Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengambilan keputusan dalam penyelesaian masalah adalah kemampuan
mendasar bagi praktisi kesehatan, khususnya dalam asuhan keperawatan. Tidak
hanya berpengaruh pada proses pengelolaan asuhan keperawatan, tetapi penting
untuk meningkatkan kemampuan merencanakan perubahan. Perawat pada semua
tingkatan posisi klinis harus memiliki kemampuan menyelesaikan masalah dan
mengambil keputusan yang efektif, baik sebagai pelaksana/staf maupun sebagai
pemimpin.
Pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan membutuhkan
pemikiran kritis dan analisis yang dapat ditingkatkan dalam praktek. Pengambilan
keputusan merupakan upaya pencapaian tujuan dengan menggunakan proses yang
sistematis dalam memilih alternatif. Tidak semua pengambilan keputusan dimulai
dengan situasi masalah.
Oleh karena pentingnya pengambilan keputusan, maka perlu diberlakukan
suatu pembahasan secara mendalam mengenai pengambilan keputusan yang akan
kita ikuti dalam mata kuliah pengambilan keputusan, agar kita dapat memahami
esensi dari pengambilan keputusan itu sendiri. Selain sebagai kewajiban tugas
kelompok, makalah ini diperbuat bertujuan untuk memberi pemahaman kepada
pembaca, agar mampu memahami konsep dasar pengambilan keputusan secara
sederhana dan jelas.

1.2 Rumusan masalah


1. Apa itu teori dasar pembuatan keputusan etis?
2. Bagaimana kerangngka pembuatan keputusan etis?
3. Bagaimana Strategi Penyelesaian Permasalahan Etis?

1.3 Tujuan

Page 1
1. Untuk mengetahui Teori dasar pembuatan keputusan etis.
2. Untuk mengetahui Kerangka Pembuatan Keputusan Etis
3. Untuk mengetahui Strategi Penyelesaian Permasalahan Etis

Page 2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Teori dasar pembuatan keputusan etis.

Teori teori digunakan dalam pembuatan keputusan bila terjadi konflik antara
prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Para ahli falsafah moral telah mengembangkan
bebrapa teori etik, yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi teori
teleology dan deontology.

a. Teleology
Teleology merupakan suatu doktrin yang menjelaskan fenomena
berdasarkan akibat yang dihasilkan atau konsekuensi yang dapat terjadi.
Pendekatan ini sering disebut dengan ungkapan the end justifies the means
atau makna dari suatu tindakan ditentukan oleh hasil akhir yang terjadi. Teori
ini menekankan pada pencapaian hasil dengan kebaikan maksimal dan
ketidakbaikan sekecil mungkin bagi manusia (Kelly,1987).
Teori teleogi atau utilitarianisme dapat dibedakan menjadi rule
utilitarianisme dan act utilitarianisme. Rule utilitarianisme berprinsip bahwa
manaat atau nilai suatu tindakan tergantung pada sejauh mana tindakan
tersebut memberikan kebaikan atau kebahagiaan pada manusia. Act
utilitarianisme bersifat lebih terbatas; tidak melibatkan aturan umum tetapi
berupaya menjelaskan pada suatu situasi tertentu, dengan pertimbangan
terhadap tindakan apa yang dapat memberikan kebaikan sebanyak-banyaknya
atau ketidakbaikan sekecil-kecilnya pada individu. Contoh penerapan teori ini
misalnya bayi-bayi yang lahir cacat lebih baik diizinkan meninggal dari pada
nantinya menjadi beban masyarakat.

b. Deontology (formalism)
Menurut kant, benar atau salah ditentukan oleh hasil akhir atau
konsekuensi dari suatu tindakan, melainkan oleh nilai moralnya. Dalam
konteks disini perhatian difokuskan pada tindakan melakukan tanggung jawab

