Bahan Ak - Syariah
Bahan Ak - Syariah
PEMBAHASAN
Memelihara harta bertujuan agar harta yang dimiliki oleh manusia diperoleh dan di
gunakan sesuai dengan syariah sehingga harta yang dimiliki halal dan sesuai dengan
keinginan pemilik mutlak dari harta kekayaan tersebut yaitu Allah SWT. Anjuran Bekerja
atau Berniaga Islam menganjurkan manusia untuk bekerja atau berniaga, dan menghindari
kegiatan meminta-minta dalam mencari harta kekayaan. Manusia memerlukan harta
kekayaan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk unuk
memenuhi sebagian perintah Allah seperti infak,zakat,pergi haji,perang (jihad), dan
sebagainya.
Apabilah telah di tunaikan shalat, maka bertabaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS 62:10) Harta yang
paling baik , menurut Rasulullah SAW, adalah yang diperoleh dari hasil kerja atau
perniagaan, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits-hadits berikut. Harta yang paling baik
adalah harta yang di peroleh lewat tangan sendiri(HR. Bazzar At Thabrani)
Sesungguhnya Allah suka kalau dia melihat hamba-nya berusaha mencari barang dengan
cara yang halal.(HR. Ath-Thabrani dan Ad Dailami)
Konsep Kepemilikan Harta yang baik harus memiliki dua kriteria, aitu di peroleh
dengan cara yang sah dan benar (legal and fair), serta di pergunakan dengan hal yang baik-
baik di jalan Allah SWT. Allah SWT adalah pemilik mutlak segalah sesuatu yang ada di
dunia ini (QS 57:2), sedangkan manuia adalah wakil ( khalifa) Allah di muka bumi ini yang
diberi kekuasaan untuk mengelolahnya. Jadi menurut islam, kepemilikan harta kekayaan pada
manusia terbatas pada kepemilikan kemamfaatannya selama masih hidup di dunia, dan bukn
kepemilikan secara mutlak.
3
4
Tidak boros dan tidak kikir Wahai anak cucu adam! Pakailah pakaianmu yang bangus
pada setiap(memasuki) mesjid, makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah
tidak menyukai oran yang berlebih-lebihan.(QS 7:31) Dan janganlah engkau jadikan
tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) enggkau terlalu mengulurkannya
(sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercelah dan menyesal.(QS 17:29)
Memberi infak dan shadaqah Sesungguhnya uang yang di infaqkan adalah reseki yang
nyata bagi manusia karen aada imbalan yang di lipat gandakan Allah (dan di dunia dan di
akhirat), serta akan menjadi penolong di hari akhir nanti pada saat dimana sesuatupun yang
dapat menolong kita, sebagaimana bunyi hadits berikut. Apabila anak adam meninggal
dunia, maka terputuslah semua amalnya, kecuali 3 perkara: shadaqah jariah (infak dan
sadakah), ilmu yan bermanfaat dan anak saleh yang mendoakan.(HR Muslim)
Membayar zakat sesuai ketentuan Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan
dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka, Allah maha mendengar lagi maha
mengetahui.(QS 9:103)
Meringankan kesulitan orang yang berutang Dan jika (orang berutang itu) dalam
kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu
menyedehkah,itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.(QS 2:280)
Perolehan Harta Memperoleh harta adalah aktivitas ekonomi yang masuk dalam
kategori ibadah muamalah (mengatur hubungan manusia dengan manusia). Harta di katakan
halal dan baik apabla niatnya benar, tujuannya benar dan cara atau sarana untuk
memperolehnya juga benar, sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan dalam Al
Quran dan as sunah.
5
C. AKAD/KONTRAK/TRANSAKSI
Akad dalam bahasa arab al- aqad ,jamaknya al-uqud berati ikatan atau mengikat (al-
rabth). Menurut terminologi hukum islam, akad adalah pertalian antara penyerahan (ijab) dan
penerimaan (qabul) yang di benarkan oleh syariah, yang menimbulkan akibat hukum
terhadap objeknya. Menurut abdul Razak Al-sanhuri dalam nadhariyatul aqdi ,akad adalah
kesepakatan dua bela pihak atau lebih yang menimbulkan kewajiban hukum yaitu
konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat pihak-pihak yang terkait langsung maupun
tidak langsung dalam kesepakatan tersebut.(Ghufron Masadi,2002)
Jenis Akad
1) Akad Tabarru (gratuitous contract) adalah perjanjian yang merupakan transaksi yang
tidak di tujukan untuk memperoleh laba (transaksi nirlaba). Tujuan dari transaksi ini
tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Dalam akad tabarru pihak yang
berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apa pun kepada pihak
lainnya karena ia mengharapkan imbalan dari Allah SWT dan bukan dari manusia.
Ada 3 bentuk akad tabarru:
Meminjamkan uang Meminjamkan uang termasuk akad tabarru karena tidak boleh
melebihkan pembayaran atas pinjaman yang kita berikan, karena setiap kelebihan
tampa iwad adalah riba, ada minimal 3 jenis pinjaman, yaitu:
-Qardh merupakan pinjaman yang di berikan tampa mensyaratkan apapun , selain
mengembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu .
-Rahn meruakan pinjaman yang mensyaratkan suatu jaminan dalam bentuk atau
jumlah tertentu.
-Hiwalah adalah benuk pinjaman dengan cara mengambil alih piutang dari pihak
lain.
Meminjamkan jasa berupa keahlian atau keterampilan termasuk akad tabarru. Ada
minimal 3 jenis pinjaman,yaitu :
-Wakalah memberikan pinjaman berupa kemampuan kita saat ini untuk melakukan
sesuatu atas nama orang lain. Wadiah merupakan bentuk turunan akad
wakalah,dimana pada akad ini telah di rinci tentang jenis pemeliharaan dan
penitipan.
-Kafalah juga merupakan turunan wakalah dimana pada akad ini terjadi atas
wakalah bersyarat. Memberikan sesuatu dalam akad ini pelaku memberikan sesuatu
6
ke orang lain. Ada minamal 3 bentuk akad. Wakaf merupakan pemberiaan dan
penggunaan pemberian yang dilakukan tersebut untuk kepentingan umu dan agama,
serta pemberian itu tidak dapat di pindah tangankan .
Hibah, shadaqah merupakan pemberiaan sesuatu secara suka rela kepada orang lain.
Akad tabarru tidak bisa di pindahkan menjadi akad tirajah, dan tidak bisa di
gunakan untuk memperoleh laba.
Penipuan
Penipuan terdiri atas 4, penipuan dalam kualitas misalnya mencampur barang baik dengan
barang yang buruk atau barang yang dijual memliki cacat tapi disembunyikan. Penipuan
dalam kuantitas misalnya mengurangi timbangan. Penipuan dalam harga misalnya menjual
barang dengan harga yang terlalu tinggi pada orang yang tidak mengetahui harga wajar
barang tersebut. Penipuan dalam waktu, misalnya seorang penyedia jasa menyanggupi
menyelesaikan pesanan pada waktu tertentu tetapi tidak menyelesaikan pada waktu yang di
janjikan.
Perjudian
Transaksi perjudian adalah transaksi yang melibatkan dua pihak atau lebih, dimana mereka
menyerahkan uang atau harta kekayaan lainnya, kemudian mengadakan permainan tertentu,
baik dengan kartu, adu ketangkasan atau media lainnya. Pihak yang menang berhak atas
hadiah yang dananya di kumpulkan dari kontribusi para pesertanya. Sebaliknya, bila dalam
undian itu kalah, maka uangnya itu harus direlakan untk di ambil oleh yang menang.
Transaksi yang Mengandung ketidakpastian/Gharar
Gharar tejadi ketika terdapat incomeplate income information, hingga ada ketidakpastian
anatara dua belah pihak yang bertransaksi. Kidak jelasan ini dapat menimbulkan pertikaian
antara pihak dan ada pihak yang dirugikan. Ketidakjelasan dapat terjadi dalam 5 hal, yakni
9
dalam kuantitas, kualitas, harga, waktu penyerahan dan akad. Hal ini terjadi bila ada dua akad
yang dapat memenuhi ketiga faktor yaitu objek akad sama, pelaku sama, jangka waktu sama.
Contohnya transaksi leaseand purchase (sewa-beli), mengandung gharar, karena ada ketidak
jelasan akad mana yang berlaku;akad beli atau akad sewa.(karim,2003)
Penimbunan Barang/Ihtikar
Penimbunan adalah membeli sesuatu yang di butuhkan masyarakat, kemudiaan
menyimpannya, hingga barang tersebut berkurang dipasaran hingga mengakibatkan
peningkatan harga.
Contohnya di awal tahun 2008, saat terjadi peningkatan harga kedelai yang luar biasa, ada
pengusaha yang menimbun kedelai dalam jumlah yang sangat besar di surabaya. Kenaikan
harga kedelai menghambat proses produksi barang berbahan baku kedelai seperti tahu dan
tempe, hingga mengakibatkan banyak produsen tempedan tahu tidak dapat bereproduksi, dan
akhirnya menderita kerugiaan.
Monopoli
Alasan monopoli sama dengan larangan menimbun barang (ihtikar), walaupun seorang
monopolis tidak selalu melakukan penimbunan barang. Monopoli, biasanya dilakukan
dengan membuat entry barrier, untuk menghambat produsen atau penjualmasuk kepasar agar
ia menjadi pemain tunggal di pasar dan dapat menghasilkan keuntungan yng tinggi.
Ketentuan syariah hanya membolehkan intervensi harga pada kondisi mendesak dengan
pengawasan yang ketat.
Rekayasa Permintaan (Baian Najsy)
An-Najsy termasuk dalam kategori penipuan (tadlis), karena merekayasa permintaan, dimana
satu pihak berpura-pura mengajukan penawaran dengan harga yang lebih tinggi, agar calon
pembeli tertarik dan membeli barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi.
Suap
Suap dilarang karena suap dapat merusak sistem yang ada didalam masyarakat, hingga
menimbulkan ketidak adilan sosial dan persamaan perlakuan. Pihak yang membayar suap
pasti akan diuntungkan daripada yang tidak membayar.
Penjual Bersyarat/Taalluq
Taalluq terjadi apabila ada dua akad yang saling dikaitkan dimana berlakunya akad pertama
tergantung pada akad kedua, hingga dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya rukun (sesuatu
yang harus ada dalam akad. Misalkan A bersedia menjual barang X ke B asalkan B kembali
menjual tersebut kepada A, atau A bersedia menerima pesanan B asalkan C dapat memenuhi
pesanan A.
10
diperoleh. Hal ini juga membuat kedua belha pihak saling membantu untuk bersama-sama
memperoleh laba, selain lebih mencerminkan keadilan.
Tidak Menganggap Uang sebagai Modal Potensial. Dalam fungsinya sebagai komoditas,
uang dipandang dalam kehidupan yang sama dengan barang yang dijadikan engan barang
yang dijadikan sebagai objek transaksi untuk mendapatkan keuntungan (laba). Sedang dalam
fungsinya sebagai modal nyata (capital), uang dapat menghasilkan sesuatu (bersifat
produktif) baik menghasilkan barang maupun jasa. Oleh sebab itu, sistem keuangan islam
memandang uang boleh dianggap sebagai modal kalau digunakan bersama dengan sumber
daya yang lain untuk memperoleh laba.
Larangan Melakukan Kegiatan Spekulatif. Hal ini sama dengan pelanggaran untuk
transaksi yang memiliki tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi, judi dan transaksi yang
memiliki resiko yang sangat besar.
Kesucian Kontrak. Oleh karena itu islm menilai perjanjian sebagai suatu yang tinggi
nilainya sehingga seluruh kewajiban dan pengungkapan yang terkait dengan kontrak harus
dilakukan. Hal ini akan mengurangi resiko atas informasi yang asimetri dan timbulnya
moralhazard.
Aktifitas Usaha Harus Sesuai Syariah. Seluruh kegiatan usaha tersebut haruslah
merupakan kegiatan yang diperbolehkan menurut syariah.
Jadi, prinsip keuangan syariah mengacuh pada prinsip rela sama rela (antaraddim minkum)
tidak ada pihak disalimi dan mensalimi (la tazhlimuna wa la tuzhlamun), hasil biaya muncul
bersama biaya, dan untung muncul bersama resiko.
F. INSTRUMEN KEUANGAN SYARIAH
Instrumen keuangan syariahdapat di kelompokan sebagai berikut.
Akad investasi yang merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk uncertainty contract.
Ke;ompok akad ini adalah sebagai berikut.
Mudharabah, yaitu kerjasama antara dua belah pihak atau lebih,dimana pemilik modal
(shahibul maal) memercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudhari ) untuk
melakukan kegiatan usaha dengan nisbah bagi hasil atas keuntunga yang diperoleh menurut
kesepakatan dimuka, sedangakan apabila terjadi kerugian hanya ditanggung pemilik dana
sepnjng tidak ada unsur kesenjangan atau kelalaian oleh mudharib
Musyarakah adalah akad kerjasama yang terjadi antara pihak modal (mitra musyarakah)
untuk menggabungkan modal dan melakukan usaha secara bersama dalam suatu kemitraan,
dengan nisbah bagi hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung secara
12
KESIMPULAN
Pada akhir 1970-an mulailah berdiri bank yang mengadopsi sistem syariah kemudian
berkembang pesat dan saat ini banyak negara telah melakukan kegiatan perdagangan dan
bisnis. sistem keuangan bebas bunga (larangan riba) tidak hanya melihat interaksi antara
faktor produksi dan prilaku ekonomi seperti yang dikenal pada sistem keuangan
konvensional, melainkan juga harus menyeimbankan berbagai unsur etika, moral, sosial dan
dimensi keagamaan untuk meningkatkan pemerataan dan keadilan menuju masyarakat yang
sejahtera secara menyeluruh. Melalui sistem kerjasama bagi hasil maka akan ada pembagian
resiko. Resiko yang timbul dalam aktivitas keuangan tidak hanya di tanggung penerima
modal atau pengusaha saja, namun juga resiko diterima oleh pemberi modal.
Jadi, prinsip keuangan syariah mengacuh pada prinsip rela sama rela (antaraddim minkum)
tidak ada pihak disalimi dan mensalimi (la tazhlimuna wa la tuzhlamun), hasil biaya muncul
bersama biaya, dan untung muncul bersama resiko.
https://andinurhasanah.wordpress.com/2012/12/05/sistem-keuangan-syariah/ 9 april
Pendahuluan
Islam memandang harta sebagai amanah yang dititipkan Allah SWT kepada manusia untuk dapat digunakan
bagi kebaikan dan manfaat yang seoptimal mungkin. Sebab itu, harta juga merupakan ujian keimanan bagi
manusia. Kepemilikan harta kekayaan pada manusia terbatas pada kemanfaatannya selama masih hidup di
14
dunia, dan bukan kepemilikan secara mutlak. Saat manusia meninggal, kepemilikan tersebut berakhir dan harus
didistribusikan kepada ahli warisnya, sesuai ketentuan syariah (Nurhayati & Wasilah, 2009).
