Anda di halaman 1dari 18

Gejala Lupus dan Penyebab Penyakit Lupus

Mengenal gejala lupus dan penyebab penyakit lupus. Apa itu lupus? Penyakit lupus adalah peradangan kronis yang
terjadi ketika sistem imun tubuh menyerang organ dan jaringan tubuh. Peradangan yang disebabkan oleh lupus dapat
berefek pada berbagai sistem di dalam tubuh, antara lain sendi, kulit, ginjal, sel darah, jantung dan paru-paru.

Lupus lebih sering terjadi pada wanita, meskipun tidak jelas alasannya. Ada empat jenis lupus -systemic lupus
erythematosus, discoid lupus erythematosus, drug-induced lupus erythematosus dan neonatal lupus. Diantaranya,
systemic lupus erythematosus adalah yang paling umum dan paling serius.

Diagnosis dan perawatan terhadap lupus dapat memberikan perbaikan. Bagi banyak dari mereka dengan lupus,
perawatan membantu mereka dapat hidup lebih aktif.

Ciri dan Gejala Penyakit Lupus

Dua kasus lupus tidak sepenuhnya serupa. Tanda dan gejela yang terjadi dapat datang dengan tiba-tiba atau
berkembang secara perlahan, dapat ringan atau parah, dan dapat bersifat sementara atau permanen. Banyak dari
mereka dengan lupus memiliki karakteristik episodik dengan tanda dan gejala yang memburuk untuk sementara
waktu kemudian membaik atau bahkan hilang untuk satu waktu.

Tanda dan gejala lupus yang anda alami didasarkan pada sistem tubuh bagian mana yang terkena efek penyakit ini.
Tapi secara umum, tanda dan gejala lupus antara lain:

Lelah
Demam
Hilang berat badan atau berat badan meningkat
Ruam yang berbentuk seperti kupu-kupu pada wajah yang menutupi pipi dan hidung
Luka pada kulit yang timbul atau parah ketika terkena sinar matahari
Radang pada mulut
Rambut rontok
Jari dan kuku yang memutih atau membiru ketika terkena dingin atau saat stress (Raynauds phenomenon)
Napas pendek
Nyeri pada dada
Mata kering
Mudah memar
Gelisah
Depresi
Hilang ingatan

Penyebab Penyakit Lupus

Lupus adalah penyakit autoimun yang muncul ketika tubuh terkena zat asing tertentu, seperti bakteri dan virus,
kemudian sistem imun tersebut juga menyerang jaringan tubuh yang sehat. Hal ini menyebabkan peradangan dan
kerusakan berbagai bagian tubuh, antara lain sendi, kulit, ginjal, jantung, paru-paru, pembuluh darah dan otak.

Dokter tidak mengetahui apa yang menyebabkan penyakit ini. Lupus seperti merupakan kombinasi faktor genetik
dan lingkungan. Banyak dari mereka dengan kecenderungan turunan mengalami lupus hanyak ketika mereka
terkena sesuatu di dalam lingkungan yang dapat memicu lupus, seperti obat atau virus.

Jenis-Jenis Penyakit Lupus

1. Systemic lupus erythematosus


Lupus ini pada awalnya dapat berefek pada bagian tubuh manapun. Sistem di dalam tubuh yang secara
umum terkena adalah sendi, kulit, paru-paru, ginjal dan darah. Ketika pada umumnya orang berbicara
mengenai lupus, lupus tersebut biasanya adalah systemic lupus erythematosus.
2. Discoid lupus erythematosus
Lupus ini berefek hanya pada kulit. Mereka dengan lupus discoid mengalami ruam pada wajah, leher dan
kulit kepala. Sejumlah kecil mereka dengan discoid lupus juga dapat mengalami systemic lupus
erythematosus, meskipun tidak mungkin untuk memprediksi siapa saja yang akan mengalami bentuk lupus
yang lebih serius.
3. Drug-induced lupus erythematosus
Lupus ini terjadi setelah anda menggunakan obat tertentu. Tidak semua orang yang menggunakan obat
tersebut mengalami lupus. Lupus jenis ini berefek pada berbagai sistem di dalam tubuh. Tanda dan gejala
biasanya hilang ketika anda berhenti menggunakan obat yang menyebabkan lupus jenis ini terjadi.
4. Neonatal lupus
Merupakan bentuk langka dari lupus yang berefek pada bayi yang baru lahir. Ibu degan antibody tertentu
yang memiliki hubungan terhadap penyakit autoimun dapat menurunkannya pada bayi mereka bahkan
jika sang ibu tidak memiliki tanda maupun gejala penyakit autoimun tersebut. Neonatal lupus dapat hilang
sebelum menunjukkan perkembangannya. Dalam kasus yang lebih serius dapat menyebabkan masalah pada
sistem elektrik jantung (congenital heart block).

Faktor risiko penyakit lupus

Meskipun para doker tidak mengetahui apa yang menyebabkan lupus pada banyak kasus, mereka telah
mengidentifikasi faktor apa saja yang meningkatkan risiko penyakit ini, antara lain:

1. Jenis kelamin
Lupus lebih umum pada wanita.
2. Usia
Meskipun lupus dapat berefek pada segala usia, termasuk bayi, anak dan orang dewasa, tetapi lupus paling
umum terdiagnosis pada mereka yang berusia antara 15 sampai 40 tahun.
3. Ras
Lupus umumnya terdapat pada ras Afrika, Hispanics dan Asia.
4. Sinar matahari
Terkena sinar matahari dapat membawa pada lupus kulit atau memicu respon internal pada mereka yang
rentan.
5. Obat tertentu
Obat tertentu yang digunakan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan drug-induced lupus. Banyak
obat yang secara potensial dapat memicu lupus, sebagai contoh antara lain adalah antipsychotic
chlorpromazine; obat tekanan darah tinggi, seperti hydralazine; obat tuberculosis isonoazid dan obat
jantung procainamide. Biasanya membutuhkan jangka waktu penggunaan dalam beberapa bulan sebelum
gejala timbul.
6. Terinfeksi virus Epstein-Barr
Merupakan virus yang biasanya tertidur di dalam sel dari sistem imun anda meskipun tidak jelas alasan
mengapa dan apa yang membuat virus tersebut aktif kembali.
7. Terkena zat kimia
Beberapa studi menunjukkan bahwa mereka yang bekerja dan rentan terekspos merkuri dan silica memiliki
peningkatan risiko lupus. Merokok juga dapat meningkatkan risiko mengalami lupus.

Nah, itulah saudara-saudara sekalian penjelasan mengenai gejala lupus dan penyebab penyakit lupus. Semoga bisa
bermanfaat buat anda, setidaknya menambah pengetahuan.

A. DEFINISI
Sistem kekebalan tubuh berperan penting dalam tubuh. Fungsinya adalah melindungi tubuh
manusia dari serangan antigen seperti bakteri, virus, dan mikroba. Bagaimana bila sistem kekebalan
tubuh bereaksi berlebihan? Kondisi tersebut dapat memicu kemunculan penyakit lupus, yang pada 10
Mei ditetapkan sebagai hari Lupus sedunia. Walaupun penyakit tersebut sejak lama ada, tetapi lupus
masih dianggap penyakit misterius karena belum diketahui pasti penyebab dan cara penyembuhannya
hingga tuntas.

Lupus Eritematosus Sistemik ( SLE ) adalah suatu penyakit autoimun kronik yang menyerang
berbagai system dalam tubuh. Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, sekitar tahun
1800-an diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk kupu-kupu, melintasi tonjolan hidung
dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan serigala ( lupus adalah kata dalam bahasa latin
yang berarti serigala ). SLE merupakan penyakit kelebihan kekebalan tubuh. Penyakit lupus terjadi akibat
produksi antibodi berlebihan,sehingga tidak berfungsi menyerang virus, kuman, atau bakteri yang ada di
dalam tubuh, melainkan justru menyerang system kekebalan sel dan jaringan tubuh sendiri.

"Lupus dikenal dengan penyakit 1.000 wajah, karena antara pasien lupus yang satu dengan pasien lupus
yang lain mengalami keluhan yang berbeda-beda. Karena mereka menyerang bagian tubuh yang
berbeda pula," tutur Prof Zubairi dokter yang juga menjadi penasihat medik Yayasan Lupus Indonesia.
Lupus merupakan penyakit kelainan imunitas yang berpotensi menyerang seluruh bagian sistem tubuh
manusia, baik jaringan, organ, darah, saraf, tulang, otak, maupun sel darah. "Lupus ini bisa menyerang
bagian tubuh mana saja. Bisa merusak ginjal, trombosit, sendi, mengganggu otak, paru, jantung, juga
bisa menyebabkan stroke, termasuk pada mata" jelas spesialis mata dr Sudarman Sjamsoe SpM.
Ada 3 (tiga) jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu:
1. Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneous Lupus, yaitu: penyakit Lupus yang menyerang
kulit.

2. Systemic Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan sistem di dalam tubuh, seperti kulit,
sendi, darah, paruparu,

ginjal, hati, otak, dan sistem saraf. Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemic Lupus
Erythematosus).

3. Drug-Induced Lupus, penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu. Gejala-gejalanya
biasanya

menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.

B. ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI

Setiap individu mempunyai gejala maupun faktor timbul yang berbeda. Penyakit tersebut memang
tidak menular, tetapi bisa diturunkan karena faktor genetik. Faktor lingkungan seperti sinar matahari,
obat, dan intervensi virus dapat menjadi penyebab timbulnya lupus.

