Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN KASUS

ILMU PENYAKIT DALAM

Pembimbing :
dr. Rizky Andhika P, Sp. PD

Penyusun:
Bernard Budianto
(2015-061-207)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
Rumah Sakit Umum Daerah Syamsudin, S.H. Sukabumi
Periode 23 Oktober 19 November 2017
BAB I
ILUSTRASI KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. IRR
Jenis kelamin : Wanita
Status pernikahan : Menikah
Usia : 31 tahun
Agama : Muslim
Alamat : Kp. Babakan Peundeuy
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Tanggal masuk RS : 18 Oktober 2017
Tanggal pemeriksaan : 26 Oktober 2017

B. Anamnesis
Rawat inap tanggal : 18 Oktober 2017
- Keluhan utama : Berdebar-debar 2 minggu SMRS
- Keluhan tambahan : Sesak 7 hari SMRS, mata kuning 2 hari SMRS
- Riwayat penyakit sekarang (secara autoanamnesis) :
Pasien dirawat di RSUD Syamsudin SH dengan keluhan Pasien
merasakan gejala berdebar-debar 2minggu SMRS, rasa gelisah, mudah
lelah, tidak tahan terhadap panas dan lebih senang dengan dingin atau
keadaan sejuk. Pasien mengakui penurunan berat badan dirasakan
kurang lebih 5 kg dalam 1 bulan terakhir walaupun nafsu makan
dirasakan tidak ada perubahan. Keluhan tangan bergetar, keringat
berlebihan diakui oleh pasien. Pasien mengakui bola mata dirasakan
semakin menonjol dan berwarna kuning, namun penurunan
penglihatan dan tajam penglihatan disangkal oleh pasien. Pasien juga
menyangkal keluhan sulit untuk menutup bola matanya. Pasien
mengakui lehernya terasa membesar dan mengakui kebiasaan
mengurut / memijat sendiri lehernya bila dirasakan sedang tidak sehat.
Pasien mengakui terkadang tidak rutin meminum obat tiroid nya
karena lupa.
Pasien juga mengeluhkan lemas dirasakan hingga pasien tidak
sanggup bangun atau berdiri tanpa bantuan. Selain lemas, pasien
merasakan sesak sejak 7 hari SMRS. Sesak dipengaruhi oleh aktifitas
seperti berjalan dan naik tangga. Sesak tidak mengeluarkan bunyi.
Pasien mengaku sesak dirasakan dengan posisi berbaring dan membaik
dengan penggunaan 2 bantal saat tidur. Keluhan terbangun saat tidur
diakui pasien karena pasien merasa sesak. Pasien mengeluhkan adanya
bengkak pada kaki pasien yang muncul bersamaan dengan keluhan
sesak. Keluhan batuk tidak ada, nyeri dada disangkal, keringat malam
disangkal oleh pasien. Keluhan BAB dan BAK disangkal oleh pasien.
- Riwayat penyakit dahulu :
o Riwayat hipertiroid sejak 1 tahun SMRS, minum obat tidak teratur
o Riwayat tekanan darah tinggi disangkal oleh pasien
o Riwayat kencing manis disangkal oleh pasien
o Riwayat sakit jantung disangkal oleh pasien
o Riwayat penyakit kolesterol disangkal oleh pasien
o Riwayat penyakit paru disangkal oleh pasien
o Riwayat asma disangkal oleh pasien
o Riwayat sakit kuning disangkal oleh pasien
- Riwayat penyakit keluarga :
o Nenek pasien memiliki riwayat hipertiroid
o Ayah pasien memiiki riwayat darah tinggi terkontrol
C. Pemeriksaan Fisik :
- Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : Compos mentis
- Warna kulit : Kuning
- Tanda-tanda vital :
o Tekanan darah : 120/80 mmHg
o Nadi : 160 x/menit
o RR : 24 x/menit
o Suhu : 37,7 C
- Status gizi
o BB : 55 kg
o TB :165 cm
o Status gizi : normal
- Kepala :
o Mata : Eksophtalmus +/+, konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik +/+,
Reflex cahaya langsung dan tidak langsung +/+, pupil isokor
3mm/3mm
o Telinga : Deformitas -/-, sekret -/-
o Hidung : Deformitas -/-, sekret -/-
- Mulut : Mukosa oral basah, faring hiperemis (-)
- Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid (+) dengan ukuran kurang
lebih 3x2,5 cm, tidak nyeri, permukaan rata, batas tegas, tidak menempel
dengan jaringan sekitar, bruit (+), JVP 5+4cm H2O
- Thorax Paru :
o Inspeksi : gerakan napas tampak simetris dalam keadaan statis dan
dinamis
o Palpasi : gerakan napas teraba simetris dalam keadaan statis dan
dinamis, fremitus taktil kanan sama dengan kiri
o Perkusi : redup pada basal basal paru bilateral, BPH pada ICS V,
peranjakan 1 sela iga
o Auskultasi : vesicular +/+, rhonki +/+, wheezing -/-, vesicular menurun
di basal paru kanan.
- Thorax jantung
o Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
o Palpasi : ictus cordis teraba di ICS VI linea axilaris anterior sinistra
o Perkusi : kesan kardiomegali (+)
Batas atas : ICS III linea parasternal sinistra
Batas kiri : ICS VI linea anterior axilaris sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
o Auskultasi : bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
o Inspeksi : tampak datar
o Palpasi : supel, nyeri tekan (-) pada reio epigastrium, hepar tidak
teraba, limpa tidak teraba, undulasi (-)
o Auskultasi : bising usus (+) 8x/menit
- Punggung
o Inspeksi : gerakan napas simetris dalam keadaan statis dan dinamis
o Palpasi : fremitus taktil kanan = kiri, balotemen -/-
o Perkusi : sonor +/+, redup pada kedua basal paru, nyeri ketok CVA -/-
o Auskultasi : vesicular +/+, suara nafas vesikuler menurun pada kedua
basal paru, rhonki basah halus pada basal paru kanan dan kiri +/+,
wheezing -/-
- Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik, edema -/-/+/+, xerosis kutis -/-

D. Pemeriksaan Penunjang
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hemoglobin 10.4 g/dL 12-14
Leukosit 6500 /uL 4000-10.000
Hematokrit 29 % 37-47
Eritrosit 3.2 Juta/uL 3.8-5.2
Index Eritrosit
MCV 90 fL 80-100
MCH 32 Pg 26-34
MCHC 36 g/dL 32-36
Trombosit 95.000 /uL 150.000-450.000
Kimia Klinik
Glukosa Darah
Glukosa Darah 93 mg/dL <140
Sewaktu
Bilirubin Direk/Indirek
Bilirubin Total 34.99 Mg/dL 0.2-1.3
Bilirubin Direk 9.57 Mg/dL 0-0.2
Bilirubin Indirek 25.42 Mg/dL 0-0.3
Fungsi Hati
AST (SGOT) 92 U/I <31
ALT (SGPT) 36 U/I <32
Elektrolit
Natrium 136 Mmol/L 137-150
Kalium 3.4 Mmol/L 3.5-5.5
Clorida 107 Mmol/L 94-108
Calcium 8.9 Mg/dL 8-10.4
Fungsi Ginjal
Ureum 17 Mg/dL 15-36
Kreatinin 0.30 Mg/dL 0.52-1.04
Fungsi Hati
Albumin 2.7 g/dL 3.5-5.5
Imunoserologi
Hepatitis Marker
HbsAg kuantitatif Negatif 0.11 Index 0-1
Anti HCV Negatif 1.61 AU/ML <20 Negatif
kuantitatif >20 Negatif
Urinalisis
Warna Kuning tua - Kuning muda-tua
Kejernihan Keruh - Jernih
Berat jenis 1.015 - 1.010-1.030
pH 6.5 - 7.0 = netral
Protein urin Positif + - Negative
Glukosa Negatif - Negative
Keton Positif +++ - Negative
Bilirubin Positif +++ - Negative
Urobilinogen Positif +++ EU/DL Normal
Lekosit Esterase Positif ++ Leu/uL Negative
Nitrit Positif - Negative
Blood Positif +++ - Negative
Lekosit 7-10 /LPB 1-6
Eritrosit 10-13 /LPB 0-1
Epitel sel Positif /LPK Positif
Silinder Negatif /LPK Negative
Kristal Negatif /LPK Negative
Bakteri Positif /LPB Negative
Ragi Negatif - Negative

EKG

Kesan : Atrial fibrilasi


- Rontgen Thorax
o Projeksi AP
o Tanggal Pengambilan Rontgen : 20 Oktober 2017
Expertise
- Cor : membesar ke lateral kiri (CTR>50%), sinuses dan diafragma kiri normal,
sinuses dan diafragma kanan terselubug bayangan opak.
- Pulmo : tampak perselubugan opak yang menutupi sinuses dan diafragma
kanan.
- Kesan :
o Cardiomegali dengan suspek efusi pleura kanan.

USG : Menyokong gambaran sirosis hepatis ditandai dengan ukuran hepar mengecil,
parenkim kasar, permukaan tidak rata, sudut tumpul, kapsula menebal, v.porta dan
hepatica masih normal. Ascites intraabdominal, Efusi pleura kanan. Hydronefrosis
grade 2 disertai pyelonephritis akut dengan pelvicocaliektasis e.c suspek
ureterolitiasus dd/ adhesi proses inflamasi.