Page 3
moral yang dapat memberikan penentu apakah tindakan tersebut secara moral
benar atau salah. Kant berpendapat prinsip-prinsip moral atau yang terkait
dengan tugas harus harus bersifat universal, tidak conditional dan imperative.
Kant percaya bahwa tindakan manusia secara rasional tidak konsisten, kecuali
bila aturan-aturan yang ditaati bersifatuniversal, tidak conditional dan
imperative. Contoh penerapan deontology adalah seorang perawat ang yakin
bahwa pasien harus diberitahu tentang apa yang sebenarnya terjadi walaupun
kenyataan tersebut sangat menyakitkan. Contoh lain misalnya seorang perawat
menolak membantu pelakanaan abortus karena keyakinan agamanya yang
melarang tindakan membunuh.
Dalam menggunakan pendekatan teori ini, perawat tidak menggunakan
pertimbangan, misalnya seperti tindakan abortus dilakukan untuk
menyelamatkan nyawa ibu, karena setiap tindakan yang mengakhiri hidup
(dalam hal ini calon bayi) merupakan tindakan yang secara moral buruk.
Secara lebih luas, teori deontology dikembangkan menjadi lima prinsip
penting: kemurahan hati, keadilan, otonomi, kejujuran, dan ketaatan (Fry,1991
lih. Creasia, 1991).

a. Kemurahan hati (beneficence)


Inti dari prinsip kemurahan hati adalah tanggung jawab untuk melakukan
kebaikan yang menguntungkan pasien menghindari perbuatan yang merugikan
atau membahayakan pasien. Prinsip ini seringkali sulit diterapkan dalam
praktik keperawatan. Berbagai tindakan yang dilakukan sering memberikan
dampak yang merugikan pasien, serta tidak adanya kepastian yang jelas
apakah perawat bertanggung jawab atas semua ara yang menguntungkan
pasien.

b. Keadilan (justice)
Prinsip dari keadilan menurut beauchamp dan childress menyatakan
bahwa mereka yang sederjata harus diperlakukan sederajat, sedangkan yang
tidak sederajat diperlakukan secara tidak sederajat, sesuai dengan kebutuhan

Page 4
mereka. Ini berarti bahwa kebutuhan kesehatan dari mereka yang sederajat
harus menerima seumber pelayanan kesehatan dalam jumlah sebanding. Ketika
seeorang mempunyai kebutuhan keselamatan yang besar, maka menurut
prinsip disini ia harus mendapatkan sumber-sumber kesehatan yang besar pula.
Kegiatan alokasi dan distribusi sumber-sumber ini memungkinkan dicapainya
keadilan dalam pembagian sumber-sumber asuhan kesehatan kepada pasien
secara adil sesuai kebutuhannya.

c. Otonomi
Prinsip otonomi menyatakan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan
menentukan tindakan atau keputusan berdasarkan rencana yang mereka pilih
(Veatch dan Fry, 1987;lih. Creasia. 1991). Permasalahan yang muncul dari
penerapan prinsip ini adalah adanya variasi kemampuan otonomi pasien yang
dipengaruhi oleh banyak hal, seperti tingkat kesadaran, usia, penyakit,
lingkungan rumah sakit, ekonomi, tersedianyainformasi dan lain-lain.

d. Kejujuran (Veracity)
Kejujuran harus dimiliki perawat saat berhubungan dengan pasien.
Kejujuran merupakan dasar terbinanya hubungan saling percaya antara perawat
dengan pasien. Perawat sering tidak memberitahukan kejadian sebenarnya pada
pasien yang sakit arah.

e. Ketaatan (Fidelity)
Prinsip ketaatan didefinisikan oleh Veatch dan Fry sebagai tanggung
jawab untuk tetap setia pada suatu kesepakatan. Tanggung jawab dalam
konteks hubungan perawat-pasien meliputi tanggung jawab menjaga janji,
mempertahankan konfidensi dan memberikan perhatian/kepedulian.
Salah satu cara untuk menempatkan prinsip konfidensi (menempati janji)
adalah dengan memasukkan ketaatan dalam tanggung jawab. Untuk
mewujudkan hal ini perawat harus selektif dalam mempertimbangkan

Page 5
informasi apa yang harus dijaga konfidensinya dan mengetahui waktu yang
tepat untuk menepati janji sesuai hubungan perawat dengan pasien.
Rasa kepedulian perawat diwujudkan dalam memberi perawatan dengan
pendekatan individual, bersikap baik kepada pasien, memberikan kenyamanan,
dan menunjukkan kemampuan profesional.