Penyakit tersebut lebih banyak menyerang wanita dibanding pria. Sampai sekarang
penyebabnya masih belum diketahui pasti. Tetapi salah satunya karena meningkatnya hormon estrogen
yang merupakan hormon wanita. Kemunculannya yang menyerupai penyakit lain, menjadikan penyakit ini
sering disebut sebagai penyakit 1.000 wajah. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian dari para dokter dalam
mendiagnosis penyakit yang dialami orang dalam lupus ini (odapus). Penyakit tersebut umumnya rentan
menyerang mereka yang berumur 15-44 tahun. Lupus merupakan penyakit yang menyerang orang-orang
dalam keadaan sehat. Penyakit lupus awalnya tidak terlihat, maksudnya pada gejala awal tidak
memperlihatkan bahwa si penderita ini terserang lupus. Mereka terlihat normal.

Penyakit lupus memang belum dikenal banyak orang. Adanya pendeteksian dini, diagnosis, dan
penanganan yang cepat dan tepat pada orang yang mengalami gejala lupus sangat penting dilakukan
untuk membantu menekan tingkat penyerangan lupus.

Selain faktor keturunan, faktor lingkungan seperti infeksi virus, cahaya matahari, dan obat-obatan
diduga ikut berperan dalam timbulnya gejala.

C. GEJALA KLINIS

Sakit pada sendi (Arthalgia) 95%

Demam hampir mencapai 380C 90%

Bengkak pada sendi (Arthritis) 90%

Lelah yang berkepanjangan 81%

Ruam pada kulit 74%

Anemia 71%

Gangguan ginjal 50%

Sakit di dada saat mengambil nafas dalam (pleurisy) 45%

Ruam bentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung 42%

Sensitif pada matahari/sinar (photosensitive) 30%

Rambut rontok 27%

Gangguan pembekuan darah 20%

Fenomena Raynauds (jari memutih dan atau biru saat dingin) 17%

Stroke 15%
Sariawan 12%

Kulit yang mudah gosong akibat sinar matahari

Gangguan pencernaan

Pegal-pegal

Pada darah terjadi penurunan jumlah eritrosit, leukosit, dan trombosit

Pada sistem saraf terjadi gangguan otak, sumsum tulang belakang, dan saraf tepi yang menyebabkan
pusing atau kejang

Peradangan

D. DIAGNOSIS

The American Rheumatism Association telah mengembangkan criteria untuk memilah SLE.
Adanya empat atau lebih dari ke-11 kriteria baik secara serial maupan simultancukup untuk menegakkan
diagnosis.

1. Ruam di daerah malar

2. Ruam discoid

3. Fotosensivitas

4. Ulkus pada mulut

5. Arthitis : tidak erosive, pada dua atau lebih sendi-sendi perifer

6. Serositis : Pleuritis atau perikarditis

7. Gangguan pada ginjal : Proteinuria persisten yang lebih dari 0,5 g/hari, atau adanya silinder
selular

8. Gangguan neurologik : kejang-kejang atau psikosis

9. Gangguan hematologik : anemia hemolitik, leucopenia, limfopenia, atau trombositopenia

10. Gangguan imunologik : Sel-sel lupus eritematosus (LE) positif, Anti-DNA, anti-Sm, atau suatu uji
serologic positif palsu untuk sifilis

11. Antibodi antinuclear (ANA)

Mengapa SLE sulit didiagnosa?

Karena SLE merupakan suatu penyakit yang menyerang banyak sistem tubuh, jadi sebelum
keseluruhannya dapat

didiagnosa, dapat terjadi gejala-gejala di beberapa bagian tubuh dan dengan beberapa tes darah barulah
dapat

mendukung ke beradaan penyakit ini.

SLE juga sulit didiagnosa karena penyakit ini merupakan tipe yang berkembang dengan lambat dan
lama, di mana

gejalanya dapat datang dan pergi, jadi butuh waktu untuk membuktikan keberadaan penyakit ini di dalam
darah, di mana

hasil pemeriksaan suatu saat positif dan disaat lain dapat menjadi negatif.

Ini membutuhkan waktu beberapa bulan bahkan beberapa tahun bagi dokter untuk dapat memberikan
diagnosa yang

akurat untuk penyakit ini. SLE juga sulit didiagnosa karena tidak ada tes laboratorium khusus untuk
penyakit ini.

Pemeriksaan SLE :
Pemeriksaan penyakit lupus ini bisa menggunakan uji laboratorium. patofis hal 1394

Penegakan diagnosis :

CT scan otak dilakukan atas pertimbangan saat itu terjadinya perburukan dalam perawatan yang
diduga akibat stroke.
Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan pilihan yang terbaik karena pemeriksaan tidak
invasif dan sensitif dalam mengevaluasi kelainan pada medula .spinalis2,13

PROGNOSIS

Prognosis untuk SLE bervariasi dan bergantung pada keparahan,gejala, keparahan organ-organ yang
terlibat,dan lama waktu remisi dapat dipertahankan.SLE tidak dapat disembuhkan penatalaksanaan
ditujukan untuk mengatasi gejala.pronosis berkaitan dengan sejauh mana gejala-gejala ini dapat diatasi.

E. PATOFISIOLOGI

Dalam tubuh seseorang terdapat antibodi yang berfungsi menyerang sumber

penyakit yang akan masuk dalam tubuh. Uniknya, penyakit Lupus ini antibodi

yang terbentuk dalam tubuh muncul berlebihan.


Hasilnya, antibodi justru menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat.

Kelainan ini disebut autoimunitas .

Antibodi yang berlebihan ini, bisa masuk ke seluruh jaringan dengan dua

cara yaitu :.

Pertama, antibodi aneh ini bisa langsung menyerang jaringan sel tubuh,

seperti pada sel-sel darah merah yang menyebabkan selnya akan hancur.

Inilah yang mengakibatkan penderitanya kekurangan sel darah merah atau

anemia.

Kedua, antibodi bisa bergabung dengan antigen (zat perangsang pemben

tukan antibodi), membentuk ikatan yang disebut kompleks imun.Gabungan

antibodi dan antigen mengalir bersama darah, sampai tersangkut di pem

buluh darah kapiler akan menimbulkan peradangan.

Dalam keadaan normal, kompleks ini akan dibatasi oleh sel-sel radang

(fagosit) Tetapi, dalam keadaan abnormal, kompleks ini tidak dapat

dibatasi dengan baik. Malah sel-sel radang tadi bertambah banyak sambil

mengeluarkan enzim, yang menimbulkan peradangan di sekitar kompleks.

Hasilnya, proses peradangan akan berkepanjangan dan akan merusak

organ tubuh dan mengganggu fungsinya. Selanjutnya, hal ini akan terlihat

sebagai gejala penyakit. Kalau hal ini terjadi, maka dalam jangka panjang

fungsi organ tubuh akan terganggu.

PATOGENESIS LES

Kelainan sistem imun pada LES ditandai dengan berbagai faktor dan lingkungan yang mampu mengubah
sistem imun tersebut yang mungkin sudah didasari kelainan genetik, seper-ti erlihat pada gambar 1.
Antigen dari luar yang akan diproses oleh makrofag (APC) akan menyebabkan berbagai keadaan seperti:
apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh, sedangkan beberapa antigen di tubuh tidak dikenal
(selanjutnya disebut SelfAntigen) contoh nucleosomes, U1RP dan Ro/SS-A. Antigen tersebut akan
diproses seperti umumnya antigen lain oleh APC dan sel B. Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan
diikat oleh sel Bpada reseptornya untuk selanjutnya menghasilkan suatu anti-bodi yang merugikan tubuh.
Antibodi yang dibentuk oleh peptida ini dan antibodi yang dibentuk oleh antigen eksternal akan merusak
organ target (glomerulus, sel endotel dan thrombosit). Di sisi lain antibodi juga dapat berikatan dengan
antigennya untuk membentuk komplek imun (IC) yang dapat merusak berbagai organ tubuh bila terjadi
endapan. Aktivasi sel T dan sel B tersebut sebetulnya akan di-

kontrol oleh gen-gen yang berbeda, yang mungkin dapat direspon tubuh dengan cara pembersihan
antigen atau komplek imun di dalam sirkulasi. Perubahan abnormal di dalam sistem imun tersebut dapat
mempresentasikan protein RNA, DNAdanphospholipid ke dalam sistem imun tubuh. Beberapa
autoantibodi dapat me-liputi trombosit dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat berikatan dengan
glycoprotein II dan III di dinding trombosit dan eritrosit. Di sisi lain antibodi juga dapat bereaksi dengan
antigen sitoplasmik trombosit dan eritrosit yang akhirnya akanmenyebabkan proses apoptosis

pada penderita LES dan keadaan ini sering menimbulkan kerusakan jaringan bila terjadi pengendapan.
Komplek imun

tersebut dapat juga berkaitan dengan komplemen yang akhir-nya berikatan dengan reseptor C3b di sel
darah merah yang akan menimbulkan hemolisis. Bila komplek imun melalui hepar maka akan dieliminasi
dengan cara mengikat C3bR dan bila melalui limpa akan diikat oleh FcR. IgG. Ketidakmampu-an kedua
organ tersebut akan menimbulkan manifestasi klinik berupa hemolisis. Deposit komplek imun sirkulasi
(CIC) tidak sederhana karena melibatkan aktivasi berbagai komplemen, PMN dan

berbagai mediator inflamasi lainnya yang timbul karena kerusakan/disfungsi sel endotel pembuluh darah.
Berbagai keadaan sitokin yang terjadi pada LES ialah : penurunan jumlah IL-1dan peningkatan IL-6, IL-4
dan IL-6. Ketidakseimbangan sitokin ini dapat meningkatkan aktivasi sel B untuk membentuk antibodi.