E. Resume
Pasien wanita 31 tahun datang dengan keluhan palpitasi 2 minggu SMRS,
sensitif panas, penurunan berat badan (+) 5 kilogram dalam 1 bulan terakhir,
nafsu makan baik. Selain itu pasien mengakui tremor (+), hyperhidrosis (+),
pasien merasakan eksophtalmus pada matanya, ikterik (+). Pasien juga
mengeluhkan malaise, pasien juga mengeluhkan dyspnea 7 hari SMRS,
dyspnea on effort (+), orthopnea (+), paroxysmal nocturnal dyspnea (+),
pasien juga mengeluhkan edema pada ekstremitas inferior bilateral. Pasien
mengeluhkan pembesaran leher (+), kebiasaan diurut / pijat sendiri.
PF
- Nadi : 160 x/menit
- Suhu : 37,7 C
- Mata : eksophtalmus +/+, sclera ikterik +/+
- Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid (+) dengan ukuran
kurang lebih 3x2,5 cm, tidak nyeri, permukaan rata, batas tegas, tidak
menempel dengan jaringan sekitar, bruit (+), JVP 5+4cm H2O
- Thorax Paru :
- Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru kanan dan kiri, redup
pada basal paru kanan, BPH pada ICS V, peranjakan 1 sela iga
- Auskultasi : vesicular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-, vesicular
menurun di basal paru kanan.
- Thorax jantung
- Perkusi : kesan kardiomegali (+)
- Batas atas : ICS III linea parasternal sinistra
- Batas kiri : ICS VI linea anterior axilaris sinistra
- Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
- Ekstremitas : edema -/-/+/+,
Pemeriksaan penunjang
- Bilirubin Total 34.99 Mg/dL
- Bilirubin Direk 9.57 Mg/dL
- Bilirubin Indirek 25.42 Mg/dL
- AST (SGOT) 92 U/I
- ALT (SGPT) 36 U/I
- Albumin 2.7 g/dL
Urin
- Protein urin Positif +
- Keton Positif +++
- Bilirubin Positif +++
- Urobilinogen Positif +++ EU/DL
- Lekosit Esterase Positif ++ Leu/uL
- Nitrit Positif
- Blood Positif +++
- Lekosit 7-10/LPB
- Eritrosit 10-13/LPB
EKG : Kesan : Atrial fibrilasi
Rontgen thorax : Cardiomegali dengan suspek efusi pleura kanan
EKG : Kesan : Atrial fibrilasi
Rontgen thorax : Cardiomegali dengan suspek efusi pleura kanan
USG : Gambaran sirosis hepatis, asites intra abdominal, hydronephrosis
grade 2 disertai pyelonephritis akut. Efusi pleura kanan.
F. Diagnosis Kerja
a. Thyroid Storm dengan suspek sirosis hepatis
b. Congestive Heart Failure NYHA FC IV
c. AF RVR
d. Hydronefrosis dan pyelonephritis
BAB II
KAJIAN KASUS

2.1 KAJIAN DIAGNOSA KERJA


A. Wanita 31 tahun dengan Thyroid Storm dan suspek sirosis hepatis
Penegakkan diagnosis :
Anamnesa : Pasien mengalami malaise 2 minggu SMRS, malaise muncul
hingga pasien tidak sanggup bangun / berdiri tanpa bantuan. Pasien
mengeluhkan pembesaran leher (+), kebiasaan diurut / pijat sendiri. Pasien
mengeluhkan palpitasi, sensitif panas, penurunan berat badan (+) 5 kilogram
dalam 1 bulan terakhir, nafsu makan baik. Selain itu pasien mengakui tremor
(+), hyperhidrosis (+), pasien merasakan eksophtalmus pada matanya, ikterik
(+). Pasien memiliki riwayat hipertiroid 1 tahun SMRS, minum obat tidak
teratur.

Pemeriksaan fisik :
- Keadaan Umum : tampak sakit sedang
- Kesadaran : Compos mentis
- Nadi : 160 x/menit
- Suhu : 37,7 C
- Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid (+) dengan ukuran
kurang lebih 3x2,5 cm, tidak nyeri, permukaan rata, batas tegas, tidak
menempel dengan jaringan sekitar, bruit (+), JVP 5+4cm H2O
- Abdomen : organomegali (-), undulasi (-), shifting dullness (-)

Pemeriksaan penunjang :
- TSH dan FT 4 reagent habis saat pemeriksaan
- Bilirubin Total 34.99 Mg/dL
- Bilirubin Direk 9.57 Mg/dL
- Bilirubin Indirek 25.42 Mg/dL
- AST (SGOT) 92 U/I
- ALT (SGPT) 36 U/I
- Albumin 2.7 g/dL
Diagnosa : Thyroid Storm dengan suspek sirosis hepatis
Tatalaksana :
- Propanolol 3x1 tab PO
- PTU 4 x 200 mg PO
- Metilprednisolon 3 x 8 mg PO
- Lesichol 2 x 300 mg PO
- Urdafalk 3 x 250 mg PO
- Vip albumin 3 x 500 mg PO

B. Wanita 31 tahun dengan CHF NYHA FC IV dan AF RVR


Penegakkan diagnosis :
Anamnesa : Pasien mengalami dyspnea 7 hari SMRS, dyspnea on effort (+),
orthopnea (+), paroxysmal nocturnal dyspnea (+), pasien juga mengeluhkan
edema pada ekstremitas inferior bilateral. Ayah pasien memiliki riwayat darah
tinggi terkontrol, sedangkan pasien menyangkal adanya riwayat darah tinggi.

Pemeriksaan fisik :
- Keadaan Umum : tampak sakit sedang
- Kesadaran : Compos mentis
- RR : 24 x/menit
- Thorax Paru :
- Perkusi : redup pada basal paru bilateral, BPH pada ICS V,
peranjakan 1 sela iga
- Auskultasi : vesicular +/+, rhonki +/+, wheezing -/-, vesicular
menurun di basal paru kanan.
- Thorax jantung
- Perkusi : kesan kardiomegali (+)
- Batas atas : ICS III linea parasternal sinistra
- Batas kiri : ICS VI linea anterior axilaris sinistra
- Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
- Ekstremitas : edema -/-/+/+

Pemeriksaan penunjang :
- Rontgen thorax : Cardiomegali dengan suspek efusi pleura kanan
- EKG : kesan Atrial fibrilasi rapid ventricular respon
Diagnosa : Congestive Heart Failure NYHA FC IV dengan AF RVR

Tatalaksana :
- Vasofix
- Lasix 2 x 20mg IV
- Digoxin 1 x 1 PO

C. Wanita 31 tahun dengan hydronephrosis grade 2 kanan disertai


pyelonephritis akut
Penegakkan diagnosis :
Pasien tidak mengeluhkan keluhan BAK maupun sakit pinggang

Pemeriksaan Fisik:
Suhu : 37.7 C
Punggung : nyeri ketok CVA -/-, Balotemen -/-

Pemeriksaan Penunjang :
- Urin
- Protein urin Positif +
- Keton Positif +++
- Bilirubin Positif +++
- Urobilinogen Positif +++ EU/DL
- Lekosit Esterase Positif ++ Leu/uL
- Nitrit Positif
- Blood Positif +++
- Lekosit 7-10/LPB
- Eritrosit 10-13/LPB
- USG
- Hydronefrosis grade 2 kanan disertai pyelonephritis akut dengan
pelviocaliektasis e.c suspek ureterolitiasis DD/ adhesi proses inflamasi

Tatalaksana :
- Ceftriaxone 2 x 1 g
- Paracetamol 500 mg prn demam
- Konsultasi TS spesialis bedah untuk penanganan operatif

2.2 PROGNOSIS
- Quo ad vitam : dubia ad malam
- Quo ad functionam : dubia ad malam
- Quo ad sanantionam : dubia ad malam
BAB III
KESIMPULAN

Wanita 31 tahun dengan diagnosis kerja


1. Thyroid storm dengan suspek sirosis hepatis
2. Congestive Heart Failure NYHA FC IV
3. Atrial Fibrilasi Rapid Ventrikular Response
4. Hydronefrosis grade 2 dan pyelonefritis

Dengan prognosis :
- Quo ad vitam : dubia ad malam
- Quo ad functionam : dubia ad malam
- Quo ad sanantionam : dubia ad malam
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Hipertiroidisme
Definisi
Tirotoksikosis ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar
dalam sirkulasi. Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar
tiroid yang hiperaktif. Dengan kata lain hipertiroid terjadi karena adanya peningkatan
hormon tiroid dalam darah dan biasanya berkaitan dengan keadaan klinis
tirotoksikosis.

Pengaturan Faal Tiroid Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormon)
Hormon ini disintesa dan dibuat di hipotalamus. TRH ini dikeluarkan lewat
sistem hipotalamohipofiseal ke sel tirotrop hipofisis.
2. TSH (Thyroid Stimulating Hormone)
Suatu glikoprotein yang terbentuk oleh sub unit ( dan ). Sub unit sama
seperti hormon glikoprotein (TSH, LH, FSH, dan human chronic gonadotropin/hCG)
dan penting untuk kerja hormon secara aktif. Tetapi sub unit adalah khusus untuk
setiap hormon. TSH yang masuk dalam sirkulasi akan mengikat reseptor dipermukaan
sel tiroid TSH-reseptor (TSH-r) dan terjadilah efek hormonal sebagai kenaikan
trapping, peningkatan yodinasi, coupling, proteolisis sehingga hasilnya adalah
produksi hormon meningkat.
3. Umpan balik sekresi hormon.
Kedua ini merupakan efek umpan balik ditingkat hipofisis. Khususnya
hormon bebaslah yang berperan dan bukannya hormon yang terikat. T3 disamping
berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi
kepekaan hipofisis terhadap rangsangan TRH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Gangguan yodinasi tirosin dengan pemberian yodium banyak disebut
fenomena Wolf-Chaikoff escape, yang terjadi karena mengurangnya afinitas trap
yodium sehingga kadar intratiroid akan mengurang. Escape ini terganggu pada
penyakit tiroid autoimun.
Efek Metabolik Hormon Tiroid
Efek metabolik hormon tiroid adalah
1. Kalorigenik.
2. Termoregulasi.
3. Metabolisme protein: Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik.
4. Metabolisme karbohidrat: Bersifat diabetogenik, karena resorpsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot
menipis pada dosis farmakologis tinggi, dan degradasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid: T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses
degradasi kolesterol dan eksresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat,
sehingga pada hiperfungsi tiroid, kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada
hipotiroidisme, kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A: Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan
hormon tiroid.
7. Hormon ini penting untuk pertumbuhan saraf otak dan perifer, khususnya 3
tahun pertama kehidupan.
8. Lain-lain: Pengaruh hormon tiroid yang meninggi menyebabkan tonus
traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik, sehingga sering terjadi
diare.
Efek Fisiologik Hormon Tiroid
Efek pada perkembangan janin
Sistem TSH dan hipofisis anterior mulai berfungsi pada janin manusia di
dalam 11 minggu. Sebagian T3 dan T4 maternal diinaktivasi pada plasenta. Dan
sangat sedikit hormon bebas mencapai sirkulasi janin. Dengan demikian, janin
sebagian besar tergantung pada sekresi tiroidnya sendiri.

Efek pada konsumsi oksigen dan produksi panas


T3 meningkatkan konsumsi O2 dan produksi panas sebagian melalui stimulasi
Na+ K+ ATPase dalam semua jaringan kecuali otak, lien dan testis. Hal ini berperan
pada peningkatan percepatan metabolisme basal dan peningkatan kepekaan terhadap
panas pada hipertiroidisme.
Efek kardiovaskuler
T3 merangsang transkripsi dari rantai alpha miosin dan menghambat rantai
beta miosin, sehingga memperbaiki kontraktilitas otot jantung. T3 juga meningkatkan
transkripsi Ca2+ ATPase dalam retikulum sarkoplasmik, meningkatkan kontraksi di
diastolik jantung dan meningkatkan reseptor adrenergik . Dengan demikian, hormon
tiroid mempunyai efek inotropik dan kronotropik yang nyata terhadap otot jantung.

Efek Simpatik
Hormon tiroid meningkatkan jumlah reseptor adrenergik- dalam otot jantung,
otot skeletal dan jaringan adiposa. Mereka juga menurunkan reseptor adrenergik-
miokardial. Disamping itu, mereka juga dapat memperbesar aksi katekolamin pada
tempat paskareseptor. Dengan demikian, kepekaan terhadap ketokolamin meningkat
dengan nyata pada hipertiroidisme, dan terapi dengan obat-obatan penyekat
adrenergik- dapat sangat membantu dalam mengendalikan takikardi dan aritmia.