Karena harta berpotensi mendatangkan kemanfaatan, sebaiknya manusia tidak menggunakan alasan
zuhud yang tidak tepat atau qanaah yang salah paham karena pada dasarnya harta itu baik, mulia dan indah.
Islam menganjurkan kita untuk bersikap seimbang terhadap dunia dan akhirat, sebagaimana firman Allah SWT
dalam QS 28:77:
Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan
bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.
Tanpa harta, kemiskinan bisa mewabah. Dan jika hal ini dibiarkan, secara lambat namun pasti
kemiskinan akan membahayakan akidah dan keimanan. Nabi SAW pernah bersabda, Kemiskinan hampir-
hampir mendekatkan orang kepada pengingkaran terhadap Islam (kekufuran). Oleh karena itulah beliau
menganjurkan ummat-nya untuk berdoa, Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran dan kukufuran
(HR An-Nasai). Tidak hanya itu, bila umat Islam minim harta atau tidak amanah dalam mengelola harta yang
dititipkan Allah swt, maka dakwah Islam pun akan terhambat. Masjid akan kumuh dan kotor karena tidak ada
biaya perawatan, yatim-piatu akan terlantar karena tidak ada donasi yang cukup untuk pembinaan, buta huruf
Quran akan merajalela karena tidak ada yang mampu membayar gaji guru dan mencetak mushaf, pesantren
tidak terjamah tekonologi karena tidak mampu membeli komputer, dan dampak-dampak menyedihkan lainnya
(Antonio, 2010). Dalam bab ini, insya Allah Anda akan diajak untuk memahami bagaimana konsep perolehan,
pemeliharaan dan penggunaan harta menurut Islam serta bagaimana Islam mengatur transaksi yang sesuai
dengan syariah-nya
Rasulullah SAW pernah bersabda, Seseorang pada hari akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: Untuk
apa usianya dihabiskan? Untuk apa jasmaninya dipergunakan? Untuk apa ilmunya digunakan? Darimana
hartanya didapatkan dan untuk apa dibelanjakan?(HR Abu Dawud). Yang menarik dari hadits tersebut adalah
pertanyaan tentang usia, jasmani dan ilmu menanyakan mengenai penggunaan, sementara pertanyaan tentang
harta menanyakan mengenai darimana harta didapatkan dan untuk apa harta digunakan. Oleh karena itulah,
dalam banyak firman Allah SWT di Al-Quran serta hadits Rasulullah SAW, perolehan harta seringkali dibahas.
Beberapa diantaranya adalah yang mengingatkan manusia agar tidak melalaikan kewajibannya terhadap Allah
SWT dalam mencari harta serta untuk mencari harta melalui kerja kerasnya sendiri.
15
1. Perintah mencari karunia Allah SWT tanpa melalaikan dari kewajiban terhadap Allah SWT
Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.
Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi (QS 63:9)
Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari)
mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati
dan penglihatan menjadi goncang (QS 24:37)
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS 62 :10)
Mencari rezeki yang halal adalah kewajiban setelah kewajiban melaksanakan shalat fardhu. (HR. Al
Baihaqi)
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri (QS 13:11)
Ketika Rasulullah ditanya oleh Rafi bin Khudaij: Dari Malik bin Anas r.a Wahai Rasulullah, pekerjaan
apakah yang paling baik? Rasulullah menjawab Pekerjaan orang dengan tangannya sendiri dan jual beli yang
mabrur. (HR. Ahmad dan Al Bazzar At Thabrani dari Ibnu Umar)
Harta yang paling baik adalah harta yang diperoleh lewat tangannya sendiri (HR. Bazzar At Thabrani)
Sesungguhnya Allah suka kalau Dia melihat hambaNya berusaha mencari barang dengan cara yang halal.
(HR. Ath-Thabrani dan Ad-Dailami)
Orang yang meminta-minta padahal dia tidak begitu membutuhkan (tidak terdesak) sama halnya dengan
orang yang memungut bara api. (HR. Muslim)
Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja. Barang siapa bekerja keras mencari nafkah yang
halal untuk keluarganya, ia sama seperti mujahid di jalan Allah. (HR. Abu Dawud)
Barang siapa mengumpulkan harta dari jalan haram, lalu dia menyedekahkannya, maka dia tidak
mendapatkan pahala, bahkan mendapatkan dosa. (HR. Huzaimah dan Ibnu Hiban disahkan oleh Imam Hakim)
Ya Allah berkahilah umatku disaat (mencari rezeki) di pagi hari. (HR. Abu Dawud)
Allah SWT yang Maha Memberi Petunjuk tentunya tidak hanya akan menanyakan sesuatu tanpa sebelumnya
memberikan pengajaran pada kita para hamba-Nya. Terkait dengan penggunaan harta, Allah SWT mengajarkan
pada kita untuk:
Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui. (QS 9:103)
Zakat adalah prioritas pertama yang harus dilakukan oleh umat Islam yang mampu karena dalam harta umat
Islam terdapat sebagian milik orang yang membutuhkannya. Sebagaimana ayat diatas, zakat dikeluarkan agar
kesucian harta dapat tercapai. Ustadz Quraish Shihab dalam salah satu kajiannya pernah menyampaikan bahwa
orang yang membayar zakat belum bisa dikatakan sebagai orang yang dermawan. Mengapa? Karena ia baru
mengembalikan hak orang lain yang ada di hartanya. Jika selain zakat ia juga memberikan infaq, sedekah,
hadiah atau wakaf, barulah orang tersebut bisa dikatakan orang yang dermawan. Bagi orang-orang yang
mengamalkan ini, Allah SWT telah menjanjikan kebaikan yang berlipat ganda sebagaimana firmannya sebagai
berikut:
Perumpamaan orang yang menginfak hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh
tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang dia kehendaki, Dan Allah
berjanji barang siapa melakukan kebajikan akan dilipatgandakan pahalanya dan Allah Maha Luas, Maha
Mengetahui. (QS 2:261)
Kelipatgandaan pahala yang Allah SWT berikan tidak hanya berakhir pada kehidupan kita di dunia ini, namun
insyaAllah akan terus mengalir setelah kita wafat. Hal ini disampaikan dalam hadits berikut:
Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah
jariyah (infak dan shadaqah), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan (HR. Muslim).
17
Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan
minumlah, tapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (QS 7:31)
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar
kepada Tuhannya. (QS 17:27)
Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu
mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal. (QS 17:29)
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari
penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di
antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (QS 59:7)
Islam telah mengajarkan ummatnya untuk mandiri secara ekonomi dan menggunakan harta yang dapat
dirasakan manfaatnya oleh banyak pihak. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, Sebaik-baik manusia
diantara kamu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain (HR At-Tabrani). Kemanfaatan harta kita
pun akan lebih terasa bila orang lain juga merasakan manfaatnya. Seperti air yang sehat jika mengalir, harta pun
akan lebih berkah dan mendatangkan pahala bila dialirkan manfaatnya.
Terkait dengan hal ini, Nabi Muhammad SAW pernah bertanya kepada para sahabat, Siapakah diantara
kamu yang menganggap harta milik ahli warisnya lebih berharga daripada miliknya sendiri? Mereka
menjawab, Setiap orang menganggap harta miliknya sendiri lebih berharga daripada milik ahli warisnya.
Kemudian Nabi SAW bersabda, Hartamu adalah apa yang kamu pergunakan dan harta ahli warismu adalah
yang tidak kamu pergunakan. Tidak ada sedikit pun diantara yang kau miliki (yakni harta dan penghasilan)
benar-benar menjadi milikmu kecuali yang kau makan dan kau gunakan, yang kau pakai dan kau tanggalkan,
dan yang kau belanjakan untuk kepentingan bersedekah yang imbalan pahalanya kau simpan untukmu (HR.
Bukhari dan Muslim).
18
Islam menghendaki kemudahan bagi ummatnya. Dalam kaitannya dengan muamalah, ketentuan fiqh
menjelaskan bahwa hukum asal dalam muamalah adalah semuanya diperbolehkan kecuali ada ketentuan syariah
yang melarangnya. Sang Pencipta, Allah SWT, pasti yang paling mengetahui tentang apa yang diciptakan-Nya.
Untuk itu, ada larangan-larangan yang ditetapkan-Nya agar manusia senantiasa berada dalam kebaikan. Kalau
kita lihat dan cermati, hal-hal yang dilarang Allah SWT bagi kita manusia jauh lebih sedikit daripada hal-hal
yang diperbolehkan-Nya. Untuk itu, penting bagi kita untuk memahami apa saja larangan-larangan Allah SWT
terkait pengelolaan harta agar kita selalu berada dalam keberkahan-Nya. Hal ini juga dijelaskan Allah SWT
dalam firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil (tidak benar),
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah membunuh dirimu.
Sungguh Allah Maha Penyayang kepadamu. (QS 4: 29)
Beberapa hal yang dilarang terkait pengelolaan harta antara lain (Nurhayati & Wasilah, 2009):
1. Semua aktivitas bisnis terkait dengan barang dan jasa yang diharamkan Allah
2. Riba
3. Gharar (Ketidakjelasan)
4. Maisir (Perjudian)
5. Tadlis (Penipuan)
6. Ikhtikar (Penimbunan)
7. Monopoli
8. Bai an-Najsy (Rekayasa Permintaan)
9. Risywah (Suap, korupsi)
10. Taalluq (Jual-beli bersyarat)
11. Talaqqi al-rukban (Mencegat rombongan dagang sebelum masuk pasar)
Beberapa sektor yang dilarang Islam untuk dijadikan sebagai tujuan investasi diantaranya: sektor yang
melibatkan perdagangan atau produksi babi, pornografi, keuangan konvensional, senjata, sinema (kecuali yang
bersifat Islami), judi, rokok, minuman keras, narkoba, hiburan, dan perhotelan (kecuali hotel syariah). Beberapa
ulama bahkan melarang untuk berinvestasi pada sektor yang membawa dampak kerusakan terhadap lingkungan.