Berbagai keadaan sel T dan Sel B yang terjadi pada LES:

1. Sel T Limfopenia ,Penurunan sel T supresor ,Peningkatan sel T helper ,Penurunan memori dan CD4
,Penurunan aktivasi sel T supresor ,Peningkatan aktivasi sel T helper

2. Sel B ,Aktivasi dan poliklonal sel B ,Peningkatan terhadap respon sitokin

F. TERAPI

a). Farmakologi

Kebanyakan gejala penyakit Lupus adalah peradangan. Jadi pengobatan lebih banyak ditujukan
untuk mengurangi peradangan tersebut. Ada 2 golongan besar obat yang digunakan dalam pengobatan
penyakit ini yaitu:

1. Golongan corticosteroid

Merupakan obat utama

2. Golongan noncorticosteroid,

Merupakan obat pelengkap, antara lain

Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs),

Untuk mengatasi keluhan nyeri dan bengkak sendi

Antimalarials

Untuk mengatasi gejala penyakit pada kulit, rambut, nyeri otot, dan sendi, misalnya klorokuin dan
dihidroksiklorokuin

Obat imunosupressif, semacam siklofostamid untuk mengatasi kondisi yang disertai gangguan ginjal
dan obat-obat cytotoxic, azatioprin yang merupakan obat pendamping kortokosteroid agar penggunaan
kortikosteroid dapat dikurangi, dan klorambusil

b). Non Farmakologi

Rasa marah, kecewa, terkadang menutup diri, emosi, dan lebih sensitif lebih sering dialami odapus.
Juga rasa takut akan perlakuan yang berbeda dari orang terdekat pasti timbul pada odapus atau rasa
takut akan kehilangan orang terdekat. Berikan mereka perhatian yang lebih, jangan biarkan mereka
depresi karena penyakit ini. Kasih sayang dan dukunganlah yang mereka butuhkan untuk bertahan
sebagai odapus.

Tips hidup sehat bagi penderita odapus :

1) Hati-hati di bawah sinar matahari

2) Makan sehat dan seimbang

3) Hangati pada saat sakit

4) Olahraga

5) Jangan merokok

6) Mengatasi kelelahan

7) Atasi demam atau infeksi

8) Waktu kerja disesuaikan dengan kondisi

9) Latihan pernafasan dan meditasi

10) Diet sehat dengan vitamin dan mineral

11) Menghindari daripada putus obat terutamanya steroida tanpa nasihat dokter yang merawat.

12) Perlu mengikuti perawatan lanjutan di klinik-klinik yang mengobati pesakit-pesakit SLE.

Sistemic Lupus Erythematosus (SLE)

Posted Desember 21, 2009 by astriwidia87 in About Farmasi. Tinggalkan Sebuah Komentar

Definisi

Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit auto imun yang kronik dan menyerang berbagai system
dalam tubuh. Tanda dan gejala penyakit ini dapat bermacam-macam, dapat bersifat sementara, dan sulit untuk
didiagnosis. Karena itu angka yang pasti tentang jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit untuk
diperoleh.

Etiologi

Etiologi dari penyakit SLE belum diketahui dengan pasti. Selain factor keturunan (genetis) dan hormon, diketahui
bahwa terdapat beberapa hal lain yang dapat menginduksi SLE, diantaranya adalah virus (Epstain Barr), obat
(contoh : Hydralazin dan Procainamid), sinar UV, dan bahan kimia seperti hidrazyn yang terkandung dalam rokok,
mercuri dan silica.

Hormon estrogen dapat meningkatkan ekspresi system imun, sedangkan androgen menekan ekspresi system imun.
Hal ini menjelaskan mengapa SLE cenderung lebih banyak terjadi pada wanita dibanding pria. virus (Epstain Barr),
obat obatan, dan bahan kimia dapat menyebabkan produksi antinuclear antibody (ANA) yang menjadi salah satu
autoantibodi. Bagaimana sinar matahari dapat menyebabkan SLE masih belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah
satu penjelasan adalah DNA yang tekena sinar UV secara normal akan bersifat antigenic, dan hal ini akan
menimbulkan serangan setelah terkena paparan sinar.

Penyebab utama terjadinya SLE adalah karena produksi antibody dan pembentukan kompleks imun yang abnormal,
sehingga dapat terbentuk antibody terhadap multiple nuclear, sitoplasmik, dan komponen permukaan sel dari
berbagai tipe sel di berbagai system organ, dengan bantuan suatu penanda Ig G dan factor koagulan. Hal inilah yang
dapat menjelaskan mengapa SLE dapat menyerang berbagai system organ.

Pembentukan antibody yang berlebihan dapat dihasilkan oleh sel limfosit B yang hiperaktif. Hal-hal yang dapat
menyebabkan hiperaktifnya sel limfosit B diantaranya adalah hilanya toleransi sel imun terhadap tubuh, bahan atau
cemaran dari lingkungan yang bersifat antigenic, adanya antigen terhadap sel B dari sel B lainnya atau dari antigen
pesaing cells (APCs), perubahan sel Th1 menjadi sel Th2 yang kemudian memicu produksi antibody sel B, dan
supresi sel B yang tidak sempurna.

Autoantibodi yang terbentuk umumnya menyerang bagian-bagian penyusun nucleus dalam sel yang sering disebut
antinuclear antibody (ANA). Pada pasien SLE dapat ditemukan lebih dari satu macam ANA, yang dapat menyerang
berbagai system organ. Antibody yang terbentuk juga dapat menyerang bagian fosfolipid dari activator kompleks
protrombin (antikoagulan lupus) dan kardiolipin (antikardiolipin). Antikoagulan lupus dan antikardiolipin
merupakan dua antibody yang termasuk kedalam golongan antibody antifosfolipid. Beberapa antibody tersebut
dapat muncul bertahun-tahun sebelum diagnosis dapat ditegakkan, namun ada juga beberapa antibody yang muncul
dalam hitungan bulan sebelumnya.

Serangkaian reaksi akibat kerusakan regulasi system imun yang kemudian memacu sel B untuk memproduksi
autoantibodi, pembentukan kompleks imun yang diikuti oleh aktivasi komplemen, akan menyebabkan inflamasi dan
kerusakan pada berbagai jaringan serta organ.

Gejala dan tanda

SLE adalah salah satu kelompok penyakit jaringan ikat difus yang etiologinya tidak diketahui. Kelompok ini
meliputi SLE, skleroderma, polimiositis, arthritis, rheumatoid, dan sindron Sjogren. Gangguan-gangguan ini
seringkali tumpang tindih satu dengan yang lainnya dan dapat tampil sedara bersamaan sehingga diagnosis menjadi
semakin sulit untuk ditegakkan. SLE dapat bervariasi dari suatu gangguan yang bersifat ringan sampai suatu
gangguan yang bersifat fulminan dan mematikan.

Gambaran klinis SLE sering membingungkan terutama pada awalnya. Gejala yang paling sering muncul adalah
arthritit simetris atau atralgia, yang muncul pada 90% dari waktu perjalanan penyakit, seringkali sebagai manifestasi
awal. Sendi-sendi yang paling sring terserang adalah sendi proksimal tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, lutut,
dan pergelangan kaki. Poliarthritis SLE berbeda dengan arthritis rheumatoid karena jarang bersifat erosive atau
menimbulkan deformitas. Nodul sub kutan juga jarang ditemukan pada penyakit SLE.

Gejala-gejala konstitusional adalah demam, rasa lelah, lemah, dan berkurangnya berat badan yang biasanya timbul
pada awal penyakit dan dapat berulang dalam perjalanan penyakit ini. Keletihan dan rasa lemah dapat timbul
sebagai gejala sekunder dari anemia ringan yang ditimbulkan oleh SLE.

Manifestasi kulit mencakup ruam eritematosa yangdapat timbul pada wajah, leher, ekstrimitas, atau pada tubuh.
40% dari pasien SLE memiliki ruam khas berbentuk kupu-kupu. Sinar matahari dapat memperburuk ruam kulit ini.
Dapat timbul rambut rontok yang kadang-kadang menjadi berat. Juga dapat terjadi ulserasi pada mukosa mulut dan
nasofaring. Pleuritis (nyeri dada) dapat timbul akibat proses peradangan kronik dari SLE. SLE juga dapat
menyebabkan karditis yang menyerang miokardium, endokardium, atau pericardium.

Kurang lebih 65% dari pasien SLE akan mengalami gangguan pada ginjalnya, 25% menjadi gangguan ginjal yang
berat. SLE juga dapat menyerang SSP maupun perifer. Gejala-gejala yang ditimbulkan meliputi perubahan tingkah
laku, kejang, gangguan saraf otak, dan neuropati perifer.

Prognosis

Pada penyakit yang parah, resiko yang terbesar adalah iatrogenik obat, dimana akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Survival pasien SLE adalah sekitar 7 % dalam 10 tahun. Survival paling rendah terjadi pada pasien bukan
kulit putih, pada kelompok dengan tingkat sosio-ekonomi rendah dan pada pasien dengan keterlibatan ginjal, otak,
paru atau jantung yang parah. CAD, gagal ginjal dan infeksi adalah penyebab utama kematian pada pasien SLE.

Diagnosis

Adanya empat atau lebih dari 11 kriteria baik secara serial maupun simultan cukup untuk menegakkan diagnosis.
Kriteria diagnosis untuk SLE diantaranya adalah :

1. ruam di daerah malar


2. ruam discoid
3. fotosensitivitas
4. ulkus pada mulut
5. arthritis : tidak erosive, pada dua atau lebih sendi-sendi perifer
6. serositis : pleuritis atau perikarditis
7. gangguan pada ginjal ; proteinuria persisten yang lebih dari 0,5 g/hari
8. gangguan neurulogik : kejang atau psikosis
9. gangguan hematologik : anemia hemolitik, leukopenia, limfopenia, atau trombositopenia
10. gangguan imunologik : sel-sel lupus eritematosus (LE) positif, anti DNA
11. antibody antinuclear (ANA)

Uji laboratorium

1. ANA positif pada lebih dari 95% pasien lupus. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya
antibody yang mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi adanya ANA, juga
berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan antibody spesifik. Pola ANA diketahui dari pemeriksaan
preparat dibawah sinar UV. Pemeriksaan ini berguna untuk membedakan SLE dari tipe-tipe gangguan
lainnya.
2. antibody terhadap dsDNA merupakan uji spesifik untuk SLE. Gangguan reumatologik lain dapat
menyebabkan ANA positif, tetapi antibody anti DNA jarang ditemukan kecuali pada SLE.
3. laju enap darah pada pasien SLE biasanya meningkat. Ini adalah uji nonspesifik untuk mengukur
peradangan dan tidak berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit.
4. uji factor LE. Sel LE dibentuk dengan merusak beberapa leukosit pasien sehingga sel-sel tersebut
mengeluarkan nukleoproteinnya. Protein ini bereaksi dengan IgG, dan kompleks ini difagositosis oleh
leukosit normal yang masih ada.
5. urin diperiksa untuk mengetahui adanya protein, laukosit, dan eritrosit. Uji ini dilakukan untuk
mengetahui adanya komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan penyakit.

Tata Laksana terapi

Meski masih belum dapat disembuhkan, odapus (orang dengan penyakit lupus) tetap bisa mendapatkan pengobatan
agar dapat hidup lebih lama seperti orang yang sehat. Pengibatan ditujukan untuk menghilangkan gejala lupus yang
ada. Pengobatan juga perlu didukung perubahan pola hidup, pengendalian emosi, pemakaian obat secara tepat, dan
pengaturan gizi seimbang. Manifestasi yang terjadi dapat bervariasi untuk tiap pasien sehingga terapi SLE dilakukan
secara individual. Nutrisi, cairan, dan elektrolit yang adekuat merupakan pengobatan suportif 7yang sangat
dibutuhkan. Berikut Algoritme terapi SLE.

Terapi Non Farmakologis :

1. pengaturan istirahat dan olah raga ringan yang teratur da seombang. Hal ini dalakukan untuk mengatasi
fatigue yang umumnya dialami oleh pasien SLE.
2. hindari merokok, terkait dengan kandngan hydrazine yang terkadung dalam rokok dan dapat menjadi
factor pencetus SLE serta menambah resiko terjadinya CAD
3. pemberian asupan minyak ikan, untuk menghindari terjadinya keguguran pada wanita hamil dengan
antifosfolipid antibody.
4. menghindari paparan sinar matahari langsung. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan
paying, topi, hingga memakai sunscreen maupun sunblok
5. menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan stress karena dapat memicu terjadinya SLE.

Terapi Farmakologi

Strategi terapi SLE adalah dengan menekan system imun dan dapat menghilangkan inflamasi. Terapi dengan obat
bagi pasien meliputi pemberian OAINS, kortikosteroid, antimalaria, dan agen penekan imun. Pemilihan obat
bergantung pada organ-organ yang terkena oleh penyakit ini.

1. 1. OAINS

Dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia. Penggunaan OAINS pada pasien dengan gejala yang masih awal
merupakan pilihan yang logis. Aspirin jarang digunakan karena memiliki insidensi hepatotoksik tertinggi, dan
sebagian pasien SLE juga mengalami gangguan pada hepar. Pasien SLE juga memiliki resiko tinggi terhadap efek
samping OAINS pada kulit, hepar, dan ginjal, sehingga penggunaannya perlu dimonitoring.

1. 2. Obat Antimalaria

Terapi antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila OAINS tidak dapat mengendalikan gejala-gejala SLE.
Biasanya anti malaria mula-mula diberikan dosis tinggi untuk memperoleh keadaan remisi. Antimalaria dapat
mengatasi beberapa manifestasi klinis, seperti arthalgia, pleuritis, inflamasi pericardial, fatigu, dan leukopenia.
Hidroksikloroquin diketahui lebih aman dibandingkan dengan cloroquine dan merupakan pilihan pertama dalam
terapi SLE.

Mekanisme antimalaria belum jelas, namun telah diketahui bahwa obat antimalaria menggangu aktivitas limfosit T.
dosis dan durasi penggunaan tergantung dari respon pasien, toleransi terhadap efek samping, dan potensi terjadinya
toksisitas renal yang dapat terjadi pada penggunaan cloroquin jangka panjang. Dosis yang direkomendasikan adalah
200-400 mg/hari untuk hidroksikloroquin dan 250-500 mg/hari untuk cloroquin.

Efek samping pada system CNS diantaranya adalah sakit kepala, insomnia, kegugupan, dll. Selain itu rash,
dermatitis, perubahan pigmen rambut dan kulit, mutah, dan toksisitas ocular reversible. Karena kemungkinan adanya
retinophati, evaluasi ophtalmologik harus dilakukan diawal terapi, minimal 3 bulan untuk penggunaan cloroquin,
dan setiap 6-12 bulan untuk penggunaan hydroxicloroquin. Jika diketahui terjadi abnormalitas retina maka terapi
antimalaria harus dihentikan atau dikurangi dosisnya.

1. 3. Kortikosteroid

Merupakan obat yang paling sering digunakan dalam terapi SLE. Beberapa pertimbangan yang matang harus
dilakukan sebelum memutuskan menggunakannya terkait dengan resiko yang ditimbulkan, seperti kemungkinan
terjadinya infeksi, hipertensi, diabetes, obesitas, osteoporosis, dan beberapa penyakit psikiatris.

Prednison dosis rendah (10-20 mg/hari) digunakan untuk mengatasi gejala ringan SLE tetapi apabila gejala yang
terjadi termasuk gejala yang berat maka penggunaan dosis yang lebih tinggi (10-20 mg/kg/hari) dapat diberikan.
Ketika gejala telah teratasi maka dosis harus ditapering dan dipertahankan pada dosis terendah yang dapat
memberikan efek.

Terapi steroid jangka pendek dengan dosis tinggi dapat diberikan bagi pasien dengan gejala nefritis parah, gejala
pada system CNS, dan manifestasi hemolitik. Dosis yang digunakan biasanya adalah 500-1000 mg metilprednisolon
i.v berurutan selama 3-6 hari, dan diikuti dengan 1-1,5 mg/kg/hari prednison, yang kemudian ditapering sampai
dosis terendah yang masih dapat memberikan efek.

Penyapihan

Bila keadaan klinis baik dan gambaran laboratorium dalam batas normal maka mulai dilakukan penyapihan
bertahap. Pemeriksaan konversi negatif sel LE dan titer ANA dapat dipakai sebagai pegangan untuk memulai
penyapihan kortikosteroid. Setiap dosis inisial harus diberikan dalam dosis terbagi 3-4 kali sehari, setelah itu dapat
dipertimbangkan pemberian dosis tunggal pada pagi hari. Bila terdapat stress (infeksi, trauma, luka, kelelahan,
tekanan kejiwaan) pengobatan diberikan dalam dosis terbagi. Bila pada saat penyapihan gejala kambuh kembali,
dosis dinaikkan dengan 25-50% terapi saat itu dalam dosis terbagi yang dipertahankan dalam beberapa lama
sebelum diputuskan untuk meneruskan penyapihan, atau menaikan dosis kembali.

Patokan penyapihan : 10 mg/hari : turunkan 0,5-1,0 mg setiap 2-4 minggu, 10-20 mg/hari : turunkan 1,0-2,5 mg
setiap minggu, 20-60 mg/hari : turunkan 2,5-5,0 mg setiap minggu

1. 4. Obat Sitotoksik

Terapi penekan imun (siklofosfamid, azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun SLE. Obat-
obatan ini biasanya dipakai ketika :

1. diagnosis pasti sudah ditegakkan


2. adanya gejala-gejala berat yang dapat mengancam jiwa gangguan neurologik SSP, anemia hemolitik akut.
3. kegagalan tindakan-tindakan pengobatan lainnya, misalnya bila pemberian steroid tidak memberikan
respon atau bila dosis steroid harus diturunkan karena adanya efek samping.
1. Tidak adanya kehamilan, infeksi, dan neoplasia.

Dosis siklofosfamid yang digunakan untuk terapi kombinasi adalah 1-3 mg/kg BB per oral dan 0,5-1,0 g/m BSA
secara intra vena. Efek samping yang ditimbulkan adalah infeksi oportunistik, komplikasi kandung kemih,
kemandulan, dan efek teratogenesis. Azatioprin dapat jugs digunakan sebagai kombinasi dengan kortikosteroid,
namum belum ada bukti yang memastikan bahwa penggunaan azatioprin lebih baik dibanding siklofosfamid. Agen
sitotoksik baru yang mulai banyak digunakan saat ini adalah mycofenolat mofenil. Pada beberapa studi secara
random menunjukkan mycofenolat mofenil memberikan efek yang lebih baik dibanding azatioprin dan
siklofosfamid.

Penanganan SLE Pada Kehamilan

SLE memperburuk kehamilan , keadaan postpartum, aborsi, dan preekalampsia. Pada pasien hamil, SLE
berkembang terutama trimester ketiga kehamilan, sehingga penanganannya berbeda pada orang normal.
Kortikosteroid adalah drug of choice, walaupun menembus plasenta kortikosteroid dimetabolisme oleh plasenta
hidroksigenase sebelum mencapai fetus. NSAID dan aspirin aman pada trimester pertama dan kedua. Dosis rendah
aspirin (81mg/hari) dengan atau tanpa heparin dapat digunakan pada kehamilan dengan lupus yang terkomplikasi
antiphospolipid antibodi (lupus antikoagulan, antikardiolipin antibodi) mengurangi komplikasi fetal. Penggunaan
NSAID dan aspirin harus dibatasi pada trimester pertama.

DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, JT., et.al, 2005, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, Edisi 6th, Mc. GrawHill.

Harrison, et.al., 2000, Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit-Penyakit Dalam, Edisi 13th, diterjemahkan Asdie AH., Penerbit
buku kedokteran EKG, Jakarta.

Price A. Sylvia, 2006, Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6, Penerbit buku Kedokteran EGC,
Jakarta.

Available at: Http://tutor.lscf.ucsb.edu/instdev/sears/immunology/fig20-6-110.gif. Diakses tanggal 17 Juli 2008.

DEFINISI
Penyakit multisistem yang sifatnya berfluktuasi dengan berbagai ragam presentasi klinis. Fungsi imunologis
yang tidak normal dan pembentukan antibodi terhadap "diri" antigen mendasari patogenesis dari SLE (Delafuente
and Cappuzzo, 2008)

ETIOLOGI
Penyebab ketidaknormalan produksi auto antibodi dan perkembangan SLE masih belum diketahui. Faktor
genetik, lingkungan, dan hormonal mungkin memiliki peran dalam hilangnya "toleransi diri" dan ekspresi penyakit.
Sebuah teori populer menyatakan bahwa penyakit autoimun seperti SLE berkembang pada individu dengan genetik
yang rentan setelah paparan terhadap suatu agen tertentu dari lingkungan yang dapat memicu timbulnya SLE. Agen
tertentu dari lingkunganyang dapat memicu atau mengaktifkan lupus antara lain sinar matahari (sinar ultraviolet),
obat-obatan, bahan kimia seperti hidrazin (ditemukan di tembakau) dan amina aromatik (ditemukan di pewarna
rambut), makanan, estrogen pada lingkungan, dan infeksi oleh virus atau bakteri (Mok and Lau, 2003). Selain itu,
androgen dapat menghambat dan estrogen dapat meningkatkan ekspresi auto imunitas, dan peingkatan kadar
prolaktin dalam darah memiliki hubungan tertentu dengan lupus pada laki-laki dan perempuan (McMurray, 2001;
Mok and Lau, 2003)

PATOFISIOLOGI
SLE merupakan sindrom klinis daripada merupakan penyakit dengan patogenesis unik tertentu. SLE
memiliki pengaruh besar dalam gejala dan ada hubungan terhadap sistem organ. Sebuah peristiwa besar dalam
perkembangan SLE adalah produksi yang berlebihan dan abnormal dari autoantibodi dan pembentukan kompleks
imun. Pasien dapat membentuk autoantibodi terhadap beberapa inti, sitoplasma, dan permukaan komponen beberapa
jenis sel dalam berbagai sistem organ, selain itu juga marker seperti imunoglobulin G dan faktor koagulasi; dimana
autoantibodi ini memiliki keterlibatan dalam multi system organ terkait dengan penyakit Hasil produksi autoantibodi
yang berlebihan merupakan hasil adanya hiperaktivitassel limfosit B. Beberapa mekanisme yang mungkin
menyebabkan hiperaktifnya sel B, ialah hilangnya kekebalan "toleransi diri" dan beban antigenik tinggi terkait
dengan antigen lingkungan dan diri yang disampaikan kepada sel B oleh sel B lain atau sel spesifik antigen,
pergeseran sel T-helper tipe 1 menjadi sel T-helper tipe 2 dapat lebih meningkatkan produksi antibodi sel B, dan
penekanan defek dari sel B. Kerusakan pada proses lain dari regulasi kekebalan yang melibatkan limfosit T
(Penekan sel T), sitokin (misalnya interleukin, tumor interferon- necrosis factor-, faktor pertumbuhan
transformasi-), dan NK cells juga mungkin terlibat (Mok and Lau, 2003).
Disregulasi imun menyebabkan hiperaktif-nya sel B dan selanjutnya diikuti produksi autoantibodi patogen,
digabungkan dengan rusaknya klirens sel apoptosis, diikuti oleh pembentukan kompleks imun, aktivasi komplemen,
dan rusaknya klirens kompleks imun, dimana semua menyebabkan reaksi inflamasi yang pada akhirnya
menghasilkan cedera dan kerusakan jaringan (Delafuente and Cappuzzo, 2008).

MANIFESTASI KLINIK
Pada pasien dengan SLE terjadi banyak tanda dan gejala yang non spesufik antara lain kelelahan, demam,
anoreksia, dan penurunan berat badan sering terlihat pada pasien positif menderita SLE. Adanya gangguan
muskuloskeletal (misalnya, arthralgia, myalgia, dan arthritis) sangat umum dalam SLE, dimana arthritis dan
arthralgia sering menjadi keluhan utama pada awal dari SLE. Semua sendi utama dan sendi kecil mungkin akan
terpengaruh, dan pola arthritis sering terulang dengan durasi singkat. Manifestasi di kulit yang paling terkenal di
antaranya adalah ruam kupu-kupu (butterfly rash), yang terjadi di atas jembatan hidung dan malar eminences. Lalu
manifestasi yang menyangkut system pernapasan ialah radang selaput dada, batuk, dan nafas yg sulit. Manifestasi
neuropsikiatri dari pasien SLE dapat muncul dalam berbagai bentuk gangguan seperti sakit kepala, psikosis, depresi,
gelisah, kejang, stroke, neuropati perifer, gangguan kognitif, dan lain-lain. Gejala yang berhubungan dengan
manifestasi gastrointestinal sering spesifik untuk lupus, diantaranya dispepsia, sakit perut, mual, dan kesulitan
menelan. Anemia ditemukan pada banyak pasien dengan SLE. Hal ini biasanya merupakan anemia akibat
peradangan kronis, dengan normokromik ringan. Beberapa pasien mungkin dapat terjadi anemia hemolitik dengan
hasil tes Coombs positif. Leukopenia, biasanya ringan, terjadi pada sekitar setengah pasien SLE. Granulosit dan
limfosit mungkin akan terpengaruh, tetapi biasanya ada penurunan lebih besar dalam limfosit, Trombositopenia
dapat terjadi pada lupus, sering selama eksaserbasi penyakit, tapi biasanya ringan dan tidak meningkatkan
kecenderungan pendarahan (Delafuente and Cappuzzo, 2008).
TERAPI
Hasil pengobatan yang diinginkan untuk pasien dengan lupus ada dua: (a) pengelolaan gejala dan induksi
pemulihan keadaan selama masa kambuh penyakit dan (b) pemeliharaan pemulihan keadaan selama mungkin antara
masa kambuh penyakit. Karena variabilitas dalam presentasi klinis dari penyakit, pengobatan akan berbeda-beda dan
harus sangat individual. Perawatan pasien dengan SLE secara optimal akan mencakup edukasi dan layanan
dukungan di samping perawatan non farmakologis dan perawatan farmakologis dibahas di bawah ini (Delafuente
and Cappuzzo, 2008).

Terapi nonfarmakologi
Beberapa tindakan non farmakologis dapat digunakan untuk mengelola gejala dan membantu menjaga
pemulihan keadaan. Kelelahan adalah gejala umum pada pasien dengan lupus. Istirahat dan olahraga secara rutin
dan seimbang, sangat berguna untuk mencegah kelelahan. Merokok sebisa mungkin dihindari karena hydrazines
dalam asap rokok bisa menjadi pemicu dari lingkungan untuk terjadinya lupus. Merokok juga telah dikaitkan dengan
peningkatan aktivitas penyakit lupus. Mengenai makanan tidak ada hal khusus yang diketahui dengan jelas dapat
mempengaruhi program klinis lupus. Namun, minyak ikan bisa mencegah keguguran derivatif pada wanita hamil
dengan antibodi antifosfolipid, namun kecambah alfalfa harus dihindari karena mengandung asam amino L-
canavanine, yang telah dikaitkan dengan perkembangan gejala lupus seperti dalam laporan berbagai kasus.
Umumnya pasien dengan SLE harus membatasi paparan sinar matahari dan menggunakan tabir surya untuk
memblokir kemungkinan memperburuk efek sinar ultraviolet terhadap keadaan lupus pasien, dimana jumlah batasan
paparan sinar matahari harus diatur secara individual tergantung kondisi pasien (Delafuente and Cappuzzo, 2008)
.
Terapi farmakologi
Terapi obat untuk lupus dirancang untuk menekan respon imun dan peradangan. Secara umum, pilihan
terapi obat tergantung pada luas dan tingkat keparahan penyakit.

1. NSAID
Pada pasien SLE, terdapat tanda dan gejala seperti demam, artritis, dan serositis adalah dimana hal ini umum
pada pasien dengan penyakit aktif. Oleh karena itu, banyak pasien dengan penyakit ringan, pengobatan awal dengan
NSAID adalah pilihan yang logis. Pemilihan NSAID dalam SLE adalah empiris. Dosis yang digunakan harus cukup
untuk memberikan efek antiinflamasi, walaupun dosis rendah aspirin mungkin berguna dalam manajemen pasien
dengan sindrom antifosfolipid. NSAID secara signifikan meningkatkan risiko iritasi lambung dan ulkus peptikum.
Pemberian dengan dengan agen gastroprotectif seperti inhibitor pompa proton dapat menguntungkan. Pasien
dengan SLE yang memperoleh NSAID mungkin dapat mengalami penurunan fungsi ginjal karena efek obat dan
bukan penyakit yang mendasarinya. NSAID dapat menurunkan aliran darah ginjal dan tingkat filtrasi glomerular,
dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan nefritis. Kewaspadaan terhadap efek samping tersebut
adalah penting karena fungsi ginjal menurun oleh obat mungkin dapat dianggap sebagai progresi yang keliru
terhadap perkembangan penyakit ke arah nefritis lupus. Pasien dengan SLE memiliki kejadian hepatotoksisitas yang
lebih tinggi dibanding pasien lain yang menerima NSAID tradisional. Penggunaan NSAID juga terkait dengan
meningitis aseptik pada pasien SLE (Delafuente and Cappuzzo, 2008).
2. Anti Malaria
Obat antimalaria seperti klorokuin dan hydroxychloroquine telah digunakan dengan sukses dalam
pengelolaan lupus berbentuk discoid lupus dan SLE. Beberapa uji coba terkontrol memberikan bukti untuk peran
terapi antimalaria dalam mengendalikan eksaserbasi penyakit dan sebagai steroid sparing agents. Secara umum,
manifestasi dari SLE yang dapat dikelola dengan antimalaria adalah manifestasi kulit, arthralgia, radang selaput
dada, peradangan perikardial ringan, kelelahan, dan leukopenia. Karena obat ini tidak efektif segera, maka obat ini
paling baik digunakan dalam pengelolaan jangka panjang. Respon untuk klorokuin terjadi dalam 1 sampai 3 bulan,
sedangkan pengaruh maksimal hydroxychloroquine mungkin terlihat hingga setelah3 - 6 bulan. Hydroxychloroquine
mungkin lebih aman daripada klorokuin dan dianggap sebagai antimalaria pilihan utama. Mekanisme kerja obat
antimalaria tidak pasti. Telah diketahui bahwa antimalaria mengganggu aktivasi T-limfosit. Efek lain antimalaria
yang mungkin bermanfaat bagi pasien dengan SLE ialah inhibisi sitokin, penurunan sensitivitas terhadap sinar
ultraviolet, aktivitas antiinflamasi, efek antiplatelet, dan aktivitas antihyperlipidemi. Dosis dan lama terapi
tergantung pada respon pasien, adanya toleransi terhadap efek samping, dan perkembangan toksisitas retina, yang
merupakan reaksi negatif potensial ireversibel yang terkait dengan terapi jangka panjang, terutama dengan
klorokuin. Saat ini direkomendasikan dosis antimalaria pada SLE adalah hydroxychloroquine 200-400 mg / hari dan
klorokuin 250-500 mg / hari. Setelah 1 atau 2 tahun pengobatan, penurunan bertahap dosis dapat dicoba. Beberapa
pasien mungkin memerlukan tablet hanya 1 atau 2 per minggu untuk menekan manifestation pada jaringan kutan
(Delafuente and Cappuzzo,2008)

3. Kortikosteroid
Terapi Kortikosteroid adalah hal yang biasa dalam rejimen terapi untuk lupus. Meskipun bukti-bukti untuk
hasil dengan terapi kortikosteroid tidak memadai, obat ini dikenal untuk menekan ekspresi klinis penyakit dan
dianggap menjadi faktor utama dalam perbaikan prognosis dalam beberapa tahun terakhir. Kebanyakan uji klinik
terkontrol mengenai terapi kortikosteroid telah dilakukan pada pasien dengan nefritis lupus parah, juga bukti
menunjukkan bahwa kortikosteroid juga efektif dalam pengelolaan kasus-kasus yang parah penyakit SSP,
pneumonitis, polyserositis, vaskulitis, trombositopenia, dan manifestasi klinis lainnya. Seorang pasien dengan
diagnosis SLE tidak secara otomatis membutuhkan terapi kortikosteroid. Tingkatan penyakit ringan dengan
manifestasi seperti demam, arthralgia, radang selaput dada, atau manifestasi kulit dapat menunjukkan respon positif
penggunaan NSAID atau Antimalaria, tetapi pasien dengan manifestasi klinis yang lebih serius atau tidak responsif
terhadap obat lain biasanya membutuhkan kortikosteroid. Beberapa pasien dengan dermatitis lupus dapat lebih baik
menggunakan administrasi topikal atau intralesi dari kortikosteroid. Tujuan pengobatan dengan kortikosteroid dalam
SLE adalah untuk menekan dan mempertahankan penekanan terhadap penyakit aktif dengan dosis serendah
mungkin. Pada pasien dengan penyakit ringan, terapi dosis rendah (prednison 10-20 mg / hari) sudahlah cukup,
tetapi pada pasien dengan penyakit yang lebih parah (anemia hemolitik berat atau keterlibatan jantung), dosis yang
lebih tinggi, seperti prednison 1-2 mg / kg sehari, mungkin diperlukan. Setelah penekanan penyakit yang memadai
tercapai, dosis harus meruncing ke jumlah minimum yang diperlukan untuk penekanan penyakit lanjutan.
Terapi steroid dengan system pulse therapy adalah administrasi jangka pendek, kortikosteroid intravena dosis
tinggi dengan tujuan mendorong pemulihan keadaan pada pasien SLE serius, penyakit yang mengancam nyawa,
seperti nefritis aktif parah, keterlibatan SSP, atau penyakit hemolitik. Standard regimen terapi ini terdiri dari
methylprednisolone intravena 5-100 mg untuk 3 sampai 6 hari berturut-turut. Pulse therapy biasanya diikuti dengan
terapi prednison dosis tinggi (1 sampai 1,5 mg / kg per hari) yang dosisnya di lakukan penurunan cepat menuju
terapi dosis rendah untuk pemeliharaan. Keuntungan potensial dari pulse therapy pada dosis steroid oral yang lebih
tinggi termasuk respon penyembuhan yang lebih cepat dan menghindari efek samping terkait dengan durasi yang
lebih lama dari yang dibutuhkan dengan terapi steroid oral. Meskipun umumnya ditoleransi dengan baik, terapi
methylprednisolone dengan metode pulse therapy dapat menyebabkan efek buruk yang signifikan, termasuk infeksi,
gangguan pencernaan, peningkatan tekanan darah secara cepat, aritmia, kejang, dan kematian mendadak. Selain itu,
ada keterbatasan data dari uji klinis terkontrol dengan jelas mendefinisikan peran steroid dengan pulse therapy
dalam pengelolaan SLE. Jadi pulse therapy merupakan mode alternatif pengobatan untuk pasien dengan penyakit
yang mengancam jiwa atau penyakit tidak responsif terhadap farmakoterapi lainnya (Delafuente and Cappuzzo,
2008).

4. Obat Sitotoksik
Sejumlah besar literatur ada menggambarkan penggunaan obat sitotoksik dan imunosupresif dalam SLE,
walaupun beberapa ini adalah laporan uji klinis terkontrol. Termasuk dalam kategori ini adalah siklofosfamid
(alkylating agent) dan azathioprine (antimetabolit). Obat ini, biasanya digunakan dalam kombinasi dengan
kortikosteroid, dimana telah menjadi terapi tetap pada imunosupresif. Meskipun kedua dikenal untuk menekan dan
menstabilkan aktivitas penyakit extrarenal, banyak evaluasi agen ini difokuskan pada nefritis lupus, yang merupakan
faktor utama yang berhubungan dengan morbiditas dan kematian pada lupus. Terapi dengan sitotoksik berguna
dalam kombinasi dengan kortikosteroid, yang memungkinkan untuk dosis steroid rendah dan kemanjuran meningkat
dibandingkan dengan steroid saja. Namun, terapi sitotoksik harus dimonitor efek yang merugikan, dan respon
maksimum dapat memakan waktu 6 bulan atau lebih dalam beberapa pasien (Delafuente and Cappuzzo,2008).
DAFTAR PUSTAKA

Bayle, J.R., Johson, C.A., Mason, N.A., Pieter, B.L., 2004. Medfact : Pocket Guide of Drug Interaction. USA

Delafuente, J.C., and Cappuzzo, K.A., 2008, Systemic Lupus Erythematosus, In : Dipiro, J.T., Wells, B.G., Talbert, R.L.,
Yee, G.C., Matzke, G.R., Posey, L.M., (Eds), Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach, 7th ed., New York
: McGraw Hill Companies, Inc, p. 1431 - 1445.

Lacy, C. F., Armstrong, L.L., Goldman M.P, Lance L.L., 2009, Drug Information Handbook 18th ed., United States: Lexi-
Comp.

Martin, J., 2008, British National Formulary 56. September 2008. London : BMJ Publishing Group Ltd. p.325 - 330

McMurray, R.W., 2001, Sex Hormones in the Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus, In: Frontiers in Bioscience
6, p. 193 206.

Mok, C.C., and Lau, C.S., 2003, Review : Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus, In: J Clin Pathol 2003; 56, p.
481 490.

Sweetman, S.C., 2009, Martindale The Complete Drug Reference 36th ed, London: Pharmaceutical Press

Trissel, L.A., 2007, Handbook of Injectable Drugs 14th ed, United States: American Society of Health System Pharmacist.

Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Definisi

Sistemik lupus erytematosus adalah penyakit otoimun kronis yang di tandai dengan berbagai antibodi yang
membentuk kompleks imun dan menimbulkan inflamasi padaa berbagai organ. Oleh karena bersifat sistemik maka
manifestasinya sangat luas tergantung organ yang terkena mulai dari manifestasi klinis yang ringan berupa ruam
atau sampai pada manefestasi klinis yang berat misalnya lupus nefritis lupus cerebral, (lupus neuropsikiatrik)
pnemonitis, perdarahan paru. Perjalanannya penyakitnya bersifat fluktuatif yang di tandai dengan periode tenang
dan eksaserbasi.

Prevalensi dan insiden

SLE lebih banyak di jumpai pada wanita umur antara 13-40 th dengan perbandingan perempuan : laki 9:1 diduga
ada kaitan faktor hormon dengan patogenensis. Dari berbagai lapora penelitian prevalensi masing masing suku
berbeda di perkirakan 15-50 kasus per 100.000 penduduk. Pada suku2 di asia diperkirakan prevalensi paling tinggi
terdapat pada suku cina jepang dan filipina

Etiologi

Genetik, lingkungan hormon dianggap sebagai etiologi SLE, yang mana ketiga faktor saling terkait erat. Faktor
lingkungan dan hormon berperan sebagai pencetus penyakit pada invidu peka genetik. Faktor lingkungan yang di
anggap sebagai pencetus antara lain infeksi, sinar ultraviolet, pemakaian obat2 an, stres mental maupun fisik.

Berbagai gen di duga berperan pada SLE. Sehingga manifestasi klinis SLE sangat heterogen. Perbedaan gen
berperan pada manifestasi SLE. HLA DR2 lebih menunjukkan gejala lupus nefritis yang menonjol, sedangkan
pada HLA-DR3 lebih menunjukkan gejala muskuloskeletal.

Patogenesis

Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi Proses diawali dengan faktor pencetus yang ada di
lingkunagan, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respons
imun di dalam tubuh yaitu
1. Sel T dan B menjadi otoreaktif
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulator kontrol pada sisitem imun, antara lain
1. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun sitokin di dalam tubuh
2. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
3. Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen karena adanya mimikri
molekul

Akibat proses tersebut , maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh yang di sebut sebagai
autoantibodi. Selanjutnya antibodi2 yang membentuk kompleks imun . kompleks imun tersebut terdeposisi pada
jaringan /organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan

Antibodi2 yang terbentuk pada SLE sangat banyak, antara lain Antinuclear antibodi (ANA), anti double staranded
DNA (ds DNA), anti-ss A (Ro), anti-ss B (La), antiribosomal P antibody, anti Sm, sd-70

Selain itu hilangnya kontrol sistem imun pada patogenesis lupus juga diduga berperan pada timbulnya gejala klinis
pada SLE

Gambaran klinis

Manifestasi klinis SLE sangat luas.awalnya di tandai dengan gejala klinis yang tidak spesifik antara lain: lemah,
lesu, panas mual nafsu makan turun dan berat badan menurun.

Manifestasi sistem muskulo skeletal

Dapat berupa artalgia yang hampir di jumpai sekitar 70% atau atritis yang di tandai dengan sendi yang bengkok,
kemerahan yang kadanga kadang disertai efusi, sendi sendi yang sering tekena antara lain sendi jari2 tangan, siku,
bahu, dan lutut. Artritis pada SLE kadang menyerupai artritis reumatoid, bedanya adalah artritis pada SLE sifatnya
nonerosif

Sistem mukokutaneus

1. Kutaneus lupus akut: malar rash (butterfly rash) merupakan tanda spesifik pada SLE, yaitu bentukan ruam
pada kedua pipi yang tidak melebihi lipatan nasolabial dan di tandai dengan adanya ruam pada hidung yang
menyambung dengan ruam yang ada di pipi. Bentuk akut kutaneus lain yaitu bentuk morbili, ruam
makular, fotosensitif, papulodermatitis, bulosa, toksik epidermal nekrolitik. Pada umumnya ruam akut
kutaneus ini bersifat fotosensitif
2. Kutaneus lupus subakut simetrikal eritema sentrifugum, anular eritema , psoriatik LE, pitiriasis dan makulo
papulo fotosensitif. Manifestasi subakut lupus ini sangat erat hubungannya dengan antibody Ro lesi
subakut umumnya sembuh tanpa meninggalkan scar.
3. Kutaneus lupus kronis. Bentuk yang klasik adalah lupus dikoid yang berupa bercak kemerahan denga kerak
keratotik pada permukaannya. Bersifat kronik dan rekuren pada lesi yang kronik ditan dai dengan parut dan
atropi pada daerah sentral dan hiperpigmentasi pada daerah tepinya. Lesi ini sering dijumpai pada kulit
kepala yang sering menimbulkan kebotakan yang irreversible. Daun telinga leher , lengan dan wajah juga
sering terkena panikulitis lupus atau lupus profundus di tandai dengan inflamasi pada lapisan bawah dari
dermis dan jaringan subkutan. Gambaran klinisnyaberupa nodul yang sangat dalam dan sangat keras,
dengan ukuran 1-3cm. Hanya di temukan sekitar 2 % pada penderita SLE
4. Nonspesifik kutaneus lupus ; vaskulitis cutaneus. Ditemuka hampir pada 70% pasien . manifestasi kutaneus
nonspesifik lupus tergantung pada pembuluh darah yang terkena . bentuknya bermacam macam antara lain
:
1. Urtikaria
2. Ulkus
3. Purpura
4. Bulosa, bentuk ini akibat dari hilangnya integritas dari dermal dan epidermal junction
5. Splinter hemorrhage
6. Eritema periungual
7. Nailfold infar bentuk vaskulitis dari arteriol atau venul pada tangan
8. Eritema pada tenar dan hipotenar mungkin bisa dijumpai .pada umumnya biopsi pada tempat ini
menunjukkan leukosistoklasik vaskulitis
9. Raynould phenomenon. Gambaran khas dari raynouls phenomenon ini adanya vasospasme, yang
di tandai dengan sianosis yang berubah menjadi bentuk kemerahan bila terkena panas. Kadanga
disertai dengan nyeri. Raynould phenomenon ini sangat terkait dengan antibodi U1 RNP
10. Alopesia. Akibat kerontokan rambut yang bersifat sementara terkai dengan aktifitas
penyakitbiasnya bersifat difus tanpa adanya jaringan parut. Kerontokan rambut biasanya di mulai
pada garis rambut depan. Pada keadaan tertentu bisa menimbulkan alopecia yang menetap di
sebabkan oleh diskoid lupus yang meninggalkan jaringan parut
11. Sklerodaktili. Di tandai dengan adanya sklerotik dan bengkak berwarna kepucatan pada tangan
akibat dari perubahan tipe skleroderma. Hanya terjadi pada 7% pasien
12. Nodul rheumatoid. Ini dikaitkan dengan antibodi Ro yang positif dan adanya reumatoid like
artritis
13. Perubahan pigmentasi. Bisa berupa hipo atau hiperpigmentasi pada daerah yang terpapar sinar
matahari
14. Kuku. Manifestasinya bisa berupa nail bed atrofy atau telangektasi pada kutikula kuku
15. Luka mulut (oral ulcer) luka pada mulut yang terdapat pada palatum molle atau durum mukosa
pipi, gusi dan biasanya tidak nyeri

Gamabaran histopatologis kutaneus lupus yaitu didapatkannya kompleks imn yang berbentuk seperti pita pada
daerah epidermal junction (lupus band)

Manifestasi pada paru

Dapat berupa pnemonitis, pleuritis, atau pun pulmonary haemorrhage, emboli paru, hipertensi pulmonal, pleuritis
ditandai dengan nyeri dada atau efusi pleura, atau friction rub pada pemeriksaan fisik. Efusi pleura yang di jumpai
biasanya jernih dengan kadar protein <10.000 kadar glukosa normal

Manifestasi pada jantung

Dapat berupa perikarditis, efusi perkardium, miokarditis, endokarditis, kelainan katup penyakit koroner, hipertensi ,
gagal jantung , dan kelainan konduksi. Manifestasi jantung tersering adalah kelainan perikardium berupa perikarditis
dan efusi perikardium 66%, yang jarang menimbulkan komplikasi tamponade jantung, menyusul kelainan
miokardium berupa miokarditis yang di tandai dengan pembesaran jantung dan endokardium berupa endokarditis
yang di kenal dengan nama Libmn Sachs endokarditis, sering sekali asimptomatis tanpa di sertai dengan bising
katup. Yang sering terkena adalah katup mitral dan aorta

Manifestasi hematologi

Manifestasi kelainan hematologi yang terbanyak adalah bentuk anemia karena penyakit kronis, anemia hemolitik
autoimun hanya di dapatkan pada 10 % penderita. Selain anemia juga dapat di jumpai leukopenia, limphopenia,
nitropenia, trombopenia

Manifestasi pada ginjal

Dikenal dengan lupus nefritis. Angka kejadiannya mencapai hampir 50 % dan melibatkan kelainan glomerulus.
Gambaran klinisnya bervariasi dengan tergantung derajat kerusakan pada glomerulus dapat berupa hematuri, protein
uria, seluler cast,. Berdasarkan kriteria WHO secara histopatologi di bedakan menjadi 5 klas. Sebanyak 0,5% akan
berkembang menjadi gagal ginjal kronis. Lupus nefritis ini merupakan petanda prognosis jelek

Manifestasi sistem gastrointestinal

Dapat berupa hepatosplenomegali non spesifik, hepatitis lupoid, keradangan sistem saluran makanan (lupus gut),
kolitis

Manifestasi klinis pada sistem saraf pusat

Juga sangat bervariasi, mulai dari depresi sampai psikosis, kejang, stroke, dan lain2. Untuk memudahkan diagnosis
American College Rheumatology mengelompokkan menjadi 19 sindrom. Gambaran klinis lupus serebral di
kelompokkan dalam 3 bagian yaitu fokla, difus, dan neuropsikiatrik.

Diagnosis

Diagnosis lupus darus didasarkan pada gamabaran klinis yang di dukung dengan pemeriksaan laboratorium. Di
dalam klinis sering menimbulkan kesulitan dalam membuat diagnosis karena SLE aktif sering menyerupai gejala
penyakit tertentu. Di samping itu, perbedaan aktivitas penyakit manifestasi klinis maupun morbiditas, serta
mortalitasnya pada berbagai kelompok suku menimbulkan permasalahan yang sangat kompleks baik segi diagnostik
maupun penanganannya. Meskipun kriteria ACR untuk diagnosa SLE memilik sensitivitas 96% dan spesivitas 96%.
Bila memenuhi 4 dari 11 kriteria yang di tetapkan namun kriteria ini tidak dapat di pakai secara universal di dalam
klinis. Klasifikasi ini untuk riset epidemiologi.

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium sederhana sangat membantu untuk diagnosa lupus. Pada umumnya pemeriksaan darah
lengkap untuk melihat jumlah leukosit, trombosit, limfosit dan kadar Hb dan LED. LED yang meningkat
menandakan aktifnya penyakit. Urine lengkap untuk melihat adanya protein uria yang merujuk adanya kelainan
ginjal yang ditunjang dengan pemeriksaan faal ginjal. Pemeriksaan faal hati membantu untuk melihat adanya
autoimun hepatitis, hemolitik anemia, kadar albumin yang rendah . pemeriksaan CRP sangat membantu untuk
membedakan lupus aktif dengan infeksi. Pada lupus yang aktif kadar CRP norma atau meningkat tidak bermakna,
sedangkan pada infeksi terdapat peningkatan CRP yang sangat tinggi. Pemeriksaan komplemen C3 dan C4
membantu untuk menilai aktivitas penyakit. Pada keadaan aktif kadar kedua komplemen ini rendah

Pemeriksaan serologi

Tets ANA merupakan pemeriksaan serologi yang di anjurkan sebagai pemeriksaan serologi awal sebelum
pemeriksaan antibodi lainnya. Bila kadar tinggi dengan pola yang homogen dengan pemeriksaan metode Hep2 cel
sangat menyokong diagnosis SLE. Selain untuk membantu menegakkan diagnosis, ANA tes juga di pakai untuk
menilai aktivitas penyakit. Antibodi antibodi lainnya mempunyai sensitivitas dan spesivitas yang berbeda beda,
selain itu antibodi antibodi ini sering kali di kaitkan dengan manifestasi klinisnya. Misalnya kadar dsDNA yang
tinggi di kaitkan dengan timbulnya lupus nefritis ds DNA, histone,Sm, RNP, Ro dan La atau antibody phospholipids

Pengobatan

Saat ini mortlitas lupus pada dekade 5 tahun terakhir menunjukkan perbaikan. Five year survival ratenya saat ini
hampir 90% sedangkan 15 year survival ratenya berkisar 63-79%. Kemajuan ini disebabkan pendekatan terapi yang
lebih agresif dan kemajuan pengguanaan imunosupressan untuk menekan aktifitas penyakit. Prinsip pengobatan
adalah ntuk mencegah progresivitas dan memantau efek samping obat. Sampai saat ini steroid masih digunakan
sebagai pilihan utama untuk mengendalikan aktifitas penyakit . steroid adalah hormon yang berfungsi sebagai anti
inflamasi dan imunoregulator , yang secara normal di sekresi oleh kelenjar adrenal. Dosis yang dianjurkan
1mg/kg/bb/hari diberikan selama 4 minggu yang selanjutnya di tepering secara perlahan lahan bila lupus mengenai
organ vital atau mengancam jiwa, maka di berikan steroid megadosis yaitu pulse intravena methyl prednisolon (500-
1000 mg/hari) selama 3 hari. Pemekaian jangka panjang steroid menimbulkan berbagai efek samping, antara lain.
Cushing sindrome , diabetes millitus, dislipiddemia, osteoporosis, osteonekrosis/avaskuler nekrosis, hipertensi,
arterosklerosis, meningkatnya resiko infeksi, maka selama pemakaian steroid harus selalu di pantau efek
sampingnya, glukokortikoid merupakan hormon steroid yang sangat kuat dengan efek mineralokortikoid yang
ringan di banding kortison.

Efek steroid sebagai anti inflamasi

1. Penghamabat dilatasi dan permeabilitas pembuluh darah


2. Penghambat migrasi neutrofil ke perifer
3. penghambat sintesis mediator inflamasi
4. mengatur pemecahan enzim enzim
5. mengatur keseimbangan sitokin yang berperan dalam antiinflamasi

efek imunosupresif

1. limfopeni terhadap sel T


2. penghambat signal trandusi aktivasi sel T
3. penghambat sintesis interleukin 2
4. mengatur permukaan molekul sel T
5. menghambat sel APC
6. merangsang sel T apoptosis

dosis glukokortikoid yang di gunakan untuk terapi SLE

1. pulse dengan dosis 15-30 mg/kg/bb/hari atau 1g/m2 diberikan IV selama 1-3 hari indikasi lupus manifestasi
dengan organ yang mengancam jiwa: RPGN, myelopathy, kebingungan akut yang berat, perdarahan paru,
vaskulitis, optik pleuritis. Yang perlu di perhatikan adalah dosis yang sangat besar untuk menimbulkan
overload cairan hipertensi dan neuropsikiatrik
2. dosis sangat tinggi yaitu >1-2 mg/kg/bb di berikan IV atau per oral di gunakan untuk lupus dengan
manifestasi organ yang mengancam jiwa. Hindari penggunaan lebih dari 1-2 minggu. Efek samping yaitu
timbulnya infeksi yang berat.
3. Dosis tinggi 0,6-1mg/kg/BB di berikan IV atau peroral. Indikasinya anemi hemolitik, trombopeni, lupus
pnemonitis akut
4. Dosis sedang 0,125-0,5 mg/hari di berikan secara oral untuk neusitisis, pleuritis yang berat, trombopeni
5. Dosis rendah < 0,125- <0,75 mg/kg/BB/hari indikasi artritis yang tidak respons terhadap NSAID terapi
maintenance

Sebagian besar lupus aktif akam merespons dalam waktu 1-2 minggu, khususnya untuk lupus nefritis membutuhkna
waktu 2-6 minggu. Bila dalam waktu 1-2 minggu tidak ada perubahan yang mencolok sebaiknya di tambahkan
imunosupresif dan dosis steroid segera di turun kan pelan pelan 5 mg/minggu sampai mencapai dosis 0,5 mg/ hari.
Yang perlu di perhatikan bila dosis di turunkan secara cepat atau di turunkan secara pelan akan menimbulkan
kekambuhan penyakit dan meningkatkan resiko efek samping steroid. Bila terjadi kekambuhan selama penurunan
dosis maka sebaiknya dosis di tingkatkan seperti dosis semula sehingga dapat mengontrol aktivitas penyakit.

Efek samping steroid hipertensi, hipokalemi, hiperglikemia, hiperlipidemia, sklerosis, resiko infeksi, glaukoma
katarak, skeletal growth, retardation, jerawat, insomnia, steroid sklerosis, cushing sindrom

Obat obatan lain yang jjuga dapat di gunakan sebagai kombinasi dengan steroid antara lain chloroquin azatioprine,
siklosporin, siklophospamide, atau metotrexate. Chloroquin, hydroxychloroquin, adalah anti malaria yang di
gunakan untuk terapi lupus, biasanya di gunakan untuk mengontrol lupus cutaneus atau artritis. Efek sampingnya
jarang berupa diare, atau rash dan pemakaian jangka panjang menimbulkan efek samping pada retina sehingga di
anjurkan untuk evaluasi tiao 6 bulan. Azathioprine (imuran ) dan siklophospamide adalah obat sitostatik untuk
imunosupresan, biasanya di gunakan kombinasi dengan steroid.

Selain terapi farmakologi, terapi nonfarmakologi yang dianjurkan pada penderita SLE yaitu menghindari panas
matahari yang terlalu banyak,istirahat yang cukup, hindari stres mental maupun fisik yang berlebihan.
Prognosis

Prognosis lupus sangat tyergabtung pada organ yang terlibat, bila organ yang vital yang terlibat maka mortalitasnya
sangat tinggi. Tetapi dengan kemajuan pengobatan lupus, mortalitas ini jauh lebih baik di banding pada 2-3 dekade
yang lalu.

Anda mungkin juga menyukai