Anda di halaman 1dari 8

KUP

Kasus Keberatan atau Banding

Oleh:
Kelompok 7

Anggota:

Conie Jihan Sujannah Habibah 9

Hanifa Yulfi Priwardhani 16

I Gusti Agung Ayu Pradnya Paramita 19

Muhammad Yusri Alghifari 27

Rizky Listyaningsih 34

Politeknik Keuangan Negara STAN

2017
Kasus

PT Agri Grup

Penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent)
membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13
November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group financial controller di PT AAG
yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan
dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah
dokumen penting perusahaan tersebut. Pelarian VAS berakhir setelah pada tanggal 11
Desember 2006 ia menyerahkan diri ke Polda Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal
1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan
PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah satu
dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul AAA-Cross Border Tax Planning (Under
Pricing of Export Sales), disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua
persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci.
Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm
Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar
untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban
pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang
menjadi rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan
permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak karena memang permasalahan PT AAG tersebut
terkait erat dengan perpajakan. Menindaklanjuti hal tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin
Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen.
Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan
Kejaksaan Agung. Tim khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan termasuk
penggeladahan terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan
penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan
nilai (PPN). Selain itu juga bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun
penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan
hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil
penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak
penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang
digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan
pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah
ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL,
LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur dan
penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah
mencekal 8 orang tersangka tersebut.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ternyata diketahui bahwa
Majelis Hakim Pengadilan menolak eksepsi dari Manajer Asian Agri Group yang diwakili oleh
Pengacaranya pajak karena tidak adanya surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak.
Asian Agri akhirnya benar - benar melayangkan surat keberatan kepada Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) terkait Surat Ketetapan Pajak (SKP) kepada 14 anak perusahaannya.
setelah membayar senilai Rp 969,675 miliar atau 49% dari total pajak terutang yakni mencapai
Rp 1,95 triliun. Asian Agri melayangkan keberatan karena menganggap SKP yang mencapai
Rp 1,95 triliun tidak sesuai, sebab melebihi total keuntungan perusahaannya yang pada 2002-
2005 hanya Rp 1,24 triliun. Total utang pajak plus denda Asian Agri sendiri mencapai Rp 1,959
triliun.
Penyelesaian Kasus PT Asian Agri Grup

PT Asian Agri Group (AAG) diduga melakukan penggelapan pajak selama beberapa
tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara senilai trilyunan rupiah. Belum selesai
penyidikan, berkembang wacana mengenai penyelesaian kasus itu di luar. Hal ini tentunya
mengkhawatirkan bagi orang yang menginginkan tegaknya hukum dan terwujudnya keadilan.
Sangat ironis jika para penjahat kecil ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui,
sementara itu penjahat besar yang mengakibatkan kerugian besar pada negara justru dibiarkan
karena kekuatan kekuasaannya.
Meski peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan dengan
sanksi pidana penjara dan denda yang cukup berat, tapi masih ada celah hukum untuk
meloloskan para penggelap pajak di pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007 membuka
peluang mengenai penyelesaian kasus di luar pengadilan bagi tindak pidana di bidang
perpajakan. Ketentuan itu mengatur bahwa atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung
dapat menghentikan penyidikan. Dengan demikian, kasus berakhir jika wajib pajak yang telah
melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi administratif berupa denda.
Ketentuan hukum nyatanya begitu lunak dalam mengatur tindak pidana perpajakan.
Peluang penyelesaian kasus di luar pengadilan dimungkinkan bagi segala jenis tindak pidana
perpajakan. Peluang itu tidak hanya berlaku untuk Perlawanan Pasif terhadap Pajak, yaitu
perlawanan yang tidak dilakukan secara sadar atau disertai niat dari warga masyarakat untuk
merintangi aparat pajak dalam melakukan tugasnya. Penghentian penyidikan dan penyelesaian
di luar sidang juga berlaku untuk Perlawanan Aktif terhadap Pajak yang perbuatannya
dilakukan lewat cara-cara ilegal dan langsung ditujukan pada fiskus/pemerintah.
Jadi, penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski masuk
kategori Perlawanan Aktif terhadap Pajak sekalipun tetap dapat diselesaikan di luar sidang
pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung pada Menteri Keuangan dan Jaksa
Agung sebagai pihak yang paling menentukan dalam proses penyelesaian tindak pidana
perpajakan ini.
Asian Agri akhirnya benar - benar melayangkan surat keberatan kepada Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) terkait Surat Ketetapan Pajak (SKP) kepada 14 anak perusahaannya.
Perusahaan perkebunan sawit milik taipan Sukanto Tanoto ini melayangkan surat keberatan
setelah membayar senilai Rp 969,675 miliar atau 49% dari total pajak terutang yakni mencapai
Rp 1,95 triliun.
Sedari awal Asian Agri memang berniat banding atas penetapan SKP yang ditetapkan
DJP. Namun mereka harus terlebih dulu membayar setengah dari total utang pajak. Asian Agri
melayangkan keberatan karena menganggap SKP yang mencapai Rp 1,95 triliun tidak sesuai,
sebab melebihi total keuntungan perusahaannya yang pada 2002-2005 hanya Rp 1,24 triliun.
Total utang pajak plus denda Asian Agri sendiri mencapai Rp 1,959 triliun.
Adapun syarat pengajuan keberatan dan banding adalah pasal 25 dan 26 UU KUP,
yaitu:
KEBERATAN
Wajib Pajak mempunyai hak untuk mengajukan keberatan atas suatu ketetapan pajak dengan
mengajukan keberatan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat 3 bulan
sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan
kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.

Atas keberatan tersebut Direktur Jenderal Pajak akan memberikan keputusan paling lama
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat keberatan diterima.
Syarat pengajuan keberatan adalah:

1. Mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor
Pelayanan Pajak setempat atas SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN, dan Pemotongan
dan Pemungutan oleh pihak ketiga.
2. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak
terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan menyebutkan alasanalasan yang
jelas.
3. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak surat ketetapan
pajak, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi karena di luar kekuasaannya.
4. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan di atas tidak dianggap sebagai Surat
Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
5. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak
wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah
disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat
keberatan disampaikan.
Perlu diketahui bahwa apabila permohonan keberatan Wajib Pajak ditolak dan Wajib
Pajak tidak mengajukan banding maka Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi
berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan
keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan
keberatan.

BANDING
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Surat Keputusan Keberatan atas keberatan
yang diajukannya, maka Wajib Pajak masih dapat mengajukan banding ke Badan Peradilan
Pajak.
Syarat pengajuan banding adalah:

1. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dalam waktu 3
(tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima dilampiri surat Keputusan Keberatan
tersebut.
2. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.

Pengadilan Pajak harus menetapkan putusan paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak
Surat Banding diterima. Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian,
Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari
jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Eksepsi (penolakan atau keberatan) yang disampaikan Pengacara Asian Agri Group
pada dasarnya menegaskan bahwa penyelesaian kasus dugaan penyelewengan pajak
merupakan kewenangan Pengadilan Pajak karena merupakan persoalan atau sengketa pajak
yang sudah diatur dalam undang-undang pajak.
Sengketa pajak yang muncul sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang tidak
memuaskan Wajib Pajak harus diupayakan penyelesaiannya secara baik, sederhana,murah, dan
cepat. Artinya, ada jalan penyelesaian secara kekeluargaan dengan musyawarah antara kedua
belah pihak yang bersengketa dan tetap memperhatikan peraturan perpajakan.
Namun, Majelis Hakim menolak eksepsi Pengacara Asian Agri Group dan berpendapat
bahwa kasus Asian Agri Group bukan merupakan sengketa pajak karena tidak adanya surat
ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Kalau sengketa pajak akan
ada upaya hukum untuk menyelesaikannya, yaitu melalui upaya hukum keberatan.
Penolakan eksepsi inilah yang perlu mendapat kajian apakah benar argumentasi hukum
yang dibangun Majelis Hakim hingga kasus dugaan penggelapan pajak bisa dipidana karena
tidak adanya surat ketetapan pajak yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak sebagai dasar