Efek Pulmonar
Hormon tiroid mempertahankan dorongan hipoksia dan hiperkapnia pada
pusat pernafasan, sehingga terjadi frekuensi nafas meningkat.

Efek Hematopoetik
Peningkatan kebutuhan selular akan O2 pada hipertiroidisme menyebabkan
peningkatan produksi eritropoietin dan peningkatan eritropoiesis. Namun volume
darah biasanya tidak meningkat karena hemodilusi. Hormon tiroid meningkatkan
kandungan 2,3 difosfogliserat eritrosit, memungkinkan peningkatan disosiasi O2
hemoglobin dan meningkatkan penyediaan O2 kepada jaringan.

Efek Gastrointestinal
Hormon tiroid merangsang motillitas usus, yang dapat menimbulkan
peningkatan motilitas terjadi diare pada hipertiroidisme. Hal ini juga menyumbang
pada timbulnya penurunan berat badan yang sedang pada hipertiroidisme.
Efek Skeletal
Hormon tiroid merangsang peningkatan penggantian tulang, meningkatkan
resorbsi tulang dan hingga tingkat yang lebih kecil, pembentukan tulang. Dengan
demikian, hipertiroidisme dapat menimbulkan osteopenia yang bermakna.

Efek Neuromuskular
Walaupun hormon tiroid merangsang peningkatan sintesis dari banyak protein
struktural, pada hipertiroidisme terdapat peningkatan penggantian protein dan
kehilangan jaringan otot atau miopati. Terdapat juga suatu peningkatan kecepatan
kontraksi dan relaksasi otot, secara klinik diamati adanya hiperfleksia pada
hipertiroidisme. Hormon tiroid penting untuk perkembangan dan fungsi normal
susunan syaraf pusat dan hiperaktivitas pada hipertiroidisme serta di dalam
kehamilan.

Efek pada Lipid dan Metabolisme Karbohidrat


Hipertiroidisme meningkatkan glukoneogenesis dan glikogenolisis hati
demikian pula absorbsi glukosa usus. Dengan demikian, hipertiroidisme akan
mengeksaserbasi diabetes melitus primer. Sintesis dan degradasi kolesterol keduanya
meningkat oleh hormon tiroid. Efek yang terakhir ini sebagian besar disebabkan oleh
suatu peningkatan dari reseptor low density lipoprotein (LDL) hati, sehingga kadar
kolesterol menurun dengan aktivitas tiroid yang berlebihan. Lipolisis juga meningkat,
melepaskan asam lemak dan gliserol.
Efek Endokrin
Hormon tiroid meningkatkan pergantian metabolik dari banyak hormon dan
obat-obatan farmakologi. Kecepatan produksi kortisol akan meningkat pada pasien
hipertiroid dengan fungsi adrenal normal sehingga mempertahankan suatu kadar
hormon sirkulasi yang normal.
Etiologi
Penyebab hipertiroidisme sebagian besar adalah penyakit Graves, goiter
miltinodular toksik dan mononodular toksik. Hipertiroidisme pada penyakit Graves
adalah akibat antibodi reseptor TSH yang merangsang aktivitas tiroid. Sedang pada
goiter multinodular toksik ada hubungannya dengan autoimun tiroid itu sendiri.
Penyakit graves sekarang ini dipandang sebagai penyakit autoimun yang
penyebabnya tidak diketahui. Terdapat predisposisi familial kuat pada sekitar 15%
pasien graves mempunyai keluarga dekat dengan kelainan yang sama dan kira-kira
50% keluarga pasien dengan penyakit graves mempunyai autoantibodi tiroid yang
beredar dalam darah. Wanita terkena kira-kira 5 kali lebih banyak dari pada pria.
Penyakit ini terjadi pada segala umur dengan insidensi puncak pada kelompok umur
20-40 tahun.

Patogenesis
Pada penyakit graves, limfosit T didensitisasi terhadap antigen dalam kelenjar
tiroid dan merangsang limfosit B untuk mensintesa antibodi terhadap antigen-antigen
ini. Satu dari antibodi ditunjukan terhadap tempat reseptor TSH pada membran sel
tiroid dan mempunyai kemampuan untuk merangsang sel tiroid dalam peningkatan
pertumbuhan dan fungsi. Adanya antibodi dalam darah berkorelasi positif dengan
penyakit aktif dan kekambuhan penyakit. Ada predisposisi genetik yang mendasari,
namun tidak jelas apa yang mencetus episode akut ini. Beberapa faktor yang
mendorong respon imun pada penyakit graves ialah :
1. Kehamilan.
2. Kelebihan iodida, khusus di daerah defisiensi iodida. Dimana kekurangan
iodida dapat menutupi penyakit Graves laten pada saat pemeriksaan.
3. Infeksi bakterial atau viral. Diduga stres dapat mencetus suatu episode
penyakit Graves, tapi tidak ada bukti yang mendukung.

Manifestasi Klinik
Pada individu yang lebih muda manifestasi yang umum termasuk palpitasi,
kegelisahan, mudah lelah dan diare, banyak keringat, tidak tahan panas, dan senang
dingin. Sering terjadi penurunan berat badan jelas, tanpa penurunan nafsu makan.
Pembesaran tiroid, tanda-tanda tirotoksikosis pada mata, dan takikardi ringan
umumnya terjadi. Kelemahan otot dan berkurangnya massa otot dapat sangat berat
sehingga pasien tidak dapat berdiri dari kursi tanpa bantuan. Pada anak-anak terdapat
pertumbuhan cepat dengan pematangan tulang yang lebih cepat. Pada pasien diatas 60
tahun, manifestasi kardiovaskuler dan miopati sering lebih menonjol. Keluhan yang
paling menonjol adalah palpitasi, dispneu d`effort , tremor, nervous dan penurunan
berat badan.
Terjadinya hipertiroidisme biasanya perlahan-lahan dalam beberapa bulan
sampai beberapa tahun, namun dapat juga timbul secara dramatik. Manifestasi klinis
yang paling sering adalah penurunan berat badan, kelelahan, tremor, gugup,
berkeringat banyak, tidak tahan panas, palpitasi, dan pembesaran tiroid. Penurunan
berat badan meskipun nafsu makan bertambah dan tidak tahan panas adalah sangat
spesifik, sehingga segera dipikirkan adanya hipertiroidisme.
Penderita hipertiroidisme memiliki bola mata yang menonjol yang disebut
dengan eksoftalmus, yang disebabkan oleh edema daerah retro-orbita dan degenerasi
otot-otot ekstraokuli. Penyebabnya juga diduga akibat proses autoimun. Eksoftalmus
berat dapat menyebabkan teregangnya N. Optikus sehingga penglihatan akan rusak.
Eksoftalmus sering menyebabkan mata tidak bisa menutup sempurna sehingga
permukaan epithel menjadi kering dan sering terinfeksi dan menimbulkan ulkus
kornea.
Hipertiroidisme pada usia lanjut memerlukan perhatian khusus sebab gejala
dan tanda sistem kardiovaskular sangat menonjol dan kadang-kadang berdiri sendiri.
Pada beberapa kasus ditemukan payah jantung, sedangkan tanda-tanda kelainan tiroid
sebagai penyebab hanya sedikit. Payah jantung yang tidak dapat diterangkan pada
umur pertengahan harus dipikirkan hipertiroidisme, terutama bila ditemukan juga
curah jantung yang tinggi atau atrium fibrilasi yang tidak dapat diterangkan. Pada usia
lanjut ada baiknya dilakukan pemeriksaan rutin secara berkala kadar tiroksin dalam
darah untuk mendapatkan hipertiroidisme dengan gejala klinik justru kebalikan dari
gejala-gejala klasik seperti pasien tampak tenang, apatis, depresi dan struma yang
kecil.
Diagnosis
Manifestasi klinis hipertiroid umumnya dapat ditemukan. Sehingga mudah
pula dalam menegakkan diagnosa. Namun pada kasus-kasus yang sub klinis dan
orang yang lanjut usia perlu pemeriksaan laboratorium yang cermat untuk membantu
menetapkan diagnosa hipertiroid. Diagnosa pada wanita hamil agak sulit karena
perubahan fisiologis pada kehamilan seperti pembesaran tiroid serta manifestasi
hipermetabolik, sama seperti pada tirotoksikosis. Meskipun diagnosa sudah jelas,
namun pemeriksaan laboratorium untuk hipertiroidisme perlu dilakukan, dengan
alasan:
1. Untuk lebih menguatkan diagnosa yang sudah ditetapkan pada
pemeriksaan klinis.
2. Untuk menyingkirkan hipertiroidisme pada pasien dengan beberapa
kondisi, seperti atrial fibrilasi yang tidak diketahui penyebabnya, payah
jantung, berat badan menurun, diare atau miopati tanpa manifestasi klinis
lain hipertiroidisme.
3. Untuk membantu dalam keadaan klinis yang sulit atau kasus yang
meragukan.
Menurut Bayer MF kombinasi hasil pemeriksaan laboratorium Thyroid
Stimulating Hormone sensitif (TSHs) yang tak terukur atau jelas
subnormal dan free T4 (FT4) meningkat, jelas menunjukan
hipertiroidisme.

B. Krisis Tiroid
Definisi
Krisis tiroid (Thyroid Storm) adalah komplikasi serius dari tirotoksikosis
dengan angka kematian 20-60%. Merupakan kejadian yang jarang, tidak biasa dan
berat dari hipertiroidisme. Krisis tiroid mengacu pada kejadian mendadak yang
mengancam jiwa akibat peningkatan dari hormon tiroid sehingga terjadi kemunduran
fungsi organ.

Etiologi krisis tiroid


Pada keadaan yang sudah dinamakan krisis tiroid ini maka fungsi organ vital
untuk kehidupan menurun dalam waktu singkat hingga mengancam nyawa. Hal yang
memicu terjadinya krisis tiroid ini adalah :
Operasi dan urut/pijat pada kelenjar tiroid atau gondok dan operasi pada
bagian tubuh lainnya pada penderita hipertiroid yang belum terkontrol hormon
tiroidnya
Stop obat anti tiroid pada pemakaian obat antitiroid
Pemakaian kontras iodium seperti pada pemeriksaan rontgen
Infeksi
Stroke
Trauma.
o Pada kasus trauma, dilaporkan bahwa pencekikan pada leher dapat
memicu terjadinya krisis tiroid, meskipun tidak ada riwayat
hipertiroidisme sebelumnya.
Manifestasi klinis
Untuk mengetahui apakah keadaan seseorang ini sudah masuk dalam tahap
krisis tiroid adalah dengan mengumpulkan gejala dari kelainan organ yakni pada
sistem saraf terjadi penurunan kesadaran (sampai dengan koma), hyperpyrexia (suhu
badan diatas 40oC), aktivasi adrenergik (takikardia/denyut jantung diatas 140x/menit,
muntah dan mencret serta kuning). Gejala lain dapat berupa berkeringat, kemerahan,
dan tekanan darah yang meningkat.