Riba
Pengertian Riba
20
Riba berasal dari bahasa Arab yang berarti tambahan (Al-Ziyadah), berkembang (An-Nuwuw), meningkat (Al-
Irtifa), dan membesar (Al-uluw). Lebih lanjut, Imam Sarakhzi mendefinisikan riba sebagai tambahan yang
disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan (iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan
tersebut. Antonio (1999) menjelaskan bahwa yang dimaksud transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu
transaksi bisnis atau komersil yang melegitimasi adanya penambahan secara adil, seperti jual beli, sewa
menyewa, atau bagi hasil proyek, di mana dalam transaksi tersebut ada faktor penyeimbangnya berupa
ikhtiar/usaha, risiko dan biaya (Nurhayati & Wasilah, 2009).
Jenis-Jenis Riba
Berdasarkan jenisnya, riba dibagi menjadi dua: riba al-fadl dan riba al-nasiah (Hameed, 2008). Riba al-fadl
adalah riba yang terjadi karena ada kelebihan/penambahan pada salah satu dari barang ribawi/barang sejenis
yang dipertukarkan baik pertukaran dilakukan dari tangan ke tangan (tunai) atau kredit (Nurhayati & Wasilah,
2009). Contohnya pertukaran 2 kg beras yang kualitasnya lebih rendah dengan 1 kg beras yang kualitasnya lebih
tinggi. Lebih lanjut, yang dimaksud dengan barang ribawi dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW sebagai
berikut:
Dari Abu Said al-Khudri ra, Rasul saw bersabda: Transaksi pertukaran emas dengan emas harus sama takaran, timbangan
dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba, perak dengan perak harus sama takaran, timbangan dan tangan ke
tangan (tunai), kelebihannya adalah riba, gandum dengan gandum harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan
(tunai), kelebihannya adalah riba, tepung dengan tepung harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai),
kelebihannya adalah riba, korma dengan korma harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya
adalah riba, garam dengan garam harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba.
(HR. Muslim)
Terhadap pengertian atas hadits tersebut, beberapa ulama kontemporer menjelaskan bahwa yang
termasuk dengan barang ribawi adalah barang yang digunakan biasa digunakan sebagai alat tukar dalam
transaksi (untuk menganalogikan emas dan perak) dan barang yang biasa dikonsumsi sebagai bahan makanan
pokok (untuk menganalogikan gandum, tepung, korma, dan garam)
Sementara itu, riba al-nasiah adalah tambahan atas pokok yang terjadi karena penundaan pembayaran
utang. Contohnya pinjaman senilai Rp1juta harus dibayar senilai Rp1,1juta di masa jatuh tempo akibat adanya
pembayaran yang ditangguhkan. Riba jenis kedua inilah yang berpotensi lebih banyak terjadi di dunia keuangan.
Bagian-bagian berikutnya akan lebih banyak menjelaskan mengenai hal ini.
Menurut catatan sejarah, riba tidak hanya dilarang dalam Islam, namun juga dalam agama-agama samawi
lainnya (Nurhayati & Wasilah, 2009). Berikut adalah beberapa kutipan dari kitab kaum Yahudi dan Nasrani
mengenai riba:
Janganlah engkau membungakan kepada Saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang
dapat dibungakan. (Kitab Deuteronomy, Pasal 23 ayat 19)
21
Jika kamu meminjamkan harta kepada salah seorang putra bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang
yang mengutangkan, jangan kau meminta keuntungan untuk hartamu. (Perjanjian Lama, Kitab Keluaran Pasal
22 ayat 25)
Dalam Islam, riba diatur dengan sangat gamblang dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Menurut Qardhawi
(2001) dalam Nurhayati dan Wasilah (2009), larangan riba dalam Al-Quran dilakukan melalui 4 (empat) tahap
penurunan firman Allah SWT:
1. Imbauan Allah SWT bahwa riba tidak berharga di sisi Allah SWT:
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak menambah dalam pandangan
Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa Zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah
orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya). (QS 30:39)
2. Pelajaran dari Allah SWT bahwa kaum Yahudi yang menjalankan praktik riba mendapatkan azab yang pedih
Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta
orang dengan cara tidak sah (bathil). Dan kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih. (QS
4:161)
4. Larangan Allah SWT untuk meninggalkan riba dalam bentuk apa pun sebesar apa pun.
Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang
orang yang beriman. Maka jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul- NYA.
Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak pula
dizalimi (dirugikan). (QS 2:278-280)
Tidak hanya dalam Al-Quran, riba juga banyak dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulullah SAW. Beberapa
diantaranya:
Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan seorang yang
melakukan zina dengan ibunya. (HR. Al-Hakim dari Ibnu Masud)
Jabir berkata: bahwa Rasulullah saw mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan
orang yang mencatatnya dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, mereka itu semua sama. (HR.
Muslim)
Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah
melarang amalanmu mengambil riba, oleh karena itu utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok)
kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan. (Khutbah Rasulullah
SAW di Haji Wada)
Setelah membaca firman Allah SWT dan hadits Rasulullah SAW mengenai riba diatas, mungkin muncul
pertanyaan di benak kita, mengapa Islam begitu peduli dengan larangan praktik riba? Hameed (2008) mencatat
bahwa riba dilarang karena riba berpotensi menimbulkan ketidakadilan karena satu pihak (peminjam) dipastikan
untuk menerima imbalan (return) tanpa terpengaruh dengan hasil yang dicapai oleh pihak lain (penerima
pinjaman). Selain itu, riba juga dapat menyebabkan konsentrasi kekayaan dimana pihak penerima pinjaman
yang biasanya lebih membutuhkan diharuskan untuk membayar imbalan kepada pihak peminjam yang biasanya
berkelebihan. Pengaruh-pengaruh inilah yang berpotensi menyebabkan terputusnya hubungan baik antar
masyarakat dalam hal pinjam meminjam. Jika dibiarkan, hal ini dapat menyebabkan hilangnya perasaan belas
kasihan, kebaikan, dan kebajikan (Nurhayati & Wasilah, 2009).
Ketatnya aturan mengenai riba mengundang spekulasi dari berbagai pihak yang mencoba menyampaikan
pertanyaan-pertanyaan yang jika tidak disikapi dengan ilmu yang mumpuni akan dapat menggeser pemahaman
seseorang mengenai definisi dan bentuk riba. Beberapa pendapat yang bias mengundang kesalahpahaman
tersebut antara lain:
1. Riba hanya mencakup bunga berbunga. Jika bunga tersebut tidak berlipatganda maka itu bukanlah riba
2. Riba hanya dilarang untuk pinjaman yang sifatnya konsumtif dan tidak dilarang untuk pinjaman investasi
Kesalahpahaman 1: Riba hanya mencakup bunga berbunga. Jika bunga tersebut tidak berlipatganda
maka itu bukanlah riba
Meski QS 3:130 menjelaskan larangan mengambil riba yang berlipat ganda, namun kita harus melihat juga pada
ayat-ayat Al-Quran lain serta hadits-hadits mengenai riba. Jika kita amati, larangan mengambil riba pada QS
3:130 adalah firman ke-3 mengenai riba yang diwahyukan Allah SWT. Setelah itu, ada lagi ayat mengenai riba
yang turun pada Rasulullah SAW, yaitu pada QS 2: 278-280. Di ayat itulah Allah SWT mengharamkan riba
bagaimana pun bentuk dan besarannya.
Kesalahpahaman 2: Riba hanya dilarang untuk pinjaman yang sifatnya konsumtif dan tidak dilarang
untuk pinjaman investasi
Terhadap kesalahpahaman ini, Chapra (1995) mengutip penjelasan Abu Zahrah, seorang ahli syariah ternama,
menyatakan bahwa saat ayat-ayat mengenai riba diturunkan, posisi Makkah sebagai kota dagang dan mayoritas
profesi kaum Quraisy (kaum Rasulullah SAW) sebagai pedagang membuat mereka banyak sering melakukan
pinjam-meminjam untuk membiayai kegiatan dagangnya. Ini merupakan bukti bahwa riba atas pinjaman juga
berlaku bagi pinjaman untuk tujuan investasi.
23
Lebih lanjut, sebagian pihak masih mempertanyakan, mengapa tambahan pengembalian atas pinjaman
untuk investasi tidak diperbolehkan sementara ada potensi keuntungan yang bisa didapat oleh si peminjam dari
kegiatan investasinya. Dan adalah wajar bagi mereka untuk membagi keuntungan dengan pihak yang
meminjamkan. Jawaban untuk argumen ini adalah bahwa potensi peminjam mendapat keuntungan dari
investasinya belumlah menjadi suatu kepastian. Masih ada risiko kegagalan investasi disana. Oleh karena itu,
jika pihak yang meminjamkan ingin berbagi untung, ia juga harus mau berbagi jika terjadi kerugian (Hameed,
2008).
Institusi perbankan modern seperti yang bisa kita jumpai dimasa kini tidak ada pada masa Rasulullah SAW.
Meskipun beberapa ulama tidak menganggap bunga bank sebagai riba, namun mayoritas ulama berpandangan
bahwa bunga bank tidak terkecualikan dari larangan riba. Hal ini disebabkan hukum riba berlaku umum, tidak
hanya untuk individu namun juga untuk institusi seperti bank. Namun, ini bukan berarti institusi perbankan
adalah haram dalam pandangan Islam. Jika bunga bank diganti menjadi imbalan yang sesuai dengan syariah
Islam, maka hal ini tidak menjadi masalah. Dengan kata lain, praktik perbankan syariah-lah yang dapat menjadi
solusi hal ini (Hoque, 1997 dalam Hameed, 2008).