2.2 Kerangka Pembuatan Keputusan Etis


Kemampuan membuat keputusan masalah etis merupakan salah satu
persyaratan bagi perawat untuk menjalankan praktik keperawatan profesional
(Fly, 1989).
Dalam membuat keputusan etis, ada beberapa unsur yang mempengaruhi
seperti nilai dan kepercayaan pribadi, Kode etik perawatan, konsep moral
perawatan dan prinsip-prinsip etis.
Berbagai kerangka model pembuatan keputusan etis telah dirancang oleh
banyak ahli etika, dimana semua kerangka tersebut berupaya menjawab
pertanyaan dasar tentang etika. Yang menurut Fry meliputi :
Hal apakah yang membuat tindakan benar adakah benar ?
Jenis tindakan apakah yang benar ?
Bagaimana atuaran-atauran dapat diterapkan pada situasi tertentu ?
Apakah yang dilakukan pada situasi tertentu ?
Beberapa kerangka pembuatan keputusan etis keperawatan dikembangkan
dengan mengacu pada kerangka pembutan keputusan etika medis (Murphy
dan Murphy, 1976; Borody 1981). Beberapa kerangka disusun berdasarkan
posisi falsafah praktik keperawatan (Benjamin dan Curtis, 1986; Aroskar.
1980), sementara model-model lain dikembangkan berdasarkan proses
pemecahan masalah seperti yang diajarkan di pendidikan keperawatan
(Bergman, 1973; Curtin, 1978; Jameton 1984; Stanley, 1980; Stenberg, 1979;
Thompson dan thompson,1985). Beriut ino meupkan contoh model yang
dikembangkan oleh thompson dan model oleh Jameton :

Page 6
Metode Jameton ddapata digunakan untuk menyelesaikan permasalahan
etika keperawatan yang berkaitan dengan asuhan keperawatan pasien.
Keangka Jameton, seperti yang ditulis oleh Fly (1991), terdiri dari enam tahap:
1. Idetifikasi masalah. Ini berarti mengklasifikasi masalah dilihat daria nilai-
nilai, konflik, dan hati nurani. Perawat juga harus mengkaji
keterlibatannya terhadap masalah etika yang timbul dan mengkaji
parameter waktu untuk protes pembuatan keputusan. Tahap ini akan
memberikan jawaban pada perawat terhadap pernyataan: Hal apakah yang
membuat tindakan benar adalah benar? Nilai-nilai diklasifikasi dan peran
perawat dalam situasi yang terjadi diidentifikasi.
2. Perawat harus mengumpulkan data tambahan. Informasi yang
dikumpulkan dalam tahap ini meliputi, orang-orang yang dekat dengan
pasien yang terlibat dalam membuat keputusan bagi pasien,
harapan/keinginan dari pasien dan orang yang terlibat dalam pembuatan
keputusan. Perawat kemudian membuat laporan tertulis kisah dari konflik
yang terjadi.
3. Perawat harus mengidentifikasi semua pilihan atau alternatif secara
terbuka kepada pembuat keputusan. Semua tindakan yang memungkinkan
harus terjadi termasuk hasil yang mungkin diperoleh beserta dampaknya.
Tahapan ini memberikan jawaban: Jenis tindakan apa yang benar ?
4. Perawat harus memikirkan masalah etis secara berkesinambungan. Ini
berarti perawat mempertimbangkan nilai-nilai dasar manusia yang penting
bagi individu, nilai-nilai dasar manusia yang menjadi pusat dari masalah,
dan prinsip-prinsip etis yang dapat dikaitkan dengan masalah. Tahap ini
menjawab pertanyaan: Bagaimana aturan-aturan tertentu diterapkan pada
situasi tertentu ?
5. Pembuat keputusan harus membuat keputusan. Ini berarti bahwa pembuat
keputusan memilih tindakan yang menurut keputusan mereka paling tepat.
Tahap ini menjawab pertanyaan etika: Apa yang harus dilakukan pada
situasi tertentu ?
6. Tahap akhir adalah melakukan tindakan dan mengkaji keputusan dan hasil.

Page 7
a. Model Keputusan Bioetis
Tahap 1: Review situasi yang dihadapi untuk mendeterminasi masalah
kesehatan, keputusan yang dibutuhkan, komponen etis individu keunikan.
Tahap 2: Kumpulkan informasi tambahan untuk memperjelas situasi.
Tahap 3: Identifikasi aspek etis dari masalah yang dihadapi.
Tahap4: Ketahui atau bedakan posisi pribadi dan posisi moral profesional.
Tahap 5: Identifikasi posisi moral dan keunikan individu yang berlainan.
Tahap 6: Identifikasi konflik-konflik nilai bila ada.
Tahap 7: Gali siapa yang harus membuat keputusan.
Tahap 8: Identifikasi rentang tindakan dan hasil yang diharapkan.
Tahap 9: Tentukan tindakan dan laksanakan.
Tahap 10: Evaluasi/review hasil dari keputusan/tindakan.

2.3 Strategi Penyelesaian Permasalahan Etis


Dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan etis, antara perawat dan
dokter tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan pendapat. Bila ini
berlanjut dapat menyebabkan masalah komunikasi dan kerjasama, sehingga
menghambat perawat pada pasien dan kenyamanan bekerja (MacPhail, 1988).
Salah satu cara menyelesaikan permasalahan etis adalah dengan
melakukan rounde (Bioethics Rounds) yang melibatkan perawat dengan
dokter. Rounde ini tidak difokuskan untuk menyelesaikan masalah etis tetapi
lebih untuk melakukan diskusi secara terbuka tentang kemungkinan terdapat
permasalahan etis.
Beberapa rumah sakit yang maju, misalnya di Amerika Serikat dan
Kanada, telah mengembangkan suatu dewan etik (Ethics Committee) yang
terdiri dari perawat, dokter, tenaga kerja lain, para ulama, petugas
administrasi, pakar etik, dan tokoh masyarakat. Tugas dewan ini adalah
membuat keputusan etis, memberikan penyuluhan, konsultasi dan mendorong
anggota profesi untuk sadar etik (Nei Young, 1988 dari presidents

Page 8
Commission for the study of ethical problems in medicine and biomedical and
behaviour research).
Pembentukan dewan etik atau yang lazimnya disebut Panitia Etika Rumah
Sakit di Indonesia baru dalam terap pengembangan. Beberapa rumah sakit
besar di Indonesia telah membentuk panitia semacam ini, misalnya di Rumah
Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pengembangan panitia etik rumah
sakit di Indonesia mengacu pada Surat Keputusan Mentri Kesehatan No.
640/Menkes/SK/X/1991 tentang Majelis Pembinaan dan pengawasan Etika
Pelayanan Medis dan mengacu pada SK Direktur Jenderal Pelayanan Medik
No. 155/Yan.Med/RS.Umdik/YMD/II.92.

Page 9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengambilan keputusan dalam penyelesaian masalah adalah
kemampuan mendasar bagi praktisi kesehatan, khususnya dalam asuhan
keperawatan. Teori teori dasar pembuatan etis digunakan dalam
pembuatan keputusan, yaitu seperti teleology dan deontology. Dalam
membuat keputusan etis, ada beberapa unsur yang mempengaruhi seperti
nilai dan kepercayaan pribadi, Kode etik perawatan, konsep moral
perawatan dan prinsip-prinsip etis.

Page 10
DATAR PUSTAKA

http://risasukmaidil.blogspot.co.id/2014/09/teori-dan-dasar-
pengambilan-keputusan.html
priharjo,Robert.1995.Etika keperawatan.yogyakarta:kanisius

Page 11

Anda mungkin juga menyukai