Patofisiologi
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa meningkatnya produksi dari T3
atau T4 menyebabkan krisis tiroid. Peningkatan reseptor katekolamin (peningkatan
sensitifitas dari katekolamin) memegang kunci penting. Penurunan pengikatan dari
TBG (meningkatnya T3 atau T4 bebas) mungkin ikut berperan.

Pengobatan krisis tiroid


Pilihan terapi pada pasien krisis tiroid adalah sama dengan pengobatan yang
diberikan pada pasien dengan hipertiroidisme hanya saja obat yang diberikan lebih
tinggi dosis dan selang waktu pemberiannya. Pada pasien dengan krisis tiroid harus
segera ditangani ke instalasi gawat darurat atau ICU. Diagnosa dan terapi yang
sesegera mungkin pada pasien dengan krisis tiroid adalah penting untuk menurunkan
angka kesakitan dan kematian dari kelainan ini.
Pada kasus krisis tiroid, hyperpyrexia harus segera diatasi secara cepat. Dalam
hal ini pemberian obat jenis asetaminopen lebih dipilih dibandingkan aspirin yang
dapat meningkatkan kadar konsentrasi T3 dan T4 bebas dalam serum.
Pemberian beta-bloker merupakan terapi utama penting dalam pengobatan
kebanyakan pasien dengan hipertiroid. Propanolol merupakan obat pilihan pertama
yang digunakan sebagai inisial yang bisa diberikan secara intravena. Dosis yang
diberikan adalah 1mg/menit sampai beberapa mg hingga efek yang diinginkan
tercapai atau 2-4mg/4jam secara intravena atau 60-80mg/4jam secara oral atau
melalui nasogastric tube (NGT).
Pemberian tionamide seperti methimazole atau PTU untuk memblok sintesis
hormon. Tionamide memblok sintesis hormon tiroid dalam 1-2 jam setelah masuk.
Namun, tionamid tidak memiliki efek terhadap hormon tiroid yang telah disintesis.
Beberapa menggunakan PTU dibanding tionamide sebagai pilihan pada krisis tiroid
karena PTU dapat memblok konversi T4 menjadi T3 ditingkat perifer.
Walaupun begitu, banyak menggunakan methimazole (tionamide) selama obat
lain (contohnya iopanoic acid) dimasukkan bersamaan untuk memblok konversi T4
menjadi T3. Methimazole memiliki waktu durasi yang lebih lama dibandingkan PTU
sehingga lebih efektif. Adalah tidak rasional memasukkan methimazole 30mg/6jam
atau PTU 200mg/4jam secara oral atau NGT. Keduanya bisa dilarutkan untuk
digunakan secara rectal dan PTU dapat diberikan secara intravena dengan diencerkan
oleh saline isotonis dibuat alkali (pH 9,25) dengan sodium hidroksida.
Larutan iodine memblok pelepasan T4 dan T3 dari kelenjar tiroid. Dosis yang
diberikan lebih tinggi dari dosis yang dibutuhkan untuk memblok pelepasan hormone.
Laruton lugols 10 tetes/8jam secara oral. Dapat juga dilakukan pemberian laruton
lugols 10 tetes tersebut secara intravena langsung selama masih dianggap steril.
Larutan iodine ini juga dapat diberikan secara rectal.
Pemberian glucocorticoid juga menurunkan konversi T4 menjadi T3 dan
memiliki efek langsung dalam proses autoimun jika krisis tiroid berasal dari penyakit
graves. Dosis yang digunakan adalah 100mg/8jam secara intravena pada kasus krisis
tiroid. Penggunaan litium juga dapat memblok pelepasan hormone tiroid, namun
toksisitasnya yang tinggi pada ginjal membatasi penggunaannya.

C. Atrial Fibrilasi

Definisi

Atrial fibrilasi adalah suatu gangguan pada jantung (aritmia) yang ditandai dengan
ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi denyut jantung,
yaitu sebesar 350-650 x/menit. Pada dasarnya atrial fibrilasi merupakan suatu
takikardi supraventrikuler dengan aktivasi atrial yang tidak terkoordinasi dan
deteriorisasi fungsi mekanik atrium. Keadaan ini menyebabkan tidak efektifnya
proses mekanik atau pompa darah jantung.

Klasifikasi

Menurut AHA (American Heart Association), klasifikasi dari atrial fibrilasi


dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu :
a. AF deteksi pertama
Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi pertama.
Tahap ini merupakan tahapan dimana belum pernah terdeteksi AF
sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi.
b. Paroksismal AF
AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai episode
pertama kali kurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal AF. AF
jenis ini juga mempunyai kecenderungan untuk sembuh sendiri dalam
waktu kurang dari 24 jam tanpa bantuan kardioversi.
c. Persisten AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi kurang
dari 7 hari. Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu
penggunaan dari kardioversi untuk mengembalikan irama sinus kembali
normal.
d. Kronik/permanen AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 7 hari. Pada
permanen AF, penggunaan kardioversi dinilai kurang berarti, karena
dinilai cukup sulit untuk mengembalikan ke irama sinus yang normal.

Etiologi

Etiologi yang terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor-faktor, diantaranya


adalah:
a. Peningkatan tekanan/resistensi atrium
1. Penyakit katup jantung
2. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
3. Hipertrofi jantung
4. Kardiomiopati
5. Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor
pulmonal chronic)
6. Tumor intracardiac
b. Proses infiltratif dan inflamasi
1. Pericarditis/miocarditis
2. Amiloidosis dan sarcoidosis
3. Faktor peningkatan usia
c. Proses infeksi
1. Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan Endokrin
1. Hipertiroid
2. Feokromositoma
e. Neurogenik
1. Stroke
2. Perdarahan subarachnoid
f. Iskemik Atrium
1. Infark miocardial
g. Obat-obatan
1. Alkohol
2. Kafein
h. Keturunan/genetik

Tanda dan Gejala

Pada dasarnya AF, tidak memberikan tanda dan gejala yang khas pada perjalanan
penyakitnya. Umumnya gejala dari AF adalah peningkatan denyut jantung,
ketidakteraturan irama jantung dan ketidakstabilan hemodinamik. Disamping itu, AF
juga memberikan gejala lain yang diakibatkan oleh penurunan oksigenisasi darah ke
jaringan, seperti pusing, kelemahan, kelelahan, sesak nafas dan nyeri dada. Tetapi,
lebih dari 90% episode dari AF tidak menimbulkan gejala-gejala tersebut.

Faktor Resiko

Beberapa orang mempunyai faktor resiko terjadinya AF, diantaranya adalah :


a. Diabetes Melitus
b. Hipertensi
c. Penyakit Jantung Koroner
d. Penyakit Katup Mitral
e. Penyakit Tiroid
f. Penyakit Paru-Paru Kronik
g. Post. Operasi jantung
h. Usia 60 tahun
i. Life Style

Patofisiologi

Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan


multiple wavelet reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses depolarisasi
tunggal atau depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal, fokus ektopik yang
dominan adalah berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa
juga berasal dari atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus
ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik yang mempengaruhi potensial aksi pada
atrium dan menggangu potensial aksi yang dicetuskan oleh nodus SA
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang
berulang dan melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet
reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi lokal,
tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi
depolarisasi. Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik
dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium dan
kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium
biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refractory dan penurunan
kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebutlah yang akan meningkatkan sinyal elektrik
dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya AF.

Proses Aktivasi Lokal Atrial Fibrilasi & Proses Multiple Wavelets Reentry Atrial Fibrilasi
Penatalaksanaan

Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol ketidakteraturan irama


jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan menghindari/mencegah adanya
komplikasi tromboembolisme. Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan
yang dapat dilakukan untuk AF. Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri adalah
suatu tata laksana yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama dan
menurunkan denyut jantung. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu
pengobatan farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik
(Electrical Cardioversion).

Mencegah pembekuan darah (tromboembolisme)

Pencegahan pembekuan darah merupakan pengobatan untuk mencegah adanya


komplikasi dari AF. Pengobatan yang digunakan adalah jenis antikoagulan atau
antitrombosis, hal ini dikarenakan obat ini berfungsi mengurangi resiko dari
terbentuknya trombus dalam pembuluh darah serta cabang-cabang vaskularisasi.
Pengobatan yang sering dipakai untuk mencegah pembekuan darah terdiri dari
berbagai macam, diantaranya adalah :
1. Warfarin
Warfarin termasuk obat golongan antikoagulan yang berfungsi dalam
proses pembentukan sumbatan fibrin untuk mengurangi atau mencegah
koagulasi. Warfarin diberikan secara oral dan sangat cepat diserap
hingga mencapai puncak konsentrasi plasma dalam waktu 1 jam
dengan bioavailabilitas 100%. Warfarin di metabolisme dengan cara
oksidasi (bentuk L) dan reduksi (bentuk D), yang kemudian diikuti
oleh konjugasi glukoronidasi dengan lama kerja 40 jam.
2. Aspirin
Aspirin secara irreversible menonaktifkan siklo-oksigenase dari
trombosit (COX2) dengan cara asetilasi dari asam amino serin
terminal. Efek dari COX2 ini adalah menghambat produksi
endoperoksida dan tromboksan (TXA2) di dalam trombosit. Hal inilah
yang menyebabkan tidak terbentuknya agregasi dari trombosit. Tetapi,
penggunaan aspirin dalam waktu lama dapat menyebabkan
pengurangan tingkat sirkulasi dari faktor-faktor pembekuan darah,
terutama faktor II, VII, IX dan X.
a. Mengurangi denyut jantung
Terdapat 3 jenis obat yang dapat digunakan untuk menurunkan
peningkatan denyut jantung, yaitu obat digitalis, -blocker dan antagonis
kalsium. Obat-obat tersebut bisa digunakan secara individual ataupun
kombinasi.
1. Digitalis
Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung
dan menurunkan denyut jantung. Hal ini membuat kinerja jantung
menjadi lebih efisien. Disamping itu, digitalis juga memperlambat
sinyal elektrik yang abnormal dari atrium ke ventrikel. Hal ini
mengakibatkan peningkatan pengisian ventrikel dari kontraksi atrium
yang abnormal.

2. -blocker
Obat -blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem
saraf simpatis. Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk
meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas jantung. Efek ini akan
berakibat dalam efisiensi kinerja jantung.
3. Antagonis Kalsium
Obat antagonis kalsium menyebabkan penurunan kontraktilitas
jantung akibat dihambatnya ion Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam
intraseluler melewati Ca2+ channel yang terdapat pada membran sel.

Mengembalikan irama jantung

Pharmacological Cardioversion (Anti-aritmia)


a. Amiodarone
b. Dofetilide
c. Flecainide
d. Ibutilide
e. Propafenone
f. Quinidine
Electrical Cardioversion
Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui dua
pelat logam (bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi
listrik ini adalah mengembalikan irama jantung kembali normal atau
sesuai dengan NSR (nodus sinus rhythm).
1. Operatif
a. Catheter ablation
Prosedur ini menggunakan teknik pembedahan dengan membuatan
sayatan pada daerah paha. Kemudian dimasukkan kateter kedalam
pembuluh darah utma hingga masuk kedalam jantung. Pada bagian
ujung kateter terdapat elektroda yang berfungsi menghancurkan
fokus ektopik yang bertanggung jawab terhadap terjadinya AF.
b. Maze operation
Prosedur maze operation hamper sama dengan catheter ablation,
tetapi pada maze operation, akan mengahasilkan suatu labirin
yang berfungsi untuk membantu menormalitaskan system konduksi
sinus SA.
c. Artificial pacemaker
Artificial pacemaker merupakan alat pacu jantung yang
ditempatkan di jantung, yang berfungsi mengontrol irama dan
denyut jantung.

D. Congestive Heart Failure


Definisi

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa


tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri
yang penting dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal adalah relatif
terhadap kebutuhan metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal ditujukan
pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium
ditujukan spesifik pada fungsi miokardium; gagal miokardium umumnya
mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat
menunda atau bahkan mencegah perkembangan penyakit menjadi gagal
jantung.

Beberapa istilah dalam gagal jantung :


1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik :
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari
pemeriksaan fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan
echocardiography.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung
memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan,
kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan
pengisian ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung
dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi diastolik ;
Gangguan relaksasi, pseudo-normal, tipe restriktif.

2. Low Output dan High Output Heart Failure

Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi,


kelainan katup dan perikard. High output heart failure ditemukan pada
penurunan resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia,
kehamilan, fistula A V, beri-beri, dan Penyakit Paget. Secara praktis, kedua
kelainan ini tidak dapat dibedakan.

3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan


Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena
pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal
jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti
pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik
sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer,
hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia
gagal jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel, maka retensi cairan pada
gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda.

4. Gagal Jantung Akut dan Kronik


Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun
secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema
perifer.
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan
multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat
menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.
Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure,
hampir selalu disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena
(backward failure), karena ventrikel yang lemah tidak mampu memompa
darah dalam jumlah normal, hal ini menyebabkan peningkatan volume darah
di ventrikel pada waktu diastol, peningkatan tekanan diastolik akhir di dalam
jantung dan akhirnya peningkatan tekanan vena . Gagal jantung kongestif
mungkin mengenai sisi kiri dan kanan jantung atau seluruh rongga jantung.

Etiologi

Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi :


regurgitasi aorta dan defek septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada
keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas
miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati.
Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui
penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik,
infeksi paru-paru dan emboli paru.
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik,
penyakit katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit
miokardium primer. Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal
ventrikel kiri, yang menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan
arteria pulmonalis. Gagal jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal
jantung kiri pada pasien dengan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh
paru (kor polmunale) dan pada pasien dengan penyakit katup arteri pulmonalis
atau trikuspid.

PATOFISIOLOGI

Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti infark miokard,


maka kemampuan pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai
akibatnya akan timbul dua efek utama penurunan curah jantung, dan
bendungan darah di vena yang menimbulkan kenaikan tekanan vena
jugularis.
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai
terpacu dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut
mencakup peningkatan aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban
awal akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi
ventrikel. Mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah
jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada awal perjalanan gagal
jantung, dan pada keadaan istirahat. Namun, kelainan kerja ventrikel dan
menurunnya curah jantung biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan
berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi semakin kurang efektif.

1. Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis :


Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah jantung adalah
peningkatan aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya aktivitas
adrenergik simpatis merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf
adrenergik jantung dan medulla adrenal. Katekolamin ini akan menyebabkan
kontraksi lebih kuat otot jantung (efek inotropik positif) dan peningkatan
kecepatan jantung. Selain itu juga terjadi vasokontriksi arteri perifer untuk
menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi
aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah misal kulit dan
ginjal untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak. Vasokonstriksi
akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk selanjutnya
menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan hukum Starling. Kadar
katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal jantung, terutama selama
latihan. Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin yang beredar
dalam darah untuk mempertahankan kerja ventrikel.namun pada akhirnya
respons miokardium terhadap rangsangan simpatis akan menurun;
katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel.

2. Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem Renin-Angiotensin-


Aldosteron :
Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium
dan air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel. Mekanisme yang
mengakibatkan aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron pada gagal
jantung masih belum jelas. Namun apapun mekanisme pastinya, penurunan
curah jantung akan memulai serangkaian peristiwa berikut:
- Penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus
- Pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus
- Interaksi renin dan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan
angiotensinI
- Konversi angotensin I menjadi angiotensin II
- Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.
-
Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus.
Angiotensin II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang
meningkatkan tekanan darah.
3. Hipertrofi ventrikel :
Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau
bertambah tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan
peningkatan kekuatan kontraksi ventrikel.
Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang
menguntungkan; namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat
menimbulkan gejala, meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk derajat
gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan
kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan kongesti vena paru dan
sistemik. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban akhir dengan
memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir juga meningkat
karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan oksigen
miokardium juga meningkat. Hipertrofi miokardium dan rangsangan simpatis
lebih lanjut akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Jika
peningkatan kebutuhan oksigen tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia
miokardium dan gangguan miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa
yang saling berkaitan ini adalah meningkatnya beban miokardium dan terus
berlangsungnya gagal jantung.

Manifestasi Klinis
Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun
kelelahan adalah gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi
gejala kelelahan merupakan gejala yang tidak spesifik yang mungkin
disebabkan oleh banyak kondisi-kondisi lain. Kemampuan seseorang untuk
berolahraga juga berkurang. Beberapa pasien bahkan tidak merasakan
keluhan ini dan mereka tanpa sadar membatasi aktivitas fisik mereka untuk
memenuhi kebutuhan oksigen.
Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung
yang paling umum. Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja
pernapasan akibat kongesti vaskular paru yang mengurangi kelenturan
paru.meningkatnya tahanan aliran udara juga menimbulkan dispnea. Seperti
juga spektrum kongesti paru yang berkisar dari kongesti vena paru sampai
edema interstisial dan akhirnya menjadi edema alveolar, maka dispnea juga
berkembang progresif. Dispnea saat beraktivitas menunjukkan gejala awal
dari gagal jantung kiri. Ortopnea (dispnea saat berbaring) terutama
disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh yang di
bawah ke arah sirkulasi sentral.reabsorpsi cairan interstisial dari ekstremitas
bawah juga akan menyebabkan kongesti vaskular paru-paru lebih lanjut.
Paroxysmal Nocturnal Dispnea (PND) dipicu oleh timbulnya edema paru
intertisial. PND merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari gagal
jantung kiri dibandingkan dengan dispnea atau ortopnea.
Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada
posisi berbaring.
Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri
khas dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah
paru-paru karena pengaruh gaya gravitasi.
Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi
akibat distensi vena.
Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena
sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-vena
leher mengalami bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat
secara paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat
menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena ke jantung selama
inspirasi.
Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan
kapsula hati.
Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual
dapat disebabkan kongesti hati dan usus.
Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial.
Edema mula-mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan
terutama pada malam hari; dapat terjadi nokturia (diuresis malam hari)
yang mengurangi retensi cairan.nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan
dan reabsorpsi pada waktu berbaring, dan juga berkurangnya vasokontriksi
ginjal pada waktu istirahat.
Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema
anasarka. Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena
sistemik secara klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun
manifestasi paling dini dari bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh
retensi cairan daripada gagal jantung kanan yang nyata.
Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat
mengalami sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia
ventrikel akibat iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan sietem
saraf simpatis sering terjadi dan merupakan penyebab penting kematian
mendadak dalam situasi ini.

DIAGNOSIS

Kriteria Diagnosis :
Kriteria Framingham dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif

Kriteria Major :
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekana vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria Minor :
1. Edema eksremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea deffort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi(>120/menit)
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2
kriteria minor.
Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan
pedoman untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif
berdasarkan tingkat aktivitas fisik, antara lain:

NYHA class I, penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam


kegiatan fisik serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung
seperti cepat lelah, sesak napas atau berdebar-debar, apabila melakukan
kegiatan biasa.
NYHA class II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik.
Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik
yang biasa dapat menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti
kelelahan, jantung berdebar, sesak napas atau nyeri dada.
NYHA class III, penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih banyak
dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat,
akan tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah
menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang tersebut di
atas.
NYHA class IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun
tanpa menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan
kegiatan fisik meskipun sangat ringan.

Pemeriksaan Penunjang .
1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin :
Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen
(BUN), kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan
pemeriksaan gula darah, profil lipid.

2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari
EKG adalah untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel
hypertrophy (LVH) atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave).
EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi
diastolik pada LV.

3. Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran
jantung dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan
kadang-kadang efusi pleura. begitu pula keadaan vaskuler pulmoner
dan dapat mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien.

4. Penilaian fungsi LV :
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis,
mengevaluasi, dan menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling
berguna adalah echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat
memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi LV
begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup
dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI
sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV,
disertai dengan adanya abnormalitas pada pengisian diastolic pada LV
yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal jantung
dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-D/Doppler juga bernilai
untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana
sangat penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor pulmonale.
MRI juga memberikan analisis komprehensif terhadap anatomi jantung
dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan
volume LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah
EF (stroke volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF
mudah diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah
dikonsepkan. Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para ahli.
Sayangnya, EF memiliki beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur
kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh perubahan pada afterload
dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi
mitral sebagai akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang
bertekanan rendah. Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF
normal (> 50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika EF
berkurang secara bermakna (<30-40%). 11

PENATALAKSANAAN

a. Non Farmakalogi :
Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.
Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan
seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang
masih bisa dilakukan.
Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.
Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung
ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada
gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
Hentikan rokok
Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada
yang lainnya.
Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-
30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan
beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung
ringan dan sedang).
Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi
akut.
b. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas ; panghambat ACE, Antagonis
Angiotensin II, diuretik, Antagonis aldosteron, -blocker, vasodilator
14,
lain, digoksin, obat inotropik lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia.
15

a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan


paling sedikit diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat
digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik,
dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena, atau
kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretik hemat kalium,
spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi
mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat
(klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas
neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi
sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis rendah,
dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE.
Pemberian dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa
minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya
diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas
fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol,
bisoprolol atau metaprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan
penghambat ACE dan diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada
intoleransi terhadap ACE ihibitor.
e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung
disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi
atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta
blocker.
f. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk
pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial
dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan
pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli,
trombosis dan Trancient Ischemic Attacks, trombus intrakardiak
dan aneurisma ventrikel.
g. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang
asimptomatik atau aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia klas
I harus dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa.
Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk
terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk terapi aritmia atrial
dan tidak dapat digunakan untuk mencegah kematian mendadak.
h. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium
antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal
jantung.

Sirosis Hepatis
Definisi
Istilah Sirosis hati diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari kata
Khirrosyang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna pada
nodul-nodulyang terbentuk. Pengertian sirosis hati dapat dikatakan sebagai berikut
yaitu suatu keadaan disorganisassi yang difuse dari struktur hati yang normal akibat
nodul regeneratif yang dikelilingi jaringan mengalami fibrosis.
Secara lengkap Sirosis hati adalah Kemunduran fungsi liver yang permanen
yang ditandai dengan perubahan histopatologi. Yaitu kerusakan pada sel-sel hati yang
merangsang proses peradangan dan perbaikan sel-sel hati yang mati sehingga
menyebabkan terbentuknya jaringan parut. Sel-sel hati yang tidak mati beregenerasi
untuk menggantikan sel-sel yang telah mati. Akibatnya, terbentuk sekelompok-
sekelompok sel-sel hati baru (regenerative nodules) dalam jaringan parut.

Etiologi
1. Alkohol
adalah suatu penyebab yang paling umum dari cirrhosis, terutama didunia
barat. Perkembangan sirosis tergantung pada jumlah dan keteraturan dari
konsumsi alkohol. Konsumsi alkohol pada tingkat-tingkat yang tinggi dan
kronis melukai sel-sel hati. Tiga puluh persen dari individu-individu yang
meminum setiap harinya paling sedikit 8 sampai 16 ounces minuman keras
(hard liquor) atau atau yang sama dengannya untuk 15 tahun atau lebih akan
mengembangkan sirosis. Alkohol menyebabkan suatu jajaran dari penyakit-
penyakit hati; dari hati berlemak yang sederhana dan tidak rumit (steatosis),
ke hati berlemak yang lebih serius dengan peradangan (steatohepatitis atau
alcoholic hepatitis), ke sirosis. Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD)
merujuk pada suatu spektrum yang lebar dari penyakit hati yang, seperti
penyakit hati alkoholik (alcoholic liver disease), mencakup dari steatosis
sederhana (simple steatosis), ke nonalcoholic Steatohepatitis (NASH), ke
sirosis. Semua tingkatan-tingkatan dari NAFLD mempunyai bersama-sama
akumulasi lemak dalam sel-sel hati. Istilah nonalkoholik digunakan karena
NAFLD terjadi pada individu-individu yang tidak mengkonsumsi jumlah-
jumlah alkohol yang berlebihan, namun, dalam banyak aspek-aspek, gambaran
mikroskopik dari NAFLD adalah serupa dengan apa yang dapat terlihat pada
penyakit hati yang disebabkan oleh alkohol yang berlebihan. NAFLD
dikaitkan dengan suatu kondisi yang disebut resistensi insulin, yang pada
gilirannya dihubungkan dengan sindrom metabolisme dan diabetes mellitus
tipe 2. Kegemukan adalah penyebab yang paling penting dari resistensi
insulin, sindrom metabolisme, dan diabetes tipe 2. NAFLD adalah penyakit
hati yang paling umum di Amerika dan adalah bertanggung jawab untuk 24%
dari semua penyakit hati.

2. Sirosis Kriptogenik,
Cryptogenic cirrhosis (sirosis yang disebabkan oleh penyebab-penyebab
yang tidak teridentifikasi) adalah suatu sebab yang umum untuk
pencangkokan hati. Di-istilahkan sirosis kriptogenik (cryptogenic cirrhosis)
karena bertahun-tahun para dokter telah tidak mampu untuk menerangkan
mengapa sebagian dari pasien-pasien mengembangkan sirosis. Dipercaya
bahwa sirosis kriptogenik disebabkan oleh NASH (nonalcoholic
steatohepatitis) yang disebabkan oleh kegemukan, diabetes tipe 2, dan
resistensi insulin yang tetap bertahan lama. Lemak dalam hati dari pasien-
pasien dengan NASH diperkirakan menghilang dengan timbulnya sirosis, dan
ini telah membuatnya sulit untuk para dokter membuat hubungan antara
NASH dan sirosis kriptogenik untuk suatu waktu yang lama. Satu petunjuk
yang penting bahwa NASH menjurus pada sirosis kriptogenik adalah
penemuan dari suatu kejadian yang tinggi dari NASH pada hati-hati yang baru
dari pasien-pasien yang menjalankan pencangkokan hati untuk sirosis
kriptogenik. Akhirnya, suatu studi dari Perancis menyarankan bahwa pasien-
pasien dengan NASH mempunyai suatu risiko mengembangkan sirosis yang
serupa seperti pasien-pasien dengan infeksi virus hepatitis C yang tetap
bertahan lama. Bagaimanapun, kemajuan ke sirosis dari NASH diperkirakan
lambat dan diagnosis dari sirosis secara khas dibuat pada pasien-pasien pada
umur kurang lebih 60 tahun.

3. Hepatitis Virus Yang Kronis


adalah suatu kondisi dimana hepatitis B atau hepatitis C virus menginfeksi
hati bertahun-tahun. Kebanyakan pasien-pasien dengan hepatitis virus tidak
akan mengembangkan hepatitis kronis dan sirosis. Contohnya, mayoritas dari
pasien-pasien yang terinfeksi dengan hepatitis A sembuh secara penuh dalam
waktu berminggu-minggu, tanpa mengembangkan infeksi yang kronis.
Berlawanan dengannya, beberapa pasien-pasien yang terinfeksi dengan virus
hepatitis B dan kebanyakan pasien-pasien terinfeksi dengan virus hepatitis C
mengembangkan hepatitis yang kronis, yang pada gilirannya menyebabkan
kerusakan hati yang progresif dan menjurus pada sirosis, dan adakalanya
kanker-kanker hati.

4. Kelainan-Kelainan Genetik Yang Diturunkan/Diwariskan


berakibat pada akumulasi unsur-unsur beracun dalam hati yang menjurus
pada kerusakkan jaringan dan sirosis. Contoh-contoh termasuk akumulasi besi
yang abnormal (hemochromatosis) atau tembaga (penyakit Wilson). Pada
hemochromatosis, pasien-pasien mewarisi suatu kecenderungan untuk
menyerap suatu jumlah besi yang berlebihan dari makanan. Melalui waktu,
akumulasi besi pada organ-organ yang berbeda diseluruh tubuh menyebabkan
sirosis, arthritis, kerusakkan otot jantung yang menjurus pada gagal jantung,
dan disfungsi (kelainan fungsi) buah pelir yang menyebabkan kehilangan
rangsangan seksual. Perawatan ditujukan pada pencegahan kerusakkan pada
organ-organ dengan mengeluarkan besi dari tubuh melaui pengeluaran darah.
Pada penyakit Wilson, ada suatu kelainan yang diwariskan pada satu dari
protein-protein yang mengontrol tembaga dalam tubuh. Melalui waktu yang
lama, tembaga berakumulasi dalam hati, mata, dan otak. Sirosis, gemetaran,
gangguan-gangguan psikiatris (kejiwaan) dan kesulitan-kesulitan syaraf
lainnya terjadi jika kondisi ini tidak dirawat secara dini. Perawatan adalah
dengan obat-obat oral yang meningkatkan jumlah tembaga yang dieliminasi
dari tubuh didalam urin.
5. Primary biliary cirrhosis (PBC)
adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh suatu kelainan dari sistim
imun yang ditemukan sebagian besar pada wanita-wanita. Kelainan imunitas
pada PBC menyebabkan peradangan dan perusakkan yang kronis dari
pembuluh-pembuluh kecil empedu dalam hati. Pembuluh-pembuluh empedu
adalah jalan-jalan dalam hati yang dilalui empedu menuju ke usus. Empedu
adalah suatu cairan yang dihasilkan oleh hati yang mengandung unsur-unsur
yang diperlukan untuk pencernaan dan penyerapan lemak dalam usus, dan
juga campuran-campuran lain yang adalah produk-produk sisa, seperti pigmen
bilirubin. (Bilirubin dihasilkan dengan mengurai/memecah hemoglobin dari
sel-sel darah merah yang tua). Bersama dengan kantong empedu, pembuluh-
pembuluh empedu membuat saluran empedu. Pada PBC, kerusakkan dari
pembuluh-pembuluh kecil empedu menghalangi aliran yang normal dari
empedu kedalam usus. Ketika peradangan terus menerus menghancurkan lebih
banyak pembuluh-pembuluh empedu, ia juga menyebar untuk menghancurkan
sel-sel hati yang berdekatan. Ketika penghancuran dari hepatocytes menerus,
jaringan parut (fibrosis) terbentuk dan menyebar keseluruh area kerusakkan.
Efek-efek yang digabungkan dari peradangan yang progresif, luka parut, dan
efek-efek keracunan dari akumulasi produk-produk sisa memuncak pada
sirosis.

6. Primary Sclerosing Cholangitis (PSC)


adalah suatu penyakit yang tidak umum yang seringkali ditemukan pada
pasien-pasien dengan radang borok usus besar. Pada PSC, pembuluh-
pembuluh empedu yang besar diluar hati menjadi meradang, menyempit, dan
terhalangi. Rintangan pada aliran empedu menjurus pada infeksi-infeksi
pembuluh-pembuluh empedu dan jaundice (kulit yang menguning) dan
akhirnya menyebabkan sirosis. Pada beberapa pasien-pasien, luka pada
pembuluh-pembuluh empedu (biasanya sebagai suatu akibat dari operasi) juga
dapat menyebabkan rintangan dan sirosis pada hati.

7. Hepatitis Autoimun
adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh suatu kelainan sistim
imun yang ditemukan lebih umum pada wanita-wanita. Aktivitas imun yang
abnromal pada hepatitis autoimun menyebabkan peradangan dan
penghancuran sel-sel hati (hepatocytes) yang progresif, menjurus akhirnya
pada sirosis.

8. Bayi-bayi dapat dilahirkan tanpa pembuluh-pembuluh empedu (biliary atresia)


dan akhirnya mengembangkan sirosis. Bayi-bayi lain dilahirkan dengan
kekurangan enzim-enzim vital untuk mengontrol gula-gula yang menjurus
pada akumulasi gula-gula dan sirosis. Pada kejadian-kejadian yang jarang,
ketidakhadiran dari suatu enzim spesifik dapat menyebabkan sirosis dan luka
parut pada paru (kekurangan alpha 1 antitrypsin).

9. Lain-lain
Penyebab-penyebab sirosis yang lebih tidak umum termasuk reaksi-reaksi
yang tidak umum pada beberapa obat-obat dan paparan yang lama pada racun-
racun, dan juga gagal jantung kronis (cardiac cirrhosis). Pada bagian-bagian
tertentu dari dunia (terutama Afrika bagian utara), infeksi hati dengan suatu
parasit (schistosomiasis) adalah penyebab yang paling umum dari penyakit
hati dan sirosis.

Patofisiologi
Pada sirosis, hubungan antara darah dan sel-sel hati hancur. Meskipun sel-sel
hati yang selamat atau dibentuk baru mungkin mampu untuk menghasilkan dan
mengeluarkan unsur-unsur dari darah, mereka tidak mempunyai hubungan yang
normal dan intim dengan darah, dan ini mengganggu kemampuan sel-sel hati untuk
menambah atau mengeluarkan unsur-unsur dari darah. Sebagai tambahan, luka parut
dalam hati yang bersirosis menghalangi aliran darah melalui hati dan ke sel-sel hati.
Sebagai suatu akibat dari rintangan pada aliran darah melalui hati, darah tersendat
pada vena portal, dan tekanan dalam vena portal meningkat, suatu kondisi yang
disebut hipertensi portal. Karena rintangan pada aliran dan tekanan-tekanan tinggi
dalam vena portal, darah dalam vena portal mencari vena-vena lain untuk mengalir
kembali ke jantung, vena-vena dengan tekanan-tekanan yang lebih rendah yang
membypass hati. Hati tidak mampu untuk menambah atau mengeluarkan unbsur-
unsur dari darah yang membypassnya. Merupakan kombinasi dari jumlah-jumlah sel-
sel hati yang dikurangi, kehilangan kontak normal antara darah yang melewati hati
dan sel-sel hati, dan darah yang membypass hati yang menjurus pada banyaknya
manifestasi-manifestasi dari sirosis.
Hipertensi portal merupakan gabungan antara penurunan aliran darah porta
dan peningkatan resistensi vena portal. Hipertensi portal dapat terjadi jika tekanan
dalam sistem vena porta meningkat di atas 10-12 mmHg. Nilai normal tergantung dari
cara pengukuran, terapi umumnya sekitar 7 mmHg. Peningkatan tekanan vena porta
biasanya disebabkan oleh adanya hambatan aliran vena porta atau peningkatan aliran
darah ke dalam vena splanikus. Obstruksi aliran darah dalam sistem portal dapat
terjadi oleh karena obstruksi vena porta atau cabang-cabang selanjutnya (ekstra
hepatik), peningkatan tahanan vaskuler dalam hati yang terjadi dengan atau tanpa
pengkerutan (intra hepatik) yang dapat terjadi presinusoid, parasinusoid atau
postsinusoid dan obstruksi aliran keluar vena hepatik (supra hepatik).
Hipertensi portal adalah sindroma klinik umum yang berhubungan dengan
penyakit hati kronik dan dijumpai peningkatan tekanan portal yang patologis.
Tekanan portal normal berkisar antara 5-10 mmHg. Hipertensi portal timbul bila
terdapat kenaikan tekanan dalam sistem portal yang sifatnya menetap di atas harga
normal.
Hipertensi portal dapat terjadi ekstra hepatik, intra hepatik, dan supra hepatik.
Obstruksi vena porta ekstra hepatik merupakan penyebab 50-70% hipertensi portal
pada anak, tetapi dua per tiga kasus tidak spesifik penyebabnya tidak diketahui,
sedangkan obstruksi vena porta intra hepatik dan supra hepatik lebih banyak
menyerang anak-anak yang berumur kurang dari 5 tahun yang tidak mempunyai
riwayat penyakit hati sebelumnya.
Penyebab lain sirosis adalah hubungan yang terganggu antara sel-sel hati dan
saluran-saluran melalui mana empedu mengalir. Pada sirosis, canaliculi adalah
abnormal dan hubungan antara sel-sel hati canaliculi hancur/rusak, tepat seperti
hubungan antara sel-sel hati dan darah dalam sinusoid-sinusoid. Sebagai akibatnya,
hati tidak mampu menghilangkan unsur-unsur beracun secara normal, dan mereka
dapat berakumulasi dalam tubuh. Dalam suatu tingkat yang kecil, pencernaan dalam
usus juga berkurang.

Klasifikasi
A. Berdasarkan morfologi Sherlock membagi Sirosis hati atas 3 jenis, yaitu :
1. Mikronodular
Ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, di dalam septa parenkim hati
mengandung nodul halus dan kecil yang merata. Sirosis mikronodular besar
nodulnya sampai 3 mm, sedangkan sirosis makronodular ada yang berubah
menjadi makronodular sehingga dijumpai campuran mikro dan makronodular.
2. Makronodular
sirosis makronodular ditandai dengan terbentuknya septa dengan ketebalan
bervariasi, mengandung nodul yang besarnya juga bervariasi ada nodul besar
didalamnya ada daerah luas dengan parenkim yang masih baik atau terjadi
regenerasi parenkim.
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular)

B. Secara Fungsional Sirosis terbagi atas :


1. Sirosis hati kompensata. Sering disebut dengan Laten Sirosis hati. Pada
stadium kompensata ini belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya
stadium ini ditemukan pada saat pemeriksaan screening.
2. Sirosis hati Dekompensata Dikenal dengan Active Sirosis hati, dan stadium ini
Biasanya gejala-gejala sudah jelas, misalnya : ascites, edema dan ikterus.
C. Klasifikasi sirosis hati menurut Child Pugh :

Skor/parameter 1 2 3
Bilirubin(mg %) < 2,0 2-<3 > 3,0
Albumin(mg %) > 3,5 2,8 - < 3,5 < 2,8
Protrombin time > 70 40 - < 70 < 40
(Quick %)
Asites 0 Min. sedang Banyak (+++)
(+) (++)
Hepatic Tidak ada Stadium 1 & 2 Stadium 3 & 4
Encephalopathy
MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang timbul tergantung pada tingkat berat sirosis hati yang terjadi.
Sirosis Hati dibagi dalam tiga tingkatan yakni Sirosis Hati yang paling rendah Child
A, Child B, hingga pada sirosis hati yang paling berat yakni Child C. Gejala yang
biasa dialami penderita sirosis dari yang paling ringan yakni lemah tidak nafsu
makan, hingga yang paling berat yakni bengkak pada perut, tungkai, dan penurunan
kesadaran. Pada pemeriksaan fisik pada tubuh penderita terdapat palmar eritem,
spider nevi.
Beberapa dari gejala-gejala dan tanda-tanda sirosis yang lebih umum termasuk:
1. Kulit yang menguning (jaundice) disebabkan oleh akumulasi bilirubin dalam
darah
2. Asites, edema pada tungkai
3. Hipertensi portal
4. Kelelahan
5. Kelemahan
6. Kehilangan nafsu makan
7. Gatal
8. Mudah memar dari pengurangan produksi faktor-faktor pembeku darah oleh
hati yang sakit.
Pada keadaan sirosis hati lanjut, terjadi pemecahan protein otot. Asam amino
rantai cabang (AARC) yang terdiri dari valin, leusin, dan isoleusin digunakan sebagai
sumber energi (kompensasi gangguan glukosa sebagai sumber energi) dan untuk
metabolisme amonia. Dalam hal ini, otot rangka berperan sebagai organ hati kedua
sehingga disarankan penderita sirosis hati mempunyai massa otot yang baik dan
bertubuh agak gemuk. Dengan demikian, diharapkan cadangan energi lebih banyak,
stadium kompensata dapat dipertahankan, dan penderita tidak mudah jatuh pada
keadaan koma.
Penderita sirosis hati harus meringankan beban kerja hati. Aktivitas sehari-hari
disesuaikan dengan kondisi tubuh. Pemberian obat-obatan (hepatotoksik) harus
dilakukan dengan sangat hati-hati. Penderita harus melakukan diet seimbang, cukup
kalori, dan mencegah konstipasi. Pada keadaan tertentu, misalnya, asites perlu diet
rendah protein dan rendah garam.

II. 3. 7. KOMPLIKASI
1. Edema dan ascites
Ketika sirosis hati menjadi parah, tanda-tanda dikirim ke ginjal-ginjal untuk
menahan garam dan air didalam tubuh. Kelebihan garam dan air pertama-tama
berakumulasi dalam jaringan dibawah kulit pergelangan-pergelangan kaki dan
kaki-kaki karena efek gaya berat ketika berdiri atau duduk. Akumulasi cairan ini
disebut edema atau pitting edema. (Pitting edema merujuk pada fakta bahwa
menekan sebuah ujung jari dengan kuat pada suatu pergelangan atau kaki dengan
edema menyebabkan suatu lekukan pada kulit yang berlangsung untuk beberapa
waktu setelah pelepasan dari tekanan. Ketika sirosis memburuk dan lebih banyak
garam dan air yang tertahan, cairan juga mungkin berakumulasi dalam rongga
perut antara dinding perut dan organ-organ perut. Akumulasi cairan ini (disebut
ascites) menyebabkan pembengkakkan perut, ketidaknyamanan perut, dan berat
badan yang meningkat.
2. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)
Cairan dalam rongga perut (ascites) adalah tempat yang sempurna untuk
bakteri-bakteri berkembang. Secara normal, rongga perut mengandung suatu
jumlah yang sangat kecil cairan yang mampu melawan infeksi dengan baik, dan
bakteri-bakteri yang masuk ke perut (biasanya dari usus) dibunuh atau
menemukan jalan mereka kedalam vena portal dan ke hati dimana mereka
dibunuh. Pada sirosis, cairan yang mengumpul didalam perut tidak mampu untuk
melawan infeksi secara normal. Sebagai tambahan, lebih banyak bakteri-bakteri
menemukan jalan mereka dari usus kedalam ascites. Oleh karenanya, infeksi
didalam perut dan ascites, dirujuk sebagai spontaneous bacterial peritonitis atau
SBP, kemungkinan terjadi. SBP adalah suatu komplikasi yang mengancam
nyawa. Beberapa pasien-pasien dengan SBP tdak mempunyai gejala-gejala,
dimana yang lainnya mempunyai demam, kedinginan, sakit perut dan kelembutan
perut, diare, dan memburuknya ascites.
3. Perdarahan dari Varises-Varises Kerongkongan (Oesophageal Varices)
Pada sirosis hati, jaringan parut menghalangi aliran darah yang kembali ke
jantung dari usus-usus dan meningkatkan tekanan dalam vena portal (hipertensi
portal). Ketika tekanan dalam vena portal menjadi cukup tinggi, ia menyebabkan
darah mengalir di sekitar hati melalui vena-vena dengan tekanan yang lebih
rendah untuk mencapai jantung. Vena-vena yang paling umum yang dilalui darah
untuk membypass hati adalah vena-vena yang melapisi bagian bawah dari
kerongkongan (esophagus) dan bagian atas dari lambung.
Sebagai suatu akibat dari aliran darah yang meningkat dan peningkatan
tekanan yang diakibatkannya, vena-vena pada kerongkongan yang lebih bawah
dan lambung bagian atas mengembang dan mereka dirujuk sebagai esophageal
dan gastric varices; lebih tinggi tekanan portal, lebih besar varices-varices dan
lebih mungkin seorang pasien mendapat perdarahan dari varices-varices kedalam
kerongkongan (esophagus) atau lambung.
Perdarahan juga mungkin terjadi dari varices-varices yang terbentuk dimana
saja didalam usus-usus, contohnya, usus besar (kolon), namun ini adalah jarang.
Untuk sebab-sebab yang belum diketahui, pasien-pasien yang diopname karena
perdarahan yang secara aktif dari varices-varices kerongkongan mempunyai suatu
risiko yang tinggi mengembangkan spontaneous bacterial peritonitis.
4. Hepatic encephalopathy
Beberapa protein-protein dalam makanan yang terlepas dari pencernaan dan
penyerapan digunakan oleh bakteri-bakteri yang secara normal hadir dalam usus.
Ketika menggunakan protein untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, bakteri-bakteri
membuat unsur-unsur yang mereka lepaskan kedalam usus. Unsur-unsur ini
kemudian dapat diserap kedalam tubuh. Beberapa dari unsur-unsur ini, contohnya,
ammonia, dapat mempunyai efek-efek beracun pada otak. Biasanya, unsur-unsur
beracun ini diangkut dari usus didalam vena portal ke hati dimana mereka
dikeluarkan dari darah dan di-detoksifikasi (dihilangkan racunnya).
Ketika unsur-unsur beracun berakumulasi secara cukup dalam darah, fungsi
dari otak terganggu, suatu kondisi yang disebut hepatic encephalopathy. Tidur
waktu siang hari daripada pada malam hari (kebalikkan dari pola tidur yang
normal) adalah diantara gejala-gejala paling dini dari hepatic encephalopathy.
Gejala-gejala lain termasuk sifat lekas marah, ketidakmampuan untuk konsentrasi
atau melakukan perhitungan-perhitungan, kehilangan memori, kebingungan, atau
tingkat-tingkat kesadaran yang tertekan. Akhirnya, hepatic encephalopathy yang
parah/berat menyebabkan koma dan kematian.
5. Hepatorenal syndrome
Pasien-pasien dengan sirosis yang memburuk dapat mengembangkan
hepatorenal syndrome. Sindrom ini adalah suatu komplikasi yang serius dimana
fungsi dari ginjal-ginjal berkurang. Itu adalah suatu persoalan fungsi dalam ginjal-
ginjal, yaitu, tidak ada kerusakn fisik pada ginjal-ginjal. Sebagai gantinya, fungsi
yang berkurang disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam cara darah mengalir
melalui ginjal-ginjalnya. Hepatorenal syndrome didefinisikan sebagai kegagalan
yang progresif dari ginjal-ginjal untuk membersihkan unsur-unsur dari darah dan
menghasilkan jumlah-jumlah urin yang memadai walaupun beberapa fungsi-
fungsi penting lain dari ginjal-ginjal, seperti penahanan garam,
dipelihara/dipertahankan.

6. Hepatopulmonary syndrome
Jarang, beberapa pasien-pasien dengan sirosis yang berlanjut dapat
mengembangkan hepatopulmonary syndrome. Pasien-pasien ini dapat mengalami
kesulitan bernapas karena hormon-hormon tertentu yang dilepas pada sirosis yang
telah berlanjut menyebabkan paru-paru berfungsi secara abnormal. Persoalan
dasar dalam paru adalah bahwa tidak cukup darah mengalir melalui pembuluh-
pembuluh darah kecil dalam paru-paru yang berhubungan dengan alveoli
(kantung-kantung udara) dari paru-paru. Darah yang mengalir melalui paru-paru
dilangsir sekitar alveoli dan tidak dapat mengambil cukup oksigen dari udara
didalam alveoli. Sebagai akibatnya pasien mengalami sesak napas, terutama
dengan pengerahan tenaga.
7. Hyperspleenism
Limpa (spleen) secara normal bertindak sebagai suatu saringan (filter) untuk
mengeluarkan/menghilangkan sel-sel darah merah, sel-sel darah putih, dan
platelet-platelet (partikel-partikel kecil yang penting uktuk pembekuan darah)
yang lebih tua. Darah yang mengalir dari limpa bergabung dengan darah dalam
vena portal dari usus-usus. Ketika tekanan dalam vena portal naik pada sirosis, ia
bertambah menghalangi aliran darah dari limpa. Darah tersendat dan
berakumulasi dalam limpa, dan limpa membengkak dalam ukurannya, suatu
kondisi yang dirujuk sebagai splenomegaly. Adakalanya, limpa begitu
bengkaknya sehingga ia menyebabkan sakit perut.
Ketika limpa membesar, ia menyaring keluar lebih banyak dan lebih banyak sel-
sel darah dan platelet-platelet hingga jumlah-jumlah mereka dalam darah
berkurang. Hypersplenism adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kondisi ini, dan itu behubungan dengan suatu jumlah sel darah merah yang rendah
(anemia), jumlah sel darah putih yang rendah (leucopenia), dan/atau suatu jumlah
platelet yang rendah (thrombocytopenia). Anemia dapat menyebabkan kelemahan,
leucopenia dapat menjurus pada infeksi-infeksi, dan thrombocytopenia dapat
mengganggu pembekuan darah dan berakibat pada perdarahan yang diperpanjang
(lama).

8. Kanker Hati (hepatocellular carcinoma)


Sirosis yang disebabkan oleh penyebab apa saja meningkatkan risiko kanker hati
utama/primer (hepatocellular carcinoma). Utama (primer) merujuk pada fakta
bahwa tumor berasal dari hati. Suatu kanker hati sekunder adalah satu yang
berasal dari mana saja didalam tubuh dan menyebar (metastasizes) ke hati.

Diagnostik dan Tatalaksana


A. Pemeriksaan Diagnostik
a. Scan/biopsy hati : Mendeteksi infiltrate lemak, fibrosis, kerusakan
jaringan hati,
b. Kolesistografi/kolangiografi : Memperlihatkan penyakit duktus
empedu yang mungkin sebagai faktor predisposisi.
c. Esofagoskopi : Dapat melihat adanya varises esophagus
d. Portografi Transhepatik perkutaneus : Memperlihatkan sirkulasi
system vena portal,
e. Pemeriksaan Laboratorium :
Bilirubin serum, AST(SGOT)/ALT(SPGT),LDH, Alkalin
fosfotase, Albumin serum, Globulin, Darh lengkap, masa
prototrombin, Fibrinogen, BUN, Amonia serum, Glukosa serum,
Elektrolit, kalsium, Pemeriksaan nutrient, Urobilinogen urin, dan
Urobilinogen fekal.
B. Penatalaksanaan
Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :
1. Simtomatis
2. Supportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang;
misalnya : cukup kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin
c. Pengobatan berdasarkan etiologi
Misalnya pada sirosis hati akibat infeksi virus C dapat dicoba
dengan interferon. Sekarang telah dikembangkan perubahan strategi
terapi bagian pasien dengan hepatitis C kronik yang belum pernah
mendapatkan pengobatan IFN seperti a) kombinasi IFN dengan
ribavirin, b) terapi induksi IFN, c) terapi dosis IFN tiap hari.
A) Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta unit 3 x
seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung berat badan
(1000mg untuk berat badan kurang dari 75kg) yang diberikan
untukjangka waktu 24-48 minggu.
B) Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis
yang lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu yang
dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu selama 48 minggu dengan
atau tanpa kombinasi dengan RIB.
C) Terapi dosis interferon setiap hari.
Dasar pemberian IFN dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit tiap hari
sampai HCV-RNA negatif di serum dan jaringan hati.
3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi
komplikasi seperti
1. Asites
2. Spontaneous bacterial peritonitis
3. Hepatorenal syndrome
4. Ensefalophaty hepatic

1. Asites
Dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas :
- istirahat
- diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan diet rendah
garam dan penderita dapat berobat jalan dan apabila gagal maka penderita harus
dirawat.
- Diuretik
Pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garam
dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg setelah 4
hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretic adalah hipokalemia
dan hal ini dapat mencetuskan encephalopaty hepatic, maka pilihan utama diuretic
adalah spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan
dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal diuresinya belum
tercapai maka dapat kita kombinasikan dengan furosemid.
2. Spontaneous bacterial peritonitis
Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III
(Cefotaxime), secara parental selama lima hari, atau Qinolon secara oral. Mengingat
akan rekurennya tinggi maka untuk Profilaxis dapat diberikan Norfloxacin
(400mg/hari) selama 2-3 minggu.
3. Hepatorenal Sindrome
Sindroma ini dicegah dengan menghindari pemberian Diuretik yang
berlebihan, pengenalan secara dini setiap penyakit seperti gangguan elekterolit,
perdarahan dan infeksi. Penanganan secara konservatif dapat dilakukan berupa :
Restriksi cairan,garam, potassium dan protein. Serta menghentikan obat-obatan yang
Nefrotoxic.
Manitol tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan Asifosis intra seluler.
Diuretik dengan dosis yang tinggi juga tidak bermanfaat, dapat mencetuskan
perdarahan dan shock. TIPS hasil jelek pada Childs C, dan dapat dipertimbangkan
pada pasien yang akan dilakukan transplantasi.
Pilihan terbaik adalah transplantasi hati yang diikuti dengan perbaikan dan
fungsi ginjal.
4. Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus
Kasus ini merupakan kasus emergensi sehingga penentuan etiologi sering
dinorduakan, namun yang paling penting adalah penanganannya lebih dulu. Prrinsip
penanganan yang utama adalah tindakan Resusitasi sampai keadaan pasien stabil,
dalam keadaan ini maka dilakukan :
- Pasien diistirahatkan dan dipuasakan
- Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi
- Pemasangan Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai banyak sekali kegunaannyayaitu
: untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es, pemberian obat-obatan, evaluasi
darah
- Pemberian obat-obatan berupa antasida,ARH2,Antifibrinolitik,Vitamin K,
Vasopressin, Octriotide dan Somatostatin
- Disamping itu diperlukan tindakan-tindakan lain dalam rangka menghentikan
perdarahan misalnya Pemasangan Ballon Tamponade dan Tindakan
Skleroterapi / Ligasi aatau Oesophageal Transection.

Ensefalopati Hepatik

Prinsip penggunaan ada 3 sasaran :


1. mengenali dan mengobati factor pencetua
2. intervensi untuk menurunkan produksi dan absorpsi amoniak serta toxin-toxin
yang berasal dari usus dengan jalan :
- Diet rendah protein
- Pemberian antibiotik (neomisin)
- Pemberian lactulose/ lactikol
3. Obat-obat yang memodifikasi Balance Neutronsmiter
- Secara langsung (Bromocriptin,Flumazemil)
- Tak langsung (Pemberian AARS)

PROGNOSIS
Prognosis sirosis hepatis menjadi buruk apabila:

Ikterus yang menetap atau bilirubin darah > 1,5 mg%


Asites refrakter atau memerlukan diuretik dosis besar
Kadar albumin rendah (< 2,5 gr%)
Kesadaran menurun tanpa faktor pencetus
Hati mengecil
Perdarahan akibat varises esofagus
Komplikasi neurologis
Kadar protrombin rendah

Anda mungkin juga menyukai