adanya sengketa pajak. Kalau permasalahan pajak dibawa dalam ranah hukum pidana, tentu
menjadi kontradiktif terkait proses administrasi pajak yang tujuan utamanya mengumpulkan
uang pajak. Pilihan memidanakan Wajib Pajak atau memprioritaskan penerimaan tentu
menjadi politik kepentingan pemerintah. Untuk itu, kajian komprehensif pemidanaan atas
pajak, patut menjadi perhatian serius agar tidak terjadi keresahan terus menerus di kalangan
dunia usaha dan pegawai pajak.
Seperti diuraikan diatas, dalam banyak literatur disebutkan bahwa hukum pajak
tergolong sebagai hukum publik, termasuk hukum administrasi/tata usaha negara. Jalur hukum
administrasi (hukum pajak) mempunyai cara penyelesaiannya sendiri sesuai dengan aturan
yang sudah ditegaskan dalam undang-undang pajak yang mengaturnya. Jika seperti itu,
menyelesaikan persoalan administrasi pajak dengan cara pidana menjadi kontradiktik ketika
negara membutuhkan dana pajak sebagai sumber pembiayaan pembangunan yang tiap tahun
jumlahnya terus naik (meningkat). Persoalan memidana Wajib Pajak jelas membawa keresahan
tersendiri bagi pelaku dunia usaha. Artinya, pelaku usaha menjadi takut dipidana ketika
persoalan penghitungan pajak yang cukup rumit akan dipersoalkan menjadi persoalan
berindikasikan tindak pidana.
Pendapat pakar hukum dalam kasus Asian Agri Group di atas, menarik untuk dikaji dan
dipahami dengan baik oleh semua aparat penegak hukum terutama aparat Kepolisian,
Kejaksaan, maupun Hakim. Kesamaan visi memandang pajak tidak boleh dipidana karena
merupakan bagian dari hukum administrasi, harus menjadi perhatian bersama.
Hukum pajak sebagai bagian hukum tata usaha negara memang bersumber pada peristiwa
perdata, yang apabila dilanggar dapat diancam dengan pelanggaran pidana. Dalam hukum
pajak memuat unsur-unsur :

Hukum tata negara dan hukum tata usaha negara.

Hukum perdata;

Hukum pidana. Menyamakan persepsi demikian memang tidak mudah. Diperlukan satu
koordinasi yang kuat. Presiden selaku pimpinan eksekutif sebaiknya memimpin proses
koordinasi demikian.

Meski keberatan, Asian Agri tetap harus membayar sisa utang pajak seperti dalam SKP.
Jika Asian Agri tidak melunasi seluruh tagihan SKP setelah jatuh tempo, DJP dapatmelakukan
penagihan aktif berupa teguran, penerbitan surat paksa, penyitaan dan blokir rekening hingga
pelelangan aset.
Simpulan

Berdasarkan hasil kasus analisis diatas apabila sudah terjadi suatu kasus sengketa pajak antara
Wajib pajak dengan Fiskus, maka otomatis Wajib Pajak mempunyai Hak dan Kewajiban dalam
menangani sengketa pajak tersebut. Hak dari Wajib Pajak sendiri ialah dapat mengajukan
keberatan kepada Surat Keputusan Pajak yang dibuat oleh DJP sesuai pasal 25 UU no 28 tahun
2007, serta dapat mengajukan banding ke Peradilan Pajak apabila tidak puas dengan Surat
Ketetapan Pajak yang dijatuhkan oleh Fiskus sesuai pasal 27 UU no 28 tahun 2007.
Namun yang menjadi kewajiban Wajib Pajak sebelum mengajukan keberatan maupun banding
ialah Wajib Pajak terlebih dahulu harus melunasi pajak yang disetujui dalam keputusan
keberatan maupun banding tersebut.
Dalam kasus sengketa pajak Asian Agri, dijelaskan bahwa Asian Agri melakukan penggelapan
pajak yang mengarah kepada kerugian negara. Maka dari itu Peradilan Pajak dituntut untuk
bijaksana dalam menyelidiki dan menyelesaikan permasalahan kasus tersebut sesuai dengan
ketentuan Undang Undang yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai