mempunyai
peranan utama dalam pertahanan melawan infeksi jamur.4
Imunitas spesifik membentuk lini kedua pertahanan melawan jamur setelah
jamur mengalahkan pertahanan nonspesifik. Limfosit T dan limfosit B merupakan sel
yang berperan penting pada pertahanan tubuh spesifik. Sel-sel ini mempunyai
mekanisme termasuk pengenalan dan mengingat organism asing, sehingga terjadi
amplifikasi dari kerja dan kemampuannya untuk merespon secara cepat terhadap
adanya presentasi dengan memproduksi antibodi, sedangkan limfosit T berperan
dalam respons seluler terhadap infeksi. Imunitas seluler sangat penting pada infeksi
jamur. Kedua mekanisme ini dicetuskan oleh adanya kontak antara limfosit dengan
antigen.4

4
E. Manifestasi Klinis
Kelainan yang dilihat juga berupa lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas
terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah
tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat
garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan
yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang
polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Bentuk dengan tanda radang
yang lebih nyata, lebih sering dilihat pada anak-anak daripada orang dewasa karena
umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama kali.2
Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton concentricum
disebut tinea imbrikata. Penyakit ini terdapat di berbagai daerah tertentu di Indonesia,
misalnya Kalimantan, Sulawesi, Papua, Kepulauan Aru dan Kei, dan Sulawesi
Tengah. Tinea imbrikata mulai dengan bentuk papul berwarna coklat, yang perlahan-
lahan menjadi besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari dasarnya dan
melebar. Proses ini setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga
terbentuk lingkaran-lingkaran skuama yang konsentris. Bila dengan jari tangan kita
meraba dari bagian tengah ke arah luar, akan terasa jelas skuama yang menghadap ke
dalam. Lingkaran-lingkaran skuama konsentris bila menjadi besar dapat bertemu
dengan lingkaran-lingkaran di sebelahnya sehingga membentuk pinggir yang
polisiklik. Pada permulaan infeksi penderita dapat merasa sangat gatal, akan tetapi
kelainan yang menahun tidak menimbulkan keluhan pada penderita. Pada kasus
menahun, lesi kulit kadang-kadang dapat menyerupai iktiosis. Kulit kepala penderita
dapat terserang, akan tetapi rambut biasanya tidak. 2
Bentuk lain tinea korporis yang disertai kelainan pada rambut adalah tinea
favosa atau favus. Penyakit ini biasanya dimulai di kepala sebagai titik kecil di bawah
kulit yang berwarna merah kuning dan berkembang menjadi krusta berbentuk cawan
(skutula) dengan berbagai ukuran. Krusta tersebut biasanya ditembus oleh satu atau
dua rambut dan bila krusta diangkat terlihat dasar yang cekung merah dan membasah.
Rambut kemudian tidak berkilat lagi dan akhirnya terlepas. Bila tidak diobati,

5
penyakit ini meluas ke seluruh kepala dan meninggalkan parut dan botak. Berlainan
dengan tinea korporis, yang disebabkan oleh jamur lain, favus tidak menyembuh pada
usia akil balik. Biasanya dapat tercium bau tikus (mousy odor) pada para penderita
favus. Kadang-kadang penyakit ini dapat menyerupai dermatitis seboroika. Tinea
favosa pada kulit dapat dilihat sebagai kelainan kulit papulovesikel dan
papuloskuamosa, disertai kelainan kulit berbentuk cawan yang khas, yang kemudian
menjadi jaringan parut. Favus pada kuku tidak dapat dibedakan dengan tinea
unguium pada umumnya, yang disebabkan oleh spesies dermatofita yang lain. Tiga
spesies dermatofita dapat menyebabkan favus, yaitu Trichophyton shoenleini,
Trichophyton violaceum dan Microsporum gypseum. Berat ringan bentuk klinis yang
tampak, tidak bergantung pada spesies jamur penyebab, akan tetapi lebih banyak
dipengaruhi oleh tingkat kebersihan, umur, dan ketahanan penderita sendiri.2

F. Diagnosis
Diagnosis tinea korporis ditegakkan dengan anamnesis, dan gambaran lesi
yang khas yaitu lesi berbentuk makula polisiklik dengan pinggiran lebih aktif dan
penyembuhan di tengahnya.6

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10% akan dijumpai hifa, sebagai dua
garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang.2,6

H. Diagnosis Banding 2,8


1) Dermatitis Seboroik
Kelainan kulit ini dapat menyerupai tinea korporis, namun biasanya dapat
terlihat pada tempat predileksi, misalnya kulit kepala (scalp), lipatan-
lipatan kulit, misalnya belakang telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya

6
Gambar1. Dermatitis Seboroik. Makula eritematosa yang ditutupi oleh papul-papul
miliar tidak berbatas tegas, dengan skuama halus kuning berminyak

2) Pitiriasis Rosea
Distribusi kelainan kulit simetris dan terbatas pada tubuh bagian
proksimal anggota badan. Namun pada kelainan ini terdapat struktur
Herald patch.

Gambar2. Makula eritroskuamosa anular dan soliter serta berkonfluens,


bagian sentral berskuama

3) Dermatitis Numularis
Dermatitis numular predileksinya di daerah ekstensor dan karakteristik
lesinya menyerupai koin, eritema dan berbatas tegas. Bila terdapat vesikel

7
maka lambat laun akan pecah, terjadi eksudasi dan mengering membentuk
krusta berwarna kekuningan. Penyembuhan dimulai dari tengah, sehingga
menyerupai dermatomikosis.

Gambar3. Makula eritematosa eksudatif, ukuran nummular, dan erbatas tegas.


I. Penatalaksanaan
Umum : Meningkatkan kebersihan badan dan menghindari pakaian
yang tidak menyerap keringat.
Khusus :
1) Pengobatan Topikal
Pengobatan topikal merupakan pilihan pertama. Efektifitas obat topikal
dipengaruhi oleh mekanisme kerja obat tersebut. Obat anti jamur topikal
digunakan untuk pengobatan infeksi lokal pada kulit tubuh yang tidak
berambut (glabrous skin), namun kurang efektif untuk pengobatan infeksi
pada kulit kepala dan kuku, infeksi pada tubuh yang kronik dan luas,
infeksi pada stratum korneum yang tebal seperti telapak tangan dan kaki.
Pilihan obat diantaranya, adalah :2,5,7,9

8
-
Kombinasi asam salisilat (2-4%) dan asam benzoat (6-12%) dalam
bentuk salep
-
Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam bentuk salep.
-
Derivat azol : mikonazol 2%, klotrimazol 1%, dan yang terbaru
sertakonazol nitrat.
-
Derivat alilamin : naftifine, terbinafine
-
Kortikosteroid potensi rendah sampai sedang, namun penggunaannya
tidak boleh dalam jangka waktu panjang.
2) Pengobatan sistemik
Pengobatan ini diberikan pada tinea korporis dengan infeksi kulit yang
luas, pasien immunocompromise, pasien yang resisten dengan pengobatan
topikal, dan komorbid dengan tinea kapitis atau tinea unguium. Pilihan
obat diantaranya adalah :2,5,7
-
Griseofulvin. Dosis pengobatan griseofulvin berbeda-beda. Secara
umum, griseofulvin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan
dosis 0,5-1 g untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 g untuk anak-anak
sehari atau 10-25 mg/kg berat badan. Diberikan 1-2 kali sehari, lama
pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan
keadaan imunitas penderita, umumnya 3-4 minggu. Setelah sembuh
klinis pengobatan dilanjutkan hingga 2 minggu. Untuk mempercepat
waktu penyembuhan, kadang-kadang diperlukan tindakan khusus atau
pemberian obat topical tambahan. Sediaan mikrosize 500 mg.2,5
-
Derivat azol : ketokonazol 200 mg perhari selama 10 hari-2 minggu
pada pagi hari setelah makan, namun merupakan kontraindikasi pada
pasien dengan kelainan hati. Itrakonazol 100 mg perhari selama 2
minggu atau 200 mg perhari selama 1 minggu.2
-
Derivat Alilamin : terbinafin 250 mg per hari selama 2 minggu.
Terbinafin yang bersifat fungisidal juga dapat diberikan sebagai

9
pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg-250 mg
sehari bergantung pada berat badan.2.5

J. Prognosis
Bonam

BAB III
LAPORAN KASUS

10
A. Identitas Pasien
Nama : Nn. N
Umur : 22 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jln. Perintis Kemerdekaan
Suku :-
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Tanggal pemeriksaan : 11 Oktober 2016

B. RESUME
Pasien perempuan umur 22 tahun datang berobat ke Poli kulit dengan keluhan
gatal pada daerah badan yaitu di daerah lipatan mammae bagian bawah sebelah kiri
hingga ke tengah, daerah perut bagian bawah, daerah lipatan paha kanan dan kiri, dan
daerah bokong sejak kurang lebih 1 tahun hingga saat berobat. Awalnya pasien
merasa gatal pada daerah lipatan paha dengan adanya warna kemerahan yang
berbentuk kecil bulat. Kemudian menyebar hingga ke daerah lain. Gatal terutama
dirasakan saat berkeringat. Gatal didaerah kepala dan jari-jari serta dibagian lain tidak
dikeluhkan pasien. Riwayat alergi obat maupun makanan tidak ada, riwayat asma
tidak ada, riwayat keluarga dengan penyakit yang sama tidak ada, riwayat kontak
dengan bahan logam maupun bahan kimia tidak ada. Pasien tinggal di rumah kos-
kosan bersama teman. Tidak ada keluhan yang sama pada teman sekamar, tidak ada
riwayat demam, dan riwayat alergi tidak ada.
Pada pemeriksaan fisik status generalisata didapatkan tanda vital, toraks, dan
abdomen dalam batas normal. Pada status dermatologi didapatkan lokasi lesi pada
regio toraks, abdomen, gluteal, dan intertriginosa dengan effloresensi makula
eritematosa sirkumsripta dengan bagian tepi lesi aktif.
Pemeriksaan fisik :
Status present : kesadaran compos mentis

11
Satus general : dalam batas normal
Berat badan :-
Status psikiatri : -
Status Dermatologi :
-
Lokasi : lipatan mammae, perut bagian bawah, lipatan paha,
dan gluteus
-
Ukuran : nummular hingga plakat yang berkonfluen
-
Jumlah : 4 (empat) bagian
-
Effloresensi : makula eritema, anular, tersebar difus, berbatas tegas,
pinggir lesi polisiklik dan agak meninggi, dengan papul di tepi. Daerah
tengah relatif lebih tenang.

Gambar4. Tinea korporis pada lipatan mammae

12
Gambar5. Tinea Korporis pada perut

Gambar6. Tinea korporis pada daerah gluteal


C. Diagnosis Kerja
Tinea Korporis

D. Penatalaksanaan
Sitemik : Ketoconazole 200 mg, 2 dd 1
Topikal : Myconazole Nitrat Cream 2%, u.c

E. Prognosis : Bonam

13
BAB IV
PEMBAHASAN

Tinea korporis sering ditemukan pada daerah tropis dan daerah yang beriklim
lembab. Frekuensi antara pria dan wanita sama besarnya dan dapat mengenai semua

14
umur, namun lebih tinggi pada remaja muda. Dan karena hewan peliharaan
merupakan salah satu sumber infeksi, anak-anak juga sering menderita tinea
korporis.5

Tinea korporis sering didahului dengan keluhan penderita berupa rasa gatal
pada daerah badan atau sesuai dengan predileksi tinea corporis.2 Dari hasil anamnesis
didapatkan pasien merasa gatal-gatal pada daerah badan khususnya pada daerah
lipatan mammae, perut bagian bawah, gluteal, dan lipatan paha. Gatal terutama
dirasakan saat berkeringat dan utamanya pada malam hari. Gatal tersebut sangat
menganggu pasien sehingga pasien sering menggaruk bagian tubuhnya tersebut..

Manifestasi klinis tinea korporis awalnya akan tampak lesi eritema, yang dapat
dengan cepat membesar dan meluas, dengan batas tegas dan konfigurasi anular
karena resolusi sentral. Sebagai akibat proses peradangan dapat timbul skuama,
krusta, vesikel, atau bahkan bulla. Pada kasus yang jarang dapat timbul makula
purpura yang disebut tinea korporis purpura.5

Kelainan yang dilihat juga berupa lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri
atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah
tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat
garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan
yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang
polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.2 Dari pemeriksaan fisik
didapatkan gambaran lesi yang sesuai dengan tinea korporis yaitu lesi eritema
berbatas tegas, terlihat erosi akibat garukan, lesi yang berkonfluens sehingga menjadi
besar dengan pinggiran polisiklik, tepi lesi lebih aktif daripada bagian tengah lesi.

Penatalaksanaan untuk tinea korporis yaitu secara umum dengan menjaga


kebersihan tubuh untuk meminimalisir kemungkinan pertumbuhan jamur di kulit.
Dan terapi selanjutnya diberikan antijamur. Pemberian obat anti jamur sistemik
digunakan untuk pengobatan infeksi jamur superfisial dan deep mikosis. Antijamur

15
sistemik diberikan dengan melihat bahwa terdapat infeksi kulit yang luas, pasien
immunocompromise, dan pasien yang resisten dengan pengobatan topikal.
Pengobatan topikal merupakan pilihan pertama. Efektifitas obat topikal dipengaruhi
oleh mekanisme kerja obat tersebut. Obat anti jamur topikal digunakan untuk
pengobatan infeksi lokal pada kulit tubuh yang tidak berambut (glabrous skin),
namun kurang efektif untuk pengobatan infeksi pada kulit kepala dan kuku, infeksi
pada tubuh yang kronik dan luas, infeksi pada stratum korneum yang tebal seperti
telapak tangan dan kaki.
Antijamur sistemik yang diberikan kepada pasien yaitu ketokonazol.
Ketokonazol merupakan antijamur golongan imidazol yang pertama diberikan secara
oral. Ketoconazol bekerja menghambat biosintesis ergosterol yang merupakan sterol
utama untuk mempertahankan integritas membrane sel jamur. Beekrja dengan cara
menghibisi enzim sitokrom P-450, C-14--demethylase yang bertanggung jawab
mengubah lanosterol menjadi ergosterol, hal ini akan mengakibatkan dinding sel
jamur menjadi permiabel dan terjadi penghancuran jamur. Ketokonzol mempunyai
spectrum luas dan efektif terhadap Blastomyces dermatitidis, Candida spesies,
Coccidiodes immitis, Histoplasma capsulatum, Malassezia furfur, Paracoccidiodes
brasiliensis. Ketoconazole juga efektif terhadap dermatofit tetapi tidak efektif
terhadap Apirgellus spesies dan Zygomycetes. Ketokonazol yang diberikan secara oral
mempunyai bioavailabilitas yang luas antara 37%-97% di dalam darah. Ketoconazol
mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan mencapai keratin dalam waktu 2 jam
melalui kelenjar keringat ekrin. Konsentrasi ketokonazol masih tetap dijumpai
sekurangnya 10 hari setelah obat dihentikan. Konsentrasi serum ketokonazol dapat
menurun pada pasien yang mengkonsumsi obat yang dapat menurunkan sekresi asam
lambung seperti antacid, antikolinergik, dan H2-antagonis sehingga sebaiknya obat
ini diberikan 2 jam setelah pemberian ketokonazol.
Antijamur topikal yang diberikan untuk pasien ini adalah mikonazol cream
2%. Miconazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versicolor, dan
kandidosis oral, kutaneus, dan genital. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit

16
digunakan mikonazol cream 2%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung pada
kondisi pasien, biasanya diberikan 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari

BAB V
KESIMPULAN
1. Pasien didiagnosa dengan tinea korporis karena dari anamnesis, pemeriksaan
fisis dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan mendukung ke arah diagnosa
tersebut.

17
2. Penyebab terjadinya tinea korporis yang tersering adalah Trichophyton
rubrum. Faktor predisposisi, terutama lingkungan dan kelembapan yang tinggi
dan cuaca panas sangat berperan memudahkan timbulnya penyakit ini.
3. Tanda awal dapat berupa rasa gatal pada daerah lesi.
4. Keluhan yang sering dirasakan penderita adalah gatal dan perih karena
digaruk oleh pasien.
5. Penanganan yang diberikan pada pasien ini berupa terapi medikamentosa.
Terapi medicamentosa yang diberikan berupa obat topikal Miconazole cream
2 % 10 gr serta obat sistemik Ketokonazole 200 mg 1x1.
6. Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sangat penting dalam kasus
ini, hal ini disebabkan karena penyakit ini memerlukan waktu yang lama
untuk sembuhdan angka kekambuhannya cukup tinggi dan sangat dipengaruhi
oleh faktor-faktor predisposisi dan kesabaran serta ketaatan pasien untuk
berobat.
7. Prognosis umumnya baik bergantung pada berat ringannya faktor predisposisi.

18

Anda mungkin juga menyukai