Gharar
Gharar adalah ketidakjelasan yang bisa menyebabkan suatu akad1[1] disalahgunakan atau tidak dapat
diteruskan. Akad kontijensi seperti asuransi konvensional dimana konsekuensi akad baru akan dilangsungkan
jika suatu hal terjadi di masa depan adalah contoh dari gharar. Bentuk gharar yang lainnya dalah bila obyek
akad adalah sesuatu yang tidak ada pada saat akad dilakukan, tidak dapat dispesifikasikan, atau yang definisinya
terlalu luas atau terlalu spesifik (Hameed, 2008). Misalnya: akad jual-beli buah mangga di pohon tertentu atau
akad ijon.
Maisir
Maisir berasal dari kata yasara atau yusr yang bermakna mudah; atau dari kata yasar yang berarti kekayaan.
Secara istilah, maysir dapat diartikan sebagai segala bentuk judi dimana keuntungan materiil diperoleh karena
aktivitas yang spekulatif atau untung-untungan, seperti lotre, kuis sms, taruhan maupun bentuk spekulasi
lainnya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam QS 5: 90:
24
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, berkurban (untuk berhala) dan mengundi nasib
dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
beruntung.
Tadlis (Penipuan)
Penipuan terjadi bila salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain dan dapat
terjadi dalam empat hal, yakni dalam kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan (Karim, 2003).
Contoh penipuan seperti menyembunyikan barang berkualitas buruk diantara barang berkualitas lebih
baik, mencurangi timbangan, mengenakan harga terlalu tinggi pada orang yang tidak mengetahui
harga pasar. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa Barang siapa melakukan penipuan maka ia
bukan dari golongan kami. (HR. Ibnu Hibban dan Abu Nuaim).
Penimbunan barang oleh pihak-pihak tertentu dapat menyebabkan terjadinya kelangkaan barang
tersebut di pasar. Akibatnya, harga barang akan meningkat dan penimbun akan mendapat keuntungan
ditengah kesulitan orang lain. Mengenai penimbunan barang ini, Rasulullah SAW bersabda bahwa:
Tidak menimbun barang kecuali orang yang berdosa. (HR. Muslim, Turmudzi dan Abu Dawud)
Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya
di neraka pada hari kiamat. (HR. At-Tabrani)
Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara
tajam, maka ia telah berbuat salah. (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Monopoli
Monopoli bisa menjadikan pihak-pihak tertentu mendapat keuntungan besar karena tidak adanya saingan dalam
bisnisnya, pihak-pihak itulah yang menguasai pasar sehingga kuantitas, kualitas dan harga pasokan akan
sepenuhnya tergantung pada mereka. Monopoli dilarang karena kepentingan umum harus lebih diutamakan dari
kepentingan segelintir orang. Ketentuan syariah hanya membolehkan intervensi harga pada kondisi mendesak
dengan pengawasan yang ketat. Misalnya, intervensi oleh pemerintah untuk penetapan harga atas suatu barang
yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk menghindari tindakan ambil untung berlebihan, atau
pelanggaran hukum oleh pedagang zalim yang membahayakan pasar.
Merekayasa permintaan adalah kondisi dimana satu pihak berpura-pura menawar dengan harga yang tinggi. Hal
ini dilakukan agar calon pembeli tertarik dan membeli barang tersebut dengan harga yang tinggi. Atas hal ini,
Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kamu sekalian melakukan penawaran barang tanpa maksud untuk
membeli (HR. Turmidzi).
Islam melarang suap karena dapat menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat. Pihak yang membayar suap
pasti mendapat perlakuan istimewa dari yang menerima suap. Biasanya, perlakuan ini pun hanya
menguntungkan segelintir pihak saja dan bahkan bisa membawa kerugian bagi lebih banyak pihak. Rasulullah
SAW sendiri dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani, Al-Bazar dan Al-Hakim melaknat
penyuap, penerima suap dan orang yang menyaksikan penyuapan.
Taalluq terjadi apabila ada dua akad saling dikaitkan di mana berlakunya akad pertama tergantung pada akad
kedua (Nurhayati & Wasilah, 2009). Akad salam parallel dan istishna parallel yang insyaAllah akan dibahas
pada bab-bab berikutnya harus menghindari hal ini agar kepatuhannya terhadap syariah dapat dijaga.
Talaqqi al-rukban dilakukan dengan cara mencegat pedagang yang tidak mengetahui harga pasar atas barang
dagangan yang dibawanya sementara pihak pembeli mengharapkan keuntungan yang berlipat dengan
memanfaatkan ketidaktahuan mereka. Cara ini tidak diperbolehkan karena merupakan bentuk penipuan. Namun,
jika pencegatan tadi disertai dengan hak pilih untuk membatalkan atau melanjutkan transaksi dari pihak penjual
setelah mengetahui harga pasar, maka hal ini diperbolehkan.
Dari penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa Islam mengatur dalam syariah-nya agar transaksi keuangan
dilakkan dengan memperhatikan hal-hal berikut: